Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN KASUS

SUSPEK MENINGOENCEPHALITIS E/C SUSPEK


BAKTERI DD/ VIRAL

Pembimbing:
Dr. H. Hasan Basri, Sp. A

Disusun oleh:
Bryan Horiando (2016-061-172)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA
RSUD SYAMSUDIN, SH SUKABUMI
PERIODE 2 Januari 2018 – 3 Februari 2018
BAB I
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : An. N
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 7 tahun 26 hari
Tanggal Lahir : 16 November 2017
Alamat Orang Tua : KP Cikondang
Agama Orang Tua : Islam
Berat Badan :17 kg
Panjang Badan : 100 cm
Tanggal Masuk RS : 3 Januari 2018
Tanggal Keluar RS : 15 Januari 2018
Tanggal Periksa : 6 Januari 2018

IDENTITAS ORANG TUA


Ayah
Nama Ayah : Tn. K
Usia : 35 tahun
Alamat : KP Cikodang,
kecamatanCicantayan
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Pendidikan : SMA
Suku : Sunda
Agama : Islam
Pendapatan : ± 5 juta perbulan
IBU
Nama Ayah : Ny. F
Usia : 33 tahun
Alamat : KP Cikondang,
kecamatanCicantayan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMA
Suku : Sunda
Agama : Islam
Pendapatan : -

ANAMNESIS
(Alloanamnesis dengan ayah ibu pasien pada tanggal 6 Januari 2018)

Riwayat Penyakit Sekarang


7 hari SMRS, Os Demam hanya diukur dengan perabaan tangan, demam
terus menerus tidak ada periode bebas demam dan hilang ketika minum obat, lalu
muncul kembali. Mual dan muntah ± 3 kali isinya makanan , tidak ada lendir, darah,
dan tidak projektil. Sakit kepala, seperti ditusuk – tusuk, hilang timbul. Keluhan
lebih peka terhadap cahaya, sulit tidur, Batuk, pilek tidak ada gangguan. BAK tidak
ada gangguan, warna kuning jernih, darah disangkal. BAB konsistensi lembek, warna
kuning kecoklatan, tidak ada darah, lender, dan bau asam. Nafsu makan pasien
menurun, pasien tiap makan muntah, Pasien Lemas cenderung tidur namun masih
menjawab sesuai dengan apa yang ditanyakan. Os masuk ke rumah sakit Sekarwangi
dan dirawat 1 hari, keesokannya pulang.

5 hari SMRS gejala os muncul kembali dan kembali dibawa ke RS


Sekarwangi dan dirawat selama 3 hari. 2 hari disana os mengalami penurunan
kesadaran dimana tidak menjawab saat ditanya dan cenderung tidur. 1 hari SMRS Os
dibawa ke IGD Sekarwangi dengan GCS ( E3M4V3 ) dengan adanya durasi ± 5
menit, kelojotan pada seluruh ekstremitas, mata mendelik keatas dan post ictal tidak
sadar. OS dirawat 1 malam di RS Sekarwangi dan dirujuk ke RSUD Syamsudin SH
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat operasi : Disangkal

Riwayat kejang : 1x kelojotan seluruh ekstremitas, ± 5 menit


post ictal tidak sadar.
Riwayat trauma kepala dan
bagian abdomen 7 tahun terakhir : disangkal
Riwayat rawat inap : (+) 3 kali di RS Sekarwangi karena demam
, mual, muntah, dan curiga
kejang.
Riwayat alergi : (-)
Riwayat batuk lama : disangkal
Riwayat terkena campak, mumps, rubella, hsv : disangkal

Riwayat Pengobatan
Tidak ada

Riwayat Kehamilan
Kesehatan ibu selama hamil: keputihan (-)
ANC: tidak teratur setiap bulan
Imunisasi TT: -
Obat-obatan selama kehamilan: -
Kebiasaan merokok, konsumsi alkohol dan NAPZA: disangkal

Anak ke- Jenis Tahu Lahir Persalinan BBL


Kelamin n secara dibantu oleh
lahir
1 Laki-laki 2002 PSP Bidan 2500 g
2 Laki-laki 2005 PSP Bidan 2600 g
3 Pasien
Tn. K 35 tahun

Tn. K 35 tahun
Ny. F 33 tahun

Riwayat Kelahiran
Tempat persalinan: klinik bidan
Penolong persalinan: bidan
Cara persalinan: spontan
Hambatan persalinan: tidak ada
Masa gestasi: 36 minggu
Keadaan bayi: BBL 2500 gram, PBL 42 cm, langsung menangis kuat
Status Imunisasi

BCG scar + di lengan kanan atas


Imunisasi Dasar Tidak Lengkap menurut IDAI 2017

Riwayat Makanan
0 – 6 bulan : ASI
6 – 9 bulan : ASI + bubur saring
9– 12 bulan : ASI + makanan lunak dengan lauk cincang
12 bulan – 2 tahun : ASI + makanan keluarga
2 tahun – sekarang : Makanan keluarga
Riwayat Perkembangan

Home Education Activities

Drinking/drugs Sex Suicide

Status psikososial baik menurut HEADSS

PEMERIKSAAN FISIK (dilakukan pada tanggal 6/1/2018)


Berat badan sekarang : 17 kg ( wheech formula 7x7 – 5 : 2 = 22)
Tinggi badan : 100 cm
Lingkar kepala : 50 cm
BB sesuai usia : 77,27 % ( BB kurang )
TB sesuai usia : 83,33 % ( TB kurang )
BB terhadap TB : 99 %
LK terhadap usia : (-2) – (2)

STATUS GIZI CUKUP MENURUT CDC


Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Somnolen (E2M3G3)
Nadi :148 x / menit (normal premie pulse = 120-170x/mnt)
Laju Nafas : 50 x/menit, terpasang nasal canule O2 0,5 lpm
(Normal premie breathing rate = 40-70x/mnt)
Suhu : 36,8o C (N = 36,5oC-37,5oC)
Refleks primitive : Moro (+), Rooting (-), Sucking (-), Palmar grasp (+),
Plantar grasp (+)

Pemeriksaan Generalisata
Kepala :Normocephali (LK = 26 cm), deformitas (-), ubun-ubun besar datar
Mata :Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), sekret (-/-)
Hidung :Deviasi septum (-), Sekret (-/-)

Telinga :Meatus akustikus eksternus intak (+/+), sekret (-/-), darah (-/-)
Mulut :Mukosa oral basah, palatum intak
Leher :Trakea di tengah, benjolan (-), pembesaran KGB leher (-)
Paru
 Inspeksi :Terpasang nasal canule O2 0,5 lpm, gerakan napas tampak
simetris, retraksi subcostal(+), retraksi intercostal(+)
 Palpasi :Gerakan napas teraba simetris
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Sopor ( E2M3V2)
Nadi : 60 x / menit (Normal : 60-100 x / menit) teraba
lemah, teratur,
Laju Nafas : 20x /menit (Normal : 14 – 22 x / menit)
Suhu : 37 o C (Normal: 36,7-37,6 o C)

Paru
Inspeksi :Terpasang nasal canule O2 1 lpm, gerakan
napas tampak simetris, barrel chest (-), retraksi (-)
Palpasi :Gerakan napas teraba simetris
Perkusi :Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi :Bunyi napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS 4 linea
midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas jantung atas ICS 2 parasternal kiri, batas
jantung kanan ICS 4 parasternal kanan, batas jantung kiri,
ICS 4 midclavicula kiri
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop
(-)
Abdomen
Inspeksi : Tampak datar, bekas luka (-), striae (-)
Auskultasi : Bising usus (+), 4x/menit
Palpasi :Teraba supel, hepar teraba 2 cm dibawah arcus
costae.
Perkusi : timpani di seluruh regio abdomen.

Kepala :Normocephali (LK = 50 cm), deformitas (-), benjolan


Mata :Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), Reflek kornea -/-
Rangsang cahaya langsung -/-, rangsang cahaya tidak langsung
-/-, pupil isokor 3mm/3mm, mata kering +/+
Hidung :Deviasi septum (-), Sekret (-/-)
Telinga :Meatus akustikus eksternus intak (+/+), sekret (-/-)
Mulut :Bibir tampak kering, mukosa buccal kering, palatum intak.
Leher :Trakea di tengah, benjolan (-), pembesaran KGB leher (-)
Ekstremitas :Ekstremitas lengkap, CRT < 2 detik,
edema -/-/-/-
Kulit :Turgor kulit baik, ikterik (-)
Punggung :Alignment vertebra baik,
Genitalia : Duh (-), eritema (-)
Bokong :Anus (+), rash (-)

Pemeriksaan Neurologis
Kesadaran : Sopor (E2M3V2)
Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : positif
Tes Kernig : negatif
Brudzinski 1 : positif
Brudzinski 2 : negatif

Refleks Fisiologis :
Biceps : ++/++ , Triceps : ++/++
Patella : ++/++, Archilles : ++/++
Refleks Patologis :
Babinski +/-, Chaddock +/- , Oppenheim -/- , Gordon -/- , Schaeffer -/-, klonus -/-
Saraf-Saraf Kranial :
N.I :Tidak diperiksa
N.II dan III :Pupil isokor 3mm/3mm, letak pupil di tengah, Refleks cahaya
langsung -/-, Reflek cahaya tidak langsung -/-
N.III,IV,VI :Sulit dinilai
N.V :Sulit dinilai
N.VII :Wajah tampak simetris saat pasien tenang
N.VIII :Sulit dinilai
N.IX,X :Sulit dinilai
N.XI :Sulit dinilai
N.XII :Lidah tidak atrofi, posisi lidah di tengah

Motorik :
Kekuatan lengan dan tungkai pasien simetris tidak dapat dinilai
Klonus , otot dalam keadaan normotonus
terdapat adanya spasme dan rigiditas
Sensorik :
Respon terhadap nyeri dan perabaan
Pasien tidak bereaksi terhadap rangsangan sentuh dan nyeri
Otonom
BAK (+), BAB (-), Keringat (-)

Refleks fisiologis
 Bisep : ++ | ++
 Trisep: ++ | ++
 Patella: ++ | ++
 Achilles: ++ | ++

