Anda di halaman 1dari 9

Nama : Labora Taruly

NIM : 46118120049

TUGAS BESAR (TB) II PANCASILA

A. Setiap rezim pemerintahan yang berkuasa selalu berupaya mengimplementasikaan


Pancasila sebagai ideologi Bangsa dan Negara agar makna dan refleksitas Pancasila ini
diterima oleh seluruh unsur masyarakat secara luas. Hal ini telah dilakukan oleh rezim-
rezim pemerintahan yang lalu, hingga rezim pemerintahan yang sekarang yang tengah
berkuasa (era reformasi).

 Coba anda sebutkan dan jelaskan untuk setiap rezim pada masa kekuasaannya,
bagaimana rezim tersebut mengimplementasikan Pancasila dalam bentuk kebijakan
pemerintahannnya
1. Masa rezim orde lama
2. Masa rezim orde baru
3. Masa rezim era reformasi (khususnya masa pemerintatahan Presiden Joko
Widodo)

B. Kebijakan pemerintahan dalam bentuk apapun dalam system hukum Indonesia tidak
boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, baik dalam bentuk Undang-undang,
Peraturan Pemerintah, PERPU, Keputusan Presiden, Menteri, Gubernur atau UUD
sekalipun, semua itu harus sesuai dengan Pancasila.

 Coba anda sebutkan dan jelaskan minimal 3 (tiga) contoh sebuah kebijakan
Pemerintah yang melanggar ketentuan tersebut hingga berpotensi mendapat
penolakan dari masyarakat luas secara masif.

Petunjuk :
1. Untuk melengkapi jawaban anda gunakan referensi media sosial, media cetak atau
elektronik yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Tuliskan sumber berita,
hari atau tanggal pengutipan sumber berita.
2. Jawaban kirim ke ketua kelas lewat email (koordinasi dengan ketua kelas).
A. Penerapan Pancasila dari Masa Ke Masa

Penerapan Pancasila dari Masa ke Masa


Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa telah disepakati oleh
seluruh bangsa Indonesia. Akan tetapi, dalam perwujudannya banyak sekali mengalami pasang
surut. Bahkan sejarah bangsa kita telah mencatat bahwa pernah ada upaya untuk mengganti
Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa dengan ideologi lainnya.

1. Masa Orde Lama


Pada masa Orde lama, kondisi politik dan keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan
kondisi sosial-budaya berada dalam suasana peralihan dari masyarakat terjajah menjadi
masyarakat merdeka. Masa orde lama adalah masa pencarian bentuk penerapan Pancasila
terutama dalam sistem kenegaraan.
Pancasila diterapkan dalam bentuk yang berbeda-beda pada masa orde lama. Terdapat 3 periode
penerapan Pancasila yang berbeda, yaitu periode 1945-1950, periode 1950-1959, dan periode
1959-1966.

A. Periode 1945-1950
Pada periode ini, penerapan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup menghadapi
berbagai masalah. Ada upaya-upaya untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara dan
pandangan hidup bangsa. Upaya-upaya tersebut terlihat dari munculnya gerakan-gerakan
pemberontakan yang tujuannya menganti Pancasila dengan ideologi lainnya. Ada dua
pemerontakan yang terjadi pada periode ini yaitu:

1). Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun terjadi pada tanggal 18
September 1948. Pemberontakan ini dipimpin oleh Muso. Tujuan utamanya adalah mendirikan
Negara Soviet Indonesia yang berideologi komunis. Dengan kata lain, pemberontakan tersebut
akan mengganti Pancasila dengan paham komunis. Pemberontakan ini pada akhirnya bisa
digagalkan.
2). Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia dipimpin oleh Sekarmaji Marijan
Kartosuwiryo. Pemberontakan ini ditandai dengan didirikannya Negara Islam Indonesia (NII)
oleh Kartosuwiryo pada tanggal 17 Agustus 1949. Tujuan utama didirikannya NII adalah untuk
mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan syari’at islam. Upaya penumpasan
pemberontakan ini mema- kan waktu yang cukup lama. Kartosuwiryo bersama pa- ra
pengikutnya baru bisa ditangkap pada tanggal 4 Juni 1962.

B. Pada periode 1950-1959


Pada periode ini dasar negara tetap Pancasila, akan tetapi dalam penerapannya lebih diarahkan
seperti ideologi leberal. Hal tersebut dapat dilihat dalam penerapan sila keempat yang tidak lagi
berjiwakan musyawarah mufakat, melainkan suara terbanyak (voting).
Pada periode ini persatuan dan kesatuan mendapat tantangan yang berat dengan munculnya
pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS), Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI), dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) yang ingin melepaskan diri dari NKRI.
Dalam bidang politik, demokrasi berjalan lebih baik dengan terlaksananya pemilu 1955 yang
dianggap paling demokratis. Tetapi anggota Konstituante hasil pemilu tidak dapat menyusun
Undang-Undang Dasar seperti yang diharapkan.

Hal ini menimbulkan krisis politik, ekonomi, dan keamanan, yang menyebabkan pemerintah
mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 untuk membubarkan Konstituante, Undang-Undang Dasar
Sementara Tahun 1950 tidak berlaku, dan kembali kepada Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Kesimpulan yang ditarik dari penerapan Pancasila selama periode ini adalah Pancasila diarahkan
sebagai ideology liberal yang ternyata tidak menjamin stabilitas pemerintahan.

C. Periode 1956-1965
Periode ini dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin. Demokrasi bukan berada pada
kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin adalah nilai-nilai Pancasila tetapi berada pada
kekuasaan pribadi presiden Soekarno. Terjadilah berbagai penyimpangan penafsiran terhadap
Pancasila dalam konstitusi. Akibatnya Soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi presiden
seumur hidup, dan menggabungkan Nasionalis, Agama, dan Komunis, yang ternyata tidak cocok
bagi NKRI. Terbukti adanya kemerosotan moral di sebagian masyarakat yang tidak lagi hidup
bersendikan nilai-nilai Pancasila, dan berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi
lain.
Pada periode ini terjadi Pemberontakan PKI pada tanggal 30 September 1965 yang dipimpin
oleh D.N Aidit. Tujuan pemberontakan ini adalah kembali mendirikan Negara Soviet di
Indonesia serta mengganti Pancasila dengan paham komunis. Pemberontakan ini bisa
digagalkan, dan semua pelakunya berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman sesuai dengan
perbuatannya.

2. Masa Orde Baru

Era demokrasi terpimpin di bawah pimpinan Presiden Soekarno mendapat tamparan yang keras
ketika terjadinya peristiwa tanggal 30 September 1965, yang disinyalir didalangi oleh Partai
Komunis Indonesia (PKI). Pemberontakan PKI tersebut membawa akibat yang teramat fatal bagi
partai itu sendiri, yakni tersisihkannya partai tersebut dari arena perpolitikan Indonesia.
Begitu juga dengan Presiden Soekarno yang berkedudukan sebagai Pimpinan Besar Revolusi dan
Panglima Angkatan Perang Indonesia secara pasti sedikit demi sedikit kekuasaannya dikurangi
bahkan dilengserkan dari jabatan Presiden pada tahun 1967, sampai pada akhirnya ia tersingkir
dari arena perpolitikan nasional.
Era baru dalam pemerintahan dimulai setelah melalui masa transisi yang singkat yaitu antara
tahun 1966-1968, ketika Jenderal Soeharto dipilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Era
yang kemudian dikenal sebagai Orde Baru dengan konsep Demokrasi Pancasila. Visi utama
pemerintahan Orde Baru ini adalah untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
Dengan visi tersebut, Orde Baru memberikan secercah harapan bagi rakyat Indonesia, terutama
yang berkaitan dengan perubahan-perubahan politik, dari yang bersifat otoriter pada masa
demokrasi terpimpin di bawah Presiden Soekarno menjadi lebih demokratis.
Harapan rakyat tersebut tentu saja ada dasarnya. Presiden Soeharto sebagai tokoh utama Orde
Baru dipandang rakyat sebagai sesosok manusia yang mampu mengeluarkan bangsa ini keluar
dari keterpurukan. Hal ini dikarenakan beliau berhasil membubarkan PKI, yang ketika itu
dijadikan musuh utama negeri ini.

Selain itu, beliu juga berhasil menciaptakan stabilitas keamanan negeri ini pasca pemberontakan
PKI dalam waktu yang relatif singkat. Itulah beberapa anggapan yang menjadi dasar
kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto.

Harapan rakyat tersebut tidak sepenuhnya terwujud. Karena, sebenarnya tidak ada perubahan
yang subtantif dari kehidupan politik Indonesia. Antara Orde Baru dan Orde Lama sebenarnya
sama saja (sama-sama otoriter). Dalam perjalanan politik pemerintahan Orde Baru, kekuasaan
Presiden merupakan pusat dari seluruh proses politik di Indonesia.

Lembaga Kepresidenan merupakan pengontrol utama lembaga negara lainnya baik yang bersifat
suprastruktur (DPR, MPR, DPA, BPK dan MA) maupun yang bersifat infrastruktur (LSM, Partai
Politik, dan sebagainya). Selain itu juga Presiden Soeharto mempunyai sejumlah legalitas yang
tidak dimiliki oleh siapapun seperti Pengemban Supersemar, Mandataris MPR, Bapak
Pembangunan dan Panglima Tertinggi ABRI.

Dari uraian di atas, kita bisa menggambarkan bahwa pelaksanaan demokrasi Pancasila masih
jauh dari harapan. Pelaksanaan nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsekuen hanya dijadikan
alat politik penguasa belaka. Kenyataan yang terjadi demokrasi Pancasila sama dengan
kediktatoran.

3. Masa Reformasi

Pada masa reformasi, penerapan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa
terus menghadapi berbagai tantangan. Penerapan Pancasila tidak lagi dihadapkan pada ancaman
pemberontakan-pemberontakan yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi lain, akan tetapi
lebih dihadapkan pada kondisi kehidupan masyarakat yang diwarnai oleh kehidupan yang serba
bebas.

Kebebasan yang mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia saat ini meliputi berbagai
macam bentuk mulai dari kebebasan berbicara, berorganisasi, berekspresi dan sebagainya.
Kebebasan tersebut di satu sisi dapat memacu kreatifitas masyarakat, tapi disisi lain juga bisa
mendatangkan dampak negatif yang merugikan bangsa Indonesia sendiri.

Banyak hal negatif yang timbul sebagai akibat penerapan konsep kebebasan yang tanpa batas,
seperti munculnya pergaulan bebas, pola komunikasi yang tidak beretika dapat memicu
terjadinya perpecahan, dan sebagainya.

Tantangan lain dalam penerapan Pancasila di era reformasi adalah menurunnya rasa persatuan
dan kesatuan diantara sesama warga bangsa saat ini adalah yang ditandai dengan adanya konflik
di beberapa daerah, tawuran antar pelajar, tindak kekerasan yang dijadikan sebagai alat untuk
menyelesaikan permasalahan dan sebagainya.
Peristiwa-peristiwa tersebut telah banyak menelan korban jiwa antar sesama warga bangsa
dalam kehidupan masyarakat, seolah-olah wawasan kebangsaan yang dilandasi oleh nilai-nilai
Pancasila yang lebih mengutamakan kerukunan telah hilang dari kehidupan masyarakat
Indonesia.

