Anda di halaman 1dari 12

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Organisasi
Organisasi menurut Robbins dan Judge adalah suatu kesatuan sosial yang
dikoordinasikan secara sadar, yang terdiri dari dua atau lebih orang, yang bekerja
atau dasar hubungan yang terus menerus untuk mencapai tujuan bersama atau
sekelompok tujuan (2013:4).
Ditambahkan oleh Daft (1992:7), sejalan dengan Robbins, menurutnya
definisi dari organisasi terdiri dari 4 elemen kunci, yaitu:
1. Entitas Sosial (social entities)
Memiliki arti yang terdiri dari dua orang atau lebih.
2. Orientasi pada sasaran (goal-directed)
Berarti bahwa organisasi dirancang untuk mencapai hasil.
3. Mempunyai struktur yang direncanakan dengan baik (deliberately
structure),
Diartikan bahwa tanggung jawab yang organisasi secara terstruktur dan
direncanakan dibagi dalam departemen yang terpisah.
4. Batasan yang mudah dikenali (identifiable boundary),
Artinya organisasi mempunyai batas-batas yang jelas, elemen mana yang
berada di dalam dan elemen mana yang berada di luar.
Menurut Lubis dan Huseni (1987:1), organisasi didefinisikan sebagai
kesatuan sosial dari sekelompok manusia yang saling berinteraksi menurut pola
tertentu sehingga setiap dari anggotanya memiliki fungsi dan tugas masing-masing,
serta memiliki batas-batas yang jelas.

2.2 Budaya Organisasi


Berdasarkan pemahaman dari perspektif bahasa, kata budaya berasal dari
Bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi atau
budi atau akal, di mana diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan
akal. Sedangkan menurut Koentjaraningrat (1998:5) budaya adalah keseluruhan
sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia dengan cara belajar.

9
10

Menyangkut pengertian dari budaya, menurut Schein (2010:12), budaya


organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh organisasi untuk bertindak dan
memecahkan masalah, membentuk karyawan yang mampu beradaptasi dengan
lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota organisasi. Untuk itu harus
diajarkan kepada anggota termasuk anggota yang baru sebagai suatu cara yang benar
dalam mengkaji, berpikir dan merasakan masalah yang dihadapi.
Budaya organisasi atau organization culture merupakan suatu set asumsi
implisit yang dipegang dan disebarluaskan serta dipatuhi oleh suatu kelompok yang
mendeterminasi bagaimana cara pandang, cara pikir, dan reaksi terhadap suatu
lingkungan dalam mengatasi masalah adaptasi integrasi eksternal dan internal, serta
dikonderasi sebagai hal yang valid sehingga diajarkan kepada anggota baru sebagai
nilai benar yang dianut atau diterapkan. Ada tiga karakteristik penting dalam budaya
organisasi:
• Budaya organisasi mempengaruhi cara atau sikap dalam bekerja
• Budaya organisasi disampaikan melalui sosialisasi
• Budaya organisasi beroperasi pada tingkat yang berbeda
Oleh sebab itu, budaya organisasi terbentuk dari empat komponen kunci yaitu
founder’s value, the business environment, the national culture, and the senior
leaders vision and behavior.

2.2.1 Level Budaya Organisasi

Gambar 2.1 Level Budaya Organisasi Menurut Schein


Sumber:
http://www.businessmate.org/userupload/Edgar_Schein_Organizational_Culture
11

Menurut Schein (2010), budaya dibagi menjadi tiga. Teori ini menjelaskan
budaya dari terlihat dengan kasat mata hingga tidak terlihat dan hanya dapat
dirasakan.
1. Artifacts
Meliputi struktur dan proses nyata dari organisasi yang dapat dilihat
secara kasat mata, dirasakan langsung, dan didengar. Termasuk tulisan,
bahasa percakapan di dalam organisasi, ruangan fisik dan tata letak serta
perilaku dari individu-individu
2. Expoused Values
Merupakan prinsip-prinsip sosial, goal dan standar yang berlaku di dalam
organisasi serta dianggap penting dan mendefinisikan apa yang
diperhatikan oleh setiap anggota organisasi.
3. Basic Assumptions
Dikenal sebagai invisible level dari model, karena di level ini melibatkan
keyakinan, persepsi, pikiran dan perasaan.

2.2.2 Fungsi Budaya Organisasi


Budaya organisasi merupakan bagian paling inti dari suatu organisasi, di
mana memiliki kekuatan untuk mempengaruhi sukses atau tidaknya suatu organisasi.
Kesuksesan ini dapat terjadi dengan adanya dukungan penuh dari seluruh anggota.
Budaya organisasi digunakan untuk menjadi pedoman berperilaku dari setiap
anggota organisasi.
Menurut Robbins dan Judge (2013:294), fungsi budaya organisasi adalah
sebagai berikut:
1. Budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan
yang lain.
2. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
3. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas
daripada kepentingan diri individual seseorang.
4. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan
organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk
dilakukan oleh karyawan.
12

5. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu


dan membentuk sikap dan perilaku karyawan.
Ditambahkan oleh Robbins (2005:484), sebuah budaya organisasi yang kuat
akan memberikan kekuatan (stability) pada organisasi. Setiap organisasi memiliki
budaya yang dijadikan ciri-khasnya masing-masing, di mana organisasi bergantung
pada kekuatan budaya tersebut akan dapat memberikan pengaruh yang signifikan
pada sikap dan perilaku setiap anggotanya.
Sebuah organisasi yang sukses memiliki keuntungan yang berkelanjutan dan
memiliki finansial diatas rata-rata (Porter & Barney dalam Cameron & Quinn,
2011:3). Untuk pencapaian hal tersebut, sebuah perusahaan harus memiliki kondisi
sebagai berikut:
1. The first is the presence of high barriers to entry.
2. A second condition is nonsubstitusble products.
3. Third, a large market share contributes to success by allowing your firm to
capitalize on economies of scale and efficiencies.
4. A fourth condition is low levels of bargaining power for buyers.
5. Fifth, suppliers have low levels of bargaining power.
6. A sixth condition is rivalry among competitors.
Kondisi ini adalah kondisi yang dapat meningkan kesuksesan dibidang
keuangan bagi suatu perusahaan. Namun dijelaskan oleh Cameron & Quinn (2011:3)
bahwa banyak perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat yang sukses dalam waktu
20 tahun terakhir dan tidak satupun memiliki kondisi seperti yang digambarkan
diatas. Contohnya adalah Southwesr Airlines, Walmart, Tyson Foods, Circuit City,
dan Pleneum Publishing.
Perusahaan seperti Coca Cola, Disney, General Electric, Intel, Mcdonalds,
Sony, dan Toyota telah mengembangkan budaya yang dapat diidentifikasikan dengan
jelas oleh karyawannya. Budaya ini dibentuk oleh pendiri perusahaan dan untuk
menghadapi serta mengatasi tantangan dan hambatan dalam lingkungan yang mereka
hadapi. Terkadang budaya juga dibentuk oleh manajemen yang ingin meningkatkan
kinerja perusahaan dengan cara yang sistematis.
Perusahaan yang sukses telah mengembangkan suatu faktor khusus yang
menggantikan strategi perusahaan, kondisi pasar, dan kemajuan teknologi. Walaupun
kondisi pasar dan kemajuan teknologi merupakan hal yang sangat penting, tetapi
perusahan-perusahaan tersebut memiliki modal kekuatan yang terletak pada
13

pengembangan dan pengelolaan budaya perusahaan yang sesuai dengan perusahaan


tersebut.
Pengaruh budaya organisasi sangat kuat dalam kinerja, efektivitas organisasi,
dan perusahaan jangka panjang. Pentingnya budaya perusahaan dijadikan sebagai
syarat utama bagi masing-masing individu dalam suatu perusahaan untuk belajar dan
memahami budaya yang ada di dalamnya sehingga mereka dapat mengetahui dan
mengukur dimensi-dimensi utama yang terkandung dalam budaya perusahaan
tersebut, serta mengembangkan strategi untuk perubahan dan memulai proses
implementasi.
Menurut Cameron & Quinn (2011:11) dalam dua dekade terakhir ini sering
dilakukan perubahan organisasi dan setidaknya ada tiga insiatif yaitu TQM (Total
Quality Management), downsizing, dan reengineering. Selama ini, ketiga inisiatif
tersebut belum dapat membuktikan dapat mengatasi masalah lingkungan luar yang
mempengaruhi dalam organisasi. Hal ini disebabkan diabaikannya budaya organisasi
yang justru penting.

2.3 Organizational Culture Assessment Instrument (OCAI)


Nilai budaya dalam sebuah organisasi dapat diukur dengan menggunakan
metode Organizational Culture Assessment Instrument (OCAI). Konsep ini
dikembangkan oleh Cameron dan Quinn yang disebut dengan Competing Values
Framework (1999). OCAI ini tidak hanya memberikan penilaian budaya organisasi
yang akurat, tetapi juga menilai efektivitas indikator dalam organisasi (2011:27).
Framework ini sangat berguna dalam mengelola dan mengintepretasikan fenomena-
fenomena suatu organisasi. Selain itu, Competing Values Framework dapat
mengidentifikasikan pendekatan secara umum terhadap rancangan organisasi,
tahapan dalam life cycle development, peran kepemimpinan dan peran dalam
manajemen sumber daya manusia, dan manajemen skills.
Dalam riset yang dilakukan Cameron mengenai efektifitas organisasi dan ada
39 indikator efektivitas organisasi dari hasil penelitian John Campbell dan rekan-
rekannya (Cameron & Quinn, 2011:38). Dari ke 39 indikator tersebut memunculkan
dua dimensi umum yang dibagi menjadi empat lapisan utama.
14

Gambar 2.2 Competing Values Framework


Sumber: Diagnosing and Changing Organizational Culture, 2011

Kriteria organisasi yang efektif dibedakan menjadi dua dimensi. Dimensi


pertama membedakan kriteria efektifitas yang menekankan pada fleksibilitas
(flexibility), keleluasaan (discretion), dan dinamisme (dynamism) dengan dimensi
yang menekan pada stabilitas (stability), perintah (order), dan pengawasan (control).
Dimensi kedua membedakan kriteria organisasi yang efektif menjadi dua sisi
dimana menekankan pada orientasi internal (internal orientation), integrasi
(integration), dan kesatuan (unity). Sementara pada sisi yang lainnya menekankan
orientasi eksternal (external orientation), diferensiasi (differentiation), dan
persaingan (rivalry).
Kedua dimensi ini membentuk empat kuadran yang setiap kuadrannya
menggambarkan perbedaan indikator-indikator efektifitas organisasi. Keempat
kelompok ini dapat memberikan gambaran penilaian seseorang terhadap kinerja
organisasi, definisi apa saja yang tampak baik dan benar serta tepat, atau dengan kata
lain mendefinisikan nilai inti untuk melakukan penilaian organisasi.
Berdasarkan kerangka Competing Values Framework, Cameron dan Quinn
mengembangkan instrumen tersebut dengan survei secara kuantitatif yang disebut
dengan Organizational Culture Assesment Instrument (OCAI).
15

OCAI mengidentifikasikan persepsi dan aspirasi responden mengenai budaya


organisasi saat ini dan yang diinginkan. Hal ini dapat dikategorikan kedalam empat
tipe sebagai berikut:
1. Hierarchy
2. Market
3. Clan
4. Adhocracy
Masing-masing budaya memiliki karakteristik yang berbeda, terutama jika
dilihat dari orientasi, tipe kepemimpinan, nilai-nilai pendorong dan teori pada
efektifitas.

Gambar 2.3 The Competing Values of Leadership, Effectiveness, and


Organizational Theory
Sumber: Diagnosing and Changing Organizational Culture, 2011

2.3.1 Budaya Hierarchy


Organisasi hierarchy yang bersifat formal dan terstruktur. Peraturan-
peraturan dan prosedur yang mengatur sikap dan perilaku para anggota organisasi.
Pemimpin didalamnya dituntut untuk menjadi koordinator dan pengelola dengan
16

pola pikir dan pendekatan efisiensi. Kebijakan formal menjadi pedoman yang harus
dipahami, ditaati, dan dilaksanakan oleh seluruh anggota organisasi. Dalam budaya
ini diutamakan stabilitas, kontrol, dan fokus pada proses internal dan integrasi.
Organisasi dengan budaya hierarchy mementingkan standarisasi, kontrol, dan
struktur yang baku dan tegas mengature kewenangan dan pengambilan keputusan.
Oleh sebab itu, orientasi jangka panjang pada organisasi ini ditekankan pada
stabilitas, operasi, dan kinerja yang efisien. Keberhasilan maka diartikan sebagai
kemampuan penyerahan produk dan jasa yang berkualitas pada jadwal yang tepat
dengan biaya rendah.
Pendekatan ini pertama kali dilakukan pada organisasi era modern yang
berdasarkan penelitian Max Weber. Ia mempelajari organisasi pemerintahan di Eropa
pada awal tahun 1990-an. Menurutnya tantangan utama yang dihadapi oleh
organisasi pada abad ke-20 adalah menghasilkan produk dan jasa yang efisien bagi
masyarakat yang beragam. Dalam mengahadapi tantangan tersebut, Weber pada
tahun 1947 mengumpulkan 7 karakteristik yang dikenal sebagai sifat birokrasi klasit,
yaitu: rules, specialization, meritocracy, hierarchy, saparate ownership, dan
impersonality accountability (Cameron & Quinn, 2011:42).
Kenyataannya hingga pada tahun 1960-an, hampir semua buku dan penelitian
bidang manajemen dan organisasi berasumsi bahwa karakteristik hirarki yang
ditemukan oleh Weber tersebut menjadi ideal, karena karakteristik tersebut mengacu
pada kestabilan, efisiensi, konsistensi yang tinggi pada produk dan jasa yang dapat
dikendalikan dengan baik, pekerja dan pekerjaannya dalam pengawasan ketat.
Contoh perusahaan dengan tipe ini adalah Mcdonald’s dan Ford Motor Company.

2.3.2 Budaya Market


Bentuk lain dari budaya organisasi yang menjadi populer di akhir tahun
1960an dimana organisasi menghadapi tantangan kompetitif biaya (Transaction
Cost) menjadi hal yang penting dalam efektifitas organisasi (Cameron & Quinn,
2011:43).
Budaya market memiliki kemiripan dengan budaya hierarchy, terutama pada
stabilitas dan kontrol. Perbedaannya adalah budaya market fokus pada aspek
eksternal dan diferensiasi. Budaya ini berfokus pada hubungan-hubungan dan
transaksi-transaksi dengan pemasok, pelanggan, kontraktor, pembuat undang-
17

undang, konsultan, dan regulator. Fokus pada aspek eksternal organisasi diyakini
dapat membawa organisasi mencapai kesuksesan.
Pengelolaan sumber daya manusia berorientasi pada hasil dan kompetisi.
Pemimpin adalah orang yang menuntut, dan pendorong, dan produktif. Penekanan
pada kemenangan menjadi tujuan yang mempersatukan anggota organisasi. Orientasi
jangka panjang adalah pada tindakan-tindakan kompetitif, dan pencapaian sasaran
serta target organisasi. Sukses dalam hal ini diartikan sebagai penguasa pasar dan
penetrasi, serta meningkatkan harga yang kompetitif dan kepemimpinan pasar.

