Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia dikenal dunia memiliki sumber daya alam (SDA) yang


melimpah, terutama minyak bumi dan gas alam. Hal ini yang menjadikan
Indonesia memanfaatkan sumber daya alam tersebut dalam jumlah yang besar
untuk kesejahteraan masyarakatnya. Indonesia termasuk negara penyumbang
minyak terbesar di dunia oleh karena itu hal ini dikhawatirkan berdampak
kepada sumber daya alam tersebut, dimana kita ketahui SDA minyak bumi
dan gas alam adalah sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui dan lama-
kelamaan akan habis di gali. Kemungkinan Indonesia kehilangan SDA
tersebut sangat besar, sehingga menyebabkan kelangkaan bahan bakar yang
sekarang ini saja sudah terasa dampaknya, dengan kelangkaan minyak tanah,
dan harga minyak dunia yang semakin tinggi.

Bahan bakar minyak merupakan kebutuhan pokok masyarakat


Indonesia. Dikatakan kebutuhan pokok karena bahan bakar minyak digunakan
hampir setiap hari, yaitu untuk memperlancar aktivitas keseharian masyarakat
misal, untuk penggerak mesin kendaraan bermotor, penggerak mesin peralatan
kerja, dan lain-lain. Minyak tersebut semakin berkurang jumlahnya, karena
bahan yang digunakan untuk pembuatan BBM tersebut berasal dari fosil-fosil
yang ada di perut bumi yang mengendap selama jutaan tahun. Minyak yang
digunakan oleh masyarakat berupa bensin, solar, pertamax, minyak tanah dan
produk turunannya berasal dari fosil-fosil purba yang ada di perut bumi. Para
pakar energi memperkirakan bahwa energi yang berasal dari fosil tersebut
pada waktu tertentu akan habis jika minyak bumi dieksploitasi terus menerus.
Bahan bakar fosil tersebut tidak dapat diperbarui, meskipun di alam tersedia
melimpah. Akibatnya terjadi kelangkaan minyak, karena kehabisan suplai.

Oleh karena itu, harus dilakukan sebuah gagasan untuk melakukan


balancing antara permintaan dan produksi energi oleh negara, salah satunya
dengan mencari sumber energi alternatif lain yang lebih ekonomis, ramah

1
lingkungan dan bersifat renewable. Hal ini mengingatkan kita akan
ketersediaan sumber tanaman penghasil minyak nabati yang banyak
ditemukan di Indonesia dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku
pembuatan Bahan bakar nabati.

Masalah kelangkaan tersebut, menimbulkan para ahli untuk


menemukan bahan alternatif dari fosil. Dari penelitian-penelitiannya,
ditemukan bahan pengganti fosil yang dapat diperbarui kembali yang ada
disekeliling kita, yaitu tanaman. Beberapa tanaman dapat diolah menjadi
bahan bakar nabati. Tanaman tersebut misalnya, jagung, jerami, karet, kelapa
sawit, ketela pohon, dan lain-lain. Selain itu juga terdapat Inpres Nomor 1
Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati
(Biofuel) sebagai bahan bakar lain. Hal-hal ini menunjukan keseriusan
Pemerintah dalam penyediaan dan pengembangan bahan bakar nabati.
Komitmen tersebut dilanjutkan melalui kebijakan manadatori pemanfaatan
BBN dengan ditetapkannya peraturan Menteri ESDM Nomor 32 tahun 2008
dimana sektor transportasi, industri dan pembangkit listrik diwajibkan untuk
mensubtitusi bahan bakar fosil dengan BBN pada persentase tertentu secara
bertahap.

Sebagai warga negara Indonesia yang baik, kita harus membantu


pemerintah dalam memecahkan permasalahn BBM yang sering terjadi, salah
satunya yaitu kelangkaan bahan bakar minyak. BBN menjadi solusi utama
bagi pengganti BBM yang sudah langka dalam proses produksinya.
Peningkatan produksi dan pemanfaatan bahan bakar nabati atau BBN , yaitu
bahan bakar cair yang berasal dari sumber-sumber nabati (hayati) dan bersifat
serupa sehingga dapat dicampurkan ke dalam BBM. Pasar BBN terbesar di
dunia adalah uni eropa, diikuti Amerika Latin, Asia Pasifik dan posisi keempat
adalah Amerika Utara.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka kami sebagai mahasiswa
pendidikan biologi merasa perlu untuk membuat karya ilmiah (makalah)
tentang “Bahan Bakar Nabati” yang meliputi pengertian, sejarah bahan bakar
nabati, teknologi pengolahan bahan bakar nabati, jenis-jenis bahan bakar
nabati, serta kelebihan dan kekuranagan bahan bakar nabati.

2
B. Rumusan Masalah

1. Apa itu bahan bakar nabati?

2. Bagaimana sejarah bahan bakar nabati?

3. Bagaimana teknologi pengolahan bahan bakar nabati?

4. Apa saja jenis-jenis bahan bakar nabati?

5. Apa saja kelebihan dan kekurangan bahan bakar nabati?

C. Tujuan Pembahasan

1. Mengetahui pengertian bahan bakar nabati?

2. Mengetahui sejarah bahan bakar nabati?

3. Mengetahui teknologi pengolahan bahan bakar nabati?

4. Mengetahui jenis-jenis bahan bakar nabati?

5. Mengetahui kelebihan dan kekurangan bahan bakar nabati?

D. Manfaat

1. Bagi masyarakat, makalah ini bisa digunakan untuk menambah wawasan


dan pengetahuan tentang Bahan bakar nabati.

