Anda di halaman 1dari 10

PRAKTIKUM 2

ESTIMASI KEMELIMPAHAN POPULASI SERANGGA


(METODE CMRR)

I. Tujuan
Dapat memperkirakan ukuran populasi belalang (Locusta sp.) dengan menggunakan
metode capture-mark-release-recapture (CMRR ).

II. Dasar teori


Di dalam penelitian ekologi seringkali seseorang perlu mendapatkan informasi besarnya
populasi makhluk hidup di alam, baik di laboratorium, di lapangan medan penelitian seperti di
hutan, pantai, di rawa maupun di sungai atau lautan. Kerap kali pertanyaan pertama yang harus
dicari jawabannya ialah tentang berapa kerapatan populasi, yaitu cacah individu seluruh jenis
populasi itu tetntu saja yang paling akurat ialah dengan cara menghitung segenap mahluk hidup
yang dimaksud, namun situasi alam sering kali tidak memperkenankan pelaksanaan hal itu
terutama pada perhitungan hewan, misalnya burung atau harimau. Mungkin medan habitat
sebagian tidak dapat atau sukar dicapai atau beberapa individu berkelakuan sulit. Di samping itu
pergerakan hewan dari dan ke arah sensus menyebabkan tidak akuratnya perhitungan.
Populasi organisme dapat dihitung secara mutlak, namun hal itu seringkali akan
menimbulkan gangguan sehingga tujuan penelitian menjadi bias. Selain itu, perhitungan total
tidak praktis, sebab populasi mahkluk hidup itu sangat besar seperti ikan di suatu perairan
misalnya, dan biayanya sangat besar. Perhitungan populasi baik untuk hewan ataupun tumbuhan
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan cara langsung dan tidak langsung dengan
memperkirakan besarnya populasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan sifat hewan atau
tumbuhan yang akan di hitung. Misalnya, untuk padang rumput dapat digunakan metode kuadrat
untuk memperkirakan memperkirakan populasi dengan cara ‘track count´ atau ‘fecal count´.
Untuk hewan yang ralatif mudah ditangkap, misalnya tikus, belalang dapat di perkirakan dengan
metode capture-mark- release-recapture (CMRR).
Perlu diingat dan harus diperhitungkan adanya kesalahan, baik sejak perencanaan
maupun sampai ke pelaksanaan dan juga analisanya serta interprestasinya. Pengaruh luas medan
penelitian dan unit pengambilan sampel letak stasiun pengambilan cuplikan, jenis alat sampling,
waktu sampling, semuanya harus dimasukan dalam analisis. Demikian pula pengaruh lingkungan
dan cuaca. Metode capture-mark-release-recapture secara sederhana adalah menangkap hewan,
menandai, melepaskan, dan menangkap kembali, kadang-kadang ada beberapa hewan yang
bersifat suka ditangkap (trap happy) atau susah ditangkap (trapsy), dalam pelaksanaan metode
ini perlu diasumsikan bahwa (Southwood, 1971 dalam Adisendjaja, et.at, 2001) :
1. Hewan yang ditandai tidak terpengaruh dan tanda tidak mudah hilang.
2. Hewan yang tercampur secara homogen dalam populasi.
3. Populasi harus dapat sistem tertutup (tidak ada emigrasi atau emigrasi dapat dihitung).
4. Tidak ada kelahiran dan kematian dalam perioda sampling (jika ada selama jumlahnya relatif
tetap, secara regular tidak ada masalah).
5. Hewan yang tertangkap sekali atau lebih, tidak akan mempengaruhi kemungkinan
penangkapan selanjutnya
6. Populasi disampling secara random dengan asumsi:
a. Semua kelompok umur dan jenis kelamin dapat ditangkap secara proposional.
b. Semua individu mempunyai kemampuan yang sama untuk tertangkap (probabilitas
tertangkapnya hewan yang ditandai sama untuk setiap anggota populasi equal
catchability)
7. Sampling dilakukan dengan interval waktu yang tetap termasuk penanganannya yang tidak
terlalu lama.
8. Hewan yang ditandai mempunyai probabilitas kesintasan.

