Anda di halaman 1dari 82

MANAJEMEN & KESEHATAN

SATWA AKUATIK
TEORI DAN KONSEP
PEMANTAUAN KESEHATAN
POPULASI PENYU LAUT
KELOMPOK 1
KELAS D

• I WAYAN MUDIANA (1809511008)


• I NYOMAN SURYA TRI HARTAPUTERA (1809511040)
• I WAYAN CHANDRA DHARMAWAN (1809511041)
• PUTU ADITYA PRATAMA ARTA PUTRA (1809511048)
• ANGEL NOVELYN LEONARD (1809511078)
TABLE OF CONTENTS

1 2
Introduction Materi & Metode
You could describe the You could describe the
topic of the section here topic of the section here

3 4
Results Discussion
You could describe the You could describe the
topic of the section here topic of the section here
1
INTRODUCTION
Dewasa ini, semua jenis penyu Laut di Indonesia
dikategorikan terancam punah sehingga diberikan
status dilindungi oleh Negara. Pengelolaan konservasi
yang memadai mesti segera dilakukan. Namun
demikian, tanpa disertai dengan kecukupan
pengetahuan terhadap biologinya, desain strategi
pengelolaan konservasi penyu yang efektif tak
mungkin bisa dirumuskan. Desain pengelolaan
konservasi yang baik membutuhkan adanya
dukungan data yang valid dengan realibilitas tinggi.
DATA ESENSIAL DIMAKSUD MELIPUTI :

• Jumlah populasi penyu di suatu tempat


penelusuran
• Struktur ukuran (umur) populasi penyu tersebut
• Frekuensi bertelur per musin peneluran
• Interval bertelur per musim peneluran
• Interval remigrasi
• Jumlah telur persarang dan angka penetasannya
• Rasio kelamin tukik yang dihasilkan
KEUNIKAN PENYU LAUT
• Berlokasi di antara isometris 20°C Utara-
Selatan, perairan Indonesia dikaruniai enam
dari tujuh jenis penyu yang masih tersisa di
Bumi. Satu – satunya penyu yang tidak
pernah ditemukan di Indonesia adalah
penyu kempi/Kemp ridley (Lepidochelys
kempi) yang sebarannya diketahui terbatas
di perairan Amerika Latin.
• Siklus hidup penyu laut yang sangat special.
Perilaku yang menakjubkan dan cakupan
wilayah habitat hidup yang penuh dengan
keindahan, keunikan dan luas; meliputi
lautan lepas hingga pesisir pantai.
KEUNIKAN PENYU LAUT
• Penyu laut juga bernafas dengan paru – paru.
Bedanya adalah, penyu Laut harus
menyelesaikan dan melengkapi semua siklus
hidupnya hampir seluruhnya di laut. Sesaat
setelah mereka menetas dan muncul ke
permukaan pasir pantai, mereka akan segera
bergerak menuju air laut untuk selanjutnya
berenang hingga menemukan habitat untuk
berkembang dan menjadi dewasa. Setelah
melengkapi proses vitellogenesis atau
pembentukan sel – sel telurnya, penyu betina
akan kembali ke darat; menuju pantai
tempatnya ditetaskan. Namun penyu jantan
tak pernah kembali ke darat
KEUNIKAN PENYU LAUT
• Penyu laut adalah salah satu satwa di muka
bumi ini dengan masa hidup yang sangat
panjang. Waktu yang dibutuhkannya untuk
menjadi dewasa sangat lama, dan
kebanyakan jenis mesti berpindah – pindah
dari habitat satu ke yang lainnya selama
periode tersebut. Tukik atau penyu remaja
bermigrasi panjangt saat fase pelagis di
lautan lepas. Demikian pula halnya penyu
dewasa ketika berpindah dari lokasi
tempatnya mencari makan (ruaya pakan) dan
lokasi perkawinan serta penelurannya.
WHOA!
Ancaman terhadap Penyu
Laut di Indonesia
Ancaman terhadap penyu laut di Indonesia
• Tak seperti bangsa burung yang selalu menjaga dan
mengerami telur – telurnya, penyu laut tak memiliki
kebiasaan ini. Penyu laut betina segera akan
meninggalkan telur – telurnya sesaat setelah
ditelurkan, dan sepenuhnya menyerahkan nasib sarang
– sarang telurnya kepada alam.
• Namun pada beberapa dasawarsa terakhir ini, banyak
hal telah berubah secara fundamental. Penyu laut tak
lagi aman saat bertelur di pantai, saat berenang di
ruaya pakan, maupun saat bermigrasi antara ruaya
bertelur dan ruaya pakan.
• Ribuan penyu acapkali ditangkap pertahun untuk
disembelih. Telurnyapun tak terluput. Perkembangan
aktivitas perikanan, baik yang menggunakan jarring
insang (gill net), rawai panjang (longline), maupun
pukat (trawl) di perairan Indonesia juga menimbulkan
dampak yang tak kalah buruknya
Ancaman terhadap penyu laut di Indonesia
• Erosi, penambangan pasir, dan
pembangunan tak terkontrol di wilayah
pantai banyak terjadi di Indonesia. di
beberapa lokasi peneluran, jumlah
predator yang semaking banyak ,
seperti babi hutan, biawak dan anjing –
anjing liar adalah kendala yang hingga
kini tak kunjung terselesaikan.
Perubahan iklim yang menyebabkan
naiknya permukaan air laut dan
menyebabkan berubahnya daya tetas
maupun keseimbangan rasio kelamin
tukik penyu adalah hal terburuk yang
jika tidak diintervensi dengan memadai,
akan segera menamatkan cerita penyu
Laut di Indonesia, bahkan di Bumi.
2
MATERI & METODE
Dalam penugasan
"TEORI DAN KONSEP PEMANTAUAN
KESEHATAN POPULASI PENYU LAUT "
ini kami menggunakan
studi pustaka sebagai langkah dasar
penyusunan
tugas melalui berbagai sumber terkait
tentang
kesehatan satwa akuatik
3
RESULTS
PERSIAPAN
MELAKUKAN
PEMANTAUAN
Alat dan bahan apa saja yang
dibutuhkan atau yang perlu
disiapkan untuk melakukan
pemantauan ?
ALAT DAN BAHAN UNTUK
MELAKUKAN PENGAMBILAN DATA

