Anda di halaman 1dari 11

Penggunan Smartphone Adalah Faktor Risiko Dari Sindrom Mata Kering

Pada Anak Berdasarkan Daerah dan Usia: Sebuah Studi Case Control
Jun Hyung Moon, Kyoung Woo Kim and Nam Ju Moon

Abstrak
Latar belakang
Pada tahun 2014, rata-rata keseluruhan pengguna Smartphone di korea adalah 83 dan
89,9% pada anak-anak dan dewasa muda. Lamanya waktu penggunaan bervariasi
berdasarkan daerah ( perkotaan dan pedesaan) dan usia (kelas rendah dan kelas tinggi ).
Kami menginvestigasi faktor risiko dan protektif yang diasosiasikan dengan pediatric dry
eye disease (DED) yang dihubungkan dengan lamanya penggunaan smartphone
berdasarkan daerah dan usia.
Metode
Kami memilih 916 anak-anak dan melakukan pemeriksaan mata, termasuk didalamnya
pemeriksaan dengan slit lamp, Tear break-up time (TBUT). Kuisioner dibagikan kepada
anak-anak dan keluarga mereka yang berisi penggunaan video display terminal (VDT),
aktivitas di luar rumah, belajar, dan ocular surface disease index (OSDI) score yang
dimodifikasi. DED ditentukan berdasarkan pada International Dry Eye Workshop
Guidlines (tanda objektif: erosi epitel punctata, TBUT yang pendek; symptom subyektif:
skor OSDI yang dimodifikasi) kamu melakukan analisa statistik dari faktor risiko dan
protektif pada anak-anak yang dibagi menjadi: DED vs. Kontrol, perkotaan vs. Pedesaan,
usia kelas rendah (kelas 1 – 3) vs. usia kelas tinggi (kelas 4 – 6)
Hasil
Sebanyak 6,6% dari anak-anak tersebut termasuk dalam kelomok DED, dan 8,3% anak-
anak dari kelompok perkotaan didiagnosis dengan DED dibandingakan dengan 2,8% anak-
anak dari pedesaan (P=0,03). Rata-rata penggunaan smartphone pada kelompok perkotaan
adalah 61,3% dan pada pedesaan 51,0% (P=0,04). Totalnya 9,1% anak-anak usia kelas
tinggi didiagnosa DED dibandingkan 4% pada usia kelas rendah (P<0,001, OR = 13,07),
dan rata-rata durasi aktivitas harian diluar rumah lebih singkat pada kelompok yang
didiagnosa DED dibandingkan dengan kontrol (analisis regresi logistik, P<0,01, OR =
0,33). Setelah penghentian penggunaan smartphone selama 4 minggu pada kelompok yang
didiagnosa DED, baik simptom subyektif dan tanda-tanda objektif telah membaik
Kesimpulan
Penggunaan smartphone sangat kuat diasosiasikan dengan DED pada anak, tetapi, aktivitas
diluar rumah nampak sebagai pelindung dari DED. Siswa usia kelas tinggi pada lingkungan
perkotaan memiliki faktor risiko DED (durasi penggunaan smartphone yang lama) dan
durasi aktivitas luar rumah yang singkat. Maka, observasi yang teliti dan waspada
dibutuhkan ketika anak-anak usia yang lebih tua dan tinggal di daerah perkotaan
menggunakan smartphone
Latar belakang
Penyakit mata kering (DED) bisa terjadi dikarenakan beberapa kelainan
kongenital, autoimun, endokrin, dan kelainan inflamasi, atau dibawah kondisi lingkungan
dan nutrisi tertentu. Kami memulai penelitian ini untuk menginvestigasi faktor risiko dan
protektif lingkungan untuk penyakit mata kering anak-anak untuk memperbaiki faktor
risiko dan mendukung faktor protektif.
Korea adalah satu dari pengguna smartphone tertinggi di dunia dengan estimasi
rata-rata 89,9% pengguna pada 2014. Penyakit mata kering pada anak-anak cenderung
memiliki prevalensi tertinggi pada usia dini. Maka, investigasi tentang faktor risiko dan
faktor protektif sangat dibuthkan untuk DED pada anak, untuk mencegah progresifitas
penyakit sebanyak mungkin.
Penggunan layar video dan belajar (membaca dan menulis) pada waktu yang lama
diasosiasikan dengan penurunan interval berkedip, sehingga menyebabkan simptom mata
kering. Ditambah lagi, banyak orang yang melaporkan kelelahan pada mata setelah bekerja
lama dengan menggunakan layar video
DED pada anak-anak adalah masalah kesehatan publik dan tantangan ekonomi,
sehingga sangat penting untuk mendedikasikan perhatian yang cukup terhadap DED pada
anak di Korea. Pada studi kami sebelumnya, kami menginvestigasi asosiasi antara DED
pada anak dan penggunaan layar video. DED adalah penyakit multifaktorial, dan belum ada
penelitian mendalam yang memperhitungkan faktor risiko dan protektif untuk DED pada
anak berdasarkan usia dan daerah. Pada penelitian kami, kami menginvestigasi faktor risiko
dan protektif terhadap DED pada anak yang diasosiasikan dengan rata-rata penggunaan
smartphone berdasarkan daerah dan usia