Kriteria Penandaan
Kriteria penandaan yang ideal (Michael, 1985 dalam adisendjaja, et.at.al, 2001) adalah
sebagai berikut :
a. Mudah; sehingga sejumlah besar individu dapat ditangkap, ditandai dan dilepaskan dengan
tenaga minimum tanpa melibatkan peralatan dan tata kerja yang rumit
b. Penanganan minimum untuk hewan, hindari peredaran/penyebaran aroma manusia pada
hewan-hewan yang menyebabkan pola perilaku dan peran dalam ekosistem berubah.
c. Penandaan mudah dikenali
d. Penandaan tahan lama dan persisten terhadap berbagai tingkat kehidupan organisme.
e. Penandaan tidak menyebabkan pengaruh biologis yang merusak pada organisme yang
ditandai.

Teknik penandaan
1. Hewan besar
a. Menggunakan cap/stempel dari bahan yang tidak mudah luntur
b. Jepit rambut dengan pola tertentu yang dapat bertahan sampai pergantian bulu/rambut
berikutnya.
c. Pewarnaan biasa dilakukan pada burung dan mamalia, dan tidak tahan lama.
d. Pemasangan tanda di telinga.
2. Burung (kelelawar); cincin atau pita logam.
3. Mamalia kecil, reptil dan amphibia.
a. Penjepitan jari; kuku dan jari dipotongterus dijepit, tidak boleh menjepit lebih dari tiga
jari.
b. Ular digunakan penjepit skala ventral tepat didepan kloaka.
c. Kura-kura digunakan penorehan tepi tempurung dengan pola tertentu.
d. Ikan; penyematan tanda pada rahang atau bagian tubuh lainnya.
4. Serangga
a. Kupu-kupu ditandai dengan mengusap permukaan atas sisik kemudian ditempeli kertas
tipis yang ditulisi dengan bahan tahan air.
b. Kutu busuk, setitik cat minyak pada lokasi tertentu.
5. Penandaan dengan memberikan makanan pewarna
a. Kotoran bisa ditelusuri.
b. Bekas jejaknya misalnya pada siput.
6. Penandaan dengan penyuntikan pewarna untuk arthropoda tertentu sampai pergantian kulit.
7. Isotop radioaktif dan biotelemetry
Penanganan dan penandaan
1. Untuk penyemprotan, penandaan dengan tinta bisa dilakukan langsung.
2. Untuk penandaan dimana hewan perlu diam.
a. Dibius dengan kloroform.
b. Dengan cara didinginkan, dimana hewan ditaruh pada nampan yang berisi es atau masukan
pada lemari pendingin.

III. Alat dan Bahan


- 3 jaring serangga.
- Spidol (untuk penanda)
- Kantung plastik/ toples plastik yang sudah dibolongi (untuk menyimpan hasil tangkapan)

IV. Cara Kerja


1. Pengamatan dilakukan dipagi hari mulai pukul 08.00 - 10.00. WIB.
2. Lokasi sampling belalang ditentukan dengan membentuk garis khayal sepanjang 10 m.
3. Sampling belalang dilakukan dengan berjalan sambil menyapukan jaring serangga (sweaping
net) di sepanjang garis khayal dan kembali lagi ke tempat semula.
4. Belalang yang tertangkap dikumpulkan terlebih dahulu dimasukkan ke dalam wadah
(pastikan ada udara yang masuk agar belalang tidak mati).
5. Lakukan penangkapan hingga selesai sepanjang garis khayal (capture).
6. Setelah itu belalang yang didapat ditandai (mark) dengan spidol pada bagian yang terlihat
seperti diatas cepalnya dan dihitung kemudian catat dalam tabel.
7. Setelah itu semua belalang yang sudah ditandai di lepaskan kembali (release).
8. Kemudian dilakukan pencuplikan kembali pada kisaran waktu 15.00 – 17.00 WIB dengan
menyapukan jaring serangga (sweaping net) di sepanjang garis khayal dan kembali lagi ke
tempat semula. Dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali.
9. Selama proses recapture dihitung berapa belalang yang tertangkap yang sudah tertanda dan yang
belum tertanda dicatat dalam tabel.
10. Data hasil pencuplikan dimasukkan ke dalam tabel untuk dihitung berapa jumlah populasinya
dengan metode petersen
V. Tabel Hasil Pengamatan
Tabel 1. Tabel hasil pencuplikan hewan
I M n R M.n M-R n-R
1.
2.

Keterangan:
I : Waktu pencuplikan
M : Jumlah individu yang tertangkap pada penangkapan pertama.
n : Jumlah individu yang tertangkap pada penangkapan kedua.
R : Jumlah individu yang tertangkap kembali pada penangkapan kedua
N : Jumlah populasi

Metode Petersen:
Metode Petersen dapat ditentukan dengan menggunakan rumus:

Untuk menghitung kesalahan dari perhitungan yang telah dilakukan, dilakukan dengan
menggunakan rumus:

Setelah diukur standar erronya, kemudian ditentukan selang kepercayaannya dengan rumus:

Metode Schnable
Metode Scnable dapat ditentukan dengan menggunakan rumus:
Untuk menghitung kesalahan (error) metode CMRR dapat dilakukan dengan cara
menghitung kesalahan baku (standar errornya) dengan rumus:

Selang kepercayaan dari penghitungan dinyatakan dalam:

DaftarPustaka
Adisendjaja, Y. H., et.al. (2000). Pedoman Praktikum Ekologi Hewan Jurusan Pendidikan
Biologi FPMIPA UPI . Bandung.
Kimbal. J. W. (1994). Biologi. Edisi kelima Jakarta. Erlangga.
Nurjaman, S. (2010). Modul Ekologi Hewan. Fosil Production
Bandung.
Hoeve, W. V. (1995). Ensiklopedi Indonesia Seri Fauna Serangga. PT. Ichtiar Baru Van
Hoev.
STUDI KOMUNITAS FAUNA TANAH

I. Tujuan
Untuk mengkaji keragaman dan komunitas fauna tanah pada berbagai habitat
dengan perbedaan komposisi tumbuhan.

II. Dasar Teori


Kualitas tanah merupakan kemampuan tanah yang menggambarkan ekosistem
tertentu untuk keberlanjutan sistem pertanian. Kualitas tanah menunjukkan sifat fisik,
kimia dan biologi tanah yang berperan dalam menyediakan kondisi untuk pertumbuhan
tanaman, aktivitas biologi, mengatur aliran air dan sebagai filter lingkungan terhadap
polutan (Doran dan Parkin, 1994). Tingkat dekomposisi, dan kedalaman tanah sangat
mempengaruhi kualitas lahan.
Kualitas tanah umumnya ditentukan oleh sifat fisik dan kimia tanah. Salah satu
alternatif yang dapat digunakan untuk menentukan kualitas tanah dengan biaya relatif
murah, tetapi cepat dan akurat, adalah dengan mengunakan organisme dalam tanah
sebagai bioindikator. Paoletti et al. (1991) mendemonstrasikan bahwa fauna tanah dan
mikroorganisme dapat digunakan sebagai bioindikator kualitas tanah akibat perubahan
lingkungan di Australia.
Organisme sebagai bioindikator kualitas tanah bersifat sensitif terhadap
perubahan, mempunyai respon spesifik dan ditemukan melimpah di dalam tanah
(Primack, 1998). Salah satu organisme tanah adalah fauna yang termasuk dalam
kelompok makrofauna tanah (ukuran > 2 mm) terdiri dari milipida, isopoda, insekta,
moluska dan cacing tanah (Wood, 1989). Makrofauna tanah sangat besar peranannya
dalam proses dekomposisi, aliran karbon, redistribusi unsur hara, siklus unsur hara, dan
pembentukan struktur tanah (Anderson, 1994). Biomasa cacing tanah telah diketahui
merupakan bioindikator yang baik untuk mendeteksi perubahan pH, keberadaan
horison organik, kelembaban tanah dan kualitas humus. Rayap berperan dalam
pembentukan struktur tanah dan dekomposisi bahan organik (Anderson, 1994).
Penentuan bioindikator kualitas tanah diperlukan untuk mengetahui perubahan
dalam sistem tanah akibat pengelolaan yang berbeda. Perbedaan penggunaan lahan
akan mempengaruhi populasi dan komposisi makrofauna tanah (Lavelle, 1994).
Pengolahan tanah secara intensif, pemupukan dan penanaman secara monokultur pada
sistem pertanian konvensional dapat menyebabkan terjadinya penurunan secara nyata
biodiversitas makrofauna tanah (Crossley et al., 1992; Paoletti et al., 1992; Pankhurst,
1994). Mengingat pentingnya peran fauna tanah dalam menjaga keseimbangan
ekosistem tanah dan masih relatif terbatasnya informasi mengenai keberadaan fauna
tanah, perlu dieksplorasi potensi fauna tanah sebagai bioindikator kualitas tanah. Fauna
tanah termasuk di dalamnya serangga tanah, memiliki keanekaragaman yang tinggi dan
masing-masing mempunyai peran dalam ekosistem. Diharapkan informasi yang
didapatkan bisa digunakan sebagai data pendukung dalam pengelolaan lahan.

III. Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam praktikum ini adalah:
1. Gelas plastik dengan ukuran yang seragam
2. Tali rapia 1 gulungan besar
3. Termometer
4. Soil tester (menyesuaikan)
5. Hygrometer
6. Sekop
7. Larutan deterjen & alcohol 70%
8. Kantung plastik sampel
9. Kertas label

IV. Cara Kerja


a. Metode Pit fall trap
1. Terlebih dahulu dibuat plot kuadrat seluas 100 m2 (atau disesuaikan
dengan luasan lahan keseluruhan) di setiap lahan terpilih, kemudian
setiap plot dibagi menjadi tiga hingga lima sub plot.
2. Dilakukan pengukuran suhu tanah, kelembaban tanah, pH tanah, jenis
tanah, deskripsi komposisi vegetasi di sekitar plot pengamatan, dan
penggunaan lahan yang dipakai untuk eksperimen.
3. Pada setiap plot dibuat lubang untuk menempatkan jebakan pit fall,
dengan mulut jebakan sejajar dengan permukaan tanah.
4. Cawan diisi dengan larutan alcohol 70% atau larutan deterjen.
5. Perangkap diambil setelah 3 jam pengamatan

b. Metode monolith
1. Monolith dibuat dengan menggali tanah berukuran 25 x 25 cm hingga
kedalaman 30 cm.
2. Penggalian tanah dilakukan sebanyak 3 ulangan.
3. Dilakukan pengambilan dan penghitungan makrofauna tanah yang
ditemukan dari tanah hasil galian.
4. Makrofauna yang terkoleksi kemudian dihitung dan diawetkan dalam
alkohol 70% untuk dihitung dan diidentifikasi.
c. Analisis data
Data yang diperoleh dari estimasi populasi makrofauna ditentukan
indeks keanekaragamnnya dengan menggunakan Indeks keanekaragaman
Shannon-Wienner. Uji korelasi dilakukan terhadap parameter kualitas tanah
(pH tanah, kadar air dan suhu) dengan diversitas dan populasi makrofauna tanah
dominan untuk menentukan potensi makrofauna tanah tertentu sebagai
bioindikator kualitas tanah.

Daftar Pustaka
Anderson, J. M. 1994. Functional Attributes of Biodiversity in Landuse System: In D.J.
Greenland and I. Szabolcs (eds). Soil Resiliense and Sustainable Land Use.
CAB International. Oxon.

Crossley Jr., D. A, Mueller BR & Perdue JC. 1992. Biodiversity of microarthopds in


agricultural soil: relations to processes. Agric. Ecosyst. Environ. 40,37-46.
Doran, J. W & Parkin. 1994. Definning and assessing soil quality, IN J.W. Doran D.C.
Coleman D.F. Bezdick and B.A Stewart (eds). Defining Soil Quality for
Sustainable Enironment. SSSA Special Publication 35. SSSA. Madison pp 3 -
21.

Pankhrust, C. E. 1994. Biological Indicators of Soil Health and Sustainable


Productivity. In D.J. Greendland and I. Szabolcs (eds). Soil Resiliense and
Sustainable Land Use. CAB International. Oxon.

Paoletti, M. G, Favretta MR, Stinner SB, Purrington FF, & Bater JE. 1991.
Invertebrates as bioindicator of soil use. In D.J. Greendland and I. Szabolcs
(eds). Soil Resiliense and Sustainable Land Use. CAB International. Oxon.

Primack, B. R, Supriatna J, Indrawan M. & Kramadibrata P. 1998. Biologi Konservasi.


Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Wood, M. 1989. Soil Biology. Chapman and Hall. New York.

Anda mungkin juga menyukai