Kemudian, selain dua tantangan tersebut, saat ini bangsa Indonesia dihadapkan pada
perkembangan dunia yang sangat cepat dan mendasar, serta berpacunya pembangunan bangsa-
bangsa. Dunia saat ini sedang terus dalam gerak mencari tata hubungan baru, baik di lapangan
politik, ekonomi maupun pertahanan keamanan.

Walaupun bangsa-bangsa di dunia makin menyadari bahwa mereka saling membutuhkan dan
saling tergantung satu sama dengan yang lain, namun persaingan antar kekuatan-kekuatan besar
dunia dan perebutan pengaruh masih berkecamuk. Salah satu cara untuk menanamkan pengaruh
kepada negara lain adalah melalui penyusupan ideologi, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Kewaspadaan dan kesiapan harus kita tingkatkan untuk menanggulangi penyusupan
ideologi lain yang tidak sesuai dengan Pancasila. Hal ini lebih penting artinya, karena sebagian
besar bangsa kita termasuk masyakat berkembang. Masyarakat yang kita cita- citakan belum
terwujud secara nyata, belum mampu memberikan kehidupan yang lebih baik sesuai cita-cita
bersama.

Keadaan ini sadar atau tidak sadar, terbuka kemungkinan bangsa kita akan berpaling dari
Pancasila dan mencoba membangun masa depannya dengan diilhami oleh suatu pandangan
hidup atau dasar negara yang lain.

(Sumber : ppkn.co.id yang membahas mengenai Penerapan Pancasila dari Masa ke Masa)

4. Masa Reformasi (Era Jokowi)

Penetapan 1 Juni sebagai hari libur nasional untuk memperingati lahirnya Pancasila baru
diberlakukan di era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Ketetapan itu dibuat melalui
Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila. Salah satu
pertimbangan dalam penetapan itu adalah bahwa Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara,
harus diketahui asal-usulnya oleh bangsa Indonesia dari waktu ke waktu dan antargenerasi.
Masyarakat saat ini dianggap belum banyak tahu soal hari kelahiran Pancasila. Hal itu juga tidak
terlepas dari pengkaburan sejarah yang dilakukan rezim orde baru pada 1970 dengan melarang
peringatan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Jokowi juga telah berupaya menerapkan Pancasila
dalam penyelenggaraan negara. Misalnya dengan kebijakan membangun dari daerah terpinggir
untuk mewujudkan sila keadilan sosial pada awal masa pemerintahan. Teranyar, pembentukan
unit kerja presiden (UKP) pemantapan ideologi Pancasila (PIP) diharapkan dapat menjadi titik
baru dalam menerapkan Pancasila dalam konteks penyelenggaraan bernegara. Di samping itu,
Pancasila mulai kembali dimasukan sebagai mata pelajaran pada kurikulum terbaru di sekolah-
sekolah dan menjadi mata kuliah wajib di perguruan tinggi yang sempat 'menghilang' dari dunia
pendidikan pasca-reformasi. "Karena penanaman ideologi terbaik adalah melalui pendidikan,"
kata Diasma.
B. Coba anda sebutkan dan jelaskan minimal 3 (tiga) contoh sebuah kebijakan Pemerintah
yang melanggar ketentuan tersebut hingga berpotensi mendapat penolakan dari
masyarakat luas secara masif.

1. Omnibus Law Untuk Siapa?


Terlepas diskursus substansialnya, Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta
Kerja ini dinilai selain memiliki kelemahan seperti terkesan dominasi eksekutif dan cenderung
mengubah praktika pembentukan peraturan perundang-undangan, juga memiliki sejumlah
keunggulan tertentu, di antaranya dapat menjadi solusi bagi penyelesaian konflik antarperaturan
perundang-undangan atau benturan antarregulasi, selain solusi bagi inkonsistensi regulasi.
Pihak yang pro terhadap omnibus law ini berpandangan bahwa di tengah persaingan ekonomi
global, pemerintah harus mengakselarasi proses pembangunan ekonomi agar dapat menjadi lima
besar kekuatan ekonomi dunia pada 2045.

Salah satu upaya pemerintah ialah dengan menciptakan regulasi yang ramah terhadap investasi
dan dapat mempercepat laju proses pembangunan. Namun, kondisi riil di lapangan kerap
terhambat oleh problema regulasi yang dinilai menghambat investasi. Atas dasar itulah
pemerintah ingin memangkas jalur ini melalui kebijakan deregulasi dan debirokrasi. Konkretnya
pemerintah ingin melakukan reformasi hukum melalui RUU omnibus law agar dapat
mempermudah dan membentuk iklim investasi yang ramah bagi para investor demi
kesejahteraan rakyat.

Kontroversi di kalangan masyarakat tentunya perlu direspons positif oleh pemerintah dan DPR
agar RUU omnibus law ini dapat menjadi regulasi yang progresif memberi solusi bagi
peningkatan perekonomian dan kesejahteraan bangsa tanpa mencederai hak-hak politik dan
ekonomi rakyat. Untuk itu, penulis mendorong agar pembentukan undang-undang ini
melibatkan partisipasi publik secara massif. Hal ini penting dilakukan sebagai upaya legitimasi
hukum dan politik dalam konsep negara hukum yang demokratis.

Oleh karenanya, proses ini memerlukan transparansi dan akuntabilitas publik melalui ruang-
ruang dialogis yang intens antara pemerintah, DPR, dan berbagai pemangku kepentingan. Untuk
merealisasikan idealisasi ini di antaranya; pertama, dalam pembentukan RUU omnibus law ini
mesti mentaati berbagai asas maupun tahapan formil pembentukan peraturan perundang-
undangan, sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019.

(Sumber : https://mediaindonesia.com/read/detail/297104-omnibus-law-untuk-siapa)
2. UU KPK

Pemerintah tetap mempertahankan revisi UU KPK, meski produk kebijakan ini mendapat
respons negatif dari kalangan mahasiswa, akademisi, dan masyarakat sipil. Menteri Koordinator
Politik, hukum dan Keamanan, Wiranto, mengatakan Presiden Joko Widodo telah berkoordinasi
dengan DPR untuk menunda pengesahan lima dari delapan rancangan Undang Undang.
"Presiden hanya menyetujui tiga rancangan undang-undang, yang lima ditunda. Tiga itu adalah
Rancangan Undang-Undang KPK, Undang Undang MD3, dan Rancangan Undang-Undang
tentang Tata Cara Pembentukan Undang-Undang," kata Wiranto dalam keterangan persnya,
Selasa (24/09). Wiranto memastikan, lima RUU lainnya tidak akan disahkan pada masa periode
DPR 2014 - 2019 ini. "Rancangan undang-undang yang lain yakni rancangan undang-undang
tentang KUHP, Pertanahan, Pemasyarakatan, Minerba, dan Ketenagakerjaan itu jelas tidak
(disahkan)," katanya. Wiranto menambahkan, pemerintah tetap mempertahankan revisi UU KPK
karena sudah melakukan pengkajian mendalam. "Pemerintah ingin melakukan penataan sistem
kenegaraan yang sehat, itu tujuannya. Bukan pelemahan KPK," katanya.
Hingga Selasa (24/09) pukul 14.30 WIB, DPR telah menunda pengesahan RUU Pemasyarakatan
dan RKUHP. Ketua DPR, Bambang Soesatyo, mengimbau agar para mahasiswa "menurunkan
tensi". "Semua tuntutannya sudah kita penuhi untuk ditunda, apakah itu (Revisi) KUHP atau
(RUU) Lembaga Pemasyarakatan," kata Bambang. Selama beberapa hari terakhir, mahasiswa,
akademisi, dan masyarakat sipil berdemonstrasi menuntut revisi UU KPK, RUU KUHP, RUU
Pertambangan Minerba, RUU Pertanahan, RUU Permasyarakatan, dan RUU Ketenagakerjaan
dibatalkan. Di sisi lain, mereka mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
(RUU PKS) dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.

Apa saja tuntutan pendemo?


Berdasarkan keterangan tertulis yang diterima BBC Indonesia dari Aliansi Masyarakat Sipil
untuk Keadilan dan Demokrasi menunjukkan sejumlah tuntutan. Lebih banyak tuntutan tersebut
terkait dengan produk kebijakan yang saat ini sedang dikebut di DPR. Para pengunjuk rasa
mendesakkan tujuh tuntutan utama dalam aksi mereka. Tujuh tuntutan ini di antaranya:

1. Menolak RKUHP, RUU Pertambangan Minerba, RUU Pertanahan, RUU


Permasyarakatan, RUU Ketenagakerjaan, mendesak pembatalan RUU KPK dan UU
Sumber Daya Air; mendesak disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU
PKS) dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga;
2. Batalkan pimpinan KPK bermasalah pilihan DPR;
3. Tolak TNI dan Polri menempati jabatan sipil;
4. Hentikan militerisme di Papua dan daerah lain, bebaskan tahanan politik Papua segera!
5. Hentikan kriminalisasi aktivis;
6. Hentikan pembakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera yang dilakukan oleh korporasi,
dan pidanakan korporasi pembakar hutan, serta cabut izinnya;
7. Tuntaskan pelanggaran HAM dan adili penjahat HAM; termasuk yang duduk di
lingkaran kekuasaan; pulihkan hak-hak korban segera!

(Sumber : Demonstrasi mahasiswa: DPR tunda pengesahan RKUHP, pemerintah pertahankan


revisi UU KPK https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49806083)
3. Evaluasi Kebijakan Program Bantuan Langsung Tunai

BLT sebagai program konpensasi jangka pendek yang tujuan utamanya adalah menjaga agar
tingkat konsumsi RTS, yaitu rumah tangga yang tergolong sangat miskin, miskin, dan dekat
miskin/near poor, tidak menurun pada saat terjadi kenaikan harga BBM dalam negeri. Dengan
demikian, walaupun program BLT bukan satu-satunya program yang berkaitan dengan
penanggulangan kemiskinan, namun diharapkan dapat mendorong pengurangan tingkat
kemiskinan pada saat terjadi penyesuaian harga-harga kebutuhan pokok menuju keseimbangan
yang baru (Departemen Sosial RI, 2008 :5) Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah sejumlah
uang tunai yang diberikan oleh pemerintah kepada rumah tangga yang perlu dibantu agar
kesejahteraannya tidak menurun jika harga BBM dinaikkan. sedangkan pengertian RTS adalah
rumah tangga yang masuk dalam kategori sangat miskin, miskin, dan hampir miskin
(Departemen Sosial RI, 2008 :6)

Tujuan dari Program Bantuan Langsung Tunai bagi Rumah Tangga Sasaran dalam rangka
kompensasi pengurangan subsidi BBM adalah:

1.Membantu masyarakat miskin agar tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya;

2.Mencegah penurunan taraf kesejahteraan masyarakat miskin akibat kesulitan ekonomi.

3.Meningkatkan tanggung jawab sosial bersama (Departemen Sosial RI, 2008:7).

Apa dampak yang ditimbulkan dari kebijakan pemerintah dengan memberikan bantuan langsung
tunai kepada masyarakat kurang mampu?

Pemberian bantuan langsung tunai sering mendapat kritikan tajam dari masytarakat hal itu
dikarenakan tidak semua masyarakat mendapatkan bantuan langsung tunai. Kriteria masyarakat
yang mendapat bantuan langsung tunai yaitu berdasarkan data dalam badan pusat statistic.
pendataan tersebut memang dilakukan untuk mendapatkan data rumah tangga miskin, yang
nantinya akan diberikan BLT, berbicara mengenai DATA, tidak akan pernah lepas dari sekian
persen ERROR, yang bagi orang awam adalah kesalahan yg tidak dapat ditolerir, BPS pun
dijadikan kambing hitam, jajaran BPS berdasarkan metodologi dan kreteria yang dipegang tentu
tidak dapat dipersalahkan begitu saja, banyak aspek. Tahun 2008 rencana pemerintah untuk
menaikan harga BBM sudah padah tahap final, BLT pun tetap menjadi pilihan pemerintah untuk
memberikan subsidi BBM kepada rumah tangga miskin, Data BPS (yang ditahun 2005 dihujat
habis) tetap menjadi satu-satunya pilihan, celakanya kartu BLT yang dicetak berdasarkan data
2005, hal ini terjadi karena pemerintah tidak mempunyai persiapan sebelumnya bahwa akan
harus menaikan harga BBM di tahun 2008, sehingga belum sempat menurunkan dana untuk BPS
melakukan pendataan. Sekali lagi BPS menjadi kambing hitam, data 2005 dicari kelemahannya
kemudian di beritakan di media masa.

Kemudian bagaimana dengan program BLT Plus? Seharusnya pemerintah berkaca dari
pelaksanaan program BLT yang telah dilakukan beberapa tahun lalu. Pada praktiknya, BLT tidak
efektif menjangkau rakyat miskin dan menimbulkan berbagai masalah di lapangan. Apa saja
ketidakefektifan penyaluran BLT?

Pertama, BLT tidak memiliki efektifitas dari segi penyaluran di lapangan. Kita sering menjumpai
kasus pemberian bantuan yang tidak tepat sasaran. Misalnya, rumah miskin justru tidak
mendapatkan bantuan namun rumah tangga yang lebih mampu mendapatkan bantuan.
Barangkali pemerintah dapat menanggap bahwa ini bersifat kasuistik. Namun pada praktiknya,
kesalahan penyaluran bantuan berawal dari data yang tidak jelas dan menimbulkan gesekan di
masyarakat. Hingga sekarang, tidak pernah dilakukan pendataan dan pencacahan ulang tentang
data rumah tangga miskin tersebut.

Kedua, besarnya BLT Plus yang sama dengan BLT pada tahun 2005. Jika kita berpikir
menggunakan logika, tentu saja tidak masuk akal. Faktor inflasi, kenaikan biaya hidup dan
menurunnya daya beli masyarakat mestinya dipertimbangkan dalam memperhitungkan besarnya
bantuan. BLT Plus memang sedikit berbeda dengan BLT, yaitu terdapat tambahan barang
kebutuhan pokok. Namun BLT Plus tentu saja tidak akan cukup untuk meng-counter kenaikan
biaya hidup pada saat ini. Belum lagi jika kita berpikir tentang inflasi yang akan terjadi akibat
kenaikan harga BBM, yang tentu saja akan menambah beban masyarakat miskin.

Ketiga, dalam masalah sosial, BLT menyebabkan moral hazard, dimana BLT dapat menurunkan
mental masyarakat dan tidak mendidik secara jangka panjang. Terdapat sebagian masyarakat
yang pada akhirnya mengaku miskin karena ingin mendapatkan bantuan. Mereka bangga dengan
’cap miskin’ demi memperoleh rupiah tertentu. Mental masyarakat akan menjadi buruk dengan
program BLT.

Keempat, penyaluran BLT bermasalah karena tidak didukung dengan kelembagaan yang baik.
Penerapan BLT secara terburu-buru dan tidak disertai dengan kesiapan aparat pemerintah tentu
saja akan berakibat tidak efektifnya penyaluran BLT.

(Sumber : Evaluasi Kebijakan Program Bantuan Langsung Tunai


https://www.kompasiana.com/razakabdur/5500e3d3a33311e77251269c/evaluasi-kebijakan-
program-bantuan-langsung-tunai)

Anda mungkin juga menyukai