Anda di halaman 1dari 26

CLINICAL REPORT SESSION (CRS)

* Kepaniteraan Klinik Senior / G1A218092 / April 2019


** Pembimbing / dr. Panal Hendrik Dolok Saribu, Sp.An

ANASTESI SPINAL PADA PASIEN TURP ATAS INDIKASI BPH

Agra Farellio Moniga*, dr. Panal Hendrik Dolok Saribu, Sp.An**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU ANESTESI RSUD RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020
LEMBAR PENGESAHAN
CLINICAL REPORT SESSION
ANASTESI SPINAL PADA PASIEN TURP ATAS INDIKASI BPH

Disusun Oleh:
Agra Farellio Moniga, S. Ked
G1A218092

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU ANESTESI


RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI

Jambi, April 2020

Pembimbing

____________________
dr. Panal Hendrik Dolok Saribu, Sp.An
KATA PENGANTAR

Bismillah, Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, puji syukur penulis panjatkan


kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan
tugas Clinical Report Session (CRS) pada Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian
Ilmu Anestesi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi yang
berjudul “Sepsis dan Syok Septik”
Tugas ini bertujuan agar penulis dapat memahami lebih dalam mengenai
teori-teori yang diberikan selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian
Ilmu Anestesi RSUD Raden Mattaher Jambi dan melihat penerapannya secara
langsung di lapangan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Panal
Hendrik Dolok Saribu, Sp.An selaku pembimbing yang telah meluangkan
waktunya untuk membimbing penulis pada karya yang penulis susun.
Penulis menyadari keterbatasan dan kekurangan dalam penulisan,
sehingga diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak
yang membacanya. Semoga tugas ini dapat memberikan manfaat bagi semua
pihak yang membutuhkan.

Jambi, April 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi spinal (subaraknoid) atau yang sering disebut juga analgesi/blok spinal
intradural atau blok intratekal adalah teknik anestesi neuroaksial dan merupakan salah
satu teknik anestesi regional (selain anestesi epidural dan saraf perifer) yang dapat
diberikan sebagai anastesi tunggal maupun kombinasi dengan anastesi umum. Anastesi
spinal dilakukan dengan tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang
subaraknoid (cairan serebrospinal) yang bertujuan untuk menghambat rasa sakit
rasa pada bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif jaringan spinal dan
saraf terkait. Anestesi ini dapat dilakukan pada bedah ekstremitas bawah, bedah
panggul, tindakan sekitar rektum perineum, bedah obstetrik-ginekologi, bedah urologi,
dan bedah abdomen bawah.
Transurethral resection of the prostate (TURP) merupakan teknik pembedahan
urologi dimana prosedur tersebut menggunakan resectoscope untuk melakukan reseksi.
Dalam pengerjaannya, TURP menggunakan cairan irigasi yang bersifat hipotonis yang
dapat masuk ke sirkulasi sistemik dan menimbulkan sindroma TURP dimana terjadi
perubahan akut volume intravascular, osmolalitas, dan konsentrasi plasma terlarut.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. S
Umur : 65 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Jambi.
Pekerjaan : Pensiunan PNS
MRS : 29 Maret 2020

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama :
Pasien datang dengan keluhan sulit BAK sejak 6 hari SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang :
 Pasien datang dengan keluhan sulit BAK sejak 6 hari SMRS memberat 1 hari
ini. Keluhan disertai BAK tersendat-sendat dan menetes.
 Riwayat BAK berdarah 5 hari yang lalu
 Demam 3 hari yang lalu, saat ini sudah sembuh

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Riwayat Hipertensi (+), tidak terkontrol. Tekanan darah tertinggi 180 dan
tekanan darah sehari-hari dirumah 150-160
 Riwayat Diabetes Mellitus (-)
 Riwayat Asma (-)
 Riwayat Alergi (-)
 Riwayat Kejang (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :

 Riwayat Alergi (-)


 Riwayat Asma (-)
 Riwayat Diabetes Mellitus (-)
 Riwayat Hipertensi (-)

Riwayat Sosial Ekonomi :

Pasien merupakan pensiunan PNS.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalisata
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : GCS 15 (E4M6V5), Compos Mentis
BB: 60 kg TB: 170 cm IMT: 20,76
Vital Sign
TD : 160/90 HR : 98x/menit RR : 18x/menit Suhu : 36° C
Kepala : Normocephal, jejas (-), hematom (-)
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), Sklera Ikterik (-/-), Pupil isokor
Mulut : Mallampati 1, Mukosa anemis (-), Gigi goyang (-)
Leher : Mobile, Perbesaran KGB (-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Teraba ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi : Batas Atas : ICS II Linea parasternal sinistra
Batas Kiri : ICS V Linea midclavicula sinistra
Batas Kanan : ICS III Linea parasternal dextra
Batas Bawah : ICS IV Line parasternal dextra
Auskultasi : BJ I/II Reguler, Murmur (-), Gallop (-)

Pulmo
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, jejas (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : Sonor kanan dan kiri
Auskultasi : Vesikuler kanan dan kiri, Rhonki (-), Wheezing (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, Simetris, Jejas (-)
Palpasi : Defens muskular, Nyeri tekan (+) seluruh regio perut.
Perkusi : Timpani.
Auskultasi : Bising Usus (-)

Ekstremitas
Superior : akral hangat, CRT <2 Detik, Edem (-)
Inferior : akral hangat, CRT <2 Detik, Edem (-)

Genitalia : Terpasang selang kencing

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Darah Rutin
WBC : MCV :
RBC : MCH :
HGB : 10 MCHC :
PLT : HCT : Gol.Darah :
GDS : CT : BT :
Kesan : Anemia

Kimia Darah
SGOT : Ur : 20 HbsAg :-
SGPT : Kr : 2,0 GFR : 31,25
Na : K :
Cl : Ca :
2.5 Diagnosa Pre-Operatif

Retensio Urin e.c BPH

2.6 Kunjungan Pra Anestesi


Penentuan Status Fisik ASA: 1 / 2 / 3 / 4 / 5 EMG/Non EMG
Mallampati: grade 1
Persiapan Pra Anestesi:
a. Pasien dan keluarga telah diberikan Informed Consent
b. Periksa laboratorium, Ro Thorax
c. Puasa 6 jam sebelum tindakan operasi

2.7 Laporan Anestesi


Tanggal : 29 Maret 2020
Pasien : Tn. S (65 th)
Diagnosis : Peritonitis e.c Ruptur Hepar
Tindakan : TURP
Ahli Bedah : dr. X Sp.U
Ahli Anestesi : dr. Y Sp.An

Tindakan Anestesi
Regional Anestesi (Spinal) dengan bupivacaine 0,5% 15 mg dengan adjuvant morfin 0,1
mg, posisi duduk, penusukan pada L3-L4

Keadaan Selama Operasi


1. Posisi Penderita : Litotomi
2. Penyulit waktu anestesi : Tidak ada
3. Lama Anestesi : 60 menit

4. Jumlah Cairan
Kebutuhan Cairan
Maintenance: 2 cc/KgBB/jam = 120cc/jam
Pengganti puasa: puasa x maintenance = 720 cc
Stress operasi : 8 cc/KgBB/jam = 480 cc/jam
EBV : 75 X BB = 4500 cc
EBL : 20% EBV = 900cc
Kebutuhan cairan selama Operasi
Jam I: ½ PP + SO + M = 960 cc
Monitoring anestesi

Monitoring Peri Operatif:


Jam TD Nadi RR
Keterangan
WIB (mmHg) (x/m) (x/mnt)

Pada saat di meja operasi sebelum anastesi:


• TD : 160/90
• HR : 98x/menit
• RR : 18x/menit
• Suhu : 36° C
• SpO2 : 97%

Durante op
• TD : sistolik: 150-180 mmHg
: diastolik: 90-100 mmHg
• HR : 60-90x/menit
• SpO2 : 96-98%
• Pernafasan Baik
Ruang Pemulihan

1. - Masuk Jam :
2. Kesadaran :
3. Tanda vital : TD :
Nadi :
RR :
4. Pernafasan :
5. Scoring Alderate:
Aktifitas :
Pernafasan :
Warna Kulit :
Sirkulasi :
Kesadaran :

Jumlah :

Instruksi Post Operasi:

Diagnosa Post Op
Post TURP a/i retensio urin e.c BPH

Prognosis:

 Quo Vitam : Dubia ad bonam


 Quo Functionam : Dubia ad bonam
 Quo Sanactionam : Dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anestesi Spinal

Anestesi spinal (subaraknoid) atau yang sering disebut juga analgesi/blok spinal
intradural atau blok intratekal adalah teknik anestesi neuroaksial dan merupakan salah
satu teknik anestesi regional (selain anestesi epidural dan saraf perifer) yang dapat
diberikan sebagai anastesi tunggal maupun kombinasi dengan anastesi umum. Anastesi
spinal dilakukan dengan tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang
subaraknoid (cairan serebrospinal) yang bertujuan untuk menghambat rasa sakit
rasa pada bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif jaringan spinal dan
saraf terkait. Anestesi ini dapat dilakukan pada bedah ekstremitas bawah, bedah
panggul, tindakan sekitar rektum perineum, bedah obstetrik-ginekologi, bedah urologi,
dan bedah abdomen bawah. Namun, hal ini tidak dapat dilakukan bila terdapat
kontraindikasi seperti berikut:

Kontra indikasi absolut:


1. Pasien menolak
2. Hipovolemia berat, syok / renjatan sepsis
3. Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulanatau trombositopenia
4. Peningkatan tekanan intracranial (TIK)

Kontra indikasi relatif:


1. Sepsis
2. Infeksi sekitar daerah pungsi
3. Riwayat gangguan neurologis
4. Kelainan anatomi vertebra (Skoliosis)
5. Kondisi jantung yang tergantung pada preload (Stenosis aorta, kardiomiopati
hipertrofi obstruktif)

Tabel 3.1. Perbedaan anestesi spinal dan epidural


3.1.1 Persiapan Analgesia Spinal
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada analgesia umum.
Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya
ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba
tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal berikut 1,2
 Informed Consent (izin dari pasien)
Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesi spinal
 Pemeriksaan fisik
Tidak ada kelainan spesifik seperti tulang punggung dan lain-lain.
 Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, hematokrit, PT (protrombin time) dan PTT (partial tromboplastine
time)
3.1.2 Peralatan Analgesia Spinal
 Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, oksimetri, denyut (pulse oksimeter) dan EKG

 Peralatan resusitasi
 Jarum spinal
terdapat 3 jenis jarum spinal yaitu dengan ujung tajam (quincke) atau jarum
spinal dengan ujung pensil (pensil poit whitecare).

Gambar 3.1 jenis-jenis jarum spinal


3.1.3 Teknik Analgesia Spinal
Pasien dapat diposisikan duduk, posisi tidur lateral decubitus maupun posisi jack
knife (tengkurap) dengan tusukan paling sering dilakukan pada garis tengah (midline,
median). Tusukan paramedian biasanya dilakukan bila ada penyulit dan tusukan ini
dilakukan 2 cm lateral dari garis tengah denga sudut 10-25° terhadap garis tengah.
Penusukan biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya
diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
Penusukan dilakukan pada perpotongan antara misal L2-L3, L3-L4, L4-L5, L5-S1.
Garis yang menghubungkan kedua garis krista iliaka merupakan titik acuan L4 atau L4-L5.
Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
Teknik:
Inspeksi : garis yang menghubungkan 2 titik tertinggi krista iliaka kanan-kiri akan memotong
garis
tengah punggung setinggi L4 atau L4-L5.
Palpasi : untuk mengenal ruang antara dua vetebra lumbalis
Pungsi lumbal hanya antara : L2-3, L3-4, L4-5 atau L5-S1
Pasien diposisikan duduk, posisi tidur lateral decubitus maupun posisi jack knife dengan
punggung fleksi maksimal.
Gambar 3.2 Posisi pasien pada anastesi spinal

3.1.4. Anastetik lokal untuk analgesia spinal


Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008.
Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan css disebut isobarik. Anastetik lokal
dengan berat jenis lebih besar dari css disebut hiperbarik. Anastetik lokal dengan
berat jenis lebih kecil dari css disebut hipobarik. Anastetik lokal yang sering
digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik local
dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh
dengan mencampur dengan air injeksi. Obat-obat anestetik lokal yang paling sering
digunakan:
 Lidokaine (xylobain, lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis 20-
100mg (2-5ml)

 Lidokaine (xylobain, lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.033,


sifat hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)

 Bupivacaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik, dosis 5-
20mg (1-4ml)

 Bupivacaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml)
Penyebaran dermatomal dari anestesia spinal dipengaruhi oleh bebrapa faktor, yaitu:
1. Faktor utama
1. Berat jenis anestetika lokal (barisitas)
2. Posisi pasien (kecuali isobaric)
3. Dosis dan volum anestetika lokal (kecuali isobarik)
4. Lokasi Injeksi
2. Faktor lainnya
1. Ketinggian suntikan
2. Kecepatan suntikan (barbotase)
3. Ukuran jarum
4. Keadaan fisik pasien
5. Tekanan intra abdominal
6. Usia
7. Cairan serebrospinal
8. Lengkung Spina
9. Tinggi Pasien
10. Kehamilan

3.2 Persiapan pra anestesi


Pasien yang akan menjalani operasi harus disiapkan dengan baik. Kunjungan pra
anestesi pada bedah elektif dilakukan 2-1 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah
darurat sesingkat mungkin. Tujuan dari kunjungan pra anestesi ini yakni
mempersiapkan baik fisik maupun mental pasien, serta merencanakan teknik dan obat-
obatan apa saja yang digunakan.

Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya sangatlah
penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus,
misalnya alergi, muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak pasca bedah, sehingga kita
dapat merancang anestesia selanjutnya. Beberapa peneliti menganjurkan obat yang
kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya janga digunakan ulang,
misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu 3 bulan, suksinilkolin yang
menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan diulang.Kebiasaan merokok sebaiknya
dihentikan 1-2 hari sebelumnya utnuk eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem
kardiosirkulasi, dihentikan beberapa hari untuk mengaktifkan kerja silia jalan nafas dan
1-2 minggu untuk mengurangi produksi sputum. Kebiasaan minum alkohol juga patut
dicurigai akan adanya penyakit hepar.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher
pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain
secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.

Pemeriksaan Laboratorium
Sebaiknya tepat indikasi, sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai.
Pada usia pasien diatas 50 tahun dianjurkan pemeriksaan EKG dan foto thoraks.5

Kebugaran untuk Anestesia


Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar
pasien dalam keadaaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang tidak perlu
harus dihindari.5

Klasifikasi Status Fisik


Untuk menilai kebugaran seseorang sesuai The American Society of Anesthesiologists
(ASA) yaitu:
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atas sedang, tanpa
pembatasan aktivitas.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya
setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Kelas VI : Pasien mati batang otak untuk dilakukan donor organ.

Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi lambung dan
kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan risiko utama pada pasien-pasien
yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang
dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan
oral selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.Pada pasien dewasa umumnya
puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak
diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesia. Minuman bening, air putih, teh manis
sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1
jam sebelum induksi anestesi.5

Premedikasi
Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk
melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia, diantaranya: 5
a. Meredakan kecemasan
b. Memperlancar induksi anestesi
c. Mengurangi seksresi kelenjar ludah dan bronkus
d. Meminimalkan jumlah obat-obat anestetik
e. Mengurangi mual-muntah pasca bedah
f. Menciptakan amnesia
g. Mengurangi isi cairan lambung
h. Mengurangi refleks yang berlebihan

3.3 Manajemen Perioperatif pada Hipertensi


3.3.1. Penilaian Preoperatif dan Persiapan Preoperatif Penderita Hipertensi
Penilaian preoperatif penderita-penderitahipertensi esensial yang akan menjalani
prosedurpembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harusdicari, yaitu:
1. Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalamterapi hipertensinya.
2. Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah
terjadi.
3. Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita.
4. Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi, untuk
prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.
Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat
perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan prosedur
diagnostik lainnya. Penilaian status volume cairan tubuh adalah menyangkut apakah
status hidrasi yang dinilai merupakan yang sebenarnya ataukah suatu relative
hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan vasodilator). Disamping itu
penggunaan diuretika yang rutin, sering menyebabkan hipokalemia dan
hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya aritmia. Untuk
evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan sangat membantu. Adanya LVH dapat
menyebabkan meningkatnya risiko iskemia miokardial akibat ketidak seimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen. Untuk evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin
dan BUN sebaiknya diperiksa untuk memperkirakan seberapa tingkat kerusakan
parenkim ginjal. Jika ditemukan ternyata gagal ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia
dan peningkatan volume plasma perlu diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler,
riwayat adanya stroke atau TIA dan adanya retinopati hipertensi perlu dicatat. Tujuan
pengobatan hipertensi adalah mencegah komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya TD,
termasuk penyakit arteri koroner, stroke, CHF, aneurisme arteri dan penyakit ginjal.
Diturunkannya TD secara farmakoligis akan menurunkan mortalitas akibat penyakit
jantung sebesar 21%, menurunkan kejadian stroke sebesar 38%, menurunkan penyakit
arteri koronaria sebesar 16%.
3.3.2 Pertimbangan Anestesia Penderita Hipertensi
Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya yang
paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan anestesia
dan operasi. Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau 115 adalah
cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia atau operasi kecuali
operasi emergensi. Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan tolak ukur, karena
peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring dengan pertambahan umur,
dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai perubahan fisiologik dibandingkan
patologik. Namun beberapa ahli menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih besar
risikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik.
Pendapat ini muncul karena dari hasil studi menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan
pada hipertensi sistolik dapat menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada
populasi yang berumur tua. Dalam banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada
penderita hipertensi akan menurunkan angka kejadian stroke sampai 35%-40%, infark
jantung sampai 20-25% dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%.
Menunda operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi
khususnya pada pasien dengan kasus hipertensi yang ringan sampai sedang. Namun
pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan hemodinamik, karena
hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang lebih besar terhadap
kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya itu sendiri. Penundaan
operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya kerusakan target organ
sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum operasi. The American Heart
Association / American College of Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa
TDS ≥ 180 mmHg dan/atau TDD ≥ 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan
operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi,
TD dapat dikontrol dalam beberapa menit sampai beberapa jam

3.3.3 Premedikasi
Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita hipertensi.
Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa menggunakan
ansiolitik seperti golongan benzodiazepine atau midazolam. Obat antihipertensi tetap
dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai jadwal minum obat.
3.3.4 Hipertensi Intraoperatif
Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga pada
periode anestesia maupun saat pasca bedah. Hipertensi intraoperatif yang tidak berespon
dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan antihipertensi secara parenteral,
namun faktor penyebab bersifat reversibel atau bisa diatasi seperti anestesia yang
kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea harus disingkirkan terlebih dahulu.
Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau kronik, penyebab
hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate dan ada tidaknya penyakit bronkospastik
pulmoner dan juga tergantung dari tujuan dari pengobatannya atau efek yang diinginkan
dari
pemberian obat tersebut. Berikut ini ada beberapa contoh sebagai dasar pemilihan obat
yang
akan digunakan
 Beta-adrenergik blockade: digunakan tunggal atau tambahan pada pasien dengan
fungsi ventrikuler yang masih baik dan dikontra indikasikan pada bronkospastik.
 Nicardipine: digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik.
 Nifedipine: refleks takikardia setelah pemberian sublingual sering dihubungkan
dengan iskemia miokard dan antihipertensi yang mempunyai onset yang lambat.
 Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif pada hipertensi
sedang sampai berat.
 Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan sebagai terapi atau
pencegahan iskemia miokard.
 Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau menjaga fungsi
ginjal.
 Hydralazine: bisa menjaga kestabilan TD, namun obat ini juga punya onset yang
lambat sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia.
3.3.5 Manajemen Postoperatif
Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien
yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhan oksigen
miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia miokard, disritmia jantung dan
CHF. Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan ulang luka operasi
akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi menyebabkan hematoma
pada daerah luka operasi sehingga menghambat penyembuhan luka operasi. Penyebab
terjadinya hipertensi pasca operasi ada banyak faktor, disamping secara primer karena
penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan baik, penyebab lainnya adalah
gangguan sistem respirasi, nyeri, overload cairan atau distensi dari kandung kemih.
Sebelum diputuskan untuk memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab
sekunder tersebut harus dikoreksi dulu. Nyeri merupakan salah satu faktor yang paling
berkonstribusi menyebabkan hipertensi. pasca operasi, sehingga untuk pasien yang
berisiko, nyeri sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural
secara infus kontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi,
maka intervensi secara farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwa
meskipun pasca operasi TD kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah
mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetap
diberikan. Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi secara
parenteral misalnya dengan betablocker yang terutama digunakan untuk mengatasi
hipertensi dan takikardia yang terjadi. Apabila penyebabnya karena overload cairan,
bisa diberikan diuretika furosemid dan apabila hipertensinya disertai dengan heart
failure sebaiknya diberikan ACE-inhibitor. Pasien dengan iskemia miokard yang aktif
secara langsung maupun tidak langsung dapat diberikan nitrogliserin dan beta-blocker
secara intravena sedangkan untuk hipertensi berat sebaiknya segera diberikan sodium
nitroprusside. Apabila penderita sudah bisa makan dan minum secara oral sebaiknya
antihipertensi secara oral segera dimulai

