1
Daftar Isi
Halaman Judul............................................................................................... 1
Daftar Isi....................................................................................................... 2
Gangguan Psikosomatik.............................................................................. 22
Kegawatdaruratan Hipertensi..................................................................... 35
Terapi inhalasi pada pasien non asma : Apakah perlu ?.............................. 107
2
Sambutan Ketua Panitia
Shalom, salam sejahtera bagi kita semua
Pelayanan kesehatan yang berkualitas dan bermutu tinggi seakan
menjadi isu yang tak habis dibicarakan dalam bidang kesehatan belakangan
ini. Tuduhan miring tentang adanya pelayanan kesehatan yang bermutu
rendah bahkan hingga malpraktek kedokteran tak jarang menghiasi kolom
media cetak, televisi dan bahkan menjadi trending topic di media sosial. Di
sisi lain, Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) merupakan ujung tombak pelayanan
kesehatan kepada masyarakat. Oleh karena itu dokter pada FKTP memegang peranan yang
cukup besar dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Adanya
tuntutan profesi dan perkembangan ilmu kedokteran yang makin pesat disertai dengan
semakin kritisnya masyarakat luas terhadap masalah kesehatan menuntut dokter umum terus
meningkatkan pengetahuan serta mengasah keterampilannya dalam pengembangan
kemampuan profesi.
Berangkat dari kesadaran tersebut, kami Ikatan Alumni Medica Universitas Diponegoro
Cabang Tanah Papua mengadakan pertemuan ilmiah dengan mengambil tema : “Safety in
Primary Health Care” guna memfasilitasi pemenuhan kebutuhan pengetahuan dan
keterampilan bagi sejawat sekalian. Kami pun bersiap menjadikan pertemuan ilmiah ini
sebagai acara yang mengupas hal hal esensial dalam bidang ilmu penyakit dalam, ilmu
kesehatan anak, ilmu bedah, osbtetri ginekologi, neurologi, mata dan ilmu kesehatan jiwa
yang mutakhir serta menjadi referensi bagi sejawat dalam pengambilan keputusan klinik
menuju mutu pelayanan dan profesionalisme kedokteran yang lebih baik.
Pada kesempatan ini saya sampaikan terima kasih kepada semua penulis atas
partisipasinya dalam penulisan buku kumpulan naskah ilmiah ini. Kami pun tak lupa
menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya apabila secara teknis masih
didapatkan kekurangan yang tidak kami sengaja dalam penyusunan buku ini. Kami berharap
kumpulan naskah ilmiah ini mampu memberikan wawasan tentang pedoman diagnostik dan
terapi terbaru sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan kedokteran kita.
Atas perhatian sejawat sekalian kami sampaikan banyak terima kasih.
3
Sambutan Ketua IKA Medica
4
PERANAN NEUROINTERVENSI DALAM DIAGNOSIS DAN
PENANGANAN MALFORMASI ARTERI-VENA OTAK
(dr. Ignatius Letsoin, Sp.S, Msi.Med, FINS, FINA)
I. PENDAHULUAN
Pada tahun 1966, McCormick, Russell dan Rubenstein menggambarkan 4 jenis malformasi
vaskuler yang diterima sebagai nomenklatur sampai saat ini.1 Malformasi ini diklasifikasikan
berdasarkan gambaran histopatologi sebagai malformasi arteri-vena (AVMs/Arteriovenous
Malformations), angioma vena, malformasi kavernosa, dan telangiektasi kapiler. Pada
literatur ada disebutkan juga jenis kelima berupa fistula langsung, atau fistula arteri-vena
(AVF/Arteriovenous Fistula).2,3,4
Malformasi arteri-vena (AVMs) yang selanjutnya akan dibahas disini adalah kelainan pada
jalinan pembuluh darah arteri yang berhubungan secara langsung ke pembuluh darah vena,
tanpa intervensi kapiler (intervening capillary bed), mengakibatkan derasnya aliran dan
resistensi yang rendah. Karakteristik angioarsitektur utama pada AVMs yang membedakan
mereka dari jenis lain malformasi adalah adanya “arteriovenous shunting” antara arteri atau
arteriol dan vena atau venul, yang kemudian membentuk struktur yang disebut “nidus” yang
kemudian bertanggung jawab timbulnya aliran yang deras (High Flow) dari arteri (Feeding
Artery) ke sistem vena (Draining Vena). Suatu malformasi arteri-vena dapat berkembang di
mana saja di tubuh kita yang terdapat pembuluh arteri dan vena, tetapi paling sering terjadi
di otak atau tulang belakang. Meskipun kasus familial telah dijelaskan, AVMs adalah bawaan
dan paling sering terjadi secara sporadis.
5
AVMs sering hadir dengan perdarahan intrakranial (45-50% kasus), kejang (20-30% kasus),
sakit kepala tidak terkait perdarahan (10-15% kasus), dan defisit neurologis fokal atau gejala
lain seperti tinnitus (7-10% kasus) juga dapat dijumpai. Risiko perdarahan tahunan adalah 2-
4% biasanya berhubungan dengan angka mortalitas 5-25% dan morbiditas 10-50%. Pada
sekitar 5-8% kasus tidak menunjukkan gejala dan dideteksi secara kebetulan pada
pemeriksaan neuroimaging yang dilakukan untuk alasan lain.5,6,7
Peranan neurologi intervensi sebagai sub-spesialisasi telah menciptakan kesempatan bagi
praktisi neurologi vaskular untuk memainkan peranan aktif pada aspek prosedur diagnosa
dan manajemen dari penyakit-penyakit serebrovaskular, termasuk penyakit AVMs. Digital
Subtraction Angiography (DSA) adalah pemeriksaan baku emas dalam studi AVMs. Evaluasi
angiografi ini merupakan alat diagnostik yang paling berguna untuk AVMs dengan temuan
seperti arteri yang melebar dan berkelok-kelok, visualisasi dari AVMs atau fistula itu sendiri
dan pengisian vena awal serta dilatasi dari draining veins. Selain itu juga berguna sebagai
tambahan terapi pada kasus tertentu.6
Untuk pengobatan AVMs otak, diterapkan teknik reseksi microneurosurgical, stereotactic
radiosurgical dan embolisasi endovaskular sebagai teknik tunggal atau dikombinasikan
dengan berbagai kriteria seleksi dan sistem penilaian. Teknik pengobatan gabungan, seperti
embolisasi pra operasi dalam satu atau beberapa sesi diikuti reseksi microneurosurgical atau
pemusnahan dengan stereotactic radiosurgical dapat mengeliminasi secara radikal AVMs
otak yang mungkin belum dapat disembuhkan oleh modalitas pengobatan tunggal.
Pada kasus AVMs nonsurgical atau nonradiosurgical, embolisasi paliatif telah berhasil
digunakan untuk mengurangi risiko perdarahan, mengurangi gejala klinis, dan meningkatkan
fungsi neurologis. Jika intervensi endovaskular terpilih, strategi terapi mungkin termasuk
embolisasi pra-microsurgical, pra-radiosurgical, embolisasi kuratif, atau embolisasi paliatif.
Perencanaan perawatan untuk AVMs membutuhkan tim multidisiplin dengan keahlian
dalam bedah saraf serebrovaskular, intervensi endovaskular, dan terapi radiasi untuk
memberikan semua pilihan terapi dan menentukan regimen pengobatan yang paling tepat
sesuai dengan karakteristik pasien dan morfologi AVMs.7
II. EPIDEMIOLOGI
AVMs adalah malformasi serebrovaskular yang paling umum. Insiden dan prevalensi tidak
diketahui dengan pasti, meskipun ada data yang tersedia dari seri otopsi dan studi berbasis
6
populasi terbatas. Berdasarkan studi pencitraan, kejadian AVMs simptomatik berkisar 1,1-
1,84 per 100.000 orang/tahun. Berdasarkan studi otopsi, prevalensi agak berbeda, mulai
dari lima sampai 513 per 100.000 orang.
AVMs biasanya ditemukan sebelum usia 40 (20-40 tahun), dengan usia rata-rata adalah 33
tahun. Angka prevalensi rendah pada wanita, namun secara statistik tidak signifikan.
Meskipun AVMs adalah kasus yang jarang dan langka dengan pendarahan hanya 2% dari
semua stroke, tapi merupakan penyebab utama perdarahan intraserebral (PIS) pada orang
dewasa muda (16,7%), diikuti aneurisma (15,5%). Selama bertahun-tahun, AVMs diduga
disebabkan oleh kelainan kongenital, namun beberapa penelitian mendapatkan bahwa AVM
juga merupakan kelainan yang didapat.8
III.DEFINISI
Malformasi arteriovenosa adalah suatu lesi pada pembuluh darah dimana terbentuk suatu
nidus abnormal yang menyebabkan terjadinya shunting patologis pada aliran darah dari
arteri ke vena tanpa melalui kapiler (Gambar 1). Nidus sering diketahui sebagai benda asing
pada parenkhim otak dan terkadang membentuk lesi berukuran besar yang menempati
lobus otak. AVMs dapat ditemukan di mana saja yang ada pembuluh arteri dan vena, dapat
bervariasi dalam ukuran. Cabang arteri distal lebih sering terlibat dan didominasi arteri
serebri media mengikuti konveksitas parenkim otak. Lesi umumnya soliter yang dianggap
bawaan dan terjadi secara sporadis.
Gambar 1. Hubungan arteri-vena secara normal dan pada AVM (abnormal) (ilustrasi)
7
IV. PATOLOGI, PRESENTASI KLINIS DAN KLASIFIKASI
Karakteristik utama angioarsitektur AVMs otak yang membedakan mereka dari jenis
lain malformasi pembuluh darah otak adalah adanya shunting arteri-vena antara arteri atau
arteriol dengan vena atau venula, yang memperlihatkan terbentuknya apa yang disebut
nidus dari AVMs. Nidus ini bertanggung jawab atas profil hemodinamik yang bersifat high-
flow, yang kemudian menyebabkan:
- Perekrutan pembuluh darah (steal vascular)
- Dilatasi feeding arteri dan arterialisasi pada draining veins
- Gliosis dari intervening kapiler dan parenkim otak yang berdekatan
- Perubahan-perubahan angiopati dari waktu ke waktu (angiopati high-flow)
Dengan demikian angioarsitektur suatu AVM terdiri dari (Gambar 2):
- Feeding artery (single atau multiple)
- Nidus
- Draining veins (single atau multiple)
Pada AVM, arteri berhubungan secara langsung dengan vena tanpa melewati capillary
bed diantara arteri dan vena. Hal ini menimbulkan masalah yang disebut sebagai high
pressure shunt atau fistula. Vena tidak dapat mengontrol tekanan darah yang datang secara
langsung dari arteri sehingga meregang dan melebar agar dapat menampung darah yang
berlebihan tersebut. Hal ini menyebabkan pembuluh darah yang lemah dapat ruptur atau
berkembang sebagai aneurisma. Selain itu jaringan normal disekelilingnya dapat mengalami
hipoperfusi (steal phenomena/vascular), timbullah iskemik dan infark. Secara histologis,
lapisan elastis otot arteri berubah. Lamina media dapat bergantian menebal dan menipis
sehingga aneurisma feeding arteri dapat berkembang di daerah menipis sementara terjadi
juga endapan kolagen dan trombosis pada lumen yang menyebabkan penebalan dinding
draining veins. Terjadi juga proses gliosis di sekitar jaringan parenkim otak disertai endapan
hemosiderin dalam nidus tersebut, diikuti hilangnya neuron-neuron di parenkim otak
sekitarnya akibat proses “steal vascular” yang mendasari proses iskemik sampai infark.
Presentasi klinis AVMs pada populasi berbasis masyarakat belum diteliti dengan baik.
Selain itu, frekuensi yang ditemukan di sebagian besar penelitian berbasis rumah sakit
berbeda satu sama lain. Saat ini sekitar 5-8% dari orang tidak menunjukkan gejala ketika
AVMs terdeteksi. Sekitar 20-30% dari pasien dengan AVMs mengalami kejang fokal maupun
8
umum, terutama bila lokasi lesi pada kortikal supratentorial. Sebagian besar (45-50% kasus)
dengan perdarahan intrakranial akibat rupturnya AVMs. Bila lokasinya di permukaan otak
menyebabkan perdarahan subaraknoid dan di dalam ventrikel timbul perdarahan
intraventrikel. Sakit kepala dijumpai sekitar 10-15% kasus dan defisit neurologis fokal
lainnya seperti tinnitus pada sekitar 7-10% kasus. Terlihat ada korelasi yang jelas antara
sebagian besar manifestasi klinis dan karakteristik angioarsitektur khusus yang mendasari
AVMs, sehingga gejala yang muncul dan visualisasi angioarsitektur berperan secara
signifikan dalam indikasi dan pemilihan modalitas pengobatan.
9
From Spetzler RF, Martin NA. A proposed grading system for
arteriovenous malformations. J Neurosurg. 1986;65(4):476-483. Used with
permission from the Journal of Neurosurgery.
Skala ini adalah sistem 5 grade berdasarkan 3 kriteria: ukuran lesi, eloquence dari jaringan
yang berdekatan, dan drainase vena.
Di Barrow Neurological Institute, disarankan reseksi bedah mikro untuk AVMs grade I & II,
dan manajemen konservatif untuk grade IV & V (Tabel 2).
V. INVESTIGASI
Beberapa temuan pencitraan pada AVMs otak berdampak pada pengambilan keputusan
sehubungan dengan manajemen klinis; yang paling penting adalah terkait dengan risiko
perdarahan ke depan, termasuk bukti perdarahan sebelumnya, aneurisma intranidal,
stenosis vena, deep venous drainage, dan lokasi nidus yang lebih dalam tersebut. Temuan
pencitraan lain adalah efek sekunder yang disebabkan oleh AVMs otak yang menyebabkan
defisit neurologis non hemoragik, seperti kongesti vena, gliosis, hidrosefalus, atau arterial
steal. Adapun pilihan pencitraan yang efektif seperti:
- Ultrasonography (USG) adalah pemeriksaan skrining yang berguna, tetapi sangat
tergantung operator. Ketika dikombinasikan dengan warna-aliran pencitraan (duplex
scan), dapat membantu dalam membedakan anomali aliran lambat (slow-flow)
terutama jenis vena dan limfatik dari anomali arteri aliran-cepat (fast-flow)
11
- Computed Tomography (CT) dan Angiography (CTA), pasien mungkin awalnya
dievaluasi dengan CT. Suatu perdarahan intraserebral (intracerebral hematoma/ICH)
spontan, terutama pada pasien usia muda, lesi lobar, juga bila ICH atau perdarahan
subaraknoid (subarachnoid hematoma/SAH) yang tidak dapat dijelaskan maka dapat
dilakukan pemeriksaan tambahan, yaitu CTA, yang menyajikan secara rinci gambaran
vaskular yang lebih baik. Dapat dilihat juga gambaran hiperdens atau kalsifikasi yang
menggambarkan draining veins, komponen nidus atau dilatasi dari feeders arteri.
- Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Angiography (MRA), dapat memberikan
visualisasi dari perubahan otak yang berdekatan dengan nidus seperti gliosis
perinidal atau intranidal. Atrofi dengan dilatasi fokal ventrikel, hemosiderin,
hidrosefalus, kompresi ventrikel akibat pembesaran draining veins dapat dilihat pada
MRI/MRA.
- Digital Subtraction Angiography (DSA), dapat memvisualisasikan morfologi,
lokasi nidus, keberadaan dan lokasi aneurisma terkait, feeders arteri dan pola
drainase vena. Awal DSA akan memperlihatkan sebagian besar AVMs. Perencanaan
sebelum terapi sering membutuhkan DSA. Embolisasi endovaskular memungkinkan
feeders arteri diterapi dan juga aneurisma terkait. Angiogram dianggap sebagai
"standar emas" untuk evaluasi diagnostik pembuluh darah karena merupakan yang
paling komprehensif, spesifik dan sensitif.
Pemeriksaan DSA pada AVM di otak ada dua tahapan:
1. Angiografi Selektif, dengan kateter diagnostik untuk melihat vaskular menyeluruh
2. Angiografi Superselektif, dengan mikrokateter akan lebih spesifik untuk melihat
vaskular yang terletak di nidus tersebut
12
7 High-flow venous angiopathy (dural sinuses, stenosis vena, oklusi dan varices)
8 Venous drainage pada parenkim otak yang normal
Analisis angiografi komposisi pembuluh darah dan angioarsitektur intrinsik dari nidus AVMs
dengan mikrokateter super selektif diperlukan untuk mengidentifikasi tipe feeder arteri dan
pola pasokan mereka, jumlah dan koneksi vaskular pada kompartemen nidal, jenis shunts
arteriovenosa, morfologi ruang vaskular dalam menyusun nidus dan jumlah draining veins
nya. Semua ini dapat didiagnosis dengan berbagai studi pencitraan diagnostik. CT tanpa
kontras memiliki sensitivitas rendah, tetapi kalsifikasi dan hIpointens dapat dicatat.
Penyengatan terlihat setelah pemberian kontras. AVMs selanjutnya divisualisasikan dengan
baik menggunakan CTA, MRI atau MRA, atau kateter angiography (Gambar 3.A, B dan C).
Gambar 3.A. Computed Tomographic Angiography dan 3.B. T2W Magnetic Resonance Imaging
menunjukkan aneurisma pada arteri serebri media kanan (panah tipis) dan AVM oksipital (panah tebal)
13
3.C. Arteriogram otak setelah injeksi arteri karotis interna dengan media kontras menunjukkan aneurisma
feeding artery (panah tipis), sebuah arterimalformasi (panah tebal), dan superfisial drain vein (kepala panah)
MRI memberikan informasi yang lebih tepat untuk menilai ukuran dan lokalisasi anatomis
nidus AVM. Sebuah studi melibatkan 623 pasien ICH diperiksa dengan multi detektor CTA
mengidentifikasi dengan baik karakteristik klinis dan CT non kontras secara independen
memprediksi peningkatan insiden dari lesi vaskular sebagai etiologi ICH: usia lebih muda dari
46 tahun (47%), hipertensi tidak diketahui atau gangguan koagulasi pada presentasi (33%),
lokasi ICH di lobar (20%) atau infratentorial (16%), dan jenis kelamin perempuan ( 18%).
Modalitas pencitraan seperti MRA dan CTA dinamis semakin sering digunakan dalam deteksi
drainase awal untuk lesi yang lebih kecil agar diagnosis dapat ditegakkan, karena kriteria
tersebut sangat penting untuk membedakan AVMs otak dari penyakit pembuluh darah
lainnya dari otak.
Dua subtipe dari jaringan abnormal pembuluh dapat ditemui, yaitu tipe glomerulus atau
kompak, yang terdiri dari pembuluh yang abnormal tanpa diselingi jaringan otak normal dan
tipe difus atau proliferatif, dimana parenkim otak normal diselingi seluruh jalinan pembuluh.
Feeder arteri dan drainase vena dari AVM otak akan tergantung pada lokasi nidus tersebut.
Bila lokasinya dalam dan di ventrikel maka akan merekrut aliran dari cabang perforator
(lentriculostriate, cabang thalamoperforator) dan koroid (anterior, medial, dan posterio-
lateral), sedangkan drainase vena biasanya akan melalui sistem vena dalam (Gambar 4). Di
lokasi yang lebih dangkal atau kortikal, persediaan arteri utama adalah melalui arteri pial
(cabang dari arteri serebral anterior, MCA, dan PCA), sedangkan drainase vena terutama
melalui vena kortikal (Gambar 5). Tidak adanya drainase vena kortikal dalam AVM otak yang
14
terletak di permukaan mungkin menunjukkan trombosis dari outlet dangkal dengan
rerouting berikutnya ke dalam sistem yang dalam.
A B
Gambar 4. Classic deep type brain AVM, wanita muda, 19 tahun dengan nyeri kepala mendadak
disertai penurunan kesadaran. (A). CT-aksial non kontras (B). CT-aksial kontras
Tampak gambaran yang intens pada vaskular Talamus kiri (curiga ruptur)
C
Angiogram lateral arteri vertebral kiri. 4 (C). Tampak AVM talamus dengan feeders dari
thalamoperforator dan cabang koroid posterior kiri, dengan draining ke vena Galen (sebagian besar)
dan minimal ke vena Rosenthal (panah). Perhatikan kantong kecil vena (kepala panah), menunjukkan
risiko tinggi perdarahan
B
A
15
Gambar 5. Classic superficial type brain AVM, seorang pria muda, 18 tahun dengan gambaran
parietal hematoma kiri. (A). CT-aksial dengan kontras, tampak gambaran tubuler yang intens (nidus)
pada lobus prietal kiri. Tampak juga gambaran hiperdens (perdarahan) dalam ventrikel. (B). Tampak
feeder dari arteri serebri media kiri yang melebar.
C
Angiogram lateral arteri karotis internal kiri. 5 (C). Jenis nidus glomerular di kortikal, dengan
feeder terutama oleh parietal posterior dan cabang angulus dari MCA kiri, dengan drainase awal ke
vena kortikal parietal kiri, temuan yang menegaskan diagnosis dari AVM otak.
Dua bentuk yang signifikan harus dipertimbangkan sebagai diagnosis diferensial dari AVMs
serebral:
1. Proliferatif otak angiopati dan
2. Sindrom vaskular segmental dengan AVMs otak
16
AVMs kecil hadir dengan perdarahan lebih sering daripada yang besar. Selain itu, AVMs kecil
juga cenderung untuk menekan otak yang berdekatan, sehingga dapat menyebabkan gejala
seperti sakit kepala atau kejang
- Asimptomatik
AVM ditemukan secara kebetulan dan tidak ada gejala
Pilihan pengobatan utama untuk AVM meliputi:
1. Microsurgery (reseksi bedah mikro) - pembedahan untuk mengangkat AVM dari otak
2. Radiosurgery (stereotactic radioterapi) - radiasi diarahkan pada pembuluh abnormal
dari AVM menyebabkan penebalan dan akhirnya "mencekik" AVM
3. Embolisasi (endovaskular) - menggunakan prosedur yang sama sebagai angiogram
diagnostik, satu atau lebih feeding arteri AVM ditutup/diblokir
4. Medis konservatif - pemantauan AVM dengan fokus utama pada manajemen gejala
Risiko manajemen intervensi (reseksi mikro, radiosurgery, atau embolisasi) vs manajemen
medis konservatif perlu ditimbang dengan hati-hati berdasarkan kasus per kasus.
Sejarah terapi intervensi embolisasi AVMs di otak dimulai pada tahun 1960 yang
dilakukan oleh Luessenhop dan Spence, dimana sudah dilakukan serebral angiografi selektif
yang dilanjutkan dengan penyuntikan metil metakrilat melalui arteri karotis interna. Tehnik
ini memiliki risiko tinggi kejadian iskemik sampai infark. Tahun 1974, Serbinenko pertama
kalinya melakukan tindakan angiofrafi dan embolisasi serebral superselektif menggunakan
bahan embolisasi bucrylate (isobutyl-2-cyanoacrylate) yang dilepaskan melalui kateter yang
fleksibel. Pada tahun 1976, Kerber mengembangkan tehnik embolisasi secara modern
menggunakan balloon mikrokateter untuk mengalirkan cairan embolisasi ke dalam nidus
AVMs. Sejak laporan tersebut, kemajuan dan inovasi yang signifikan telah terjadi di bidang
neuroradiologi intervensi termasuk pengenalan teknik DSA di awal 1980. Selanjutnya
pengenalan peralatan neuroangiografi bi-plane pada pertengahan tahun 1990 dengan
fasilitas fluoroskopik bi-plane simultan dan kemampuan road-map nya serta penggunaan
bahan emboli cair polimerisasi maka AVMs dapat dimusnahkan secara tetap.
Sejajar dengan kemajuan teknologi dan metodologi ini pemahaman kita tentang
manifestasi fenotipik, angioarsitektur, komposisi pembuluh darah intrinsik, yang mendasari
fungsional anatomi vaskular, hemodinamik high-flow dan riwayat alami dari lesi vaskular
17
meningkat secara dramatis pada pengobatan endovaskular AVMs otak yang lebih efisien.
Dalam hal ini, penggunaan tehnik embolisasi semakin maju mulai dari yang sederhana
dengan memblokir feeding arteri sampai menyeleksi dengan sangat hati-hati untuk
memblokir feeders melalui akses super selektif mencapai pusat nya (dalam hal ini: nidus
nya) yang merupakan area dengan shunting patologis kemudian memusnahkannya.
Didasari fakta ini, embolisasi sampai saat ini memegang peranan penting dalam pengelolaan
keseluruhan pasien dengan AVMs otak yang meliputi:
1. Embolisasi pre-operatif atau pre-radiosurgical yang bertujuan mengurangi ukuran
AVM dan/atau memperbaiki hemodinamik (terutama lesi yang besar/raksasa)
2. Embolisasi paliatif (parsial bertarget) bertujuan mengeliminasi daerah lemah yang
diidentifikasi dari angioarsitektur AVM terkait dengan risiko perdarahan atau elemen
vaskular yang bertanggung jawab terhadap kejadian epilepsi, defisit neurologis fokal
atau sakit kepala karena aliran balik dari drainase vena dan hipertensi vena,
hipoperfusi jaringan otak perinidal aliran tinggi dural (dural high-flow). Embolisasi
paliatif disarankan untuk pasien yang memiliki AVMs kortikal dan subkortikal besar
yang tidak bisa dioperasi. dan pada pasien dengan kejang tahan terhadap
manajemen medis atau dengan defisit neurologis progresif dianggap sekunder untuk
venous hypertension dan/atau arterial steal
3. Embolisasi kuratif bertujuan untuk mengeliminasi AVM secara lengkap atau lebih
jarang digunakan pada pembedahan parsial atau bila gagal pengobatan secara
radiosurgical
Pengobatan modern AVMs terdiri dari intervensi sendiri atau dalam kombinasi; operasi,
radiosurgery stereotactic, dan embolisasi. Embolisasi intravaskular AVMs sebagai modalitas
terapi tunggal biasanya hanya dicapai dalam lesi kecil yang diberi makan tidak lebih dari 4
pedikel arteri. Dalam banyak seri, oklusi permanen AVMs otak dengan embolisasi dicapai
dalam 10% sampai 30% kasus.
Embolisasi dapat dimanfaatkan dalam situasi di mana AVMs besar dan tidak bisa diangkat
dengan operasi reseksi atau diobati dengan radiosurgery. Misalnya, jika pasien
membutuhkan operasi tetapi dalam keadaan hypercoaguable dan memerlukan penggunaan
antikoagulan, atau memiliki kondisi medis yang predisposisi untuk perdarahan (hipertensi),
maka embolisasi akan menjadi cara yang ideal untuk menurunkan risiko ini. Perawatan ini
18
bekerja dengan mengurangi aliran AVM dan juga mengurangi ukuran nidus tersebut.
Dengan prosedur ini, peluang keberhasilan dengan radiosurgery sangat baik dan risiko
perdarahan pasca iradiasi kecil. Dalam AVMs, salah satu metode yang populer adalah
menggunakan bahan emboli lem cyanoacrylate seperti N-butil-2-cyanoacrylate (Histoacryl).
Bahan-bahan emboli lem menawarkan lebih banyak keuntungan untuk prosedur
dibandingkan dengan partikel padat seperti polyvinyl alcohol (PVA), silk, coil atau balon.
Misalnya, N-butil-2-cyanoacrylate (NBCA) dapat menyebabkan oklusi permanen sedangkan
bahan emboli padat tidak bisa. Karakteristik dari bahan lem ini sangat berguna, karena
memungkinkan keberhasilan tindakan radiosurgery pada sisa nidus tanpa risiko rekanalisasi
dari nidus yang diembolisasi sebelumnya. Oleh karena itu, bahan lem yang digunakan dalam
situasi ini dapat mencegah pasien dari perdarahan akibat kecenderungan pemakaian bahan
emboli partikel padat sebelumnya.
Selanjutnya, NBCA dapat memberikan hasil embolisasi lebih baik daripada bahan partikel
padat karena kemampuannya untuk mencapai nidus lebih mudah. Partikel padat perlu alat
bantu yang lebih besar dan kaku yaitu dengan menggunakan guidewires untuk penempatan
kateter. Bahkan bila terjadi refluks dari bahan ini ke dalam aliran darah dapat menyebabkan
kerusakan pembuluh darah. Sebaliknya, risiko ini tidak sama besar dengan penggunaan lem
cyanoacrylate yang dapat digunakan dengan bimbingan mikrokateter yang memungkinkan
NBCA menembus AVMs lebih baik dibanding partikel PVA. NBCA juga dapat digunakan pada
konsentrasi rendah dari akrilat lainnya yang menyebabkan hampir tidak ada perekatan pada
kateter. Selain itu, massa emboli yang dihasilkan oleh NBCA lebih kompatibel daripada
bahan-bahan emboli lainnya.
Bahan emboli yang paling umum digunakan adalah n-butilcyanoacrylate (n-BCA), namun
penggunaannya membutuhkan pengalaman dan keterampilan, karena aliran intranidal dan
polimerisasi n-BCA yang cepat dan sebagian besar tak terduga. Akhir-akhir ini, bahan emboli
cairan baru telah tersedia yaitu Onyx yang tampaknya lebih menguntungkan dibanding n-
BCA.
Berbagai bahan telah digunakan untuk embolisasi AVMs, diantaranya: Silastic spheres,
gelfoam, silk suture, dehydrated ethanol, balloons, blood clots. Saat ini digunakan n-butyl
cyanoacrylate, ethylenevinyl alcohol copolyme dan platinum coils juga polyvinyl alcohol
particles (PVA).
19
Secara umum terdapat tiga bahan emboli, yaitu:
1. Solid occlusive devices (coils, silk, threads, balloons)
2. Particulates (polyvinyl alcohol/PVA particles), dan
3. Liquids (cyanoacrylates, Onyx, ethanol)
Solid occlusive devices digunakan untuk mengoklusi direct AV fistula yang besar. Particulates
embolan menggunakan PVA telah digantikan oleh cairan N-butyl cyanoacrylate (NBCA),
sedangkan liquid embolan yang paling direkomendasikan oleh Food and Drug
Administration (FDA) adalah Onyx.
VII. KESIMPULAN
Meningkatnya penggunaan teknik pencitraan maka akan meningkatkan pula kejadian AVMs
asimptomatik. Pada saat ini, kita tidak sepenuhnya memahami riwayat alami dari AVMs
untuk secara tepat memprediksi kemungkinan perdarahan terjadi dan apakah pilihan
pengobatan yang paling tepat dan optimal juga apakah terapi tunggal atau multimodal.
Embolisasi endovaskular selain mengeliminasi secara lengkap miikro AVMs juga digunakan
sebagai adjuvan bersama-sama tindakan microsurgery dan radiosurgery.
Di masa depan, kita perlu melakukan uji coba terkontrol secara acak untuk membandingkan
modalitas pengobatan yang berbeda dan outcome nya.
VIII. KEPUSTAKAAN
1. McCormick WF. The pathology of vascular ("arteriovenous") malformations. J
Neurosurg. 1966; 24(4):807-816.C3
2. Kasirajan K, Ouriel K. Vascular malformation and arteriovenous fistula. In: Greenfield
LJ, ed. Surgery: Scientific Principles and Practice, Vol. 3, 3rd ed. Lippincott Williams &
Wilkins, 2001, Pp 1859–1871
3. Valavanis A. The role of angiography in the evaluation of cerebral vascular
malformations. Neuroimag Clin N Am 1996;6:679–704
4. Berenstein A, Lasjaunias P, terBrugge KG. Goals and objectives in the management of
brain arteriovenous malformations. In: Surgical neuroangiography. Vol. 2.2.
Berlin/Heidelberg: Springer-Verlag; 2004. p. 695–736
5. Valavanis A, Pangalu A, Tanaka M. Endovascular treatment of cerebral arteriovenous
malformations with emphasis on the curative role of embolisation. SCHWEIZER
ARCHIV FÜR NEUROLOGIE UND PSYCHIATRIE. 2004; 155(7):341-346
6. Friedlander RM. Arteriovenous Malformations of the Brain. N Engl J Med 2007;
356:2704-12
20
7. Simon HT, Reef H, Phadke RV, Popovic EA. A population-based study of brain
arteriovenous malformation: longterm treatment outcomes. Stroke 2002;33:2794-
800
8. Stapf C, Mohr JP, John Pile-Spellman, Solomon RA, Sacco RL, and Connolly ES, JR.
Epidemiology and natural history of arteriovenous malformations
9. Yasargil MG. Microneurosurgery. AVM of the Brain, History, Embryology,
Pathological Considerations, Hemodynamics, Diagnostic Studies, Microsurgical
Anatomy. Geotg Thieme Verlag ТЫете Medical Publishers, Inc, Stuttgart • New York,
1987; Vol.4: 3-138
10. Legiehn GM, Heran MKS. Classification, Diagnosis, and Interventional Radiologic
Management of Vascular Malformations. Orthop Clin N Am 2006; 37: 435–474
11. da Costa L, Wallace C, ter Brugge KG, O’Kelly C, Willinsky RA, Tymianski M. The
Natural History and Predictive Features of Hemorrhage From Brain Arteriovenous
Malformations. Stroke. 2009;40:100-105
21
GANGGUAN PSIKOSOMATIK
(dr. Idawati Waromi,SpKJ)
Pendahuluan
Definisi sehat dari WHO (World Health Organization) mencakup kesehatan jasmani,
kejiwaan dan sosial. Yang menjadi tujuan pengobatan bukan sekedar penyembuhan atau
mengurangi gejala atau penyakit, namun meningkatkan kualitas hidup seoptimal mungkin.
Definisi Psikiatri (psychiatry) atau ilmu kedokteran jiwa yaitu cabang spesialistik
Ilmu Kedokteran yang mempelajari patogenesis, diagnosis, terapi, rehabilitasi, pencegahan
gangguan jiwa dan peningkatan kesehatan jiwa.
Orang yang sehat jiwanya adalah orang yang merasa sehat dan bahagia, mampu
menghadapi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya yaitu dapat
berempati dan tidak bersikap negatif terhadap orang atau kelompok lain yang berbeda) dan
mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain.
Manusia sebagaimana ia ada pada suatu waktu, merupakan hasil interaksi antara
badan, jiwa dan lingkungan (fisik dan sosial). Ketiga unsur ini senantias saling
mempengaruhi sejak saat pembuahan. Dengan demikian, maka dalam memecahkan masalah
manusia, kita tidak boleh memisahkan unsur yang satu dari yang lain, akan tetapi harus
memperhatikan serta mempertimbangkan ketiga unsur ini yaitu Biologi-Psikologi-dan Sosial
(biopsiko-sosial) sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh.
Hasil penelitian dalam kurun waktu terakhir ini menunjukan bahwa hampir 80%
pasien yang datang berobat adalah penderita psikosomatik tidak sama dengan perasan cemas
yang hanya menyebabkan ketidaknyamanan sesaat, ketika suatu kejadian terjadi.
Umumnya gangguan psikosomatik di sebabkan oleh beban pikiran yang tidak bisa
tersalurkan. Para penderita gangguan ini selalu ragu dengan kondisi fisiknya. Selain merasa
ragu, mereka juga cenderung menanggapi respon tubuh secara negatif dan berlebihan,
terutama terhadap suatu penyakit, sehingga semakin banyak pula sensasi gejala yang akan
mereka rasakan pada tubuh.
Mereka juga sangat sensitif dalam merespon rasa nyeri daripada orang yang normal.
Hal ini disebabkan ketidakseimbangan serotonin dan nor-epineprin yang merupakan
neurotransmiter penting di otak.
Seperti diketahui, pikiran dapat menyebabkan munculnya gejala atau perubahan pada
fisik seseorang. Contohnya, ketika merasa takut dan cemas, bisa memunculkan tanda-tanda
seperti denyut jantung menjadi cepat, jantung berdebar-debar (palpitasi), mual atau ingin
muntah, gemetaran (tremor), berkeringat, mulut kering, sakit dada, sakit kepala,sakit perut,
napas menjadi cepat, nyeri otot atau nyeri punggung. Gejala fisik tersebut disebabkan oleh
meningkatnya aktivitas listrik atau impuls saraf dari otak ke berbagai bagian tubuh. Selain
itu, pelepasan zat adrenalin (epinefrin) ke dalam aliran darah juga bisa menyebabkan gejala
fisik di atas.
Hingga saat ini, bagaimana persisnya pikiran bisa menyebabkan gejala tertentu dan
mempengaruhi penyakit fisik, seperti ruam kulit atau darah tinggi belum diketahui dengan
jelas. Impuls saraf yang arahnya menuju bagian-bagian tubuh atau otak, di duga dapat
mempengaruhi sel-sel tertentu dalam sistem kekebalan tubuh, sehingga menyebbabkan
timbulnya gejala penyakit.
23
Beberapa Gangguan Psikosomatik
Ketika faktor mental memunculkan gejala penyakit, tetapi penyakit itu sendiri tidak
bisa ditemukan atau di deteksi secara fisik atau mengeluh sakit yang tidak sesuai dengan
gejalanya, berbagai kondisi ini di kelompokan dalam gangguan psikosomatis. Keluhan
psikosomatis terkadang sulit untuk dikenali, baik oleh penderitanya sendiri ataupun oleh
dokter. karena tidak menunjukan tanda dan gejala yang spesifik. Namun satu hal yang pasti,
gangguan ini dapat menyebabkan permasalahan nyata bagi penderita dan orang di sekitarnya.
Beberpa penyakit tertentu memang terbukti dapat di perberat oleh kondisi mental
seseorang. Misalnya pada penyakit psoriasis, tukak lambung, tekanan darah tinggi, diabetes
dan eksim. Kondisi penyakit tersebut tak jarang akan kambuh atau semakin berat ketika
penderitanya mengalami stres atau cemas. Namun secara fisik kondisi tersebut terlihat nyata
dan dalam pemeriksaan fisik akan terdeteksi oleh dokter.
24
Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ III)
F 45 GANGGUAN SOMATOFORM
33 Sistem pernafasan
34 Sistem genitourinaria
Gangguan psikosomatik dpat di atasi atau diringankan dengan beberapa metode terapi
pengobatan, seperti :
Teknik pengalihan
Fisioterapi
Farmakologi obat-batan anti depresan dan anti cemas yang diresepkan dokter
Dalam metode terapi kognitif perilaku, penderita gangguan psikosomatik akan diminta
untuk mencari tahu hal apa saja yang dapat memperburuk gejala. Terapi ini bisa membantu
25
meredakan pikiran yang berlebihan, serta menangani perasaan dan perilaku yang berkaitan
dengan gejala penyakit yang dialami.
Donald Oken menggambarkan suatu cara pendekatan terhadap problem klinis sebagai
“Ilmu Kedokteran Psikosomatik” yaitu melihat ilmu kedokteran sebagai minat bidang ilmiah
terhadap hubungan antara proses-proses biologis, psikologis dan sosial dalam keadaan sehat
dan sakit, yang beorientasi menembus batas spesialisasi kedokteran serta ilmu dasarnya.
Menurut Oken, Ilmu Kedokteran Modern adalah Ilmu Kedokteran Psikosomatik. Dimana
menggunakan dan memanfaatkan data bagi semua disiplin ilmu bersangkutan dan
mengusahakan dasar konseptual bagi pendekatan integritas. Hal ini sering tidak mudah
diterapkan, karena kuatnya kepentingan pengembangan masing-masing bidang spesialis.
Contoh kasus :
Seorang karyawan muda saat di tempat kerja tiba-tiba mengeluh jantung berdebar-debar,
dada sakit dan sesak, keringat dingin, lemas seperti mau pingsan dan pasien sangat ketakutan
akan mati karena serangan jantung. Dibawah ke Unit Gawat Darurat suatu RS, dan setelah di
periksa ternyata tidak ada kelainan jantung atau kegawatan lainnya. Oleh dokternya hal
tersebut diberitahukan kepada pasien, dikatakan tidak usah khawatir, jangan banyak pikiran
dan pasien disuruh pulang. Keesokan harinya pasien mengalami serangan demikian lagi,
bertambah panik dan minta dibawah ke rumah sakit lain, dan dilakukan pemeriksaan dengan
alat canggih dst, dengan hasil baik.
Keadaan demikian bila tidak ditangani dengan benar, dapat terus berulang atau berlanjut dan
keluhannya akan bertambah dengan keluhan-keluhan lainnya, sehingga mengganggu
kemampuan selanjutnya untuk dapat menjalankan fungsi sosialnya dengan baik.
26
Dibidang psikiatri pasien demikian tergolong dalam kategori Gangguan panik (Panic
Disorder) yang bila tidak ditangani dengan benar, akan berlanjut mengalami serangan-
serangan panik disertai rasa takut untuk bepergian sendiri, bahkan seringkali sampai
terganggu kemampuan atau prestasi kerja.
DAFTAR PUSTAKA
- Maramis WF. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Cetakan kesembilan. Penerbit Airlangga
University Press, 2005 : 215
- AD,Lukito. “Gejala Somatik”, Majalah Kesehatan Jiwa. Surabaya. Yayasan Kesehatan jiwa
Aditama
- Sylvia D Elvira, Gitayanti H, Buku Ajar Psikiatri : Badan Penerbit FKUI, Jakarta, 2010
- Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Sinopsis Psikiatri. Jilid satu. Edisi ketujuh. Jakarta :
Binarupa Aksara, 1997
- Tomb,David A.2003. Buku Saku Psikiatri. alih bahasa, Martina Wiwie N; editor edisi bahasa
Indonesia, Tiara Mahatmi N; edisi keenam. Jakarta : EGC
- Kaplan HI, Sadock BJ. 1994. Buku Saku Psikiatri. alih bahasa, Willie Japaries; editor, I Made
Wiguna S; cetakan pertama. Jakarta : Binarupa Aksara
- Direktorat Jendral Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI. 1993. Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia ke III, departemen Kesehatan RI,
Jakarta
- Pedoman Diagnosis dan Terapi, Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa. Rumah Sakit Umum
Dokter Soetomo Surabaya. Edisi III;2004
- Kaplan Harold I., Sadock Benjamin J., dan Grebb Jack A. Gangguan Konversi.Dalam:
Sinopsis Psikiatri Jilid 2. Edisi ke-7. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997.
27
Diagnosis dan Tata Laksana Tuberkulosis pada Pasien HIV AIDS
( dr. Riris Ayu Widyaningrum, SpPD )
Divisi Penyakit Dalam RSUD Biak
Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi
tantangan global. Pada 2017, di tingkat global TB menyebabkan 1,3 juta kematian diantara
pasien HIV negatif dan 300.000 kematian diantara pasien HIV positif. Indonesia
menyumbang 8% dari keseluruhan populasi TB di seluruh dunia pada tahun 2017. Menurut
laporan WHO, insidensi TB di Indonesia 2017 sekitar 319 kasus tiap 100.000 penduduk dan
14 kasus tiap 100.000 penduduk merupakan kasus TB pada pasien HIV AIDS. Kematian
pasien HIV dengan TB berkisar 3,6 kasus tiap 100.000 penduduk.1
Kasus TB resisten obat juga telah menjadi krisis kesehatan dunia. Pada 2017, 558.000
orang di dunia telah terinfeksi TB resisten rifampisin (TB-RR) dan 82% merupakan TB-
MDR. Sebanyak 3,5% kasus TB baru dan 18% dari kasus TB pernah diobati tercatat sebagai
TB-RR dan TB-MDR.1 Di Indonesia, jumlah kasus TB resisten obat (TB-RO) diperkirakan
sebanyak 6700 kasus yang berasal dari 1,9% kasus TB-RO dari kasus baru TB dan 12%
kasus TB-RO dari TB denagn penobatan ulang.4
Diagnosis TB
TB merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
Kuman ini dapat menyerang paru (TB paru) maupun di luar paru (TB ekstra paru). Sumber
penularan adalah pasien TB terutama pasien yang mengandung kuman TB dalam dahaknya.
28
Faktor risiko untuk menjadi sakit TB tergantung dari konsentrasi kuman yang terhirup,
lamanya waktu sejak terinfeksi, usia seseorang yang terinfeksi, tingkat daya tahan tubuh
seseorang, dan infeksi HIV. Orang dengan HIV positif berisiko 20-37 kali untuk sakit TB
dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV. Faktor risiko kematian karena TB
terjadi akibat dari keterlambatan diagnosis, pengobatan tidak adekuat, dan kondisi kesehatan
awal yang buruk. Pada ODHA 25% kematian disebabkan oleh TB. Oleh karena itu perlu
penegakan diagnosis TB yang cepat dan tepat untuk pasien ODHA.3,4
TB ekstraparu memiliki gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena,
misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran
kelenjar limfe superfisialis pada Limfadenitis TB serta deformitas tulag belakang (gibbus)
pada Spondilitis TB. Diagnosis TB ekstraparu ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,
bakteriologis dan atau histopatologis dari contoh uji yang diambil dari organ tubuh yang
terkena.4
29
Diagnosis TB-RO juga diawali dengan penemuan pasien terduga TB-RO, yaitu pasien
TB gagal pengobatan kategori 2, pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan
pengobatan; riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta menggunakan kuinolon; gagal
pengobatan kategori 1; pengobatan kategori 1 tidak konversi setelah 2 bulan pengobatan;
kasus kambuh (relaps) dengan pengobatan OAT kategori 1 dan 2; pasien TB kembali setelah
loss to follow-up; riwayat kontak erat dengan pasien TB-RO; dan pasien koinfeksi TB-HIV
yang tidak respon secara bakteriologis maupun klinis terhadap pemberian OAT.4,5 Selain 9
kriteria tersebut, kasus TB-RO bisa berasal dari kasus baru, utamanya pada kelompok-
kelompok tertentu, seperti pasien TB pada ODHA.5
Semua ODHA yang berkunjung ke layanan kesehatan harus dilakukan skrining gejala
dan tanda TB secara rutin dengan menanyakan 5 gejala utama yaitu batuk (berapapun
lamanya), berat badan menurun, demam, keringat malam dan gejala ekstra paru. Diagnosis
harus ditegakkan dahulu dengan konfirmasi bakteriologis, yaitu pemeriksaan mikroskopis
langsung, TCM atau biakan. Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka
penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis
dan penunjang (setidaknya pemeriksaan foto thoraks) yang sesuai.2
Penatalaksanaan TB
Prinsip pengobatan TB adalah menggunakan OAT yang adekuat, yaitu harus
memenuhi prinsip: diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung minimal 4
macam obat untuk mencegah resistensi; dosis yang tepat; ditelan secara teratur dan diawasi
secara langsung oleh pengawas menelan obat (PMO); serta diberikan dalam jangka waktu
yang cukup dan terbagi dalam 2 (dua) tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Jenis OAT
lini pertama meliputi Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S), dan
Etambutol (E). Paduan OAT yang digunakan di Indonesia adalah; 1) Kategori 1:
2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR). 2) Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau
2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E. 3)Kategori Anak: 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR. 4)
Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin,
Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin, PAS, Bedaquilin,
Clofazimin, Linezolid, Delamanid dan obat TB baru lainnya serta OAT lini-1, yaitu
Pirazinamid and Etambutol. Paduan OAT kategori 1 diberikan untuk asien baru, yaitu pasien
TB paru terkonfirmasi bakteriologis, pasien TB paru terdiagnosis klinis, dan pasien TB ekstra
paru. Sedangkan paduan OAT kategori 2 diberikan pada pasien BTA positif yang pernah
diobati sebelumnya.4
Semua pasien yang sudah terbukti TB-RO harus segera dimulai pengobatan TB-RO
yang baku dan bermutu. Sebelum memulai pengobata harus dilakukan persiapan awal
31
termasuk melakukan beberapa pemeriksaan penunjang. Paduan OAT untuk pasien TB-RO
adalah paduan standar yang mengandung OAT lini kedua dan lini pertama.4
Pada ODHA dengan TB ekstra paru, paduan OAT diberikan paling sedikit 9 bulan (2
bulan RHZE diikuti dengan 7 bulan RH). Pada TB ekstra paru pada sistem saraf pusat
(tuberkuloma atau meningitis) dan TB tulang/sendi, direkomendasikan paling sedikit selama
12 bulan. Terapi ajuvan kortikosteroid sebaiknya ditambahkan pada TB meningitis dan
perikardial. Terapi kortikosteroid dimulai secara IV secepatnya, lalu diubah ke bentuk oral
tergantung perbaikan klinis. Rekomendasi kortikosteroid yang digunakan adalah
deksametason 0,3-0,4 mg/kg di tapering-off selama 6-8 minggu atau prednison 1 mg/kg
selama 3 minggu, lalu tapering-off selama 3-5 minggu. Untuk ODHA dengan TB ekstra paru,
pemantauan kondisi klinis merupakan cara menilai kemajuan hasil pengobatan. Sebagaimana
pada kasus TB BTA negatif, perbaikan kondisi klinis antara lain peningkatan berat badan
ODHA merupakan indikator yang bermanfaat.6
32
Immune-Reconstitution Inflammatory Syndrome (IRIS), dan masalah kepatuhan pengobatan.
Efavirenz (EFV) merupakan golongan NNRTI yang baik digunakan untuk paduan ARV pada
ODHA dalam terapi OAT. Efavirenz direkomendasikan karena mempunyai interaksi dengan
Rifampisin yang lebih ringan dibanding Nevirapin.6
34
KEGAWATDARURATAN HIPERTENSI
dr. Ita Murbani Handajaningrum, MHKes, SpPD-KGH, FINASIM
Nefrologi
PENDAHULUAN
Hipertensi adalah salah satu penyakit kronis dengan prevalensi dan insidens terbesar
di dunia ; diperkirakan akan terus bertambah dan 1.56 miliar penduduk dunia akan menderita
hipertensi pada tahun 2025.
Menurut WHO , hipertensi adalah salah satu kontributor angka kematian terbesar pada tahun
2013 karena kejadian kardiovaskuler (45%) dan berhubungan dengan 51%kematian pada
stroke. Pada tahun 2010, strudi Framingham mendapatkan bahwa 66.8% populasi yang
diobservasi menderita gagal ginjal kronik akibat hipertensi.
Pola prevalensi hipertensi pada saat ini berubah. Studi epidemiologi yang
menggunakan data tahun 1975 hingga 2015 mendapatkan bahwa hipertensi dulunya lebih
sering terdapat dinegara maju, akan tetapi sering berjalannya waktu prevalensi banyak
ditemukan pada negara berkembang.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk terbanyak di dunia dan tingkat
kesehatan yang rendah. Menurut data riset kesehatan dasar (RISKESDAS ) TAHUN 2013,
prevalensi hipertensi di Indonesia 25.8% dan dapat mencapai 39.6% .
Hasil studi tersebut diharapkan dapat memberikan dasar dalam melakukan kegiatan preventif
dan kuratif pada penderita hipertensi untuk mencegah komplikasi hipertensi.
DEFINISI HIPERTENSI
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistole > 140 dan diastole > 90 mmhg
pada dua kali pengukuran dengan selang waktu 5 menit dalam keadaan cukup istirahat.
Hipertensi didefinisikan oleh Joint National Committee on Detection, Evaluation and
Treatment of Hight Blodd Presure sebagai tekanan yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg.
Hipertensi dibagi dua berdasarkan penyebab yaitu, hipertensi primer dan hipertensi sekunder.
Hipertensi primer atau sering disebut hipertensi essensial adalah hipertensi yang terjadi pada
individu tanpa penyebab yang jelas. Hipertensi sekunder adalah hipertensi akibat penyakit
yang dimilki pasien. Selain itu terdapat istilah white coat hypertension dan masked
hypertension.
Pada white coat hypertension yang terjadi adalah pasien menderita tekanan darah
tinggi sesuai dengan kriteria diagnosis hanya pada saat di pemeriksaan klinik, sedangkan
ketika di rumah atau diluar pemeriksaan didapatkan normal. Selain itu masked hypertension
adalah kondisi pasien dengan tekanan darah normal saat pemeriksaan klinis akan tetapi
pasien sebenarnya mempunyai tekanan darah tinggi saat diluar sarana .
Kedua istilah tersebut memberikan dampak susahnya melakukan penilaian tekanan darah
yang laiakurat dan dapat juga menimbulkan kebingungan dalam menetukan kapan terapi
dapat dimulai.
Kriteria diagnosis hipertensi terus berubah seiring dengan waktu. Berbagai
perkumpulan telah membuat panduan klinis dalam mendiagnosis dan tatalaksana hipertensi,
namun terdapat keberagaman dan perubahan pada satu panduan dengan panduan lainnya ,
sehingga panduan yang sering digunakan adalah:
35
Table 1. Kriteria Hipertensi Berdasarkan JNC 7
36
Table 3 . Kriteria Hipertensi Berdasarkan ACC / AHA 2017
KEGAWATDARURATAN HIPERTENSI
Dari populasi Hipertensi (HT), ditaksir 70% menderita HT ringan, 20% HT sedang
dan 10% HT berat. Pada setiap jenis HT ini dapat timbul krisis hipertensi dimana tekanan
darah (TD) sistolik > 180 mmHg dan diastolik sangat meningkat sampai 120 – 130 mmHg
yang merupakan suatu kegawatan medik dan memerlukan pengelolaan yang cepat dan tepat
untuk menyelamatkan jiwa penderita. Kegawatdaruratan hipertensi dikenal dengan krisis
Hipertensi, dimana suatu keadaan yang terjadi akibat banyak faktor yang berperan.
Krisis hipertensi disebut juga kegawatan hipertensi. Krisis hipertensi merupakan suatu
sindrom klinis dengan tanda khas berupa kenaikan tekanan darah sistolik dan diastolik secara
tiba-tiba dan progresif.
Secara praktis krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan perioritas pengobatan,
sebagai berikut :
1. Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg, disertai
kerusakan berat dari organ sasaran yang disebabkan oleh satu atau lebih
penyakit/kondisi akut. Keterlambatan pengobatan akan menyebabkan timbulnya
sequele atau kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu dalam satu sampai
beberapa jam. Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit atau (ICU).
2. Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa
kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam 24
jam sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral.
37
Dikenal beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain :
Krisis hipertensi dapat terjadi pada penderita dengan hipertensi esensial maupun hipertensi
yang terakselerasi. Juga dapat terjadi pada penderita dengan tekanan darah normal
(normotensif). Krisis hipertensi pada penderita yang dulunya normotensif kemungkinan
karena glomerulonefritis akut, reaksi terhadap obat monoamin oksidase inhibitor (MAO),
feokromositoma atau toksemia gravidarum. Sedangkan pada penderita yang telah mengidap
hipertensi kronis, krisis hipertensi terjadi karena glomerulonefritis, pielonefritis, atau
penyakit vaskular kolagen, lebih sering pada hipertensi renovaskuler dengan kadar renin
tinggi.
Krisis hipertensi dapat mengenai usia manapun, dapat mengenai neonatus dengan hipoplasi
arteri ginjal kongenital, anak-anak dengan glomerulonefritis akut, wanita hamil dengan
eklampsia, atau orang yang lebih tua dengan arterisklerotis stenosis pembuluh darah ginjal.
Etiologi terjadinya krisis hipertensi dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
38
Berikut ini beberapa penyakit yang dapat menyertai terjadinya krisis hipertensi :
o Perdarahan intrakranial
o Aneurisma o Preeklampsia
o Eklampsia
PATOFISIOLOGI
1. GEJALA KLINIS
Derajat kenaikan tekanan darah pada kegawatan dan ada tidaknya penyakit pada end organ
sebelumnya sangat menentukan tanda dan keluhan yang ada pada krisis hipertensi. Bila
terdapat keluhan, manifestasinya biasa berupa ensefalopati hipertensi dengan keluhan sakit
kepala, perubahan mental dan gangguan neurologist, mual, muntah, gangguan kesadaran,
39
atau disertai dengan gejala kerusakan end organ seperti (nyeri dada, pemendekan nafas,
kecemasan, gangguan penglihatan, dll).
Pada tingkat permulaan, manifestasi klinis krisis hipertensi dapat hilang seluruhnya tanpa
meninggalkan komplikasi yang menetap. Oleh karena itu diagnosa harus secepatnya
ditegakkan, agar tindakan pengobatan dilakukan dengan cepat dan tepat.
DIAGNOSIS
Diagnosa krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil terapi tergantung
kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan yang
menyeluruh walaupun dengan data-data yang minimal kita sudah dapat mendiagnosa suatu
krisis hipertensi.
1. Anamnesa : Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa singkat. Hal yang penting
ditanyakan :
40
2. Pemeriksaan Fisik :
Pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah setelah beristirahat pada posisi
(baring dan berdiri) pada kedua tangan, mencari kerusakan organ sasaran (retinopati,
gangguan neurologi, payah jantung kongestif) perlu dibedakan komplikasi krisis hipertensi
dengan kegawatan neurologi atau payah jantung, kongestif dan edema paru. Perlu dicari
penyakit penyerta lainnya.
Dilakukan funduskopi untuk melihat : edema retina, perdarahan retina, eksudat pada retina
atau papil edema. Pemeriksaan kardiovaskuler dinilai apakah ada peningkatan tekanan vena
jugularis, bunyi jantung 3, diseksi aorta, defisit nadi. Pemeriksaan neurologi untuk menilai
tanda perubahan neurologis yang segera terjadi atau berkelanjutan. Tanda hipertensi
encephalopaty seperti disorientasi, penekanan gangguan kesadaran, defisit neurologis fokal
dan kejang fokal.
3. Pemeriksaan Penunjang
Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dapat dibedakan hipertensi
emergenci urgensi dari faktor-faktor yang mempresipitasi krisis hipertensi. Keadaan klinis
yang sering mempresipitasi timbulnya krisis hipertensi antara lain :
Krisis hipertensi harus dibedakan dari keadaan yang menyerupai krisis hipertensi seperti
– Hipertensi berat
– Emergensi neurologi yang dapat dikoreksi dengan pembedahan.
– Ansietas dengan hipertensi labil.
– Oedema paru dengan payah jantung kiri.
PENATALAKSANAAN
Tekanan darah yang sedemikan tinggi pada krisis hipertensi haruslah segera diturunkan
karena penundaan akan memperburuk penyakit yang akan timbul baik cepat maupun lambat.
Tetapi dipihak lain penurunan yang terlalu agresif juga dapat menimbulkan berkurangnya
perfusi dan aliran darah ke organ vital terutama otak, jantung dan ginjal. (2) oleh karena itu
penurunan tekanan darah terutama pada hipertensi kronik, harus bertahap dan memerlukan
pendekatan individual.
Sampai sejauh mana tekanan darah harus diturunkan, perlu diperhatikan berbagai factor
antara lain; keadaan hipertensi sendiri (TD segera diturunkan atau bertahap, pengamatan
problem yang menyertai krisis hipertensi, perubahan aliran darah dan autoregulasi tekanan
darah pada organ vital serta pemilihan obat anti hipertensi yang efektif untuk krisis hipertensi
dan monitoring efek samping obat.
Selain itu keadaan klinis pasien juga harus diperhitungkan. Pada penderita dengan aneurisma
aorta desenden akut atau feokromasitoma dengan hipertensi akut, atau setelah mendapat
MAO inhibitor dan pernah mengalami krisis hipertensi, tekanan sistolik dapat diturunkan
menjadi 100-120 mmHg. Demikian juga bila fungsi ginjal normal dan tidak ada riwayat CVD
atau CAD, tekanan darah dapat diturunkan sampai normal. Namun demikian pada penderita
dengan penyakit pembuluh darah otak, penderita penyakit jantung koroner, atau penderita
yang telah mengalami trombosis serebri terutama 6 minggu terakhir, akan berbahaya
42
menurunkan tekanan darah ketingkat normal karena akan memperberat gangguan koroner
atau akan terjadi gangguan serebrovaskuler. Pada beberapa penderita tingkat penurunan
tekanan darah yang aman adalah sampai 160-180 mmHg sistolik dan 100-110 mmHg
diastolik. Kecepatan penurun tekanan darah tergantung pada keadaan klinis penderita.
AUTOREGULASI
Yang dimaksud autoregulasi adalah penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan
dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah
dengan berbagai tingkatan perubahan kontriksi / dilatasi pembuluh darah.
Bila TD turun, terjadi vasodilatasi, jika TD naik timbul vasokonstriksi. Pada individu
normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Arterial Pressure ( MAP ) 60 –
70 mmHg. Bila MAP turun dibawah batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan
oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang berkurang. Bila
mekanisme ini gagal, maka dapat terjadi iskemi otak dengan manifestasi klinik seperti mual,
menguap, pingsan dan sinkope.
Autoregulasi otak ini kemungkinan disebabkan oleh mekanisme miogenic yang disebabkan
oleh stretch receptors pada otot polos arteriol otak, walaupun oleh Kontos dkk. Mengganggap
bahwa hipoksia mempunyai peranan dalam perubahan metabolisme di otak
Bila diagnosa hipertens emergensi telah ditegakkan, maka Tekanan Darah (TD) perlu
diturunkan secara bertahap. Langkah-langkah yang perlu diambil adalah :
o Rawat ICU, pasang femoral intra arterial line dan pulmonary arterial kateter(bila ada
indikasi). Untuk menentukan fungsi kardiopulmoner dan status volume intravaskuler.
43
tidak kurang dari 120 mmHg selama 48 jam pertama, kecuali pada krisis hipertensi tertentu
(misal : disecting aortiic aneurisma)
o Kemudian dilakukan observasi terhadap pasien, jika penurunan tekanan darah awal dapat
diterima oleh pasien dimana keadaan klinisnya stabil, maka 24 jam kemudian tekanan darah
dapat diturunkan secara bertahap menuju angka normal.
o TD secara bertahap diusahakan mencapai normal dalam satu atau dua minggu.
Obat anti hipertensi oral atau parenteral yang digunakan pada krisis hipertensi tergantung dari
apakah pasien dengan hipertensi emergensi atau urgensi. Jika hipertensi emergensi dan
disertai dengan kerusakan organ sasaran maka penderita dirawat diruangan intensive care
unit, ( ICU ) dan diberi salah satu dari obat anti hipertensi intravena ( IV ).
Walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk memberikan obat-obat oral yang cara
pemberiannya lebih mudah tetapi pemberian obat parenteral adalah lebih aman. Dengan
Sodium nitrotprusside, Nitroglycirine, Trimethaphan TD dapat diturunkan baik secara
perlahan maupun cepat sesuai keinginan dengan cara mengatur tetesan infus. Bila terjadi
penurunan TD berlebihan, infus distop dan TD dapat naik kembali dalam beberapa menit.
Demikian juga pemberian labetalol ataupun Diazoxide secara bolus intermitten intravena
dapat menyebabkan TD turun bertahap. Bila TD yang diinginkan telah dicapai, injeksi dapat
di stop, dan TD naik kembali. Perlu diingat bila digunakan obat parenteral yang long acting
ataupun obat oral, penurunan TD yang berlebihan sulit untuk dinaikkan kembali.
Hal yang kurang menguntungkan dengan obat parenteral adalah perlu pengawasan yang tepat
bagi pasien di ICU.
45
Yang menjadi adalah kebanyakan obat-obat parenteral tidak dapat diperoleh secara komersil
di Indonesia. Obat parenteral yang tersedia adalah clonidine. Pengguna clonidone untuk krisis
hipertensi lebih banyak dipakai di Eropa, sedangkan di Amerika bentuk injeksi clonidine
tidak tersedia.
Van Der Hem ( Belanda, 1973 ) menggunakan clonidine intra vena 0,15 mg dan bagi pasien
yang tidak respons dengan satu kali injeksi, digunakan clonidine 0,9 – 1,05 mg dalam 500 ml
Dekstrose dan disis ditittrasi. Hasil yang diperoleh cukup baik dan efek samping yang
minimal.
Penelitian lain di Australia ( 1974 ) menggunakan clonidine intra vena 150 mg atau 300 mg
dalam 10ml NaCl 0,9% secara i.v 5 menit dan mendapat respons yang baik dan efek samping
maksimum dalam 30-60 menit.
Di bagian penyakit Dalam FK USU Medan ( 1989 ), telah diteliti pemakaian clonidine pada
krisis hipertensi dengan cara : Dosis yang digunakan adalah 150mcg ( 1 ampul ) dalam
1000ml deksmenit 5% didalam mikrodrid dan dimulai dengan 12 tetes/menit. Setiap 15 menit
dosis dititrasi dengan menaikkan tetesan dengan 4 tetes setiap kalinya sampai TD yang
diingini diperoleh. Bila TD ini telah dicapai diawasi selama 4 jam dan selanjutnya dengan
obat per oral. Dengan tetesan berkisar 12-104 tetes/menit dapat dicapai TD yang diingini dan
penderita tidak mengalami penurunan TD yang berlebihan. Hasil yang diperoleh yaitu TD
diastolik dapat diturunkan <120mmHg dalam 1 jam dan respons yang baik pada 90,5% kasus.
Kerugian obat ini adalah efek samping yang sering timbul seperti mulut kering, mengantuk
dan depresi. Pada hipertensi dengan tand iskemi cerebral ataupun stroke, obat ini akan
memperberat gejala. (2)
Dari berbagai jenis hipertensi emergensi, obat pilihan yang dianjurkan maupun yang
dihindari adalah sebagai berikut :
46
Sodium nitroprussade
& B – antagonist,
Nitroprusside dan beta Hidralazine, diazoxide,
Aorta Diseksi
bloker (propanolol atau minoxidil
esmolol) labetalol dan
verapamil.
Hydralazine, diazoxide,
labetalol, Ca antagonist Trimethapan, Diuretik,
Eklampsi
& sodium B-antagonist
nitroprussade
Sodium nitroprussade, B-antagonist,
Renal insufisiensi akut
labetalol, Ca antagonist trimethapan
Nitroprusside,
Katekolamin ekses Diuretiks
phentolamin, labetalol
Dari berbagai sediaan obat anti hipertensi parenteral yang tersedia, Sodium nitroprusside
merupakan drug of choice pada kebanyakan hipertensi emergensi. Karena pemakaian obat ini
haruslah dengan cara tetesan intravena dan harus dengan monitoring ketat, penderita harus
dirawat di ICU karena dapat menimbulkan hipotensi berat.
Alternatif obat lain yang cukup efektif adalah Labetalol, Diazoxide yang dapat memberikan
bolus intravena. Phentolamine, Nitroglycerine Hidralazine diindikasikanpada kondisi
tertentu. Nicardipine suatu calsium channel antagonist merupakan obat baru yang diberikan
secara intravena, telah diteliti untuk kasus hipertensi emergensi (dalam jumlah kecil) dan
tampaknya memberikan harapan yang baik.
Dari berbagai penelitian akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menggunakan obat oral
seperti Nifedipine ( Ca antagonist ) Captopril dalam penanganan hipertensi emergensi.
Bertel dkk 1983 mengemukakan hal yang baik pada 25 penderita dengan dengan pemakaian
dosis 10mg yang dapat ditambah 10mg lagi menit. Yang menarik adalah bahwa 4 dari 5
penderita yang diperiksa, aliran darah cerebral meningkat, sedang dengan clonidine yang
diselidiki menurun, walaupun tidak mencapai tahap bermakna secara statistik.
Di Medan dibagian penyakit dalam FK USU pada 1991, telah diteliti efek akut obat oral anti
hipertensi terhadap hipertensi sedang dan berat pada 60 penderita. Efek akut nifedipine dalam
waktu 5-15 menit. Demikian juga dengan clonidine dalam waktu 5-35 menit. Dari hasil ini
diharapkan kemungkinan penggunaan obat oral anti hipertensi untuk krisis hipertensi.
Pada tahun 1993 telah diteliti penggunaan obat oral nifedipine sublingual dan captopril pada
penderita hipertensi krisis memberikan hasil yang cukup memuaskan setelah menit ke 20.
Captopril dan Nifedipine sublingual tidak berbeda bermakna dalam Menurunkan TD.
47
Captoprial 25mg atau Nifedipine 10mg digerus dan diberikan secara sublingual kepada
pasien. TD dan tanda Vital dicatat tiap lima menit sampai 60 menit dan juga dicatat tanda-
tanda efek samping yang timbul. Pasien digolongkan nonrespons bila penurunan TD diastolik
<10mmHg setelah 20 menit pemberian obat. Respons bila TD diastolik mencapai
<120mmHg atau MAP <150mmHg dan adanya perbaikan simptom dan sign dari gangguan
organ sasaran yang dinilai secara klinis setelah 60 menit pemberian obat. Inkomplit respons
bila setelah 60 menit pemberian obat. Inkomplit respons bila setelah 60 menit TD masih
>120mmHg atau MAP masih >150mmHg, tetapi jelas terjadi perbaikan dari simptom dan
sign dari organ sasaran.(2)
Namun pada saat sekarang ini, penggunaan calcium chanel blokers seperti durasi pendek dari
nifedipine (baik oral maupun sublingual) tidak lagi direkomendasikan untuk pengobatan
hipertensi urgensi, sebab dapat menyebabkan hipotensi yang berakhir dengan terjadinya
cerebral iskemia.
Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit. Sebaiknya
penderita ditempatkan diruangan yang tenang, tidak terang dan TD diukur kembali dalam 30
menit. Bila TD tetap masih sangat meningkat, maka dapat dimulai pengobatan. Umumnya
digunakan obat-obat oral anti hipertensi dalam menggulangi hipertensi urgensi ini dan
hasilnya cukup memuaskan.
1. Nifedipine : pemberian bisa secara sublingual (onset 5-10 menit).Buccal (onset 5 –10
menit),oral (onset 15-20 menit),duration 5 – 15 menit secara sublingual/buccal). Efek
samping : sakit kepala, takhikardi, hipotensi, flushing, hoyong.
2. Clonidine : Pemberian secara oral dengan onset 30 – 60 menit Duration of Action 8-
12 jam. Dosis : 0,1-0,2 mg,dijutkan 0,05mg-0,1 mg setiap jam s/d 0,7mg. Efek
samping : sedasi, mulut kering.Hindari pemakaian pada 2nd degree atau 3rd degree,
heart block, brakardi,sick sinus syndrome.Over dosis dapat diobati dengan tolazoline.
3. Captopril : pemberian secara oral/sublingual. Dosis 25mg dan dapat diulang setiap 30
menit sesuai kebutuhan. Efek samping : angio neurotik oedema, rash, gagal ginjal
akut pada penderita bilateral renal arteri sinosis.
4. Prazosin : Pemberian secara oral dengan dosis 1-2mg dan diulang perjam bila perlu.
Efek samping : first dosyncope, hipotensi orthostatik, palpitasi, takhikardi dan sakit
kepala.
Dengan pemberian Nifedipine ataupun Clonidine oral dicapai penurunan MAP sebanyak 20
% ataupun TD<120 mmHg. Demikian juga Captopril, Prazosin terutama digunakan pada
penderita hipertensi urgensi akibat dari peningkatan katekholamine. (2,4)
Perlu diingat bahwa pemberian obat anti hipertensi oral/sublingual dapat menyebabkan
penurunan TD yang cepat dan berlebihan bahkan sampai kebatas hipotensi (walaupun hal ini
jarang sekali terjadi).
Dikenal adanya “first dose” effek dari Prozosin. Dilaporkan bahwa reaksi hipotensi akibat
pemberian oral Nifedifine dapat menyebabkan timbulnya infark miokard dan stroke.
48
Dengan pengaturan titrasi dosis Nifedipine ataupun Clonidin biasanya TD dapat diturunkan
bertahap dan mencapai batas aman dari MAP.
Penderita yang telah mendapat pengobatan anti hipertensi cenderung lebih sensitive terhadap
penambahan terapi.Untuk penderita ini dan pada penderita dengan riwayat penyakit
cerebrovaskular dan koroner, juga pada pasien umur tua dan pasien dengan volume depletion
maka dosis obat Nifedipine dan Clonidine harus dikurangi.Seluruh penderita diobservasi
paling sedikit selama 6 jam setelah TD turun untuk mengetahui efek terapi dan juga
kemungkinan timbulnya orthotatis. Bila gejala penderita yang diobati tidak berkurang maka
sebaiknya penderita dirawat dirumah sakit.
KOMPLIKASI
PROGNOSIS
Sebelum ditemukannya obat anti hipertensi yang efektif survival penderita hanyalah 20%
dalam 1 tahun.Kematian sebabkan oleh uremia (19%), payah jantung kongestif (13%),
cerebro vascular accident (20%),payah jantung kongestif disertai uremia (48%), infrak Mio
Card (1%), diseksi aorta (1%).
Prognose menjadi lebih baik berkat ditemukannya pengobatan modern dan penaggulangan
penderita gagal ginjal dengan analysis dan transplanta ginjal.
Pada tahun 1939, survival dalam 1 tahun berkisar 21 % dan survival 5 tahun kurang dari 1%.
Whitworth melaporkan dari penelitiannya sejak tahun 1980, survival dalam 1 tahun berkisar
94% dan survival 5 tahun sebesar 75%.Tidak dijumpai hasil perbedaan diantara retionopati
KWIII dan IV.Serum creatine merupakan prognostik marker yang paling baik dan dalam
studinya didapatkan bahwa 85% dari penderita dengan creatinite <300 umol/l memberikan
hasil yang baik dibandingkan dengan penderita yang mempunyai fungsi ginjal yang jelek
yaitu 9 %.
Pada tahun 1995 survival dalam 1 tahun sebesar 95 % dan survival 5 tahun 74 %. Dan
kematian terbesar disebabkan oleh keadaan kronik, gagal ginjal terminal (40%), stroke
(24%), Infark Miokard (11%) dan gagal jantung (10%).
KESIMPULAN
Krisis hipertensi terjadi jika terjadi kenaikan tekanan darah secara kritis, dimana
tekanan diastole mencapai 120 sampai 130 mmHg.
Hipertensi urgensi perlu dibedakan dengan hipertensi emergensi agar dapat memilih
pengobatan yang memadai bagi penderita.
49
Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg, disertai
kerusakan berat dari organ sasaran yang disebabkan oleh satu atau lebih
penyakit/kondisi akut. Keterlambatan pengobatan akan menyebabkan timbulnya
sequele atau kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu dalam satu sampai
beberapa jam. Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit atau (ICU).
Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa
kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam 24
jam sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral.
Dalam memberikan terapi perlu diperhatikan beberapa factor :
Besarnya tekanan darah yang diturunkan umumnya 25 % dari MAP ataupun tidak
lebih rendah dari 170-180/100 mmHg.
Pemakaian obat parenteral untuk hipertensi emergensi lebih aman karena TD dapat
diatur sesuai keinginan, sedangkan dengan obat oral TD kurang dapat dikontrol.
Drug of Choice untuk hipertensi emergensi adalah sodium nitroprusside.
Nifedipin, clonidine merupakan oral anti hipertensi yang terpilih untuk hipertensi
urgensi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Working team, 2003, The Seventh Report of the Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7), U
. S . Department and Human Service,
2. Abdul Majid, 2004, Krisis Hipertensi Aspek Klinis dan Pengobatan, Bagian Fisiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Digitized by USU digital Library.
3. Idham Idris, M. Kasim. Krisis Hipertensi dalam Buku Ajar Kardiologi, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
4. Amy Bales, MD, 1999, Hypertensive Crisis, Volume 105, Number 5, Postgraduate
Medicine Online
5. Nursebob, Hypertensive Crisis in Critical Care, http://rnbob.tripod.com/hyperten.htm
6. Luc Lanthier, MD, FRCPC; and Danielle Pilon, MD, MSc, FRCPC, 2002
Recognizing Hipertensive Crisis, The Canadian Journal of CME.
7. Donald Vilt, MD, 2006, Hipertensive Crisis
Acutehttp://www.clevelandclinicmeded.com/diseasemanagement/nephrology/crises/cr
ises.htm
8. William T. Branch, Jr, R. Wayne Alexander, Robert C Schlant, J. Willis Hurst, 2000,
Cardiology In Primary Care, The Mc Graw – Hill Companies, Inc, Singapore
9. Riaz Kamran, Hypertensive Heart Disease, Available from :
http:/www.emedicine.com. 2006
10. Sharma Sat, Hypertension. Available from: http:/www.emedicine.com. 2006
11. Budi Susetyo Pikir, 1997, Penatalaksanaan Komplikasi Kardiovaskuler pada
Hipertensi
50
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA BELL’S PALSY
DI FASILITAS KESEHATAN PRIMER
( Dr. dr. Dwi Pudjonarko, M.Kes, Sp.S(K) / dr. Marliani Afriastuti, Sp.S )
PENDAHULUAN
Bell’s Palsy merupakan suatu sindroma yang mengenai nervus fasialis perifer. Bell’s Palsy
ditemukan pada tahun 1821 oleh seorang ahli Anatomi dan Bedah, Sir Charles Bell
(Skotlandia).
DEFINISI
Bell’s Palsy adalah paralisis fasialis perifer idiopatik, yang merupakan penyebab tersering
dari paralisis fasialis perifer unilateral. Bell’s palsy muncul mendadak (akut), unilateral,
berupa paralisis saraf fasialis perifer, yang secara gradual dapat mengalami perbaikan.
EPIDEMIOLOGI
Bells’s palsy terjadi pada sekitar 25 dari 100.000 orang per tahun. Di Indonesia, kasus Bell’s
palsy sebanyak 19,55% dari seluruh kasus neuropati, dan terbanyak terjadi pada kelompok
usia 21-30 tahun. Bell’s palsy lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati
perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita
didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan.
ETIOLOGI
1. Teori Iskemik Vaskuler
Gangguan regulasi sirkulasi darah di kanalis fasialis
2. Teori Infeksi Virus
Herpes Simpleks Virus (HSV) khusunya tipe 1
3. Teori Herediter
Kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau keluarga
4. Teori Imunologi
Reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum
\pemberian imunisasi
PATOFISIOLOGI
51
GAMBARAN KLINIS
− Timbul mendadak, disadari penderita, atau perlahan kurang dari 4 hari
− Umumnya unilateral, namun bisa juga bilateral (jarang)
− Sisi wajah yang terkena:
1. Hilangnya smeua gerak volunter (lumpuh total)
2. Lipatan nasolabialis hilang, sudut mulut turun, kelopak mata tak dapat
dipejamkan, kerut dahi hilang → ekspresi wajah tidak ada
3. Tanda Bell (+) : bila penderita diminta memejamkan mata, terlihat:
lagoftalmus dan bola mata dorsorotasi (berputar ke atas)
4. Kedipan mata berkurang → iritasi debu/angin
5. Saat bernapas, pipi menggembung (paresis m. buccinator) → makanan
cenderung mengumpul di antara pipi dan gusi ke sisi lain
6. Gangguan pengecapan 2/3 lidah depan (korda timpani terkena)
7. Hiperakusis (saraf ke m. stapedius terlibat)
8. Gangguan produksi air mata (lesi pada ganglion geniculatum) → tes schimmer
PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan neurologis
b. Pemeriksaan sekresi air mata (Tes Schirmer)
3. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
b. EMG
c. Radiologis
d. Pemeriksaan telinga dan audiometri
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding Bell’s Palsy antara lain:
1. Stroke Vertebrobasilaris
2. Neurinoma akustikus dan lesi di Cerebellopontin Angle
3. Otitis media akut atau kronik
4. Sindroma Ramsay Hunt
5. Amiloidosis
6. Aneurisma a. vertebralis, a. basilaris, atau a. carotis
7. Sindroma autoimun
8. Botulismus
9. Karsinomatosis
10. Cholesteatoma telinga tengah
11. Malformasi kongenital
12. Schwannoma n. fasialis
52
13. Infeksi ganglion genikulatum
14. Penyebab lain, mis. Trauma kepala
GRADING
Menurut House and Brackmann:
1. Grade I
→ fungsi fasialis normal
2. Grade II
Disfungsi fasialis ringan. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:
a. Kelemahan ringan saat dilakukan inspeksi secara detil
b. Sinkinesis ringan dapat terjadi
c. Simetris normal saat istirahat
d. Gerakan dahi sedikit sampai baik
e. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan sedikit usaha
f. Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan
3. Grade III
Disfungsi fasialis moderat, dengan karakteristik:
a. Asimetri kedua sisi terlihat jelas, kelemahan minimal
b. Adanya sinkinesis, kontraktur atau spasme hemifasial dapat ditemukan
c. Simetris normal saat istirahat
d. Gerakan dahi sedikit sampai moderat
e. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan usaha
f. Sedikit lemah gerakan mulut dengan usaha maksimal
4. Grade IV
Disfungsi fasialis moderat sampai berat, dengan karakteristik:
a. Kelemahan dan asimetri jelas terlihat
b. Simetris normal saat istirahat
c. Tidak terdapat gerakan dahi
d. Mata tidak menutup sempurna
e. Asimetris mulut dilakukan dengan usaha maksimal
5. Grade V
Disfungsi fasialis berat, dengan karakteristik:
a. Hanya sedikit gerakan yang dapat dilakukan
b. Asimetris juga terdapat pada saat istirahat
c. Tidak terdapat gerakan pada dahi
d. Mata menutup tidak sempurna
e. Gerakan mulut hanya sedikit
6. Grade VI
Paralisis fasialis total, dengan karakteristik/kondisi:
a. Asimetris luas
b. Tidak ada gerakan otot-otot wajah
53
Dengan sistem grading House and Brackmann, grade I dan II menunjukkan hasil yang baik,
grade III dan IV terdapat disfungsi moderat, sementara grade V dan VI menunjukkan hasil
yang buruk. Grade VI disebut dengan paralisis fasialis komplit. Grade yang lain disebut
sebagai paralisis fasialis inkomplit. Paralisis fasialis inkomplit dinyatakan secara anatomis
dan dapat disebut sengan saraf intak secara fungsional. Grade ini seharusnya dicatat pada
rekam medik pasien pada saat pertama kali datang memeriksakan diri.
EVALUASI KEMAJUAN
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan status neurologis dapat ditemukan paresis N. VII tipe perifer. Untuk
mengevaluasi kemajuan motorik penderita Bell’s Palsy digunakan skala Ugo Fisch.
Persentase (%)
Posisi Nilai Skor
(0, 30, 70, 100)
Istirahat 20
Mengerutkan dahi 10
Menutup mata 30
Tersenyum 30
Bersiul 10
TOTAL
Penilaian persentase:
Untuk kategori evaluasi global (physician global evaluation), penilaiannya adalah jumlah
skor (persentase) untuk 5 aspek penilaian dibagi dengan 5
Untuk kategori evaluasi detil (physician detailed evaluation), penilaiannya adalah mengubah
nilai persentase menjadi nilai poin.
Contoh:
− Diam : 20
− Mengerutkan dahi : 10
− Menutup mata : 30
− Tersenyum : 30
− Bersiul : 10
54
Misal menutup mata dinilai fair, maka skornya adalah 70% x 30 = 21
Nilai akhir adalah jumlah skor dari 5 aspek penilaian.
KOMPLIKASI
PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan pada kasus Bell’s palsy adalah untuk memperbaiki fungsi N. VII (saraf
fasialis) dan mencegah kerusakan lebih lanjut. Pengobatan dipertimbangkan untuk mulai
diberikan pada pasien dalam fase awal, yaitu 1-4 hari onset.
55
Pengobatan Inisial
Kortikosteroid (Prednison)
Dosis 1 mg/kg atau 60 mg/hari selama 6 hari, diikuti penurunan bertahap total selama
10 hari
Steroid dan asiklovir (dengan prednison)
Mungkin efektif untuk pengobatan Bell’s palsy (American Academy of
Neurology/AAN, 2011)
Steroid kemungkinan kuat efektif dan meningkatkan perbaikan fungsi saraf kranial,
jika diberikan pada onset awal (AAN, 2012)
Apabila tidak ada gangguan fungsi ginjal, antiviral (Asiklovir) dapat diberikan dengan
dosis 400 mg oral 5 kali sehari selama 7-10 hari. Jika virus varicella zooster dicurigai,
dosis tinggi 800 mg oral 5 kali/hari.
Lindungi mata
Perawatan mata: lubrikasi okular topikal dengan air mata artificial (tetes air mata
buatan) dapat mencegah corneal exposure
Fisioterapi atau akupunktur
Kriteria:
PROGNOSIS
Prognosis penderita Bell’s palsy pada umumnya baik, kondisi terkendali dengan pengobatan,
dan kesembuhan terjadi dalam waktu 3 minggu pada 85% pasien. Bell’s palsy dapat
meninggalkan gejala sisa (sekuele) berupa kelemahan fasial unilateral, sinkinesis, spasme
hemifasialis, dan terkadang terjadi rekurensi, sehingga perlu evaluasi dan rujukan lebih
lanjut. Paralisis komplit dan nyeri berat pada stadium awal menunjukkan prognosis yang
kurang baik.
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
116
117
118
119
120
121
KEGAWATDARURATAN BEDAH
dr. William Alfred LP, MHKes, SpB, SpB(K)Onk
Semarang
Gawat darurat
adalah suatu keadaan bila tidak dilakukan tindakan segera dapat
mengakibatkanseseorang kehilangan organ / anggota tubuhnya atau dapat
mengancam jiwa.
Tujuan:
1. Mengenal jenis kegawatdaruratan bedah
2. Mempelajari penanganan
3. Menurunkan keterlambatan diagnosis
4. Mencegah injury sekunder
Prinsip penanganan:
1. Life saving
a. Identifikasi injury yang mengancam kehidupan
b. Resusitasi yang tepat
2. Mempertahankan keadaan vital
a. Pemeriksaan fisik
b. Resusitasi lanjutan
3. Evaluasi dan penanganan definitif
a. Pemeriksaan penunjang
b. Konsultasi
123