2. Bagi lingkungan, makalah ini bisa digunakan untuk menggantikan bahan


bakar fosil sebagai sumber energi utama.
3. Bagi penulis, melatih kemampuan ,menulis dan keterampilan dalam
membuat karya ilmiah

3
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian BBN

Peningkatan produksi dan pemanfaatan bahan bakar nabati atau BBN,


yaitu bahan bakar cair yang berasal dari sumber-sumber nabati (hayati)
dan bersifat serupa sehingga dapat dicampurkan ke dalam BBM,
merupakan cara yang paling efektif untuk menjawab kedua tantangan
utama tersebut.

Dunia kini mengenal 2 kategori BBN, yaitu BBN oksigenat (beroksigen)


dan BBN biohidrokarbon (hidrokarbon terbarukan). Sesuai dengan
namanya, BBN oksigenat mengandung atom-atom oksigen dan,
karenanya, memiliki dua sifat utama yaitu, hanya bisa dicampurkan ke
dalam BBM padanannya sampai kadar beberapa puluh persen-volume saja
(karena pada kadar lebih besar akan mengharuskan modifikasi mesin
pengguna) dan keberadaan atau pencampurannya ke dalam BBM membuat
emisi mesin (kendaraan) lebih bersih dibanding jika hanya berbahan bakar
BBM murni.

Di lain pihak, BBN biohidrokarbon sama sekali tidak mengandung atom-


atom oksigen dan terdiri atas hidrokarbon-hidrokarbon dalam kelas yang
sama dengan hidrokarbon-hidrokarbon di dalam BBM padanannya tetapi
berasal atau terbuat dari sumber daya nabati (definisi ilmiah sejati dari
BBM sebenarnya adalah bahan bakar hidrokarbon cair asal/basis fosil).
Oleh karena wujud komponen-komponennya ini, maka BBN
biohidrokarbon bisa dicampurkan ke dalam BBM padanannya pada kadar
berapa saja, bahkan sampai kadar 100 %-volume (alias murni) sekalipun,
tanpa mengharuskan dilakukannya modifikasi pada mesin pengguna.
Karena kebebasan level pencampurannya ini, di dalam bahasa Inggris,
BBN biohidrokarbon disebut drop-in biofuels.

4
Bioetanol dan biodiesel adalah dua BBN oksigenat paling utama dan
keduanya sekarang telah dikenal baik oleh industri bahan bakar cair di
Indonesia.Bioetanol adalah padanan bensin (premium/pertamax/pertamax-
plus) sedang biodiesel adalah padanan solar atau minyak diesel. Bioetanol
diproduksi dari bahan berkarbohidrat, terutama yang bergula dan/atau
berpati, sedangkan biodiesel diproduksi dari minyak-lemak nabati. BBN
biohidrokarbon belum lagi diproduksi dan digunakan di Indonesia,
sehingga relatif masih belum banyak dikenal. Kelas-kelas utama BBN
biohidrokarbon adalah minyak diesel hijau (green diesel), bensin nabati
(biogasoline), dan bioavtur (jet biofuel, BBN untuk mesin pesawat terbang
jet). Dewasa ini, ketiga BBN biohidrokarbon tersebut diproduksi dari
minyak-lemak nabati.

Seperti tersurat dalam paragraf di atas, minyak-lemak nabati merupakan


bahan mentah premium (premium raw material) untuk pembuatan aneka
jenis BBN, seperti biodiesel, minyak diesel hijau, bensin nabati, dan
bioavtur. Di dalam kaitan ini, Indonesia memiliki posisi sangat unggul,
karena minyak kelapa sawit merupakan salah satu bahan mentah terbaik
untuk produksi keempat jenis BBN tersebut dan negeri ini sekarang
merupakan penghasil dan pengekspor terbesar minyak kelapa sawit di
seluruh dunia.

Bumi Indonesia juga dikaruniai aneka pohon/tumbuhan darat lain yang


potensial untuk didayagunakan sebagai penghasil minyak-lemak nabati
serta dikembangkan ke dalam bentuk perkebunan yang diharapkan dapat
mulai secara komersial memasok minyak-lemak nabati selain sawit bagi
industri BBN nasional pada paruh kedua dekade 2020-an. Pohon-pohon
penghasil potensial minyak-lemak yang direkomendasikan untuk
dikembangkan adalah kelapa, pongam, nyamplung, nimba dan karet.

5
Indonesia juga sangat beruntung karena merupakan negara tropik bergaris-
pantai terpanjang di dunia, sehingga memiliki lahan potensial terbesar
untuk budidaya mikroalga, yaitu tumbuhan renik perairan yang
kemampuan menghasilkan minyak-lemaknya berlipat-lipat kali pohon
kelapa sawit sekalipun. Melalui upaya penelitian dan pengembangan (R &
D) yang tekun dan sistematik, produksi komersial minyak-lemak nabati
berbasis budidaya mikroalga diperkirakan bisa mulai memasok bahan
mentah bagi industri BBN di sekitar tahun 2030.