1 4
Kertas data (data Calipee meter atau
sheet) jangka sorong

2 3
Alat menulis (pulpen Gulungan dan pita
dan/atau pensil) meteran
ALAT DAN BAHAN UNTUK
MELAKUKAN PENGAMBILAN DATA

5 8
Alat pengambil
Alat penimbang
sampel jaringan
penyu dan telur
(biopsy punches, atau
penyu
pisau bedah)
6 7
Tali berukuran besar Label dan botol atau
(untuk mengikat dan tabung kecil untuk
menimbang penyu) menyimpan sampel
jaringan tubuh penyu
ALAT DAN BAHAN UNTUK
MELAKUKAN PENGAMBILAN DATA

9 12
Larutan pengawet Penanda logam
(preservative) untuk (metal tag) dan
sampel jaringan pemasangan
(applicator)
10 11
Slop tangan (hand Kapas dan tissue
gloves) untuk membersihkan
jaringan
ALAT DAN BAHAN UNTUK
MELAKUKAN PENGAMBILAN DATA

13 14
Ember atau Temperatur logger
containter untuk atau data logger
memindahkan telur untuk mengukur
penyu temperature sarang
telur penyu
LOKASI PENELURAN PENYU UMUNYA
TERPENCIL DAN SULIT DIAKSES
DENGAN DEMIKIAN HARUS MELENGKAPI DIRI DENGAN
PERALATAN DAN BAHAN UNTUK BERTAHAN HIDUP

• Tenda (camping gear)


• Lampu senter dan lampu penerangan (lampu penerangan
tidak boleh dipakai saat pemantauan)
• Obat nyamuk
• Sleeping bag
• P3K
• Sun cream/sun block
• Alat komunikasi di daerah terpencil
• Jas Hujan dan atau Payung
• Air dan makanan
• Pakaian pengganti
• Korek api
Menentukan waktu pemantau
• Pemantauan malam umunya dilakukan untuk mengumpulkan
data yang setidaknya meliputi: jumlah penyu yang naik bertelur,
jumlah sarang telur penyu, dan morfometri penyu (panjang dan
lebar lengkung karapas serta berat badan), sampel jaringan tubuh
penyu, serta pemasangan metal tag.
• Pemantauan pagi umumnya dilakukan di pantai yang sarang telur
penyunya aman dari segala gangguan. Pemantauan hanya
dilakukan untuk mengamati jejak atau track penyu, untuk
menduga jumlah individu yang naik malam sebelumnya serta
jumlah sarang telur penyu yang dihasilkan
• Pemantauan sore umumnya berhubungan dengan sarang telur
penyu dan segala data yang terkait dengannya, misalnya angka
penetasan dan rasio kelamin tukik yang dihasilkan. Hal ini
disebabkan karena secara alamiah, tukik menetas saat sore hingga
menjelang malam.
Menentukan jumlah pemantau
• Jumlah personel pemantau yang diperlukan per satu
satuan wilayan dan waktu tak bisa ditentukan
dengan ideal.
• Sebagai patokan, di beberapa daerah di Indonesia,
jumlah personel yang dibutuhkan untuk memantau
pantai sepanjang 1000 – 2000 m adalah 4 – 6 orang.
• Personel dimaksud dibagi menjadi dua kelompok,
yang bekerja selama masing – masing ±6 – 8 jam.
• Kelompok pertama bekerja dari pukul 17.00 atau
20.00 malam sampai pukul 00.00, dan selanjutnya
diganti oleh kelompok kedua hingga pukul 07.00
atau pukul 08.00 pagi
• Sebagai catatan, pemantauan intensif idealnya
dilakukan setiap hari sepanjang tahun. Jika tak
memungkinkan, maka bisa dilaksanakan secara
konsisten pada periode yang sama setiap tahun.
Sigi (survey) Pantai Peneluran

Sigi pantai peneluran digunakan untuk menduga jumlah populasi yang


bertelur di suatu pantai peneluran. Sigi (survey) pantai dibagi menjadi
dua berdasarkan cakupan wilayah dan data yang hendak dikumpulkan
yaitu: Sigi ekstensif dan sigi intensif
Sigi pantai peneluran umumnya diawali dengan metode ekstensif yang
bertujuan untuk mengidentifikasi potensi lokasi peneluran, musim
bertelur, serta penyu yang menggunakan pantai tersebut. Setelah sigi
tersebut dilakukan, maka dilanjutkan dengan sigi intensif untuk
melakukan sensus populasi serta potensial reproduktif penyu.
Pemantauan atau sigi intensif juga bisa ditambahkan untuk
mengidentifikasi stok genetik dan pergerakan penyu (biasanya
diskukan dengan aplkasi teknik telemetri) untuk melihat unit
pengelolaan suatu populasi penyu dan wilayah yang mesti dicakup.
Sigi ekstensif
Dilaksanakan sekali dan dalam waktu relative singkat di awal pelaksanaan suatu program
konservasi penyu serta mencakup wilayah pantai atau gugusan kepulauan satu stok populasi
penyu yang sangat luas. Setidaknya 9 jens infomasi atau data yang ditarget pada pelaksanaan
sigi jenis ini, Informasi tersebut melputi

1. Seberapa Panjang (proposi) pantai yang berpotensi sebagai habitat peneluran? (dapat
dikumpulkan setiap saat)
2. Lokasi mana saja dilingkup pantai yang diobservasi pernah dijumpai ada penyu bertelur?
(dikumpulkan saat musim bertelur)
3. Jenis penyu apa saja yang permah bertelur di pantai yang ditarget?
4. Kapan musim bertelurya?
5. Seberapa besar intensitas relatif bertelurnya penyu? (dikumpulkan saat musim bertelur)
6. Deerah manakah yang ideal dipergunakan sebagai lokasi indeks yang akan dipantau secara
intenstif? (dapat dikumpulkan setiap saat)
7. Apa saja yang berpotensi sebagai ancaman terhadap habitat, telur, tukik dan penyu dewasa?
8. Wilayah manakah yang paling berpotensi untuk ditetapkan sebagai fokus area pelaksanaan
aktivitas konservasi
9. Apa saja potensi aktivitas konservasi yang bisa dilakukan dan siapa saja yang berpotensi
dijadikan mitra? (dapat dikumpulkan setiap saat)
Sigi intensif
Diawali dengan partisi pantai yang ditetapkan sebagai pantai indeks kemudian pengamatan
dilakukan terum menerus pada pantai tempat bertelur untuk mengukur perkembangan jumlah
penyu. Pantai akan dibagi menjadi beberapa bagian dan yang digunakan untuk pemantauan
adalah yang relatif mudah diakses serta mencakup sebagian besar populasi penyu, minimal 20%.
Hal-hal yang akan diamati pada pelaksanaan sigi umumnya:

