Anda di halaman 1dari 46

SURVEI DAN MONITORING

HABITAT LAMUN

MUHAMMAD ILHAM TATANAGARA


1704122182

JURUSAN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN
UNIVERSITAS RIAU
Padang lamun sebagai habitat makan duyung memiliki banyak
karakteristik, baik dari segi komposisi jenis, kerapatan, jenis substratnya
dan lain-lain. Menurut beberapa literatur, tidak semua tipe padang lamun
dimanfaatkan oleh duyung, karena pada umumnya duyung lebih menyukai
makan lamun yang berukuran kecil yang tumbuh pada substrat berpasir
untuk memakan rimpang lamun tersebut. Dengan demikian, untuk
mengetahui apakah keberadaan suatu padang lamun bermanfaat bagi
duyung perlu dilihat terlebih dahulu apakah terdapat jejak makan duyung
di padang lamun tersebut atau tidak. Setelah dipastikan terdapat jejak
makan kemudian dilanjutkan dengan pemasangan transek pengamatan di
lamun untuk mengetahui kondisi padang lamun secara keseluruhan.
Metode Pengamatan Jejak Makan
(Feeding Trail)
Pengamatan jejak makan duyung ini bertujuan untuk mendapatkan
informasi tentang keberadaan duyung di perairan yang terdapat padang
lamun dengan cara mengamati ada/ tidaknya jejak makan duyung pada
padang lamun tersebut dan memantau perubahannya sepanjang waktu.
Pengamatan ini juga bisa dipergunakan untuk melakukan pengelolaan area
makan duyung dengan melihat perubahannya atau dinamika letak dan
ukuran feeding trail dari dari waktu ke waktu. Metode ini dilakukan untuk
mengetahui area padang lamun yang dimanfaatkan duyung sebagai area
makannya.
Cara makan duyung tergantung pada morfologi lamun dan
substratnya. Saat duyung memakan jenis-jenis lamun yang berukuran kecil
(Cymodocea, Halophila, Halodule dan Syringodium) yang tumbuh pada
dasar perairan bersubstrat pasir halus, dengan mencongkel (menggunakan
mulutnya) seluruh bagian dari lamun tersebut maka akan meninggalkan
jejak makan (feeding trail) di padang lamun berupa aluralur dengan
panjang sekitar 30 cm sampai 6 meter dengan lebar sekitar 10-25 cm
(ukuran lebar muka duyung) (Gambar 16). Cara makan ini dikenal dengan
nama grazing. Saat duyung memakan lamun yang lebih besar (Enhalus
dan Thalassia) yang tumbuh pada substrat kasar dan padat, duyung akan
memotong daun lamun dan tidak meninggalkan jejak pada dasar perairan,
cara makan ini dikenal dengan nama cropping.
Ciri-ciri feeding trail antara lain :

1. Bentuk jejak makan berupa alur yang memanjang (dapat mencapai 6


m) dan memiliki lebar kurang lebih 9 sampai dengan 25 cm.
2. Terdapat pada padang lamun yang tumbuh pada substrat pasir.
3. Umumnya terdapat pada padang lamun jenis Halophila ovalis, Halodule
uninervis, Cymodocea rotundata dan Syringodium isoetifolium.
4. Pada alur baru atau jejak makan yang baru ditinggalkan oleh duyung
98% bersih dari lamun, namun pada jejak makan yang sudah lama
ditinggalkan mulai ditumbuhi lamun-lamun pionir seperti Halophila
ovalis, Halodule uninervis dan Syringodium isoetifolium.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan metode
pengamatan jejak makan (feeding trail) ini adalah:

1. Menentukan apakah ada padang lamun di area pasang surut intertidal


atau di subtidal di wilayah yang akan diteliti.

2. Memerlukan waktu dan kejelian untuk mendeteksi dan memetakan


jejak makan di daerah subtidal terutama di perairan yang keruh.

3. Bentuk jejak makan akan bervariasi dan sulit dibedakan dengan bekas
lain, seperti: bekas tambatan kapal, bekas baling kapal, jangkar kapal
dan aktivitas manusia.
4. Jejak makan yang secara intensif dibuat oleh satu atau lebih duyung
memiliki kepadatan yang sama dengan jejak makan oleh kelompok
besar, sehingga membuat kesimpulan mengenai kelimpahan relatif
jumlah individu duyung dengan menggunakan parameter jejak makan,
membutuhkan banyak asumsi yang perlu dibuat secara eksplisit.

