Anda di halaman 1dari 30

PRESENTASI KASUS

KOLESISTOLITHIASIS

Diajukan kepada:
dr. Suharno, Sp.PD, K-GEH

Disusun oleh:
Christian Rivandika 1820221081

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL
“VETERAN” JAKARTA

2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

DIABETES MELLITUS

Disusun Oleh :

Christian Rivandika 1820221081

Kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu syarat mengikuti
ujian kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono
SoekarjoPurwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal: Oktober 2019

Mengetahui,
Dokter Pembimbing

dr. Suharno, Sp.PD, K-GEH

2
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit batu empedu (cholelithiasis) sudah merupakan masalah kesehatan


yang penting di negara barat sedang kan di Indonesia baru mendapatkan perhatian
di klinis, sementara publikasi penelitian batu empedu masih terbatas. Dalam “Third
National Health and Nutrition Examination Survey” (NHANES III), prevalensi
cholelithiasis di Amerika Serikat pada usia pasien 30-69 tahun adalah 7,9% pria
dan 16,6% wanita, dengan peningkatan yang progresif setelah 20 tahun. Sedangkan
Asia merupakan benua dengan angka kejadian cholelithiasis rendah, yaitu antara
3% hingga 15%, dan sangat rendah pada benua Afrika, yaitu kurang dari 5%.

Insidensi cholelithiasis di negara barat adalah 20% dan banyak menyerang


dewasa dan usia lanjut. Sebagian besar cholelithiasis tidak bertanda dan bergejala.
Sedangkan di Indonesia angka kejadian cholelithiasis tidak jauh berbeda dengan
angka kejadian di negara lain di Asia Tenggara, dan sejak tahun 1980 cholelithiasis
identik dengan pemeriksaan ultrasonografi. Di negara barat 10-15% pasien dengan
batu vesica fellea juga disertai batu saluran empedu. Pada beberapa keadaan, batu
saluran empedu dapat terbentuk primer di dalam saluran empedu intra atau ekstra
hepatik tanpa melibatkan vesica fellea. Batu saluran empedu primer banyak
ditemukan pada pasien di wilayah Asia dibandingkan dengan pasien di negara
barat.

Tindakan kolekistektomi termasuk salah satu tindakan bedah digesti yang


paling sering dilakukan. Sekitar 5,5 juta penderita batu empedu ada di Inggris dan
50.000 kolesistektomi dilakukan setiap tahunnya. Kasus batu empedu sering
ditemukan di Amerika, yaitu pada 10 sampai 20% penduduk dewasa. Setiap tahun
beberapa ratus ribu penderita ini menjalani pembedahan.

Cholelithiasis banyak ditemukan pada wanita dan makin bertambah dengan


meningkatnya usia. Prevalensi cholelithiasis bervariasi secara luas di berbagai
negara dan diantara kelompok-kelompok etnik yang berbeda-beda pada satu
negara. Faktor gaya hidup seperti diet, obesitas, penurunan berat badan dan

3
aktivitas tubuh yang rendah juga berpengaruh). Prevalensi cholelithiasis lebih
rendah dari kejadian sebenarnya, sebab sekitar 90% bersifat asimtomatik. Di
Indonesia cholelithiasis banyak ditemukan mulai dari usia muda di bawah 30 tahun,
meskipun rata-rata tersering ialah 40-50 tahun. Pada usia diatas 60 tahun, insidensi
cholelithiasis meningkat.

Ultrasonografi (USG) merupakan modalitas penunjang yang murah, tidak invasif,


aman dan tersedia dengan potensi sangat akurat untuk pencitraan pada pasien
suspect cholelithiasis. Pemeriksaan ultrasonografi pada perut kanan atas
merupakan suatu metode pilihan untuk mendiagnosis cholelithiasis. Tingkat
sensitivitasnya lebih dari 95% untuk mendeteksi cholelithiasis dengan diameter
1,5 mm atau lebih.

4
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. T
Usia : 58 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Alamat : Bandingan, Karangjambu
Tanggal masuk Mawar : 19 Oktober 2019

B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama : Nyeri Perut
2. Keluhan tambahan : Sesak napas, penurunan berat badan
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS Margono pada tanggal 18 Oktober 2019
dengan keluhan nyeri hebat pada perut sebelah kiri atas, pasien mengatakan
nyeri dirasakan ± 2 bulan yang lalu, nyeri timbul perlahan dan memburuk
seiring waktu. Nyeri dirasakan seperti kembung dan menjalar hingga ke
dada, pasien mengaku nyeri terasa sangat hebat dan pasien sempat pingsan
ketika menahan sakait. Keluhan dirasakan membaik ketika meminum air
putih hangat dan memburuk saat makan.
Selain itu Pasien mengeluhkan sesak napas ± 2-3 hari sebelum
datang ke RS. Pasien juga mengeluhkan perutnya membesar dan terasa
kencang. Tidak ada keluhan dalam BAB dan BAK pasien, mual dan muntah
juga disangkal oleh pasien

4. Riwayat penyakit dahulu


a. Riwayat keluhan serupa : diakui
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat DM : disangkal

5
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat alergi : disangkal

5. Riwayat penyakit keluarga


a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat DM : disangkal
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat alergi : disangkal

6. Riwayat sosial dan ekonomi


Pasien adalah seorang petani, dan keadaan sosial ekonomi pasien
tergolong menengah kebawah

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : compos mentis
3. Vital sign
TD : 110/60 mmHg
N : 84 x / menit
RR : 20x / menit
S : 36.6oC

Status Generalis
Bentuk kepala : Mesocephal, simetris, tanda radang (-)
Rambut : Warna rambut hitam, tidak mudah dicabut, terdistribusi
merata
Mata : Simetris, edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+) normal isokor 3 mm
Telinga : Discharge (-/-), deformitas (-/-)
Hidung : Discharge (-/-), deformitas (-), nafas cuping hidung (-)

6
Mulut : Bibir pucat (-), sianosis (-), lidah sianosis (-), atrofi papil
lidah (-), stomatitis (+)
Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar getah bening (-)

Pulmo
Inspeksi : Dinding dada simetris, retraksi interkostal (-), ketinggalan
gerak (-), jejas (-), barrel chest (-)
Palpasi : Vokal fremitus hemitoraks kanan = hemitoraks kiri
Perkusi : Sonor di lapang paru kanan, lapang paru kiri
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +, RBH (-/-), RBK (-/-), wheezing (-
/-)

Cor
Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC V linea midclavicula sinistra,
kuat angkat (-), pulsasi epigastrium (-), pulsasi parasternal
(-)
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V linea midclavicula sinistra dan
kuat angkat (-)
Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri : SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, Gallop (-), Murmur (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+)
Perkusi : Timpani, tes pekak alih (+), pekak sisi (+)
Palpasi : Tegang, undulasi (+), nyeri tekan (+) regio kiri atas
Hepar : Teraba 2 jari dibawah arkus costae dextra
Lien : Tidak teraba

7
Ekstremitas
Superior : Edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ikterik (-/-),
clubbing finger (-), sianosis (-)
inferior : edema (+/+), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ikterik (-/-),
terdapat luka pada kedua tungkai kaki

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
PEMERIKSAAN MRCP 22 OKTOBER 2019

Kesan :

- Hepatomegali disertai nodul solid multipel, ukuran terbesar lk 6,6x6


cm, DD: hepatoma, metastasis
- Hepatolithiasis multiple dan choleducolithiasis disertai cholestasis
intra dan extrahepatal
- Cholecystolithiasis multiple disertai hydrops vesica felea

8
9
PEMERIKSAAN HASIL LABORATORIUM RSMS

18-10-2019

Darah Lengkap
Tanggal
Nilai normal
18/10/2019
Hemoglobin 13.6 11.7-15.5
Leukosit 14740 H 3600-11000
Hematokrit 41 35-47
Eritrosit 5.1 3.8-5.2
150.000-
Trombosit 200000
440.000
MCV 80.5 80-100
MCH 26.8 26-34
MCHC 33.3 32-36
RDW 14.4 11.5-14.5
MPV 9.9 9.4-12.4
Basofil 0.4 0-1
Eosinofil 7.5 H 2-4
Batang 0.7 L 3-5
Segmen 72.4 H 50-70
Limfosit 10.0 L 25-40
Monosit 9.0 H 2–8
Kimia Klinik
Albumin 3.40-5.00
Globulin 2.7 -3.2 g/dL
SGOT 89 H 15-37
SGPT 41 14-59
Ureum Darah 46.01 14.98 – 38.52
Kreatinin Darah 0.80 0.55-1.02
Natrium 134 134-146

10
Kalium 5.0 3.4-4.5
Klorida 95 L 96-108
GDS 75 <=200

19-10-2019
HbsAg Non-Reaktif Non-Reaktif

23-10-2019
Darah Lengkap
Tanggal
Nilai normal
23/10/2019
Hemoglobin 13.4 11.7-15.5
Leukosit 14680 H 3600-11000
Hematokrit 42 35-47
Eritrosit 5.0 3.8-5.2
150.000-
Trombosit 165000
440.000
MCV 84.4 80-100
MCH 27.1 26-34
MCHC 31.9 32-36
RDW 15.6 H 11.5-14.5
MPV 9.7 9.4-12.4
Basofil 0.4 0-1
Eosinofil 4.7 H 2-4
Batang 0.7 L 3-5
Segmen 74 H 50-70
Limfosit 9.5 L 25-40
Monosit 10.7 H 2–8
Kimia Klinik
Albumin 2.17 L 3.40-5.00
Anti HCV Non-Reaktif Non-Reaktif

11
E. DIAGNOSIS
1. Hepatomegali disertai nodul multipel DD/ hepatoma, Metastase
2. Hepatolithiasis multipel
3. Choleducolithiasis disertai Cholestasis intra dan extrahepatal
4. Cholecystolithiasis multipel disertai hydrops vesica felea
5. Ascites

F. PLANNING
1. IVFD L 20 tpm
2. Inf. Clinimix
3. Inj. Ketorolac 2x30 mg
4. Inj. Ceftriaxone 2x1gr
5. Inj. Ranitidin 2x50mg
6. Inj. Scopamin/8 jam
7. Po. Curcuma 3x1 tab
8. Po. Buscopan 1x1 tab
9. Po. Ranitidin 1x1 tab
10. Po. Furosemid 1x1
11. Ketoprofen Supp 1
12. Durogesic patch 25 mcg
13. Konsul Bedah Digestif untuk Cholesistolithiasis
Jawaban: Terapi: Operasi  Plan saat Rawat Jalan

G. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad malam

Ad fungsionam : dubia ad malam

Ad sanationam : dubia ad malam

12
FOLLOW UP PASIEN

HP KE 1 19-10-2019

S : Nyeri perut, BAK berwarna seperti teh, BAB berwarna putih kuning, flatus (+)

O : TD : 100/80, HR : 90X/ MNT, RR : 20X/MNT, T : 36,6

A : Multiple Cholelithiasis, BPH

P:

1. IVFD L 20 tpm
2. Inf. Clinimix
3. Inj. Ketorolac 2x30 mg
4. Inj. Ceftriaxone 2x1gr
5. Inj. Ranitidin 2x50mg
6. Inj. Scopamin/8 jam
7. Po. Curcuma 3x1 tab
8. Cek HBsAg

HP KE 2 20-10-2019

S : Nyeri perut, BAK berwarna seperti teh, BAB berwarna putih kuning, flatus (+)

O : TD : 120/90, HR : 90X/ MNT, RR : 20X/MNT, T : 36,6

A : Multiple Cholelithiasis, BPH

P:

1. IVFD L 20 tpm
2. Inf. Clinimix
3. Inj. Ketorolac 2x30 mg
4. Inj. Ceftriaxone 2x1gr
5. Inj. Ranitidin 2x50mg
6. Inj. Scopamin/8 jam
7. Po. Curcuma 3x1 tab
8. Po. Buscopan 1x1 tab

13
9. Po. Rantidin 1x1 tab
10. Foto MRCP
11. Cek HBsAg

HP KE 3 21-10-2019

S : Nyeri perut, sulit tidur, BAK berwarna seperti teh, BAB berwarna putih
kuning, flatus (+)

O : TD : 128/70, HR : 88X/ MNT, RR : 20X/MNT, T : 36,6

A : Multiple Cholelithiasis, BPH

P:

1. IVFD L 20 tpm
2. Inf. Clinimix
3. Inj. Ketorolac 2x30 mg
4. Inj. Ceftriaxone 2x1gr
5. Inj. Ranitidin 2x50mg
6. Inj. Scopamin/8 jam
7. Po. Curcuma 3x1 tab
8. Po. Buscopan 1x1 tab
9. Po. Rantidin 1x1 tab
10. Ketoprofen Supp 1
11. Foto MRCP
12. Cek HbsAg
13. Konsul Bedah Digestive

HP KE 4 22-10-2019

S : Nyeri perut setelah makan, nafsu makan menurun, BAK berwarna seperti teh,
BAB cair berwarna kuning 3x

O : TD : 110/80, HR : 88X/ MNT, RR : 20X/MNT, T : 36,6

14
A : Multiple Cholelithiasis, BPH

P:

1. IVFD L 20 tpm
2. Inf. Clinimix
3. Inj. Ketorolac 2x30 mg
4. Inj. Ceftriaxone 2x1gr
5. Inj. Ranitidin 2x50mg
6. Inj. Scopamin/8 jam
7. Po. Curcuma 3x1 tab
8. Po. Buscopan 1x1 tab
9. Po. Rantidin 1x1 tab
10. Ketoprofen Supp 1
11. Durogesik patch 25 mcg
12. Cek Anti HCV
13. Cek DL ulang, Albumin

HP KE 5 23-10-2019

S : Nyeri perut setelah makan, nafsu makan menurun, BAK berwarna seperti teh,
Perut keras sebagian

O : TD : 98/72, HR : 78X/ MNT, RR : 20X/MNT, T : 36,6

A : Multiple Cholelithiasis, BPH

P:

1. IVFD L 20 tpm
2. Inf. Clinimix
3. Inj. Ketorolac 2x30 mg
4. Inj. Ceftriaxone 2x1gr
5. Inj. Ranitidin 2x50mg
6. Inj. Scopamin/8 jam
7. Po. Curcuma 3x1 tab
8. Po. Buscopan 1x1 tab

15
9. Po. Rantidin 1x1 tab
10. Ketoprofen Supp 1
11. Durogesik patch 25 mcg

HP KE 6 24-10-2019

S : Nyeri perut setelah makan, nafsu makan menurun, BAK berwarna seperti teh,
Perut keras sebagian

O : TD : 98/72, HR : 78X/ MNT, RR : 20X/MNT, T : 36,6

A : Multiple Cholelithiasis, BPH

P:

1. BLPL
2. Kaltrofen Supp 3
3. Curcuma 3x1
4. Scopamin 3x1
5. Furosemid 1x1
6. Vipalbumin 3x2
7. Kontrol bedah digestive

16
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Kolesistolitiasis atau batu kandung empedu adalah suatu gabungan
beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam
kandung empedu dan duktus sistikus. Sebagian besar batu empedu, terutama batu
kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu. Kalau batu kandung empedu ini
berpindah ke dalam saluran empedu ekstrahepatik, disebut batu saluran empedu
sekunder atau koledokolitiasis sekunder.1