1. Jumlah track dan/atau jumlah penyu yang naik ke pantai


2. Track baru dan lama
3. Perhitungan track baru
4. Estimasi proporsi memeti

Penghitungan track kurang efektif pada lokasi berintensitas penyu tinggi karena sulit
menghapus track penyu dalam jumlah besar. Track juga akan terhapus oleh penyu lain apabila
aktifitas bertelur sedang sangat ramai. Cara terbaik adalah dengan menghitung langsung penyu
yang sedang bertelur.
Faktor yang dapat mempengaruhi hasil identifikasi:Kemampuan pemantau membedakan dan
mengidentifikasi track, jenis penyu yang mempengaruhi bentuk track, tekstur dan kepadatan
pasir mempengaruhi morfologi track sehingga mempersulit identifikasi serta curah hujan,
kecepatan angin dan kegiatan manusia dapat mempengaruhi ketahanan track dan dapat
mengganggu identifikasi.
Empat kategori track yang harus
diamati:
1. Track baru yang berakhir dengan peneluran.
2. Track baru namun tidak terjadi peneluran (false crawl)
3. Track lama (lebih dari sehari) yang berakhir dengan peneluran
4. Track lama (Lebih dari sehari) yang tidak berakhir dengan
peneluran.

cara terbaik membedakan track lama adalah dengan melakukan


observasi malam sebelumnya dan menghapus atau menandai track
yang sudah ada. Untuk melihat apakah track berakhir dengan telur atau
tidak maka perlu dilakukan observasi selama beberapa malam untuk
mengetahui proporsi penyu yang naik untuk bertelur serta jumlah
sarang. Penghitungan track dilakukan hari setelahnya adar mendapat
jumlah sarang yang terisi telur. perhitungan ini kurang baik karena
jumlah telur dapat bervariasi tegantung, jenis, periode dan waktu
pengamatan.
Faktor yang dapat mempengaruhi
hasil identifikasi

Jenis penyu curah hujan, kecepatan


angin dan kegiatan
mempengaruhi manusia dapat
bentuk track. mempengaruhi
Kemampuan Tekstur dan kepadatan ketahanan track dan
pasir mempengaruhi
pemantau morfologi track sehingga
dapat mengganggu
identifikasi.
membedakan dan mempersulit identifikasi.
mengidentifikasi
track
Contoh morfologi track

Morfologi track adalah penentu jenis penyu. Identifikasi jenis dengan


cara ini membutuhkan pengalaman dan keterampilan yang baik,
terutama untuk membedakan track penyu Tempayan, Sisik dan
penyu Lekang. Gambaran yang diamati adalah lebar serta simetris
atau tidaknya suatu track/lintasan penyu di pantai peneluran. Lebar
track diukur dengan meteran pita. Lebar track penyu Belimbing, Hijau,
Pipih, Tempayan, Sisik dan Sisik Semu secara berturutan adalah +150
cm, ±100 cm, ±90 cm, >90 cm, +75 cm, dan ±80 cm. Penyu Belimbing,
Hijau dan penyu Pipih meninggalkan jejak track yang simetris,
sedangkan penyu Tempayan, Sisik dan Sisik Semu memiliki track yang
tak simetris.
4
DISCUSSION
Menduga Ukuran
(Jumlah) Populasi
per Satu satuan
Waktu
• Data jumlah track penyu yang berakhir dengan
sarang telur adalah salah satu parameter penting
dalam menduga ukuran populasi penyu yang
bertelur di satu lokasi peneluran.
• Agar seragam, maka di Indonesia satuan waktu
dimaksud sebaiknya ditetapkan per-tahun.
• Parameter lainnya adalah frekuensi bertelur seekor
penyu per musim peneluran (Frekuensi Bertelur).
Dengan demikian, jumlah atau ukuran populasi penyu di
satu pantai peneluran per tahun adalah:

Ukuran populasi bertelur tahunan = Total sarang


telur penyu per tahun/ rerata jumlah sarang telur
penyu yang dihasilkan per induk per musim
• Rerata frekuensi bertelur seekor induk penyu per
musim peneluran bisa dicari dengan melakukan
studi menggunakan penanda atau di Indonesia
dikenal dengan istilah Tagging.
• Banyak jenis tag yang bisa dipakai, namun
umumnya metal tag adalah teknik penanda yang
paling sering dan relative mudah.
Teknik-Teknik
Esensial Pada
Pemantauan
Penyu di Pantai
Peneluran
Menentukan Saat Melakukan Pengukuran Dan
Pengambilan Sampel Pada Pemantauan Malam

Tahapan-tahapan yang akan dilakukan oleh seekor penyu saat bertelur


mesti dipahami, dan pemantau mesti mengetahui tahapan dimana
‘gangguan’ terhadap penyu bisa dilakukan.
Pengukuran morfometri Penyu

• Hal ini biasanya meliputi pengukuran terhadap


panjang dan lebar lengkung karapas, dan
penimbangan berat badan.
• Data ini sangat berguna untuk memprediksi
kecenderungan ada/tidaknya recruitment rate
(angka perekrutan) induk-induk baru.
• Di pantai peneluran, pengukuran minimal yang perlu
dilakukan adalah panjang lengkung karapas (PLK).
• Jika memungkinkan, pengukuran lebar lengung
karapas (LLK) dan berat badan penyu juga
merupakan data yang jika dikumpulkan dengan
konsisten akan memberikan informasi yang sangat
banyak bagi upaya pengelolaan populasi penyu.
Parameter
PLK diukur dengan menggunakan pita meteran standar
(seperti yang dipakai para tukang jahit).
Cara mengukurnya pada jenis penyu bercangkang keras
(Familia Cheloniidae) adalah dengan membentangkan
pita melintas kerapas penyu dari ujung terdepan bagian
tengah scute nuchal hingga lekukan terdalam diantara
sisik-sisik supra-caudal.
Pada Familia Dermochelyidae (Penyu Belimbing), pita
dibentangkan melintas karapas dari titik tengah areal
nuchal hingga ujung terjauh dari caudal penducle.
Parameter

Parameter LLK juga diukur dengan menggunakan pita


meteran standar (seperti yang dipakai para tukang jahit).
Cara mengukurnya adalah dengan membentangkan pita
melintas karapas penyu pada karapas yang paling lebar.
Tidak seperti pengukuran PLK yang cukup hanya dilakukan
sekali, pengukuran LLK mesti dilakukan beberapa kali
(umumnya 3 kali).
Nilai yang dicatat adalah rerata dari beberapa pengukuran
tersebut.
Pengambilan Sampel Jaringan Tubuh Penyu

Teknik genetik berupa indentifikasi DNA mitokondria


(mtDNA)
• Tujuan untuk identifikasi stock/populasi penyu laut di
Indonesia.

• Adanya heterogenitas haplotipe mtDNA antar lokasi


peneluran→stok genetik menciri

• Jumlahnya cukup jika 20 unit/vial, maka sampel bisa dikirim


ke lab.
Pada penyu dewasa sampel jaringan diambil dibagian flipper→alcohol
70%→ tidak lebih 1 𝑐𝑚2 dijepit pinset→potong dgn pisau
bedah/gunting→potongan kulit direndam di larutan DMSO/ethanol
100%
Identifikasi Jenis Penyu

7 Spesie Penyu Laut Perbedaan :

Penyu Belimbing, Penyu ▪ Jenis cangkang (kulit/keras),


Hijau, Penyu Sisik, Penyu ada/tidaknya scale pd kepala,
Bromo, Penyu Sisik Semu, ada/tidaknya scutes pada cangkang
Penyu Kempi, dan Penyu
Pipih ▪ Jumlah dan susunan scutes pd
cangkang :bagian atas (carapace) dan
bagian bawah (plastron)

▪ Lempengan sisik (scales) pd kepala


Identifikasi bisa dengan
menimbang dan
mengukur diameter
terlur penyu→
timbangan digital dan
calipee meter atau
jangka sorong
PENGELOLAAN
SARANG TELUR PENYU
Sebelum seekor induk penyu mati, maka dari ratusan atau
ribuan telur yang di tanam di pantai” peneluran. Setidaknya 2
ekor penyu, yaitu jantan dan betina siap ber-produksi mesti
berhasil hidup. Tugas dari pemantai adalah menjamin
tercapainya kebutuhan minimal tersebut. Ada tiga cara
diantaranya :
• Pantai peneluran mesti kondusif bagi aktivitas bertelur penyu
betina dewasa.
• Lingkungan internal maupun eksternal pasir di pantai
peneluran harus kondusif bagi perkembagan dan daya hidup
embrio
• Proses penetasan, kemunculan kepermukaan pasir, dan
pelepasan ke laut bagi tukik harus kondusif bagi daya tahan
hidupnya
Mengamankan
Sarang Telur Penyu
Kehadiran para pemantau sebenarnya juga
berperan untuk mengamankan sarang-sarang
telur penyu dari upaya penurian.
Pemantau juga mesti menghilangkan jejak proses
penetasan, membersihkan lokasi peneluran
atau memperjelas dan memperbanyak jejak
kaki dilokasi tsb. Serta membuat lubang
penyesat dengan 1 tongkat besi diameter 3-6
cm.
Jika cara tsb tidak efektif, maka telur mesti
dipindahkan ke lokasi inkubasi/penetasan yang
lebih aman.