3.4. TURP dan Sindroma TURP


Transurethral resection of the prostate (TURP) merupakan teknik pembedahan
urologi dimana prosedur tersebut menggunakan resectoscope untuk melakukan reseksi
dan digunakan untuk 90 persen dari semua operasi prostat dilakukan untuk BPH. Dalam
pengerjaannya, TURP menggunakan cairan irigasi yang bersifat hipotonis yang dapat
masuk ke sirkulasi sistemik dan menimbulkan sindroma TURP dimana terjadi
perubahan akut volume intravascular, osmolalitas, dan konsentrasi plasma terlarut.
TURP dilakukan dengan mempergunakan cairan irigasi agar daerah yang di
irigasi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Syarat cairan yang dapat digunakan
untuk TURP adalah: isotonik, non-hemolitik, electrically inert, non-toksik, transparan,
mudah untuk disterilisasi dan tidak mahal. Akan tetapi sayangnya cairan yang
memenuhi syarat seperti di atas belum ditemukan. TURP biasanya menggunakan cairan
nonelektrolit hipotonik sebagai cairan irigasi seperti air steril (aquades), Glisin 1,5%
(230 mOsm/L), atau campuran Sorbitol 2,7% dengan Mannitol 0,54% (230 Osm/L).
Cairan yang boleh juga dipakai tapi jarang digunakan adalah Sorbitol 3,3%,Mannitol
3%, Dekstrosa 2,5-4% dan Urea 1%. Pemberian cairan irigasi yang lama dapat
mengakibatkan Akibat cairan irigasi yang bersifat hipotonis maka cairan tersebut dapat
masuk kedalam sirkulasi.
Kehilangan darah selama TURP tidak bisa dihindari dan biasanya sekitar 500
ml. Hal ini sulit untuk dikuantifikasi karena volume besar larutan irigasi yang
digunakan. Pasien kehilangan antara 2,4 dan 4,6 ml darah per menit reseksi dengan
teknik anestesi apapun yang digunakan. Pendarahan pada TURP diakibatkan reseksi
yang dilakukan melukai organ dimana reseksi dilakukan. Adanya pendarahan
mengindikasikan banyak vena yang terbuka, menyebabkan tingkat penyerapan cairan
irigasi ke dalam sirkulasi menjadi semakin tinggi. Pada saat reseksi, tubuh dapat
menyerap cairan irigasi sebanyak 10-3- mL/menit dan mengakibatkan tubuh kehilngan
suhunya sebesar 1° C per jam operasi. Masuknya cairan hipotonis dalam jumlah besar
ke dalam sirkulasi akan menyebabkan circulatory overload dimana volume darah
meningkat, tekanan darah sistolik dan diastolik meningkat dan dapat tmengakibatkan
gagal jantung. Absorbsi cairan mendilusi protein serum dan menurunkan tekanan
osmotik darah. Hal ini bersamaan dengan peningkatan tekanan darah mendorong cairan
dari vaskular menuju ke kompartmen interstisial, menyebabkan edema paru dan serebri.
Ditemukan pada absorbsi langsung ke dalam sirkulasi, hampir lebih dari 70% cairan
irigasi terakumulasi dalam ruang interstisial (periprostatik, retroperitoneal). Untuk
setiap 100 ml cairan yang memasuki ruangan interstisial 10-15 mEq Na ikut masuk ke
dalamnya.
Jika diduga ada sindrom TURP, maka pembedahan harus segera dihentikan dan
pemberian cairan i.v dihentikan. Perawatan harus melibatkan respirasi pendukung (jika
perlu, dengan intubasi dan ventilasi) dan sirkulasi. Bradikardia dan hipotensi harus
diobati dengan atropin, obat adrenergik, dan i.v. kalsium. I.V. antikonvulsan (mis.
diazepam atau lorazepam) harus digunakan untuk mengendalikan kejang dan mis.
Terapi magnesium dipertimbangkan, jika kejang terbukti sulit dikendalikan. Darah
harus diperoleh dan diperiksa untuk natrium, osmolalitas, dan hemoglobin.
Terapi diuretik (Furosemide 40 mg) hanya disarankan untuk mengobati edema
paru akut yang disebabkan oleh hipervolemia transien. Furosemide memperburuk
hiponatremia, tetapi efektif menghilangkan air bebas. Mannitol (100 ml 20%)
menyebabkan lebih sedikit kehilangan natrium daripada loop diuretik.
Saline hipertonik (3%) diindikasikan untuk memperbaiki hiponatremia berat,
jika natrium serum, 120 mmol/liter atau jika timbul gejala berat, misalnya kebutaan
sementara, mual dan muntah persisten, sakit kepala hebat, dan hipotensi berat (tekanan
sistolik menurun, 50 mmHg). Tingkat koreksi harus lambat (tidak >1 mmol/liter/jam
dalam 24 jam pertama). Koreksi yang terlalu cepat dapat menyebabkan hypervolaemia,
edema serebral, dan CPM. Koreksi ke normal tidak diindikasikan. Tujuan pemberian
adalah untuk perbaikan klinis. Saline hipertonik harus diberikan ke vena yang besar.
Pemantauan invasif tekanan arteri dan vena sentral sangat membantu dalam
mengelola pasien dengan pergeseran cairan yang besar. Mentransfer pasien ke
perawatan intensif setelah operasi disarankan (sindrom TURP dapat memburuk
kemudian karena irigasi berlanjut setelah operasi dan cairan dapat terus diserap).
BAB IV
ANALISA KASUS

Kunjungan pra anestesia dilakukan kurang dari 24 jam sebelum operasi, untuk
memberi penjelasan mengenai masalah pembedahan dan anestesi yang dilakukan. Pada
kunjungan tersebut dilakukan penilaian tentang keadaan pasien secara umum, keadaan
fisik dan mental penderita. Dimana didapatkan keadaan pasien secara umum baik.
Pemeriksaan elektrolit seharusnya dilakukan pada pasien ini sebelum tindakan operatif,
namun pada pasien ini tidak dilakukan di ruangan perawatan

Pada anamnesis, diketahui bahwa Tn. S mengeluh sulit BAK sejak 6 hari SMRS
dankeluhan disertai dengan BAK tersendat-sendat dan menetes. Selain itu, pasien juga
mengeluh adanya BAK berdarah pada 5 hari yang lalu. Hal ini menunjukkan adanya
retensi urin dimana merupakas salah satu indikasi pembedahan pada BPH.

Pasien diketahui memiliki hipertensi yang tidak diobati dengan tekanan darah
tertinggi 180 dan sehari-hari 150-160. Pada kunjungan pra anestesi, tekanan darah
pasien mencapai 160/90 mmHg. Hal ini masih dapat ditoleransi sehingga anestesi dan
pembedahan tidak hasrus ditunda. Pasien diberikan premedikasi berupa ansiolitik
seperti dobutamine maupun midazolam untuk menurunkan tingkat kecemasan sehingga
diharapkan tekanan darah pasien dapat turun. Selain itu, pasien dapat diberikan obat-
obatan anti hipertensi. Pada saat durante operasi, tekanan darah pasien dimonitoring dan
bila hipertensi intraoperatif tidak berespon dengan didalamkannya anestesia maka dapat
diatasi dengan antihipertensi secara parenteral.

Untuk menilai kebugaran seseorang sesuai The American Society of


Anesthesiologists (ASA) yaitu:

Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia

Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atas sedang, tanpa pembatasan
aktivitas

Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin
dan

penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.

Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya
tidak

akan lebih dari 24 jam

Pada pasien dilakukan anestesi regional dengan teknik spinal dengan penyuntikan
bupivacaine 0,5% 15 mg dengan adjuvant morfin 0,1 mg, posisi duduk, penusukan pada
L3-L4 dimana anestesi regional dengan teknik spinal diindikasikan pada pembedahan
urologi.

Kebutuhan cairan maintenance pada pasien ini sebanyak 120cc/jam yang


didapatkan dari perhitungan 2 cc/KgBB/jam. Cairan pengganti puasa diberikan
sebanyak 720 cc. Dikarenakan operasi dibawah 1 jam maka perhitunagn untuk stress
operative menggunakan 4 cc/KgBB/jam dimana mendapatkan hasil 240 cc/jam. EBV
dihitung dengan 75 X BB dimana mendapatkan hasil 4500 cc dan EBL dihitung dengan
20% EBV sehingga mendapatkan hasil 900cc. Kebutuhan cairan selama operasi
dihitung dengan Jam I: ½ PP + SO + M yang mendapatkan hasil sebesar 720 cc.
DAFTAR PUSTAKA

1. Butterworth, JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology 6th ed. New York: McGraw-Hill. 2018; 4 (45)
2. Barash, PG. Clinical Anaesthesia 8th Edition. New York: Wolters Kluwer. 2017
3. Latief, S.A., Suryadi, K.A. & Dachlan, M.R. Eds. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. 2nd ed. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta;
2009.
4. Wiryana, M. Manajemen Perioperatif Hipertensi. Jurnal Penyakit Dalam, 2008;
Vol.9 (2):147-52
5. O’Donnell, AM, Foo ITH. Anaesthesia for transurethral resection of the
prostate. British Journal of Anaesthesia. 2009
6. Yao, FF. Yao & Artusio’s Anestheiology 7 th Edition. NewYork: Wolters
Kluwer. 2012

Anda mungkin juga menyukai