2. Insidens
Insidens batu empedu di negara barat adalah 20% dan banyak menyerang
orang dewasa dan lanjut usia. Kebanyakan batu empedu tidak bergejala atau
bertanda. 2
Angka kejadian penyakit batu empedu dan penyakit saluran empedu di
Indonesia diduga tidak berbeda jauh dengan angka di negara lain di Asia Tenggara
dan sejak tahun 1980-an agaknya berkaitan erat dengan cara diagnosis dengan
ultrasonografi. 1
Dikenal 3 jenis batu empedu, yaitu batu kolesterol, batu pigmen atau batu
bilirubin, dan batu campuran. Di negara barat, 80% batu empedu adalah batu
kolesterol, tatapi angka kejadian batu pigmen meningkat akhir-akhir ini. Sebaliknya
di Asia Timur, lebih banyak batu pigmen dibanding dengan batu kolesterol, tetapi
angka kejadian batu kolesterol sejak 1965 makin meningkat. 1,2
Sementara ini di dapat kesan bahwa meskipun batu kolesterol di Indonesia
lebih umum, angka kejadian batu pigmen lebih tinggi dibandingkan angka yang
terdapat di negara Barat, dan sesuai dengan angka di negara tetangga seperti
Singapura, Malaysia, Muangthai, dan Filipina. Hal ini menunjukkan bahwa faktor
infeksi empedu oleh kuman gram negatif E. Coli ikut berperan penting dalam
timbulnya batu pigmen. Di wilayah ini insidens batu primer saluran empedu adalah
40-50% dari penyakit batu empedu, sedangkan di dunia Barat sekitar 5%.2
Perbedaan lain dengan negara Barat ialah batu empedu banyak ditemukan

17
mulai pada usia muda di bawah 30 tahun. meskipun usia rata-rata tersering ialah
40-50 tahun. Pada usia 60 tahun, insidens batu empedu meningkat. Jumlah
penderita perempuan lebih banyak daripada jumlah penderita laki-laki. Meskipun
batu empedu terbanyak ditemukan di dalam kandung empedu, tetapi sepertiga dari
batu saluran empedu merupakan batu duktus koledukus. Oleh karena itu, kolangitis
di negara Barat ditemukan pada berbagai usia, dan merupakan sepertiga dari jumlah
dari kolesistitis. Batu intrahepatik dan batu primer saluran empedu juga cukup
sering ditemukan.1

a. Metabolisme bilirubin

Gambar 3. Metabolisme bilirubin

i. Fase Prahepatik
- Pembentukan biliburin : sekitar 250 sampai 350 mg biliburin atau sekitar 4 mg
per kg berat badan terbentuk setiap harinya, 70-80% berasal dari pemecahan sel
darah merah yang matang. Sedangkan sisanya 20-30% (early labeled bilirubin)
datang dari protein heme lainnya yang berada terutama di dalam sumsum tulang
dan hati. Sebagian dari protein heme dipecah menjadi besi dan produk antara
biliverdin dengan perantara enzim heme oksigenasi. Enzim lain, biliverdin
reduktase, mengubah biliverdin menjadi bilirubin. Pembentukan early labeled
bilirubin meningkat pada beberapa kelainan dengan eritropoiesis yang tidak
efektif.

18
- Transport plasma : bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak
terkonjugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak
dapat melalui membran glomerulus, karenanya tidak muncul dalam air kemih.
Ikatan melemah dalam beberapa keadaan seperti asidosis, dan pemakaian
antibiotika tertentu.7

ii. Fase Intrahepatik


Liver uptake : proses pengambilan bilirubin tak terkonyugasi oleh hati
memerlukan protein sitoplasma atau protein penerima, yang diberi symbol
sebagai protein Y dan Z.

Konjugasi : bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami


konyugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida atau
bilirubin konyugasi atau bilirubin direk. Reaksi ini yang dikatalisasi oleh enzim
mikrosomal glukoronil transferase menghasilakn bilirubin yang larut air. Dalam
beberapa keadaan reaksi ini hanya menghasilkan bilirubin monoglukorida,
dengan bagian asam glukoronik kedua ditambahkan dalam satuan empedu
melalui sistem enzim yang berbeda, namun reaksi ini tidak dianggap fisiologik.
Bilirubin konyugasi lainnya selain diglukuronid juga terbentuk namun
kegunaannya tidak jelas.7

iii. Fase Pascahepatik


Ekskresi bilirubin : bilirubin konyugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus
bersama bahan lainnya. Di dalam usus flora bakteri men”dekonyugasi” dan
mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian
besar ke dalam tinja yang memberi warna coklat. Sebagian diserap dan
dikeluarkan kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai air
seni sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan diglukuronida tetapi
tidak bilirubin unkonyugasi. Hal ini menerangkan warna air seni yang gelap
yang khas pada gangguan hepatoseluler atau kolestasis intrahepatik. Bilirubin
tak terkonyugasi bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak.
Karenanya bilirubin tak terkonyugasi dapat melewati barier darah-otak atau

19
masuk ke dalam plasenta. Dalam sel hati, bilirubin tak terkonyugasi mengalami
proses konyugasi melalui enzim glukoniltransferase dan larut dalam empedu
cair.7

3. Patofisiologi batu empedu


Komponen-komponen organik penting dalam batu empedu antara lain
bilirubin, garam empedu, fosfolipid, dan kolesterol. Batu empedu dikelompokkan
berdasarkan kandungan kolesterolnya, yaitu batu kolesterol dan batu pigmen. Batu
pigmen dapat dikelompokkan lagi menjadi batu hitam dan coklat. Di negara-negara
Barat, sekitar 80% batu empedu adalah batu kolesterol dan sekitar 15-20%
merupakan batu pigmen hitam. Batu pigmen cokelat sendiri persentasenya hanya
sedikit. Kedua tipe batu pimen ini lebih umum dijumpai di Asia.8
a. Batu Kolesterol
Batu kolesterol murni tidak sering dijumpai dan hanya sekitar 10% dari total
jumlah batu empedu yang ada. Biasanya batu ini muncul sebagai batu tunggal yang
besar dengan permukanaan yang halus. Sebagian besar batu kolesterol juga
mengandung sejumlah pigmen empedu dan kalsium, tapi jumlah kolesterol
didalamnya selalu lebih dari 70% berat batu. Batu jenis ini biasanya multipel,
memiliki ukuran yang bervariasi, keras, ireguler, faset, berbentuk seperti mulberry,
atau halus. Warna batu bervariasi dari putih kekuning-kuningan, hijau, hingga
hitam. Kebanyakan batu empedu bersifat radioluscent; kurang dari 10% bersifat
radiopaque.6
Proses pembentukan batu kolesterol melalui empat tahap, yaitu penjenuhan
empedu oleh kolesterol, pembentukan nidus, kristalisasi, dan pertumbuhan batu.
Derajat penjenuhan empedu oleh kolesterol dapat dihitung melaui kapasitas daya
larut. Penjenuhan ini dapat disebabkan oleh bertambahnya sekresi kolesterol atau
penurunan relatif asam empedu atau fosfolipid. 9
Penjenuhan kolesterol yang berlebihan tidak dapat membentuk batu, kecuali
bila ada nidus atau ada proses lain yang menimbulkan kristalisasi. Nidus dapat
berasal dari pigmen empedu, mukoprotein, lendir, protein lain, bakteria atau benda
asing lain. Setelah kristalisasi meliputi suatu nidus akan terjadi pembentukan batu.

20
Pertumbuhan batu terjadi karena pengendapan kristal kolesterol di atas matriks
inorganik.5
Batu empedu baru dapat memberikan gejala jika memiliki ukuran yang
cukup untuk menyebabkan cedera pada kandung empedu atau obstruksi traktus
biliaris. Pertumbuhan batu melewati 2 tahap: 1) pembesaran yg progresif dari satu
kristal atau batu melalui deposisi presipitat insoluble tambahan pada permukaan
batu empedu atau 2) penggabungan beberapa kristal atau batu individual
membentuk batu yang besar. Selain itu, gangguan pada motilitas kandung empedu
dapat meningkatkan lamanya waktu empedu di dalam kandung empedu. Hal ini
juga turut berperan dalam pembentukan batu empedu.8
b. Batu Pigmen
Batu pigmen mengandung kurang dari 20% kolesterol dan berwarna gelap
oleh karena adanya kalsium bilirubinat. Baik batu berwarna hitam maupun coklat
hanya memiliki sedikit kesamaan.
Batu pigmen hitam biasanya kecil, rapuh, berwarna hitam, dan tidak
beraturan. Batu ini terbentuk dari penjenuhan kalsium bilirubinat, karbonat, dan
fosfat yang biasanya terdapat sekunder pada kelainan hemolitik dan pada sirosis.
Seperti halnya batu kolesterol, batu ini hampir selalu terbentuk di dalam kandung
empedu. Di negera-negara Asia seperti Jepang, batu pigmen hitam memiliki
persentase yang lebih tinggi dibandingkan dunia Barat.
Batu coklat biasanya berdiameter kurang dari 1 cm, berwarna coklat
kekuning-kuningan, lembut, dan sering lunak. Batu jenis ini dapat terbentuk di
kandung empedu atau saluran empedu, biasanya sekunder akibat infeksi bacterial
yang menyebabkan stasis empedu. Presipitat kalsium karbonat dan bakteri-bakteri
membentuk bagian utama batu. Bakteri seperti Escherichia coli mensekresikan
beta-glukoronidase, yaitu suatu enzim yang membantu bilirubin glukoronidase
menghasilkan bilirubin tak terkonjugasi yang tidak larut. Presipitat ini bersama
dengan kalsium dan sel-sel bakteri yang telah mati akan membentuk batu coklat
lembut pada traktus biliaris. Batu coklat biasanya ditemukan pada traktus biliaris
orang Asia dan dihubungkan dengan stasis sekunder akibat infeksi parasit. Pada
populasi Barat, batu coklat muncul sebagai batu duktus biliar primer pada pasien

21
dengan striktura biliar atau batu di duktus yang lebih umum yang dapat
menyebabkan stasis dan kontaminasi bakteri.6
4. Patofisiologi Ikterus
Terdapat 4 mekanisme umum dimana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat
terjadi yaitu, pembentukan bilirubin secara berlebihan, gangguan pengambilan
bilirubin tak terkonjugasi oleh hati, gangguan konjugasi bilirubin, penurunan
ekskresi bilirubin terkonyugasi dalam empedu akibat faktor intrahepatik dan
ekstrahepatik yang bersifat obstruksi fungsional atau mekanik.
Hiperbilirubinemia tak terkonyugasi terutama disebabkan oleh tiga
mekanisme yang pertama, sedangkan mekanisme yang keempat terutama
menghakibatkan hiperbilirubinemia terkonyugasi.
Pada ikterus obstruksi, terjadi penurunan ekskresi bilirubin terkonyugasi.
Gangguan ekskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor fungsional
maupun obstruktif, terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonyugasi.
Karena bilirubin terkonyugasi larut dalam air, maka bilirubin ini dapat
diekskresi ke dalam kemih, sehingga menimbulkan bilirubinuria dan menjadikan
urin berwarna gelap.
Urobilinogen feses dan urobilinogen kemih sering berkurang sehingga
feses-feses terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonyugasi dapat di sertai
bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fosfatase
alkali dalam serum, AST, kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan
garam-garam empedu dalam darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus
yang diakibatkan oleh hiperbilirubinemia terkonyugasi biasanya lebih kuning
dibandingkan dengan hiperbilirubinemia tak terkonyugasi. Perubahan warna
berkisar dari kuning-jingga muda atau tua sampai kuning-hijau bila terjadi obstruksi
total aliran empedu.8,9

5. Etiologi Ikterus
a. Ikterus Obstruktif (Kolestasis) Intrahepatik
Aliran empedu dapat terganggu pada tingkat mana saja dari mulai sel hati
(kanalikulus), sampai ampula Vateri. Penyebab ikterus obstruktif intrahepatik
antara lain :

22
1. Virus Hepatitis, peradangan intrahepatik mengganggu transport bilirubin
terkonyugasi dan menyebabkan ikterus. Hepatitis A merupakan penyakit self
limited dan dimanifestasikan dengan adanya ikterus yang timbul secara akut.
Hepatitis B dan C akut sering tidak menimbulkan pada tahap awal (akut), tetapi
bisa berjalan kronik dan menahun dan mengakibatkan gejala hepatitis menahun
atau bahkan sudah menjadi sirosis hati.
2. Alkohol, bisa mempengaruhi gangguan pengambilan empedu dan sekresinya,
dan mengakibatkan kolestasis. Pemakaian alkohol secara terus menerus bisa
menimbulkan perlemakan (steatosis), hepatitis, dan sirosis dengan berbagai
tingkat ikterus. Hepatitis karena alkohol biasanya member gejala ikterus sering
timbul akut dan dengan keluhan dan gejala yang lebih berat. Jika ada nekrosis
sel hati ditandai dengan peningkatan transaminase yang tinggi.
3. Infeksi bakteri Entamoeba histolitica, terjadi reaksi radang dan akhirnya
terjadi nekrosis jaringan hepar.
4. Adanya tumor hati maupun tumor yang telah menyebar ke hati dari bagian
tubuh lain. 10
b. Ikterus Obstruktif (Kolestasis) Ekstrahepatik
Efek patofisiologis mencerminkan efek backup konsituen empedu (yang
terpenting bilirubin, garam empedu, dan lipid) ke dalam sirkulasi sistemik dan
kegagalannya untuk masuk usus halus untuk ekskresi. Retensi bilirubin
menghasilkan campuran hiperbilirubinemia dengan kelebihan bilirubin
konyugasi masuk ke dalam urin. Tinja sering berwarna pucat karena lebih
sedikit yang bisa mencapai saluran cerna usus halus. Peningkatan dalam
empedu dalam sirkulasi selalu di perkirakan sebagai penyebab keluhan gatal
(pruritus), walaupun sebenarnya hubungannya belum jelas sehingga
pathogenesis gatal masih belum bisa di ketahui dengan pasti.9
Garam empedu di butuhkan untuk penyerapan lemak dan vitamin K,
gangguan ekskresi garam empedu dapat di akibatkan steatorrhea dan
hipoprotombinemia. Pada keadaan kolestasis yang berlangsung lama (primary,
biliary,cyrosis) gangguan penyerapan Ca dan vitamin D serta vitamin lain yang
larut lemak dapat terjadi dan dapat menyebabkan osteoporosis dan
osteomalasia. Retensi kolesterol dan fospolipid mengakibatkan hiperlipidemia,

23
walaupun sintesis di hati dan esterifikasi yang berkurang dalam darah kolesterol
turut berperan kadar trigliserida tidak terpengaruh. Lemak beredar dalm darah
sebagai lipoprotein densitas rendah yang unik dan abnormal yang di sebut
lipoprotein X . Penyebab ikterus obstruktif ekstrahepatik antara lain,
kolelitiasis, kolesistitis, atresia bilier, kista duktus kholedokus, tumor
Pankreas.9,11

6. Faktor predisposisi batu empedu


a. Batu kolesterol
Faktor demografik/genetik yaitu prevalensi di Eropa Utara dan
Amerika Utara lebih besar dibandingkan dengan di Asia. Obesitas
menyebabkan sekresi dan simpanan garam empedu normal namun sekresi
kolesterol biliar meningkat. Kehilangan berat badan menyebabkan
perpindahan kolesterol di jaringan yang diikuti peningkatan sekresi
kolesterol biliar sementara sirkulasi enterohepatik asam empedu menurun.10
Hormon sex perempuan menyebabkan estrogen menstimulasi
reseptor lipoprotein hepatik, meningkatkan pengambilan kolesterol
makanan, dan meningkatkan sekresi kolesterol biliar. Estrogen alami,
estrogen lainnya, kontrasepsi oral menyebabkan penurunan sekresi garam
empedu dan menurunkan konversi kolesterol menjadi ester kolesterol.9
Peningkatan usia dapat meningkatkan sekresi kolesterol biliar,
menurunkan ukuran simpanan asam empedu, penurunan sekresi garam
empedu. Terapi clofibrate dapat meningkatkan sekresi kolesterol biliar. 7
b. Batu pigmen
Faktor demografik/genetic misalnya asia, keadaan rural, hemolisis kronik,
anemia pernisiosa, cystic fibrosis, infeksi traktus biliaris kronik, infeksi parasit,
peningkatan usia, penyakit usus halus, reseksi usus halus, atau bypass.

7. Gejala Klinis
Setengah sampai dua pertiga penderita batu kandung empedu adalah
asimtomatik. Keluhan yang mungkin timbul berupa dispepsia yang kadang disertai

24
intolerans terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatik, keluhan utamanya
berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran atas kanan atau prekordium. Rasa nyeri
lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan
kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan
perlahan-lahan, tetapi pada sepertiga kasus timbul tiba-tiba. Penyebaran nyeri dapat
ke bagian tengah skapula, atau ke puncak bahu, dan dapat disertai mual dan
muntah.9
Keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik napas dalam
dan sewaktu kandung empedu tersentuh jari tangan sehingga pasien berhenti
menarik napas, yang merupakan tanda rangsangan peritoneum setempat (tanda
Murphy).7,9

Ikterus akan muncul apabila terjadi sumbatan pada aliran empedu sehingga
menyebabkan penurunan ekskresi bilirubin ke dalam empedu. Penurunan ekskresi
bilirubin salah satunya disebabkan oleh kelainan ekstrahepatik yaitu batu empedu.
Ekskresi bilirubin terkonjugasi oleh hepatosit akan menimbulkan masuknya
kembali bilirubin ke dalam sirkulasi sistemik sehingga timbul
hiperbilirubinemia/ikterus.7

Pasien dengan obstruksi pada saluran empedu juga bisa mengeluhkan urin
yang keluar seperti air teh dan tinja seperti dempul/pucat. Pada gangguan
pengeluaran empedu, kadar bilirubin terkonjugasi dalam darah akan meningkat dan
akan dikeluarkan melalui urin sehingga urin akan menjadi gelap seperti air
teh. Sebaliknya tinja akan menjadi pucat. Tinja sering berwarna pucat karena
bilirubin lebih sedikit yang bisa mencapai saluran cerna usus halus.7,9,10

a. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum di
daerah letak anatomi kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan
bertambah sewaktu penderita menarik napas panjang karena kandung empedu yang
meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik
napas.7

25
b. Pemeriksaan laboratorium
 Darah rutin. Pemeriksaan darah dilakukan unutk mengetahui adanya suatu
anemia dan juga keadaan infeksi.
 Urinalisis. Dilakukan untuk melihat warna urin dan melihat apakah
terdapat bilirubin di dalam urin atau tidak.
 Bilirubin. Penyebab ikterus yang tergolong prehepatik akan
menyebabkan peningkatan bilirubin indirek. Kelainan intrahepatik dapat
berakibat hiperbilirubin indirek maupun direk. Kelainan posthepatik
dapat meningkatkan bilirubin direk.10
 Aminotransferase dan alkali fosfatase
 Biopsi hati. Histologi hati tetap merupakan pemeriksaan definitive untuk
ikterus hepatoseluler dan beberapa kasus ikterus kolestatik (sirosis
biliaris primer, kolestasis intrahepatik akibat obat-obatan (drug induced).
8

c. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos abdomen
Pada pemeriksaan ini diharapkan dapat melihat batu opak dikandung
empedu atau di duktus kholedekus. Kadang-kadang pemeriksaan ini dipakai untuk
skrening, melihat keadaan secara keseluruhan dalam rongga abdomen.
b. Ultrasonografi (USG)
Tes ini telah menggantikan kolesistogram oral sebagai prosedur terpilih saat
mengevaluasi pasien untuk batu empedu. Kemampuan dari ultrasonografi abdomen
dalam mendiagnosa kolesistitis akuttidak sebesar dalam mendiagnosa batu.
Ultrasonografi bermanfaat dalam mengidentifikasi dilatasi biliaris intrahepatik dan
ekstrahepatik.
c. Computer Tomography Scan (CT-Scan)
Tes ini tidak terlalu sensitid untuk mengidentifikasi kandung empedu tetapi
menyediakan informasi tentang sifat, luas, dan lokasi dilatasi biliaris dan adanya
massa di dalam dan di sekitar traktus biliaris.

26
d. Kolangiografi Transhepatik Perkutaneus (PTC)
Di bawah kontrol fluoroskopik dan anastesia lokal, dimasukkan jarum kecil
melalui dinding abdomen ke dalam duktus biliaris. Ini menyediakan suatu
kolangiogam dan memungkinkan intervensi terapeutik bila perlu, didasarkan pada
situasi klinis. Bermanfaat bagi pasien dengan masalah biliaris kompleks, mencakup
striktura dan tumor.
e. Kolangiopankreatografi Retrograd Endoskopik (ERCP)
Menggunakan endoskop pandangan samping, traktus biliaris dan duktus
pankreatikus dapat diintubasi dan dilihat. Keuntungannya adalah visualisasi
langsung dari daerah ampula dan jalur langsung ke duktus biliaris distal. Ini sangat
bermanfaat untuk pasien dengan penyakit duktus koledokus (jinak dan ganas).12

8. Penatalaksanaan
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Jika
batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang, maka dianjurkan
untuk menjalani pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan
kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan
tidak perlu dilakukan pembatasan makanan.
Pilihan penatalaksanaan antara lain :
a. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan
kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi
adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang
dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk
kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
b. Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan
sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu
empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian
27ocal27tt27t operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi
komplikasi pada jantung dan paru. Kandung empedu diangkat melalui selang yang
dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut.

27
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya
kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah
mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien
dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini
dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah
sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri
menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah
kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi seperti cedera
duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi
laparaskopi.13
c. Kolesistotomi
Bila tindakan pembedahan tidak mngkin dilakukan untuk menghilangkan
penyebab sumbatan, dilakukan tindakan drainase yang bertujuan agar empedu yang
terhambat dapat dialirkan. 13

9. Kompikasi
Obstruksi duktus sistikus, kolik bilier, kolesistitis akut, perikolesistitis,
peradangan pankreas (pankreatitis), perforasi, kolesistitis kronis, hidrop kandung
empedu, empiema kandung empedu, fistel kolesistoenterik, batu empedu sekunder
(Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali dan batu empedu muncul lagi),
ileus batu empedu (gallstone ileus).7

10. Prognosis

Komplikasi yang serius dan kematian terkait tindakan operasi sendiri sangat
jarang. Tingkat mortalitas operasi sekitar 0,1% pada penderita dibawah usia 50
tahun dan sekitar 0,5% pada penderita diatas usia 50 tahun. Kebanyakan kematian
terjadi pada penderita dengan risiko tinggi yang telah diketahui sebelum operasi.
Tindakan operasi dapat meringankan gejala pada 95% kasus batu empedu.12

28
DAFTAR PUSTAKA

1. M. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Kolelitiasis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah.

Jakarta: EGC 2004.

2. Hansen JT, Lambert DR. Netter’s Clinical Anatomy. USA: MediMedia

2005

3. Corazziari E, Shaffer EA, Hogan WJ, Sherman S, Toouli J. Anatomy and

physiology of the biliary tree and gallbladder. Gut 2006;45(suppl2):48–54.

4. M. Lamah Indkaghd. Anatomical Variations of the Extrahepatic

Biliary. Tree: Review of the World Literature. Clinical Anatomy 14; 2001.

p.167-172

5. Andersen DK, Billiar TR, Brunicardi FC, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE.

Schwartz’s Principles of Surgery. New York: McGraw-Hill 2007.

6. Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL, Townsend CM. Sabiston Textbook

of Surgery. 17th ed. Pennsylvania: Elsevier 2004.

7. Wilson L.M., Lester L.B., Hati, Empedu, dan Pankreas. Dalam :

Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Buku 1. Edisi 4. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1995. p.426-463.

29
8. Wolkoff A.W. The Hyperbilirubinemia in Kaspen et all. Harrison’s

Principles of Internal Medicine. 16th edition. Mc Graw Hill, Singapore;

2005. p.1817-1821.

9. Sulaiman A. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam Buku Ajar

IlmuPenyakit Dalam Jilid III edisi IV. Jakarta : Pusat penerbitan

Departemen IlmuPenyakit Dalam FKUI. 2006. 422-425

10. Sherlock S, Dooley J. Jaundice.Cholestasis.In : Disease of The Liver and

Billiary System. 11th edition. Oxford : Blackwell Scientific Publ,2002,

pp.201-14.217-35

11. Davey P. Ikterus. Dalam : At a Glace Medicine. Jakarta : Erlangga Medical

Series, 2006.

12. Soetikno R. Imaging pada Ikterus Obstruksi. Bandung: Universitas

Padjadjara. 2007

30

Anda mungkin juga menyukai