Nb :
Lokasi penetasan telur hanya dilakukan jika sarang-sarang telur mengalami :
Berada di bawah garis pasang tinggi
Berada di wilayah yang berpeluang digali oleh penyu lain
Berada di wilayah berpeluang tinggi di ambil pencuri telur
Terancam predator
Berada di pasir dgn kandungan mikroba tinggi
Pemilihan Lokasi untuk Relokasi
Sarang Telur Penyu

Lokasi penanaman baru mesti diupayakan agar kondisinya


relatif sama dgn lokasi yang dipilih oleh penyu dgn sedekat
mungkin dgn pantai peneluran untuk meminimalisir trauma
fisik thd telur. Selainitu lokasi yang dibangun dapat
memberikan kesempatab bagi embrio dan tukik untuk
mengalami impriting di tempat yang baru.
Lokasi yang dibangun harus aman dari air pasang dan lokasinya
tidak ditempat yang penuh vegetasi, humus tumbuhan dan
sampah. Juga sebisanya agar didesign agar emberikan
temperatur yang berbeda-beda pada telur. Tujuannya agar
menghasilkan embrio dan tukik kelamin bervariasi.
Cara Memindahkan Telur Penyu

Karena selaput embrio sanga mudah robek jika telur


mengalami guncangan, maka harus dipastikan bagian
atas telur ditandai sblm dipindahkan, kec. Dilakukan
sblm 2 jam dari saat deposisi oleh induk penyu.
Telur tak boleh dicuci dan di tanam dengan ukuran,
bentuk lubang dan kedalaman yang sama dengan
sarang aslinya. Dan sebaiknya jarak antar sarang saat
ditanam tak kurang dari 1m.
Protokol umum perlakuan pemindahan sarang telur alami meliputi :
Pembersihan pantai/lokasi penetasan baru
Pemantauan dan pengamanan penyu bertelur. Semua data dasar
seperti lokasi bertelur, PLK, LLk, nomor tag, jumlah telur, dan frekuensi
bertelur mesti dicatat
Melakukan regulator sarang telur
Pencatatan data yang relevan dengan sarang telur penyu seperti,
tanggal ditelurkan, perkiraan menetas, dan presentase menetas.
pencatatan jumlah tukik yang dilepas dilaut.
Menghitung Angka Penetasan
Menghitung angka penetasan dilakukan dengan menggali sarang telur yang
sudah menetas. Ketika pemantau menggali sarang maka akan di akan diobservasi

• Sejumlah tukik yang muncul di permukaan pasir (E)


• Sejumlah cangkang telur (S) yng mengidikasikan jumlah tukik yang menetas
• Sejumlah tukik yang telah lepas dari cangkang telur, namun masih berada di
sarang (LIN)
• Tukik yng lepas dari cangkan, sudah mati dan ada dalam sarang (DIN)
• Tukik yng masih hidup yang masih ada dalam cangkang telur siap
terbuka/pecah (LPE)
• Tukik mati yang masih ada dalam cangkang siap terbuka/pecah (DPE)
• Cangkang yang terbuka sebagian atau seluruhnya dengan residu telur atau
tikik mati (P)
• Telur tak berkembang, tak ada tanda” embrio (UD)
• Telur tak menetas namun disertai dengan adanya tanda-tanda embrio kecil
atau belum berkembang sempurna (UH)
• Telur tak menetas namun disertai dengan adanya tanda-tanda embrio yang
telah berkembang sempurna (UHT)
Berdasarkan observasi pada sarang tersebut maka bisa diestimasikan
jumlah telur per sarang (CS) dgn cara :
• CS = (E+LIN+DIN) + (UD+UH+UHT+LPE+DPE) + P
Jika jumlah tukik yang muncul kepermukaan pasir (E) tak diketahui,
maka bisa dihitung dgn cara :
• E = S – (LIN-DIN)
Kalkulasi presentase (%) tukik yng mampu muncul lkepermukaan
pasir dilakukan dgn cara :
• = (E/CS) X 100, atau
• = {(S – (LIN + DIN)/CS)} X 100
Kalkulasi presentase (%) tukik yang menetas (hatching success)
dihitung dengan cara :
• {(E+LIN+DIN)/CS} X 100, atau
• (S/CS) X 100
FAKTOR YANG MENGGANGGU

Jamur Masa depan ?