5. Konsultasi dengan peneliti berpengalaman dapat dilakukan untuk


mengetahui desain studi, pengumpulan dan analisis data.
6. Menentukan teknik yang sesuai dengan kondisi wilayah yang akan
disurvei atau pembiayaan. Jejak makan duyung dapat dideteksi dan
dipetakan saat air surut oleh beberapa teknik mulai dari pengamat yang
berjalan kaki, hingga teknologi maju seperti pesawat tanpa awak
(unmanned aerial vehicle/UAV), fotogrametri dan algoritma pengenalan
citra.

7. Pengamatan harus dicatat secara konsisten untuk memungkinkan


perbandingan datanya.
Peralatan dan bahan yang digunakan dalam pengamatan jejak
makan antara
lain:
1. Alat pelindung diri, seperti topi, pakaian untuk menyelam, sepatu untuk
menyelam.
2. Obatan-obatan dan peralatan P3K.
3. Perahu.
4. Papan mantatow/ kayu.
5. Global Positioning System (GPS).
6. Water quality checker (jika memungkinkan).
7. Peralatan snorkeling (masker, snorkle, fin).
8. Peralatan SCUBA Diving (air tank, regulator, BCD).

9. Lembar data pada kertas anti air.

10. Pensil 2B (lebih baik tipe benzia/cabut-cabut)

11. Kamera bawah air

12. Alat ukur berupa meteran (5 m)


Personil yang dibutuhkan
Personil yang dibutuhkan dalam kegiatan ini minimal dua orang,
dengan peran sebagai berikut:

1. Satu orang untuk mencatat, mengambil koordinat dan


mendokumentasikan.

2. Satu orang melakukan pengukuran parameter air, melakukan


mantatow dan mengukur feeding trail
Pengambilan Data
Keberadaan jejak makan dicari dengan melakukan snorkeling di area-
area yang diindikasikan telah dijumpai duyung. Jika memungkinkan
pencarian terhadap jejak makan dapat pula dilakukan dengan cara
mantatow untuk memperbesar kapasitas pencarian. Terkadang peralatan
SCUBA dibutuhkan jika jejak makan ditemukan di kedalaman lebih dari 3
m. Jika jejak makan ditemukan di suatu lokasi, maka dilakukan :

1. Pencatatan posisi/koordinat.

2. Pendokumentasian (foto)
3. Pencatatan waktu dan kedalaman.

4. Pengukuran dimensi jejak makan: lebar dan panjang dari masing-masing


jejak makan. Hal ini dapat digunakan sebagai data awal untuk estimasi
jumlah individu duyung yang ada di wilayah tersebut.

5. Bila memungkinkan, amati sisa-sisa lamun di dalam jejak makan


tersebut dan catat jenisnya. Atau bila jejak makan bersih dari lamun,
bisa diamati dan dicatat jenis lamun yang ada di sekeliling jejak makan.

6. Data-data tersebut dicatat pada lembar data jejak makan duyung


sebagai berikut.
Analisis Data dan Pelaporan
Analisis singkat dari hasil pengamatan jejak makan duyung antara lain
sebagai berikut:
1. Koordinat jejak makan dapat dimasukkan ke dalam Google earth atau
google map atau piranti lunak (software) pemetaan lainnya untuk
membuat sebaran jejak makan.
2. Bila lebar jejak makan beragam maka dapat diperkirakan duyung yang
makan di area tersebut lebih dari satu individu. Data lebar jejak makan
dapat mengindikasikan individu yang berbeda satu dengan lainnya dan
berkorelasi dengan usia individu.
3. Data dimensi jejak makan juga dapat dijadikan dasar dari perkiraan
berapa banyak lamun yang dimakan oleh duyung.

4. Dari data jenis lamun dapat diketahui jenis lamun apa yang dimakan
oleh duyung di padang lamun tersebut.
Metode Transek
Transek pada padang lamun bertujuan untuk mengetahui kondisi
padang lamun, yang meliputi banyak jenis, kerapatan dan statusnya.
Dengan mengetahui parameter-parameter tersebut, kondisi padang lamun
dapat dimonitor secara berkala dan dievaluasi bila terdapat perubahan
kondisi pada padang lamun tersebut.
Metode transek yang digunakan adalah adaptasi dari metode Seagrass
Watch (McKenzie et al. 2003) dan Manual Monitoring Padang Lamun
COREMAP CTI (Rahmawati et al. 2014), agar data yang dikumpulkan dapat
dikomparasi secara global dan berkontribusi pada data nasional. Untuk
efisiensi waktu, sebaiknya metode ini dilaksanakan setelah diketahui
lokasi-lokasi padang lamun yang terdapat keberadaan duyung melalui
metode kuisioner atau wawancara dengan masyarakat setempat. Lebih
baik lagi bila metode transek ini dilakukan pada lokasi yang terdapat jejak
makan (feeding trail) duyung.
Peralatan dan Bahan
Peralatan dan bahan yang digunakan ketika melakukan transek di
padang lamun (Gambar 17), yaitu :
1. Alat pelindung diri, seperti topi dan sepatu untuk menyelam.
2. Obat-obatan dan peralatan P3K.
3. Perahu.
4. GPS.
5. Water quality checker
6. Peralatan Snorkeling (masker, snorkle, fin).

7. Peralatan SCUBA Diving (air tank, regulator, BCD).

8. Lembar data (pada kertas anti air).

9. Pinsil 2B (lebih baik tipe benzia/cabut-cabut).

10. Kamera bawah air


11. Roll meter (100-200m).

12. Kuadrat (50 x 50 cm).

13. Patok besi (minimal 30 cm).

14. Pelampung tanda.

15. Plastik dan label (jika dibutuhkan pengambilan sampel lamun).


Personil yang dibutuhkan
Dalam melaksanakan transek di padang lamun diperlukan minimal 3
orang, dengan tugas sebagai berikut :
1. Satu orang untuk mencatat dan mendokumentasikan.

2. Satu orang mengamati dan mengestimasi tutupan lamun.

3. Satu orang operator water quality checker.


Pengambilan Data
Sebelum melakukan kegiatan, informasi tentang kondisi pasang
surut di lokasi harus diketahui dengan melihat tabel pasang surut atau
bertanya pada penduduk lokal. Hal ini dilakukan untuk menentukan waktu
terbaik turun ke lapangan.
Sebelum memulai pengamatan lamun dalam transek, beberapa
informasi yang harus dicatat antara lain: keterangan lokasi seperti nama
lokasi, nomor stasiun transek, pengambil data, tanggal dan waktu. Selain
itu, informasi umum lokasi pengamatan juga penting untuk dicatat, antara
lain cuaca, kedalaman, kecerahan, keberadaan mangrove, sungai,
penduduk, dermaga, dan aktivitas penduduk yang ada.
Di dalam metode ini, transek yang digunakan berupa garis sebanyak
tiga unit ditarik tegak lurus garis pantai, mulai dari lamun pertama
ditemukan hingga 100 meter. Bila padang lamun berakhir pada jarak
kurang dari 100 m, garis transek bisa disesuaikan hingga ujung padang
lamun. Pada meter ke-0 dan ke-100 di tiap transek dilakukan pencatatan
koordinatnya, hal ini dilakukan agar monitoring di masa yang akan datang
dapat dilakukan lokasi transek di titik yang sama. Pada salah satu transek,
garis transek dilanjutkan hingga ke area tubir, hal ini dilakukan untuk
mendapatkan gambaran distribusi jenis lamun dan tutupannya dari awal
padang lamun di pantai hingga tubir (Gambar 18). Kegiatan tambahan
pengamatan distribusi lamun hingga ke tubir ini dilaksanakan apabila
pengamatan pada ketiga transek 100 m telah selesai dilakukan dan kondisi
masih memungkinkan untuk bekerja.
Pada setiap transek dilakukan pendataan jenis dan tutupan lamun
dengan menggunakan kuadrat berukuran 50 x 50 cm pada sisi kanan garis
transek. Pada 50 meter pertama, pengamatan pada kuadrat dilakukan
setiap 5 m, sedangkan dari meter ke-50 hingga ke-100 diambil tiap 10 m.
Dengan demikian, pada transek terdapat 16 titik kuadrat pengamatan
(Gambar 14). Pada setiap kuadrat dicatat jenis dan tutupan (%) lamunnya
serta tipe substratnya (Lampiran 2). Untuk transek tambahan hingga tubir,
pengamatan dengan kuadrat dilakukan jika ditemui perbedaan komposisi
jenis dari kuadrat sebelumnya serta dicatat posisinya dengan GPS.
Dalam melakukan metode transek terkadang kita juga memerlukan
peralatan SCUBA Diving jika lamun berada di kedalaman tertentu. Selain
itu, bila memungkinkan, data kualitas lingkungan perairan seperti salinitas,
suhu, oksigen terlarut (DO) dan lain-lain juga dicatat dengan
menggunakan water quality checker.
Tahapan pemantaun dengan metode transek sebagai berikut:

1. Catat koordinat titik awal (meter ke-0) dan tandai dengan patok dan
pelampung tanda untuk memudahkan pencarian kembali di waktu
selanjutnya. Lakukan hal yang sama pada meter ke-100. Pada
pengamatan tambahan (di atas 100 m menuju tubir), koordinat setiap
titik pengamatan dicatat.
2. Tarik meteran dari meter ke-0 tegak lurus ke arah laut hingga 100 m
untuk membuat garis transek. Bila terlihat adanya jejak makan duyug,
usahakan garis transek melewati area tersebut untuk mengetahui jenis
lamun yang dimakan duyung.
3. Bila membawa alat pengukur kualitas air, maka pengukuran dapat
dilakukan di setiap kuadrat atau minimal satu kali pada setiap lokasi
pada pertengahan transek.

4. Pada setiap transek dilakukan pengamatan tutupan lamun dengan


menggunakan kuadrat berukuran 50 x 50 cm pada sisi kanan garis
transek (Gambar 19).
5. Untuk pengamatan tutupan lamun dapat menggunakan standar
Seagrass Watch atau estimasi tutupan model COREMAP CTI. Pada
standar Seagrass Watch sudah ada beberapa gambar yang bisa
digunakan sebagai standar persen tutupan (Gambar 20). Standar ini
mudah digunakan bila lamun yang ada di lapangan sama dengan jenis
lamun yang ada di gambar standar, apabila jenisnya berbeda maka
perlu penyesuaian sesuai perkiraan. Pada teknik estimasi model
COREMAP CTI, perkiraan tutupan lamun dibuat dalam kategori
berdasarkan tutupan lamun pada empat kotak kecil di dalam kuadrat
(Gambar 21). Setelah itu, nilai empat kotak tersebut dirataratakan
sebagai nilai tutupan untuk kuadrat tersebut.
6. Tutupan vegetasi lamun dalam kuadrat merupakan data utama yang
diperlukan untuk menentukan kondisi padang lamun. Bila
memungkinkan dan agar data yang diperoleh lebih bermakna maka bisa
dilakukan juga pengamatan besar tutupan untuk tiap jenis lamun yang
ada di dalam kuadrat tersebut. Caranya adalah dengan mengidentifikasi
dahulu jenis lamun yang ada kemudian diperkirakan proporsi tutupan
daun tiap jenis terhadap tutupan vegetasi lamun yang sebelumnya
dihitung. Dengan demikian, berdasarkan data tersebut, akan dapat
dianalisis: besarnya tutupan lamun, kekayaan jenis lamun, dan jenis
lamun yang dominan di padang lamun tersebut.
7. Untuk membantu identifikasi di lapangan, data menggunakan lembar
panduan identifikasi lamun yang memberikan informasi ciri khas tiap
jenis lamun yang umum dijumpai (Gambar 22).
8. Tipe substrat di tiap kuadrat dicatat dengan cara memilinnya oleh
tangan. Kemudian tentukan tipe substrat yang dominan apakah lumpur,
pasir, atau pecahan karang.

9. Pengamatan dilakukan pada setiap kuadrat. Pada 50 meter pertama


kuadrat diletakan setiap 5 meter, setelah meter ke-50 dilanjutkan
peletakan kuadrat di setiap 10 meter hingga meter ke-100.

10. Setelah transek pertama selesai, geser 25 meter ke arah samping


untuk membuat transek yang ke dua. Lakukan kembali langkah nomor 3
hingga 9. Begitu pula dengan transek yang ke tiga.
11. Bila masih memungkinkan, lakukan pengamatan pada meter ke-100 ke
arah tubir untuk memperoleh data padang lamun yang lebih banyak.
Amati perubahan tutupan dan komposisi jenis lamun dan catat
koordinatnya.

12. Pada monitoring selanjutnya, cari posisi titik nol tiap transek dan
lakukan kembali pemasangan transek dan pengamatan tiap kuadrat.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai