Anda di halaman 1dari 17

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/335713988

makalah 3 Worldview sebagai perspektif baru dalam studi sains dan agama

Article · November 2017

CITATIONS READS
0 534

1 author:

Muhammad Taqiyuddin
University of Darussalam Gontor
14 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Islamic Worldview View project

Reading al-Attas’ Ta’dib as Purpose of Islamic University View project

All content following this page was uploaded by Muhammad Taqiyuddin on 10 September 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Worldview Sebagai Perspektif Dalam Studi Sains Dan Agama1

A. Pendahuluan

Kajian mengenai worldview masih menjadi hal yang menarik. Bukan saja
karena segala aktivitas selalu didasari dengan asumsi dasar, namun juga bahkan
fenomena sains dan agama juga dapat diberi penjelasan yang sekiranya bisa dikatakan
mencerahkan. Maka dari itu, urgensi akan studi yang menggunakan worldview
sebagai kacamata dan pisau analisa tidaklah berlebihan.

Studi sains dan agama memiliki ragam yang banyak. Jika melihat produk dari
sains, kita dapat menyimpulkan bahwa – meskipun terdapat banyak barang hasil
ciptaan sains – tapi kesemuanya memiliki standar, baik yang baku maupun tidak baku.
Sebagaimana kita mengukur panjang suatu benda, tentu kita membutuhkan standar
yang baku. Penciptaan produk sains juga demikian, tentunya ia memiliki standar yang
baku. Perkembangan sains tak lepas dari perkembangan pemikiran manusia itu
sendiri. Artinya, sains dan aktivitas saintis juga terkait dengan pemikiran yang berupa
asumsi dasar dari pelaku sains tersebut.

Hal tersebut juga terdapat dalam fenomena para peneliti yang melakukan studi
agama. Tentunya, memposisikan agama sebagai objek studi bukan merupakan hal
yang mudah. Karena agama memiliki banyak variabel yang terkait seperti pemeluk
agama, konsep kebenaran, bahkan juga pemikiran filosofisnya. Namun bukan berarti,
menemukan kesimpulan – yang diharap mendekati obyektif – dari studi sains maupun
agama menjadi tidak mungkin. Hanya saja, harus dilakukan proses elaborasi yang
tidak sederhana. Makalah ini berusaha melakukan sedikit studi tentang worldview dan
pengertiannya, serta juga pengertian agama dan sains. Selanjutnya akan membahas
tentang worldview sebagai pisau analisa terhadap beberapa studi sains dan agama
pada zaman kontemporer ini.

1 makalah ditulis oleh Muhammad Taqiyuddin untuk tugas kuliah Worldview bersama Dr. Hamid
Fahmy Zarkasyi, M.Ed, M.Phill

1
B. Pembahasan

1. Pengertian Worldview

Istilah worldview sudah ada sejak abad ke-18. Istilah aslinya yaitu
weltasnschauung dari bahasa Jerman yang pertama kali digunakan oleh Immanuel
Kant (1724-1804) kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai worldview.
Aliran Idealisme dan Romantisisme Jerman menggunakan istilah tersebut untuk
menyatakan sebuah perangkat kepercayaan yang menjadi dasar dan membentuk
pikiran dan perbuatan manusia. 2 Mengingat banyaknya jumlahnya, pengertian
worldview kita batasi menjadi: pengertian Barat Sekuler dan Islam.

Sebelum mengambil kesimpulan dari definisi worldview menurut Barat


sekuler, kami akan memaparkan beberapa tokoh yang berbicara mengenai pengertian
worldview. Beberapa tokoh yang menggunakan istilah worldview yaitu: James H
Olthuis,3 Wilhelm Dilthey,4 dan Nietzsche.5 Sedangkan Ludwig Wittgensteins lebih
biasa menggunakan istilah world picture dalam menyebut worldview.6 Michel

2 James W. Sire, Naming the Elephant : Worldview as a Concept, (Downer Grove :


InterVarsity Press Academic, 2009) hlm. 24
3 James menyatakan bahwa worldview adalah suatu kerangka berfikir, atau keyakinan-

keyakinan mendasar tentang visi kita terhadap dunia dan visi terhadap bayangan atau ungkapan kita di
masa depan nanti. Hal tersebut terintegrasi dalam fikiran seseorang kemudian membangun standar
dalam menyikapi realitas dan berinteraksi terhadapnya, dan hal ini telah lama menjadi dasar pemikiran
dan perbuatan kita sehari-hari. lihat: “On Worldviews” dalam Stained Glass : Worldviews and Social
Science. Pengertian ini dikutip dari buku James W. Sire, The Universe Next Door, (Downer Grove :
InterVarsity Press Academic, 2009) hlm. 18
4
Wilhelm Dilthey menyatakan bahwa “worldview adalah seperangkat kategorisasi secara
mental yang timbul dari pengalaman yang mendalam yang akan mempengaruhi cara pemahaman
manusia, perasaan, dan responnya dalam tindakan mengkompromikan dunia serta realita di dalamnya.”
lihat: James W. Sire, Naming the Elephant : Worldview as a Concept, (Downer Grove : InterVarsity
Press Academic, 2009), hlm. 27
5 Menurut Nietzsche worldview adalah suatu entitas kultural yang tercipta dalam diri

manusia berdasarkan (tunduk terhadap) konteks situasi geografis - historis, dan kepentingannya. Hal
tersebut berkemungkinan akan membatasi struktur pemikiran, keyakinan, dan tingkah laku dari
manusia tersebut. Kesemuanya adalah merupakan kreasi subyektif dari pengetahuan manusia yang
berdasarkan konteks sosial mereka dalam memandang alam. Pengertian ini dikutip dari buku James W.
Sire, Naming the Elephant…, hlm. 28
6 ia mendefinisikannya sebagai “a way of thinking about reality that rejects the notion that

one can have “knowledge” of objective reality (that is know any truth about any nonliugistic
reality)and thus limits knowable reality to the language are finds useful in getting what one wants.”
dan memaknainya sebagai “jalan berfikir mengenai realitas yang kemudian menolak bahwa seorang
2
Focaoult menggunakan istilah episteme dan pandangan dunia. 7 Namun, kesemua
istilah tersebut mengacu pada sebuah pengertian yang dapat disimpulkan, bahwa
Barat Sekuler mengartikan worldview sebagai “pandangan hidup dan sistem
keyakinan manusia terhadap dunia, baik historis maupun futuristik dan terpengaruh
dari aspek sosio-historis yang mana berperan sebagai dasar dari perbuatan, perkataan
dan pikiran manusia tersebut”.

Sedangkan pengertian yang terakhir adalah dari para ilmuan dan ulama
muslim. Dalam berbagai bukunya, para cendekiawan Muslim tidak pernah
menggunakan istilah “worldview”. Namun telah ada beberapa tokoh yang
menyatakan hal yang serupa dengan ‘sifat’ dan karakter worldview, tentunya dengan
istilah masing-masing. Diantaranya adalah: Sayyid Quthb8 dan Syed Muhammad
Naquib al-Attas.9 Meski demikian, para cendekiawan muslim tersebut tidak banyak
berbeda pendapat, untuk sekedar menyebut nama seperti Hasan al-Banna (1928-1949,
Abul A’la al-Maududi (1903-1979) dan lainnya, selalu menyebut bahwa manusia
memiliki dasar berfikir dan bertindak. Pendapat Sayyid Quthb dan Syed Muhammad
Naquib al-Attas mengenai worldview sangat serupa. Keduanya menyepakati bahwa
worldview adalah “visi manusia yang komprehensif dalam memandang hakikat
sebenarnya dari suatu wujud (eksistensi fisik maupun metafisik) di dunia.

mampu memiliki pengetahuan yang obyektif mengenai realitas kemudian mendapatkan apa yang ia
inginkan.”
7 Maknanya yaitu “sebuah potongan historis untuk suatu pengetahuan, yang menekankan

kepada suatu norma, alasan umum, dan setiap orang tidak bisa terlepas darinya. Episteme juga
dimaknai sebagai seperangkat peraturan, pola menalar, pola berfikir, dan semacam “badan hukum”
yang mengatur pola dalam proses mengetahui suatu hal”. dikutip dari buku James W. Sire, Naming the
Elephant…, hlm. 30
8 Sayyid Quthb memiliki istilah “Tashawwur Islamiy” sebagai yang disimpulkan sebagai

“Penafsiran komprehensif manusia terhadap semua eksistensi (wujud) yang kemudian menjadi dasar
yang mendekatkan dia untuk mengetahui hakekat dari hubungan dan keterikatannya dengan hakekat
ketuhanan, ibadah, kehidupan, dan hal lain yang terkait dengannya”. dikutip dari buku Sayyid Quthb,
Khashaish al-Tashawwur al-Islamiy wa Muqawwimatuhu, (Beitur : Daar al-Masyriq, 1983), hlm. 5
9 S.M. Naquib al-Attas merumuskan suatu istilah “Ru’yat al-Islam lil Wujud” yaitu,

memaknai worldview Islam sebagai visi mengenai realitas dan kebenaran yang muncul sebelum mata
kesadaran kita mengungkapkan (segala aspek) mengenai sebuah eksistensi (wujud). Untuk itulah (visi
diperlukan secara) totalitas karena merupakan eksistensi dunia yang diproyeksikan oleh Islam. dalam
buku Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Petaphysics of Islam : an Exposition of
the Fundamental Elements of the Worldview, (Kuala Lumpur : International of Islamic Thought and
Civilization, 2001), hlm. 32
3
Pengertian tentang worldview dapat kita simpulkan dari berbagai paparan di
atas. Worldview adalah istilah yang berasal dari kata weltanschauung (Jerman) yang
berarti pandangan hidup. Semua cendekiawan di atas – meski dengan berbagai
perbedaan istilah masing-masing – semua sependapat bahwa adanya sebuah sistem
atau kerangka keyakinan dasar manusia dalam berbuat, berbicara bahkan berfikir.
Dari situlah kita dapat memaknai worldview sebagai suatu keyakinan tertentu yang
mendasari aktivitas kehidupan manusia dan mendasari pandangannya terhadap segala
eksistensi yang telah dikenal maupun tidak dikenal olehnya.

2. Pengertian Sains dan Agama

Sains memiliki tinjauan makna yang bersifat umum sekaligus khusus. Sains
dalam bahasa Indonesia dimaknai sebagai ilmu atau ilmu pengetahuan. 10 Selain dari
itu, sains dapat bermakna khusus sebagai ilmu pengetahuan alam, yaitu pengetahuan
alam yang sistematik mengenai botani, zoologi, kimia, geologi, dan lainnya. 11 Sains
sebenarnya berasal dari bahasa Inggris, yaitu science yang berarti pengetahuan
mengenai struktur dan tingkah laku dari alam dan dunia yang fisik, berdasarkan fakta
yang dapat dibuktikan seperti dengan percobaan.12 Makna science pada berbagai
kamus lebih banyak bersifat konseptual yang mengacu seperti hal di atas.

Namun ketika sains atau science diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, ia


bermakna ‘ilm atau ilmu yang disetarakan dengan knowledge.13 Sedangkan secara

10 Tim Redaksi Pusat Bahasa, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Pusat Bahasa Departemen

Pendidikan Nasional: Jakarta, 2008), hlm. 420


11 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Pusat Bahasa:

Jakarta, 2008), hlm. 1244


12 yaitu bermakna “knowledge about the structure and behaviour of the natural and physical

world, based on facts that you can prove, for example by experiments” dalam Albert Sidney Hornby,
Oxford advanced Learner’s Dictionary of Current English, (Oxford University Press: 2015) cet. 9,
hlm. 1384 demikian juga bermakna “(1) [uncountable] (knowledge from) the systematic study od the
structure and behavior of the physical world, especially by watching, measuring, and doing
experiments, and the development of the theories to describe the results of these activities; (2)
[countable] a particular subject that is studied using scientific methods; (3) the study of science, dalam
Cambridge Team, Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, (Cambridge: Cambridge University
Press, 2008) cet. 5, hlm. 1274
13 yaitu ‘ilm berarti science, knowledge, information, perception, dan cognition dalam Rohi

Baalbaki, al-Mawrid : A Modern Arabic-English Dictionary, (Daar-al-‘Ilm al-Malayin: Beirut, 1995)


seventh edition, hlm. 775
4
konseptual, ilm dalam bahasa Arab berarti pengetahuan (idrak) mengenai sesuatu
sesuai dengan hakikatnya (kebenarannya) yang meyakinkan. 14 Ilmu juga bermakna
pengetahuan terhadap sesuatu secara komprehensif dan sistematis, bukan hanya
pengetahuan yang parsial atau sebagian. 15

Terlihat dari perbedaan definisi secara linguistik di atas, bahwa pemaknaan


sains menurut Barat dan Islam memiliki konsepsi masing-masing. Jika dilacak lebih
jauh lagi, sains yang dimaknai sebagai science dalam tradisi keilmuan Barat tidaklah
sama dengan sains yang dimaknai sebagai ‘ilm yang ada dalam tradisi keilmuan
Islam. Untuk itulah, sebelum mengungkap hubungan antara sains dan Islam, haruslah
diperjelas terlebih dahulu macam-macam sains dari dua kutub yang mempergunakan
istilah tersebut yaitu Barat dan Islam.

Perlu bagi kita untuk memperjelas makna dari agama. Kita terbiasa menyebut
kata “agama” yang berarti sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) kepada
Tuhan yang Maha Kuasa, tata peribadatan, dan tata kaidah yang bertalian dengan
pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya dengan kepercayaan itu.16
Sebagai contoh: umumnya, Islam dianggap sebagai agama yang kadangkala
diterjemahkan menjadi religion atau dalam bahasa Arab berarti din.

Penerjemahan dan pemaknaan ini sebenarnya perlu dikaji lebih mendalam.


Perbedaan kata dan bahasa akan sangat mempengaruhi keyakinan dan worldview
manusia dalam memahami konsepsi segala sesuatu.17 Jika Islam dianggap sebagai

14 Louis Ma’luf, al-Munjid fi-al-Lughoh wa-al-A’lam, (Daar al-Masyriq: Beirut, 2002) cet.
39, hlm. 527
15 Al-Ghawiyyu Majdu al-Din Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz Abadiy, al-Qamus al-
Muhith : tahqiq Maktabu Tahqiq al-Turats fi Muassasah ar-Risalah, (al-Muassasah ar-Risalah: Beirut,
2005) cet-8, hlm. 624
16 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar …, hlm. 18

17 sebagaimana dikutip dari Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi bahwa “Struktur berfikir sangat

berperan dalam proses dan mekanisme mengetahui yaitu menerima dan menolak pengetahuan yang
diperolehnya secara elektif. Artinya, ketika akal seseorang menerima pengetahuan, terjadi proses
seleksi yang alami, di mana pengetahuan tertentu diterima dan pengetahuan yang lain ditolak.
Pengetahuan diterima berdasarkan metaphysical belief yang telah ada dan memperkaya struktur
worldview yang dimilikinya dan jika akal tidak menerimanya ia tidak menjadi bagian dari pandangan
hiduhlm. Selain itu, ia akan menjadi konsep yang terstruktur dalam fikiran dan mempengaruhi proses
berfikir seseorang, dimana yang satu dapat mempengaruhi yang lain. Jadi, secara konseptual
hubungan worldview dengan epistemologi melibatkan penjelasan tentang prinsip-prinsip ontologi,
kosmologi, dan aksiologi.” dari Hamid Fahmy Zarkasyi, “Islamic Worldview sebagai Paradigma Sains
5
agama, maka ia hanya sebatas keterangan di atas. Sedangkan religion juga berarti
kepercayaan terhadap keberadaan Tuhan yang berimplikasi pada menjalankan ritual
untuk menyembahnya dan adanya berbagai ajaran yang berdimensi spiritual.18

Jika Islam dianggap sebagai din, maka maknanya juga akan lain. Kata din
merupakan kata bahasa Arab daana-yadiinu yaitu pemberian untuk jangka waktu
tertentu,19 memberikan harta untuk tempo tertentu atau memberikan hutang,
sedangkan dayn adalah hutang. Dayn dalam makna din juga dimaknai sebagai
keberhutangan kepada dayyan yaitu Allah. 20 Kata tersebut juga mengacu pada istilah
din berarti ketaatan, berpegang teguh,21 dan keterikatan untuk menjadi hamba.22 Atau
juga diyanah dalam Islam berarti keyakinan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan,
dan mengerjakan rukunnya secara jasmani.23

Menurut Jujun S. Suriasumantri, penerjemahan kata sciene menjadi ilmu atau


ilmu pengetahuan memiliki masalah yang pokok. Selanjutnya, ia mengusulkan kata
padaan untuk ilmu adalah knowledge, sedangkan science adalah ilmu pengetahuan. 24
Demikian pula, Syed Naquib al-Attas juga memberikan catatan khusus mengenai
penyebutan sains sebagai ilmu tersebut dikarenakan ilmu merupakan istilah dari

Islam”, dalam Tim Insist, Islamic Science: Paradigma, Fakta, dan Agenda, (Insist: Jakarta, 2016) cet.
1, hlm. 16-17
18 sebagaimana dikutip bahwa religion memiliki tiga makna: “(1) [ uncountable ] the belief

in the existence of a god or gods, and the activities that are connected with the worship of them; (2) [
countable ] one of the systems of faith that are based on the belief in the existence of a particular god
or gods (3) [ singular ] a particular interest or influence that is very important in your life.” dalam
Albert Sidney Hornby, Oxford…, hlm. 1304, selain itu dimaknai juga sebagai “an activity which
someone is extremely enthusiasthic about and does regularly” dalam Cambridge Team, Cambridge
Advanced Learner’s Dictionary, (Cambridge: Cambridge University Press, 2008) cet. 5, hlm. 1202
19
Al-Ghawiyyu Majdu al-Din Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz Abadiy, al-Qamus al-
Muhith : tahqiq Maktabu Tahqiq al-Turats fi Muassasah ar-Risalah, (al-Muassasah ar-Risalah: Beirut,
2005) cet-8, hlm. 1198
20 Jumhûriyyah Al-‘Arobiyyah Misra, al-Mu’jam al-Wasith, (Maktabah as-Syurûq ad-

Dauliyyah: Mesir, 1425 H 2004 M), hlm. 307


21 Louis Ma’luf, al-Munjid …, hlm. 231

22 Al-Ghawiyyu Majdu al-Din Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz Abadiy, al-Qamus al-

Muhith …, hlm. 1198


23 Jumhûriyyah Al-‘Arobiyyah Misra, al-Mu’jam al-Wasith…, hlm. 307

24 pengadaan alternatif ini dilihat dari makna ilmu sebagai serapan dari ‘ilm dalam bahasa

Arab. Makna semantic knowledge memang lebih tepat diterjemahkan sebagai ilmu, dan sains
merupakan semacam spesies dari ilmu, yaitu ilmu pengetahuan yang berdasar pada penginderaan objek
sains tersebut. ‘Ilm memiliki dimensi lahiriyah yaitu “tahu” dan dimensi bathiniyah yaitu “kenal”,
sedangkan “kenal” berdimensi lebih intens daripada “tahu”. Dikutip dari Jujun S. Suriasumantri,
Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984) hlm. 291-299
6
bahasa Arab yaitu ‘ilm. Sedangkan makna ‘ilm dalam bahasa Arab mencakup
ma’rifah (ilmu pengenalan) dan ilmu pengetahuan (sains). Karena keduanya memiliki
implikasi masing-masing. 25

3. Studi Sains dan Studi Agama dalam Perspektif Worldview

Jika kita perhatikan beberapa uraian di atas tentang makna sains dan agama,
kita dapat menemukan beberapa hal yang menarik. Pemaknaan keduanya, jika dikaji
lebih dalam sesuai bahasa yang digunakan ternyata sangat sarat akan konsep dan latar
belakang tertentu. Dalam hal ini, sebenarnya kita telah melakukan kajian
menggunakan worldview sebagai pisau analisa terhadap pengertian dari sains dan
agama tersebut. Karena, worldview sebagai hal yang fundamental melazimkan
terwujudnya pemikiran manusia mengenai dunia melalui sarana pembentukan fikiran
dari fakultas bahasa yang rumit.26

Dari uraian di atas, kita dapat melihat bahwa worldview dapat digunakan
secara – lebih akurat – dalam melakukan analisa terhadap pola studi dan metodologi
sains. Menggunakan worldview sebagai pisau analisis, bukan untuk memperdebatkan

25 menurut Syed Naquib al-Attas, ada dua hal yang menjadi implikasi pernyataan ini.
Pertama, ini menunjukkan klam di atas bahwa sains, karena berurusan dengan objek-objek yang dapat
diketahui, yaitu diamati dengan indera, termasuk dalam ilmu pengetahuan, dengan demikian, ada dua
pilihan penerjemahan kata science: “sains” yang diadaptasi dari bahasa Inggris, atau “ilmu
pengetahuan”. Sebagaimana penggunaan “ilmu pengenalan” sebagai terjemah dari “ma’rifah”. Kedua,
menggunakan kata “ilmu” untuk menyebut sains yang hanya berkaitan dengan objek-objek inderawi
adalah penyempitan makna ilmu yang sebenarnya; karena dengan ini objek-objek yang tak bisa
diketahui, namun bisa dikenal, seperti Tuhan, akan dikeluarkan dari wilayah ilmu. Implikasi lebih
jauhnya, sebagaimana tersirat dalam penggunaan kata “ilmiah” (scientific) adalah segala pernyataan
yang tidak “ilmiah” atau tidak bersumber dari “ilmu” (dalam hal ini “sains” menurut Barat), dianggap
lebih rendah derajatnya. Pada gilirannya ini berarti segala ilmu yang, sebagai contoh, bersumber dari
agama, mengenai masalah-masalah moral, yang tidak bisa “dibuktikan” menjadi tidak cukup bernilai.
Penyempitan makna ini, secara sadar atau tidak merupakan proses sekularisasi, yaitu penghapusan
makna ruhaniah dari segala sesuatu yang sesungguhnya dimulai dari bahasa. Dikutip dari Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, (Penerbit Mizan: Bandung, 1995) cet. 1, hlm.
23
26 dikutip dari Humboldt yaitu “worldview as the fundamental and necessary processing of

the world by the mind through the faculty of language.” dalam buku : James W. Underhill, Humboldt,
Worldview and Language, (Edinburgh : Edinburgh University Press, 2009) hlm. 14-15 Kajian mereka
yang lebih mendalam menyimpulkan bahwa worldview terdiri atas berbagai elemen, yaitu adat istiadat,
tradisi, bahkan yang terpenting adalah struktur linguistik atau bahasa yang digunakan sebagai alat
komunikasi antar masyarakat tertentu. Dari penelitian tersebut tersimpulkan bahwa segala sains,
teknologi, ideologi dah hal lainnya tidak muncul dari “ruang hampa” dan bukan juga merupakan
sesuatu yang “netral”, seluruhnya sarat akan muatan yang terderivasi dari adanya worldview tersebut.

7
kebenaran hal semisal pernyataan bahwa “sains adalah netral dan bebas nilai”, namun
secara ia berusaha untuk melihat asal usul dan latar belakang dari pernyataan tersebut
secara fenomenologis, historis, bahkan juga empatis.

Sebagai contoh tentang studi sains: “berpedoman pada ‘tujuh karakter sains’-
nya,27 Gauch menyimpulkan bahwa 1) konten worldview tidak terdapat dalam sains
2) ia tidak memberikan pandangan penting yang memadai dalam studi kritis sains
mengenai alam.”28 Secara sekilas bahwa Gauch tidak setuju adanya worldview di
balik sains. Namun jika melihat pada beberapa pilar dari karakter sains tersebut,
bahwa sains merupakan “suatu hal yang terbukti empiris” itu merupakan suatu
metodologi yang diimpor dari suatu ideologi yang menuntut pembuktian sesuatu
secara empiris. Hal tersebut merupakan karakteristik dari suatu worldview yang
menyatakan bahwa “pembuktian empiris merefleksikan sebuah realitas”.29

Gauch juga menyatakan adanya paradoks bahwa sebuah metode yang didasari
suatu worldview akan berkesimpulan pada karakter worldview tersebut. Meskipun
demikian, ia tetaplah menyatakan bahwa sains adalah netral karena didasari dengan
metode ilmiah yang dikuatkan oleh pembuktian dengan sebuah realitas. 30 Dari sinilah
terlihat bahwa Gauchch hanya sekedar menganggap sains sebagai interogasi terhadap
alam lantas kemudian membuat kesimpulan darinya. Sains hanya terbatas pada hal
yang tampak dalam realitas fisik. Secara epistemologi, metode sains tersebut termasuk
pada ideologi “realisme” 31 yaitu suatu kepercayaan pada realitas empiris. Tentu, hal

27 Gaus membuat daftar tujuh pilar mengenai karakteristik sains yaitu : (1) Nyata (2)
Berdasarkan Hipotesis (3) Terbukti Empiris (4) Logis (5) Memiliki penjelasan yang terbatas (6)
Universal, berlaku untuk semua golongan (7) membentuk worldview. dikutip dari tulisan Gurol Irzik
and Robert Nola, Worldview and their relation to science, dalam Journal Science & Education, volume
18, no. 6-7, Pringer Science + Bussiness Media B.V 2007, p. 83 lihat juga Gaus HG, Science,
Worldview and Education (2007)
28 Gurol Irzik and Robert Nola, Worldview and their relation to science, ... p. 81

29 Ibid, ... p. 87

30 dikutip dari Gausch “It may seem paradoxical or surprising that a worldview-independent

method could yield worldview distinctive conclusion. But of course, only a method that did not
presuppose or favor a particular outcome could yield a conclusion worthly of consideration. A
worldview-independent method applied to worldview-informative evidence can reach worldview-
distinctive conclusions. The action is in the evidence. The evidence reflects reality” dalam Gurol Irzik
and Robert Nola, Worldview and their relation to science, ... p. 90
31 diperjelas dalam makalah tersebut bahwa “realism belongs to a group of worldview beliefs

that may be called philosophical. This is not to say that only philosopiscal worldview include it.
Obviously, it can also be a part of other worldviews such as political worldviews. Realism is a
8
tersebut termasuk sebuah “perangkat kepercayaan” yang merupakan karakteristik
sebuah worldview. 32

Contoh lainnya: “Matthew Orr menyatakan bahwa agama dan sains


menghasilkan disiplin ilmu yang berbeda dan prosedur operasional yang berbeda.
Sebagai contoh bahwa keyakinan mendapat sedikit bagian dalam sains, sedangkan
agama tidak hanya terbatas pada hal-hal yang dapat diobservasi secara empiris.
Tetapi, sekalipun keduanya tidak dapat disatukan dengan satu disiplin ilmu, namun
agama dan sains dapat disatukan di bawah worldview yang sudah tersintesa
(tergabung).33 Sintesa dari keduanya akan memfasilitasi proses dalam membimbing
masa depan yang beretika bagi manusia. 34 Karena worldview yang mampu
menyatukan sains dan agama haruslah mengandung komponen dari keduanya yang
tidak saling bertentangan.”35

Pernyataan di atas juga merupakan sebuah metode bagaimana ‘mengakurkan’


antara studi sains dan agama. Sebagai analisa, ada hal yang penting dalam pernyataan
di atas yang patut kita cermati: 1) “bahwa agama dan sains menghasilkan disiplin
ilmu yang berbeda dan prosedur operasional yang berbeda” dan 2) “bahwa
keyakinan mendapat sedikit bagian dalam sains, sedangkan agama tidak hanya
terbatas pada hal-hal yang dapat diobservasi secara empiris. Tetapi, sekalipun

worldview belief, which is at odds with philosophical worldview such as idealism or phenomenalism. It
will also clash with a religious worldview that takes the physical world not as real, but as an illusory
reflection of a deeper, non-physical reality.” dalam Gurol Irzik and Robert Nola, Worldview and their
relation to science, ... p. 89
32 Gurol Irzik and Robert Nola, Worldview and their relation to science, ... p. 90

33
Orr menyatakan mendefinisikan worldview berdasarkan The American Heritage
dictionary tahun 2000 yaitu “(1) The overall perspective from which one sees and interprets the world.
(2) A collection of beliefs about life and the universe held by an individual or a group” dalam Matthew
Orr, What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and Religion?
dalam Zygon: Journal of Religion and Science, Vol. 41, No. 2, Joint Publication Board of Zygon,
Chicago, 2006, hlm. 437
34 sebagaimana dikutip dari Matthew Orr bahwa “Unlike evolutionary genetics, religion and

science constitute entirely different displines with operating procedures. Faith, for instance, has little
place in science, and religion need to be limited to what is empirically observable. But even through
they cannot be united as a single discipline, religion and science can be united under a single synthetic
worldview. Their synthesis will facilitate progress in guiding the ethical future of humankind.” dalam
Matthew Orr, What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and
Religion?... hlm. 437
35
Matthew Orr, What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of
Science and Religion?... hlm. 437
9
keduanya tidak dapat disatukan dengan satu disiplin ilmu, namun agama dan sains
dapat disatukan di bawah worldview yang sudah tersintesa” jika dikaji akarnya,
pernyataan tersebut sebenarnya dapat dijelaskan dengan analisa worldview.

Pernyataan di atas dapat dikaji lebih detail lagi dengan memperhatikan


beberapa istilah yang ada. Kita dapat memfokuskan pada istilah “agama” dan “sains”
pada pernyataan di atas. Pernyataan di atas dikutip dari Matthew Orr yang merupakan
orang Barat Sekuler. Makna agama dan sains menurutnya, tentu berbeda dengan
makna yang diketahui dalam Islam. Bahwa Barat sekuler cenderung memisahkan
antara agama dan sains. Sedangkan Islam tidak mengenal dikotomi antara keduanya.
Sebagai penjelasan, bahwa dalam Islam terdapat Ilmu Tafsir al-Qur’an, yang mana –
menurut al-Attas – merupakan suatu metode ilmiah dan titik beratnya pada syarat-
syarat pengetahuan yang kokoh dari simbol-simbol linguistik yang ada dan
pengartiannya sebagaimana ditetapkan oleh konteks semantiknya mendekati sifat-sifat
suatu ilmu eksakta.36 Perbedaan worldview dan paradigma itulah yang membuat
perbedaan dalam kesimpulan dari pernyataan tersebut dan yang mendasari pernyataan
tersebut.

Selanjutnya, kita akan mengkaji tentang agama dari perspektif worldview.