Polusi Mikroba
Polusi
Polusi memiliki dampak yang besar baik
terhadap penyu ataupun makanan yang
dimakannya. Sebagai contoh, penelitian
terbaru mencurigai penyakit yang saat ini
membunuh banyak penyu (fibropapillomas)
memiliki kaitan dengan terjadinya polusi di
laut ataupun dekat pantai
(https://conserveturtles.org/information-sea-
turtles-threats-marine-pollution).
Jamur
Jamur terdapat dari telur penyu seperti Fusarium solani,
Pseudallescheria boydii, Fusarium oxysporum, dan beberapa
Aspergillus spp. (Phillot et al., 2001; Elshafie et al., 2007; Sarmiento
Ramirez et., 2010). Dari beberapa jenis jamur tersebut, Fusarium
falciforme dan Fusarium keratoplasticum adalah jenis yang paling
sering terdapat pada telur penyu (FSSC; O’Donnell et al., 2008).
Kedua spesies jamur patogenik ini bertanggungjawab pada
kejadian fusariosis pada telur penyu (STEF; Smyth et al., 2019), dan
merupakan agen yang diketahui menjangkit spesies lain seperti
manusia, hewa, dan tumbuhan (Hoh et al, 2020).
Pada fase infeksi akut, telur penyu yang mengalami fusariosis
berkembang dengan warna yang abnormal seperti kemerahan,
ungu, kuning, bintik biru pada bagian dalam dan luar permukaan
cangkang telur, dan berubah kehitaman pada fase infeksi kronis
yang menyelimuti hamper seluruh bagian telur (Hoh et al, 2020).
Sumber:
Hoh et al, 2020
Bakteri
Bakteri dapat masuk ke dalam telur dalam oviduct, dan mungkin saja
mengontaminasi cangkang telur saat telur melalui kloaka atau
dapat terkontaminasi saat telur berada dalam inkubasi. Banyak
bakteri yang teridentifikasi kecil (0.4 – 5.0 μm), batang gram
negative motil (Kreig & Holt, 1984) dengan flagella yang dapat
membuatnya masuk ke dalam telur. Penetrasi dari telur oleh
bakteri disebut kontaminasi secara horizontal dan hal ini sering
terjadi pada burung. Kelembaban dan kualitas telur merupakan
variable yang mungkin saja mendukung terjadi infeksi bakteri (Cox
et al, 2000).
Spesies bakteri yang teridentifikasi pada penelitian terbaru memiliki
hubungan dengan masalah kesehatan pada mamalia dan non-
mamalia seperti penyakit sistem pernapasan, infeksi saluran
pencernaan, sepsis dan inflamasi membran fetal (Kreig & Holt, 1984).
Data ini memberikan bukti bahwa bakteri lingkungan mungkin saja
terdapat pada penyu betina dewasa atau hadir pada pantai
peneluran dan memiliki potensi pathogen yang dapat memberikan
dampak pada kematian embrionik dari penyu (Craven et al. 2007).
Sumber:
KASUS DI PANTAI ALAS PURWO
• Temperatur sarang ditentukan oleh temperature pasir dan
ketersediaan panas metabolisme dari perkembangan embrio
(Ackerman, 1997).
• Pada pantai alas purwo temperature mencapai 36°C saat 2 minggu
terakhir masa inkubasi
• Pada tahun 2009 tidak terdapat sarang pada pantai bagian timur
namun terdapat banyak sarang pada pantai bagian barat yang
memiliki temperature lebih tinggi 2 °C
• Pada tahun 2010 tidak terdapat sarang pada pantai bagian barat
namun terdapat banyak sarang pada pantai bagian timur yang
memiliki temperature lebih tinggi 4 °C
• Pada tahun 2009 munculnya keberhasilan penetasan rata – rata
73.6% namun hanya 54.2% pada tahun 2010.
• Kemungkingan penyebab perbedaan tingkat mortalitas embrionik
pada tahun 2009 dan 2010 adalah karena perbedaan temperature
sarang.
Sumber: Maulany, et al., 2012
KASUS DI PANTAI ALAS PURWO

• Pada tahun 2010 temperature sarang pada dua


minggu terakhir masa inkubasi berada antara 33.3 °C
- 36.5 °C
• Pada tahun 2009 temperature sarang pada dua
minggu terakhir masa inkubasi berada antara 30.2 °C
- 36.6 °C
• Tingkat keberhasilan pada tahun 2009 dikarenakan
sarang tidak terpapar temperature tinggi sehingga
memiliki tingkat keberhasilan yang lebih besar
dibandingkan tahun 2010

Sumber: Maulany, et al., 2012


Data pengamatan

Sumber: Maulany, et al., 2012


Data Pengamatan

Sumber: Maulany, et al., 2012


KASUS DI PANTAI ALAS PURWO

• Temperatur pada saat pertengahan minggu ketiga


dari periode inkubasi dapat menentukan jenis
kelamin pada penyu (Merchant-Larios et al., 1997)
• Temperatur sarang pada pertengahan minggu ketiga
inkubasi 0.5 °C lebih tinggi pada tahun 2009, hal ini
bedampak pada proporsi penyu tetas betina lebih
tinggi pada tahun 2009

Sumber: Maulany, et al., 2012


DAFTAR PUSTAKA
Craven, KS., Awong-Taylor, J., Griffiths, L., Bass, C., Muscarella, M., 2007. Identification of Bacterial Isolates
from Unhatched Loggerhead (Caretta caretta) Sea Turtle Eggs in Georgia, USA. Marine Turtle
Newsletter 115: 9-11.
COX, N. A., BERRANG, M. E. & J. A. CASON. 2000. Salmonella penetration of egg shells and proliferation in
broiler hatching eggs- a review. Poultry Science 79: 1571-1574.
KREIG, N. R. & J. G. HOLT, Eds. 1984. Bergey’s manual of systematic bacteriology 1st edition. Vol. 1. Williams &
Wilkins, Baltimore.
Hoh, Daphne Z., Lin, Yu-Fei, Liu, Wei-An, Sidique, SNM., Tsai, IJ. 2020. Nest Microbiota and Pathogen
abundance in Sea Turtle Hatcheries. Fungal Ecology. Vol. 47
Phillott and Parmenter. 2001. Influence of Diminished Respiratory Surface Area on Survival of Sea Turtle
Embryos. J. Exp. Zool., 289 (2001), pp. 317 – 321.
J.M. Sarmiento-Ramirez, E. Abella, M.P. Martin, M.T. Telleria, L.F Lopez-Jurado, A. Marco, J. Dieguez-
Uribeondo. 2010. Fusarium solant is Responsible for Mass Mortalities in Nest of Loggerhead Sea Turtle,
Caretta caretta, in Boavista, Cape Verde. FEMS Microbiol. Lett., 312 (2010), pp. 192-200.
C.W. Smyth, J.M. Sarmiento-Ramirez, D.P.G. Short, J. Dieguez-Uribeondoid, K. O’Donnell, D.M. Geiser. 2019.
Unraveling the Ecology and Epidemiology of an Emerging Fungal Disease, Sea Turtle Egg Fusariosis
(STEF). PLoS Phatog., 15 (2019), Article e1007682.
K. O’Donnell, D.A. Sutton, A. Fothergill, D. McCarthy, M.G Rinaldi, M.E. Brandt, et al. 2008. Molecular
phylogenetic diversity, multilocus haplotype nomenclature, and in vitro antifungal resistance within
the Fusarium solani species complex. J. Clin. Microbiol., 46 (2008). Pp/ 2477-2490.
DAFTAR PUSTAKA

Maulany, RI., Booth, DT., Baxter, GS. 2012. Emergence Success and Sex Ratio of Natural and
Relocated Nests of Olive Ridley Turtles from Alas Purwo National Park, East Java,
Indonesia. Copeia. Vol.2012(4):738-747.
Ackerman, R. A. 1997. The nest environment and the embryonic development of sea turtles,
p. 83–106. In: The Biology of Sea Turtles. Vol. 1. P. L. Lutz and J. A. Musick (eds.). CRC Press,
Boca Raton, Florida.
Merchant-Larios, H., S. Ruiz-Ramirez, N. Moreno-Mendoza, and A. Marmolejo-Valencia. 1997.
Correlation among thermosensitive period, estradiol response, and gonad differentiation
in the sea turtle Lepidochelys olivacea. General and Comparative Endocrinology 107:373–
385.
A. Elshafie, S.N. Al-Bahry, A.Y. Alkindi, T. Ba-Omar, I. Mahmoud. 2007. Mycoflora and
Aflatoxins in Soil, Eggshells, and Failed eggs of Chelonia Mydas at Ras Al-Jinz, Oman.
Chelonian Conserv. Biol., 6 (2007), pp. 267 – 270.
CREDITS: This presentation template was
created by Slidesgo, including icons by Flaticon,
and infographics & images by Freepik.

THANKS

Anda mungkin juga menyukai