Anda di halaman 1dari 6

PERAN PADANG LAMUN UNTUK KEHIDUPAN HEWAN ASOSIASI

Pendahuluan
Padang lamun tersebar luas diperairan dangkal dan estuary dikawasan tropis dan, dan dikenal
sebagai salah satu ekosistem pesisir yang memeliki produktivitas tinggi. Disamping tingkat
produktivitas lamun dan asosiasi flora yang tinggi, padang lamun juga ditemukan konsentrasi
fauna yang berasosiasi yang kaya. (Thayeretal. 1975). Padang lamun, khususnya di perairan
Indonesia, didominasi oleh jenis lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii yang
digunakan oleb hewan asosiasi (association animal) sebagai habitat. Beberapa hasil studi ten
tang komponen komunitas hewan di padang lamun menyimpulkan, bahwa ada kesamaan struktur
komunitas dan fungsi padang lamun pada beberapa daerab perairan tropis dan subtropis
(Kikucbi, 1973; Randall, 1967).

KOMUNlTAS HEWAN DI PADANG LAMUN


Menurut Kikuchi &Peres (1973), mengungkapkan bahwa hasil beberapa penelitian pada padang
lamun di perairan Jepang, khususnya tentang komunitas hewannya, dapat dibagi dalam beberapa
unit struktur atau kategori, yaitu;
1. Hewan yang hidup pada daun lamun adalah : epifit dan mikro-meiofauna yang hidup pada
daun lamun, hewan yang menempel pada daun merupakan epifauna yang bergerak yang merayap
pada daun lamun, dan hewan epifauna yang bergerak yang merupakan kelompok hewan yang
hanua tinggal sesaat pada daun lamun.
2. Hewan yang menempel pada rimpang (rhizome), antara lain adalah; polikhaeta dan
ampbipoda.
3. Hewan yang mempunyai pergerakan tinggi dan berenang di bawah atau antara daun, antara
lain iikan, cumi (cephalopoda) dan crustacea.
4. Hewan yang hidup di atas atau di dalam sedimen (substrat), antara lain, beberapa epibentik
dasar avertebrata.
Pada kategori (struktur) pertama, komposisi jenis dari hewan adalah sama pada beberapa lokasi
di Jepang (Kikuchi, 1966). Pada beberapa padang lamun di dunia, yaitu di Mediterania (Ledoyer,
1968), di pantai Atlantik, Amerika Serikat dan Karibia (Nagle, 1968;Marsh, 1973), ditemukan
komposisi jenis dan epifitik fauna mempunyai tingkat kesamaan yang tinggi.
Hewan yang menempel pada rimpang lamun cukup bervariasi. Pada padang lamun dari Zostera
hanya beberapa jenis hewan, tetapi pada Posidonia di Mediterania, biodiversitasnya cukup tinggi,
yakni terdiri dari beberapa jenis dari krustacea (udang dan kepiting), dan juga termasuk krustasea
kecil, seperti Ampbipoda, Isopoda, Chelifera dan Harpacticoid (Ledoyer, 1962; 1969).
Ikan dan cumi-cumi mempunyai pergerakan yang tinggi antara daun atau di bawah daun.
Hewan-hewan tersebut , khususnya yang bersifat nekton bukan hanya pergerakan di padang
lamun, tetapi juga pada ekosistem tetangganya (terumbu karang dan mangrove). Sifat ini
termasuk lamanya priode tinggal (menetap) di padang lamun tersebut dan sangat tergantung
dengan jenis hewannya atau padang lamunnya sendiri.
Beberapa epibentik dasar, bermigrasi secara vertikal pada malam hari yang bergerak dari dasar
ke permukaan daun (Ledoyer, 1969). Sedangkan untuk hewan infauna, seperti kerang (bivalve)
dan polikhaeta bukan merupakan hewan endemik di padang lamun, tetapi merupakan komunitas
bentik di sekitar subsrat yang tidak ditumbuhi lamun (Azuma et al., 1970; Thayer et 01. 1975).
Secara umum, dapat dikatakan bahwa total kerapatan, biomassa dan keragaman komunitas dari
bewan infauna di padang lamun, lebih besar (tinggi) dari daerah yang tidak ditumbuhi lamun
(Ortb, 19730).
Dari sejumlah bewan yang hidup di padang lamun, dapat dikatakan babwa ada ketergantungan
dan bewan terhadap keberadaan padang lamun. Hal ini dapat diperlihatkan bahwa dengan adanya
penurunan luasan padang lamun, maka akan mengakibatkan menurunnya keragaman jenis,
biomassa dan komposisi komunoitas hewan (Rasmussen, 1973). Penurunan tutupan lamun akibat
erosi atau penurunan kandungan organik pada sedimen,akan mengakibatkan terjadinya
penurunan dan perubahan komposisi jenis dari hewan epifauna dan infauna
(NaikaiReg.Fish.Res.Lab., 1974). Lebih lanjut diungkapkan oleb Kikucbi(1974), bahwa reduksi
bentik dan epifitik avertebrate, adalah sebagai akibat terjadinya penurunan tutupan dari padang
lamtm.

PADANG LAMUN SEBAGAI HABITAT BAGI HEWAN ASOSIASI


Padang lamun yang tumbuh rapat dengan subratnya merupakan habitat bagi algae dan hewan
asosiasi. Makroalgae epifirik dan diatom bentik tumbuh berkembang pada daun lamun yang
biasanya pada bagian permukaan daun yang didominasi oleh epifit, epifauna dan detritus.
Tempat berlindung dan habitat dari beberapa organisme merupakan peran yang penting dari
padang lamun. Pada setiap bagian lamun yaitu daun, rimpang dan akar akan memiliki perbedaan
keragaman biota. Hal ini akan berdampak pada peningkatan keragaman dari fauna asosiasi,
walaupun kenyataannya fauna tersebut tidak secara langsung memakan lamun, Lebih
lanjutKikucbi (1974) mengatakan bahwa pada padang lamun yang kepadatannya tinggi akan
memperlambat gerakan air yang diakibatkan oleh arus dan gelombang. Hal ini menyebabkan
tingginya keragaman fauna asosiasi dari mysid, hydromedusa dan juvenil ikan yang memang
menyukai daerah perairan tenang. Keadaan perairan yang tenang ini. juga mengakibatkan
mineral dan organik terlarut mudah mengendap di padang lamun. Kondisi seperti ini
menyebabkan terjadinya penangkapan sedimen oleh padang lamun yang merupakan salah satu
peran dari padang lamun.
Proses penangkapan sedimen oleh padang lamun akan membuat gundukan pada dasar perairan,
yang dapat digunakan sebagai habitat bagi hewan asosiasi. Disamping itu, rimpang lamun akan
tumbuh horizontal dan deposit dari daun lamun, serta sedimentasi dari suspended yang halus
merupakan hal yang baik bagi fauna bentik (Molinier & Picard, 1952).Lebih lanjut dikatakan
bahwa dari semua proses diatas, padang lamun adalah habitat yang baik untuk juvenil ikan
(nekton), dengan menggunakan padang lamun sebagai tempat berlindung dan mencari makan.
Selain itu, beberapa ikan dan cepalopoda menjadikan padang lamun sebagai tempat bertelur dan
peminjahan.

PADANG LAMUN SEBAGAI SUMBER MAKANAN BAGI DEWAN ASOSIASI


Sejauh ini beberapa avertebrata laut mencari makan dan tinggal pada daun lamun (Kikuchi,
1966, Thayer et al., )975). Bulu babi telah diketahui aktif memakan lamun, baik itu yang diamati
di alam, maupun penelitian yang dilakukan di laboratorium «Kempf, 1962; Fuji, 1967).
Menurut Randall (1965), diWest Indies terdapat 30 jenis ikan pemakan lamun dari 59 jenis ikan
berbivora yang diamati isi lambungnya. Meskipun demikian proses dekomposisi merupakan bal
yang penting, karena dekomposisi akan menghasilkan materi yang langsung dapat dikonsumsi
oleb hewan pemakan serasah. Serasah yang mengendap akan dikonsumsi oleh fauna bentik,
sedangkan partikel-partikel serasab di dalam kolom air merupakan makanan avertebrata yang
mernpunyai cara makan dengan penyaring. Pada gilirannya nanti bewan-hewan tersebut akan
menjadi mangsa dari karnivora lebib tinggi tingkatnya yang terdiri dari berbagai jenis ikan dan
avertebrata lainnya.
Komposisi dan keragaman jenis bewan asosiasi dapat juga tergantung dengan serasah atau materi
lamun. Hal ini berkaitan erat dengan rantai makanan (food web) yang terjadi di padang lamun
dan di ekosistem terumbu karang dan mangrove). Materi lamun berupa daun-daun yang putus
dan tanaman yang tercabut akan banyut ke lingkungan sekeliling dari padang lamun termasuk ke
eksositem mangrove atau terumbu karang (den Hartog, 1976).. Thayer et al. (1975)
memperkirakan bahwa 45% dari produksi lamun di Carolina Utara mungkin dibawa ke sistem di
sekitarnya. Beberapa peneliti memperkirakan bahwa padang lamun ini, juga memberikan
sumbangan terbadap produktivitas terumbu karang. Diperkirakan bahwa serasah yang diproduksi
oleb lamun mungkin membantu meningkatkan kelimpahan fito dan zooplankton di perairan
sekitar terumbu karang. Sementara itu, karang dan seluruh biota yang mempunyai cara makan
dengan penyaring yang bidup di perairan tersebut memanfaatkan (memakan) fito dan
zooplankton tersebut. Dengan pola seperti ini, maka energi yang diambil oleh lamun akan
dialibkan ke ekosistem terurnbu karang.
Lamun dapat dimakan oleb beberapa biota asosiasi, baik secara Jangsung maupun tidak
langsung. Dari bewan asosiasi avertebrata, banya bulu babi yang memakan langsung lamun,
sedangkan dari golongan vertebrata adalah beberapa jenis ikan (Scaridae, Acantburidae), penyu
dan duyun (McRoy & Helfferich, 1980). Materiallamun yang banyut akan didekomposisi oleh
beberapa larva dari Talitridae (Amphipoda). Hasil dari dekomposisi material lamun tersebut akan
dimakan oleh hewan asosiasi dasar.
Di perairan laut dalam sering ditemukan detritus dari Thalassia. Diperkirakan bahwa
dekomposisi lamun terjadi pada keadaan aerobik, dimana pada keadaan tersebut material lamun
terawetkan. Walaupun demikian, detritus lamun sebagai sumber makanan masih diperdebatkan
oleh beberapa biolog karena tingginya kandungan pentosan (Menzeis et al., 1967).

RANTAI MAKANAN DAN ALIRAN ENERGI


Pada suatu ekosistem lamun, terdiri dari lamunnya sendiri, bentik dan epifitik makroalgae,
pJaknton dan mikroalgae yang semuanya merupakan produser primer. Di samping itu, adanya
detritus organik dari produser primer tersebut yang disimpan dalam sedimen (substrat), Detritus
tersebut merupakan sumber makanan dari konsumer primer seperti bulu babi, ikan dan bewan
lain (Hatanaka & Iizuka, 1962; Kikuchi, 1966).
Beberapa epifauna avertebrata memakan epifitik dan algae yang menempel pada daun lamun.
Gastropoda kecil (Trochidae, Rissoidae dan Cerithiidae) dan amphipoda, isopoda merupakan
bewan yang memanfaatkan algae dan detritus sebagai sumber pakan. Di samping itu, beberapa
krustacea dan echinodermata merupakan pemakan lamun, algae dan detritus dari lamun (Fuse,
1962).
Hasil analisis isi perut dari beberapa ikan, ditemukan bagian-bagian dari lamun (Randall, 1967).
Beberapa ikan pelagis (Gobi) dan juvenil ikan yang berenang di padang lamun memakan
zooplankton yang ada di bawah daun lamun. Hal ini dapat dikatakan bahwa komunitas ikan di
padang lamun merupakan salah satu tingkat struktur dalam rantai makanan di padang lamun
(Hatanaka&Ii.zuka, 1962;Kikuchi, 1966).
Menurut Thayer et al. (1975) bahwa total produksi dari fitoplankton, algae dan lamun
diperkirakan 1550 KcaI/m2/tahun, sedangkan lamun menyumbang sekitar 213 dari jumlah kalori
tersebut. Di samping ituproduksi detritus dalam sedimen berkisar 21.000 KcaI/m2. Berdasarkan
hasil penelitian tentang aliran energi di padang lamun menunjukan bahwa konsumsi oleh
epifauna, infauna dan ikan melalui tahapan-tahapan, yaitu: respirasi dari biota, produksi dari
avertebrata melalui rasio respirasi dan asimilasi yaitu rata-rata 0,75 buat hewan herbifora dan
hewan pemakan detritus. Sedangkan konsumsi dari ikan diperkirakan dengan rasio 0,8 (Adams,
1976). Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi makrofauna di padang lamun setara dengan energi
55% dari produksi padang lamun, fitoplankton dan algea pada padang lamun tersebut.
Walaupun biota tersebut tidak meropunyai hubungan dengan lamun itu sendiri, banyak dari biota
tersebut mempunyai kontribusi terhadap keragaman pada komunitas lamun, tetapi tidak
berhubungan langsung dengan nilai ekonomi. Beberapa organisme hanya menghabiskan
sebagian dari siklus hidupnya di padang lamun, yaitu ikan dan udang yang mempunyai nilai
ekonomi penting. Sejumlah biota memperguna-kan padang lamun sebagai habitat, dan tempat
mencari makan. Di samping itu, biota asosiasi juga berperan dalam rantai makanan, dan energi di
ekosistem lamun.

Adams, S.M. 1976. The ecology of eelgrass, Zostera marina L., fish communities. I. Structural
analysis. J.Exp.Mar.Biol.Ecol. 22: 269-292.
Azllma,M., S.Matsumura, A, Hattori& T.Fukuda 1970. Ecological studies on the significance of
Zostera region for the biological production of fishes. IV. Seasonal fluctuation of some
environmental condition and biota in the Zostera belt and surrounding region in the coastal
waters of eastern part of Okayama Prefecture.. Okayama PrefFishExp.Sta. (inJapanese)., 60
p.den Hartog, C. 1976. The role of seagrass in shallow coastal waters inthe Caribbean. Stinapa
11: 84-86.
Fuji, A. 1967. Ecological studies on the growth and food consumption of Japanese common
littoral sea urchin, Strongylocentrotus intermedius (A.Agassiz). Mem. Fac.Fish.Hokkaido Univ.
15: 83-160.
Fuse, S. 1962. The animal community in the Zosterabelt. Physiol.Ecol.Japan11: 1-22
(inJapanese, with English summary).
Hatanaka, M. & K. Iizuka 1962. Studies on the fish community ofthe Zostera area. I. The
ecological order for feeding in the fish group related to the dominance species. Bull.Jap. Soc.
Sci. Fish. 28: 5-16 (in Japanese, with English summary).
Kempf: M. 1962. Recherches d' ecologie compare sur Paracentrotus lividus (Lmk.) et Arbacia
lixula L. (1). Rec. Trv.Sta. Mar.Endoume 25: 47-116.
Kikuchi, T. 1966. An ecological study on animal communities of the Zostera belt in Tomioka
Bay, Amakusa, Kyusu. Publ.Amakusa Mar.Biol.Lab. 1: 1-106.
Kikuchi, T. 1973. The seagrass bed ecosystem. In: Marine Ecology (G Yamamoto, ed.).
University Tokyo Press, Tokyo. Pp. 23- 37 (in Japanese).
Kikuchi, T. 1974. Japanese contribution on consumer ecology in eelgrass (Zostera marina L.)
beds, with special reference to tropic relationship and resources in inshore 6sheries.
Aquaculture4: 145-160.
Kikuchi, T & I.MPeres 1977. Consumer ecology of seagrass beds. In : Seagrass ecosystem; a
scientific perspecti ve. Marcel Dekker, Inc. New York. 147-194.
Ledoyer, M. 1962. Etude de la faune vagile de herbiers superficiels de Zosteracees de quelques
biotopes d 'algues littorals. Rec.Trav.Sta.MarEndoume 25: 117-233.
Ledoyer, M. 1968. Ecologie de la faune vagile des biotopes Mediterraneens accesibles en
scaphandre autonome (Region de Marseille principalement), IVSynthese de l'etude ecologique ..
Rec. Trav.Sta. Mar.Endoume44: 125-295.
Ledoyer, M. 1969. Ecologie de la faune vagile des biotopes Mediterraneens accesibles en
scaphandre autonome, V. Etudes des phenomenes nyethemeraux: Les variations nycthemerales
des population dans les biotopes. Tethys 1: 291-308.
Marsh, G.H. 1973. The Zostera epifaunal community in the York River, Virginia. Chesapeake
Sci. 14: 87-97.
McRoy, C.P. & C. Helffreich 1980. Applied aspects of seagrass . In : Handbook of seagrass
biology : an ecosystem perspective (RC. Philiiips and C.P. McRoy, eds.). : 297-343.
Menzies, F., lS. Zaneveld & R.M. Praitt 1967. Transported turtle grass as a sources organic
enrichment of abysal sediments of North Carolina. Deep-Sea Research 14: 111-112.
Molinier, R & I. Picard 1952.Recherche sur les herbiers de phanerogames marines du littoral
Mediterraneen frannncais. Ann.InstOceanogr.27(3): 157-234.
Nagle, J.S. 1968. Distribution of the epibiota of macrobenthic plants. Contr. Mar. Sci.
Univ.Texas13: 105-144.
Naikai Regional Fishery Research Laboratory 1967. Preseot states of the submerged vegetation
in the Setooaikai (Inland Sea of Japan). Publ. Naikai Reg. Fish. Res. Lab. Ser.C5(5): 21-38 (in
Japanese).
Orth, RJ. 1973. Benthic in fauna of eelgrass, Zostera marina beds. Chesapeake Sci. 14:258-269.
Randall, lE. 1965. Grazing effect on seagrass by herbivorous reef fishes in the West Indies.
Ecology 46: 225-260.
Randall, I.E. 1967. Food habits of reef fishes of the West Indies. Stud. Tropical Oceanogr. 5:
665-847.
Rasmussen, E. 1973. Systematics and ecology of the Isefjord marnine fauna. Ophelia 11:1-495.
Thayer,GW.,S.M. Adams&M.W.LaCroix 1975. Structural and fluctuation aspects of a recently
established Zostera marina community. EstuarineRes. I:518-540.

Anda mungkin juga menyukai