Anda di halaman 1dari 10

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Identifikasi

Menurut Sudarsono (1999:175) identifikasi memiliki tiga arti yaitu:


1. Bukti diri: penentuan atau penetapan seseorang, benda dan sebagainya,
2. Proses secara kejiwaan yang terjadi pada seseorang karena secara tidak sadar
membayangkan dirinya seperti orang lain yang dikaguminya,
3. Penentuan seseorang berdasarkan bukti-bukti sebagai petunjuknya.
Menurut Hardaniwati (2003: 237) identifikasi adalah 1). tanda kenal diri,
2). penentu atau penetapan identitas seseorang. Sedangkan menurut Komarudin
dan Yooke Tjupanah (2000: 92) bahwa identifikasi berasal dari bahasa latin,
identitas, persamaan, identitas. 1). Fakta, bukti, tanda, atau petunjuk mengenai
identitas. 2). Pencarian atau penelitian ciri-ciri yang bersamaan. 3). Pengenalan
tandatanda atau karakteristik suatu hal berdasarkan pada tanda pengenal.
Proses identifikasi terjadi apabila individu meniru perilaku seseorang atau
sikap kelompok lain dikarenakan sikap tersebut sesuai dengan apa yang
dianggapnya sebagai bentuk hubungan yang menyenangkan antara dia dengan
pihak lain termaksud. Pada dasarnya proses identifikasi merupakan sarana atau
cara untuk memelihara hubungan yang diinginkan dengan orang atau kelompok
lain dan cara untuk menopang pengertiannya sendiri mengenai hubungan tersebut
(Azwar 2005: 56).
Berdasarkan pendapat para ahli, dapat ditarik kesimpulan bahwa
identifikasi adalah penentuan identitas seseorang atau benda pada suatu saat
tertentu. Sedangkan yang dimaksud identifikasi dalam penelitian ini adalah
menentukan atau menetapkan faktor-faktor kebutuhan guna tumbuhnya pesantren
lansia.

2.2. Lansia
2.2.1. Pengertian Lansia
Lansia adalah seseorang yang mengalami tahap akhir dalam
perkembangan kehidupan manusia. UU No. 13/Tahun 1998 tentang Kesejahteraan
Lansia disebutkan bahwa lansia adalah seseorang yang berusia lebih dari 60 tahun
(Dewi, 2014). Proses menua adalah proses alamiah kehidupan yang terjadi mulai
dari awal seseorang hidup, dan memiliki beberapa fase yaitu anak, dewasa, dan
tua (Kholifah, 2016).
Lansia adalah tahap akhir dalam proses kehidupan yang terjadi banyak
penurunan dan perubahan fisik, psikologi, sosial yang saling berhubungan satu
sama lain, sehingga berpotensi menimbulkan masalah kesehatan fisik maupun
jiwa pada lansia (Cabrera, 2015). Lansia mengalami penurunan biologis secara
keseluruhan, dari penurunan tulang, massa otot yang menyebabkan lansia
mengalami penurunan keseimbangan yang berisiko untuk terjadinya jatuh pada
lansia (Susilo, 2017)
Menurut Aru, (2009) Lanjut usia didefinisikan sebagai penurunan,
kelemahan, meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan perubahan
lingkungan, hilangnya mobilitas dan ketangkasan, serta perubahan fisiologis yang
terkait dengan usia. Sedangkan menurut (Tamher, 2009) Lansia merupakan
seseorang yang berusia 60 tahun keatas baik pria maupun wanita, yang masih aktif
beraktivitas dan bekerja ataupun mereka yang tidak berdaya untuk mencari nafkah
sendiri sehingga bergantung kepada orang lain untuk menghidupi dirinya.
Secara umum seseorang dikatakan lanjut usia (lansia) apabila usianya 65
tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari
suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk
beradaptasi dengan stress lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh
kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap konsisi
stress fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan berkaitan dengan penurunan
daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual
(Efendi, 2009).
Kondisi lansia di Indonesia secara umum tampak kurang
menggembirakan. Usia tua, kesepian, sosial ekonomi yang kurang sejahtera, serta
munculnya penyakit-penyakit degeneratif seperti kanker, jantung, reumatik, serta
katarak menyebabkan produktivitas menurun serta mempengaruhi kehidupan
sosial (Amareta, 2008).
2.2.2. Batasan Usia Lansia
Lansia Di Indonesia lanjut usia adalah usia 60 tahun keatas. Hal ini
dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan
lanjut usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 (Nugroho, 2008). Beberapa pendapat para
ahli tentang batasan usia adalah sebagai berikut :
1. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ada empat tahapan yaitu:
a. Usia pertengahan (middle age) usia 45-59 tahun
b. Lanjut usia (elderly) usia 60-74 tahun
c. Lanjut usia tua (old) usia 75-90 tahun
d. Usia sangat tua (very old) usia > 90 tahun
2. Menurut Kementerian Kesehatan RI (2015) lanjut usia dikelompokan
menjadi dua bagian :
a. usia lanjut (60-69 tahun)
b. usia lanjut dengan risiko tinggi (lebih dari 70 tahun atau lebih
dengan masalah kesehatan)

2.2.3. Klasifikasi Lansia


Menurut Depkes RI (2013) klasifikasi lansia terdiri dari :
1. Pra lansia
Pra lansia merupakan seorang yang berusia antara 45-59 tahun
2. Lansia
Lansia ialah seorang yang berusia 60 tahun atau lebih
3. Lansia Risiko Tinggi
Lansia risiko tinggi ialah seorang yang berusia 60 tahun atau lebih
dengan masalah kesehatan
4. Lansia Potensial
Lansia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan
pekerjaan dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa
5. Lansia tidak potensial
Lansia tidak potensial ialah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
2.2.4. Karakteristik Lansia
Menurut pusat data dan informasi, kementrian kesehatan RI (2015),
karakteristik lansia dapat dilihat berdasarkan kelompok berikut ini :
1. Jenis kelamin
Lansia lebih didominasi oleh jenis kelamin perempuan. Artinya, ini
menunjukan bahwa harapan hidup yang paling tinggi adalah
perempuan.
2. Status perkawinan
Penduduk lansia ditilik dari status perkawinannya sebagian besar
berstatus kawin 60% dan cerai mati 37%
3. Living arrangement
Angka beban tanggungan adalah angka yang menunjukan
perbandingan banyaknya orang tidak produktif (umur 65 tahun)
dengan orang berusia produktif (umur 15-64 tahun). Angka tersebut
menjadi cermin besarnya beban ekonomi yang harus ditanggung
penduduk usia produktif untuk membiayai penduduk usia
nonproduktif.
4. Kondisi kesehatan
Angka kesakitan merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk
mengukur derajat kesehatan penduduk. Angka kesakitan bisa menjadi
indikator kesehatan negatif. Artinya, semakin rendah angka kesakitan
menunjukan derajat kesehatan penduduk yang semakin baik.

2.3. Pesantren Lansia


2.3.1. Definisi Pesantren
Menurut asal katanya pesantren berasal dari kata ”santri” yang mendapat
imbuhan awalan ”pe” dan akhiran ”an” yang menunjukkan tempat, maka artinya
adalah tempat para santri. Terkadang pula pesantren dianggap sebagai gabungan
dari kata ”santri” (manusia baik) dengan suku kata ”tra” (suka menolong)
sehingga kata pesantren dapat diartikan tempat pendidikan manusia baik-baik
(Zarkasy, 1998: 106).
Dalam kamus besar bahas Indonesia, pesantren diartikan sebagai asrama,
tempat santri, atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan secara istilah
pesantren adalah lembaga pendidikan Islam, dimana para santri biasanya tinggal
di pondok (asrama) dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab
umum, bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail, serta
mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan
pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat
Pengertian pondok pesantren secara terminologis cukup banyak
dikemukakan para ahli. Beberapa ahli tersebut adalah:
1. Dhofier (1994: 84) mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalah
lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan
pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
2. Nasir (2005: 80) mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalah lembaga
keagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta
mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama Islam.
3. Team Penulis Departemen Agama (2003: 3) dalam buku Pola
Pembelajaran Pesantren mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalah
pendidikan dan pengajaran Islam di mana di dalamnya terjadi interaksi 24
antara kiai dan ustdaz sebagai guru dan para santri sebagai murid dengan
mengambil tempat di masjid atau di halaman-halaman asrama (pondok)
untuk mengkaji dan membahas buku-buku teks keagamaan karya ulama
masa lalu. Dengan demikian, unsur terpenting bagi pesantren adalah
adanya kiai, para santri, masjid, tempat tinggal (pondok) serta buku-buku
(kitab kuning).
4. Rabithah Ma‟ahid Islamiyah (RMI) mendefinisikan pesantren sebagai
lembaga tafaqquh fi al-dîn yang mengemban misi meneruskan risalah
Muhammad SAW sekaligus melestarikan ajaran Islam yang berhaluan
Ahlu al-sunnah wa al- Jamã’ah ‘alã T}arîqah al-Maz|ãhib al-‘Arba’ah.
5. Mastuhu (1994: 6) mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalah
lembaga tradisional Islam untuk memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fi al-dîn) dengan
menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup
bermasyarakat sehari-hari.
6. Arifin (1995: 240) mendefinisikan pondok pesantren sebagai suatu
lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh
masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kampus) di mana menerima
pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang
sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari kepemimpinan (leadership)
seorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat
kharismatik serta independen dalam segala hal.
Sedangkan pesantren tradisional merupakan jenis pesantren yang tetap
mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya
(Asrohah, 1999 : 59). Menurut Mastuhu (1994: 55) pondok pesantren adalah suatu
lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami,
menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya
moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
Dari berbagai pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa pesantren
adalah lembaga pendidikan Islam yang mempelajari ilmu agama (tafaqquh fi al-
dîn) dengan penekanan pada pembentukan moral santri agar bisa
mengamalkannya dengan bimbingan kiai dan menjadikan masjid sebagai pusat
kegiatan.

2.3.2. Definisi Pesantren Lansia


Mengingat namanya adalah Pesantren Lansia, maka para santri yang
belajar dan mukim adalah mereka yang berusia lanjut. Seperti layaknya kehidupan
di pesantren lain, para lansia harus mencukupi kebutuhan diri mereka sendiri,
seperti makan, mencuci, membersihkan tempat tidur, memasak dan lain
sebagainya (tentunya tidak lupa dengan tujuan mereka mondok yaitu mencari
bekal akhirat, seperti sholat, mengaji dan mengikuti pengajian).
Pesantren Lansia memiliki peranan yang besar dalam membimbing para
santri lansia untuk memanfaatkan sisa-sisa umurnya untuk belajar dan
mengamalkan agama. Titik berat pembelajaran yang diberikan dalam pesantren
ini adalah masalah pengamalan agama, terutama ibadah dan tasawuf. (Permadi,
1997)
Ada beberapa pendapat tentang definisi tasawuf (Permadi, 1997)
diantaranya:
a. Anne Marie Schimmel seorang sejarahwan dan Dosen tasawuf di Harvard
University, seperti yang didefinisikan oleh Syekh al-Imam alQusyairi
dalam kitabnya Risālah al-Qusyairiyyah13 menjelaskan:

‫المراعون انفاسهم مع هلال تعالي الحافظون قلوبهم عن طوارق الغفلة باسم التصوف‬

Artinya: Orang-orang yang senantiasa mengawasi nafasnya bersamaan


dengan Allah Ta’ala. Orang-orang yang senantiasa memelihara hati atau
qalbunya dari berbuat lalai dan lupa kepada Allah dengan cara tersebut di
atas dinamakan tasawuf.
b. Menurut Abd al-Husain al-Nur memberikan batasan dalam defenisi yang
lain yaitu akhlak yang membentuk tasawuf

‫التصوف احلرية والكرم وترك التكلف والسخاء‬

Artinya: Tasawuf adalah kemerdekaan, kemurahan, tidak membebani diri


serta dermawan.
c. Menurut Al-Taftazani, tasawuf secara umum adalah falsafah hidup dan
cara-cara tertentu dalam tingkah laku manusia, dalam upaya
merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman yang hakikat, dan
realitas dan kebahagiaan ruhaniah. Tasawuf disebut juga sebagai ilmu
yang membahas masalah pendekatan diri manusia pada Tuhannya melalui
penyucian ruhaniahnya (Siregar, 1999)
d. Menurut Pir Vilayat Inayat Khan, tasawuf merupakan cara yang sangat
dekat/upaya mendekatkan diri terhadap sang Kholiq, mereka merasa
tenteram bersama Tuhan, Menjadi seperti bayi didalam buaian Tuhan.
Menjadi anak sang waktu, dan bernafas dengan lega.
Dari beberapa pengertian tasawuf di atas menunjukkan bahwa hubungan
Allah dengan manusia yang tak terpisah, sampai merasuk dalam qalbu sehingga
manusia yang ber-tasawuf itu selalu berada dalam daerah Allah SWT
2.3.3. Karakteristik Pesantren Lansia
Menurut Husnul Khotimah (2014) Karakteristik pesantren lansia pada
umumnya sama dengan pesantren yang lain, namun ada beberapa perbedaan yang
mendasar antara lain sebagai berikut :
Tabel 2.1. Karakteristik Pesantren Lansia
Komponen Pesantren Lansia Pesantren Modern
Tertutup terhadap perubahan, Menerima inovasi dan mampu
Karakteristik
tidak terpengaruh dengan menyesuaikan perubahan yang
dasar
adanya modernisasi terjadi

Sebagai motivator yang sangat


Peran kyai/
dominan dalam pemberian Dominan proporsional
ustadz
contoh yang baik

Mempunyai kurikulum Mempunyai kurikulum standart


Kurikulum tersendiri, yang relevan pesantren dan mengadopsi
dengan kondisi para santri kurikulum pemerintah

Sangat minim, hanya ruangan Tersedia ruang pengajaran


Sarana dan
luas yang dipakai dalam sistem kelas lengkap dengan
prasarana
pembelajaran segala fasilitasnya

Otonomi pesantren dan berasal


Sumber dana Bantuan pemerintah
dari para santri serta donatur

Meneruskan ke jenjang lebih


Orientasi Mencari ridho Allah SWT
tinggi

Tugas pokok pesantren pada dasarnya adalah mewujudkan terbentuknya


manusia dan masyarakat Islam Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada
Allah SWT. Keunggulan sumber daya manusia yang tidak hanya pada aspek
kognitif ,afektif dan psikomotor. Pelatihan life skill yang juga dilakukan oleh
pesantren merupakan upaya dalam pemberdayaan warga di pesantren. Melalui
program life skill ini merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan dalam
pengelolaan pendidikan di pesantren. Pentingnya program life skill di pesantren
merupakan sesuatu yang harus segera dilaksanakan dan harus merupakan sesuatu
program yang mendesak karena hal ini diharapkan dapat meningkatkan
sumberdaya manusia sekaligus semakin meningkatnya peran dan fungsi pesantren
di negeri ini.
2.3.4. Konsep Life Skill
Menurut Amin Haedari (2004 : 163) pengertian life skill adalah upaya
peserta didik mengembangkan kemampuan berfikir , menghilangkan kebiasaan
yang kurang tepat, dan mengembangkan potensi diri agar dapat memecahkan
masalah kehidupan sehari-hari secara konstruktif, inovatif dan kreatif sehingga
dapat menghadapi realitas kehidupan dengan baik secara lahiriah maupun
batiniah.
Pelaksanaan Program life skill di pesantren merupakan sesuatu yang wajib
dilaksanakan sebagai upaya meningkatkan peran pengembangan masyarakat,
maka perlu dilakukan diversifikasi program dan kegiatan kecakapan Hidup (life
skills) di pesantren Anwar (2006 : 8).
Peran pondok pesantren yang pada awalnya hanya mempelajari kitab-kitab
Islam klasik perlu adanya inovasi agar dapat diberdayagunakan secara maksimal.
Melalui pendekatan ini, Sumber daya atau unsur-unsur pondok pesantren
termasuk guru atau kyai, masjid, santri, kitab- kitab klasik hingga ilmu
pengetahuan yang baru dapat didayagunakan dalam proses pendidikan life skills
secara berkelanjutan untuk membangun manusia yang memiliki paham ilmu
pengetahuan, potensi kemasyarakatan, dan pembangunan wilayah. Hal ini
berujung pada penciptaan Sumber Daya Manusia yang produktif dan berdaya
saing sehingga tidak hanya menjadi penempa nilai-nilai spiritual saja, tetapi juga
mampu meningkatkan kecerdasan sosial, dan keterampilan dalam membangun
masyarakat di sekitarnya. Ini dimulai dari kemampuan pesantren memberdayakan
potensi-potensi yang ada di lingkungannya yang dilakukan oleh Sumber Daya
Manusia yang ada di pesantren itu sendiri.
Selanjutnya Ayi Olim (2009 : 368) menjelaskan bahwa konsep kecakapan
hidup merupakan konsep pemberdayaan diri dan kecakapan dapat dipelajari,
dimodifikasi dan ditingkatkan bersamaan dengan pengembangan diri seseorang
dan penyesuaian dengan tantangan kehidupan. Dalam kontek pesantren
pemberdayaan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pesantren sebagai
proses, cara perbuatan - perbuatan memberdayakan serta membangkitkan
kemauan, kemampuan dan kepercayaan pada diri sendiri, agar mereka khususnya
para peserta didik dapat terlibat secara aktif dalam suatu gerakan masyarakat yang
terlaksana secara metodis, efisien dan terorganisir dalam suatu program yang
dilakukan oleh pesantren bersama masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai