Anda di halaman 1dari 49

PRESENTASI KASUS KECIL

SUBSTASE JANTUNG
NON ST-ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION DENGAN
SUPRAVENTRIKULAR TAKIKARDIA

Pembimbing :

dr. Rendi Asmara, Sp.JP-FAsCC

Disusun oleh :

Dian Sari Rachmawati 1820221064


Lerryan Septa Rihernata 1820221078
Christian Rivandika 1820221081
Erla Oktasilfia 1820221089
Shabrina Siti Mazaya 1820221158

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
JURUSAN KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAKARTA
PURWOKERTO

2019
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS KECIL


SUBSTASE JANTUNG
NON ST-ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION DENGAN
SUPRAVENTRIKULAR TAKIKARDIA

Disusun oleh :
Dian Sari Rachmawati 1820221064
Lerryan Septa Rihernata 1820221078
Christian Rivandika 1820221081
Erla Oktasilfia 1820221089
Shabrina Siti Mazaya 1820221158

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti kepaniteraan klinik di


bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal Oktober 2019

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Rendi Asmara, Sp.JP-FasCC


I. PENDAHULUAN

Sindrom koroner akut merupakan gambaran gejala klinis mulai dari infark
miokardium dengan elevasi segmen ST (STEMI) hingga infark miokardium tanpa
adanya elevasi segmen ST (NSTEMI) atau pada angina tak stabil. Dalam istilah
patologi, ACS (acute coronary syndrome) selalu berhubungan dengan ruptur pada
plak sebagian ateroskelrosis maupun sumbatan penuh trombosis pada arteri yang
berkaitan dengan infarknya. Dalam beberapa kasus, meskipun penyakit arteri
koroner stabil (CAD) dapat membuat ACS walaupun tidak ada ruptur pada plak
dan proses trombosis, adanya stres fisiologis (seperti trauma, kehilangan darah,
anemia, infeksi, dan takiaritmia) dapat meningkatkan beban jantung. Diagnosis
ACS pada kasus ini membutuhkan temuan dari peningkatan penanda biokimiawi
dari adanya nekrosis miokardium, ditambah salah satu dari gejala berikut :
1. Gejala iskemia
2. Adanya gelombang q patologis pada EKG
3. Perubahan pada gelombang T dan segmen ST atau LBBB
4. Bukti hilangnya fungsi jantung yang nyata dan gerakan jantung abdnormal
5. Trombus di dalam koroner yang teridentifikasi oleh angiografi atau otopsi

Istilah infark miokard transmural dan nontransmural sekarang sudah tidak lagi
digunakan karena pada temuan EKG pasien dengan kondisi ini tidak semua
berhubungan dengan perubahan patologi di miokardiumnya. Meskipun begitu,
infark miokardium bisa saja terjadi tanpa adanya gelombang Q pada EKG, dan
banyak infark miokardium dengan gelombang Q terjadi di subendokardial. Karena
adanya elevasi segmen ST selama ACS berkaitan erat dengan oklusi koroner dan
hal tersebut mempengaruhi dasar pemilihan terapi (terapi reperfusi secepat
mungkin), tataksana ACS yang berhubungan dengan infark miokardium
sebaiknya dibagi berdasarkan STEMI dan NSTEMI. Penting untuk memberikan
perhatian khusus pada mekanisme yang mendasari terjadinya iskemia ketika
menangani ACS. Tekanan darah yang dapat diturunkan menggunakan beta
blocker dan analgesik sedangkan asupan oksigen tetap diberikan, hematokrit yang
adekuat, pengencer darah dan vasodilator (nitrat, amlodipin).
Dalam keadaan istirahat, normalnya jantung berdenyut dengan irama yang
teratur yaitu sekitar 60 sampai 100 denyut per menit (disebut dengan irama sinus).
Jika frekuensi denyut lebih besar dari 100 denyut per menit disebut dengan
takikardi. Hal ini akan meningkatkan energi yang dibutuhkan untuk kontraksi
yang cepat. Selain itu, terdapat juga kelompok gangguan irama pada jantung yang
berasal dari supraventrikular atau atrium yang ditandai dengan perubahan laju
denyut jantung yang sangat cepat berkisar 150 – 250 kali per menit. Gangguan
irama ini disebut dengan supraventrikular takikardi.
Supraventrikular Takikardi (SVT) adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan takikardi (atrial dan/atau ventrikular dengan laju lebih dari 100 kali
per menit saat istirahat, yang mekanismenya melibatkan jaringan yang berasal dari
berkas His atau diatasnya (Raharjo SB, dkk, 2017).
Di Indonesia prevalensi penderita SVT di Pusat Jantung Nasional Harapan
Kita berkisar 9% dari jumlah seluruh pasien aritmia dan sekitar 1,26% - 1,42% dari
seluruh jumlah kunjungan di rumah sakit. Sampai sekarang, data untuk prevalensi
SVT pada populasi umum yang ada di Indonesia belum diketahui (Raharjo dkk,
2017).
II. LAPORAN KASUS
A. Identitas Penderita
Nama : Tn. S
Umur : 50 tahun
Alamat : Arcinawung RT 06/07 Purwokerto Timur
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Wiraswasta
Tanggal masuk RSMS : 05 Oktober 2019
Tanggal periksa : 09 Oktober 2019
No.CM : 01064364
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama :
Dada berdebar
2. Keluhan Tambahan :
Keluhan dada berdebar disertai dengan nyeri dada bagian tengah dan tidak
menjalar
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan rujukan dari Klinik Amanda dengan keluhan dada
berdebar. Pasien datang ke IGD RSMS pada tanggal 5 Oktober 2019
dengan keluhan dada berdebar. Keluhan dirasakan sejak 1 hari SMRS.
Dada berdebar dirasakan secara tiba tiba tanpa penyebab apapun dan
memberat beberapa jam SMRS. Keluhan memberat bila pasien
beraktivitas seperti berjalan santai. Pasien juga sempat mengalami keringat
dingin dan nafas yang memberat saat berdebar.
Keluhan berdebar juga disertai nyeri dada terasa seperti ditusuk
dibagian tengah dada. Keluhan nyeri dada dialami bersamaan dengan
keluhan berdebar yaitu 1 hari SMRS. Nyeri dada hanya dirasakan di
bagian tengah dada tanpa disertai penjalaran. Pasien dapat melokalisir titik
nyeri dadanya tersebut. Nyeri dada dirasakan tiba-tiba dan memberat bila
pasien beraktivitas. Pasien mengaku keluhan nyeri dada serupa pernah
dirasakan tahun lalu namun tidak disertai berdebar.
Pasien bekerja sebagai wiraswasta. Keluhan nyeri dada terkadang
terjadi saat pasien sedang bekerja namun tidak sering dan berkurang
dengan beristirahat. Akibat keluhannya ini, aktivitas pasien menjadi
terganggu. Pasien menyangkal keluhan nyeri pada ulu hati, tidak ada
keluhan dada terasa panas, tidak ada keluhan mual dan muntah.
Pasien mengaku selama ini sering mengonsumsi gorengan dan
sangat jarang mengonsumsi sayur dan buah-buahan atau makanan berserat
lainnya. Pasien juga sering minum kopi, 2 gelas per hari. Pasien mengaku
memiliki riwayat merokok, namun sudah 3 tahun berhenti. Sebelum
berhenti merokok, dalam sehari pasien dapat menghabiskan 1 bungkus
rokok. Pasien juga jarang berolahraga.
Pasien mengatakan bahwa selama ini dirinya termasuk orang yang
sehat, jarang sakit. Pasien mengatakan tidak punya riwayat darah tinggi
dan kencing manis. Pasien belum pernah mengobati penyakitnya ini
kemanapun. Pasien segera dibawa oleh anaknya ke IGD RSMS.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat penyakit yang sama : disangkal
b. Riwayat darah tinggi : disangkal
c. Riwayat penyakit gula : disangkal
d. Riwayat alergi : disangkal
e. Riwayat sakit ginjal : disangkal
f. Riwayat penyakit jantung : disangkal
g. Riwayat sakit kuning/liver : disangkal
h. Riwayat konsumsi obat-obatan : disangkal
i. Riwayat stroke : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat penyakit yang sama : disangkal
b. Riwayat darah tinggi : disangkal
c. Riwayat penyakit gula : disangkal
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat alergi : disangkal
C. Pemeriksaan Fisik
Rabu, 9 Oktober 2019
1. Keadaan Umum : Baik
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Vital Sign
a. Tekanan darah : 120/90 mmHg
b. Nadi : 88 ×/menit reguler, isi cukup
c. Pernapasan : 20 ×/menit
d. Suhu : 36.5 °C
4. Status Generalis
a. Pemeriksaan kepala
1) Bentuk kepala
Mesocephal, simetris
2) Rambut
Warna rambut hitam, tidak rontok dan terdistribusi merata.
3) Mata
Simetris, edema kelenjar lacrimalis (-/-) konjungtiva anemis
(-/-), sklera ikterik (-/-), mata kering (-), refleks cahaya (+/+)
normal, pupil isokor diameter 3 mm/3mm.
4) Telinga
Discharge (-/-)
5) Hidung
Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-)
6) Mulut
Bibir kering (-), bibir pucat (-), bibir sianosis (-), lidah
sianosis (-), lidah kotor (-)
b. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Palpasi : JVP 5+2cm
c. Pemeriksaan thorax
Paru
Inspeksi : dinding dada tampak simetris dan tidak tampak
ketertinggalan gerak antara hemithorax dekstra dan
sinistra. Kelainan bentuk dada (-), retraksi
intercostalis (-).
Palpasi : Apex vokal fremitus sinistra = dextra
Basal vokal fremitus sinistra = dextra
Perkusi : Perkusi orientasi seluruh lapang paru sonor
Batas paru-hepar SIC V LMCD
Auskultasi : Apex suara dasar vesikuler +/+, RBH-/-, RBK-/-
Basal suara dasar vesikuler +/+ dan Wheezing-/-
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
P.parasternal (-) p.epigastrium (-).
Palpasi : Ictus Cordis teraba pada SIC V 2 jari lateral LMCS,
kuat angkat (-)
Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri : SIC VI 2 jari lateral LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, Gallop (-), Murmur (-)
d. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : cembung, Darm contour (-), Darm steifung (-)
Auskultasi : bising usus (+) terdengar setiap 2-5 detik (normal)
Perkusi : redup, pekak sisi (-), pekak alih (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), tes undulasi (-)
Hepar : tidak teraba pembesaran
Lien : tidak teraba pembesaran
e. Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas
superior inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Akral dingin - - - -
Reflek fisiologis
Bicep/tricep + + + +
Patela + + + +
Reflek patologis
Reflek - - - -
babinsky
Sensoris D=S D=S D=S D=S

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium (05/10/2019)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Darah Lengkap 5 Oktober
Hemoglobin 13.6 11.7 - 15.5
Leukosit 14.600 (H) 3600 - 11000
Hematokrit 39 L 35 - 47
Eritrosit 4.7 juta 3.8 - 5.2
Trombosit 207.000 150000 – 440000
MCV 84.3 80 - 100
MCH 29.2 26 - 34
MCHC 34.6 32 – 36
RDW 12.8 11.5 - 14.5
MPV 10.3 9.4 - 12.3

Basofil 0.0 0–1


Eosinofil 0.0 (L) 2–4
Batang 0.0 (L) 3–5
Segmen 86.7 (H) 50 – 70
Limfosit 8.5 (L) 25 – 40
Monosit 4.8 2–8
KIMIA KLINIK
SGOT 28 15-40
SGPT 21 14 - 40
Ureum 36.07 14.98 - 38.52
Kreatinin 1.95 0.70 - 1.30
GDS 114 <=200
Na 144 134 - 146
K 4.3 3.4 - 4.5
Cl 109 96 - 108
CKMB 49 (H) 7-25
Troponin I 0.68 (H) 0-0.02
Kimia Klinik 6/10/19
Kolesterol total 186 (L)
Trigliserid 80
HDL kolesterol 47
LDL kolesterol 107

2. Pemeriksaan Rontgen Thorax (05/10/2019)


Kesan:
1. Cor tidak membesar
2. Pulmo dalam batas normal

3. Pemeriksaan EKG (05/10/2019)


E. Diagnosis Kerja
NSTEMI (Non-ST Elevatation Myocardial Infarction)
SVT (Supraventricular Tachycardia)
F. Diagnosis Banding
1. UAP (Unstable Angina Pectoris)
2. STEMI (ST Elevatation Myocardial Infarction)
3. Atrial Flutter
4. Atrial Fibrilasi
5. Takikardia Junctional
G. Tatalaksana
1. O2 4 LPM NK
2. Miniaspi 1 x 80 mg
3. Ticagrelor 2 x 90 mg
4. Atorvastatin 1 x 20 mg
5. Alprazolam 1 x 0.5 mg (malam)
6. Laxadyne syr 1xc2
7. Drip UHF 10 IU/KgBB/jam (H1)

Prognosis
Quo Ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo Ad Sanationam : Dubia ad bonam
Quo Ad Functionam : Dubia ad bonam

Perkembangan Pasien
Tanggal Subjective Objective Assesment Planning
6/10/19 Dada berdebar sudah TD : 101/78 Unstable O2 4 lpm nk
HP1 mulai membaik HR : 88x/men supraventricular miniaspi 1 x 80
pusing sudah tidak RR: 22x/men tachycardi mg
T : 36,7
dirasakan ticagrelor 2 x 90
mg
atorvastatin 1 x 20
mg
alprazolam 1 x 0.5
mg (malam)
laxadine syr 1xc2
drip UHF 10
iu/kgbb/jam (h1)
7/10/19 Dada berdebar tidak TD : 111/77 mmHg NSTEMI O2 4 lpm nk
HP2 dirasakan HR : 88x/men SVT miniaspi 1 x 80
pusing sudah tidak RR: 20x/men mg
T : 36,5
dirasakan ticagrelor 2 x 90
mg
atorvastatin 1 x 20
mg
alprazolam 1 x 0.5
mg (malam)
laxadine syr 1x2c
drip UHF sesuai
aptt (h2)
concor 1x2,5mg
ISDN 5mg k/p

PL : latihan lepas
O2
evaluasi sampai
siang ini, bila tak
ada keluhan dan vs
baik -> pindah
ruangan
8/10/18 Nyeri dada (-) TD : 120/90 NSTEMI O2 4 lpm nk -->
HP3 sesak (-) HR : 70x/men SVT aff
berdebar (-) RR: 20x/men miniaspi 1 x 80
T : 37.1
bak normal, bab cair mg
1x semalam ticagrelor 2 x 90
nafsu makan baik mg
atorvastatin 1 x 20
mg
alprazolam 1 x 0.5
mg (malam)
laxadine syr 1x2c
drip UHF sesuai
aptt (h3) ->
terakhir
concor 1x2,5mg
ISDN 5mg k/p

PL : rencana drip
UHF 3 hari
evaluasi besok
9/10/19 Nyeri dada (-) TD : 120/80 NSTEMI O2 4 lpm nk -->
HP4 sesak (-) HR : 73 x/men SVT aff
berdebar (-) RR: 18 x/men miniaspi 1 x 80
T : 36.2
bak normal banyak mg
nafsu makan baik ticagrelor 2 x 90
mg
atorvastatin 1 x 20
mg
alprazolam 1 x 0.5
mg (malam)
laxadine syr 1x2c
drip UHF sesuai
aptt (h3) -> stop
concor 1x2,5mg
ISDN 5mg k/p

PL: BLPL
III. TINJAUAN PUSTAKA
SVT (SUPRAVENTRICULAR TACHYCARDIA)

A. DEFINISI
Takikardia supraventrikular atau supraventricular tachycardia ditandai dengan
adanya perubahan laju jantung yang mendadak bertambah cepat menjadi berkisar
antara 150 kali/menit sampai 250 kali/menit, pada kebanyakan SVT kompleks
QRS normal.

B. MEKANISME
Berdasarkan pemeriksaan pemeriksaan elektrofisiologi intrakardiak dapat
diketahui bahwa mekanisme terjadinya takikardia.
1. Automatisasi (automaticity)
Irama ektopik yang terjadi akibat otomatisasi terjadi akibat adanya sel yang
mengalami percepatan (akselerasi) pada fase 4 dan sel ini dapat terjadi di atrium,
AV junction, bundle His, dan ventrikel sehingga muncul istilah takikardi atrial,
junctional, dan ventrikel otomatis. Struktur lain yang dapat menjadi sumber fokus
otomatisasi adalah vena pulmonalis dan vena kava superior .Contoh takikardi
otomatis yang normal adalah sinus takikardi. Ciri khas takidisritmia ini adalah
adanya femomena warm-up dan warm-down : peningkatan laju nadi secara
perlahan dan kemudian laju nadi berkurang secara perlahan sebelum akhirnya
takidisritmia berhenti. Takidisritmia karena otomatisasi sering berkaitan dengan
gangguan metabolik seperti hipoksia, hipokalemia, hipomagnesemia, dan asidosis.
2. Reentry
Ini adalah mekanisme yang terbanyak sebagai penyebab takidisritmia dan paling
mudah dibuktikan pada pemeriksaan elektrofisiologi. Prasyarat mutlak untuk
timbulnya reentry adalah sebagai berikut:
a. Adanya dua jalur konduksi yang saling berhubungan baik pada bagian
distal maupun proksimal hingga membentuk suatu rangkaian konduksi tertutup.
b. Salah satu jalur tersebut harus memiliki blok searah
c. Aliran listrik antegrad secara lambat pada jalur konduksi yang tidak
mengalami blok memungkinkan terangsangnya bagian distal jalur konduksi yang
mengalami blok searah untuk kemudian menimbulkan aliran listrik secara
retrograde secara cepat pada jalur konduksi tersebut sesuai.

C. KLASIFIKASI
Berdasarkan kedua mekanisme terjadinya dan lokasi kelainan yang menimbulkan
SVT seperti yang sudah dijelaskan di atas, maka dikenal berberapa jenis SVT
yaitu :

1. Takikardia atrium primer


Atrial flutter
Atrial reentry
Atrial fibrilasi
Atrial automatic
Atrial multifokal
2. Atrioventricular reentry tachycardia (AVRT)
Orthodromic reentry
Antidromic reentry
Junctional reentry
3. Atrioventricular nonal reentry tachycardia (AVNRT)
Typical: slow-fast
Atypical: fast-slow

Gambaran EKG yang ditemukan bergantung pada mekanisme dasar dan


lokalisasi kelainannya, yang dapat dibuktikan pada pemeriksaan elektrofisiologi
intrakardiak.atrium.
Pada takikardia atrium primer, tampak adanya gelombang P’ yang agak
berbeda dengan gelombang P pada waktu irama sinus, tanpa disertai pemanjangan
interval PR. Pada pemeriksaan elektrofisiologi intrakardiak tidak didapatkan jaras
abnormal (jaras tambahan).
Pada atrioventricular reentrant tachycardia (AVRT) pada WPW sindrom
jenis orthodromic, konduksi antegrad terjadi pada jaras His-Purkinje (slow
conduction) sedangkan konduksi retrograde terjadi pada jaras tambahan (fast
conduction). Kelainan yang tampak pada EKG adalah takikardia dengan
kompleks QRS yang sempit dengan gelombang P’ yang timbul segera setelah
kompleks QRS dan terbalik. Pada jenis yang antidromic, konduksi antegrad
terjadi pada jaras tambahan (fast conduction) sedangkan konduksi retrograde
terjadi pada jarag His-Purkinje (slow conduction). Kelainan pada EKG yang
tampak adalah takikardia dengan kompleks QRS yang lebar dengan gelombang P’
yang terbalik dan timbul pada jarak yang jauh setelah kompleks QRS.
Pada jenis atrioventricular nodal reentry tachycardia (AVNRT), reentry
terjadi di dalam nodus AV, dan jenis ini merupakan mekanisme yang paling
sering menimbulkan SVT pada bayi dan anak. Sirkuit tertutup pada jenis ini
merupakan sirkuit fungsional. Jika konduksi antegrad terjadi pada sisi lambat
(slow limb) dan konduksi retrograd terjadi pada sisi cepat (fast limb), jenis ini
disebut jenis tyipical (slow-fast) atau orthodromic. Kelainan pada EKG yang
tampak adalah takikardia dengan kompleks QRS sempit dengan gelombang P’
yang timbul segera setelah kompleks QRS tersebut dan terbalik, atau kadang-
kadang tidak tampak karena gelombang P’ tersebut terbenam di dalam kompleks
QRS. Jika konduksi antegrad terjadi pada sisi cepat (fast limb) dan konduksi
retrograd terjadi pada sisi lambat (slow limb), jenis ini disebut jenis atypical (fast-
slow) atau antidromic. Kelainan yang tampak pada EKG adalah takikardia dengan
kompleks QRS sempit dan gelombang P’ terbalik dan timbul pada jarak yang
cukup jauh setelah kompleks QRS.

D. GAMBARAN KLINIS
Gambaran tiap pasien akan berbeda-beda. Namun, berikut adalah gejala
yang sering ditemukan :
1. Palpitasi (>96%)
2. Kepala terasa pusing (dizziness) (75%)
3. Napas terengah-engah (47%)
4. Nyeri dada (35%)
5. Kelelahan (23%)
6. Sinkop (20%)
7. Keringat berlebihan (17%)
8. Mual (13%)

Pada pemeriksaan penunjang, harus dievaluasi hal-hal berikut :


1. Laboratorium : elektrolit, darah lengkap, hormon tiroid, kadar Digoxin
2. Imaging : Foto Thorax, Transthoracic Echocardiography, MRI
3. EKG
Dalam pemeriksaan EKG, dapat ditemukan berbagai gambaran berikut :
a. Sinus Takikardia
b. Sinus Nodal Reentrant Takikardia
c. Atrial Takikardia
d. Atrial Flutter
e. Atrial Fibrilasi
f. AV Nodal Reentrant Takikardia
g. AV Reentrant Takikardia
E. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan SVT meliputi penatalaksanaan segera dan
penatalaksanaan jangka panjang.
1. Penatalaksanaan Segera
Penatalaksanaan segera pasien dengan SVT terdiri dari :
- Perasat vagus
- Terapi Medikamentosa
- Electrical conversion.
Perasat vagus dan obat-obatan (adenosine) akan menyebabkan blok
atrioventrikular sementara sehingga terjadi terminasi segera dari SVT, kedua cara
di atas efektif pada jenis takikardia yang melibatkan nodus AV tapi responnya
kurang baik pada sebagian besar bentuk takikardia atrial pimer.
Perasat vagus lebih sering digunakan pada bayi dengan cara meletakkan
kantong plastik berisis es pada daerah muka dan mata bayi, diletakkan selama
sekitar 20 detik, dan cara ini dilaporkan efektif pada 25% kasus. Penekanan bola
mata tidak dianjurkan pada anak, sedangkan pada anak yang lebih besar lebih baik
dipakai metode valsava.
Adenosin, suatu nukleotida endogen, bersifat kronotropik negatif dan
efeknya sangat cepat dan berlangsung sangat singkat dengan konsekuensi pada
hemodinamik yang sangat minimal. Obat ini akan menyebabkan blok segera pada
nodus AV sehingga akan memutuskan sirkuit pada mekanisme reentry. Adenosin
merupakan obat pilihan pertama untuk menghentikan SVT dan efektifitasnya
dilaporkan pada sekitar 90% kasus. Adenosin diberikan dengan suntikan bolus
cepat yang diikuti dengan flush salin. Dosis awal adalah 50 µg/kg, dan dosis
ditingkatkan 50 µg/kg setiap 1-2 menit (maksimum 250 µg/kg). Dosis biasa yang
digunakan pada anak berkisar antara 100-150 µg/kg.
Verapamil juga tersedia untuk penanganan segera SVT pada anak berusia
di atas 12 bulan, akan tetapi saat ini sudah mulai jarang digunakan karena efek
sampingnya. Obat ini mulai bekerja 2 sampai 3 menit. Terdapat banyak laporan
terjadinya hipotensi berat dan henti jantung pada bayi berusia di bawah 6 bulan
dan sebaiknya verapamil tidak dipakai pada usia ini. Jika diberikan verapamil,
persiapan untuk mengantisipasi hipotensi harus disiapkan seperti calsium klorida
(10 mg/kg), cairan infus, dan obat vasopressor seperti dopamin. Tidak ada bukti
bahwa verapamil efektif VT pada kasus-kasus yang tidak memberikan respon
dengan adenosine.
Pada pasien dengan AVRT atau AVNRT, prokainamid mungkin juga
efektif. Obat ini bekerja memblok kunduksi pada jaras tambahan atau pada
konduksi retrograde pada jalur cepat pada sirkuit reentry di nodus AV. Hipotensi
juga sering dilaporkan pada saat loading dose diberikan.
Digoksin dilaporkan juga cukup efektif untuk mengobati kebanyakan SVT
pada anak. Digoksin tidak digunakan lagi untuk penghentian segera SVT dan
sebaiknya dihindari pada anak yang lebih besar dengan WPW sindrom karena
adanya risiko percepatan konduksi pada jaras tambahan.
Electrical cardioversion dengan 0,25-1 joule/kg merupakan pilihan terapi
pada SVT dengan hipotensi kritis atau jika hemodinamik tidak stabil.

2. Pengobatan Jangka Panjang


Pada kebanyakan pasien, tidak diperlukan terapi jangka panjang karena
umumnya tanda yang menonjol adalah takikardia dengan gejala klinis ringan dan
serangan yang jarang dan tidak dikaitkan dengan preeksitasi. Bayi-bayi dengan
serangan yang sering dan simptomatik akan membutuhkan obat-obatan seperti
propranolol, sotalol atau amiodaron, terutama untuk tahun pertama kehidupan.
Pada pasien pasien dengan serangan yang sering dan berusia di atas 5
tahun, radiofrequency ablasi catheter merupakan pengobatan pilihan. Pasien yang
menunjukkan takikardia pada kelompok umur ini umumnya takikardianya tidak
mungkin mengalami resolusi sendiri dan umumnya tidak tahan atau kepatuhannya
kurang dengan pengobatan medikamentosa. Terapi ablasi dikerjakan antara usia 2
sampai 5 tahun bila SVT refrakter terhadap obat anti aritmia atau ada potensi efek
sampaing obat pada pemakaian jangka lama. Pada tahun tahun sebelumnya,
alternative terhadap pasien dengan aritmia yang refrakter dan mengancam
kehidupan hanyalah anti-tacicardia pace maker atau ablasi pembedahan.
3. Ablasi kateter (catheter ablation) sebagai tindakan kuratif pada SVT
Prosedur ARF adalah prosedur invasif minimal dengan memasukkan
kateter ukuran 4-8 mm secara intravaskuler (umumnya ke jantung kanan), dengan
panduan sinar X. Biasanya prosedur ini bersamaan dengan pemeriksaan
elektrofisiologi.
Prosedur elektrofisiologi bertujuan untuk mencetuskan aritmia dan
memahami mekanismenya. Selanjutnya kateter ablasi diletakkan pada sirkuit yang
penting dalam merpertahankan kelangsungan aritmia tersebut di luar jaringan
konduksi normal. Bila lokasi yang tepat sudah ditemukan maka energi
radiofrekuensi diberikan melalui kateter ablasi. Umumnya pasien tidak merasakan
adanya rasa panas tapi kadang-kadang dapat juga dirasakan adanya rasa sakit.
Bila tidak terjadi komplikasi pasien hanya perlu dirawat selama satu hari bahkan
bisa pulang hari.
Kelompok pasien berikut ini sebaiknya dirujuk untuk prosedur elektrofisiologi
dan ARF:
1) Pasien dengan aritmia yang mengancam jiwa:
Pasien Fibrilasi Atrial (FA) dengan sindroma Wolf-Parkinson-White
dengan masa refrakter antegrad jaras tambahan yang pendek
2) Pasien dengan aritmia yang menimbulkan gagal jantung:
a.Takikardi atrial incessant
b.TRA dengan menggunakan jaras tambahan dengan sifat penghantaran
yang lambat dari ventrikel ke atrium
c.Flutter atrial
d.Fibrilasi atrial
3) Pasien dengan takiaritmia bergejala meskipun telah mendapat terapi obat:
a. Takikardi atrial
b. Flutter atrial
c. Fibrilasi trial
d. TRNA
e. TRA
f. Takikardi ventrikel idiopatik
4) Pasien seperti pilot, supir bis, atlit professional dengan jaras tambahan
(atrioventricular accessory pathway) dengan periode refrakter antegrad
yang pendek sehingga dapat membahayakan jiwa orang lain.

Dari beberapa meta-analysis didapatkan angka keberhasilan rata-rata ARF pada


TSV adalah 90-98% dengan angka kekambuhan sekitar 2-5%. Angka penyulit
rata-rata adalah sekitar 1%. Oleh karena itu ARF dipertimbangkan sebagai terapi
lini pertama dibandingkan dengan obat-obatan. Seandainya diperlukan tindakan
ulang biasanya angka keberhasilannya jauh lebih tinggi lagi.
Non-St Elated Myocardial Infarction (NSTEMI)

1. Definisi
Sindrom koroner akut merupakan kumpulan gejala akibat penurunan
aliran darah pada arteri koronaria. Sindrom ini meliputi STEMI (ST-
elevation myocadial infarction), NSTEMI (Non ST-elevation myocadial
infarction), dan angina tidak stabil (Amsterdam et al., 2014). Infark
miokardium merupakan kematian jaringan miokard yang diakibatkan
penurunan secara tiba-tiba aliran darah arteri koronaria ke jantung atau
terjadinya peningkatan kebutuhan oksigen secara tiba-tiba tanpa perfusi
arteri koronaria yang cukup (Darmawan, 2010)..
NSTEMI sebuah tipe serangan jantung yang terjadi ketika sebuah
arteri koroner terblok parsial oleh bekuan darah, yang menyebabkan
beberapa otot jantung yang disuplai oleh arteri tersebut mengalami infark
(Darmawan, 2010).Berdasarkan spektrum SKA, NSTEMI didefinisikan
sebagai gambaran EKG depresi segmen ST atau inversi gelombang T
prominen dengan biomarker nekrosis yang positif dengan tidak
dijumpainya elevasi segmen ST pada gambaran EKG dan sesuai dengan
gambaran klinis (Anderson, 2014)
2. Epidemiologi
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan penyakit yang masih
menjadi masalah baik di negara maju maupun negara berkembang (Firdus,
2012). Menurut WHO, pada tahun 2008 sekitar 7.254.000 kematian di
seluruh dunia (12,8% dari semua kematian) disebabkan oleh SKA
(Hausenloy, 2013). Menurut data dari American Heart Association (AHA)
pada tahun 2016, menyebutkan 15,5 juta warga Amerika memiiki penyakit
kardiovaskular (Sanchis-gomar et al., 2016). American Heart Association
(AHA) juga menyatakan, sekitar 785,000 penduduk Amerika menderita
infark miokard pada tahun ini. Sementara itu, tahun 2006, sekitar 1,4 juta
pasien didiagnosis menderita sindrom koroner akut yang meliputi 537,000
mengidap angina tidak stabil dan 810,000 terdiagnosis NSTEMI maupun
STEMI (Overbaugh, 2009). Di USA setiap tahun 550.000 orang
meninggal karena penyakit ini. Di Eropa, diperhitungkan 20 – 40.000
orang dari 1 juta penduduk menderita SKA (Firdus, 2012).
Di Indonesia SKA masih dianggap sebagai penyumbang angka
kematian tertinggi dengan angka prevalensi 7,2% pada tahun 2007 (Firdus,
2012). Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar, (RISKESDAS) tahun
2013 menyebutkan bahwa secara nasional terdapat 0,5% prevalensi
penyakit jantung koroer yang didiagnosis dokter. Prevalensi tersebut
paling tinggi di provins Sulawesi Utara, Sulawesi engah, DKI Jakarta dan
Aceh (RISKESDAS, 2013).
3. Etiologi
Secara umum penyebab terjadinya SKA adalah sebagi berikut:
a. Penyempitan arteri koroner karena adanya agregasi trombosit dan
thrombus akibat robeknya plak aterosklerosis
b. Obstruksi dinamik karena spasme fokal yang terus-menerus pada
segmen srteri koroner epikardium. Spasme ini disebabkan oleh
hiperkontraktilitas otot polos pembuluh darah atau akibat disfungsi
endotel
c. Penyempitan yang hebat pada aterosklerosis progresif atau dengan
stenosis ulang setelah intervensi koroner perkutan (PCI)
d. Inflamasi menyebabkan penyempitan arteri, destabilisasi plak, ruptur,
dan trombogenesis
e. Adanya faktor pencetus seperti:
1) Demam, takikardi, tirotoksikosis menyebabkan peningkatan
kebutuhan oksigen miokard
2) Penurunan aliran darah coroner
3) Anemia dan hipoksemia menyebabkan penurunan pasokan oksigen
miokard (Sudoyo et al., 2009).

Penyebab Infark miokard sesuai tipenya adalah :


a. Infark miokard tipe 1
Infark miokard secara spontan terjadi karena ruptur plak, fisura,
atau diseksi plak aterosklerosis. Selain itu, peningkatan kebutuhan
dan ketersediaan oksigen dan nutrien yang inadekuat memicu
munculnya infark miokard. Hal-hal tersebut merupakan akibat dari
anemia, aritmia dan hiper atau hipotensi.
b. Infark miokard tipe 2
Infark miokard jenis ini disebabkan oleh vaskonstriksi dan spasme
arteri menurunkan aliran darah miokard
c. Infark miokard tipe 3
Pada keadaan ini, peningkatan pertanda biokimiawi tidak
ditemukan. Hal ini disebabkan sampel darah penderita tidak
didapatkan atau penderita meninggal sebelum kadar pertanda
biokimiawi sempat meningkat.
d. Infark miokard tipe 4a
Peningkatan kadar pertanda biokimiawi infark miokard (contohnya
troponin) 3 kali lebih besar dari nilai normal akibat pemasangan
percutaneous coronary intervention (PCI) yang memicu terjadinya
infark miokard.
e. Infark miokard tipe 4b
Infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent trombosis.
f. Infark miokard tipe 5
Peningkatan kadar troponin 5 kali lebih besar dari nilai normal,
kejadian infark miokard jenis ini berhubungan dengan operasi
bypass koroner.
4. Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya SKA sendiri dapat dibagi dua. Pertama adalah
faktor risiko yang dapat diperbaiki (reversible) atau bisa diubah
(modifiable), yaitu: hipertensi, kolesterol, merokok, obesitas, diabetes
mellitus, hiperurisemia, aktivitas fisik kurang, stress, dan gaya hidup (life
style). Faktor risiko seperti usia, jenis kelamin, dan riwayat penyakit
keluarga adalah faktor-faktor yang tidak dapat diperbaiki (Pambudi et al.,
2010 ; Burazerl et al., 2007).
Efek rokok adalah menambah beban miokard karena rangsangan oleh
katekolamin dan menurunnya konsumsi oksigen akibat inhalasi
karbonmonoksida atau dengan kata lain dapat menyebabkan takikardi,
vasokonstriksi pembuluh darah, merubah permeabilitas dinding pembuluh
darah, dan merubah 5-10% Hb menjadi karboksi-Hb sehingga
meningkatkan risiko terkena sindrom koroner akut (Pambudi et al., 2010).
Hipertensi dapat berpengaruh terhadap jantung melalui meningkatkan
beban jantung sehingga menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri dan
mempercepat timbulnya aterosklerosis karena tekanan darah yang tinggi
dan menetap akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding
pembuluh darah arteri koronaria sehingga memudahkan terjadinya
aterosklerosis koroner. Kolesterol, lemak, dan substansi lainnya dapat
menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah arteri, sehingga lumen
dari pembuluh darah tersebut menyempit dan proses ini disebut
aterosklerosis (Pambudi et al., 2010 ; Burazerl et al., 2007).
Penyempitan pembuluh darah ini akan menyebabkan aliran darah
menjadi lambat bahkan dapat tersumbat sehingga aliran darah pada
pembuluh darah koroner yang fungsinya memberi oksigen ke jantung
menjadi berkurang. Kurangnya oksigen akan menyebabkan otot jantung
menjadi lemah, nyeri dada, serangan jantung bahkan kematian mendadak
(Burazerl et al., 2007).
5. Patofisiologi
Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya aterosklerosis
yang kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah. Penyakit
aterosklerosis ditandai dengan pembentukan bertahap fatty plaque di
dalam dinding arteri. Lama-kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam
lumen, sehingga diameter lumen menyempit. Penyempitan lumen
mengganggu aliran darah ke distal dari tempat penyumbatan terjadi
(Ramrakha, 2006). Salah satu hipotesis yang menerangkan tentang proses
terbentuknya aterosklerosis adalah mengenai response to injure
hypothesis yaitu sebagai berikut (Darmawan, 2010):
a. Endothelial injure
Endotelial yang intak dan licin berfungsi sebagai barrier yang
menjamin aliran darah koroner lancar. Faktor risiko yang dimiliki pasien
akan memudahkan masuknya lipoprotein densitas rendah (Low Density
Lipoprotein/LDL) yang teroksidasi maupun makrofag ke dalam dinding
arteri. Interaksi antara endotelial injure dengan platelet, monosit dan
jaringan ikat (collagen), menyebabkan terjadinya penempelan platelet
(platelet adherence) dan agregasi trombosit (trombosit agregation).
b. Fatty Streak Formation
Pembentukan fatty streak merupakan pengendapan kolesterol-
kolesterol yang telah dioksidasi dan makrofag di bawah endothelium
arteri. LDL dalam darah akan menyerang endotel dan dioksidasi oleh
radikal-radikal bebas pada permukaan endotel. Lesi ini secara
makroskopik berbentuk bercak berwarna kekuningan, terdiri dari sel-
sel otot polos dan makrofag yang mengandung lipid terutama dalam
bentuk ester cholesterol yang disebut foam cells.
c. Fibrosis Plaque Formation
Pembentukan plak fibrosis terdiri atas inti kolesterol dan tutup
jaringan ikat (cap fibrous). Formasi ini memberikan dua gambaran
tipe yaitu Stable fibrous plaque dan Unstable fibrous plaque.

Gambar 3.1. Patofisiologi aterosklerosis


Dalam memahami patofisiologi penyakit jantung koroner maka perlu
diketahui terlebih dahulu faktor yang mempengaruhi supply dan demand
dari konsumsi oksigen miokardium. Aliran darah ke otot jantung (supply)
bergantung pada kandungan oksigen dalam darah dan aliran darah koroner.
Kandungan oksigen dalam darah ini ditentukan oleh kadar Hb dan
tingkatan oksigenasi sistemik. Sedangkan aliran darah koroner ditentukan
secara berbanding lurus dengan tekanan perfusi, dan berbanding terbalik
dengan resistensi vaskular. Koroner, tidak seperti pembuluh darah lain,
mendapat aliran darah saat fase diastolik. Hal ini disebabkan aliran
koroner terhambat akibat kompreksi eksternal ventrikel saat fase sistolik,
jadi tekanan perfusi koroner ditentukan oleh tekanan diastolik aorta.
Sedangkan resistensi vaskular di koroner tergantung: (1) Faktor kompresi
eksternal (kontraksi ventrikel/sistol) dan (2) Faktor intrinsik (Naik, 2007).
Faktor intrinsik akan mempengaruhi tonus koroner, dimana
komponennya terdiri dari metabolit lokal, derivat endotel, dan innervasi
autonom. Metabolit lokal memengaruhi tonus koroner secara lokal untuk
meningkatkan supply oksigen miokardium untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme seluler, jadi ketika terjadi hipoksemia (akan terjadi
pergeseran dari metabolisme aerob ke anaerob), ATP tidak cukup
dihasilkan dan akibatnya terjadi akumulasi adenosin (hasil degradasi AMP
dan ADP yang tidak dimodifikasi menjadi ATP), yang merupakan
vasodilator poten, sehingga suplai oksigen ke jaringan masih dapat
dipertahankan. Selain itu ada pula faktor-faktor yang diproduksi endotel
yaitu NO, prostasiklin, dan endothelium-derived hyperpolarizing factor
(EDHF), yang ketiganya merupakan vasodilator dan Entothelin 1 yang
merupakan vasokontriktor. Dalam keadaan normal koroner akan
cenderung menjadi vasodilatasi (NO dan prostasiklin akan mendominasi
endothelin 1), hal ini tidak akan terjadi apabila terjadi disfungsi endotel
akibat berbagai faktor. Dan yang terakhir adalah adanya persarafan dari
simpatis dan parasimpatis, yang dalam keadaan normal simpatis
mendominasi. Arteri koroner mempunyai reseptor alpha (vasokonstriksi)
dan beta-2 (vasodilatasi). Jadi ketiga faktor tersebut menghasilkan suatu
keseimbangan tonus vaskular, misalnya ketika terjadi respon stres
(katekolamin) akan terjadi perangsangan reseptor alpha (vasokonstriksi),
kemudian beta-1 (inotropik positif) yang keduanya akan meningkatkan
demand yang nantinya akan merangsang pembentukan metabolit lokal
berupa vasodilator sehingga akan tetap dalam keadaan vasodilatasi untuk
menjamin aliran darah koroner/supply (Naik et al, 2007).
Kebutuhan oksigen miokardium (demand) dipengaruhi oleh 3
komponen, yaitu: (1) stress dinding ventrikel, (2) Heart Rate/kronotropik,
dan (3) kontraktilitas/inotropik, dimana ketiga faktor ini akan
meningkatkan kebutuhan terhadap oksigen, serta dalam jumlah kecil
oksigen dibutuhkan untuk pembentukan energi metabolisme basal dan
aktivitas listrik jantung. Stress dinding ventrikel dipengaruhi secara lurus
oleh tekanan intraventrikel dan radius ventrikel, serta berbanding terbalik
dengan ketebalan dinding ventrikel. Dalam keadaan normal ketiga
kebutuhan ini difasilitasi oleh faktor penentu tonus koroner, sehingga akan
tercapai keseimbangan agar miokardium mendapat cukup nutrisi dan
oksigen. Tetapi ketika ada penyumbatan akibat plak
aterosklerosis/stenosis, akan terjadi imbalans antara supply dan demand
oksigen terhadap miokardium, ditambah lagi dengan kondisi disfungsi
endotel yang akan memperparah mekanisme kompensasi supply oksigen
ke miokardium. Jadi patofisiologi iskemia pada penyakit jantung koroner
tidak hanya akibat penurunan aliran darah koroner akibat penyempitan
(mekanikal) tetapi juga akibat gangguan keseimbangan tonus koroner
(kimiawi) yang keduanya akibat proses aterosklerosis (Naik et al, 2007).
Tabel 3.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi supply dan demand
Supply Demand
Konten oksigen darah Stress dinding ventrikel
Tekanan Perfusi Koroner Heart Rate/kronotropik
Resistensi vaskular koroner Kontraktilitas/inotropik
Kompresi Eksternal
Regulasi intrinsik (metabolit
lokal, derivat endotel, dan
innervasi autonom)
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma
pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan
perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak
tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan
aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white
thrombus). Trombus ini akan menyumbat pembuluh darah koroner, baik
secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat
pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat
vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat
gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner
menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama
kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis
(infark miokard). Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total
pembuluh darah koroner (PERKI, 2015).
Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung
(miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan
kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah
iskemia hilang), distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk,
ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak mengalami
koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka mengalami SKA karena
obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial
(Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun
trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah
Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti
demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi
pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak
aterosklerosis (PERKI, 2015).
Pada saat ini, proses terjadinya plak aterosklerotik dipahami bukan
proses sederhana karena penumpukan kolesterol, tetapi telah diketahui
bahwa disfungsi endotel dan proses inflamasi juga berperan penting.
Proses pembentukan plak dimulai dengan adanya disfungsi endotel karena
faktor-faktor tertentu. Pada tingkat seluler, plak terbentuk karena adanya
sinyal-sinyal yang menyebabkan sel darah, seperti monosit, melekat ke
lumen pembuluh darah (Kleinschmidt et al., 2006)

Gambar 3.2.. Fase Awal Disfungsi Endotel (Kleinschmidt et al., 2006)

Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak di tunika intima


arteri besar dan arteri sedang. Proses ini berlangsung terus selama hidup
sampai akhirnya bermanifestasi sebagai SKA. Proses aterosklerosis ini
terjadi melalui 4 tahap, yaitu kerusakan endotel, migrasi kolesterol LDL
(low-density lipoprotein) ke dalam tunika intima, respons inflamatorik,
dan pembentukan kapsul fibrosis. Jejas endotel mengaktifkan proses
inflamasi, migrasi dan proliferasi sel, kerusakan jaringan lalu terjadi
perbaikan, dan akhirnya menyebabkan pertumbuhan plak (Kumar et al.,
2006 ; Rosen et al., 2009).
Jika endotel rusak, sel-sel inflamatorik, terutama monosit, bermigrasi
menuju ke lapisan subendotel dengan cara berikatan dengan molekul
adhesif endotel. Jika sudah berada pada lapisan subendotel, sel-sel ini
mengalami differensiasi menjadi makrofag. Makrofag akan mencerna LDL
teroksidasi yang juga berpenetrasi ke dinding arteri, berubah menjadi sel
foam dan selanjutnya membentuk fatty streaks. Makrofag yang teraktivasi
ini melepaskan zat-zat kemoatraktan dan sitokin yang makin mengaktifkan
proses ini dengan merekrut lebih banyak makrofag, sel T, dan sel otot
polos pembuluh darah (yang mensintesis komponen matriks ekstraseluler)
pada tempat terjadinya plak (Kumar et al., 2006).
Sel otot polos pembuluh darah bermigrasi dari tunika media menuju
tunika intima, lalu mensintesis kolagen, membentuk kapsul fibrosis yang
menstabilisasi plak dengan cara membungkus inti lipid dari aliran
pembuluh darah. Makrofag juga menghasilkan matriks metaloproteinase
(MMPs), enzim yang mencerna matriks ekstraseluler dan menyebabkan
terjadinya disrupsi plak (Kumar et al., 2006 ; Rosen et al., 2009).
Kebanyakan plak aterosklerotik akan berkembang perlahan-lahan
seiring berjalannya waktu. Kebanyakan akan tetap stabil. Gejala muncul
bila stenosis lumen mencapai 70-80%. Mayoritas kasus SKA terjadi
karena ruptur plak aterosklerotik. Plak yang ruptur ini kebanyakan hanya
menyumbat kurang dari 50% diameter lumen. Mengapa ada plak yang
ruptur dan ada plak yang tetap stabil belum diketahui secara pasti.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa inti lipid yang besar, kapsul
fibrosa yang tipis, dan inflamasi dalam plak merupakan predisposisi untuk
terjadinya ruptur (Kumar et al., 2006 ; Rosen et al., 2009).
Setelah terjadi ruptur plak maupun erosi endotel, matriks
subendotelial akan terpapar darah yang ada di sirkulasi. Hal ini
menyebabkan adhesi trombosit yang diikuti aktivasi dan agregasi
trombosit, selanjutnya terbentuk trombus. Trombosit berperan dalam
proses hemostasis primer. Selain trombosit, pembentukan trombus juga
melibatkan sistem koagulasi plasma. Sistem koagulasi plasma merupakan
jalur hemostasis sekunder. Kaskade koagulasi ini diaktifkan bersamaan
dengan sistem hemostasis primer yang dimediasi trombosit (Kumar et al.,
2006 ; Rosen et al., 2009).
Ada 2 macam trombus yang dapat terbentuk yaitu trombus putih dan
trombus merah. Trombus putih merupakan bekuan yang kaya trombosit.
Hanya menyebabkan oklusi sebagian. Trombus merah merupakan bekuan
yang kaya fibrin. Terbentuk karena aktivasi kaskade koagulasi dan
penurunan perfusi pada arteri. Bekuan ini bersuperimposisi dengan
trombus putih, menyebabkan terjadinya oklusi total. Pada angina tidak
stabil dan NSTEMI, hanya didapatkan trombus putih. Sedangkan pada
STEMI, selain trombus putih, juga didapatkan trombus merah (Kumar et
al., 2006).
6. Tanda dan Gejala
a. Nyeri dada
1) Nyeri dada yang terjadi secara mendadak dan tidak mereda,
biasanya diregion sternal bawah dan abdomen bagian atas, ini
merupakan gejala utama.
2) Keparahan nyeri dapat meningkat dan menetap sampai nyeri tidak
tertahankan lagi.
3) Nyeri tersebut sangat hebat seperti dihimpit beban berat atau
diremas yang dapat menjalar ke bahu, dagu, lengan, hingga ke
bagian belakang.
4) Nyeri mulai secara spontan, menetap selama beberapa lama dan
tidak hilang dengan bantuan istirahat.
b. Sesak napas
c. Pucat dan akral dingin
d. Diaphoresis berat
e. Kepala terasa melayang
f. Mual muntah.
7. Penegakan Diagnosis
Diagnosis bergantung kepada hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik,
pengukuran marker biokimia kerusakan otot jantung (khususnya troponin),
dan hasil pemeriksaan EKG (Hampton, 2003).
a. Anamnesis
Dari anamnesis, diagnosis NSTEMI biasanya didasarkan pada riwayat
nyeri dada selama 20 menit atau lebih di daerah substernal, tidak hilang
dengan istirahat, dan tidak berespon terhadap nitrogliserin. Ciri khas
lain adalah nyeri yang menjalar ke leher, rahang bawah, atau tangan
kiri. Nyerinya tidak berat. Beberapa pasien datang dengan gejala yang
lebih ringan, seperti mual/muntah, sesak nafas, kelelahan, palpitasi, atau
pingsan (Steg et al., 2012 dan Dharma, 2009). Pasien juga sering
mengalami keringat malam. Pada sebagian kecil pasien (20% sampai
30%) AMI tidak menimbulkan nyeri dada. Silent AMI ini terutama
terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada
pasien berusia lanjut (Sudoyo, 2010).
Dapat pula didapati keluhan tidak khas lainnya seperti epigastric pain,
masalah pencernaan, nyeri dada seperti ditikam, nyeri dada dengan ciri
pleuritik, atau bertambahnya sesak napas. Munculnya keluhan-keluhan
tersebut setelah aktifitas fisik atau berkurang saat istirahat atau setelah
penggunaan nitrat, mendukung diagnosis iskemia. Tanyakan faktor
risiko lain seperti usia, DM, hipertensi, merokok, riwayat keluarga,
episode angina, konsumsi aspirin, riwayat penyakit serupa dan makanan
dan juga pencetus NSTEMI seperti anemia, infeksi, inflamasi, demam
dan kelainan metabolik atau endokrin (Hamm, 2011).
b. Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus
iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan
diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga
(S3), RBH dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa Ditemukannya
tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, RBH
atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial
friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan
regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri
pleuritik perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding
SKA (PERKI,2015).

c. Pemeriksaan EKG
EKG 12 lead saat istirahat merupakan alat diagnostik lini pertama
dalam penilaian pasien yang diduga NSTEMI. EKG harus didapat
dalam 10 menit setelah kontak medis pertama dan secepatnya
diinterpretasikan oleh dokter. Karakteristik abnormalitas gambaran
EKG yang ditemui pada NSTEMI adalah depresi segmen ST atau
elevasi transient dan atau perubahan pada gelombang T (inversi
gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-
normal)(Daga, 2011).
Jumlah lead yang menunjukkan depresi segmen ST dan derajat depresi
segmen ST mengindikasikan luas dan keparahan iskemia dan
berkorelasi dengan prognosis. Depresi segmen ST>2 mm meningkatkan
resiko mortalitas. Inversi gelombang T juga sensitif untuk iskemik
namun kurang spesifik, kecuali bila ≥ 0,3mV baru dinyatakan bermakna
(Kumar, 2009).
Perekaman EKG sebaiknya diulangi setidaknya pada 3 jam (6-9 jam)
dan 24 jam setelah masuk RS. Pada kondisi dimana terjadi nyeri dada
berulang, pemeriksaan EKG dapat diulangi secepatnya. Harus diingat
bahwa gambaran EKG normal tidak menyingkirkan kemungkinan
NSTEMI. Terutama iskemik pada daerah arteri sirkumfleks atau iskemik
ventrikel kanan terisolasi dapat tidak terdeteksi dari gambaran EKG 12
lead, namun dapat terdeteksi pada lead V7-V9 dan pada lead V3R dan V4R.
(Hamm, 2011)

Gambar 3.3. Inversi Gelombang (Myrth, 2011)

Gambar 3.4. Depresi segmen ST (NTCM, 2013)


Tabel 3.2 Penentuan Lokasi Infark Miokard (Davey, 2005)
Lokasi Arteri yang Lead EKG yang mengalami
AMI tersumbat perubahan
Anterior Arteri koroner desendens V2-V5: ‘lead dada
anterior sinistra anterospetal’ biasanya juga
pada lead I dan aVL
Inferior Kanan (biasanya) II, III, aVF ‘lead inferior’
Posterior Kanan/sirkumfleksa Sulit dilihat: infark dinding
posterior menyebabkan
timbulnya gelombang R
(bukan gelombang q) pada
V1 disertai depresi ST. Sering
bersama-sama dengan MI
inferior
Lateral Arteri koroner desendens I, aVL, V5, V6 ‘lead lateral’
anterior sinistra cabang
sirkumfleksa atau diagonal

d. Pemeriksaan Marka Jantung


Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam
tatalaksana pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat
implementasi terapi reperfusi. Pemeriksaan penanda kerusakan
jantung yang dianjurkan adalah creatinin kinase (CK) MB dan
Troponin T atau Troponin I yang merupakan biomarker pilihan
karena sensitifitas dan spesifitas yang tinggi untuk nekrosis
miokard. Peningkatan kadar Troponin T atau Troponin I pada
pasien dengan riwayat kemungkinan infark miokard berarti bahwa
telah terjadi infark (Steg, 2012; Sudoyo, 2010; Hampton, 2003).

Troponin lebih spesifik dan sensitif dibandingkan CKMB dan


mioglobin. Peningkatan troponin jantung menggambarkan kerusakan
selular miokard yang mungkin disebabkan oleh embolisasi distal oleh
trombus kaya platelet dari plak yang ruptur atau mengalami erosi. Pada
kondisi iskemik miokard. Pada pasien-pasien dengan infark miokard,
peningkatan awal troponin muncul dalam 4 jam setelah onset gejala.
Troponin dapat tetap meningkat sampai dua minggu akibat proteolisis
aparatus kontraktil. Nilai cut off untuk infark miokard adalah kadar
troponin jantung melebihi persentil 99 dari nilainormal (Hamm, 2011).
CKMB adalah Isoenzim yang ditemukan pada otot jantung yang
meningkat pada keadaan infark miokard pada 4-6 jam pertama dan
memuncak dalam 12-24 jam, kemudian akan kembali normal dalam 36-48
jam. Peningkatan pada enzim ini menunjukkan terjadinya kerusakan pada
sel otot (Steg, 2012).
LDH meningkat dalam 12-24 jam dan memakan waktu lama untuk
kembali normal. LDH (Laktat Dehidrogenase) merupakan salah satu
enzim yang melepas hydrogen dan merupakan enzim yang tersebar luas
pada jaringan terutama ginjal, rangka, hati, serta otot jantung. Peningkatan
pada enzim ini menunjukkan kerusakan pada jaringan (Steg, 2012).

Gambar 3.5. Waktu Marker Jantung (NTCM, 2013)

e. Pemeriksaan laboratorium.
Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus
dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula
darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal,
dan panel lipid. (Sudoyo, 2010).
f. Pemeriksaan Imaging
Foto thoraks biasanya dilaksanakan pada saat awal pasien masuk ke
rumah sakit, sehingga dapat dievaluasi kemungkinan lain penyebab
nyeri dada dan sekaligus sebagai skrining kongesti paru yang akan
mempengaruhi prognosis. Pemeriksaan ekokardiografi dan doppler
sebaiknya dilakukan setelah hospitalisasi untuk menilai fungsi
global ventrikel kiri dan abnormalitas gerakan dinding regional.
Ekokardiografi juga diperlukan untuk menyingkirkan penyebab lain
dari nyeri dada (Kumar, 2009). Angiografi koroner merupakan
pemeriksaan baku emas untuk mengetahui dan menilai keparahan
penyakit arteri koroner. Angiografi urgent dilakukan untuk tindakan
diagnostik pada pasien-pasien dengan resiko tinggi dan dengan
diagnosis banding yang tidak jelas (Hamm, 2011).
8. Penatalaksanaan
Pasien dengan sangkaan SKA harus dievaluasi dengan cepat.
Keputusan yang dibuat berdasarkan evaluasi awal terhadap pasien
memiliki konsekuensi klinis dan ekonomis yang bermakna. Pasien
NSTEMI atau diduga NSTEMI yang dalam keadaan stabil sebaiknya
dirawat inap dan menjalani tirah baring dengan monitoring ritme EKG
berkelanjutan dan diobservasi akan kemungkinan iskemik berulang. Pasien
dengan resiko tinggi, termasuk mereka dengan rasa tidak nyaman pada
dada yang terus menerus dan atau hemodinamik tidak stabil sebaiknya
dirawat di ICCU dan diobservasi setidaknya 24-48 jam (Goncalves, 2005).
Terdapat empat komponen utama terapi pada NSTEMI yaitu terapi
antiiskemia, antiplatelet/antikoagulan, terapi invasif (kateterisasi
dini/revaskularisasi), dan perawatan sebelum meninggalkan RS dan
sesudah perawatan RS. Terapi fibrinolitik menggunakan streptokinase,
urokinase, tenekteplase atau preparat lainnya sebaiknya tidak digunakan
pada pasien dengan NSTEMI (Daga, 2011)
Tujuan utama penatalaksanaan AMI adalah mendiagnosis secara
cepat, menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan
strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, memberi anti-trombotik dan
anti-platelet, serta memberikan obat penunjang (Fauci et al., 2011). Tujuan
penatalaksanan dari NSTEMI adalah reperfusi untuk memulihkan
oksigenasi dan suplai substrat metabolik akibat oklusi trombotik persisten
di arteri koroner (Antman, 2008).
Tatalaksana awal di ruang emergensi (10 menit pertama setelah pasien
datang) adalah sebagai berikut (PERKI, 2015; Dharma, 2009):
a. Tirah baring (bed rest total)
b. Oksigen 4 L/menit (saturasi O2 dipertahankan > 90%)
c. Aspirin 150-300 mg (dikunyah) dilanjutkan dengan 75-100 mg/hari
d. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
e. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari, atau
f. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi
reperfusi menggunakan agen fibrinolitik)
g. Nitrat 5 mg sublingual (dapat diulang 3 kali) lalu drips bila masih
nyeri
h. Morfin sulfat 1-5 mg IV, dapat diulang setiap 10-30 menit, bila nyeri
tidak teratasi dengan nitrat
i. Tentukan pilihan revaskularisasi (memperbaiki aliran darah koroner)
dan reperfusi miokard harus dilakukan pada pasien STEMI akut
dengan presentasi ≤ 12 jam.
Gambar 3.6. Target terapi anti-platelet dan anti-koagulan
Terapi Farmakologi yang dapat diberikan pada pasien SKA adalah:
a. Antiplatelet
Anti platelet yang digunakan selama fase awal NSTEMI berperan
dalam mempertahankan patensi arteri koroner yang terkena infark.
1) Aspirin
Aspirin merupakan golongan anti-platelet dengan mekanisme
produksi inhibitor total thromboxan A2. Dosis awal yang harus
diberikan adalah 150 mg sampai 300 mg dan dilanjutkan dalam
jangka waktu tidak terbatas dengan dosis harian 75–100 mg.
Kontraindikasi dalam pemberian aspirin meliputi pasien yang
mengalami hipersensitivitas, perdarahan aktif pada saluran
pencernaan atau penyakit hepar kronis.
2) Clopidogrel
Clopidogrel berguna sebagai pengganti aspirin untuk pasien
dengan hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien
dengan STEMI yang menjalani reperfusi primer atau fibrinolitik.
Dosis loading awal yaitu 300 mg yang dilanjutkan dengan
dosis harian sebesar 75 mg. Pada pasien dengan PCI, disarankan
untuk pemberian dosis loading sebesar 600 mg bertujuan untuk
mencapai lebih cepat penghambatan fungsi trombosit. Pemberian
clopidogrel secara maintenance diberikan selama 12 bulan kecuali
jika didapatkan adanya risiko perdarahan masif.
b. Anti Koagulan
Antikoagulan digunakan pada terapi NSTEMI untuk
menghambat pembentukan dan atau aktivitas thrombin sehingga dapat
mengurangi kejadian-kejadian yang berhubungan dengan
pembentukan thrombus. Antikoagulan direkomendasikan untuk semua
pasien sebagai tambahan terapi anti platelet.
1) Unfractionated Heparin (UFH)
UFH kurang baik diabsorpsi melalui rute sub kutan, sehingga
penggunaan infus intravena menjadi rute pemberian yang lebih
dipilih. Dengan dosis bolus inisial 60-70 IU/kgBB (maksimal
5000 IU) diikuti infus inisial 12-15 IU/kg/jam (maksimal 1000
IU/jam). Batas terapeutik UFH cukup sempit, sehingga
diperlukan monitoring aPTT secara berkala, dengan target
optimal 50-75 detik (1,5-2,5 kali batas teratas nilai normal). Pada
nilai aPTT yang lebih tinggi, resiko komplikasi perdarahan akan
meningkat, tanpa adanya efek anti trombotik. Efek antikoagulan
UFH akan hilang dengan cepat dalam beberapa jam setelah
penghentian, sehingga dalam 24 jam penghentian terapi terdapat
resiko reaktivasi proses koagulasi dan meningkatkan resiko
kejadian iskemik berulang meskipun diberikan bersamaan dengan
aspirin.
2) Fondaparinux
Fondaparinux direkomendasikan atas dasar efikasi yang paling
baik dan profil keamanan nya. Fondaparinux paling sedikit
menyebabkan komplikasi perdarahan dan memiliki
bioavailabilitas 100 % setelah disuntikkan secara sub kutan
dengan waktu paruh 17 jam serta diekskresikan oleh ginjal. Dosis
yang direkomendasikan adalah 2,5 mg/hari. Fondaparinux
dikontraindikasikan pada pasien yang memiliki CrCl < 20
ml/menit. Tambahan UFH dengan dosis 50-100 U/kg BB bolus
diperlukan selama PCI karena didapatinya insidensi trombosis
kateter yang sedikit tinggi.

Tabel 3.5. Jenis dan dosis antikoagulan untuk IMA (PERKI, 2015)

c. Nitrat
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang
mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolik
ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek
lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang
normal maupun yang mengalami aterosklerosis.
Tabel 3.6. Jenis dan dosis nitrat untuk IMA (PERKI, 2015)

d. Beta blocker
Penyekat beta pada pasien NSTEMI dapat memberikan manfaat
yaitu manfaat yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan
yang diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk
pencegahan sekunder setelah infark. Penyekat beta intravena
memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan oksigen miokard,
mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko
kejadian aritmia ventrikel yang serius (Sudoyo, 2010).
Tabel 3.7 Jenis dan dosis beta blocker untuk IMA (PERKI, 2015)

e. ACE-inhibitor dan Angiotensin Receptor Blocker


Angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor berguna dalam
mengurangi remodeling dan menurunkan angka kematian penderita
pasca-infark miokard yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung,
dengan atau tanpa gagal jantung klinis. ACE inhibitor diindikasikan
penggunaannya untuk jangka panjang, kecuali ada kontraindikasi,
pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% dan pasien
dengan diabetes mellitus, hipertensi, atau penyakit ginjal kronik
(PGK). Angiotensin Receptor Blocker diindikasikan bagi pasien
infark mikoard yang intoleran terhadap inhibitor ACE dan mempunyai
fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%, dengan atau tanpa gejala klinis gagal
jantung.
Tabel 3.8. Jenis dan dosis ACE inhibitor untuk IMA (PERKI, 2015)

f. Terapi lainnya
1) Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda
klinis atau gejala kongesti. Tujuan dari pemberian diuretik adalah
untuk mencapai status euvolemia dengan dosis yang serendah
mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien untuk
menghindari dehidrasi. Diuretik yang sering digunakan golongan
diuretic loop dan thiazid. Diuretik loop (bumetamid, furosemid)
meningkatkan ekskresi natrium dan cairan ginjal dengan tempat
kerja pada ansa henle asenden, sehingga meningkatkan pengeluaran
air. Loop diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin
vasodilator renal. Contoh obat loop diuretic yaitu furosemid
dengan dosis 20-40 mg satu kali atau dua kali per hari. Diuretik
hemat kalium, spironolakton dengan dosis 25-50mg/hari dapat
mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang
sampai berat yang disebabkan gagal jantung sistolik. Salah satu
efek pemberian diuretik adalah hiperurisemia.
2) Opioid
Opioid parenteral seperti morfin penting dalam penatalaksanaan
gagal jantung akut berat karena dapat menurunkan kecemasan,
nyeri dan stress, serta menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat juga
menurunkan preload dan tekanan pengisian ventrikel serta edem
pulmonal. Dosis pemberian 2-3 mg intravena dan dapat diulang
sesuai kebutuhan (Grady et al., 2000).
Tabel 3.9. Terapi NSTEMI (Hamm, 2011)
Gambar 3.7 Penatalaksanaan NSTEMI Skematis (Anderson, 2012)

Tatalaksana Predischarge dan Pencegahan Sekunder


Pasien dengan NSTEMI setelah melewati fase inisial memiliki resiko
tinggi untuk mengalami kejadian iskemia berulang. Oleh karena itu tindakan
pencegahan seperti perbaikan pola hidup, penurunan berat badan, kontrol
tekanan darah, manajemen diabetes, intervensi lipid, penggunaan antiplatelet,
penghambat beta, ACEI atau ARB akan sangat membantu (Harun, 2009)
ACE inhibitor sebaiknya diberikan secara oral dalam 24 jam pertama
pada pasien dengan kongesti paru atau fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 0,40 tanpa
adanya hipotensi atau kontraindikasi lain. ARB dapat diberikan pada pasien-
pasien yang intoleran terhadap ACE inhibitor.Statin direkomendasikan untuk
semua pasien NSTEMI, terlepas dari berapa kadar kolesterol, inisiasi dini
dimulai setelah masuk ke rumah sakit. Target LDL yang diharapkan <70
mg/dl.Penggunaan terapi antitrombotik jangka panjang setelah keluar dari RS
pada pasien NSTEMI dapat dilihat pada gambar 3.8 (Daga, 2011)
Gambar 3.8 Penggunaan terapi antitrombotik jangka panjang setelah
keluar dari RS pada pasien NSTEMI

9. Komplikasi
Adapun komplikasi akibat dari infark miokard, yaitu :
a. Edema paru akut
Terjadi peningkatan akhir diastole ventrikel kiri dan peningkatan
tekanan vena pulmonal sehingga meningkatkan tekanan hydrostatic
yang mengakibatkan cairan merembes keluar.
b. Gagal jantung
Adanya kelainan otot jantung menyebabkan menurunnya
kontraktilitas, sehingga jantung tidak mampu memompa darah
dengan adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen
dan nutrisi.
c. Syok kardiogenik
Adanya kerusakan jantung mengakibatkan penurunan curah
jantung, sehingga menurunkan tekanan darah arteri ke organ-organ
vital.Adapun tand-tandanya tekanan darah rendah, nadi cepat dan
lemah, hypoxia, kulit dingin dan lembab.
d. Tromboemboli
Kurangnya mobilitas pasien dengan sakit jantung dan adanya
gangguan sirkulasi yang menyertai kelainan ini berleran dalam
pembentukan thrombus intracardial dan intravesikular
e. Disritmia
Gangguan irama jantung akibat penurunan oksigen ke jantung.
f. Rupture miokardium
Dapat terjadi bila terdapat infark miokardium, proses infeksi dan
disfungsi miokadium lain yang menyebabkan otot jantung
melemah.
g. Efusi pericardial / tamponade jantung
Masuknya cairan kedalam kantung perikardium karena adanya
perikarditis dan gagal jantung (PERKI, 2015)
10. Prognosis
Stratifikasi risiko berdasarkan kelas Killip merupakan klasifikasi risiko
berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark
miokard akut dan ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas
dalam 30 hari (PERKI, 2015).
IV PEMBAHASAN

Menurut anamnesa yang didapatkan dari pasien, gejala utama yang


dialami yaitu berdebar merupakan tanda adanya aritmia khususnya takikardi.
Keluhan lain yang dirasakan bersamaan dengan munculnya rasa berdebar yaitu
nyeri dada seperti ditusuk-tusuk, tidak disertai rasa perih dan panas di ulu hati
yang meningkatkan kecurigaan nyeri yang berasal dari jantung. Nyeri dada sering
dirasakan terutama saat beraktivitas dan berkurang saat istirahat sejak tahun lalu
mengindikasihkan bahwa pasien sudah beberapa kali mengalami angina stabil.
Penyebab dari angina adalah iskemia yang terjadi akibat penyempitan
arteri coroner. Hal tersebut dapat terjadi apabila terjadi penyumbatan akibat plak,
thrombus, ataupun spasme pada pembuluh darah. Pada pasien ini, faktor resiko
pembentukan plak aterosklerosis yang ada yaitu usia dewasa (50 tahun), laki-laki,
memiliki riwayat merokok, sering mengonsumsi gorengan dan jarang berolahraga.
Pasien juga tidak pernah berobat ke dokter untuk memeriksakan kondisinya
sebelum akhirnya mengalami serangan yang hebat dan akhirnya harus datang ke
IGD RSMS. Dari gejala dan riwayat pasien menguatkan pasien mengalami
takikardi disertai ACS (Acute Coronary Syndrome).
Pada pemeriksaan fisik, tidak didapatkan kelainan paru maupun abdomen
yang semakin menguatkan nyeri dada yang dialami adalah berasal dari jantung.
Pemeriksaan fisik jantung tidak didapatkan kelainan yang bermakna untuk
menunjang diagnosis, saat dilakukan pemeriksaan pasien sudah tidak mengalami
dada berdebar dan frekuensi nadi pasien normal.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini meliputi rotgen
thorax, EKG, darah lengkap dan enzim jantung. Pada rontgen thorax pasien tidak
dapat kelainan dari gambaran paru maupun jantung. Sedangkan gambaran EKG
pasien menunjukkan heart rate pasien yaitu 180x/ menit dengan rumus 300 :
jumlah kotak besar antara R ke R. Pada EKG pasien tidak terlihat gelombang P
karena tertutup gelombang T disertai peningkatan laju jantung dan irama reguler
yang merupakan ciri khas SVT. Tidak dijumpai ST elevasi, sehingga pasien tidak
mengalami STEMI. Namun pasien masih mungkin menderita infark miokard
maupun unstable angina, oleh karena itu harus dilakukan pemeriksaan enzim
jantung. Pemeriksaan enzim yang dilakukan pada pasien ini adalah troponin I dan
CKMB yang menunjukkan peningkatan sehingga pasien ini terdiagnosis
NSTEMI.
Terdapat 7 penyebab dasar aritmia yaitu HIS DEBS: hipoksia, iskemia,
stimulasi simpatis, obat-obatan (drugs), gangguan elektrolit, bradikardi dan
regangan (stretch). Pada pasien ini kemungkinan aritmia disebabkan oleh iskemia
dan stimulasi simpatis. Iskemia yang terjadi pada pasien ini diakibatkan arteri
coroner yang mengalami obstruksi sehingga suplai darah ke miokardium
berkurang. Kurangnya suplai darah berakibat pada kurangnya oksigen dan sumber
energi yang digunakan untuk miokardium berkontraksi sehingga pompa ion
terganggu dan mengakibatkan aritmia. Stimulasi simpatis pada pasien ini dapat
diakibatkan oleh keadaan cemas dan nyeri yang dirasakan pasien sehingga
meningkatkan denyut jantung.

Anda mungkin juga menyukai