Disusun Oleh:
Agra Farellio Moniga, S. Ked
G1A218092
Pembimbing
____________________
dr. Panal Hendrik Dolok Saribu, Sp.An
KATA PENGANTAR
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi spinal (subaraknoid) atau yang sering disebut juga analgesi/blok spinal
intradural atau blok intratekal adalah teknik anestesi neuroaksial dan merupakan salah
satu teknik anestesi regional (selain anestesi epidural dan saraf perifer) yang dapat
diberikan sebagai anastesi tunggal maupun kombinasi dengan anastesi umum. Anastesi
spinal dilakukan dengan tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang
subaraknoid (cairan serebrospinal) yang bertujuan untuk menghambat rasa sakit
rasa pada bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif jaringan spinal dan
saraf terkait. Anestesi ini dapat dilakukan pada bedah ekstremitas bawah, bedah
panggul, tindakan sekitar rektum perineum, bedah obstetrik-ginekologi, bedah urologi,
dan bedah abdomen bawah.
Transurethral resection of the prostate (TURP) merupakan teknik pembedahan
urologi dimana prosedur tersebut menggunakan resectoscope untuk melakukan reseksi.
Dalam pengerjaannya, TURP menggunakan cairan irigasi yang bersifat hipotonis yang
dapat masuk ke sirkulasi sistemik dan menimbulkan sindroma TURP dimana terjadi
perubahan akut volume intravascular, osmolalitas, dan konsentrasi plasma terlarut.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama :
Pasien datang dengan keluhan sulit BAK sejak 6 hari SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan sulit BAK sejak 6 hari SMRS memberat 1 hari
ini. Keluhan disertai BAK tersendat-sendat dan menetes.
Riwayat BAK berdarah 5 hari yang lalu
Demam 3 hari yang lalu, saat ini sudah sembuh
Pulmo
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, jejas (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : Sonor kanan dan kiri
Auskultasi : Vesikuler kanan dan kiri, Rhonki (-), Wheezing (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, Simetris, Jejas (-)
Palpasi : Defens muskular, Nyeri tekan (+) seluruh regio perut.
Perkusi : Timpani.
Auskultasi : Bising Usus (-)
Ekstremitas
Superior : akral hangat, CRT <2 Detik, Edem (-)
Inferior : akral hangat, CRT <2 Detik, Edem (-)
Kimia Darah
SGOT : Ur : 20 HbsAg :-
SGPT : Kr : 2,0 GFR : 31,25
Na : K :
Cl : Ca :
2.5 Diagnosa Pre-Operatif
Tindakan Anestesi
Regional Anestesi (Spinal) dengan bupivacaine 0,5% 15 mg dengan adjuvant morfin 0,1
mg, posisi duduk, penusukan pada L3-L4
4. Jumlah Cairan
Kebutuhan Cairan
Maintenance: 2 cc/KgBB/jam = 120cc/jam
Pengganti puasa: puasa x maintenance = 720 cc
Stress operasi : 8 cc/KgBB/jam = 480 cc/jam
EBV : 75 X BB = 4500 cc
EBL : 20% EBV = 900cc
Kebutuhan cairan selama Operasi
Jam I: ½ PP + SO + M = 960 cc
Monitoring anestesi
Durante op
• TD : sistolik: 150-180 mmHg
: diastolik: 90-100 mmHg
• HR : 60-90x/menit
• SpO2 : 96-98%
• Pernafasan Baik
Ruang Pemulihan
1. - Masuk Jam :
2. Kesadaran :
3. Tanda vital : TD :
Nadi :
RR :
4. Pernafasan :
5. Scoring Alderate:
Aktifitas :
Pernafasan :
Warna Kulit :
Sirkulasi :
Kesadaran :
Jumlah :
Diagnosa Post Op
Post TURP a/i retensio urin e.c BPH
Prognosis:
Anestesi spinal (subaraknoid) atau yang sering disebut juga analgesi/blok spinal
intradural atau blok intratekal adalah teknik anestesi neuroaksial dan merupakan salah
satu teknik anestesi regional (selain anestesi epidural dan saraf perifer) yang dapat
diberikan sebagai anastesi tunggal maupun kombinasi dengan anastesi umum. Anastesi
spinal dilakukan dengan tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang
subaraknoid (cairan serebrospinal) yang bertujuan untuk menghambat rasa sakit
rasa pada bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif jaringan spinal dan
saraf terkait. Anestesi ini dapat dilakukan pada bedah ekstremitas bawah, bedah
panggul, tindakan sekitar rektum perineum, bedah obstetrik-ginekologi, bedah urologi,
dan bedah abdomen bawah. Namun, hal ini tidak dapat dilakukan bila terdapat
kontraindikasi seperti berikut:
Peralatan resusitasi
Jarum spinal
terdapat 3 jenis jarum spinal yaitu dengan ujung tajam (quincke) atau jarum
spinal dengan ujung pensil (pensil poit whitecare).
Bupivacaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik, dosis 5-
20mg (1-4ml)
Bupivacaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml)
Penyebaran dermatomal dari anestesia spinal dipengaruhi oleh bebrapa faktor, yaitu:
1. Faktor utama
1. Berat jenis anestetika lokal (barisitas)
2. Posisi pasien (kecuali isobaric)
3. Dosis dan volum anestetika lokal (kecuali isobarik)
4. Lokasi Injeksi
2. Faktor lainnya
1. Ketinggian suntikan
2. Kecepatan suntikan (barbotase)
3. Ukuran jarum
4. Keadaan fisik pasien
5. Tekanan intra abdominal
6. Usia
7. Cairan serebrospinal
8. Lengkung Spina
9. Tinggi Pasien
10. Kehamilan
Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya sangatlah
penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus,
misalnya alergi, muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak pasca bedah, sehingga kita
dapat merancang anestesia selanjutnya. Beberapa peneliti menganjurkan obat yang
kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya janga digunakan ulang,
misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu 3 bulan, suksinilkolin yang
menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan diulang.Kebiasaan merokok sebaiknya
dihentikan 1-2 hari sebelumnya utnuk eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem
kardiosirkulasi, dihentikan beberapa hari untuk mengaktifkan kerja silia jalan nafas dan
1-2 minggu untuk mengurangi produksi sputum. Kebiasaan minum alkohol juga patut
dicurigai akan adanya penyakit hepar.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher
pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain
secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
Pemeriksaan Laboratorium
Sebaiknya tepat indikasi, sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai.
Pada usia pasien diatas 50 tahun dianjurkan pemeriksaan EKG dan foto thoraks.5
Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi lambung dan
kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan risiko utama pada pasien-pasien
yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang
dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan
oral selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.Pada pasien dewasa umumnya
puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak
diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesia. Minuman bening, air putih, teh manis
sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1
jam sebelum induksi anestesi.5
Premedikasi
Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk
melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia, diantaranya: 5
a. Meredakan kecemasan
b. Memperlancar induksi anestesi
c. Mengurangi seksresi kelenjar ludah dan bronkus
d. Meminimalkan jumlah obat-obat anestetik
e. Mengurangi mual-muntah pasca bedah
f. Menciptakan amnesia
g. Mengurangi isi cairan lambung
h. Mengurangi refleks yang berlebihan
3.3.3 Premedikasi
Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita hipertensi.
Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa menggunakan
ansiolitik seperti golongan benzodiazepine atau midazolam. Obat antihipertensi tetap
dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai jadwal minum obat.
3.3.4 Hipertensi Intraoperatif
Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga pada
periode anestesia maupun saat pasca bedah. Hipertensi intraoperatif yang tidak berespon
dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan antihipertensi secara parenteral,
namun faktor penyebab bersifat reversibel atau bisa diatasi seperti anestesia yang
kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea harus disingkirkan terlebih dahulu.
Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau kronik, penyebab
hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate dan ada tidaknya penyakit bronkospastik
pulmoner dan juga tergantung dari tujuan dari pengobatannya atau efek yang diinginkan
dari
pemberian obat tersebut. Berikut ini ada beberapa contoh sebagai dasar pemilihan obat
yang
akan digunakan
Beta-adrenergik blockade: digunakan tunggal atau tambahan pada pasien dengan
fungsi ventrikuler yang masih baik dan dikontra indikasikan pada bronkospastik.
Nicardipine: digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik.
Nifedipine: refleks takikardia setelah pemberian sublingual sering dihubungkan
dengan iskemia miokard dan antihipertensi yang mempunyai onset yang lambat.
Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif pada hipertensi
sedang sampai berat.
Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan sebagai terapi atau
pencegahan iskemia miokard.
Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau menjaga fungsi
ginjal.
Hydralazine: bisa menjaga kestabilan TD, namun obat ini juga punya onset yang
lambat sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia.
3.3.5 Manajemen Postoperatif
Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien
yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhan oksigen
miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia miokard, disritmia jantung dan
CHF. Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan ulang luka operasi
akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi menyebabkan hematoma
pada daerah luka operasi sehingga menghambat penyembuhan luka operasi. Penyebab
terjadinya hipertensi pasca operasi ada banyak faktor, disamping secara primer karena
penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan baik, penyebab lainnya adalah
gangguan sistem respirasi, nyeri, overload cairan atau distensi dari kandung kemih.
Sebelum diputuskan untuk memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab
sekunder tersebut harus dikoreksi dulu. Nyeri merupakan salah satu faktor yang paling
berkonstribusi menyebabkan hipertensi. pasca operasi, sehingga untuk pasien yang
berisiko, nyeri sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural
secara infus kontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi,
maka intervensi secara farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwa
meskipun pasca operasi TD kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah
mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetap
diberikan. Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi secara
parenteral misalnya dengan betablocker yang terutama digunakan untuk mengatasi
hipertensi dan takikardia yang terjadi. Apabila penyebabnya karena overload cairan,
bisa diberikan diuretika furosemid dan apabila hipertensinya disertai dengan heart
failure sebaiknya diberikan ACE-inhibitor. Pasien dengan iskemia miokard yang aktif
secara langsung maupun tidak langsung dapat diberikan nitrogliserin dan beta-blocker
secara intravena sedangkan untuk hipertensi berat sebaiknya segera diberikan sodium
nitroprusside. Apabila penderita sudah bisa makan dan minum secara oral sebaiknya
antihipertensi secara oral segera dimulai
Kunjungan pra anestesia dilakukan kurang dari 24 jam sebelum operasi, untuk
memberi penjelasan mengenai masalah pembedahan dan anestesi yang dilakukan. Pada
kunjungan tersebut dilakukan penilaian tentang keadaan pasien secara umum, keadaan
fisik dan mental penderita. Dimana didapatkan keadaan pasien secara umum baik.
Pemeriksaan elektrolit seharusnya dilakukan pada pasien ini sebelum tindakan operatif,
namun pada pasien ini tidak dilakukan di ruangan perawatan
Pada anamnesis, diketahui bahwa Tn. S mengeluh sulit BAK sejak 6 hari SMRS
dankeluhan disertai dengan BAK tersendat-sendat dan menetes. Selain itu, pasien juga
mengeluh adanya BAK berdarah pada 5 hari yang lalu. Hal ini menunjukkan adanya
retensi urin dimana merupakas salah satu indikasi pembedahan pada BPH.
Pasien diketahui memiliki hipertensi yang tidak diobati dengan tekanan darah
tertinggi 180 dan sehari-hari 150-160. Pada kunjungan pra anestesi, tekanan darah
pasien mencapai 160/90 mmHg. Hal ini masih dapat ditoleransi sehingga anestesi dan
pembedahan tidak hasrus ditunda. Pasien diberikan premedikasi berupa ansiolitik
seperti dobutamine maupun midazolam untuk menurunkan tingkat kecemasan sehingga
diharapkan tekanan darah pasien dapat turun. Selain itu, pasien dapat diberikan obat-
obatan anti hipertensi. Pada saat durante operasi, tekanan darah pasien dimonitoring dan
bila hipertensi intraoperatif tidak berespon dengan didalamkannya anestesia maka dapat
diatasi dengan antihipertensi secara parenteral.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atas sedang, tanpa pembatasan
aktivitas
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin
dan
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya
tidak
Pada pasien dilakukan anestesi regional dengan teknik spinal dengan penyuntikan
bupivacaine 0,5% 15 mg dengan adjuvant morfin 0,1 mg, posisi duduk, penusukan pada
L3-L4 dimana anestesi regional dengan teknik spinal diindikasikan pada pembedahan
urologi.
1. Butterworth, JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology 6th ed. New York: McGraw-Hill. 2018; 4 (45)
2. Barash, PG. Clinical Anaesthesia 8th Edition. New York: Wolters Kluwer. 2017
3. Latief, S.A., Suryadi, K.A. & Dachlan, M.R. Eds. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. 2nd ed. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta;
2009.
4. Wiryana, M. Manajemen Perioperatif Hipertensi. Jurnal Penyakit Dalam, 2008;
Vol.9 (2):147-52
5. O’Donnell, AM, Foo ITH. Anaesthesia for transurethral resection of the
prostate. British Journal of Anaesthesia. 2009
6. Yao, FF. Yao & Artusio’s Anestheiology 7 th Edition. NewYork: Wolters
Kluwer. 2012