A. Sejarah Tradisi Dugderan yang Berkembang di masyarakat Semarang
Sejarah mencatat bahwa Tradisi Dugderan di Semarang Jawa Tengah diketahui telah berkembang sejak tahun 1881 M di zaman Pemerintahan Bupati Kota Semarang Raden Mas Tumenggung Aryo Purbaningrat. Bupati satu ini kala itu dikenal kreatif dan memiliki jiwa seni tinggi sehingga menggagas satu acara untuk memberi semacam pertanda awal waktu puasa lantaran umat Islam pada masa itu belum memiliki keseragaman untuk berpuasa. Semua itu berawal dari kekhawatiran Sang Bupati dalam melihat interaksi sosial masyarakat Semarang pada waktu itu yang saling terpecah belah menjadi beberapa kelompok, seperti pecinan untuk warga Cina, pakojan untuk warga Arab, ornamen melayu untuk warga perantauan luar Jawa, serta Kampung Jawa yang ditempati oleh pribumi Jawa. Penggolongan masyarakat tersebut diperparah dengan munculnya perbedaan dalam menetapkan awal bulan puasa. Dengan menggunakan tradisi dugderan, usaha beliau membuahkan hasil sehingga dapat mempersatukan keberagaman masyarakat semarang. Tepat sehari menjelang Bulan Ramadlan setelah Ashar dengan ditandai pemukulan Bedug Masjid Besar Kauman yang disusul dengan penyulutan meriam di halaman kabupaten Kanjengan. Untuk menandai dimulainya bulan Ramadhan itu, maka diadakan upacara membunyikan suara bedug (Dug..dug..dug) sebagai puncak “awal bulan puasa” sebanyak 17 (tujuh belas) kali dan diikuti dengan suara dentuman meriam (der..der..der…) sebanyak 7 kali. Dari perpaduan antara bunyi dug dan der itulah yang kemudian menjadikan tradisi atau kesenian yang digagas oleh Bupati Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat itu diberi nama “dugderan”. Selain bunyi bedug dan meriam itu, di dalam pesta rakyat dugderan ada juga sejenis mainan yang dikenal dengan istilah “Warak Ngendhog”. Warak Ngendhog ini adalah sebuah mainan jenis binatang rekaan yang bertubuh kambing dan berkepala naga dengan kulit seperti bersisik dibuat dari kertas berwarnawarni yang terbuat dari kayu juga dilengkapi beberapa telur rebus sebagai rnamen bahwa binatang itu sedang ngendog (dalam bahasa Indonesia; bertelur). Maklum, waktu diselenggarakan dugderan kali pertama itu, Semarang sedang krisis pangan dan telur merupakan makanan mewah. Kemudian semakin majunya zaman, Tradisi berkembang dari tahun ke tahun. Apabila dulunya hanya menggunakan meriam, sekarang semakin ramai dengan digunakannya bom udara serta sirene yang menandai awal Tradisi tersebut. Tradisi ini kian semarak dengan banyaknya para pedagang “tiban” yang menjajakan aneka permainan anak, makanan dan banyak lagi yang lain. Kondisi demikian memberikan warna baru terhadap Tradisi Dugderan.
B. Sejarah Warak Ngendhog Saat Dugderan Sebagai Ikon Akulturasi Kota
Semarang Menurut penuturan sejarawan Semarang, Amen Budiman dan Djawahir Muhammad, tidak ada yang tahu pasti siapa pembuat warak ngendhog. Namun warak ngendhog diyakini memiliki sejarah yang erat kaitannya dengan tradisi dugderan sehingga bisa diasumsikan bahwa Warak Ngendhog merupakan kreasi dari Bupati Kota Semarang Raden Mas Aryo Tumenggung Purbaningrat dan Kyai Saleh Darat. Warak ngendog adalah hewan mitologi yang menjadi rname kerukunan tiga etnis di Semarang. Warak mengambil wujud buraq dengan kepala naga dan berkaki empat seperti kambing yang merupakan perpaduan antara kebudayaan tiga etnis yang ada di Semarang yaitu Arab, Cina, dan Jawa. Namun Sekarang ini , Warak Ngendog menjadi salah satu ikon Kota Semarang bersama dengan Tugu Muda dan Lawang Sewu. Nama Warak sendiri berasal dari Bahasa Arab yang artinya suci sedangkan ngendhog yang dalam Bahasa Jawa diartikan sebagai bertelur. Secara Filosofis ikon ini mengandung makna ajakan untuk seluruh umat muslim menjaga kesucian diri dari kemaksiatan dengan memperbanyak ibadah dan mengurangi hal-hal yang dilarang oleh Allah karna mendatangkan kemudharatan daripada kebaikan. Selain itu, Agar di Hari Idul Fitri mendapata kemenangan besar yaitu berupa keberkahan dan pahala yang berlipat dari Allah. Sesuatu yang menarik adalah bentuk binatang yang belum pernah dilihat, muncullah Warak Ngendok. Binatang khayalan ini kepalanya berbentuk rakus dan menakutkan, badan, leher, kaki dan ekor ditutup dengan bulu yang tersusun terbalik. Pada tahun 1881-an, Warak Ngendok terbuat dari bahan-bahan yang sangat sederhana seperti kayu, rname dan sabut kelapa. Namun pada sekarang ini, bahan-bahan yang digunakan adalah kayu, kertas minyak ditambah berbagai rnament dari kertas karton, gabus dan sebagainya.