Refleks patologis:
 Babinski (+/-)
 Chaddock (+/-)
 Oppenheim (-/-)
 Gordon (-/-)
 Schaeffer (-/-)
 Klonnus (-/-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG (3/1/2018)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi
Hb 10 g/dL 11,5 – 14.5
Leukosit 9600 /μL 4.000-12.000
Hematokrit 30 % 33 - 43
Eritrosit 4.1 juta/μL 3.8-5.2
Trombosit 412.000 /μL 150.000-450.000
Index Eritrosit
MCV 74 fL 76 - 90
MCH 26 Pg 25 - 31
MCHC 35 g/dL 32 - 36

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Kimia Klinik
Glukosa darah 114 mg/dL 60 - 100
sewaktu
Elektrolit
Natrium (Na) 140 Mmol/L 132 – 145
Kalium (K) 4.6 Mmol/L 3.1 – 5.1
Calcium (Ca) 9.7 Mg/dL 8.8 – 10.8
Clorida (Cl) 98 Mmol/L 96 - 111

RESUME
An. N Febris sejak 7 hari SMRS, kualitas demam continous, hanya turun jika
diberikan obat paracetamol dan muncul kembali. Nausea dan vomitus dirasakan
pasien setiap hari frekuensi ± 3 kali isinya makanan dan lendir, darah (-), tidak
projektil. Cephalgia dengan kualitas ditusuk, hilang hanya setelah minum paracetamol
dan kembali muncul. 5 hari SMRS mulai malaise dan cenderung.tidur, tidak bisa
menjawab sesuai dengan apa yang ditanyakan. 1 hari SMRS ada kejang (+) durasi ± 5
menit kualitas generalized tonik klonik, mata mendelik keatas, dan post ictal tidak
sadar. Lebih peka terhadap cahaya dan halusinasi disangkal.
Pemeriksaan Fisik tampak sakit berat dengan penurunan kesadaran ( E2M3V2).
Diikuti dengan Tekanan darah, laju nadi, laju nafas dan suhu dalam batas
normal.Didapatkan ronkhi basah kasar dikedua lapang paru. Kepala normocephali dan
tidak didapatkan adanya benjolan maupun deformitas.Mata untuk rangsang cahaya
langsung dan tidak langsung negatif, pupil isokor
Pemeriksaan neurologis untuk rangsang meningeal positif pada kaku kuduk dan
brudzinki I. Positif pada reflek patologis babinski dan chaddock pada bagian kanan.
Persarafan cranial untuk nervus occulomotor terdapat gangguan.

ASSESSMENT
An.N, 7 tahun,perempuandengansuspek meningoencephalitis e.c suspek bakteri DD/
Viral DD/ Tuberkulosis
Status Imunisasi tidak lengkap menurut IDAI 2017
Status Gizi cukup menurut CDC
Riwayat perkembangan baik menurut HEADSS
TATALAKSANA

3 Januari 2018 4 Januari 2018 5 Januari 6 Januari 2018


2018

Rawat di PICU Kaen MG3  7 jam Kaen MG3  7 jam Kaen MG3  7 jam dengan 15 tpm
IVFD 2A 1250 ml/24 jam dengan 15 tpm dengan 15 tpm Benutrien 5 jam  15 tpm
Injeksi Ampicilin 4 x 1 gr Benutrien 5 jam  15 Benutrien 5 jam  15 tpm Ceftriaxone 2 x 1 gr ( IV )
( IV ) tpm Ceftriaxone 2 x 1 gr ( IV ) Ranitidin 2 x 10 gr (IV)
Injeksi Colcancentin 4 x Ampicilin 4 x 1 gr Ranitidin 2 x 10 gr (IV) Dexametasone 3 x 4 g (IV)
425 mg ( IV ) Colcancentin 4 x 425 mg Dexametasone 3 x 4 g (IV)
Injeksi Dexamethasone 3 ( IV)
x 4 g ( IV ) Dexametasone 3 x 4 mg
Injeksi ranitidin 2 x 25 ( IV )
mg ( IV ) Ceftriaxone 2 x 1 gr (IV)

Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad malam
Quo ad Fungsionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanactionam: Dubia ad malam
Follow-up

6 Januari 2018 7 Januari 2018 8 Januari 2018 9 Januari 2018


Follow-up
HR 4 HR 5 HR 6 HR 7

S Os tidak sadar

O Kesadaran Sopor (E2M3V2)

HR ( 60 – 105 )
(62 – 105) x/menit (62 – 100) x/menit ( 55- 100 ) x/menit
x/menit

Suhu ( 36,5 – 37,5) (36,4 - 38 ) (36,2 – 38,2) (36,3 – 36,9 )

RR (14 – 20) x/menit ( 13 – 19 ) x/menit (13 – 20 ) x/menit (13 – 19) x/menit

Tekanan (100 – 120)/(50-


(112-127) / (52-72) (105-124)/(50-74) (95 – 110)/(50-70)
darah 74)

Pemeriksaan Mata; RCL dan Mata; RCL dan Mata; RCL dan Mata; RCL dan
Fisik RCTL -/-, pupil RCTL -/-, pupil RCTL -/-, pupil RCTL -/-, pupil
isokor 3mm/3mm isokor 3mm/3mm isokor 3mm/3mm isokor 3 mm/3 mm

Paru : ronki basah Paru : ronki basah Paru : ronki basah Paru : ronki basah
kasar +/+ kasar +/+ kasar +/+ kasar +/+

Refleks patologis : Refleks patologis : Refleks patologis : Refleks patologis :

Babinski +/-. Babinski +/-. Babinski +/-. Babinski +/-.


Chaddock +/- Chaddock +/- Chaddock +/- Chaddock +/-
Openheim +/- Openheim +/- Openheim +/- Openheim +/-

Ventilasi O2 1 lpm BC

A An. N, 7 tahun, perempuan dengan suspek meningoencephalitis e.c suspek bakteri

IVFD Kaen MG3 ( 7 jam ) dan Benutrion ( 5 jam )  15tpm

Ceftriaxone 2 x 1 gr IV
P
Ranitidin 2 x 20 mg IV

Dexametasone 3 x 4 mg IV

Ampicilin 3 x 700
Paracetamol 170
Tambahan mg IV, Paracetamol
mg IV
170 mg IV
Hasil Laboratorium 8/1/2018

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Elektrolit

Natrium (Na) 140 Mmol/L 132 – 145

Kalium (K) 4.5 Mmol/L 3.1 – 5.1

Calcium (Ca) 9.4 Mg/dL 8.8 – 10.8

Clorida (Cl) 99 Mmol/L 96 - 111

10 Januari 2018 11 Januari 2018 12 Januari 2018 13 Januari 2018


Follow-up
Ngt pasien
S
mengeluarkan darah
O Kesadaran Coma (E1M2V1)
HR (58 – 95)
(55– 95) x/menit ( 50 – 98 ) x/menit ( 60- 95 ) x/menit
x/menit
Suhu ( 36,5 – 38,4) (36,4 - 38 ) (36,2 – 38,2) (36,3 – 38,4 )
RR (13 – 21 )
(13 – 21) x/menit ( 12 – 18 ) x/menit (11– 19) x/menit
x/menit
Tekanan darah (90-110) / (54-72) (90-115)/(50-74) ( – 120)/(50-74) (95 – 110)/(50-70)
Mata; RCL dan Mata; RCL dan
Mata; RCL dan RCTL -/-, pupil RCTL -/-, pupil Mata; RCL dan
RCTL -/-, pupil isokor 4 mm/4 anisokor RCTL -/-, pupil
isokor 4 mm/4 mm mm 5mm/3 mm isokor 4 mm/4 mm

Paru : ronki basah Paru : ronki basah Paru : ronki Paru : ronki basah
kasar +/+ kasar +/+ basah kasar +/+ kasar +/+

Refleks patologis : Refleks Refleks Refleks patologis :


patologis : patologis :
Babinski +/-. Babinski +/-.
Chaddock +/- Babinski +/-. Babinski +/-. Chaddock +/-
Openheim +/- Chaddock +/- Chaddock +/- Openheim +/-
Openheim +/- Openheim +/-
Ventilasi
02 2lpm BC O2 3 lpm BC O2 2 lpm BC

A An. N, 7 tahun, perempuan dengan suspek meningoencephalitis e.c suspek bakteri

IVFD Futrolit dan Benutrion


Ceftriaxone 2 x 1 gr IV
Ranitidin 2 x 20 mg IV
P
Dexametasone 3 x 4 mg IV
Ampicilin 3 x 700 mg IV
Paracetamol 170 mg IV

As. As. Tranexamat


IVFD Kaen As.
Tranexamat 2 x 125 mg IV
Tambahan MG3 Tranexamat 2
2 x 12,5 mg Sukralfat 3 x 1
PRC, Furosemid x 12,5 mg IV
IV cth P.O

Hasil Laboratorium 10/1/2018

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai


Rujukan
Hematologi
Hb 9.3 g/dL 11,5 – 14.5
Leukosit 10.000 /μL 4.000-12.000
Hematokrit 26 % 33 – 43
Eritrosit 3.6 juta/μL 3.8-5.2
Trombosit 231.000 /μL 150.000-
450.000
Index Eritrosit
MCV 74 fL 76 – 90
MCH 26 Pg 25 – 31
MCHC 35 g/dL 32 – 36

Hasil Laboratorium 11/1/2018

Pe H S N
me a a il
rik s t ai
saa il u R
n a u
n j
u
k
a
n
Hematologi
Hb 1 g 1
2 / 1,
. d 5
9 L –
1
4.
5
Le 1 / 4.
uk 3 μ 0
osit . L 0
1 0
0 -
0 1
2.
0
0
0
He 3 % 3
ma 9 3
tok -
rit 4
3
Eri 5 j 3.
tro . u 8
sit 1 t -
a 5.
/ 2
μ
L
Tro 2 / 1
mb 2 μ 5
osit 9 L 0.
. 0
0 0
0 0
0 -
4
5
0.
0
0
0
Index
Eritrosit
M 7 f 7
CV 6 L 6
-
9
0
M 2 P 2
CH 6 g 5
-
3
1
M 3 g 3
CH 3 / 2
C d -
L 3
6
14 Januari 2018 15 Januari 2018
Follow-up
HR 12 HR 13
Os sempat tidak bernapas spontan,
S dilakukan RJP, pemasangan intubasi dan
ventilator.
O Kesadaran Coma (E1M1V1)
HR (60– 96) x/menit ( 65 – 95 ) x/menit
Suhu ( 36,5 – 38,4) (36,4 - 38 )
RR On ventilator
On ventilator
FiO2 100 %, Peep 8, SPO2 72-
FiO 80 % - 100 %, Peep 8
81%
Tekanan
(65-115) / (40-75) (65-80)/(35-50)
darah
Pemeriksaa Mata; RCL dan RCTL -/-, pupil
Mata; RCL dan RCTL -/-, pupil midriasis
n fisik midriasis isokor 5 mm/ 5 mm
isokor 5 mm/ 5 mm
Paru : ronki basah kasar +/+
Paru : ronki basah kasar +/+
Refleks patologis :
Refleks patologis :
Babinski +/-. Chaddock +/-
Babinski +/-. Chaddock +/-Openheim +/-
Openheim +/-
Ventilasi
02 2lpm BC
An. N, 7 tahun, perempuan dengan suspek meningoencephalitis e.c suspek
A bakteri

IVFD Futrolit dan Benutrion


Ceftriaxone 2 x 1 gr IV, Ranitidin 2 x 20 mg IV
P
Ampicilin 3 x 700 mg IV, Paracetamol 170 mg IV ( bila demam )
Sukralfat 3 x 1 cth P.O, Dopamin dan Dobutamin

Os meninggal pukul 17.00 dengan TTV terakhir :


TD : tidak teraba
HR : tidak teraba , saturasi O2 61 %
Suhu : 35,5 derajat celcius
RR : on ventilator
EKG : asistole
Pemeriksaan Fisik
Mata : Rcl dan Rctl -/-, isokor 5mm/5mm midriasis, refleks kornea

BAB II
ANALISA KASUS

Os baru mengalami hal seperti ini, sebelumnya belum pernah 


etiologi congenital disingkirkan
Os mengalami gejala gangguan git sebelum mengalami gejala –
gejala lainnya mungkin ada tanda – tanda infeksi
Os tidak merasakan ada penurunan berat badan dalam waktu lama,
tidak terdapat benjolan yang tidak seharusnya di bagian kepala maupun
bagian tubuh lainnya, tidak pernah merasakan adanya sakit kepala
berulang dalam waktu yang lama dan berulang. Keluarga os tidak pernah
ada yang terkena kanker hingga harus diopname  neoplasma disangkal
Os menyangkal adanya riwayat trauma pada bagian kepala maupun
anggota tubuh lainnya sejak 7 tahun terakhir  Trauma disangkal
Os mengalami penurunan nafsu makan  penurunan nafsu makan
menyebabkan hipoglikemik yang mengakibatkan terjadinya penurunan
kesadaran  cek lab hasil lab tidak hipoglikemik.
Os muntah kurang lebih 3 kali sehari  dapat terjadi gangguan
elektrolit yang menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran dan kejang
yang timbul  elektrolit dalam keadaan normal.
Sehingga kemungkinan awal gejala pada pasien awalnya disebabkan oleh
infeksi dari GIT  hematogen ke meninges dan korteks  menyebabkan
gejala rangsang meningeal (+) , penurunan kesadaran, reflex patologis
positif  suspek meningoencephalitis e/c bacteri DD/viral
DD/tuberkulosis

Meningitis Bakterial
Dasar Diagnosis Teori Kasus

Anamnesis - Infeksi serius yang sering terjadi - An. Usia 7 tahun


pada infants dan older children - Ada demam diikuti gejala
- Diikuti dengan adanya demam mual muntah dengan
selama beberapa hari disertai frekuensi ± 3 kali 7 hari
infeksi saluran pernapasan / SMRS, dan cenderung
sistem gastrointestinal, gejala non mengantuk serta lemas.
spesifik infeksi CNS seperti timbul - Sakit kepala seperti ditusuk
iritabilitas dan lethargy. Lebih tusuk, hilang timbul diikuti
peka terhadap cahaya penurunan nafsu makan.
- Ada gejala demam, penurunan - Os kejang 4 hari setelah
nafsu makan, nyeri kepala, nyeri terjadi penurunan kesadaran.
otot dan sendi, berdebar – debar, - Os mengalami penurunan
leher kaku, kesadaran sejak 4 hari SMRS
- Kejang 4 hari awal setelah onset dan selama di PICU. Os
tidak ada prognosis yang sempat coma E1M1V1.
signifikan, namun kejang yang
terjadi setelah 4 hari onset
memiliki prognosis yang buruk
- Perubahan status mental
konsekuensi dari ICP, cerebritis
atau hipotensi yang menyebabkan
iritabilitas, lethargy, stupor, dan
koma.
- Coma memiliki prognosis yang
buruk

Dasar Diagnosis
Teori Kasus
Pemeriksaan Fisik - Perubahan status mental Kesadaran os menurun (E2M3V2)
konsekuensi dari peningkatan ICP, hingga mencapai (E1M1V1)
cerebritis atau hipotensi yang Ada tanda – tanda peningkatan ICP 
menyebabkan iritabilitas, lethargy, iritabilitas, nyeri kepala yang hilang
stupor, dan koma timbul, muntah 2-3 kali perhari, apneu (
- Suhu demam, HR takikardi, menggunakan ventilator ), postur
hipotensi, dekortikasi dan deserebrasi.
- 40 % terjadi demam, kaku kuduk +, Ada trias demam, kaku kuduk positif
dan nyeri kepala (+), dan nyeri kepala (+).
- Tanda positif dari rangsang Rangsang meningeal ( kaku kuduk (+),
meningeal dan burdzinki 1 (+)
- Tanda – tanda peningkatan ICP 
nyeri kepala, muntah, bulging
fontanel /diastase sutura,
occulomotor ( ptosis,anisokoria ),
hipertensi dengan bradikari, apneu /
hiperventilasi, postur dekortikasi /
deserebrasi, stupor, coma, tanda –
tanda herniasi.
Diagnosis - Analisis CSF --> pewarnanaan gram - Lp tidak dilakukan  tidak
dan kultur bakteri, neutrophilic dapat menganalisis CSF
pleositosis, protein meningkat dan - Kultur darah tidak dilakukan
kadar glukosa menurun - CRP, LED, dan procalsitonin
- Kultur darah  perlu dilakukan tidak dilakukan.
pada orang suspek meningitis
- CRP, LED dan procalsitonin 
membedakan virus dan bakteri

Dasar
Teori Kasus
Diagnosis
Treatment Antibiotik - Ampicilin 4 x 1 gr IV
- Amikacin 20 – 30 mg/kgBB dibagi 3 - Kloramfenikol 4 x 425
dosis mg IV
- Ampicillin 300mg/kgBB dibagi 4 dosis - Dexamethasone 3 x 4 gr
- Cefotaxime 225-300 mg/kgbb dibagi 3 IV
– 4 dosis - Ranitidine 2 x 25 mg IV
- Ceftriaxone 100 mg/kgbb dibagi 2 - Ceftriaxone 2 x 1 gr IV
dosis - Paracetamol 170 mg IV
- Ceftazidime 150 mg/kgbb dibagi 3 ( bila demam )
dosis - As. Tranexamat 2 x 12,5
- Gentamicin 7,5 mg/kgbb dibagi 3 mg IV
dosis
- Meropenem 120 mg/kgbb dibagi 3
dosis
- Nafcillin 200 mg/kgbb dibagi 4 dosis
- Penicillin G 300.000 dibagi 4-6 dosis
- Rifampin 10 – 20 mg/kgbb dibagi 1-2
dosis
- Tobramycin 7,5 mg/kgbb dibagi 3
dosis
- Vancomycin 60 mg/kgbb 4 dosis
Corticosteroid
- Dexamethasone 0,15mg/kgBB dibagi
4 dosis

Dasar Diagnosis Teori Kasus


Komplikasi - Kejang - Kejang
- Peningkatan Tekanan - Cranial nerve
intracranial palsy
- Cranial nerve palsy
- Stroke
- Cerebral or cerebellar
herniasi
- Trombosis

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Meningitis adalah terjadinya suatu proses peradangan atau inflamasi
pada selaput otak (meninges), meliputi dura mater, araknoid mater, dan pia
mater. Ketiganya berfungsi sebagai pelapis otak dan medulla spinalis. Proses
peradangan atau inflamasi ini dapat didasari oleh beberapa etiologi (infeksi
dan non-infeksi), serta dapat diidentifikasi oleh adanya peningkatan kadara
leukosit di dalam likuor cerebrospinal (LCS).

3.2 Epidemiologi
Tingkat insidensi meningitis bervariasi, sesuai dengan etiologi
spesifiknya. Di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, dilaporkan
bahwa insidensinya sekitar 10x lipat lebih sering dibandingkan dengan di
negara-negara yang sudah maju. Hal ini utamanya diakibatkan oleh kurangnya
akses ke upaya-upaya pencegahan.

3.2.1 Meningitis Bakterial


Di Ameriksa Serikat, sebelum diberlakukannya pemberian rutin vaksin
conjugate-pneumococcal, insidensi dari meningitis bakteri mencapai sekitar ±
3000 kasus per tahun. Neissiria meningitides ditemukan pada 4 kasus per
100.000 anak, sedangkan Streptococcus pneumonia ditemukan pada 7 kasus
per 100.000 anak. Angka ini menurun setelah diterapkan aturan untuk
pemberian rutin dari vaksin conjugate-pneumococcal. Akhir-akhir ini, baru
dikenalkan vaksin meningococcal di Amerika Serikat, yang diharpakan dapat
makin menurunkan insidensi meningitis bakterial.

Selain itu, tuberkulosis merupakan penyebab utama dari morbiditas


dan mortalitas meningitis pada anak. Meningitis tuberkulosis masih sering
ditemukan di Indonesia, oleh karena tingginya insidensi tuberkulosis pada
anak.5 Angka kejadian tertinggi ditemukan pada kelompok usia 6 bulan
sampai 2 tahun. Angka mortalitas berada di kisaran 10-20%. Dengan pada
sekitar 80% dari semua kasus, ditemukan gejala sisa, hanya sekitar 20%
pasien yang dapat terus hidup normal tanpa adanya gangguan neurologis.
Secara umum, mortalitas dari meningitis bakterial, bervariasi menurut
usia dan etiologinya. Angka mortalitas tertinggi adalah Meningitis bakterial
akibat Streptococcus pneumonia. Sedangkan berdasarkan usia, mortalitas
tertinggi adalah pada 1 tahun peratma kehidupan.

Di Indonesia, angka kejadian tertinggi ada di kelompok umur 2 bulan


hingga 2 tahun.1 Umumnya terdapat pada anak-anak yang kurang gizi dan
yang daya tahan tubuhnya rendah. Penyakit ini menyebabkan angka kematian
yang cukup tinggi (5-10%), dengan 30% di antaranya, akan ditemukan gejala
sisa, biasanya adalah defisit neurologis.

3.2.2 Meningitis Viral


Insidensi meningitis viral ini 20 kali lebih tinggi pada tahun pertama
kehidupan. Di seluruh dunia, penyebab meningitis viral adalah enterovirus,
mumps (gondongan), measles (campak), varicella zoster (VZV), dan HIV.
Insidensi meningitis oleh virus mumps dan measles telah jauh berkurang,
akibat telah dimasukkannya vaksin MMR sebagai vaksinasi wajib. Oleh
karena itu, akhir-akhir ini, kasus meningitis viral telah menurun jauh, karena
pada tahun 1997, menurut WHO, mumps adalah penyebab tersering
meningitis virus (± 20% dari seluruh kasus meningitis).

3.2.3 Meningitis Jamur


Meningitis akibat infeksi jamur insidensinya amat rendah, namun
dapat mengancam kehidupan. Semua orang dapat terkena meningitis jamur,
namun risiko lebih tinggi terdapat pada orang dengan sistem imunitas yang
lebih lemah dan leukemia. Penyebab tersering dari meningitis jamur adalah
Cryptococcus dan Candida.

2.3 Faktor Risiko


Faktor risiko utama untuk meningitis adalah respons imunologi
terhadap pathogen, yang masih lemah, terkait dengan usia muda. Dimana pada
usia muda ini belum sepenuhnya adekuat untuk melawan infeksi.
2.4 Anatomi

2.4.1 Lapisan selaput otak / Meninges

Meninges merupakan selaput atau septic yang terdiri atas jaringan


penyambung, sebagai pelindung dan pelindung otak. Terbagi menjadi tiga
bagian, yaitu:

1. Dura mater
Duramater atau pachymeninx merupakan lapisan paling luar, terbentuk
atas struktur fibrosa yang kuat. Kedua lapisan dura ini umumnya melekat
rapat, kecuali di beberapa tempat, seperti di daerah pembentukan sinus
venosus dan tempat dimana bagian meningeal membentuk sekat di antara
bagian-bagian otak. Dura mater dipisahkan dari araknoid mater oleh suatu
celah sempit yang disebut sebagai ruang subdural.
Pada dasarnya, dura mater ini terdiri atas dua lapis, yaitu lapisan endosteal
dan lapisan meningeal. Kedua lapisan ini selalu melekat rapat, kecuali di
beberapa area, seperti tempat terbentuknya sinus venosus.
- Lapisan endosteal
Sebetulnya merupakan lapisan periosteum yang menutupi bagian
dalam tulang septic
- Lapisan meningeal
Merupakan lapisan dura mater yang sejati, disebut juga sebagai cranial
dura mater. Fungsinya adalah membungkus otak dan berlanjut terus
melewati foramen magnum, menjadi dura mater spinalis. Lapisan
meningeal membentuk empat septum, yang berfungsi untuk menahan
pergeseran otak. Keempat septum ini adalah:
o Falx Cerebri
Merupakan lipata dura mater yang terletak pada garis tengah di
antara kedua hemisfer serebri. Bagian anteriornya melekat pada
crista galli, sedangkan bagian posteriornya nanti menyatu
dengan permukaan atas tentorium cerebelli.
o Tentorium Cerebelli
Merupakan lipatan dura mater yang berbentuk bulan sabit,
letaknya menutupi fossa cranii posterior. Septum ini juga
menutupi bagian atas serebelum dan menopang lobus
occipitalis serebri.
o Falx Cerebelli
Merupakan lipata dura mater yang kecil, melekat pada
protuberantia occipitalis interna.
o Diaphragm Sellae
Merupakan lipatan sirkuler kecil dari dura mater, yang
menutupi sella tursica dan fossa pituitary pada os sphenoidalis.
Diafragma ini memisahkan pituitary gland dari hipotalamus
dan kiasma optikum.
Pada perpisahan antara kedua lapisan dura mater ini, di antaranya terdapat
sinus duramatris yang berisi darah vena. Sinus venosus ini menerima
drainase darah dari vena di otak dan mengalir menuju vena jugularis
interna. Pada lapisan-lapisan dura mater ini, terdapat banyak cabang-
cabang pembuluh darah yang berasal dari arteri karotis interna, arteri
maxillaris, arteri occipitalis, dan arter vertebralis. Pada penerapan secara
klinis, yang terpenting adalah arteri meningea media (cabang dari arteri
maxillaris), karena arteri ini umumnya sering pecah pada kasus-kasus
trauma kapitis. Selain itu, pada dura mater juga terdapat banyak ujung-
ujung serabut saraf sensorik yang amat peka terhadap regangan.

2. Araknoid mater

Lapisan ini merupakan suatu septic imparmeabel yang halus, menutupi


otak, dan letaknya ada di antara pia mater dan dura mater. Lapisan ini
dipisahkan dari dura mater oleh suatu ruang yang disebut spatium
subdurale, dan dipisahkan dari pia mater oleh ruang subaraknoid yang
berisi liquor cerebrospinal (LCS). Pada daerah tertentu, ada bagian dari
araknoid yang menonjol ke dalam sinus venosus, membentuk vili
araknoidales, yang berfungsi sebagai tempat perembesan liquor
cerebrospinal (LCS) ke dalam aliran darah. Araknoid mater berhubungan
dengan pia mater melalui untaian jaringan fibrosa halus yang melintasi
cairan dalam kavum subaraknoid.

3. Pia mater
Lapisan pia mater ini melekat erat dengan otak dan tulang belakang,
mengikuti tiap sulcus dan gyrus yang ada. Di dalam lapisan ini, terdapat
amat banyak pembuluh darah, serta terdiri atas jaringan ikat penyambung
yang halus, dan berperan besar dalam memberi nutrisi pada jaringan saraf.
Astrosit susunan saraf pusat mempunyai ujung-ujung yang berakhir
sebagai end feet dalam pia mater, untuk nanti membentuk selaput pia-glia.
Dimana selaput ini berperan dalam mencegah masuknya bahan-bahan
yang sifatnya toksik terhadap susunan saraf pusat.

2.4.2 Liquor cerebrospinal (LCS)


Liquor cerebrospinal merupakan suatu cairan bening dan hampir sepenuhnya
bebas protein. Cairan ini memiliki karakteristik yang mirip dengan air, dan
dapat ditemukan di rongga subaraknoid serta dalam susunan ventrikel.

1. Pembentukan liquor cerebrospinal


Liquor cerebrospinal ini adalah hasil sekresi oleh plexus koroidalis, yang
terletak di ventrikel serebri. Plexus koroidalis ini adalah suatu struktur
yang memang secara khusus berfungsi dalam mensekresi, mendialisa, dan
menyerap liquor cerebrospinal.
2. Sirkulasi liquor cerebrospinal
Setelah disekresi oleh plexus koroidalis pada ventrikel lateral, LCS
mengalir melalui foramina intraventrikular dan masuk ke ventrikel ketiga.
Setelah itu, LCS mengalir melewati aquaductus Sylvii dan menuju
ventrikel keempat, kemudian masuk ke ruang subaraknoid melalui
foramen Magendie dan foramen Luscka. Dari sini, sebagian besar LCS
mengalir ke bagian medial dan lateral dari hemisfer serebri. Di ruang
subaraknoid, LCS merembes masuk melalui granulasi arachnoid, untuk
nanti bersatu dengan darah vena di dalam sinus sagittalis posterior.
Sebagian kecil LCS mengalir ke ruang subaraknoid di medulla spinalis.
3. Absorpsi liquor cerebrospinal
Vili araknoidalis adalah tempat absorpsi LCS, untuk nanti bersatu dengan
darah vena pada sinus duramatris. Vili ini terletak di ruang subaraknoid.
Seiring dengan bertambah tuanya seseorang, vili ini akan membesar, dan
disebut sebagai pacchionian bodies atau arachnoid granulation.
4. Komposisi liquor cerebrospinal
Pada orang dewasa, rata-rata volume LCS adalah 135 ml. Dari total
keseluruhan ini, diperkirana bahwa 80 ml berada di dalam ventrikel,
sedangkan 55ml sisanya terdapat di dalam ruang subaraknoid. Komposisi
dari LCS terdiri atas air, sedikit protein, gas (O2 dan CO2), natrium,
kalium, kalsium, klorida, dan sedikit sel darah putih (limfosit dan monosit)
5. Fungsi liquor cerebrospinal
Liq
uor cerebrospinal memiliki berbagai fungsi, yang pertama adalah untuk
mempertahan keseimbangan antara neuron dan glia. Kedua, adalah sebagai
bantalan yang melindungi otak dan medulla spinalis dari benturan. Ketiga,
seringkali diambil untuk dianalisa dan dijadikan sebagai penunjang
septicc.

2.5 Etiologi
Penyebab dari meningitis, berdasarkan mikroorganismenya, dapat
dibagi menjadi bakteri, virus, dan jamur. Mikroorganisme ini menginfeksi
darah dan liquor cerebrospinal. Selain didasari oleh infeksi itu sendiri,
meningitis juga dapat diakibatkan oleh penyakit non-infeksi, seperti pada
penyakit HIV dan keganasan.
2.5.1 Virus
Meningitis septic, dikenal sebagai sindrom inflamasi meningeal,
adalah suatu kondisi dimana patogen bakterialnya tidak dapat teridentifikasi.
Berdasarkan penelitian, 1 dari 4 kasus meningitis septic, disebabkan oleh
virus.

Meningitis virus pada umunya tidak menimbulkan gejala yang terlalu


berat dan dapat sembuh sendiri, tanpa pengobatan spesifik. Infeksi virus yang
dapat menyebabkan meningitis, adalah:

- Genus enterovirus (coxsackie-virus, echo-virus, rhino-virus, polio-


virus)
- Virus mumps
- Varicella-zoster virus
- Haemophillus influenza
- Virus herpes simplex
- Virus Epstein-Barr

Dari keseluruh etiologi virus ini, yang insidensinya tertinggi adalah


enteriovirus, mengenai terutama anak berusia lebih muda dari 1 tahun. Dari
sekian banyak septic enterovirus, yang paling sering teridentifikasi sebagai
etiologi meningitis adalah septic coksackie-virus A9, B2, B4, dan echo-virus
6, 9, 11, 30. Enterovirus ditransmisikan melalui jalur fekal-oral. Kasus
meningitis enterovirus, biasanya tidak disertai komplikasi apapun, bersifat
jinak, dan jarang terdapat sekuel.

Insidensi meningitis oleh virus herpes simplex juga cukup tinggi,


dengan 75% di antaranya disebabkan oleh HSV-2. Pada neonatus, biasanya
bermanifestasi sebagai lesi kulit lokal. Transmisinya dapat terjadi ketika bayi
dilahirkan secara per vaginam, melalui jalan lahir yang terinfeksi, ataupun
infeksi asendes melalui septic amnion yang utuh. Infeksi ini lebih sering
terjadi pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita infeksi primer aktif
(50%), dibandingkan dengan ibu yang menderita herpes genital rekuren (5%)

Selain infeksi secara langsung, meningitis septic non-infeksius juga


dapat dadasari oleh obat atau penyakit vaskuler. Obat yang paling sering
terlibat adalah golongan NSAID, seperti ibuprofen, immunoglobulin IV, dan
antimikroba seperti trimethoprim-sulfametoksazol. Sedangkan untuk penyakit
vaskuler, yang sering terkait adalah penyakit sistemik lupus eritematosus dan
penyakit Kawasaki.

2.5.2 Bakteri 1
Meningitis bakteri insidensinya lebih tinggi dibandingkan dengan
meningitis virus. Bakteri penyebabnya juga bervariasi sesuai dengan
kelompok umur. Selain itu, gejala yang ditimbulkan oleh meningitis bakteri,
pada umumnya lebih berat dibandingkan meningitis virus.

Pada masa neonatus (1 bulan pertama kehidupan), bakteri yang sering


menyebabkan meningitis adalah Streptococcus group B dan Listeria
monocytogenes. Berdasarkan penelitian yang ada, terdapat cukup banyak
kasus, di mana traktus genitalia maternal merupakan sumber dari patogen pada
meningitis di neonatus. Di sini, meningitis dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase
onset dini (7 hari pertama kehidupan) dan fase onset lambat (7-31 hari pertama
kehidupan). Insidensi fase onset dini adalah 1 dari 1.000 bayi lahir hidup,
sedangkan fase onset lambat adalah 0,3 kasus per 1.000 bayi lahir hidup.
Fakto resiko meningitis neonatus adalah bayi yang dilahirkan preterm.

Sedangkan pada kelompok anak usia 2 bulan – 12 tahun, biasanya


disebabkan oleh Haemophillus influenza tipe B, Streptococcus pneumonia,
dan Neisseriae meningitides. Data dari Center for Disease Control and
Prevention (CDC) pada tahun 2000, memaparkan bahwa terdapat 700 kasus
meningitis bakteri, dengan 200 kematian di Amerika Serikat. Oleh karena itu,
sejak Februari 2000, vaksin konjugasi protein polisakarida 7-valen (Prevnar®,
Wyeth Pharmaceuticals, Philadephia) dimasukkan ke dalam jadwal vaksinasi
anak. Semenjak implementasi ini, jumlah infeksi pneumokokus invasive yang
disbabkan oleh ke-7 serotipe pneumokokus tersering (14, 6B, 19F, 18C, 23F,
4, dan 9V), telah berkurang banyak. Sedangkan dari seluruh bakteri, insidensi
tertinggi secara keseluruhan, adalah akibat Mycobacterium tuberculosis.
2.5.3 Jamur 1, 4, 7, 13

Meningitis jamur menduduki insidensi terendah, dibandingkan dengan


2 kelompok etiologi lainnya. Biasanya sering pada anak dengan imunosupresif
dan penderita leukemia. Etiologi jamur yang sering ditemukan adalah
Cryptococcus neoformans, Coccidioides immits, Candida albicans, dan
Aspergillus.Infeksi jamur pada susunan saraf pusat, dapat mengakibatkan
meningitis akut, subaktus, dan kronis.
2.6 Patogenesis

2.6.1 Meningitis bakteri


Konsep dari patofisiologi meningitis bakterialis, adalah terjadinya
suatu proses yang kompleks, dengan ikut berperannya komponen-komponen
bakteri dan mediator inflamasi, menimbulkan respons peradangan pada
selaput otak (meninges). Hal ini mengakibatkan perubahan fisiologis dalam
otak, yaitu peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan aliran darah otak,
yang dapat berakibat gejala neurologis permanen.

Infeksi dapat mencapai meninges melalui beberapa cara:

- Secara hematogen, melalui infeksi yang terjadi di tempat lain


(contoh: faringitis, tonsillitis, endocarditis, pneumonia, dan infeksi
gigi).
- Perluasan secara langsung dari suatu infeksi di jaringan sekitar otak
(sinus paranasalis, sinus cavernosus, abses otak)
- Implantasi bakteri yang terjadi pada pasien dengan trauma kepala
terbuka, pungsi lumbal, dan tindakan bedah otak
- Pada neonatus, terdapat kemungkinan akan aspirasi cairan amnion
yang terinfeksi, pada saat bayi melalui jalan lahir & transmisi
secara transplasental dari ibu

Dari sekian banyak cara, yang paling sering adalah akibat penyebaran
hematogen. Saluran nafas adalah port of entry utama untuk berbagai bakteri
penyebab meningitis. Proses terjadinya meningitis bakteri secara hematogen,
melalui saluran nafas, adalah sebagai berikut:

- Kolonisasi bakteri pada sel epitel mukosa nasofaring


- Bakteri menembus sistem pertahanan mukosa
- Bakteri memperbanyak dirinya di dalam aliran darah, menghindari
serangan dari sel-sel sistem imun tubuh (fagosit, makrofag, dll)
- Bakteri masuk ke dalam liquor cerebrospinal
- Bakteri kembali memperbanyak diri di dalam liquor cerebrospinal
- Timbul peradangan pada meninges dan otak
Selain dari bakteri itu sendiri, timbulnya meningitis juga dipengaruhi
oleh faktor-faktor lainnya, yaitu:

- Faktor tubuh kita sendiri


o Berdasarkan statistic, laki-laki cenderung lebih mudah
terpapar infeksi yang menjadi meningitis
o Bayi dengan berat badan lahir rendah dan yang lahir
preterm, memiliki imunitas yang jauh lebih lemah, sehingga
rentan terhadap meningitis
o Sepsis lebih mudah terjadi pada kondisi-kondisi ketuban
pecah dini, partus yang lama, dan infeksi pada ibu saat
masa akhir kehamilan
o Malnutrisi, dimana pada kondisi ini, pasien akan memiliki
imunitas yang lemah, sehingga mempermudah terjadinya
meningitis
- Faktor lingkungan
o Kepadatan penduduk
o Kebershian yang kurang
o Pendidikan dan social ekonomi yang rendah
o Vektor binatang (tikus dan anjing), merupakan predisposisi
untuk terjadinya leptospirosis

2.6.2 Meningitis viral


Virus dapat memasuki tubuh melalui beberapa jalan, contohnya adalah
kulit, saluran pernafasan, dan saluran pencernaan. Setelah masuk ke dalam
tubuh, virus akan menyebar dan menimbulkan viremia, melalui cara-cara
seperti berikut:

- Penyebaran virus bersifat setempat, terbatas pada beberapa organ


tertentu
- Penyebaran secara hematogen, virus masuk ke dalam darah,
menyebar langsung ke organ, dan berkembang biak di dalam organ
tersebut
- Penyebaran melalui sistem limfatik, virus masuk ke dalam sistem
drainase limfatik, lalu menyebar ke organ-organ
- Penyebaran melalui saraf, dimana virus yang sebelumnya berada di
sistem limfatik, menyebar ke saraf dan bereplikasi di saraf, lalu
menginfeksi organ yang diinervasi oleh saraf tersebut

Kerusakan neurologis pada meningitis virus dapat diakibatkan oleh


beberapa mekanisme, yakni:

- Invasi secara langsung dan jaringan dihancurkan akibat translokasi


DNA dari virus ke jaringan
- Reaksi tubuh kita terhadap antigen virus tersebut, mengakibatkan
demyelinisasi dan penghancuran vaskuler

2.6.3 Meningitis Jamur


Infeksi primer paling sering berasal dari inhalasi ragi yang berada di
lingkungan sekitar. DI dalam tubuh kita, jamur ini akan membentuk suatu
kapsul polisakarida yang resisten terhadap fagositosis, sehingga jamur dapat
beradaptasi dengan baik terhadap kondisi di dalam tubuh kita. Sebagai bagian
dari mekanisme pertahanan, tubuh kita meresepon dengan mencentuskan
reaksi inflamasi yang akan memicu reaksi kompleks primer paru kelenjar
limfe.

Pada sebagian besar kasus, infeksi akan terbatas pada jaringan paru.
Manifestasi klinis yang timbul, sangat mirip dengan gejala pneumonia (sesak,
demam, dan nyeri pleuritik). Namun, pada infeksi jamur ini, seiring dengan
berjalannya waktu, gejala akan memudar, tetapi jamur dapat dorman di dalam
parenkim paru, sampai pertahanan tubuh kita melemah. Setelah sistem imun
tubuh kita melemah, koloni jamur tersebut telah cukup kuat untuk kembali
menimbulkan infeksi, dan beberapa akan menyebar dari paru ke aliran darah.
Di sinilah awal terjadinya meningitis, dengan predileksi infeksi ini, utamanya
didapatkan pada ruang subaraknoid.

Infeksi jamur yang paling sering menyebabkan meningitis adalah


Cryptococcus neoformans, oleh karena itu, infeksi ini yang akan dibahas lebih
lanjut untuk patogenesisnya. Jamur ini dikatakan memiliki karakteristik
berupa produksi phenoloxidase, adanya polisakarida, dan kemampuan
berkembang dengan cepat pada suhu tubuh manusia. Sifat-sifat ini, memiliki
keterkaitan dengan invasi terhadap sususan saraf pusat. Pada suatu studi,
dikatakan juga bahwa melanin yang ada di dalam tubuh kita, bertindak sebagai
suatu antioksidan yang meilindungi organisme ini dari mekanisme pertahanan
sistem imun tubuh.

2.7 Manifestasi Klinis


Meninigitis memiliki trias gejala klinis yang cukup khas, yaitu onset
demam yang mendadak, sakit kepala, dan kaku kuduk. Selain itu, pasien juga
dapat mengeluhkan gejala lainnya seperti:

- Mual dan muntah


- Kejang
- Fotofobia
- Penurunan kesadaran

2.7.1 Meningitis Bakterial


Tidak terdapat satupun gejala patognomonik dari meningitis bakterial.
Gejala klinis meningitis bakterial sangatlah luas, tidak spesifik, sehingga ada
kalanya beberapa kasus dimana anak tersebut menderita meningitis, namun
tidak ada gejala. Gejala klinisnya bervariasi pada usia pasien, lama sakit, dan
respon tubuh terhadap infeksi.

Meningitis yang terjadi pada bayi baru lahir amatlah sulit untuk
didiagnosis. Hal ini dikarenakan tidak adanya gejala khas. Biasanya pasien
mengeluhkan demam, namun itupun hanya ditemukan pada sekitar 50% dari
seluruh kasus meningitis. Selain itu, keluhan pasien adalah tampak lemah,
tidak mau makan, muntah, penurunan kesadaran, leher yang kaku, serta
respirasi yang tidak beraturan, dan gejala-gejala sepsis. Oleh karena itu, pada
setiap pasien sepsis, kita harus mencurigai adanya kemungkinan meningitis.
Pada bayi berusia di kisaran 3 bulan – 2 tahun, gejala yang biasanya
timbul adalah demam, kejang, muntah, dan gelisah. Selain itu, tumbuh dan
kembang anak juga dapat terhambat. Diagnosis baru dapat lebih ditegakkan
melalui pemeriksaan fisik. Dapat ditemukan tanda-tanda yang jelas, seperti
ubun-ubun yang tegang dan menonjol, serta dapat ditemukan tanda kaku
kuduk. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis dan pemeriksaan fisik yang
bermakna pada anak berusia kurag dari 1 tahun, tidak dapat diandalkan
sebagai dasar diagnosis. Disarankan untuk dilakukan pungsi lumbal untuk
mendapatkan liquor cerebrospinal, lalu dianalisis. Kembali lagi, bahwa pada
setiap anak yang demam berkepanjangan ataupun berulang, perlu dicurigai
kemungkinan adanya meningitis.

Pada anak yang telah lebih dewasa, berusia di atas 2 tahun, dapat
ditemui gejala yang lebih khas, berupa gangguan tingkah laku, dan penurunan
kesadaran yang lebih jelas. Pada pemeriksaan fisik, selain kaku kuduk yang
positif, tanda Kernig dan Brudzinski dapat ditemukan positif secara lebih
nyata.
Terdapat juga pembagian gejala klinis yang didasarkan sesuai
stadiumnya, terbagi menjadi tiga, yaitu:

- Stadium prodromal
o Gejala biasanya diawali dengan terjadinya iritasi selaput
otak
o Meningitis mulai perlahan, biasanya kenaikan suhu hanya
hingga batasan sub-febris
o Gejala klinis yang dapat timbul adalah anak menjadi apatis
dan tidurnya sering terganggu
o Pada stadium ini, kelainan neurologis belum ada yang
tampak
- Stadium transisi
o Stadium prodromal akan berlanjut menjadi stadium transisi
o Gejala klinis yang dikeluhkan biasanya adalah demam yang
lebih jelas dan mungkin terdapat penurunan kesadaran,
serta adanya kejang
o Biasanya pada stadium ini, telah ditemukan reflex fisiologis
yang meninggi (hiperrefleksia), dan terdapat kelumpuhan
nervus III, IV, dan VI, dengan manifestasi klinis berupa
nistagmus
- Stadium terminal
o Pada stadium ini, segala kelumpuhan telah terlihat lebih
nyata
o Penurunan kesadaran semakin parah, pupil melebar, serta
pasien dapat tidak bereaksi sama sekali terhadap stimulus
suara ataupun nyeri
o Pada inspeksi, dapat terlihat pernafasan Cheyne-Stokes
(cepat dan dalam)
o Suhu tubuh pasien semakin lama semakin tinggi, hingga
timbullah hiperpireksia (suhu tubuh > 41.5OC) dan anak
akan meninggal
Secara keseluruhan, kelainan-kelainan yang berasal dari susunan saraf
pusat ini, disebabkan oleh inflamasi lokal pada meninges dan gangguan suplai
darah ke saraf. Saraf kranial yang paling sering terkena adalah nervus IV, VI,
dan VII. Ditemukannya tanda meningeal, diakibatkan karena adanya nekrosis
korital dan vaskulitis oklusif.

2.7.2 Meningitis Viral


Pada umumnya, gejala klinis yang ditimbulkan meningitis viral,
tidaklah seberat meningitis bakterial.

Penyakit biasanya berlangsung mendadak, walaupun tidak menutupi


kemungkinan adanya demam, beberapa hari sebelumnya. Gejala klinis yang
dikeluhkan juga tidak ada yang spesifik, contohnya adalah demam, nyeri
kepala, dan leher yang kaku, serta muntah. Gejala lainnya yang lebih jarang
ditemukan adalah penurunan kesadaran, fotofobia, paresthesia, myalgia, dan
kejang. Bila etiologi meningitisnya adalah Echovirus atau Coxsackie, maka
dapat ditemui ruam pada kulit.

Sedangkan pada pemeriksaan fisik, temuannya juga sama dengan


meningitis bakteri. Tanda-tanda rangsang meningeal seperti kaku kudu,
Kernig, dan Brudzinski, positif.

Berikut ini dilampirkan table gejala yang secara kasar dapat membantu
mengarahkan dalam mencari etiologi meningitis viral.

Etiologi Gejala Klinis


Enterovirus Gastroenteritis, rash, faringitis
Morbilivirus Koplik spot, rash makulopapular
Herpes simplesk virus Erupsi vesikel
Epstein-barr virus Faringitis, limfadenopati, dan
splenomegaly
HIV Imunodefisiensi dan pneumonia
Mumps virus Parotitis

Koplik spot pada infeksi Morbilivirus

5, 6, 7
2.7.3 Meningitis Jamur
Gejala klinis yang ditimbulkan meningitis jamur, sama seperti dengan
meningitis viral ataupun bakterial. Sedikit perbedaan yang ditemukan adalah
timbulnya gejala lebih bertahap. Tambahan gejala yang mungkin didapatkan
pada meningitis jamur adalah pasien dapat mengeluhkan halusinasi.

2.8 Pemeriksaan Penunjang

2.8.1 Pungsi Lumbal 10


Pungsi lumbal dilakukan untuk memperoleh liquor cerebrospinal,
untuk nanti dianalisa lebih lanjut. Hal ini cukup sering dilakukan untuk
menegakkan etiologi meninigitis.
2.8.1.1 Indikasi 10

Indikasi untuk dilakukan tindakan ini adalah:

- Terdapat kejang
- Ditemukannya defisit neurologis berupa paresis ataupun paralisis
nervus kranialis
- Penurunan kesadaran hingga koma
- Ubun-ubun yang besar dan menonjol
- Kaku kuduk (+)
- Leukemia
- Sepsis

2.8.1.2 Kontraindikasi dan Komplikasi 10

Kontraindikasi mutlak untuk dilakukannya pungsi lumbal adalah jika


pasien sedang pada fase syok, terdapat infeksi di daerah sekitar pungsi, dan
adanya tanda-tanda tekanan intrakranial meninggi.

Komplikasi dari dilakukannya tindakan ini adalah dapat terjadinya


infeksi dan sakit kepala. Selain itu, perlu hati-hati juga akan tertusuknya saraf
oleh jarum pungsi karena penusukan yang tidak tepat ataupun jarum yang
patah.

ntak, menangis, dan batuk.

2.8.1.5 Analisis LCS 10

Pada pungsi lumbal yang berhasil, LCS yang keluar ditampung dalam
botol steril untuk dianalisis secara lengkap. Perlu diperhatikan adalah
kejernihan dan warna dari LCS tersebut. Pada keadaan normal, LCS berwarna
jernih. Setelah itu, ditentukan akan adanya peningkatan protein pada LCS
dengan menggunakan uji Pandy dan Nonne.

Pada uji Pandy, LCS diteteskan ke dalam tabung reaksi yang


sebelumnya telah diisi dengan 1 ml carbolic acid. Bila kadar protein
meninggi, akan didapatkan warna putih keruh pada tabung reaksi tersebut.
Sedangkan pada uji Nonne, 0.5 ml LCS diteteskan ke dalam tabung reaksi
yang sebelumnya diisi dengan 1 ml larutan ammonium-sulfat. BIla kadar
protein meninggi, didapati cincin putih pada perbatasan antara cairan
ammonium-sulfat dan LCS tersebut.

Meningitis Bakterial 3, 4

- Didapatkan cairan LCS yang keruh (cloudy)


- Hasil tes Nonne dapat negatif ataupun positif, namun tes Pandy
menunjukkan (+) atau (++)
- Pada analisis, biasanya jumlah sel adalah 100-10.000/m3 dengan
hitung jenis predominan polimorfonuklear (PMN)
- Protein meningkat cukup tinggi, berkisar di 200-500 mg/dL
- Glukosa: < 40 mg/dL

Meningitis Viral 3, 4

- Ditemukan sel pleositosis


- Hitung jenis sel, biasanya didominasi oleh limfosit
- Kadar protein tidak terlalu meningkat, biasanya < 200 mg/dL

Meningitis Jamur 3, 4

- Ditemukan sel pleositosis, namun tidak sebanyak padaq meningitis


viral
- Hitung jenis sil, biasanya didominasi oleh limfosit
- Glukosa biasanya agak menurun (< 40 mg/dL)
- Kadar protein dapat meningkat, menyerupai meningitis bakterial,
biasanya 100-200 mg/dL
2.9 Diagnosis

2.9.1 Meningitis Bakterial 4


Menegakkan diagnosis meningitis bakterial tidaklah mudah. Apabila
didasarkan pada manifestasi klinis, tidak ada yang spesifikm gejala-gejala
seperti demam, sakit kepala, dan kaku kuduk, dapat ditemukan pada
meningitis dengan etiologi apapun. Diagnosis pasti meningitis hanya dapat
ditegakkan dengan analisis liquor cerebrospinal melalui pungsi lumbal. Oleh
karena itu setiap pasien dengan kecurigaan meningitis harus dilakukan pungsi
lumbal.

Umumnya, liquor cerebrospinal berwarna keruh, akan tetapi, pada


stadium awal penyakit, dapat ditemukan liquor cerebrospinal yang masih
jernih. Reaksi Nonne dan Pandy umumnya didapatkan positif kuat. Jumlah
selnya bisa mencapai ribuan per millimeter kubik cairan, yang sebagian besar
adalah sel polimorfonuklear (PMN). Kadara gula pada LCS ditemukan
menurun, begitu juga kadar klorida.
Ketika liquor cerebrospinal diperiksa langsung di bawah mikroskop,
mungkin ditemukan kuman penyebab, walaupun kemungkinannya amat kecil.
Pada pemeriksaan darah tepi di pasien dengan meningitiss bakterial, umumnya
ditemukan leukositosis, dengan hitung jenis menunjukkan shift to the left.
Temuan klinis bermakna lainnya adalah, biasanya disertai dengan anemia
megaloblastik.

2.9.2 Meningitis Viral 4, 6, 14


Diagnosis meningitis viral hanya dapat ditegakkan melalui isolasi
virus. Namun, pada praktek sehari-hari, jarang dilakukan pemeriksaan
serologis, oleh karena banyaknya jenis virus yang dapat menyebabkan
meningitis.

Diagnosis biasanya dapat didasarkan atas usia pasien dan gejala klinis
yang ada. Walaupun, sekali lagi, gejala klinis tidak dapat menggambarkan
etiologi pasti meningitis virus. Biakan LCS dapat dilakukan, guna
menyingkirkan kemungkinan penyebab lainnya.

2.9.3 Meningitis Jamur 4, 6, 7


Standar diagnostik untuk meningitis jamur dibuat dari hasil hapusan
liquor cerebrospinal. Pada pemeriksaan LCS, ditemukan penurunan kadar
glukosa (< 40 mg/dL), protein yang berkisar di 100-200 mg/dL.

2.10 Komplikasi

2.10.1 Kejang 4
Kejang merupakan komplikasi yang penting, sangat ditakutkan oleh
keluarga pasien, dan insidensinya cukup tinggi (hampir 1 dari 5 pasien).
Kemungkinan kejang lebih tinggi pada anak berusia kurang dari 1 tahun,
mencapai 40$. Pada pasien yang sampai di fase kejang ini, biasanya aka nada
komplikasi neurologis yang sifatnya dapat menjadi permanen.

2.10.2 Edema serebral 4


Komplikasi ini paling sering terjadi pada kasus-kasus meningitis
bakterial. Serta merupakan penyebab kematian yang penting.
2.10.3 Kelumpuhan saraf kranial dan infark serebri 4
Kelumpuhan saraf kranial serta terganggunya aliran darah, merupakan
sekunder dari adanya peningkatan tekanan intrakranial. Pada beberapa kasus
yang cuku parahm pungsi lumbal mungkin diperlukan untuk mengurangi
tekanan intrakranial.

Pada infark serebri, terjadi pembengkakan sel endotel dan proliferasi


ke dalam lumen pembuluh darah, serta infiltrasi dinding pembuluh darah oleh
sel-sel inflamasi. Secara umum, infark diakibatkan oleh thrombosis pembuluh
darah, dengan vena lebih sering terkena dibandingkan arteri.

2.10.4 Efusi Subdural 6


Pada setiap kasus meningitis, harus dipikarkan akan adanya
kemunginan efusi subdural, terutama pada kasus dengan demam terus menerus
selama 72 jam, walaupun telah diberikan pengobatan yang adekuat. Selain itu,
pasien yang berpredileksi mengalami komplikasi efusi subdural, biasanya
mengeluhkan ubun-ubun yang besar dan membenjol, timbul kelainan
neurologis fokal, serta muntah proyektil. Selanjutnyam efusi subdural
memiliki 3 kemungkinan, yaitu kering sendiri (bila jumlahnya sedikit),
menetap ataupun bertambah banyak, dan menjadi empyema.

Pengobatan efusi subdural, masih kontroversial, tetapi biasanya


dilakukan tap subdural apabila terjadi penekanan jaringan otak, demam yang
menetap, dan penurunan kesadaran tanpa perbaikan. Jika setelah 2 minggu,
tetap tidak kering, pasien perlu dikonsulkan ke bedah saraf, untuk
mendapatkan penanganan lebih lanjut.

2.10.5 Gangguan cairan dan elektrolit6


Komplikasi ini paling sering ditemukan pada meningitis bakterial,
kadang disertai dengan hypervolemia, oliguria, gelisah, iritabel, dan kejang.
Hal ini diakibatkan oleh sekresi anti-diuretic hormone yang berlebihan. Oleh
karena itu, harus dipastikan bahwa dilakukan cek elektrolit yang rutin pada
pasien meningitis.
2.11 Pengobatan

2.11.1 Meningitis Bakterial


Pengobatan pada kasus meningitis bakterial harus dilakukan sesegera
mungkin, bahkan saat diagnosis baru mulai terarah ke meningitis. Namun,
idealnya haruslah dilakukan kultur darah dan analisis liquor cerebrospinal
terlebih dahulu, sebelum antibiotik mulai diberikan.

Pada bayi dan anak-anak, tatalaksana meningitis bakteri meliputi terapi


antibiotic yang tepat dan terapi suportif. Dimaksud dengan terapi suportif
disini adalah, misalnya pemberian cairan untuk mencegah gangguan elektrolit
dan memastikan balans cairan berada pada level yang normal. Anak harus
menerima cairan cukup untuk menjaga output urin dan perfusi jaringan yang
memadai, serta menghindari dehidrasi.

Selain itu, perlu diketahui bahwa ada beberapa faktor yang dapat
memempengaruhi aktivitas bakterisidal dari antibiotik, saat di dalam liquor
cerebrospinal.

Pada
anak yang
kejang, dapat

diberikan terapi sesuai dengan tatalaksana kejang. Yaitu pemberian diazepam


0,2-0,5 mg/kg BB secara intravena perlahan-lahan, apabila kejang masih
berlanjut, kembali berikan diazepam dengan dosis dan cara yang sama. Jika
kejang masih belum berhenti, berikan fenobarbital dengan dosis awal 10-20
mg/kg BB, secara intramuskular, 24 jam kemudia, diberikan dosis
maintenance 4-5 mg/kg BB h hari.

Agen etiologi dan penemuan klinis menjadi dasar dari lama


pengobatan. Namun, pada umumnya, lama pengobatan berkisar antara 10-21
hari. Pada beberapa kasus, perlu dilakukan lumbal pungsi ulanganm untuk
memverifikasi apakah terapi yang telah diberikan, berjalan sesuai dengan
harapan atau tidak.

Menurut Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak pada tahun 2004,


terapi empirik untuk nenoatus dengan meningitis bakterial adalah sebagai
berikut:

- Usia 0-7 hari


o Injeksi ampisilin 150 mg/kg BB/hari, setiap 8 jam + injeksi
cefotaxim 100mg/ kg bb/ hari, setiap 12 jam; atau
o Injeksi ceftriaxon 50 mg/kg bb/hari, setiap 24 jam; atau
o Injeksi ampisilin 150 mg/kg bb/hari, setiap 8 jam + injeksi
gentamycin 5 mg/kg bb/ hari, setiap 12 jam
- Usia > 7 hari
o Injeksi ampisilin 200 mg/kg bb/ hari, setiap 6 jam + injeksi
gentamycin 7,5 mg/kg bb/ hari, setiap 12 jam; atau
o Injeksi ampisilin 200 mg/kg bb/hari, setiap 8 jam
o Injeksi ceftriaxone 75 mg/kg bb/hari, setiap 24 jam

Pemberian antibiotik pada pasien yang dicurigai meningitis, harus


dilakukan dengan cepat. Pemilihan antibiotic inisial, harus yang memiliki
kemampuan melawan 3 patogen tersering: Streptococcus pneumonia,
Neisseria menigitidis, dan Haemophillus influenza.

Bayi dan Anak

Berdasarkan penelitian oleh Infectious Diseases Society of America


(IDSA) practice guidelines for bacterial meningitis, pada tahun 2004,
kombinasi dari vankomisin dan ceftriaxone adalah yang paling dianjurkan.
Kombinasi ini memberikan respon adekuat terhadap Streptococcus pneumonia
dan Haemophillus influenza tipe B. Perlu dicatat bahwa tidak dianjurkan untuk
mengganti ceftriaxone dengan ceftazidine, karena kemampuan
bakteriostatiknya terhadap Streptococcus pneumonia, kurang baik.

Terapi dengan karbapenem dapat dipertimbangkan sebagai pilihan,


pada patogen yang resisten sefalosporin. Sedangkan penggunaan
fluorokuinolon dapat menjadi pilihan untuk pasien yang tidak dapat
menggunakan antibiotik jenis lain atau gagal setelah diberikan terapi
sebelumnya.

Sedangkan pada meningitis tuberkulosis, pada dasarnya, terapi yang


diberikan adalah pemberian kombinasi obat anti-tuberkulosis, serta
kortikosteroid.Tidak lupa juga diberikan penambahan obat simtomatik
(misalnya anti-kejang jika terdapat kejang dan koreksi dehidrasi bila terjadi
gangguan elektrolit. Terapi anti-tuberkulosis yang diberikan, sesuai dengan
konsep baku yang ada, yaitu 2 bulan fase intensif dengan 4-5 OAT (isoniazid,
rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol), dilanjutkan dengan 12
bulan selanjutnya diberikan 2 OAT (isoniazid dan rifampisin).

Terapi suportif lainnya yang masih bersifat kontroversial, adalah


pemberian glukokortikoid. Seperti telah dipelajari, bahwa sitokin inflamatorik
(interleukin-1, interleukin-6, dan faktor nekrosis tumor alfa) memiliki pernah
dalam patofisiologi meningitis bakterialis. Suatu percobaan pada binatang
laboratorium yang diinfeksi meningitis, dicoba penambahan terapi
glukokortikoid, hasilnya adalah ditemukan adanya perbaikan meningitis. Pada
empat percobaan acak, placebo-kontrol, pada anak berusia lebih dari 2 bulan,
terapi tambahan berupa deksametason dapat mengurangi sekuele audiologik
dan neurologik. Kontroversi disini adalah karena keempat anak tersebut
menderita meningitis akibat Haemophillus influenza. Suatu riset terkini yang
melibatkan anak dengan meningitis Streptococcus pneumonia, perbaikan
sekuele audiologik dan neurologik yang terjadi tidak sesebustansial pada
meningitis Haemophillus influenza.
Berikut adalah gambar rekomendasi antibiotik untuk pasien suspek
meningitis bakterialis, yang telah terbukti positif pada pewarnaan gram.

Untuk durasi terapi antibiotik, belum ada durasi optimal yang secara
jelas direkomendasikan, bahkan untuk patogen yang insidensinya cukup
tinggi. Secara tradisional, jangka waktu 7 sampai 10 hari sudah cukup untuk
mengobati meningitis akibat Streptococcus pneumonia hingga tuntas.
Sedangkan untuk patogen lainnya, direkomendasikan pemberian yang lebih
lama, 10 sampai 21 hari. Pada suatu percobaan acak, terapi dengan seftriakson
pada anak dengan meningitis Haemophillus influenza, terapi selama 7 hari
ternyata memiliki efektivitas yang sama dengan terapi selama 10 hari. Namun,
pada praktek sehari-hari, durasi terapi tiap-tiap pasien biasanya berbeda,
karena kembali disesuaikan secara individual, berdasarkan gejala klinis dan
respons tubuh serta patogennya itu sendiri. Di bawah ini adalah suatu gambar
rekomendasi durasi pemberian antibiotik untuk meninigits bakterialis yang
diunduh dari http://www.nejm.org. Gambar ini memberikan gambaran durasi
terapi, secara umum.
2.11.2 Meningitis Viral
Kebanyakan kasus meningitis virus bersifat self-limited dan terapi yang
diberikan cukup terapi simtomatik. Bahkan, pada beberapa kasus, pasien tidak
diindikasikan untuk rawat inap. Pada pasien dengan defisiensi imunitas
ataupun sepsis berat pada neonatus, dapat diberikan immunoglobulin
intravena.

Bukti anekdotla mendukung pemberian asiklovir untuk bagian dari


terapi meningitis Herpes Simplex virus, Epstein-barr virus, dan Varicella
zoster virus. Terapi ini biasanya diindikasikan untuk pasien dengan meningitis
HSV primar dan pasien meningitis viral yang memiliki gejala dan defisit
neurologis yang berat. Selain asiklovir, dapat diberikan juga famsiklovir, dan
valasiklovir. Studi membuktikkan bahwa penggunaan ketiga golongan ini,
memiliki efektifitas yang sama-sama baik. Dosis asiklovir yang biasa
digunakan adalah 10 mg/kg BB, diberikan setiap 8 jam. Hingga saat ini, belum
ada rumusan pasti untuk penggunaan famsiklovir, karena memang
penggunaan obat ini masih jarang, tetapi, suatu studi menyimpulkan bahwa
dosis famsiklovir untuk anak-anak berkisar di 150-500 mg/hari. Untuk
valaskilovir, dosis yang direkomendasikan adalah 20mg / kg BB, 3x sehari,
dengan dosis maximum adalah 1000mg dalah 1 hari.

2.11.3 Meningitis Jamur


Terapi tentunya disesuaikan dengan etiologi funginya. Untuk
meningitis yang diakibatkan oleh infeksi Candida albicans, terapi awal
pilihannya adalah amfoterisin B (0,7 mg/kg bb/hari). Terapi lainnya yang juga
dapat diberikan adalah golongan azole, namun biasanya lebih sering
digunakkan sebagai terapi lanjutan.

Etiologi tersering kedua, setelah Candida albicans, adalah


Coccidioides immitis. Pda infeksi oleh organisme ini, amtoferisin B
merupakan drug of choice. Dosis inisial adalah 0,1 mg untuk 3 kali suntikan
pertama. Selanjutnya dosis dapat ditingkatkan menjadi 0,25-0,5mg, 3-4
kalisetiap minggu. Perlu diketahui akan efek samping dari amfoterisin B
(nyeri punggung, nyeri tungkai). Jika memang pasien tidak dapat menolerasi
efek samping ini, terapi dapat diubah menjadi Flukonazol oral (400mg / hari)

2.12 Pencegahan

2.12.1 Meningitis Bakterial


Melakukan imunisasi yang ttepat waktu dan sesuai jadwal adalah
pencegahan terbaik untuk meningitis akibat bakteri. Selain itu, pasien ataupun
ibu pasien juga perlu dinasihati untguk membiasakan hidup yang sehat (cukup
istirahat dan kurangi kontak dengan penderita lain). Pada ibu yang sedang
hamil, risiko anaknya terkena meningitis oleh bakteri Listeria dapat dikurangi
dengan memasak daging hingga matang dan menghidari susu yang tidak
terpasteurisasi

Berikut ini adalah beberapa vaksin untuk bakteri penyebab meningitis:

- Neisseria meningitides
o Direkomendasikan rutin untuk orang berusia 11-18 tahun
dan anak yang dinilai berisiko tinggi
- Pneumococcal
o Vaksin pneumococcus konjugasi, PCV7 (Prevnar®), yang
diproduksi akhir tahun 2000, merupakan vaksin pertama
yang digunakan untuk anak-anak usia kurang dari 2 tahun.
PCV13 (Prevnar 13®), diproduksi awal tahun 2010,
menggantikan PCV7.
o Vaksin pneumococcus sebagai pencegahan penyakit pada
anak-anak usia 2 tahun atau lebih dan dewasa sudah
digunakan sejak tahun 1977.
- HiB
o Vaksin Haemophillus influenza tipe B (Hib) mempunyai
efektivitas yang tinggi dalam mencegah terjadinya
meningitis oleh bakteri Haemophillus influenza tipe B.
o Vaksin ini direkomendasikan untuk semua anak berusia
kurang dari 5 tahun
- Mycobacterium tuberculosis
o Vaksin BCG dapat mengurangi faktor risiko terkenanya
meningitis tuberkulosis, hingga mencapai angka 64%

2.12.2 Meningitis Viral


Seseorang yang menderita infeksi virus dapat sewaktu-waktu
berkembang menjadi meningitis. Tidak terdapat vaksin untuk penyebab
tersering dari meningitis virus. Cara terbaik untuk mencegahnya adalah
dengan mencegah terjadinya infeksi virus. Namun, hal ini sulit dilakukan oleh
karena seseorang dapat menderita infeksi virus dan menyebarkan virus
tersebut walaupun tidak terlihat sakit.

Berikut beberapa cara untuk mengurangi resiko terserang infeksi virus


atau menyebarkannya ke orang lain :

- Cuci tangan dengan benar dan sering, terutama setelah mengganti


popok, menggunakan toilet, batuk atau bersin dan memegang
hidung.
- Bersihkan benda-benda yang mungkin terkontaminasi, seperti
pegangan pintu dan remote control tv dengan sabun dan air,
lakukan desinfeksi dengan mengencerkannya dengan cairan
pemutih yang mengandung klorin.
- Hindari berciuman atau bertukar gelas minuman, alat makan,
lipstick atau benda lain dengan seseorang yang sakit atau dengan
orang lain saat kita sakit.
- Pastikan seluruh anggota keluarga sudah divaksin.
- Pastikan bahwa jadwal imunisasi anak berjalan dengan tepat
waktu. Karena vaksinasi lainnya, misalnya vaksin MMR, terbukti
dapat membantu mencegah terjadinya meningitis
- Hindari gigitan nyamuk atau serangga lain yang dapat menjadi
vector penyakit

2.12.3 Meningitis Jamur


Seseorang dengan keadaan imunnya tersupresi, dapat mencoba
menghindari kotoran burung, kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan
debu. Hal ini terutama jika pasien tingga di daerah yang endemic terhadap
beberapa jamur, seperti Histoplasma dan Coccidioides. Sedangkan untuk
infeksi oleh Candida albicans, perlu dipastikan bahwa operasi saat bayi akan
lahir harus steril dan bersih sepenuhnya. Mulai dari alat-alat yang digunakan
hingga jalan keluarnya bayi, harus sudah dilakukan tindakan septik antiseptic.

Sumber

1. Saharso D, dkk. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Buku Ajar Neurologi Anak, Jakarta: BP
IDAI; 1999
2. Sitorus MS. Sistem ventrikel dan liquor cerebrospinal. Available from:
http://repository.usu.ac.id/123456789/3546/1/anatomi-mega2.pdf. Accessed on
10/08/2013
3. Lazoff M, Slabinski MS, Talaver F, Weiss EL, Halamka JD, Kulkarni L. Meningitis.
Society for Academic Emergency Medicine. USA: 2010.
4. Fenichel GM. Clinical Pediatric Neurology. 5th edition. Philadelphia: Elsevier
saunders; 2005
5. American Academy of Pediatrics. Meningococcal infections. In: Pickering LK, Baker
CJ, Long SS, McMillan JA, eds. Red Book: 2006 Report of the Committee on
Infectious Diseases. 27th ed. Elk Grove Village, Ill: American Academy of
Pediatrics; 2006: p.452–560
6. Mann K, Jackson MA. Meningitis. Pediatr. Rev. 2008; 29: p.417-430.
7. Latief A, Napitupulu PM, Pudjiadi A, Ghazali MV, Putra ST. Dalam: Hassan R,
Alatas H, editor. Infeksi. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid kedua. Cetakan
Kesebelas. Jakarta: Percetakan Info Medika. 1985: h.549-659.
8. Muller ML, Jaimovich D, Windle ML, Domachowske J, Tolan RW Jr, Steele RW.
Bacterial Meningitis. University of New Mexico School of Medicine. USA:
2009.
9. Nelson textbook of pediatrics 20 E
10. Rudolph’s pediatrics 22 E

Anda mungkin juga menyukai