2. Sejarah BBN
 1956. Konsep Peak Oil Theory (POT) digagas oleh MK Hubert. Dengan
kurvanya, Hubert mengatakan bahwa sesudah produksi minyak bumi
dunia melewati titik kulminasi pada tahun 2005, maka produksi minyak
bumi dunia akan mengikuti jalan menurun secara terus-menerus. Selain
volume cadangan yang terus berkurang dan harganya meroket, trio sumber
energi (minyak bumi, gas alam, dan batu bara) memiliki banyak
eksternalitas negatif. Pencemaran lingkungan terjadi hampir di semua
kegiatan eksplorasi, eksploitasi, distribusi, pengolahan, dan pemanfaatan.
Fenomena perubahan iklim dan pemanasan global yang menjadi isu dunia
menuding trio minyak bumi, gas alam, dan batu bara sebagai kambing
hitam.

 1973. Pemakaian biofuel di Brasil dimulai pada 1973, saat terjadi krisis


bahan bakar. Saat itu, 80 persen kebutuhan BBM diimpor. Pemerintah
Brasil pun menetapkan Program Nasional Alkohol dan memberlakukan
pemakaian bahan bakar alternatif. Pemerintah memberikan potongan pajak
kepada produsen dan pengguna mobil etanol. Brasil memilih biofuel dari
singkong, jarak pagar, dan tebu. Dari ketiganya, yang paling maju adalah
alkohol yang disuling dari tebu. Dengan luas 5,44 juta hektare (2004),
lahan tebu Brasil terluas di dunia. Separuh dari produksi lahan itu (344 juta
metrik ton) disulap jadi etanol. Setiap tahun luas lahan tebu tumbuh 6
persen, didorong oleh peningkatan permintaan dari industri pengolahan

6
gula dan alkohol. Produksi etanol tumbuh 8,9 persen per tahun.
Permintaan etanol terus meningkat karena harganya dipatok lebih rendah
ketimbang harga bahan bakar fosil yang masih diimpor.

 2005-2010. Austria dan Australia mengeluarkan kebijakan kemudahan


untuk membangun pabrik biofuel sehingga pengusaha pun tertarik untuk
membangun industri bahan bakar alternatif. Bahkan, di Swedia, harga
bioetanol BE-85 (85 persen etanol dan 15 persen bensin) dipatok lebih
murah 25 persen dari bahan bakar konvensional (fosil).

 2006-2007. Departemen Koperasi dan UKM memberi bantuan bibit jarak


pagar dan alat pengepres biji jarak yang digerakkan dengan tangan.
Seluruh bantuan diserahkan ke petani melalui koperasi. Ada 6 koperasi
yang telah dapat dibantu yang berada di Kabupaten Sumedang (Jabar),
Klaten (Jateng), Wajo (sulsel), Gorontalo, Kediri (Jatim), dan NTB.
Bantuan ini belum optimal dimanfaatkan petani. Permasalahannya adalah
karena petani mengelola usahatani jarak pagar dalam skala kecil dan harga
jual hasil yang sangat rendah. Petani tidak tertarik memanen dan menjual
hasilnya jika harga jual hanya berkisar Rp. 1000 per kg.

 2006-2009. Tiga komoditas utama yang menjadi fokus pengembangan


BBN oleh Deptan adalah jarak pagar, kelapa, dan ubi kayu. Ketiga
komoditas ini dipilih untuk dikembangkan karena berkaitan dengan usaha
ekonomi rakyat, sedangkan untuk komoditas kelapa sawit dan tebu tidak
dijadikan fokus karena terkait dengan usaha perkebunan skala besar dan
swasta.

 2006. Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati dibentuk


berdasarkan Keputusan Presiden No. 10 Tahun 2006 pada 24 Juli 2006.

 Dalam Inpres No. 1 tahun 2006, Menteri Pertanian diperintahkan untuk:


(a) mendorong penyediaan tanaman bahan baku bahan bakar nabati
(biofuel) termasuk benih dan bibitnya; (b) melakukan penyuluhan, (c)

7
memfasilitasi penyediaan benih dan bibit; (d) serta mengintegrasikan
kegiatan pengembangan dan kegiatan pasca panen tanaman bahan baku
bahan bakar nabati (biofuel). Tanggung jawab utama Deptan dalam hal ini
pada sektor hulu terutama penyediaan benih dan bibit serta fasilitasi
budidaya.

 25 Januari 2006.  Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan


kebijakan penting bagi pengembangan bioenergi, yaitu Peraturan Presiden
Nomor 5 tahun 2006 mengenai Kebijakan Energi Nasional, dan Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan
Bahan Bakar Nabati atau Biofuel sebagai Bahan Bakar Lain.

 Untuk menjalankan dua keputusan penting tersebut, Presiden SBY


kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden nomor 10 tahun 2006
tertanggal 24 Juli 2006 tentang pembentukan Tim Nasional (Timnas)
Pengembangan BBN untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan
Pengangguran. 

 Juli 2006. Timnas telah merampungkan Blue Print Pengembangan BBN


untuk percepatan pengurangan kemiskinan dan pengangguran periode
2006 - 2025. Dalam blue print yang disusun, termuat empat hal pokok,
yaitu penyediaan lahan, penyediaan sarana produksi dan infrastruktur di
lapangan, tata niaga dan pendanaan. Pengembangan biofuel diarahkan
pada tiga produk, yaitu biodiesel, bioetanol dan biooil (Biokerosene atau
Pure Plant Oil/PPO untuk pembangkit listrik). Bahan baku yang digunakan
akan difokuskan pada jarak pagar (29%), singkong (29%), kelapa sawit
(28%) dan tebu (14%).

 September 2006. Diberitakan bahwa pemerintah akan membentuk


kawasan pengembangan bahan bakar nabati di Sumatera, NTT,
Kalimantan, Jawa dan Papua. Tujuannya untuk menarik investor sehingga
dapat mendorong pemanfaatan bahan bakar nabati atau bio fuel.

8
 29 Desember 2006. Laporan Timnas Pengembangan BBN kepada
Presiden, menyatakan bahwa investasi dalam dan luar negeri untuk
pengembangan bahan bakar nabati (BBN) mencapai 9-10 miliar dolar AS
yang akan ditandatangani pada 9 Januari 2007. Disebutkan pula bahwa
akan ada tambahan dana perbankan sebesar Rp 34 triliun.

 2007-2009. Direktorat Sumber Daya Alam dan Teknologi Tepat Guna,


Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Depdagri,
menjalankan program Desa Mandiri Energi (DME). Sebelum kegiatan
DME tahun-tahun sebelumnya pernah dijalankan pengembangan
penggunaan energi matahari, namun dalam skala yang sangat terbatas dan
dalam format sebagai pilot project. Selama 3 tahun ini, telah
diimplementasikan pelaksanaan DME sejumlah 14 lokasi. Pemilihan
lokasi DME dengan mempertimbangkan bahwa di wilayah tersebut
banyak  terdapat lahan kritis, dan merupakan wilayah yang jauh dari pusat
ekonomi(remote area). Sesuai dengan kesepakatan, lokasi DME tidak
boleh satu tempat dengan lokasi DME yang dikelola oleh departemen lain,
namun hanya dimungkinkan maksimal bersebelahan desa. Dari sisi
organisasi dan manajemen untuk mengimplementasikan DME, telah
dibentuk Tim pengembangan DME di tingkat propinsi sampai kabupaten.
Sedangkan di tingkat desa, kepala desa merupakan orang yang diserahi
tanggung jawab dalam pelaksanaannya.

 2007. Deperin menjalankan kegiatan berupa: (1) studi kajian


pengembangan BBN; (2) Pembangunan pabrik biodiesel dengan kapasitas
1 ton per hari atau 300 ton per tahun di empat lokasi yaitu di Sumbar,
Banten, Jateng dan NTT; dan (3) pengadaan peralatan pres biji jarak dan
penyaringan serta mesin pemurnian minyak jarak kasar (CJO) menjadi
minyak jarak murni (PPO).

9
 Januari 2007. Bertempat di kantor Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral telah dilakukan 60 kesepakatan bersama antar berbagai pihak.
Kesepakatan itu antara lain 27 kerjasama antar Pemda Kabupaten dengan
sejumlah LSM seperti di Kabupaten Pacitan, Merauke dan Lampung
Selatan. Kemudian 25 kesepakatan dengan BUMN yang bertugas
mendukung BBN, 6 kesepakatan dengan lembaga peneletian dan
Perguruan Tinggi, seperti IPB dan ITB. Serta 14 kesepakatan penanaman
modal asing dan 26 kesepakatan penanaman modal dalam negeri. 

 9 Januari 2007. Penandatanganan MoU  untuk pengembangan BBN oleh


berbagai stakeholder, dengan nilai investasi mendekati Rp 200 triliun.
Akan tetapi, realisasinya ga sukses. Beberapa perusahaan sudah
merealisasikannya dengan membangun pabrik biofuel seperti PT Eterindo
dan PT Lapinum dengan total kapasitas 160 ribu ton bioodiesel per tahun, 
begitu juga dengan PT Molindo Raya dengan kapasitas 10 ribu ton
bioetanol per tahun. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya,
ternyata beberapa pabrik yang direncanakan tidak bisa beroperasi dengan
optimal karena berbagai alasan.

 Februari 2007. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan


pencanangan Desa Mandiri Energi (DME) di Desa Tanjung Harjo,
Kecamatan Ngaringan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Ia
menyatakan bahwa pemerintah menjamin produksi jarak pagar hasil
budidaya masyarakat dan kelompok tani akan diserap industri. "Berapapun
hasil produksi biji jarak dan minyak jarak akan terserap, sudah ada
pasarnya," kata Presiden.

 Maret 2007. Dilakukan seminar oleh FACT (Fuels from Agriculture in


Communal Technology) di Universitas Wageningen (Belanda). FACT
kemudian mengeluarkan Position Paper on Jatropha Curcas: State of the
Art, Small and Large Scale Project Development, dimana disebutkan
bahwa belum ada data tentang yield jarakpagar yang terdokumentasi
dengan jelas. Data dari Nikaragua, pada lahan yang bagus, dihasilkan 4,5

10
ton pada tahun ke 4. Sementara, di Indonesia katanya dapat dihasilkan
hingga 5 ton/ha/th setelah tahun pertama penanaman. Intinya, yield hingga
saat ini belum dapat diprediksi dengan akurasi yang tinggi.

 Timbul masalah, dimana mulai muncul keprihatinan bahwa sebenarnya


secara keseluruhan proses produksi biofuel tidak selalu ramah lingkungan.
PBB telah meminta agar dilakukan moratorium selama 5 tahun untuk
program biodiesel, untuk memantau dampak buruk produksi bahan bakar
nabati ini.

 Mei 2007. Pertamina mengancam akan hentikan Program Bahan Bakar


Nabati, jika hingga akhir 2007 belum ada kepastian subsidinya. Pertamina
mengaku merugi Rp 71 per liter untuk penjualan biosolar dan Rp 65 per
liter untuk biopremium. Sejak Mei 2006 saat program biofuel diluncurkan
sampai Maret 2007, Pertamina harus menanggung kerugian Rp16,9 miliar.
Sebagai upaya mengurangi kerugian, Pertamina telah menurunkan
kandungan BBN di biodiesel dari lima persen menjadi 2,5 persen sejak
Februari 2007 dan bioetanol dari lima persen ke tiga persen mulai 1 April
2007 karena mengalami kerugian. 

 Pemerintah juga telah membebaskan pajak pertambahan nilai (PPN) 10


persen atas kandungan nabati dalam biofuel.

 2008. Deptan menyebarkan sebanyak 8 unit lagi cocobiodiesel yang


berlokasi di propinsi NAD, Bengkulu, Kepri, Lampung, Kaltim, Sulut,
Malut, dan Papua Barat. Pabrik BBN berbahan baku kelapa
atau cocodiesel ini masing-masing senilai Rp3 miliar per unit dengan
kapasitas olah 500-1000 butir per hari. Pabrik ditempatkan di daerah yang
produksi kelapanya lebih besar, serta diprioritaskan untuk daerah-daerah
terpencil yang harga bahan bakar minyak (BBM) sangat tinggi.

 2009. Perincian mandatory adalah sebagai berikut, pemanfaatan biodiesel


minimal sebesar 20% pada tahun 2025, bioethanol minimal 15% pada

11
tahun 2025 dan minyak nabati murni minimal sebesar 10% pada tahun
2025.

 Januari 2008. Industri Bahan Bakar Nabati (BBN) terancam kritis karena


kebijakan yang tidak jelas. Ketua Asosiasi Produsen BBN, menilai
pemerintah kurang serius mengembangkan pemanfaatan BBN. "Kondisi
terkini sangat buruk", karena kebijakan dan regulasi di Indonesia belum
mendukung pelaksanaan pengembangan dan pemanfaatan BBN.

 21 Juli 2008. Nasib Timnas BBN. Tim Nasional Pengembangan Bahan


Bakar Nabati sudah menyelesaikan masa tugasnya setelah dua tahun
terakhir. Pemerintah menilai kinerja tim sudah cukup memuaskan terutama
membentuk blue print, roadmap pengembangan BBN di Indonesia.

 Agustus 2008. Dilaporkan bahwa sebuah Kelompok Tani di Kecamatan


Poto Tano Kabupaten Sumbawa Barat, telah mengirim 318,3 ton jarak
yang dikirim ke: Solo: 74 ton, Banyuwangi: 51 ton, Pati: 57,5 ton,
Sumbawa Besar: 17,8 ton dan dari Jereweh dan Brang Rea dikirim ke 
Semarang 118 ton.

 September 2008. Mulai dari bulan ini, industri wajib memaki BBN


sebesar 2,5%. mulai September. Pedoman yang digunakan pemerintah
mengacu kepada MOPS (Mid Oil Platts of Singapore). 

 2009. Deperin memberi bantuan peralatan bioethanol di empat lokasi yaitu


Jateng, Jabar, NAD, dan Papua. Dari pemantauan sepintas di lapangan
dieroleh informasi bahwa salah satu permsalahan mendasar pengembangan
BBN selama ini, terutama pengembangan jarak pagar, adalah
kekurangtepatan pemilihan lokasi. Harga minyak BBN yang dihasilkan
tidak kompetitif dengan BBM fosil. Untuk itu, ke depan Deperin akan
lebih selektif memilih lokasi, dengan mengutamakan pada wilayah yang
tergolong remote area. Beberapa kabupaten sedang dijajaki untuk

12
berkerjasama, misalnya beberapa wilayah kabupaten yang banyak
pegunungan dan daerah terpencil di Papua.

 Awal 2009. Pertemuan evaluasi nasional BBN di Bandung. Terungkap


beberapa keberhasilan pengembangan jarak pagar, salah satunya adalah
pengembangan oleh seorang pengusaha di Bekasi. Secara umum juga
diakui bahwa Pemda belum memberi respon yang memadai dalam
kegiatan BBN maupun DME. Pemda masih memiliki persepsi bahwa
kegiatan ini masih merupakan program pusat, dan masyarakat juga belum
pada tahap membutuhkan kegiatan ini secara riel.

 Maret 2009.  Dalam rangka menyambut Dies Natalis ke-33 Universitas


Sebelas Maret, dilakukan penandatanganan Nota Kesepakatan Bersama
(MoU) Pengembangan Bahan bakar Nabati (Biofuel) antara Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral melalui Direktorat Jenderal Minyak dan
Gas Bumi (Ditjen Migas) dengan Universitas Sebelas Maret Surakarta, di
Hotel Novotel Surakarta. MoU mencakup kegiatan sosialisasi kebijakan
dan pemanfaatan BBN (biofuel); penyusunan mengenai jenis, standar dan
mutu BBN; serta konsultasi, informasi, seminar, dan kegiatan ilmiah
lainnya.

 April 2009. Pemerintah mengajukan usulan alokasi subsidi BBN kepada


Dewan Perwakilan Rakyat serta menyusun formula harga patokan BBN
yang menuju harga keekonomiannya.

 Agustus  2009. Meski menghadapi berbagai kendala, namun pemerintah


tetap konsisten untuk mengembangkan Bahan Bakar Nabati (BBN).
Pengembangan BBN selain untuk mengurangi ketergantungan terhadap
produk energi fosil juga untuk menghasilkan energi yang ramah
lingkungan .

13
 2010-2011. Pada periode ini, semestinya sesuai dengan target Tim
Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati telah diproduksi bioethanol
menjadi 2,5 juta kilo liter. Faktanya?

 2010. Program BBN di Indonesia koordinasi tidak jalan. Meskipun sudah


ada otoritas tertinggi, implementasi di lapangan mandek. Tak ada yang
meragukan bahwa Indonesia punya potensi energi terbarukan yang luar
biasa: panas bumi, energi laut, matahari, biomassa, dan lain-lain.
Peranan Menko Perekonomian terkait pengembangan BBN, dalam konteks
sebagai koordinasi belaka. Di bagian ini ada sub bagian terkait program
pengembangan BBN nasional, yaitu tim yang menangani program
pengembangan BBN dan satu lagi Tim Koordinasi pelaksanaan DME. 

 2020. Adalah tahun target dimana Indonesia berkomitmen untuk


menurunkan emisi gas rumah kaca, khususnya CO, sebanyak 26 persen.

3. Teknologi Pengelolaan BBN


1) Teknologi Pembuatan Biodiesel
a. Teknik pembuatan biodiesel menggunakan bahan baku bintaro
sebagai berikut.
1) Pengupasan biji dari tempurungnya, pencucian,
pengeringan, dan pengempaan kernel (Kelapa)
menggunakan sistem hidraulik manual (Pompa) kapasitas
10 kg/batch.
2) Proses degumming (proses pemisahan getah yang terdiri
dari fosfatida, protein, karbohidrat dan resin tanpa
mengurangi jumlah asam lemak bebas dalam CPO. Proses
ini dilakukan dengan menambah air, uap air atau asam
fosfat. Setelah bahan pengotor terpisah dari minyak maka
dilakukan sentrifus) menggunakan larutan H3 PO4 teknis
dengan konsentrasi 0,5% (v/v) selama 1 jam.
3) Proses esterifikasi (tahap konversi dari asam lemak bebas
menjadi ester. Esterifikasi mereaksikan asam lemak dengan

14
alkohol. Katalis-katalis yang cocok adalah zat berkarakter
asam kuat, seperti asam sulfat, asam sulfonat, asam sulfonat
organik atau resin penukar kation asam kuat. Asam-asam
tersebut biasa dipilih dalam praktek industrial)
menggunakan campuran katalis metanol 20% (v/v) dengan
HCl 1% (v/v).
4) Proses transesterifikasi (proses transformasi kimia molekul
trigliserida yang besar, bercabang dari minyak nabati dan
lemak menjadi molekul yang lebih kecil, molekul rantai
lurus, dan hampir sama dengan molekul dalam bahan bakar
diesel) dengan campuran katalis metanol 10% (v/v) dengan
KOH 0,5% (b/v), selama 0,5 jam.
5) Proses pencucian dan pemurnian minyak biodiesel.

b. Teknik pembuatan biodiesel menggunakan bahan baku kemiri


sunan sebagai berikut.
1) Pengupasan kernel (biji) dari tempurungnya, pengeringan,
dan pengepresan kernel menggunakan teknik pencampuran
dengan sekam padi sebanyak 5% (b/b) yang bersih dari sisa
patahan beras. Pengepresan menggunakan mesin sistem
skrew kapasitas 50 kg/jam.
2) Proses degumming dengan penambahan larutan H3 PO4
dengan konsentrasi 1% (v/v).
3) Proses esterifikasi menggunakan campuran katalis metanol
10% (v/v) dengan H2 SO4 0,5% (v/v) selama 1 jam
4) Proses transesterifikasi dengan campuran katalis metanol
20% (v/v) dengan NaOH 0,6% (b/v) selama 0,5 jam
5) Pencucian dan pemurnian minyak biodiesel.
c. Teknik pembuatan biodiesel menggunakan bahan baku malapari
sebagai berikut.

15
1) Pengupasan biji dari cangkang, pengeringan, dan
pengepresan kernel menggunakan mesin skrew kapasitas 50
kg/jam.
2) Proses degumming I menggunakan penambahan larutan H3
PO4 dengan konsentrasi 0,25% yang dilanjutkan dengan
proses degumming II menggunakan campuran bentonit dan
zeolit (0,5%:0,5%) b/v
3) Proses esterifikasi menggunakan campuran katalis metanol
20% (v/v) dan HCl 1% (v/v).
4) Transesterifikasi menggunakan campuran katalis metanol
15% (v/v) dan KOH 0,4% (b/v).
5) Pencucian dan pemurnian minyak biodiesel

Secara skematis, teknik pembuatan biodiesel bintaro dan kemiri sunan


ditunjukkan pada Gambar 2.

Secara skematis, teknik pembuatan biodiesel malapari ditunjukkan pada


Gambar 3.