Menurut Ninian Smart, ada beberapa hal menarik yang bisa diambil jika kita
menggunakan worldview sebagai pisau analisis dalam studi agama. Ninian membuat
kategori enam dimensi dalam mengkaji sebuah agama, yaitu: Doktrin, Mistis, Etika,

36
sebagaimana disarikan dari Syed Muhammad Naquib al-Attas bahwa “Sebuah bahasa bisa
saja mengalami perubahan semantik dikarenakan perubahan sejarah, masyarakat, serta penafsiran
yang relatif dan subyektik atas simbol linguistik mereka, sehingga tidak dapat menjamin ketepatan
ilmiah khususnya dalam makna yang memuat kebenaran mutlak dan obyektif. Namun meski demikian,
bahasa Arab tidak sama dengan bahasa tersebut, dikarenakan stuktur semantiknya. Suatu kenyataan
bahwa: 1) Struktur linguistiknya dibangun atas suatu sistem “akar-akar” yang tegas. 2) Struktur
semantiknya diatur oleh suatu sistem medan semantik tertentu yang menentukan struktur konseptual
yang terdapat dalam kosa-katanya. 3) Kata-kata, makna-makna, tata bahasa dan persajakannya telah
direkam dan dimantapkan secara ilmiah sedemikian rupa, sehingga bisa memelihara ketetapan
semantiknya. Karena sifat ilmilah itulah, sehingga ilmu yang pertama berkembang di kalangan orang
Islam adalah ilmu Tafsir yang menjadi mungkin dan terselenggarakan. Jenis tafsirnya tidak persis
sama dengan hermeneutika Yunani, Kristen maupun ilmu penafsiran kitab suci agama atau
kebudayaan lain manapun. Di dalam Tafsir tidak tempat bagi prangsangkaan maupun dugaan, tidak
ada tempat bagi penafsiran yang didasarkan pada tanggapan subyektif atau didasarkan hanya pada
relativisme historis.” lihat: Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam (
Bandung: Mizan, 1984) hlm. 19-20

10
Ritual, Pengalaman, dan Sosial.37 Bukan hanya hal itu saja, bahkan jika worldview
digunakan ideologi di dunia maka akan memungkinkan kita untuk melihat beberapa
dimensi tentang agama juga terdapat dalam ideologi, bahkan juga mungkin dalam
sains.

Karena itulah, melakukan studi agama tidak boleh dilakukan dengan terburu-
buru. Tidak semua metode sains dapat diterapkan untuk melakukan studi terhadap
agama. Karena akan sulit mendapatkan hasil yang obyektif sebagaimana yang
sebenarnya terjadi dalam agama tersebut. Sebagai contoh, bahwa melakukan studi
agama dengan metodologi positivisme akan berakhir pada kesimpulan bahwa agama
yang tertinggi adalah humanisme, sedangkan hal-hal yang metafisik yang tidak
terbukti secara positif tidaklah dapat diterima.38

37 Sebagaimana dikutip dari Ninian Smart: “The model of six dimensions of religion is a
useful device for trying to get a rounded picture of a religion. These are:1) Doctrinal. A religion
typically has a system of doctrines. 2) Mythic. Typically a religion has a story or stories to tell. The
word does not imply, as it does in everyday speech, that such stories are not true, just “myths” but
often “myth” is used technically to refer to stories of the gods or other significant beings that have
access to an invisible world beyond ours. 3) Ethical. A religion has an ethical dimension. Believers are
enjoined to observe certain rules and percepts. Thus myth is often conjoined to ritual acts which replay
them and so convey their meaning to believers in a concrete way. 4) Ritual. So, typically a religion has
a ritual dimension. 5) Experiential. Ritual helps to express feelings – awe and wonder, for instance –
and can itself provide a context of dramatic experience, when the believer feels immediately and
strikingly the presence of God. Such experiences are part of the experiential dimension of religion. 6)
Social. Any tradition needs some kind of organization in order to perpetuate itself. It thus embeds itself
in society.” lihat: Ninian Smart, Worldviews Crosscultural Explorations of Human Beliefs (New York:
Charles Scribner’s Sons,1983) hlm. 7-8
38
sebagaimana dikutip dari Auguste Comte bahwa “Here, Positivism offers for the definite
acceptance of society; a system which regulates the whole course of our private and public existence,
by bringing Feeling, Reason, and Acitivity into permanent harmony. In this final synthesis, all essential
conditions are far more perfectly fulfilled than in any other. Life in all its actions and thoughts is
brought under the control and inspiring charm of Social Sympathy. Therefore, it will discover the
human effort reacts most beneficially on the moral nature. Humanity is the centre to which every
aspect of Positivism converges. Thus Positivism becomes, in the true sense of the word a religion; the
only religion which is real and complete; destined therefore to replace all imperfect and provisional
systems resting on the primitive basis of theology. The study of humanity therefore, directly or
indirectly, is for th future the permanent aim of Science; and Science is now in a true sense
consencrated, as the source from which the universal religion receives its principles. To live in others
is, in the truest sense of the word, life. Indeed the best part of our own life is passed thus. As yet this
truth has not been grasped firmly, because the social point of view has never yet been brought
systematically before us. But the religion of Humanity, by giving an esthetic form to the Positivist
synthesis, will make it intelligible to minds of every class: and will enable us to enjoy the untold charm
springing from the sympathies of union and of continuity when allowed free play.” lihat: Auguste
Comte, A General View of Positivism : translated from the French by J. H. Bridges, M. B, (London:
George Routledge & Sons Limited, 1908) hlm. 360-384
11
Contoh yang juga mutakhir, bahwa melakukan studi terhadap sebuah kitab
suci dalam agama tertentu – dengan terburu-buru – seperti kesimpulan Dr. Nashr
Hamid Abu Zaid bahwa al-Qur’an merupakan Muntaj Tsaqafiy. Kesimpulan ini
didapatkan dengan mempelajari al-Qur’an dengan pendekatan Historisisme. Paham
historisisme39 percaya bahwa proses pemahaman yang memadai tentang sifat dasar
‘sesuatu’, dan penilaian paripurna tentang nilai ‘sesuatu’ itu harus dicapai dengan
mempertimbangkan dimana ia bertempat, dan apa peranannya dalam proses
perkembangannya. 40 Oleh karena itu, jika historisisme diaplikasikan dalam studi al-
Qur’an, maka akan berimplikasi pada dekonstruksi posisi al-Qur’an sebagai wahyu
menjadi sebatas ‘teks- teks biasa’ karena tidak lepas dari lingkaran sejarah yang
mengelililnginya, padahal kaum Muslimin mengimani bahwa pengertian wahyu
dalam al-Qur’an mencakup lafadz dan maknanya sekaligus.41 Kemudian ketika kajian
al-Qur’an melepaskan posisinya sebagai “kalamullah” (verbum dei), maka akan
diperlakukan hanya sekedar ‘teks bahasa’ (nash lughowi) dan ‘produk budaya’
(muntaj tsaqafi) sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nashr Hamid Abu Zayd,
kemudian hermeneutika liberal memungkinkan untuk digunakan dalam penafsiran al-
Qur’an.42 Dampak yang paling nyata dari dua konsep di atas adalah sikap skeptis dan
relatif terhadap otentisitas dan sakralitas al-Qur’an.

