SUBSTASE JANTUNG
NON ST-ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION DENGAN
SUPRAVENTRIKULAR TAKIKARDIA
Pembimbing :
Disusun oleh :
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun oleh :
Dian Sari Rachmawati 1820221064
Lerryan Septa Rihernata 1820221078
Christian Rivandika 1820221081
Erla Oktasilfia 1820221089
Shabrina Siti Mazaya 1820221158
Mengetahui,
Pembimbing
Sindrom koroner akut merupakan gambaran gejala klinis mulai dari infark
miokardium dengan elevasi segmen ST (STEMI) hingga infark miokardium tanpa
adanya elevasi segmen ST (NSTEMI) atau pada angina tak stabil. Dalam istilah
patologi, ACS (acute coronary syndrome) selalu berhubungan dengan ruptur pada
plak sebagian ateroskelrosis maupun sumbatan penuh trombosis pada arteri yang
berkaitan dengan infarknya. Dalam beberapa kasus, meskipun penyakit arteri
koroner stabil (CAD) dapat membuat ACS walaupun tidak ada ruptur pada plak
dan proses trombosis, adanya stres fisiologis (seperti trauma, kehilangan darah,
anemia, infeksi, dan takiaritmia) dapat meningkatkan beban jantung. Diagnosis
ACS pada kasus ini membutuhkan temuan dari peningkatan penanda biokimiawi
dari adanya nekrosis miokardium, ditambah salah satu dari gejala berikut :
1. Gejala iskemia
2. Adanya gelombang q patologis pada EKG
3. Perubahan pada gelombang T dan segmen ST atau LBBB
4. Bukti hilangnya fungsi jantung yang nyata dan gerakan jantung abdnormal
5. Trombus di dalam koroner yang teridentifikasi oleh angiografi atau otopsi
Istilah infark miokard transmural dan nontransmural sekarang sudah tidak lagi
digunakan karena pada temuan EKG pasien dengan kondisi ini tidak semua
berhubungan dengan perubahan patologi di miokardiumnya. Meskipun begitu,
infark miokardium bisa saja terjadi tanpa adanya gelombang Q pada EKG, dan
banyak infark miokardium dengan gelombang Q terjadi di subendokardial. Karena
adanya elevasi segmen ST selama ACS berkaitan erat dengan oklusi koroner dan
hal tersebut mempengaruhi dasar pemilihan terapi (terapi reperfusi secepat
mungkin), tataksana ACS yang berhubungan dengan infark miokardium
sebaiknya dibagi berdasarkan STEMI dan NSTEMI. Penting untuk memberikan
perhatian khusus pada mekanisme yang mendasari terjadinya iskemia ketika
menangani ACS. Tekanan darah yang dapat diturunkan menggunakan beta
blocker dan analgesik sedangkan asupan oksigen tetap diberikan, hematokrit yang
adekuat, pengencer darah dan vasodilator (nitrat, amlodipin).
Dalam keadaan istirahat, normalnya jantung berdenyut dengan irama yang
teratur yaitu sekitar 60 sampai 100 denyut per menit (disebut dengan irama sinus).
Jika frekuensi denyut lebih besar dari 100 denyut per menit disebut dengan
takikardi. Hal ini akan meningkatkan energi yang dibutuhkan untuk kontraksi
yang cepat. Selain itu, terdapat juga kelompok gangguan irama pada jantung yang
berasal dari supraventrikular atau atrium yang ditandai dengan perubahan laju
denyut jantung yang sangat cepat berkisar 150 – 250 kali per menit. Gangguan
irama ini disebut dengan supraventrikular takikardi.
Supraventrikular Takikardi (SVT) adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan takikardi (atrial dan/atau ventrikular dengan laju lebih dari 100 kali
per menit saat istirahat, yang mekanismenya melibatkan jaringan yang berasal dari
berkas His atau diatasnya (Raharjo SB, dkk, 2017).
Di Indonesia prevalensi penderita SVT di Pusat Jantung Nasional Harapan
Kita berkisar 9% dari jumlah seluruh pasien aritmia dan sekitar 1,26% - 1,42% dari
seluruh jumlah kunjungan di rumah sakit. Sampai sekarang, data untuk prevalensi
SVT pada populasi umum yang ada di Indonesia belum diketahui (Raharjo dkk,
2017).
II. LAPORAN KASUS
A. Identitas Penderita
Nama : Tn. S
Umur : 50 tahun
Alamat : Arcinawung RT 06/07 Purwokerto Timur
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Wiraswasta
Tanggal masuk RSMS : 05 Oktober 2019
Tanggal periksa : 09 Oktober 2019
No.CM : 01064364
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama :
Dada berdebar
2. Keluhan Tambahan :
Keluhan dada berdebar disertai dengan nyeri dada bagian tengah dan tidak
menjalar
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan rujukan dari Klinik Amanda dengan keluhan dada
berdebar. Pasien datang ke IGD RSMS pada tanggal 5 Oktober 2019
dengan keluhan dada berdebar. Keluhan dirasakan sejak 1 hari SMRS.
Dada berdebar dirasakan secara tiba tiba tanpa penyebab apapun dan
memberat beberapa jam SMRS. Keluhan memberat bila pasien
beraktivitas seperti berjalan santai. Pasien juga sempat mengalami keringat
dingin dan nafas yang memberat saat berdebar.
Keluhan berdebar juga disertai nyeri dada terasa seperti ditusuk
dibagian tengah dada. Keluhan nyeri dada dialami bersamaan dengan
keluhan berdebar yaitu 1 hari SMRS. Nyeri dada hanya dirasakan di
bagian tengah dada tanpa disertai penjalaran. Pasien dapat melokalisir titik
nyeri dadanya tersebut. Nyeri dada dirasakan tiba-tiba dan memberat bila
pasien beraktivitas. Pasien mengaku keluhan nyeri dada serupa pernah
dirasakan tahun lalu namun tidak disertai berdebar.
Pasien bekerja sebagai wiraswasta. Keluhan nyeri dada terkadang
terjadi saat pasien sedang bekerja namun tidak sering dan berkurang
dengan beristirahat. Akibat keluhannya ini, aktivitas pasien menjadi
terganggu. Pasien menyangkal keluhan nyeri pada ulu hati, tidak ada
keluhan dada terasa panas, tidak ada keluhan mual dan muntah.
Pasien mengaku selama ini sering mengonsumsi gorengan dan
sangat jarang mengonsumsi sayur dan buah-buahan atau makanan berserat
lainnya. Pasien juga sering minum kopi, 2 gelas per hari. Pasien mengaku
memiliki riwayat merokok, namun sudah 3 tahun berhenti. Sebelum
berhenti merokok, dalam sehari pasien dapat menghabiskan 1 bungkus
rokok. Pasien juga jarang berolahraga.
Pasien mengatakan bahwa selama ini dirinya termasuk orang yang
sehat, jarang sakit. Pasien mengatakan tidak punya riwayat darah tinggi
dan kencing manis. Pasien belum pernah mengobati penyakitnya ini
kemanapun. Pasien segera dibawa oleh anaknya ke IGD RSMS.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat penyakit yang sama : disangkal
b. Riwayat darah tinggi : disangkal
c. Riwayat penyakit gula : disangkal
d. Riwayat alergi : disangkal
e. Riwayat sakit ginjal : disangkal
f. Riwayat penyakit jantung : disangkal
g. Riwayat sakit kuning/liver : disangkal
h. Riwayat konsumsi obat-obatan : disangkal
i. Riwayat stroke : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat penyakit yang sama : disangkal
b. Riwayat darah tinggi : disangkal
c. Riwayat penyakit gula : disangkal
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat alergi : disangkal
C. Pemeriksaan Fisik
Rabu, 9 Oktober 2019
1. Keadaan Umum : Baik
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Vital Sign
a. Tekanan darah : 120/90 mmHg
b. Nadi : 88 ×/menit reguler, isi cukup
c. Pernapasan : 20 ×/menit
d. Suhu : 36.5 °C
4. Status Generalis
a. Pemeriksaan kepala
1) Bentuk kepala
Mesocephal, simetris
2) Rambut
Warna rambut hitam, tidak rontok dan terdistribusi merata.
3) Mata
Simetris, edema kelenjar lacrimalis (-/-) konjungtiva anemis
(-/-), sklera ikterik (-/-), mata kering (-), refleks cahaya (+/+)
normal, pupil isokor diameter 3 mm/3mm.
4) Telinga
Discharge (-/-)
5) Hidung
Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-)
6) Mulut
Bibir kering (-), bibir pucat (-), bibir sianosis (-), lidah
sianosis (-), lidah kotor (-)
b. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Palpasi : JVP 5+2cm
c. Pemeriksaan thorax
Paru
Inspeksi : dinding dada tampak simetris dan tidak tampak
ketertinggalan gerak antara hemithorax dekstra dan
sinistra. Kelainan bentuk dada (-), retraksi
intercostalis (-).
Palpasi : Apex vokal fremitus sinistra = dextra
Basal vokal fremitus sinistra = dextra
Perkusi : Perkusi orientasi seluruh lapang paru sonor
Batas paru-hepar SIC V LMCD
Auskultasi : Apex suara dasar vesikuler +/+, RBH-/-, RBK-/-
Basal suara dasar vesikuler +/+ dan Wheezing-/-
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
P.parasternal (-) p.epigastrium (-).
Palpasi : Ictus Cordis teraba pada SIC V 2 jari lateral LMCS,
kuat angkat (-)
Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri : SIC VI 2 jari lateral LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, Gallop (-), Murmur (-)
d. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : cembung, Darm contour (-), Darm steifung (-)
Auskultasi : bising usus (+) terdengar setiap 2-5 detik (normal)
Perkusi : redup, pekak sisi (-), pekak alih (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), tes undulasi (-)
Hepar : tidak teraba pembesaran
Lien : tidak teraba pembesaran
e. Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas
superior inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Akral dingin - - - -
Reflek fisiologis
Bicep/tricep + + + +
Patela + + + +
Reflek patologis
Reflek - - - -
babinsky
Sensoris D=S D=S D=S D=S
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium (05/10/2019)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Darah Lengkap 5 Oktober
Hemoglobin 13.6 11.7 - 15.5
Leukosit 14.600 (H) 3600 - 11000
Hematokrit 39 L 35 - 47
Eritrosit 4.7 juta 3.8 - 5.2
Trombosit 207.000 150000 – 440000
MCV 84.3 80 - 100
MCH 29.2 26 - 34
MCHC 34.6 32 – 36
RDW 12.8 11.5 - 14.5
MPV 10.3 9.4 - 12.3
Prognosis
Quo Ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo Ad Sanationam : Dubia ad bonam
Quo Ad Functionam : Dubia ad bonam
Perkembangan Pasien
Tanggal Subjective Objective Assesment Planning
6/10/19 Dada berdebar sudah TD : 101/78 Unstable O2 4 lpm nk
HP1 mulai membaik HR : 88x/men supraventricular miniaspi 1 x 80
pusing sudah tidak RR: 22x/men tachycardi mg
T : 36,7
dirasakan ticagrelor 2 x 90
mg
atorvastatin 1 x 20
mg
alprazolam 1 x 0.5
mg (malam)
laxadine syr 1xc2
drip UHF 10
iu/kgbb/jam (h1)
7/10/19 Dada berdebar tidak TD : 111/77 mmHg NSTEMI O2 4 lpm nk
HP2 dirasakan HR : 88x/men SVT miniaspi 1 x 80
pusing sudah tidak RR: 20x/men mg
T : 36,5
dirasakan ticagrelor 2 x 90
mg
atorvastatin 1 x 20
mg
alprazolam 1 x 0.5
mg (malam)
laxadine syr 1x2c
drip UHF sesuai
aptt (h2)
concor 1x2,5mg
ISDN 5mg k/p
PL : latihan lepas
O2
evaluasi sampai
siang ini, bila tak
ada keluhan dan vs
baik -> pindah
ruangan
8/10/18 Nyeri dada (-) TD : 120/90 NSTEMI O2 4 lpm nk -->
HP3 sesak (-) HR : 70x/men SVT aff
berdebar (-) RR: 20x/men miniaspi 1 x 80
T : 37.1
bak normal, bab cair mg
1x semalam ticagrelor 2 x 90
nafsu makan baik mg
atorvastatin 1 x 20
mg
alprazolam 1 x 0.5
mg (malam)
laxadine syr 1x2c
drip UHF sesuai
aptt (h3) ->
terakhir
concor 1x2,5mg
ISDN 5mg k/p
PL : rencana drip
UHF 3 hari
evaluasi besok
9/10/19 Nyeri dada (-) TD : 120/80 NSTEMI O2 4 lpm nk -->
HP4 sesak (-) HR : 73 x/men SVT aff
berdebar (-) RR: 18 x/men miniaspi 1 x 80
T : 36.2
bak normal banyak mg
nafsu makan baik ticagrelor 2 x 90
mg
atorvastatin 1 x 20
mg
alprazolam 1 x 0.5
mg (malam)
laxadine syr 1x2c
drip UHF sesuai
aptt (h3) -> stop
concor 1x2,5mg
ISDN 5mg k/p
PL: BLPL
III. TINJAUAN PUSTAKA
SVT (SUPRAVENTRICULAR TACHYCARDIA)
A. DEFINISI
Takikardia supraventrikular atau supraventricular tachycardia ditandai dengan
adanya perubahan laju jantung yang mendadak bertambah cepat menjadi berkisar
antara 150 kali/menit sampai 250 kali/menit, pada kebanyakan SVT kompleks
QRS normal.
B. MEKANISME
Berdasarkan pemeriksaan pemeriksaan elektrofisiologi intrakardiak dapat
diketahui bahwa mekanisme terjadinya takikardia.
1. Automatisasi (automaticity)
Irama ektopik yang terjadi akibat otomatisasi terjadi akibat adanya sel yang
mengalami percepatan (akselerasi) pada fase 4 dan sel ini dapat terjadi di atrium,
AV junction, bundle His, dan ventrikel sehingga muncul istilah takikardi atrial,
junctional, dan ventrikel otomatis. Struktur lain yang dapat menjadi sumber fokus
otomatisasi adalah vena pulmonalis dan vena kava superior .Contoh takikardi
otomatis yang normal adalah sinus takikardi. Ciri khas takidisritmia ini adalah
adanya femomena warm-up dan warm-down : peningkatan laju nadi secara
perlahan dan kemudian laju nadi berkurang secara perlahan sebelum akhirnya
takidisritmia berhenti. Takidisritmia karena otomatisasi sering berkaitan dengan
gangguan metabolik seperti hipoksia, hipokalemia, hipomagnesemia, dan asidosis.
2. Reentry
Ini adalah mekanisme yang terbanyak sebagai penyebab takidisritmia dan paling
mudah dibuktikan pada pemeriksaan elektrofisiologi. Prasyarat mutlak untuk
timbulnya reentry adalah sebagai berikut:
a. Adanya dua jalur konduksi yang saling berhubungan baik pada bagian
distal maupun proksimal hingga membentuk suatu rangkaian konduksi tertutup.
b. Salah satu jalur tersebut harus memiliki blok searah
c. Aliran listrik antegrad secara lambat pada jalur konduksi yang tidak
mengalami blok memungkinkan terangsangnya bagian distal jalur konduksi yang
mengalami blok searah untuk kemudian menimbulkan aliran listrik secara
retrograde secara cepat pada jalur konduksi tersebut sesuai.
C. KLASIFIKASI
Berdasarkan kedua mekanisme terjadinya dan lokasi kelainan yang menimbulkan
SVT seperti yang sudah dijelaskan di atas, maka dikenal berberapa jenis SVT
yaitu :
D. GAMBARAN KLINIS
Gambaran tiap pasien akan berbeda-beda. Namun, berikut adalah gejala
yang sering ditemukan :
1. Palpitasi (>96%)
2. Kepala terasa pusing (dizziness) (75%)
3. Napas terengah-engah (47%)
4. Nyeri dada (35%)
5. Kelelahan (23%)
6. Sinkop (20%)
7. Keringat berlebihan (17%)
8. Mual (13%)
1. Definisi
Sindrom koroner akut merupakan kumpulan gejala akibat penurunan
aliran darah pada arteri koronaria. Sindrom ini meliputi STEMI (ST-
elevation myocadial infarction), NSTEMI (Non ST-elevation myocadial
infarction), dan angina tidak stabil (Amsterdam et al., 2014). Infark
miokardium merupakan kematian jaringan miokard yang diakibatkan
penurunan secara tiba-tiba aliran darah arteri koronaria ke jantung atau
terjadinya peningkatan kebutuhan oksigen secara tiba-tiba tanpa perfusi
arteri koronaria yang cukup (Darmawan, 2010)..
NSTEMI sebuah tipe serangan jantung yang terjadi ketika sebuah
arteri koroner terblok parsial oleh bekuan darah, yang menyebabkan
beberapa otot jantung yang disuplai oleh arteri tersebut mengalami infark
(Darmawan, 2010).Berdasarkan spektrum SKA, NSTEMI didefinisikan
sebagai gambaran EKG depresi segmen ST atau inversi gelombang T
prominen dengan biomarker nekrosis yang positif dengan tidak
dijumpainya elevasi segmen ST pada gambaran EKG dan sesuai dengan
gambaran klinis (Anderson, 2014)
2. Epidemiologi
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan penyakit yang masih
menjadi masalah baik di negara maju maupun negara berkembang (Firdus,
2012). Menurut WHO, pada tahun 2008 sekitar 7.254.000 kematian di
seluruh dunia (12,8% dari semua kematian) disebabkan oleh SKA
(Hausenloy, 2013). Menurut data dari American Heart Association (AHA)
pada tahun 2016, menyebutkan 15,5 juta warga Amerika memiiki penyakit
kardiovaskular (Sanchis-gomar et al., 2016). American Heart Association
(AHA) juga menyatakan, sekitar 785,000 penduduk Amerika menderita
infark miokard pada tahun ini. Sementara itu, tahun 2006, sekitar 1,4 juta
pasien didiagnosis menderita sindrom koroner akut yang meliputi 537,000
mengidap angina tidak stabil dan 810,000 terdiagnosis NSTEMI maupun
STEMI (Overbaugh, 2009). Di USA setiap tahun 550.000 orang
meninggal karena penyakit ini. Di Eropa, diperhitungkan 20 – 40.000
orang dari 1 juta penduduk menderita SKA (Firdus, 2012).
Di Indonesia SKA masih dianggap sebagai penyumbang angka
kematian tertinggi dengan angka prevalensi 7,2% pada tahun 2007 (Firdus,
2012). Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar, (RISKESDAS) tahun
2013 menyebutkan bahwa secara nasional terdapat 0,5% prevalensi
penyakit jantung koroer yang didiagnosis dokter. Prevalensi tersebut
paling tinggi di provins Sulawesi Utara, Sulawesi engah, DKI Jakarta dan
Aceh (RISKESDAS, 2013).
3. Etiologi
Secara umum penyebab terjadinya SKA adalah sebagi berikut:
a. Penyempitan arteri koroner karena adanya agregasi trombosit dan
thrombus akibat robeknya plak aterosklerosis
b. Obstruksi dinamik karena spasme fokal yang terus-menerus pada
segmen srteri koroner epikardium. Spasme ini disebabkan oleh
hiperkontraktilitas otot polos pembuluh darah atau akibat disfungsi
endotel
c. Penyempitan yang hebat pada aterosklerosis progresif atau dengan
stenosis ulang setelah intervensi koroner perkutan (PCI)
d. Inflamasi menyebabkan penyempitan arteri, destabilisasi plak, ruptur,
dan trombogenesis
e. Adanya faktor pencetus seperti:
1) Demam, takikardi, tirotoksikosis menyebabkan peningkatan
kebutuhan oksigen miokard
2) Penurunan aliran darah coroner
3) Anemia dan hipoksemia menyebabkan penurunan pasokan oksigen
miokard (Sudoyo et al., 2009).
c. Pemeriksaan EKG
EKG 12 lead saat istirahat merupakan alat diagnostik lini pertama
dalam penilaian pasien yang diduga NSTEMI. EKG harus didapat
dalam 10 menit setelah kontak medis pertama dan secepatnya
diinterpretasikan oleh dokter. Karakteristik abnormalitas gambaran
EKG yang ditemui pada NSTEMI adalah depresi segmen ST atau
elevasi transient dan atau perubahan pada gelombang T (inversi
gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-
normal)(Daga, 2011).
Jumlah lead yang menunjukkan depresi segmen ST dan derajat depresi
segmen ST mengindikasikan luas dan keparahan iskemia dan
berkorelasi dengan prognosis. Depresi segmen ST>2 mm meningkatkan
resiko mortalitas. Inversi gelombang T juga sensitif untuk iskemik
namun kurang spesifik, kecuali bila ≥ 0,3mV baru dinyatakan bermakna
(Kumar, 2009).
Perekaman EKG sebaiknya diulangi setidaknya pada 3 jam (6-9 jam)
dan 24 jam setelah masuk RS. Pada kondisi dimana terjadi nyeri dada
berulang, pemeriksaan EKG dapat diulangi secepatnya. Harus diingat
bahwa gambaran EKG normal tidak menyingkirkan kemungkinan
NSTEMI. Terutama iskemik pada daerah arteri sirkumfleks atau iskemik
ventrikel kanan terisolasi dapat tidak terdeteksi dari gambaran EKG 12
lead, namun dapat terdeteksi pada lead V7-V9 dan pada lead V3R dan V4R.
(Hamm, 2011)
e. Pemeriksaan laboratorium.
Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus
dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula
darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal,
dan panel lipid. (Sudoyo, 2010).
f. Pemeriksaan Imaging
Foto thoraks biasanya dilaksanakan pada saat awal pasien masuk ke
rumah sakit, sehingga dapat dievaluasi kemungkinan lain penyebab
nyeri dada dan sekaligus sebagai skrining kongesti paru yang akan
mempengaruhi prognosis. Pemeriksaan ekokardiografi dan doppler
sebaiknya dilakukan setelah hospitalisasi untuk menilai fungsi
global ventrikel kiri dan abnormalitas gerakan dinding regional.
Ekokardiografi juga diperlukan untuk menyingkirkan penyebab lain
dari nyeri dada (Kumar, 2009). Angiografi koroner merupakan
pemeriksaan baku emas untuk mengetahui dan menilai keparahan
penyakit arteri koroner. Angiografi urgent dilakukan untuk tindakan
diagnostik pada pasien-pasien dengan resiko tinggi dan dengan
diagnosis banding yang tidak jelas (Hamm, 2011).
8. Penatalaksanaan
Pasien dengan sangkaan SKA harus dievaluasi dengan cepat.
Keputusan yang dibuat berdasarkan evaluasi awal terhadap pasien
memiliki konsekuensi klinis dan ekonomis yang bermakna. Pasien
NSTEMI atau diduga NSTEMI yang dalam keadaan stabil sebaiknya
dirawat inap dan menjalani tirah baring dengan monitoring ritme EKG
berkelanjutan dan diobservasi akan kemungkinan iskemik berulang. Pasien
dengan resiko tinggi, termasuk mereka dengan rasa tidak nyaman pada
dada yang terus menerus dan atau hemodinamik tidak stabil sebaiknya
dirawat di ICCU dan diobservasi setidaknya 24-48 jam (Goncalves, 2005).
Terdapat empat komponen utama terapi pada NSTEMI yaitu terapi
antiiskemia, antiplatelet/antikoagulan, terapi invasif (kateterisasi
dini/revaskularisasi), dan perawatan sebelum meninggalkan RS dan
sesudah perawatan RS. Terapi fibrinolitik menggunakan streptokinase,
urokinase, tenekteplase atau preparat lainnya sebaiknya tidak digunakan
pada pasien dengan NSTEMI (Daga, 2011)
Tujuan utama penatalaksanaan AMI adalah mendiagnosis secara
cepat, menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan
strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, memberi anti-trombotik dan
anti-platelet, serta memberikan obat penunjang (Fauci et al., 2011). Tujuan
penatalaksanan dari NSTEMI adalah reperfusi untuk memulihkan
oksigenasi dan suplai substrat metabolik akibat oklusi trombotik persisten
di arteri koroner (Antman, 2008).
Tatalaksana awal di ruang emergensi (10 menit pertama setelah pasien
datang) adalah sebagai berikut (PERKI, 2015; Dharma, 2009):
a. Tirah baring (bed rest total)
b. Oksigen 4 L/menit (saturasi O2 dipertahankan > 90%)
c. Aspirin 150-300 mg (dikunyah) dilanjutkan dengan 75-100 mg/hari
d. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
e. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari, atau
f. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi
reperfusi menggunakan agen fibrinolitik)
g. Nitrat 5 mg sublingual (dapat diulang 3 kali) lalu drips bila masih
nyeri
h. Morfin sulfat 1-5 mg IV, dapat diulang setiap 10-30 menit, bila nyeri
tidak teratasi dengan nitrat
i. Tentukan pilihan revaskularisasi (memperbaiki aliran darah koroner)
dan reperfusi miokard harus dilakukan pada pasien STEMI akut
dengan presentasi ≤ 12 jam.
Gambar 3.6. Target terapi anti-platelet dan anti-koagulan
Terapi Farmakologi yang dapat diberikan pada pasien SKA adalah:
a. Antiplatelet
Anti platelet yang digunakan selama fase awal NSTEMI berperan
dalam mempertahankan patensi arteri koroner yang terkena infark.
1) Aspirin
Aspirin merupakan golongan anti-platelet dengan mekanisme
produksi inhibitor total thromboxan A2. Dosis awal yang harus
diberikan adalah 150 mg sampai 300 mg dan dilanjutkan dalam
jangka waktu tidak terbatas dengan dosis harian 75–100 mg.
Kontraindikasi dalam pemberian aspirin meliputi pasien yang
mengalami hipersensitivitas, perdarahan aktif pada saluran
pencernaan atau penyakit hepar kronis.
2) Clopidogrel
Clopidogrel berguna sebagai pengganti aspirin untuk pasien
dengan hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien
dengan STEMI yang menjalani reperfusi primer atau fibrinolitik.
Dosis loading awal yaitu 300 mg yang dilanjutkan dengan
dosis harian sebesar 75 mg. Pada pasien dengan PCI, disarankan
untuk pemberian dosis loading sebesar 600 mg bertujuan untuk
mencapai lebih cepat penghambatan fungsi trombosit. Pemberian
clopidogrel secara maintenance diberikan selama 12 bulan kecuali
jika didapatkan adanya risiko perdarahan masif.
b. Anti Koagulan
Antikoagulan digunakan pada terapi NSTEMI untuk
menghambat pembentukan dan atau aktivitas thrombin sehingga dapat
mengurangi kejadian-kejadian yang berhubungan dengan
pembentukan thrombus. Antikoagulan direkomendasikan untuk semua
pasien sebagai tambahan terapi anti platelet.
1) Unfractionated Heparin (UFH)
UFH kurang baik diabsorpsi melalui rute sub kutan, sehingga
penggunaan infus intravena menjadi rute pemberian yang lebih
dipilih. Dengan dosis bolus inisial 60-70 IU/kgBB (maksimal
5000 IU) diikuti infus inisial 12-15 IU/kg/jam (maksimal 1000
IU/jam). Batas terapeutik UFH cukup sempit, sehingga
diperlukan monitoring aPTT secara berkala, dengan target
optimal 50-75 detik (1,5-2,5 kali batas teratas nilai normal). Pada
nilai aPTT yang lebih tinggi, resiko komplikasi perdarahan akan
meningkat, tanpa adanya efek anti trombotik. Efek antikoagulan
UFH akan hilang dengan cepat dalam beberapa jam setelah
penghentian, sehingga dalam 24 jam penghentian terapi terdapat
resiko reaktivasi proses koagulasi dan meningkatkan resiko
kejadian iskemik berulang meskipun diberikan bersamaan dengan
aspirin.
2) Fondaparinux
Fondaparinux direkomendasikan atas dasar efikasi yang paling
baik dan profil keamanan nya. Fondaparinux paling sedikit
menyebabkan komplikasi perdarahan dan memiliki
bioavailabilitas 100 % setelah disuntikkan secara sub kutan
dengan waktu paruh 17 jam serta diekskresikan oleh ginjal. Dosis
yang direkomendasikan adalah 2,5 mg/hari. Fondaparinux
dikontraindikasikan pada pasien yang memiliki CrCl < 20
ml/menit. Tambahan UFH dengan dosis 50-100 U/kg BB bolus
diperlukan selama PCI karena didapatinya insidensi trombosis
kateter yang sedikit tinggi.
Tabel 3.5. Jenis dan dosis antikoagulan untuk IMA (PERKI, 2015)
c. Nitrat
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang
mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolik
ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek
lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang
normal maupun yang mengalami aterosklerosis.
Tabel 3.6. Jenis dan dosis nitrat untuk IMA (PERKI, 2015)
d. Beta blocker
Penyekat beta pada pasien NSTEMI dapat memberikan manfaat
yaitu manfaat yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan
yang diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk
pencegahan sekunder setelah infark. Penyekat beta intravena
memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan oksigen miokard,
mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko
kejadian aritmia ventrikel yang serius (Sudoyo, 2010).
Tabel 3.7 Jenis dan dosis beta blocker untuk IMA (PERKI, 2015)
f. Terapi lainnya
1) Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda
klinis atau gejala kongesti. Tujuan dari pemberian diuretik adalah
untuk mencapai status euvolemia dengan dosis yang serendah
mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien untuk
menghindari dehidrasi. Diuretik yang sering digunakan golongan
diuretic loop dan thiazid. Diuretik loop (bumetamid, furosemid)
meningkatkan ekskresi natrium dan cairan ginjal dengan tempat
kerja pada ansa henle asenden, sehingga meningkatkan pengeluaran
air. Loop diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin
vasodilator renal. Contoh obat loop diuretic yaitu furosemid
dengan dosis 20-40 mg satu kali atau dua kali per hari. Diuretik
hemat kalium, spironolakton dengan dosis 25-50mg/hari dapat
mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang
sampai berat yang disebabkan gagal jantung sistolik. Salah satu
efek pemberian diuretik adalah hiperurisemia.
2) Opioid
Opioid parenteral seperti morfin penting dalam penatalaksanaan
gagal jantung akut berat karena dapat menurunkan kecemasan,
nyeri dan stress, serta menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat juga
menurunkan preload dan tekanan pengisian ventrikel serta edem
pulmonal. Dosis pemberian 2-3 mg intravena dan dapat diulang
sesuai kebutuhan (Grady et al., 2000).
Tabel 3.9. Terapi NSTEMI (Hamm, 2011)
Gambar 3.7 Penatalaksanaan NSTEMI Skematis (Anderson, 2012)
9. Komplikasi
Adapun komplikasi akibat dari infark miokard, yaitu :
a. Edema paru akut
Terjadi peningkatan akhir diastole ventrikel kiri dan peningkatan
tekanan vena pulmonal sehingga meningkatkan tekanan hydrostatic
yang mengakibatkan cairan merembes keluar.
b. Gagal jantung
Adanya kelainan otot jantung menyebabkan menurunnya
kontraktilitas, sehingga jantung tidak mampu memompa darah
dengan adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen
dan nutrisi.
c. Syok kardiogenik
Adanya kerusakan jantung mengakibatkan penurunan curah
jantung, sehingga menurunkan tekanan darah arteri ke organ-organ
vital.Adapun tand-tandanya tekanan darah rendah, nadi cepat dan
lemah, hypoxia, kulit dingin dan lembab.
d. Tromboemboli
Kurangnya mobilitas pasien dengan sakit jantung dan adanya
gangguan sirkulasi yang menyertai kelainan ini berleran dalam
pembentukan thrombus intracardial dan intravesikular
e. Disritmia
Gangguan irama jantung akibat penurunan oksigen ke jantung.
f. Rupture miokardium
Dapat terjadi bila terdapat infark miokardium, proses infeksi dan
disfungsi miokadium lain yang menyebabkan otot jantung
melemah.
g. Efusi pericardial / tamponade jantung
Masuknya cairan kedalam kantung perikardium karena adanya
perikarditis dan gagal jantung (PERKI, 2015)
10. Prognosis
Stratifikasi risiko berdasarkan kelas Killip merupakan klasifikasi risiko
berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark
miokard akut dan ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas
dalam 30 hari (PERKI, 2015).
IV PEMBAHASAN