Metode
Subyek
Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang, case control. Kami melakukan
pemeriksaan oftalmologi pada 630 anak dari delapan sekolah dasar di Seoul, Korea
(perkotaan, laki-laki:perempuan = 318:312) dan 286 anak-anak di Paju, Korea (pedesaan,
laki-laki:perempuan= 168:118) dari Mei hingga Oktober 2015. Seoul adalah ibu kota Korea
Selatan dan merupakan pusat perkotaan besar dengan populasi sekitar 10 juta orang. Paju
adalah kota dengan populasi hampir mencapai 400.000 orang. Kamu melakukan
pemeriksaan mata pada anak-anak di kelas rendah (1 – 3 usia 7 – 9 tahun) dan tinggi (4 –
6 usia 10 – 12 tahun) sekolah dasar pada dua daerah.
Penelitian ini dilakukan berdasarkan Deklarasi Helsinki tentang Research
Involving Human
Subjects. The Institutional Review Board of Chung Ang University of Medicine Review
Board menyetujui penelitian klinis ini. Baik orang tua dan anak-anak sendiri diberikan
informed consent tertulis setelah diberikan penjelasan menditail tentang penelitian ini.
Kami memastikan bahwa orang tua telah membaca manuskrip dan data pasien dan setuju
untuk publikasi dalam jurnal
Kelembaban relatif di Korea pada saat penelitian ( Mei hingga Oktober) berkisar
dari 57,8 hingga 58,2% di daerah perkotaan dan 58,1 hingga 58,4 di pedesaan. Tidak ada
perbedaan kelembaban signigkan antara kedua daerah
Kriteria eksklusi meliputi: (1) anak yang melakukan operasi mata apapun selama
6 bulan sebelumnya, (2) anak yang memiliki nokturnal lagopthalmos, (3) anak dengan
masalah kelopak mata (trikiasis, distrikiasis, atau epoblepharon), (4) anak dengan
conjungtivitis alergi dengan penggunan obat anti histamin, (5) anak yang menggunakan
kontak lensa, dan (6) anak yang memiliki penyakit kongenital, endokrinal, maupun
autoimun.

Pemeriksaan mata
Seorang pemeriksa melakukan semua pemeriksaan mata. Termasuk test ketajaman mata,
autokeratomeri, pemeriksaan dengan slit-lamp pada kornea dan konjungtiva, dan evaluasi
masalah kelopak mata, konjungtivitis alergi, dan paparan keratitis. Autokeratomeri diukur
menggunakan Topcon Auto Kerato-Refractometer KR-8800 dengan seorang pemeriksa,
kami melaporkan rata-rata dari ketiga hasil pengukuran ulang.
Tear break-up time (TBUT) diukur mengguanak fluorescein strp (Hagg-Streit
International, Koniz, Switzerland) dilapisi dengan satu tetes larutan garam. Setelah
menggunakan strip ke forniks konjungtiva inferior, pasien kembali berkedip normal
beberapa kali. Setelah diberi larutan fluorescein diseluruh lapisan kornea, pasien diminta
tetap membuka mata hingga ada defek pertama dari tear film. TBUT diartikan sebagai
interval antara kedipan komplit terakhir dan munculnya dry spot pertama kali di permukaan
pra kornea dari tear film. Prosedur diulang sebanyak tiga kali untuk setiap mata yang di tes,
dengan hasil dilaporkan sebagai rata-rata dari tiga pengukuran
Seorang pemeriksa mengevaluasi erosi epitel punctata (PEE) di kornea dan
konjungtiva menggunakan slit lamp berdasarkan panel skema Oxford dari grade 0 – 5.
Protoko penelitian disertakan.
Kuesioner
Sebuah kuisioner diberika kepada anak-anak dan orang tua dan baik anak-anak dan
orang tua melengkapi setiap kuesioner. Kuseioner didisain untuk mendapatkan informasi
tentang faktor risiko dari penyakit mata kering, termasuk rata-rata lamanya penggunaan
layar video, belajar, aktivitas diluar rumah, riwayat alergi dan pengguanaan antihistamin
sebelumnya. Simptom subyektif diukur berdasarkan skor ocular surface disease index
(OSDI) yang dimodifikasi. Indeks ini merupakan parameter objektif untuk diagnosis DED.
Skor OSDI yang dimodifikasi bernilai antara 0 hingga 100, semakin besar nilainya
mengindikasi ketidaknyamanan yang lebih berat akibat penyakit mata kering. Kamu
menambahkan indeks OSDI dan kuesioner oftalmologi.

Kriteria diagnostik dari penyakit mata kering


Penyakit mata kering didiagnosa menggunakan kombinasi antara data kuisioner
dan tes klinis oftamologi yang menunjukan tanda dan gejala berdasrkan dry eye workshop
(DEWS) guidelines pada 2007.
Tanda objektif meliputi (1) TBUT kurang dari 10 atau (2) pewarnaan fluorescein
kornea dan konjungtiva positif. Skor OSDI yang dimodifikasi lebih dari 20 digunakan
sebagai pengukuran positif terhadap simptom subyektif. Anak yang memiliki satu atau
lebih tanda objektif dan poin simptom subyektif lebih dari 20 pada OSDI dianalisa di
kelompok DED.

Analisa statistik
Kami membagi anak sekolah bersarkan dua kelompok dan membuat perbandingan
sebagai berikut: DED vs kontrol, perkotaan vs pedesaan, kelas rendah vs kelas tinggi.
Kamu menggunakan analisis regresi logistik multivariat untuk menilai faktor risiko dan
protektif DED. Kemudian selama 4 minggu penghentian pengguanaan smartphone pada
kelompok DED, kami membandingkan parameter sebelum dan sesudahnya. Analisa
statistik menggunakan SPSS untuk Windows versi 21. Variabel kontinu dibandingkan
menggunakan uji T. Uji chi-square digunakan membandingkan variabel tidak kontinu
antara kedua kelompok. Nilai P kurang dari 0,05 dianggap signifikan

Hasil
Analisa komparatif antara kelompok kontrol dan DED
Rata-rata DED pada seluruh anak adalah 6,6%. Terdapat perbedaan signigika
berdasarkan daerah tempat tinggal, rata-rata usia, ketajaman pengelihatan, dan penggunaan
kacamata pada kedua kelompok. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada jenis kelamin
atau diopter antara dua kelompok
Rata-rata penggunaan smartphone adalah 55,4% pada kontrol dan 96,7% pada
kelompok DED (P<0,001). Penggunaan smartphone perhari pada kontrol adalah 0,62 ±
0,68 jam dan 3,18 ± 0,97 jam pada kelompok DED (P<0,001). Penggunaan komputer pada
kelompok kontrol adalah 0,76 ± 0,34 jam perhari dan 1,10 ± 0,53 jam perhari pada
kelompok DED (P<0,001). Lamanya belajar pada kelompok kontrol adalah 2,31 ± 1,02
jam perhari dan 3,10 ± 0,50 jam perhari pada kelompok DED (P<0,001).

Kegiatan diluar rumah perhari 2,27 ± 1,12 jam pada kelompok kontrol dan 1,47 ± 0,32 pada
kelompok DED (P<0,001).

Analisis komparatif antara kelompok perkotaan dan pedesaan terhadap DED pada
anak
Kamu melakukan analisis komparatif DED pada 630 siswa sekolah di lingkungan
perkotaan dan 286 siswa pada lingkungan pedesaan. Ketajaman visual (LogMAR) lebih
buruk pada daerah perkotaan dibandingkan dengan pedesaan, dan rata-rata penggunaan
kacamata lebih tinggi pada daerah perkotaan.
Prevalensi DED pada kelompok perkotaan 8,3% sedangkan pada kelompok
pedesaan adalah 2,8%. Perbedaan ini signifikas secara statistik (P=0,03). Tingkat
pengguanak smartphone pada kedua daerah juga berbeda signigikan dengan 61,3% pada
daerah perkotaan dan 51% pada daerah pedesaan (p=0,04). Rata-rata pengguanaan
smartphone harian adalah 0,47 ± 0,69 jam pada daerah pedesaan dan 0,93 ± 1.01 jam pada
daerah perkotaan (P<0,001), sedangkan pada penggunaan komputer 0,84 ± 0,29 jam pada
kelompok perkotaan dan 0,68 ± 0,46 jam pada kelompok pedesaan (P<0,001). Rata-rata
aktivitas diluar rumah harian adalah 2,06 ± 1,13 jam pada kelompok perkotaan dan 2,57 ±
1,07 jam pada kelompok pedesaan (P<0,001). Rata-rata durasi belajar adalah 2,50 ± 0,95
pada kelompok perkotaan dan 2,05 ± 1,07 jam pada daerah pedesaan (P<0,001), Usia,
spherical equivalent, meonton TV, dan waktu tidur tidak berbeda signifikan antara kedua
kelompok

Analisis komparatif DED pada anak antara kelas rendah dan tinggi
Kami melakukan analisis komparatif DED pada 452 anak kelas rendah (kelas 1 –
3) dan 464 anak kelas tinggi (kelas 4 – 6). Ketajaman pengelihatan (LogMAR) lebih buruk
pada kelas tinggi, dan tingkat penggunaan kacamata juga lebih tinggi pada kelas tinggi
dibanding kelas rendah. Prevalensi DED pada kelas kelas rendah adalah 4% sedangkan
pada kelas tinggi adalah 9,1% yang secara statistik terdapat perbedaan yang signifikan
(p=0.03). Tingkat penggunaan smartphone pada kelas rendah adalah 50,9% dibandinkan
65,1% pada kelas tinggi. Hal ini secara statistik terdapat perbedaan yang signifikan
(p<0,001) (tabel 3).
Rata-rata penggunaan smartphone secara harian pada kelas rendah adalah 0,57 ±
0,76 jam dan pada kelas tinggi 1,00 ± 1,06 jam (P<0,001), dan rata-rata lamanya
penggunaan komputer pada kelas rendah adalah 0,74 ± 0,37 jam dan 0,83 ± 0,35 jam pada
kelas tinggi (P<0,01). Perbedaan ini signifikan secara statistik. Durasi belajar harian pada
kelas rendah adalah 2,08 ± 0,95 jam dan 2,63 ± 1,00 jam pada kelas tinggi (P<0,001).
Durasi harian kegiatan di luar pada kelas rendah adalah 2,49 ± 1,07 jam dan pada kelas
tinggi 1,94 ± 1,07 jam pada kelas tinggi (P<0,001). Daerah tempat tinggal, rata-rata durasi
menonton TV dan tidur tidak menunjukan adanya perbedaan yang signifikan pada dua
kelompok ini (Tabel 3).

Analisis faktor risiko dan protektif dari DED pada anak


Kami melakukan analisis regresi logistik untuk menginvestigasi faktor risiko dan
protektif DED. Rata-rata durasi penggunaan smartphone pada kelompok DED adalah 3,18
± 0,97 jam dibandingkan dengan 0,62 ± 0,68 jam pada kelompok normal (OR = 13,07,
P<0,001) (tabel 4)
Durasi harian aktivitas diluar pada kelompok DED adalah 1,47 ± 0,32 jam dan
pada kelompok normal 2,27 ± 1,12 jam (OR = 0,33, P<0,01). Rata-rata durasi penggunaan
komputer, menonton TV, belajar dan tidur tidak berkaitan dengan DED pada kedua
kelompok (Tabel 4).
Analisis komparatif sebelum dan sesudah penghentian penggunaan smartphone lebih
dari 4 minggu pada kelompok DED
Kami melakukan analisis komparatif sebelum dan sesudah penghentian
penggunaan smartphone lebih dari 4 minggu pada kelompok DED. Erosi epitel punctata
membaik setelah penghentian penggunaan smartphone dari 93,3 ke 0% (P<0,001). Tear
break-up time juga membaik setelah penghentian dari 10,00 ± 3,25 detik menjadi 11,33 ±
2,29 detik (P<0,001). Skor OSDI berkurang setelah penghentian pengguanaan smartphone
30,74 ± 13,36 menjadi 14,53 ± 2,23 poin (P<0,001). Akibatnya, tingkat DED juga menurun
dari 100 menjadi 0% setelah penghentian penggunaan smartphone selama 4 minggu
(P<0,001) (tabel 5).

Pembahasan
Pada penelitian sebelumnya, peningkatan penggunaan smartphone belakangan ini
menyebabkan peningkatan laporan simptomatis seperti iritasim rasa terbakar, mata merah,
penurunan ketajaman pengelihatan, keteganggan dan lelah. Sepengetahuan kami, tidak ada
penelitian kompartif tentang DED pada anak berdasarkan daerah dan usia. Di Republik
Korea, internet sangat berkembang dan tersedia secara luas, sehingga sangat umum bagi
anak-anak untuk menggunakan monitor untuk melihat berbagai media dan konten internet.
Akibatnya, tingkat penggunaan smartphone di populasi Korean meningkat pesat, terutama
pada dewasa muda dan anak-anak usia sekolah.
Penurunan jumlah berkedip pada pengguanaan smartphone yang terus-menerus
menyebabkan evaporasi lapisan air mata yang lebih cepat, yang mungkin menyebabkan
DED. Pada penelitan sebelumnya, kami mencatata pengguanaan media berlayar dan
membaca menurunkan tingkat kedipan dan menaikan evaporasi lapisan air mata. Hal ini
bia menyebabkan kelalelahan pada mata dan rabun jauh. Disini, kami mengajukan
kemungkinan penggunaan smartphone pada anak-anak dan berkurangnya kedipan yang
diakibatkan oleh membaca dengan DED pada anak. Penelitian komparatif DED pada anak
diasosisikan dengan penggunaan smartphone mengevaluasi variabel antar daerah dan antar
usia. Analisis regresi logistik dilakukan untuk menginvestigasi faktor risiko dan protektif
yang dihubungkan dengan DED pada anak.
Tingkat penggunaan smartphone jauh lebih tinggi pada kelompok DED
dibandingkan dengan kontrol. Penggunaan smartphone yang terus menerus diduga
menyebabkan penurunan jumlah kedipan dan meningkatkan evaporasi lapisan airmata,
sehingga menyebabkan DED. Terdapat perbedaan rata-rata yang signifikan pada durasi
akitvitas di luar dan belajar antara dua kelompok, namun, pada analisis regresi logistik,
penggunaan smartphone (OR=13,07) adalah satu-satunya faktor risiko kuat untuk DED
pada anak. Rata-rata durasi penggunakan komputer, menonton TV, dan belajar tidak
berbeda secara signifikan pada analisis regresi logistik multivariat. Tambahannya,
meningkatkan durasi aktivitas di luar rumah mengurangi tingkat DED pada anak
(OR=0,33).
Jumlah proporsi anak-anak yang lebih besar pada kelompok DED adalah daerah
perkotaan dibandingkan dengan pedesaan. Kami memperkirakan bahwa perbedaan pada
penggunaan smartphone antar daerah menyebabkan perbedaan prevalensi pada DED.
Tingkat penggunaan kacamata juga tinggi pada daerah perkotaan dan ketajaman visual
(LogMAR) lebih tinggi pada daerah pedesaan. Tingkat prevalensi DED lebih tinggi pada
daerah perkotaan dibandingkan pedesaan, dan rata-rata durasi penggunaan smartphone,
komputer, dan belajar jauh kebih lama pada daerah perkotaan. Aktivitas di luar lebih tinggi
pada daerah pedesaan. Semakin lama durasi penggunaan smartphone, komputer, dan
belajar ditambah singkatnya durasi aktivitas di luar bisa menyebabkan peningkatan
prevalensi DED dan tinggkat penggunaan kacamata pada daerah perkotaan.
Prevalensi DED juga ditemukan lebih banyak pada wanita dibandingkan pria.
Kami mensurvey populasi penelitian kamu untuk mengidentifikasi perbedaan ini pada
anak-anak di Korea. Pada penelitian kami, prevalensi DED lebih banyak pada perempuan
dibandingkan dengan laki-laki namun tidak ada perbedaan signigikan secara statistik.
Tidak ada perbedaan pada kedua kelompok berdasarkan penggunaan monitor. Secara
umum, prevalensi DED lebih banyak pada wanita dewasa dibandingkan pria dewasa.
Rata-rata usia lebih tinggi pada kelompok DED dibandingkan kelompok normal,
dan prevalensi DED lebih tinggi pada kelas tinggi dibandingkan dengan kelas rendah.
Tingkat penggunaan smartphone dan monitor lebih tinggi pada kelas tinggi hal inilah yang
mungkin menyebabkan prevalensi DED lebih besar pada kelompok DED,
Smartphone digunakan dengan jarak yang dekat dikarenakan kecilnya layar,
sehingga menyebabkan kelelahan pada mata, mata merah, dan iritasi. Penggunaan layar
diasosiasikan dengan peningkatan insiden DED dan penurunan ketajaman pengelihatan.
Keterbatasan penelitan kami adalah hanya satu sekolah pada setiap daerah yang
kami survei. Jika kami mensurvei jumlah sekolah yang lebih banyak, data kami akan lebih
representatif. Penelitian kamu ditujukan pada anak sekolah, sehinnga bisa ada perbedaan
pada ketidaknyamanan mata yang dilaporkan sendiri dan berdasrkan kuisioner antara kelas
rendah dan kelas tinggi, yang juga bisa berpengaruh pada prevalensi DED. Kami tidak
mempertimbangkan banyak faktor, termasuk lingkungan, status sosial ekonomi. Kami
telah menunjukan hubungan dan bagi siapapun yang memilik mata kering kami
menunjukan penghentian pengguanan smartphone memperbaiki gejala dan simptom,
namun banyak variabel yang tidak kami tinjau. Pada penelitian penghentian penggunaan
smartphone, akan lebih baik untuk menggunakan kontrol yang lebih subyektif atau nilai
OSDI yang lebih tinggi dan tidak ada penyakit lain yang bisa mengakibatkan kelelahan
maupun efek placebo
Kami menggianakan kriteria simptom subyektif ( skor OSDI yang di modifikasi)
dan tanda objektif (TBUT atau PEE rendah) untuk mendiagnosa DED. Kriteria ini
berdasarkan berdasarkan orang dewasa dan tanda subyektif dari DED tidak jelas. Sehingga,
prevalensi sesungguhnya dari DED pada anak-anak sekolah bisa lebih tinggi atau lebih
rendah dikarenakan menggunakan kriteria diagnostik untuk orang dewasa. Pada penelitian
sebelumnya, kami memastikan bahwa DED disertai dengan konjungtivitis alergi, namun,
karena DED dan alergi pada mata memiliki gejala yang sama, maka sangat sulit dibedakan
pada anak-anak dengan DED. Sehingga prevalensi DED bisa terpengaruhi oleh prevalensi
alergi pada populasi kami. Kami tidaj mempertimbangkan faktor seperti status sosial
ekonomi, komposisi keluarga, dan status keluara bependapatan ganda, atau pengguanan air
mata buatan.

Kesimpulan
Kesimpulannya, peningkatan penggunaan layar monitor seperti smartphone dan
komputer pada anak-anak di Korea memiliki hubungan deangan terjadinya simptom mata
kering. Peningkatan penggunaan smartphone adalah masalah serius yang bisa
menyebabkan masalah pada mata: prevalensi DED adalah 6,6%. Rata-rata durasi
pengguanan layar monitor, khususnya smartphone lebih besar pada kelompok DED.
Prevalensi DED juga lebih tinggi di daerah perkotaan dan anak-anak yang lebih tua. Anak-
anak kelas tinggi pada daerah perkotaan mengguanak smartphone lebih lama dibandingkan
di daerah pedesaan. Prevalensi DED lebih tinggi pada anak-anak kelas tinggi yang tinggal
di perkotaan dibandingkan anak-anak kelas rendah di pedesaan. Setelah penghentian
penggunaan smartphone selama 4 minggu pada pasien DED, baik simptom subyektif dan
tanda objektif membaik
Maka, observasi secara detail/teliti dan waspada selama pengguanan layar monitor,
khususnya smartphone direkomendasikan pada anak-anak yang lebih tua yang tinggal di
perkotaan. DED pada anak harus dideteksi dini dan harus di rawat dengan pengobatan yang
sesuai dan intervensi lingkunan serta edukasi

Anda mungkin juga menyukai