Teknik pembuatan biodiesel menggunakan bahan baku nyamplung, malapari, dan


bintaro sebagai berikut. MALAPARI

PENGUPASAN DAN PENGUKUSAN

Sinar
PENGERINGAN
matah
ari
PENGEMPAAN

DEGUMMING I (H3PO4) DAN II


(bentonit+zeolit)
ANALISIS BILANGAN ASAM
ANALISIS BILANGAN ASAM
ESTERIFIKASI

ANALISIS BILANGAN ASAM


TRANSESTERIFIKASI
16 ANALISIS
BILANGAN
PENCUCIAN ASAM
d. Teknik pembuatan biodiesel menggunakan bahan baku nyamplung,
malapari, dan bintaro sebagai berikut.
1. Teknik pembuatan biodiesel nyamplung
a. Proses pemisahan kernel dari tempurung, pengukusan,
pencucian, pengeringan, dan ekstraksi minyak (crude oil)
dengan cara penambahan sekam padi sebanyak 5% (b/b).
Pengepresan kernel menggunakan mesin skrew kapasitas
50 kg/jam.
b. Proses degumming, yakni minyak mentah dipanaskan pada
suhu 125o C selama 2 jam pada suhu konstan, kemudian
suhu minyak diturunkan sampai suhu 60o C, setelah itu
ditambahkan H3 PO4 dengan konsentrasi 1,5% (v/v) sambil

17
diaduk dengan kecepatan 400 rpm, lalu selama ½ jam
dienapkan, dan dipisahkan antara minyak dan getah (gum).
c. Minyak bersih dipanaskan pada suhu 60o C, kemudian
ditambahkan bentonit 1,5% sambil diaduk selama ½ jam,
lalu diendapkan dan dipisahkan antara minyak dan
bentonitnya.
d. Proses esterifikasi menggunakan campuran katalis metanol
15% (v/v) dan HCl 1% (v/v) pada suhu 60o C sambil
diaduk dengan kecepatan 400 rpm, setelah ½ jam,
kemudian ditambahkan zeolit 1,5% (b/v), sambil diaduk
dengan kecepatan sama selama ½ jam.
e. Proses transesterifikasi mengunakan campuran katalis
metanol 15% (v/v) dan KOH 0,4% (b/v).
f. Pencucian dan pemurnian minyak biodiesel.

2. Teknik pembuatan biodiesel malapari


a. Proses pemisahan kernel dari tempurung, pengukusan,
pencucian, pengeringan, dan ekstraksi minyak (crude oil)
dengan cara penambahan sekam padi sebanyak 5% (b/b).
Pengepresan kernel menggunakan mesin skrew kapasitas
50 kg/jam.
b. Proses degumming, yaitu minyak mentah dipanaskan pada
suhu 125o C selama 2 jam pada suhu konstan, suhu minyak
diturunkan sampai suhu 60o C, kemudian ditambahkan H3
PO4 dengan konsentrasi 1,5% (v/v) sambil diaduk dengan
kecepatan 400 rpm, lalu selama ½ jam diendapkan,
kemudian dipisahkan antara minyak dan getah (gum).
c. Minyak bersih dipanaskan pada suhu 60o C, kemudian
ditambahkan bentonit 2% sambil diaduk selama ½ jam lalu
diendapkan dan dipisahkan antara minyak dan bentonitnya.
d. Proses esterifikasi menggunakan campuran katalis metanol
20% (v/v) dan HCl 1% (v/v) pada suhu 60o C sambil

18
diaduk dengan kecepatan 400 rpm, setelah ½ jam
ditambahkan zeolit 1,5% (b/v) sambil diaduk dengan
kecepatan selama ½ jam.
Proses transesterifikasi mengunakan campuran katalis
metanol 20% (v/v) dan KOH 0,6% (b/v).
e. Pencucian dan pemurnian minyak biodiesel.

3. Teknik pembuatan biodiesel bintaro


a. Proses pemisahan kernel dari tempurung, pengukusan,
pencucian, pengeringan, dan ekstraksi minyak (crude oil)
dengan cara penambahan sekam padi sebanyak 5% (b/b).
Pengepresan kernel menggunakan mesin skrew kapasitas
50 kg/jam.
b. Proses degumming, yaitu ditambahkan H3 PO4 dengan
konsentrasi 0,75% (v/v) sambil diaduk dengan kecepatan
400 rpm, selama ½ jam diendapkan, kemudian dipisahkan
antara minyak dan getah (gum).

c. Minyak bersih dipanaskan pada suhu 60o C, kemudian


ditambahkan bentonit 1,5% sambil diaduk selama ½ jam,
kemudian diendapkan serta dipisahkan antara minyak dan
bentonitnya.
d. Proses esterifikasi menggunakan campuran katalis metanol
20% (v/v) dan HCl 1% (v/v) pada suhu 60o C sambil
diaduk dengan kecepatan 400 rpm, setelah ½ jam
ditambahkan zeolit 1,5% (b/v) sambil diaduk dengan
kecepatan selama ½ jam.
e. Proses transesterifikasi menggunakan campuran katalis
metanol 20% (v/v) dan KOH 0,6% (b/v).
f. Pencucian dan pemurnian minyak biodiesel.

4. Jenis-jenis BBN

19
BBN merupakan salah satu bentuk green energy yang secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :

a. Biodiesel
Merupakan bentuk ester dari minyak nabati. Bahan baku dapat berasal dari
kelapa sawit, jarak pagar, kedelai, dan kelapa. Dalam pemanfaatannya
dicampur dengan minyak solar dengan perbandingan tertentu. B5
merupakan campuran 5% biodiesel dengan 95% minyak solar yang dijual
secara komersiil oleh Pertamina dengan nama dagang biosolar.

b. Bioetanol
Merupakan anhydrous alkohol yang berasal dari fermentasi tetes tebu,
singkong, jagung atau sagu. Bioetanol dimanfaatkan untuk mengurangi
konsumsi premium. E5 merupakan campuran 5% bioetanol dengan 95%
premium yag telah dipasarkan Pertamina dengan nama dagang
biopremium. Penggunaan bioetanol sampai dengan E15 tidak perlu
melakukan modifikasi mesin kendaraan yang sudah ada, tetapi untuk E100
hanya dapat digunakan untuk mobil jenis FFV (Flexible Fuel Vehicle).

c. PPO (Pure Plant Oil) atau Bio-oil


Merupakan minyak nabati murni tanpa perubahan sifat kimiawi dan
dimanfaatkan secara langsung untuk mengurangi konsumsi solar industri,
minyak diesel, minyak tanah dan minyak bakar. O15 merupakan campuran
15% PPO dengan 85% minyak diesel dan dapat digunakan tanpa tambahan
peralatan khusus untuk bahan bakar peralatan industri. Pemakaian yang
lebih besar dari o15 harus menambah peralatan konverter.

5. Kelebihan dan Kekurangan Menggunakan Bahan Bakar Nabati

a. Kelebihan Menggunakan Bahan Bakar Nabati

Salah satu keuntungan terbesar menggunakan minyak nabati adalah


fakta bahwa minyak ini merupakan sumber energi terbarukan.
Terdapat banyak sumber minyak nabati baik SVO maupun WVO.

20
Sumber terbarukan berarti kita tidak perlu khawatir akan terjadinya
krisis di masa depan.

Minyak nabati merupakan sumber energi bersih karena


menghasilkan tingkat polusi lebih kecil dibandingkan bensin dan
diesel. Itu sebab, penggunaan minyak nabati banyak mendapatkan
dukungan dari aktivis lingkungan.

Kendaraan dengan bahan bakar minyak nabati memiliki jarak


tempuh lebih jauh dibandingkan yang bekerja dengan bahan bakar
minyak. Jarak tempuh lebih jauh berarti lebih hemat bahan bakar
sekaligus menekan biaya.

Minyak nabati bisa diproduksi secara lokal sehingga mengurangi


ketergantungan pada minyak dari negara asing.

Minyak nabati lebih aman digunakan karena lebih sulit terbakar


saat kendaraan mengalami kecelakaan.

Minyak nabati melumasi mesin jauh lebih efektif yang pada


gilirannya membantu menekan biaya pemeliharaan.

b. Kekurangan menggunakan Bahan Bakar Nabati


 Tantangan terbesar menggunakan minyak nabati sebagai bahan
bakar adalah biaya modifikasi mesin yang besar. Sebagaimana
diketahui, mesin konvensional harus dimodifikasi agar bisa
menggunakan bahan bakar minyak nabati.
 Minyak nabati dapat mempengaruhi kinerja mesin jika tidak
dilakukan konversi secara benar. Kinerja mesin yang turun berarti
memerlukan biaya pemeliharaan tinggi.
 Saat ini, pabrikan kendaraan bermotor umumnya hanya
memberikan garansi mesin hanya jika BBM yang digunakan

21
sebagai bahan bakar. Kondisi ini akan menyulitkan konsumen
karena hasil modifikasi tidak lagi dijamin oleh garansi pabrik.

 Mesin yang menggunakan minyak nabati dikenal sulit dihidupkan


saat cuaca terlalu dingin. Ini tentu menyulitkan bagi orang-orang
yang tinggal di daerah dengan empat musim.

BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Peningkatan produksi dan pemanfaatan bahan bakar nabati atau BBN,
yaitu bahan bakar cair yang berasal dari sumber-sumber nabati (hayati)
dan bersifat serupa sehingga dapat dicampurkan ke dalam BBM,
merupakan cara yang paling efektif untuk menjawab kedua tantangan
utama tersebut. Dunia kini mengenal 2 kategori BBN, yaitu BBN
oksigenat (beroksigen) dan BBN biohidrokarbon (hidrokarbon

22
terbarukan). Sesuai dengan namanya, BBN oksigenat mengandung atom-
atom oksigen dan, karenanya, memiliki dua sifat utama yaitu, hanya bisa
dicampurkan ke dalam BBM padanannya sampai kadar beberapa puluh
persen-volume saja (karena pada kadar lebih besar akan mengharuskan
modifikasi mesin pengguna) dan keberadaan atau pencampurannya ke
dalam BBM membuat emisi mesin (kendaraan) lebih bersih dibanding jika
hanya berbahan bakar BBM murni. Di lain pihak, BBN biohidrokarbon
sama sekali tidak mengandung atom-atom oksigen dan terdiri atas
hidrokarbon-hidrokarbon dalam kelas yang sama dengan hidrokarbon-
hidrokarbon di dalam BBM padanannya tetapi berasal atau terbuat dari
sumber daya nabati (definisi ilmiah sejati dari BBM sebenarnya adalah
bahan bakar hidrokarbon cair asal/basis fosil). Oleh karena wujud
komponen-komponennya ini, maka BBN biohidrokarbon bisa
dicampurkan ke dalam BBM padanannya pada kadar berapa saja, bahkan
sampai kadar 100 %-volume (alias murni) sekalipun, tanpa mengharuskan
dilakukannya modifikasi pada mesin pengguna. Karena kebebasan level
pencampurannya ini, di dalam bahasa Inggris, BBN biohidrokarbon
disebut drop-in biofuels.

B. Saran

Penulis merupakan seorang yang tidak lepas dari kesalahan, sehingga


mash banyak kekurangan dalam makalah ini, penulis berharap agar
pembaca dapat mengembangkan makalah ini dan memberi kritik agar
lebih baik untuk waktu kedepan.

23

Anda mungkin juga menyukai