2.3.3 Budaya Clan


Budaya clan atau budaya yang memiliki kesamaan dengan organisasi
kekeluargaan. Dari hasil penelitian dari sejumlah peneliti menemukan perbedaan
mendasar pada perusahaan Jepang dengan perusahaan Amerika yaitu budaya yang
ada dalam perusahaan. Tipe budaya clan banyak dijumpai di perusahaan Jepang
(Cameron & Quinn, 2011:46).
Budaya ini menekankan pada fleksibilitas dan kebijaksanaan daripada
stabilitas dan integrasi yang ada dalam budaya hierarchy. Lingkungan kerja yang
terbuka dan ramah yang memungkinkan setiap orang saling berinteraksi dan berbagi.
Organisasi dikelola sebagaimana layaknya sebagai sebuah keluarga luas (extended
family). Pemimpin dianggap sebagai mentor dan orang tua. Kepatuhan terhadap
organisasi dan tradisi relatif sangat kuat. Menekankan pada pembinaan sumber daya
manusia jangka panjang dan kohesivitas kelompok dimana fokus perhatian pada
manusia dan sangat menghargai kerjasama tim, partisipasi, dna konsensus.
Tipe budaya clan lebih mengutamakan kerjasama tim, keterlibatan karyawan
dalam program dan komitmen perusahaan pada karyawan. Beberapa asumsi
mendasar dalam tipe budaya clan adalah bahwa lingkungan dikelola dengan baik
melalui kerjasama tim dan pengembangan karyawan. Organisasi adalah berbagai
pengembangan lingkungan kerja dan tugas utama dalam manajemen adalah
menguatkan karyawan dan menfasilitasi partisipasi karyawan dalam perusahaan,
komitmen, dan loyalitas.

2.3.4 Budaya Adhocracy


Salah satu tipe budaya adhocracy muncul setelah terjadinya perubahan dari
masa industrialisasi ke masa informasi dimana menekankan pada inovasi dan
18

penemuan-penemuan baru yang menjadi kunci kesuksesan suatu organisasi. Tipe


budaya ini banyak dijumpai pada jenis perushaan industri yang sifatnya dinamis,
misalnya teknologi informasi.
Tipe budaya ini dapat berubah dengan cepat pada saat keadaan berubah.
Tujuan utama dari adhocracy adalah mendorong adaptasi, fleksibilitas, dan
kreatifitas disaat situasi yang tidak pasti, ambigu, dan informasi yang muncul secara
berlebihan. Fokus budaya ini pada eksternal organisasi dan diferensiasi. Adhocracy
dicirikan dengan jenis lingkungan kerja yang dinamis, bersifat entrepreneurial dan
kreatif. Setiap anggota berani menghadapi resiko dan pemimpin memiliki visi,
inovasi, dan berorientasi pada resiko. Perekat dalam organisasi ditandai dengan
sering bereksperimen dan berinovasi yang menekankan pada keberhasilan untuk
menjadi pelopor pada pengetahuan, produk, dan layanan yang terbaru sehingga
selalu siap dalam mengahapi tantangan baru dan perubahan.
Lingkungan kerja dikelola dengan mengedepankan karakter dinamis,
wirausaha dan kreatifitas, sehingga setiap anggota organisasi ditantang untuk selalu
melakukan inovasi dan keberanian dalam mengambil resiko. Berpikir berbeda justru
mempersatukan anggota organisasi. Kebebasan dan inisiatif setiap individu sangat
dihargai.
Dari keempat budaya diatas, untuk mendiagnosa budaya organisasi tersebut
terdapat enam pertanyaan yang mendefinisikan dimensi budaya pada Organizational
Culture Assessment Instrument (OCAI), yaitu:
1. Dominant characteristic (karakteristik dominan)
2. Organizational leadership (kepemimpinan organisasi)
3. Management of employees (manajemen sumber daya manusia)
4. Organizational glue (perekat organisasi)
5. Strategic emphasis (strategic emphasis)
6. Criteria of sucsess (kriteria kesuksesan)
Penilaian ini membantu organisasi dalam mengidentifikasi budaya suatu
organisasi yang ada saat ini (current culture) dan membantu dalam
mengidentifikasikan budaya yang harus dikembangkan dalam menghadapi tuntutan
lingkungan yang akan datangg dan berbagai hal mungkin akan dihadapi organisasi.
Dengan instrumen ini dapat dikenali budaya yang dominan (cultural strength), tipe-
tipe budaya yang ada (cultural type), dan kesesuaian budaya tersebut (cultural
congruence).
19

Pengisian jawaban kuesioner menggunkan skala ipsative (ipsative rating


scale) yang memungkinkan dalam suatu organisasi terdapat tipe budaya yang
berbeda dalam suatu waktu (Cameron & Quinn, 2011:160).
Dalam bukunya Cameron & Quinn (2011:24) menyebutkan bahwa dengan
pendekatan menggunakan instrument OCAI, mendiagnosa dan merubah budaya
organisasi atau perusahaan terdapat 6 kelebihannya, yaitu:
1. Practical
Instrumen ini dapat mengidentifikasi dimensi kunci budaya yang
ditemukan untuk menghasilkan perbedaan dalam kesuksesan organisasi.
2. Timely
Proses dari diagnosa dan penciptaan strategi untuk perubahan dapat
disesuaikan dalam waktu yang cukup masuk akal.
3. Involving
Setiap langkah dalam proses ini melibatkan seluruh anggota organisasi,
khususnya bagi mereka yang mempunyai tanggung jawab dalam
mengembangkan aturan, penguatan nilai-nilai, dan mengembangkan
pedoman perubahan yang fundamental.
4. Quantitative and qualitative
Proses ini berdasarkan pada pengukuran kuantitatif dari dimensi kunci
budaya dan metode kualitatif yang meliputi sejarah, peristiwa, dan
simbol-simbol yang mewakili nilai-nilai yang tidak dapat terukur dalam
organisasi.
5. Managible
Proses diagnosa dan perubahan dapat dilakukan dan diimplementasikan
oleh tim dalam organisasi, biasanya tim manajemen. Diagnosa dari luar
ahli-ahli budaya, atau konsultan perubahan tidak diperlukan untuk
kesuksesan dalam pengimplementasian.
6. Valid
Kerangka kerja dalam proses ini dibangun tidak hanya untuk dapat
dimengerti orang-orang sebagai pemilik organisasi tetapi juga didukung
dengan literatur empiris yang lengkap dan dimensi yang memiliki dasar
ilmiah yang telah diverfikasi.
20

2.4 Kerangka Pemikiran


Pada gambar 2.4 akan dijelaskan secara mendalam akan kerangka pemikiran
yang digunakan sebagai dasar dalam penelitian ini. Akan dinelaskan susunan dari
langkah yang diambil mulai dari analisa hingga pemetaan Organization Culture
Assessment Instrument (OCAI) yang akan dicapai.

Analisis dengan metode OCAI

Budaya Organisasi

Dimensi dalam OCAI:


1. Karekter dominan
2. Tipe kepemimpinan
3. Tipe manajemen
4. Perekat organisasi
5. Penekanan strategi
6. Kriteria keberhasilan

Budaya Organisasi Budaya Organisasi


saat ini yang diharapkan

Kesenjangan Budaya Organisasi

Implikasi Hasil Budaya Organisasi

Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran


Sumber: Hasil Proyek Penulis, 2015

Anda mungkin juga menyukai