Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sekam Padi


Sekam padi merupakan bagian pelindung terluar dari padi (Oryzae Sativa).
Dari proses penggilingan dihasilkan sekam sebanyak 20-30%, dedak 8-12% dan
beras giling 52% bobot awal gabah (Sriyanto dan Darwanta, 2017).

Gambar 2.1. Sekam Padi (https://id.wikipedia.org/wiki/Sekam,2020)

Komposisi kimia sekam padi dapat dilihat pada tabel 2.1.


Tabel 2.1. Komposisi Kimia Sekam Padi (% berat)
Komponen % Berat
Silika 13,16 - 29,04
Kadar air 32,40 - 11,35
Protein kasar 1,70 - 7,26
Lemak 0,38 - 2,98
Serat 31,37 - 49,92
Selulosa 34,34 - 43,80
Abu 13,16 - 29,04
Lignin 21,40 - 46,97
(Hayati, Pardoyo, dan Azmiyawati, 2017)

Ketika sekam padi dibakar maka akan menghasilkan abu sekam padi.
Pembakaran abu sekam padi akan menghasilkan hasil yang berbeda dapat dilihat
dari perbedaan suhu pada saat pembakaran, ada pembakaran yang sempurna dan
ada juga yang pembakaran tidak sempurna. Komposisi abu sekam padi adalah
sebagai berikut:
Tabel 2.2. Komposisi Abu Sekam Padi
Komponen % Berat
SiO2 86,90 - 97,30
K2O 0,58 - 2,50
N2O 0,00 - 1,75
CaO 0,20 - 1,50
MgO 0,12 - 1,96
Fe2O3 0,00 - 0,54
P2O5 0,20 - 2,84
SO3 0,10 - 1,13
Cl 0,00 - 0,42
(Coniwanti, Srikandhy, dan Apriliyanni, 2017)

3
4

Dari tabel 2.2 dapat dilihat hasil analisis komposisi kimia abu sekam padi
menunjukkan kandungan silika (SiO2) 86,90-97,30%. Abu sekam padi apabila
dibakar pada suhu tinggi (500-700oC) akan menghasilkan abu silika yang dapat
dimanfaatkan untuk berbagai proses kimia (Agung, 2013). Tingginya kadar silika
dalam abu sekam padi memberikan kemungkinan untuk memanfaatkan abu sekam
padi sebagai bahan dasar untuk sintesis nanosilika.

2.2 Silika (SiO2)


Silika adalah senyawa hasil polimerisasi asam silikat yang tersusun dari
rantai satuan SiO4 tetrahedral dengan formula umum SiO2. Silika merupakan
komposisi paling bessar dari sekam padi yaitu sekitar 90% dari total komposisi
penyusun sekam padi lainnya (Coniwanti, 2009). Silika yang dihasilkan dari
sekam padi memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan silika mineral,
dimana silika sekam padi memiliki butiran halus, lebih reaktif, dapat diperoleh
dengan cara mudah dengan biaya yang relatif murah, serta didukung oleh
ketersediaan bahan baku yang melimpah dan dapat diperbaharui. Dengan
kelebihan tersebut, menunjukkan silika sekam padi berpotensi cukup besar untuk
digunakan sebagai sumber silika, yang merupakan bahan material yang memiliki
aplikasi yang cukup luas penggunaannya (Agung, 2013).

2.3 Teknologi Nano


Nano merupakan satuan panjang sebesar sepermiliar meter (1 nm = 10-9 m).
Nano berasal dari kata yunani yang berarti kerdil, kemudian diturunkan menjadi
kata nanometer. Jadi, teknologi nano adalah teknologi pada skala nanometer.
Secara umum, sintesis partikel nano tebagi dalam dua pendekatan.
Pendekatan pertama adalah memecah partikel berukuran besar menjadi partikel
berukuran nanometer. Pendekatan ini disebut pendekatan top-down. Pendekatan
kedua adalah memulai dari atom-atom atau molekul-molekul yang membentuk
partikel berukuran nanometer yang dikehendaki. Pendekatan ini disebut bottom-
up. Kedua pendekatan tersebut berperan sangan penting dalam teknologi nano.
Keunggulan pendekatan top-down adalah kemampuannya untuk
menghasilkan sifat atau kesatuan pada suatu lokasi yang tepat, namun pendekatan
ini memiliki kelemahan yaitu menyebabkan terjadinya tekanan internal di
5

samping kerusakan permukaan dan kontaminasi. Sebaliknya, pendekatan bottom-


up mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk memperoleh struktur nano
dengan cacat lebih sedikit dan komposisi kimia yang lebih homogen. (Ariningsih,
2016).

2.4 Nanosilika
Nanopartikel silika merupakan silika yang dibuat dalam skala nano (10 -9 m)
yang saat ini penggunaannya pada bidang industri semakin meningkat. Kondisi
ukuran partikel bahan baku yang diperkecil membuat produk memiliki sifat
berbeda yang dapat meningkatkan kualitas. Pemanfaatan silika yang paling
banyak digunakan dan komersial adalah sebagai bahan utama industri gelas dan
kaca serta sebagai bahan baku pembuatan sel surya. Silika digunakan sebagai
filler dalam pembuatan produk karet ban kendaraan untuk meningkatkan kinerja
ban pada kondisi basah dan menambah keawetan ban serta mengurangi dampak
gesekan antara jalan dengan permukaan ban (Andreas, 2016).

Gambar 2.2. Nanosilika (http://m.indonesian.paintflatteningagent.com/best-


organic-silica-powder, 2020)

Nanopartikel silika telah terbukti penting dalam beberapa aplikasi


bioteknologi dan biomedis seperti biosensor, pembawa obat, pelindung sel, agen
pembeda pada Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan ultrasound, dan alat
terapi pada sistem pelepasan obat atau enzim. Beberapa metode yang banyak
digunakan untuk mensintesis nanopartikel silika diantaranya sol-gel, mikroemulsi
terbalik dan sintesis api. Sol-gel secara luas digunakan untuk memproduksi silika
murni karena kemampuannya untuk mengontrol ukuran partikel, distribusi ukuran
dan morfologi melalui pemantauan sistematis parameter reaksi (Rahman dan
Padavettan, 2012).
6

2.5 Adsorpsi
Adsorpsi didefenisikan sebagai proses terserapnya molekul adsorbat pada
permukaan padat atau zat cair dalam adsorpsi, molekul-molekul yang teradsorpsi
tersebut akan menahan molekul-molekul lain sehingga akhirnya akan menumpuk
membentuk suatu lapisan multimolekul.
Menurut Langmuir, molekul teradsorpsi ditahan pada permukaan oleh gaya
valensi yang tipenya sama dengan yang terjadi antara atom-atom dalam molekul.
Karena adanya ikatan kimia maka pada permukaan adsorbent akan terbentuk
suatu lapisan atau layer, dimana terbentuknya lapisan tersebut akan menghambat
proses penyerapan selanjutnya oleh batuan adsorbent sehingga efektifitasnya
berkurang. Hubungan antara banyaknya zat yang teradsorpsi per satuan luas atau
per satuan berat adsorban, dengan konsentrasi zat terlarut pada temperatur tertentu
disebut isoterm adsorpsi. Umumnya terdapat 3 jenis isoterm adsorpsi, yaitu:
a. Isoterm Adsorpsi Langmuir
Pada tahun 1918, Langmuir menurunkan teori isotherm adsorpsi dengan
menggunakan model sederhana berupa padatan yang mengadsorpsi gas pada
permukaannya. Pendekatan Langmuir meliputi lima asumsi mutlak, yaitu:
1. Gas yang teradsorpsi berkelakuan ideal dalam fasa uap
2. Gas yang teradsorpsi dibatasi sampai lapisan monolayer
3. Permukaan adsorbat homogen, artinya afinitas setiap kedudukan ikatan untuk
molekul gas sama
4. Tidak ada antaraksi lateral antar molekul adsorbat
5. Molekul gas yang teradsorpsi terlokalisasi, artinya mereka tidak bergerak pada
permukaan lapisan adsorbat
monolayer

adsorban
Gambar 2.3. Pendekatan Isoterm Adsorpsi Langmuir (Handayani dan
sulistiyono, 2009)

Pada kesetimbangan, laju adsorpsi dan desorpsi gas adalah sama. Bila θ
menyatakan fraksi yang ditempati oleh adsorbat dan P menyatakan tekanan gas
yang teradsorpsi, maka
k1  k 2 P (1   ) ... (1)
7

dengan k1 dan k2 masing – masing merupakan tetapan laju adsorpsi dan desorpsi.
Jika didefinisikan a = k1 / k2, maka

P
 
(a  P ) ... (2)

Pada adsorpsi monolayer, jumlah gas yang teradsorpsi pada tekanan P (y)
dan jumlah gas yang diperlukan untuk membentuk lapisan monolayer
dihubungkan dengan θ melalui persamaan
y
 
ym ... (3)

ym P
y
aP ... (4)

Teori isotherm adsorpsi Langmuir berlaku untuk adsorpsi kimia, dimana


reaksi yang terjadi adalah spesifik dan umumnya membentuk lapisan monolayer.

b. Isoterm Adsorpsi BET


Teori isoterm adsorpsi BET merupakan hasil kerja dari S. Brunauer, P.H.
Emmet, dan E. Teller. Teori ini menganggap bahwa adsorpsi juga dapat terjadi di
atas lapisan adsorbat monolayer. Sehingga, isotherm adsorpsi BET dapat
diaplikasikan untuk adsorpsi multilayer. Keseluruhan proses adsorpsi dapat
digambarkan sebagai berikut:
1. Penempelan molekul pada permukaan padatan (adsorban) membentuk
lapisan monolayer
2. Penempelan molekul pada lapisan monolayer membentuk lapisan
multilayer
lapisan adsorbat multilayer

adsorban
Gambar 4. Pendekatan Isoterm Adsorpsi BET (Handayani dan Sulistiyono, 2009)
8

Adsorban dan pada lapisan adsorbat monolayer didefinisikan sebagai


konstanta c. Lapisan adsorbat akan terbentuk sampai tekanan uapnya mendekati
tekanan uap dari gas yang teradsorpsi. Pada tahap ini, permukaan dapat dikatakan
”basah (wet)”. Bila V menyatakan volume gas teradsorpsi, Vm menyatakan volume
gas yang diperlukan untuk membentuk lapisan monolayer, dan x adalah P/P*,
maka isotherm adsorpsi BET dapat dinyatakan sebagai

V cx

Vm (1  x)(1  x  cx) ... (5)

Kesetimbangan antara fasa gas dan senyawa yang teradsorpsi dapat


dibandingkan dengan kesetimbangan antara fasa gas dan cairan dari suatu
senyawa. Dengan menggunakan analogi persamaan Clausius – Clapeyron, maka

d  ln P  H ads
 ... (6)
dT RT 2

dimana ΔHads adalah entalpi adsorpsi. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa
tekanan kesetimbangan dari gas teradsorpsi bergantung pada permukaan dan
entalpi adsorpsi.

c. Isoterm Adsorpsi Freundlich


Adsorpsi zat terlarut (dari suatu larutan) pada padatan adsorban merupakan
hal yang penting. Aplikasi penggunaan prinsip ini antara lain penghilangan warna
larutan (decolorizing) dengan menggunakan batu apung (charcoal) dan proses
pemisahan dengan menggunakan teknik kromatografi.
Pendekatan isotherm adsorpsi yang cukup memuaskan dijelaskan oleh H.
Freundlich. Menurut Freundlich, jika y adalah berat zat terlarut per gram adsorban
dan c adalah konsentrasi zat terlarut dalam larutan, maka
y = k c1/n ... (7)

1
log y  log k  log c ... (8)
n
9

dimana k dan n adalah konstanta empiris. Plot log y terhadap log c atau log P
menghasilkan kurva linier. Dengan menggunakan kurva tersebut, maka nilai k
dan n dapat ditentukan.

Gambar 2.5. Plot isotherm Freundlich untuk adsorpsi H2 pada tungsten (400oC)
(Handayani dan Sulistiyono, 2009)

2.5.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adsorpsi


Secara umum adsorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
a. Adsorben
Tiap jenis adsorben mempunyai karakteristik tersendiri. Adsorben yang baik
untuk mengadsorpsi zat yang satu belum tentu baik untuk mengadsorpsi zat yang
lain.
b. Adsorbat
Adsorbat berupa zat elektrolit maupun non elektrolit. Untuk zat elektrolit
adsorpsinya besar, karena mudah mengion sehingga antara molekul-molekul
saling tarik-menarik, untuk zat nonelektrolit adsorpsinya kecil karena tidak
mengalami ionisasi.
c. Luas Permukaan Adsorben
Proses adsorpsi tergantung pada banyaknya tumbukan yang terjadi antara
partikel-partikel adsorbat dan adsorben. Tumbukan efektif antara partikel itu akan
meningkat dengan meningkatkanya luas permukaan. Jadi, semakin luas
permukaan adsorben maka adsorpsi akan semakin besar sebab kemungkinan
adsorbat untuk diadsorpsi juga semakin besar.

2.6 Adsorben
10

Adsorben merupakan zat padat yang dapat menyerap komponen tertentu


dari suatu fluida (Saragih, 2009). Kebanyakan adsorben adalah bahan-bahan yang
sangat berpori dan adsorpsi berlangsung terutama pada dinding pori-pori atau
pada letak-letak tertentu di dalam partikel itu.
Pemisahan terjadi karena perbedaan bobot molekul atau karena perbedaan
polaritas yang menyebabkan sebagian molekul melekat pada permukaan tersebut
lebih berat daripada molekul lainnya. Adsorben yang digunakan secara komersial
dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu kelompok polar dan nonpolar (Saragih,
2009).
Adsorben polar disebut juga hydrophilic. Jenis adsorben yang termasuk ke
dalam kelompok ini adalah silika gel, alumina aktif, dan zeolit. Adsorben non
polar disebut juga hydrophobic. Jenis adsorben yang termasuk ke dalam
kelompok ini adalah polimer adsorben dan karbon aktif.

2.7 Air Sungai


Air sungai termasuk ke dalam air permukaan yang banyak dihunakan oleh
masyarakat seperti, mencuci, mandi, sumber air minum dan pengairan sawah.
Selain itu sungai banyak digunakan untuk keperluan manusia seperti tempat
penampungan air, sarana transportasi, pengairan sawah, keperluan perternakan,
keperluan industri, perumahan, daerah tangkapan air, pengendali banjir,
ketersediaan air, irigasi, tempat memelihara ikan dan juga tempat rekreasi
(hendrawan, 2005). Aktivitas manusia inilah yang menyebabkan sungai menjadi
rentan terhadap pencemaran air. Begitu pula dengan pertumbuhan industri dapat
menyebabkan penurunan kualitas lingkungan (soemarwoto, 2003)
Sungai memiliki 3 bagian kondisi lingkungan yaitu hulu, hilir dan muara
sungai. Ketiga kondisi tersebut memiliki perbedaan kualitas air, yaitu:
1. Pada bagian hulu, kualitas airnya lebih baik, yaitu lebih jernih, mempunyai
variasi kandungan senyawa kimiawi lebih rendah/sedikit, kandungan
biologis lebih rendah.
2. Pada bagian hilir mempunyai potensial tercemar jauh lebih besar sehingga
kandungan kimiawi dan biologis lebih bervariasi dan cukup tinggi. Pada
umumnya diperlukan pengolahan secara lengkap.
11

3. Muara sungai letaknya hampir mencapai laut atau pertemuan sungai-sungai


lain, arus air sangat lambat dengan volume yang lebih besar, banyak
mengandung bahan terlarut, lumpur dari hilir membentuk delta dan warna
air sangat keruh.
Di palembang, sungai musi merupakan perairan yang digunakan sebagai
sumber air bagi kebutuhan akan air minum maupun air bersih yang biasanya
digunakan oleh perusahaan daerah air minum (PDAM) maupun masyarakat
sekitar perairan sungai. Sungai musi memiliki panjang mencapai 750 km.
2.7.1 Baku Mutu Air Sungai
Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi
atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditoleransi
keberadaannya di dalam air, sedangkan kelas air adalah peringkat kualitas air
yang dinilai masih layak untuk dimanfaatkan bagi permukaan tertentu.
Klasifikasi dan krateria mutu air mengacu pada peraturan pemerintah nomor
82 tahun 2001 tentang pengolahan kualitas air dan pengendalian pencemaran air
yang menetapkan mutu air ke dalam empat kelas, yaitu :
1. Kelas satu,
2.7.2 Kualitas air baku sebagai air bersih
2.7.3 Persyaratan air bersih

Anda mungkin juga menyukai