Pada hakikatnya, hermeneutika merupakan prinsip umum dalam interpretasi


Bibel yang bertujuan mengungkap kebenaran dan nilai di dalamnya. 43 Bagi umat
Kristen, realitas teks bibel memang membutuhkan hermeneutika untuk sebuah
penafsiran.44 Para hermeneut dapat menelaah dengan kritis teks Bibel – yang memang

39 Historisisme adalah suatu pandangan yang berasumsi bahwa segala sesuatu yang terjadi
hari ini lahir dari perkembangan sejarah. Lihat Jamil Shaliba, al-Mu’jam al-Falsafi, (Beirut: Dar al-
Kutub Libanani, 1982), vol. 1, hlm. 229
40 Teks aslinya: “Historicism in the belief that an adequate understanding of the nature of

anything and an adequate assessment of its value are to be gained by considering it in terms of the
place it occupied and the roles it played within a process of development.” Lihat Donald, M Borchert,
Encyclopedia of Philosophy, (USA: Thompson Gale, 2006), hlm. 392
41 Henri Shalahuddin, Kredibilitas Ilmu Tafsir dalam Menegakkan Konsep Wahyu al-

Qur’an, Islamia, Vol. VI No. 1 2012. hlm. 25


42 Lihat Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi

Sekular Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2005), p. 314


43
Encyclopedia of Britannica, (USA, 1998), hlm. 874
44 Hermeneutika dibutuhkan untuk mengungkap nilai Bibel karena mereka memiliki

sejumlah masalah dengan teks- teks kitab suci mereka, yakni: a) adanya perbedaan pengarang yang
menyebabkan Bible tidak bisa dinyatakan Kalam Tuhan (the Word of God) secara literal, b) Bibel yang
kini ditulis dan dibaca bukan dengan bahasa asalnya. Bahasa asal Perjanjian Lama adalah Hebrew, dan
12
teks manusiawi – mencakup kondisi penulis Bibel, kondisi historis, dan makna literal
satu teks Bibel. Perbedaan realitas antara teks Bibel dan al-Qur’an membawa
konsekuensi perbedaan metodologi penafsiran. Oleh karena itu, metode historis dan
analisis penulis tidak dapat diaplikasikan kepada al-Qur’an yang merupakan teks
wahyu atau tanzil dari Allah SWT. 45

Menurut Ninian Smart, mengamati dan meneliti sebuah agama membutuhkan


beberapa pendekatan sekaligus. Seorang yang melakukan studi agama haruslah
mengetahui dengan benar sejarah dari agama tersebut; diantara melalui pemeluk
agama dan bukti teks tertulis atau teks keagamaan. Bahkan lebih dari itu, studi agama
juga membutuhkan metodologi yang beragam. Jika melihat fenomena sosial
keagamaan, ia harus menggunakan pendekatan sosiologis bahkan juga empatis.
Belum lagi, banyak variabel yang ada dalam suatu agama seperti konsep kebenaran,
nilai-nilai dan kepercayaannya; bahkan juga hingga hal-hal seperti bagaimana agama
tersebut menganggapi zaman kontemporer yang mana juga ideologi seperti
sekularisme dan lainnya; tentunya agama juga haruslah dilihat secara filosofis. Studi
agama tidak boleh menggunakan suatu metode tertentu atau bahkan metode yang
dapat mereduksi kesimpulan dari berbagai variabelnya sehingga menjadi tidak valid.
46

C. Kesimpulan

Dari berbagai pemaparan di atas, kita akan menyimpulkan beberapa hal yang
terkait dengan worldview dan studi agama. Melihat point-pointnya, kita dapat
klasifikasikan sebagai berikut:

Perjanjian Baru adalah Greek, sedangkan Nabi Isa AS. berbicara dengan bahasa Aramaic. Bibel ini
kemudian diterjemahkan keseluruhannya dalam bahasa Latin, lantas bahasa- bahasa Eropa, c) ketidak-
yakinan tentang orisinalitas teks Bibel oleh para ahli di bidang itu sejak dari awal karena tidak adanya
bukti materil teks- teks yang paling awal, d) tidak adanya laporan prihal interpretasi yang dapat
diterima umum, yakni ketiadaan tradisi mutawatir dan ijma’, dan e) tidak ada sekelompok manusia
yang penghafal teks- teks yang hilang itu. Kelima masalah ini tidak terdapat dalam Islam dan kitab
sucinya al-Qur’an. Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Tafsir dan Ta’wil sebagai Metode Ilmiah, Islamia
Tahun I No. 1 Muharram 1425/ Maret 2004, hlm. 61, Ugi Sugiharto, Apakah al-Qur’an Memerlukan
Hermeneutika?, Islamia Tahun I No. 1 Muharram 1425/ Maret 2004, hlm. 48 dan Adian Husaini &
Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, cet. II,
2008), hlm. 43
45 Adian Husaini & Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir al-Qur’an, hlm. 16

46
Ninian Smart, Worldviews Crosscultural Explorations of Human Beliefs (New York:
Charles Scribner’s Sons,1983) hlm. 31-35
13
a) Bahwa worldview merupakan sebuah sistem atau kerangka keyakinan dasar
manusia dalam berbuat, berbicara bahkan berfikir. Dari situlah kita dapat
memaknai worldview sebagai suatu keyakinan tertentu yang mendasari
aktivitas kehidupan manusia dan mendasari pandangannya terhadap segala
eksistensi yang telah dikenal maupun tidak dikenal olehnya.

b) Jika kita melihat makna sains dan agama baik secara bahasa maupun filosofis,
kita akan menemukan perbedaan bahwa pemaknaan sains sebagai science
ataupun ilmu dan juga agama sebagai religion atau din. Perbedaan tersebut
berasal dari perbedaan konsep linguistik yang mana merupakan bagian dari
worldview.

c) Studi tentang sains : bagaimanapun juga, sains merupakan aktivitas dari saintis
yang mana menghasilkan suatu produk sains berupa benda, teknik dan metode,
maupun teknologi. Tentunya, aktivitas saintis tersebut tidaklah dapat terlepas
dari ideologi yang diyakininya. Dari sinilah, sains bagaimanapun juga adalah
penuh nilai, asumsi dasar, dan ideologi sehingga tidak dapat dikatakan netral.

d) Studi tentang agama: melakukan penelitian terhadap suatu agama haruslah


menggunakan metode yang beragam dan juga cocok dengan agama tersebut.
Oleh karena itu, meneliti sebuah agama tidak boleh menggunakan metode
yang salah dan mengakibatkan reduksi terhadap kesimpulannya, sehingga
kevalidan hasilnya sangat diragukan.

D. Penutup

Demikianlah kita dapat melacak sebuah permasalahan dengan melakukan


pendekatan pada worldviewnya. Bahwa maraknya kesalah-fahaman peneliti dan juga
hasil penelitan juga disebabkan karena tidak jelinya peneliti dalam melihat perspektif
worldview ini. Bagaimanapun juga, studi dengan perspektif worldview masih bisa
diharapkan kevalidannya. Karena setiap hal yang ilmiah maupun berupa keyakinan
pastilah didasari dengan adanya asumsi dasar atau pemikiran tertentu. Pada akhirnya,
kami tidak juga menafikan, tentunya makalah ini masih banyak kekurangan yang
harus dilengkapi. Kami berharap kepada pembaca agar dapat memberikan masukan
untuk menjadikan makalah ini lebih detail dan signifikan. Wallahu a’lam bis-shawab.

14
E. Daftar Pustaka

al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam dan Filsafat Sains, (Penerbit Mizan:
Bandung, 1995)

___________________________, Konsep Pendidikan dalam Islam ( Bandung:


Mizan, 1984)

___________________________, Prolegomena to the Petaphysics of Islam : an


Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview, (Kuala Lumpur :
International of Islamic Thought and Civilization, 2001)

al-Fairuz Abadiy, Al-Ghawiyyu Majdu al-Din Muhammad bin Ya’qub, al-Qamus al-
Muhith : tahqiq Maktabu Tahqiq al-Turats fi Muassasah ar-Risalah, (al-
Muassasah ar-Risalah: Beirut, 2005)

Baalbaki, Rohi, al-Mawrid : A Modern Arabic-English Dictionary, (Daar-al-‘Ilm al-


Malayin: Beirut, 1995)

Cambridge Team, Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, (Cambridge:


Cambridge University Press, 2008)

Comte, Auguste, A General View of Positivism : translated from the French by J. H.


Bridges, M. B, (London: George Routledge & Sons Limited, 1908)

Donald, M Borchert, Encyclopedia of Philosophy, (USA: Thompson Gale, 2006)

Gaus HG, Science, Worldview and Education (2007)

Hornby, Albert Sidney, Oxford advanced Learner’s Dictionary of Current English,


(Oxford University Press: 2015)

Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi


Sekular Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2005)

Husaini, Adian, & Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir al-Qur’an,


(Jakarta: Gema Insani Press, cet. II, 2008)

Irzik, Gurol and Robert Nola, Worldview and their relation to science, dalam Journal
Science & Education, volume 18, no. 6-7, Pringer Science + Bussiness
Media B.V 2007

Jumhûriyyah Al-‘Arobiyyah Misra, al-Mu’jam al-Wasith, (Maktabah as-Syurûq ad-


Dauliyyah: Mesir, 1425 H 2004 M)

Ma’luf, Louis, al-Munjid fi-al-Lughoh wa-al-A’lam, (Daar al-Masyriq: Beirut, 2002)

15
Orr, Matthew What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear on The
Interplay of Science and Religion? dalam Zygon: Journal of Religion and
Science, Vol. 41, No. 2, Joint Publication Board of Zygon, Chicago, 2006

Quthb, Sayyid, Khashaish al-Tashawwur al-Islamiy wa Muqawwimatuhu, (Beitur :


Daar al-Masyriq, 1983)

Shalahuddin, Henri, Kredibilitas Ilmu Tafsir dalam Menegakkan Konsep Wahyu al-
Qur’an, Islamia, Vol. VI No. 1 2012. hlm. 25

Shaliba, Jamil, al-Mu’jam al-Falsafi, (Beirut: Dar al-Kutub Libanani, 1982)

Smart, Ninian, Worldviews Crosscultural Explorations of Human Beliefs (New York:


Charles Scribner’s Sons,1983)

Sugiharto, Ugi, Apakah al-Qur’an Memerlukan Hermeneutika?, Islamia Tahun I No.


1 Muharram 1425/ Maret 2004, hlm. 48

Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Sinar Harapan,


1984)

Tim Redaksi Pusat Bahasa, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional: Jakarta, 2008)

________________________, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Pusat Bahasa:


Jakarta, 2008)

W. Sire, James, Naming the Elephant : Worldview as a Concept, (Downer Grove :


InterVarsity Press Academic, 2009)

_____________, The Universe Next Door, (Downer Grove : InterVarsity Press


Academic, 2009)

W. Underhill, James, Humboldt, Worldview and Language, (Edinburgh : Edinburgh


University Press, 2009)

Wan Daud, Wan Mohd Nor, Tafsir dan Ta’wil sebagai Metode Ilmiah, Islamia Tahun
I No. 1 Muharram 1425/ Maret 2004

Zarkasyi, Hamid Fahmy, “Islamic Worldview sebagai Paradigma Sains Islam”, dalam
Tim Insist, Islamic Science: Paradigma, Fakta, dan Agenda, (Insist: Jakarta,
2016)

16

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai