Case Sukby DR Hasan Final For Print
Case Sukby DR Hasan Final For Print
Pembimbing:
Dr. H. Hasan Basri, Sp. A
Disusun oleh:
Bryan Horiando (2016-061-172)
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. N
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 7 tahun 26 hari
Tanggal Lahir : 16 November 2017
Alamat Orang Tua : KP Cikondang
Agama Orang Tua : Islam
Berat Badan :17 kg
Panjang Badan : 100 cm
Tanggal Masuk RS : 3 Januari 2018
Tanggal Keluar RS : 15 Januari 2018
Tanggal Periksa : 6 Januari 2018
ANAMNESIS
(Alloanamnesis dengan ayah ibu pasien pada tanggal 6 Januari 2018)
Riwayat Pengobatan
Tidak ada
Riwayat Kehamilan
Kesehatan ibu selama hamil: keputihan (-)
ANC: tidak teratur setiap bulan
Imunisasi TT: -
Obat-obatan selama kehamilan: -
Kebiasaan merokok, konsumsi alkohol dan NAPZA: disangkal
Tn. K 35 tahun
Ny. F 33 tahun
Riwayat Kelahiran
Tempat persalinan: klinik bidan
Penolong persalinan: bidan
Cara persalinan: spontan
Hambatan persalinan: tidak ada
Masa gestasi: 36 minggu
Keadaan bayi: BBL 2500 gram, PBL 42 cm, langsung menangis kuat
Status Imunisasi
Riwayat Makanan
0 – 6 bulan : ASI
6 – 9 bulan : ASI + bubur saring
9– 12 bulan : ASI + makanan lunak dengan lauk cincang
12 bulan – 2 tahun : ASI + makanan keluarga
2 tahun – sekarang : Makanan keluarga
Riwayat Perkembangan
Pemeriksaan Generalisata
Kepala :Normocephali (LK = 26 cm), deformitas (-), ubun-ubun besar datar
Mata :Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), sekret (-/-)
Hidung :Deviasi septum (-), Sekret (-/-)
Telinga :Meatus akustikus eksternus intak (+/+), sekret (-/-), darah (-/-)
Mulut :Mukosa oral basah, palatum intak
Leher :Trakea di tengah, benjolan (-), pembesaran KGB leher (-)
Paru
Inspeksi :Terpasang nasal canule O2 0,5 lpm, gerakan napas tampak
simetris, retraksi subcostal(+), retraksi intercostal(+)
Palpasi :Gerakan napas teraba simetris
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Sopor ( E2M3V2)
Nadi : 60 x / menit (Normal : 60-100 x / menit) teraba
lemah, teratur,
Laju Nafas : 20x /menit (Normal : 14 – 22 x / menit)
Suhu : 37 o C (Normal: 36,7-37,6 o C)
Paru
Inspeksi :Terpasang nasal canule O2 1 lpm, gerakan
napas tampak simetris, barrel chest (-), retraksi (-)
Palpasi :Gerakan napas teraba simetris
Perkusi :Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi :Bunyi napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS 4 linea
midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas jantung atas ICS 2 parasternal kiri, batas
jantung kanan ICS 4 parasternal kanan, batas jantung kiri,
ICS 4 midclavicula kiri
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop
(-)
Abdomen
Inspeksi : Tampak datar, bekas luka (-), striae (-)
Auskultasi : Bising usus (+), 4x/menit
Palpasi :Teraba supel, hepar teraba 2 cm dibawah arcus
costae.
Perkusi : timpani di seluruh regio abdomen.
Pemeriksaan Neurologis
Kesadaran : Sopor (E2M3V2)
Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : positif
Tes Kernig : negatif
Brudzinski 1 : positif
Brudzinski 2 : negatif
Refleks Fisiologis :
Biceps : ++/++ , Triceps : ++/++
Patella : ++/++, Archilles : ++/++
Refleks Patologis :
Babinski +/-, Chaddock +/- , Oppenheim -/- , Gordon -/- , Schaeffer -/-, klonus -/-
Saraf-Saraf Kranial :
N.I :Tidak diperiksa
N.II dan III :Pupil isokor 3mm/3mm, letak pupil di tengah, Refleks cahaya
langsung -/-, Reflek cahaya tidak langsung -/-
N.III,IV,VI :Sulit dinilai
N.V :Sulit dinilai
N.VII :Wajah tampak simetris saat pasien tenang
N.VIII :Sulit dinilai
N.IX,X :Sulit dinilai
N.XI :Sulit dinilai
N.XII :Lidah tidak atrofi, posisi lidah di tengah
Motorik :
Kekuatan lengan dan tungkai pasien simetris tidak dapat dinilai
Klonus , otot dalam keadaan normotonus
terdapat adanya spasme dan rigiditas
Sensorik :
Respon terhadap nyeri dan perabaan
Pasien tidak bereaksi terhadap rangsangan sentuh dan nyeri
Otonom
BAK (+), BAB (-), Keringat (-)
Refleks fisiologis
Bisep : ++ | ++
Trisep: ++ | ++
Patella: ++ | ++
Achilles: ++ | ++
Refleks patologis:
Babinski (+/-)
Chaddock (+/-)
Oppenheim (-/-)
Gordon (-/-)
Schaeffer (-/-)
Klonnus (-/-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG (3/1/2018)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi
Hb 10 g/dL 11,5 – 14.5
Leukosit 9600 /μL 4.000-12.000
Hematokrit 30 % 33 - 43
Eritrosit 4.1 juta/μL 3.8-5.2
Trombosit 412.000 /μL 150.000-450.000
Index Eritrosit
MCV 74 fL 76 - 90
MCH 26 Pg 25 - 31
MCHC 35 g/dL 32 - 36
RESUME
An. N Febris sejak 7 hari SMRS, kualitas demam continous, hanya turun jika
diberikan obat paracetamol dan muncul kembali. Nausea dan vomitus dirasakan
pasien setiap hari frekuensi ± 3 kali isinya makanan dan lendir, darah (-), tidak
projektil. Cephalgia dengan kualitas ditusuk, hilang hanya setelah minum paracetamol
dan kembali muncul. 5 hari SMRS mulai malaise dan cenderung.tidur, tidak bisa
menjawab sesuai dengan apa yang ditanyakan. 1 hari SMRS ada kejang (+) durasi ± 5
menit kualitas generalized tonik klonik, mata mendelik keatas, dan post ictal tidak
sadar. Lebih peka terhadap cahaya dan halusinasi disangkal.
Pemeriksaan Fisik tampak sakit berat dengan penurunan kesadaran ( E2M3V2).
Diikuti dengan Tekanan darah, laju nadi, laju nafas dan suhu dalam batas
normal.Didapatkan ronkhi basah kasar dikedua lapang paru. Kepala normocephali dan
tidak didapatkan adanya benjolan maupun deformitas.Mata untuk rangsang cahaya
langsung dan tidak langsung negatif, pupil isokor
Pemeriksaan neurologis untuk rangsang meningeal positif pada kaku kuduk dan
brudzinki I. Positif pada reflek patologis babinski dan chaddock pada bagian kanan.
Persarafan cranial untuk nervus occulomotor terdapat gangguan.
ASSESSMENT
An.N, 7 tahun,perempuandengansuspek meningoencephalitis e.c suspek bakteri DD/
Viral DD/ Tuberkulosis
Status Imunisasi tidak lengkap menurut IDAI 2017
Status Gizi cukup menurut CDC
Riwayat perkembangan baik menurut HEADSS
TATALAKSANA
Rawat di PICU Kaen MG3 7 jam Kaen MG3 7 jam Kaen MG3 7 jam dengan 15 tpm
IVFD 2A 1250 ml/24 jam dengan 15 tpm dengan 15 tpm Benutrien 5 jam 15 tpm
Injeksi Ampicilin 4 x 1 gr Benutrien 5 jam 15 Benutrien 5 jam 15 tpm Ceftriaxone 2 x 1 gr ( IV )
( IV ) tpm Ceftriaxone 2 x 1 gr ( IV ) Ranitidin 2 x 10 gr (IV)
Injeksi Colcancentin 4 x Ampicilin 4 x 1 gr Ranitidin 2 x 10 gr (IV) Dexametasone 3 x 4 g (IV)
425 mg ( IV ) Colcancentin 4 x 425 mg Dexametasone 3 x 4 g (IV)
Injeksi Dexamethasone 3 ( IV)
x 4 g ( IV ) Dexametasone 3 x 4 mg
Injeksi ranitidin 2 x 25 ( IV )
mg ( IV ) Ceftriaxone 2 x 1 gr (IV)
Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad malam
Quo ad Fungsionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanactionam: Dubia ad malam
Follow-up
S Os tidak sadar
HR ( 60 – 105 )
(62 – 105) x/menit (62 – 100) x/menit ( 55- 100 ) x/menit
x/menit
Pemeriksaan Mata; RCL dan Mata; RCL dan Mata; RCL dan Mata; RCL dan
Fisik RCTL -/-, pupil RCTL -/-, pupil RCTL -/-, pupil RCTL -/-, pupil
isokor 3mm/3mm isokor 3mm/3mm isokor 3mm/3mm isokor 3 mm/3 mm
Paru : ronki basah Paru : ronki basah Paru : ronki basah Paru : ronki basah
kasar +/+ kasar +/+ kasar +/+ kasar +/+
Ventilasi O2 1 lpm BC
Ceftriaxone 2 x 1 gr IV
P
Ranitidin 2 x 20 mg IV
Dexametasone 3 x 4 mg IV
Ampicilin 3 x 700
Paracetamol 170
Tambahan mg IV, Paracetamol
mg IV
170 mg IV
Hasil Laboratorium 8/1/2018
Elektrolit
Paru : ronki basah Paru : ronki basah Paru : ronki Paru : ronki basah
kasar +/+ kasar +/+ basah kasar +/+ kasar +/+
Pe H S N
me a a il
rik s t ai
saa il u R
n a u
n j
u
k
a
n
Hematologi
Hb 1 g 1
2 / 1,
. d 5
9 L –
1
4.
5
Le 1 / 4.
uk 3 μ 0
osit . L 0
1 0
0 -
0 1
2.
0
0
0
He 3 % 3
ma 9 3
tok -
rit 4
3
Eri 5 j 3.
tro . u 8
sit 1 t -
a 5.
/ 2
μ
L
Tro 2 / 1
mb 2 μ 5
osit 9 L 0.
. 0
0 0
0 0
0 -
4
5
0.
0
0
0
Index
Eritrosit
M 7 f 7
CV 6 L 6
-
9
0
M 2 P 2
CH 6 g 5
-
3
1
M 3 g 3
CH 3 / 2
C d -
L 3
6
14 Januari 2018 15 Januari 2018
Follow-up
HR 12 HR 13
Os sempat tidak bernapas spontan,
S dilakukan RJP, pemasangan intubasi dan
ventilator.
O Kesadaran Coma (E1M1V1)
HR (60– 96) x/menit ( 65 – 95 ) x/menit
Suhu ( 36,5 – 38,4) (36,4 - 38 )
RR On ventilator
On ventilator
FiO2 100 %, Peep 8, SPO2 72-
FiO 80 % - 100 %, Peep 8
81%
Tekanan
(65-115) / (40-75) (65-80)/(35-50)
darah
Pemeriksaa Mata; RCL dan RCTL -/-, pupil
Mata; RCL dan RCTL -/-, pupil midriasis
n fisik midriasis isokor 5 mm/ 5 mm
isokor 5 mm/ 5 mm
Paru : ronki basah kasar +/+
Paru : ronki basah kasar +/+
Refleks patologis :
Refleks patologis :
Babinski +/-. Chaddock +/-
Babinski +/-. Chaddock +/-Openheim +/-
Openheim +/-
Ventilasi
02 2lpm BC
An. N, 7 tahun, perempuan dengan suspek meningoencephalitis e.c suspek
A bakteri
BAB II
ANALISA KASUS
Meningitis Bakterial
Dasar Diagnosis Teori Kasus
Dasar Diagnosis
Teori Kasus
Pemeriksaan Fisik - Perubahan status mental Kesadaran os menurun (E2M3V2)
konsekuensi dari peningkatan ICP, hingga mencapai (E1M1V1)
cerebritis atau hipotensi yang Ada tanda – tanda peningkatan ICP
menyebabkan iritabilitas, lethargy, iritabilitas, nyeri kepala yang hilang
stupor, dan koma timbul, muntah 2-3 kali perhari, apneu (
- Suhu demam, HR takikardi, menggunakan ventilator ), postur
hipotensi, dekortikasi dan deserebrasi.
- 40 % terjadi demam, kaku kuduk +, Ada trias demam, kaku kuduk positif
dan nyeri kepala (+), dan nyeri kepala (+).
- Tanda positif dari rangsang Rangsang meningeal ( kaku kuduk (+),
meningeal dan burdzinki 1 (+)
- Tanda – tanda peningkatan ICP
nyeri kepala, muntah, bulging
fontanel /diastase sutura,
occulomotor ( ptosis,anisokoria ),
hipertensi dengan bradikari, apneu /
hiperventilasi, postur dekortikasi /
deserebrasi, stupor, coma, tanda –
tanda herniasi.
Diagnosis - Analisis CSF --> pewarnanaan gram - Lp tidak dilakukan tidak
dan kultur bakteri, neutrophilic dapat menganalisis CSF
pleositosis, protein meningkat dan - Kultur darah tidak dilakukan
kadar glukosa menurun - CRP, LED, dan procalsitonin
- Kultur darah perlu dilakukan tidak dilakukan.
pada orang suspek meningitis
- CRP, LED dan procalsitonin
membedakan virus dan bakteri
Dasar
Teori Kasus
Diagnosis
Treatment Antibiotik - Ampicilin 4 x 1 gr IV
- Amikacin 20 – 30 mg/kgBB dibagi 3 - Kloramfenikol 4 x 425
dosis mg IV
- Ampicillin 300mg/kgBB dibagi 4 dosis - Dexamethasone 3 x 4 gr
- Cefotaxime 225-300 mg/kgbb dibagi 3 IV
– 4 dosis - Ranitidine 2 x 25 mg IV
- Ceftriaxone 100 mg/kgbb dibagi 2 - Ceftriaxone 2 x 1 gr IV
dosis - Paracetamol 170 mg IV
- Ceftazidime 150 mg/kgbb dibagi 3 ( bila demam )
dosis - As. Tranexamat 2 x 12,5
- Gentamicin 7,5 mg/kgbb dibagi 3 mg IV
dosis
- Meropenem 120 mg/kgbb dibagi 3
dosis
- Nafcillin 200 mg/kgbb dibagi 4 dosis
- Penicillin G 300.000 dibagi 4-6 dosis
- Rifampin 10 – 20 mg/kgbb dibagi 1-2
dosis
- Tobramycin 7,5 mg/kgbb dibagi 3
dosis
- Vancomycin 60 mg/kgbb 4 dosis
Corticosteroid
- Dexamethasone 0,15mg/kgBB dibagi
4 dosis
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Meningitis adalah terjadinya suatu proses peradangan atau inflamasi
pada selaput otak (meninges), meliputi dura mater, araknoid mater, dan pia
mater. Ketiganya berfungsi sebagai pelapis otak dan medulla spinalis. Proses
peradangan atau inflamasi ini dapat didasari oleh beberapa etiologi (infeksi
dan non-infeksi), serta dapat diidentifikasi oleh adanya peningkatan kadara
leukosit di dalam likuor cerebrospinal (LCS).
3.2 Epidemiologi
Tingkat insidensi meningitis bervariasi, sesuai dengan etiologi
spesifiknya. Di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, dilaporkan
bahwa insidensinya sekitar 10x lipat lebih sering dibandingkan dengan di
negara-negara yang sudah maju. Hal ini utamanya diakibatkan oleh kurangnya
akses ke upaya-upaya pencegahan.
1. Dura mater
Duramater atau pachymeninx merupakan lapisan paling luar, terbentuk
atas struktur fibrosa yang kuat. Kedua lapisan dura ini umumnya melekat
rapat, kecuali di beberapa tempat, seperti di daerah pembentukan sinus
venosus dan tempat dimana bagian meningeal membentuk sekat di antara
bagian-bagian otak. Dura mater dipisahkan dari araknoid mater oleh suatu
celah sempit yang disebut sebagai ruang subdural.
Pada dasarnya, dura mater ini terdiri atas dua lapis, yaitu lapisan endosteal
dan lapisan meningeal. Kedua lapisan ini selalu melekat rapat, kecuali di
beberapa area, seperti tempat terbentuknya sinus venosus.
- Lapisan endosteal
Sebetulnya merupakan lapisan periosteum yang menutupi bagian
dalam tulang septic
- Lapisan meningeal
Merupakan lapisan dura mater yang sejati, disebut juga sebagai cranial
dura mater. Fungsinya adalah membungkus otak dan berlanjut terus
melewati foramen magnum, menjadi dura mater spinalis. Lapisan
meningeal membentuk empat septum, yang berfungsi untuk menahan
pergeseran otak. Keempat septum ini adalah:
o Falx Cerebri
Merupakan lipata dura mater yang terletak pada garis tengah di
antara kedua hemisfer serebri. Bagian anteriornya melekat pada
crista galli, sedangkan bagian posteriornya nanti menyatu
dengan permukaan atas tentorium cerebelli.
o Tentorium Cerebelli
Merupakan lipatan dura mater yang berbentuk bulan sabit,
letaknya menutupi fossa cranii posterior. Septum ini juga
menutupi bagian atas serebelum dan menopang lobus
occipitalis serebri.
o Falx Cerebelli
Merupakan lipata dura mater yang kecil, melekat pada
protuberantia occipitalis interna.
o Diaphragm Sellae
Merupakan lipatan sirkuler kecil dari dura mater, yang
menutupi sella tursica dan fossa pituitary pada os sphenoidalis.
Diafragma ini memisahkan pituitary gland dari hipotalamus
dan kiasma optikum.
Pada perpisahan antara kedua lapisan dura mater ini, di antaranya terdapat
sinus duramatris yang berisi darah vena. Sinus venosus ini menerima
drainase darah dari vena di otak dan mengalir menuju vena jugularis
interna. Pada lapisan-lapisan dura mater ini, terdapat banyak cabang-
cabang pembuluh darah yang berasal dari arteri karotis interna, arteri
maxillaris, arteri occipitalis, dan arter vertebralis. Pada penerapan secara
klinis, yang terpenting adalah arteri meningea media (cabang dari arteri
maxillaris), karena arteri ini umumnya sering pecah pada kasus-kasus
trauma kapitis. Selain itu, pada dura mater juga terdapat banyak ujung-
ujung serabut saraf sensorik yang amat peka terhadap regangan.
2. Araknoid mater
3. Pia mater
Lapisan pia mater ini melekat erat dengan otak dan tulang belakang,
mengikuti tiap sulcus dan gyrus yang ada. Di dalam lapisan ini, terdapat
amat banyak pembuluh darah, serta terdiri atas jaringan ikat penyambung
yang halus, dan berperan besar dalam memberi nutrisi pada jaringan saraf.
Astrosit susunan saraf pusat mempunyai ujung-ujung yang berakhir
sebagai end feet dalam pia mater, untuk nanti membentuk selaput pia-glia.
Dimana selaput ini berperan dalam mencegah masuknya bahan-bahan
yang sifatnya toksik terhadap susunan saraf pusat.
2.5 Etiologi
Penyebab dari meningitis, berdasarkan mikroorganismenya, dapat
dibagi menjadi bakteri, virus, dan jamur. Mikroorganisme ini menginfeksi
darah dan liquor cerebrospinal. Selain didasari oleh infeksi itu sendiri,
meningitis juga dapat diakibatkan oleh penyakit non-infeksi, seperti pada
penyakit HIV dan keganasan.
2.5.1 Virus
Meningitis septic, dikenal sebagai sindrom inflamasi meningeal,
adalah suatu kondisi dimana patogen bakterialnya tidak dapat teridentifikasi.
Berdasarkan penelitian, 1 dari 4 kasus meningitis septic, disebabkan oleh
virus.
2.5.2 Bakteri 1
Meningitis bakteri insidensinya lebih tinggi dibandingkan dengan
meningitis virus. Bakteri penyebabnya juga bervariasi sesuai dengan
kelompok umur. Selain itu, gejala yang ditimbulkan oleh meningitis bakteri,
pada umumnya lebih berat dibandingkan meningitis virus.
Dari sekian banyak cara, yang paling sering adalah akibat penyebaran
hematogen. Saluran nafas adalah port of entry utama untuk berbagai bakteri
penyebab meningitis. Proses terjadinya meningitis bakteri secara hematogen,
melalui saluran nafas, adalah sebagai berikut:
Pada sebagian besar kasus, infeksi akan terbatas pada jaringan paru.
Manifestasi klinis yang timbul, sangat mirip dengan gejala pneumonia (sesak,
demam, dan nyeri pleuritik). Namun, pada infeksi jamur ini, seiring dengan
berjalannya waktu, gejala akan memudar, tetapi jamur dapat dorman di dalam
parenkim paru, sampai pertahanan tubuh kita melemah. Setelah sistem imun
tubuh kita melemah, koloni jamur tersebut telah cukup kuat untuk kembali
menimbulkan infeksi, dan beberapa akan menyebar dari paru ke aliran darah.
Di sinilah awal terjadinya meningitis, dengan predileksi infeksi ini, utamanya
didapatkan pada ruang subaraknoid.
Meningitis yang terjadi pada bayi baru lahir amatlah sulit untuk
didiagnosis. Hal ini dikarenakan tidak adanya gejala khas. Biasanya pasien
mengeluhkan demam, namun itupun hanya ditemukan pada sekitar 50% dari
seluruh kasus meningitis. Selain itu, keluhan pasien adalah tampak lemah,
tidak mau makan, muntah, penurunan kesadaran, leher yang kaku, serta
respirasi yang tidak beraturan, dan gejala-gejala sepsis. Oleh karena itu, pada
setiap pasien sepsis, kita harus mencurigai adanya kemungkinan meningitis.
Pada bayi berusia di kisaran 3 bulan – 2 tahun, gejala yang biasanya
timbul adalah demam, kejang, muntah, dan gelisah. Selain itu, tumbuh dan
kembang anak juga dapat terhambat. Diagnosis baru dapat lebih ditegakkan
melalui pemeriksaan fisik. Dapat ditemukan tanda-tanda yang jelas, seperti
ubun-ubun yang tegang dan menonjol, serta dapat ditemukan tanda kaku
kuduk. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis dan pemeriksaan fisik yang
bermakna pada anak berusia kurag dari 1 tahun, tidak dapat diandalkan
sebagai dasar diagnosis. Disarankan untuk dilakukan pungsi lumbal untuk
mendapatkan liquor cerebrospinal, lalu dianalisis. Kembali lagi, bahwa pada
setiap anak yang demam berkepanjangan ataupun berulang, perlu dicurigai
kemungkinan adanya meningitis.
Pada anak yang telah lebih dewasa, berusia di atas 2 tahun, dapat
ditemui gejala yang lebih khas, berupa gangguan tingkah laku, dan penurunan
kesadaran yang lebih jelas. Pada pemeriksaan fisik, selain kaku kuduk yang
positif, tanda Kernig dan Brudzinski dapat ditemukan positif secara lebih
nyata.
Terdapat juga pembagian gejala klinis yang didasarkan sesuai
stadiumnya, terbagi menjadi tiga, yaitu:
- Stadium prodromal
o Gejala biasanya diawali dengan terjadinya iritasi selaput
otak
o Meningitis mulai perlahan, biasanya kenaikan suhu hanya
hingga batasan sub-febris
o Gejala klinis yang dapat timbul adalah anak menjadi apatis
dan tidurnya sering terganggu
o Pada stadium ini, kelainan neurologis belum ada yang
tampak
- Stadium transisi
o Stadium prodromal akan berlanjut menjadi stadium transisi
o Gejala klinis yang dikeluhkan biasanya adalah demam yang
lebih jelas dan mungkin terdapat penurunan kesadaran,
serta adanya kejang
o Biasanya pada stadium ini, telah ditemukan reflex fisiologis
yang meninggi (hiperrefleksia), dan terdapat kelumpuhan
nervus III, IV, dan VI, dengan manifestasi klinis berupa
nistagmus
- Stadium terminal
o Pada stadium ini, segala kelumpuhan telah terlihat lebih
nyata
o Penurunan kesadaran semakin parah, pupil melebar, serta
pasien dapat tidak bereaksi sama sekali terhadap stimulus
suara ataupun nyeri
o Pada inspeksi, dapat terlihat pernafasan Cheyne-Stokes
(cepat dan dalam)
o Suhu tubuh pasien semakin lama semakin tinggi, hingga
timbullah hiperpireksia (suhu tubuh > 41.5OC) dan anak
akan meninggal
Secara keseluruhan, kelainan-kelainan yang berasal dari susunan saraf
pusat ini, disebabkan oleh inflamasi lokal pada meninges dan gangguan suplai
darah ke saraf. Saraf kranial yang paling sering terkena adalah nervus IV, VI,
dan VII. Ditemukannya tanda meningeal, diakibatkan karena adanya nekrosis
korital dan vaskulitis oklusif.
Berikut ini dilampirkan table gejala yang secara kasar dapat membantu
mengarahkan dalam mencari etiologi meningitis viral.
5, 6, 7
2.7.3 Meningitis Jamur
Gejala klinis yang ditimbulkan meningitis jamur, sama seperti dengan
meningitis viral ataupun bakterial. Sedikit perbedaan yang ditemukan adalah
timbulnya gejala lebih bertahap. Tambahan gejala yang mungkin didapatkan
pada meningitis jamur adalah pasien dapat mengeluhkan halusinasi.
- Terdapat kejang
- Ditemukannya defisit neurologis berupa paresis ataupun paralisis
nervus kranialis
- Penurunan kesadaran hingga koma
- Ubun-ubun yang besar dan menonjol
- Kaku kuduk (+)
- Leukemia
- Sepsis
Pada pungsi lumbal yang berhasil, LCS yang keluar ditampung dalam
botol steril untuk dianalisis secara lengkap. Perlu diperhatikan adalah
kejernihan dan warna dari LCS tersebut. Pada keadaan normal, LCS berwarna
jernih. Setelah itu, ditentukan akan adanya peningkatan protein pada LCS
dengan menggunakan uji Pandy dan Nonne.
Meningitis Bakterial 3, 4
Meningitis Viral 3, 4
Meningitis Jamur 3, 4
Diagnosis biasanya dapat didasarkan atas usia pasien dan gejala klinis
yang ada. Walaupun, sekali lagi, gejala klinis tidak dapat menggambarkan
etiologi pasti meningitis virus. Biakan LCS dapat dilakukan, guna
menyingkirkan kemungkinan penyebab lainnya.
2.10 Komplikasi
2.10.1 Kejang 4
Kejang merupakan komplikasi yang penting, sangat ditakutkan oleh
keluarga pasien, dan insidensinya cukup tinggi (hampir 1 dari 5 pasien).
Kemungkinan kejang lebih tinggi pada anak berusia kurang dari 1 tahun,
mencapai 40$. Pada pasien yang sampai di fase kejang ini, biasanya aka nada
komplikasi neurologis yang sifatnya dapat menjadi permanen.
Selain itu, perlu diketahui bahwa ada beberapa faktor yang dapat
memempengaruhi aktivitas bakterisidal dari antibiotik, saat di dalam liquor
cerebrospinal.
Pada
anak yang
kejang, dapat
Untuk durasi terapi antibiotik, belum ada durasi optimal yang secara
jelas direkomendasikan, bahkan untuk patogen yang insidensinya cukup
tinggi. Secara tradisional, jangka waktu 7 sampai 10 hari sudah cukup untuk
mengobati meningitis akibat Streptococcus pneumonia hingga tuntas.
Sedangkan untuk patogen lainnya, direkomendasikan pemberian yang lebih
lama, 10 sampai 21 hari. Pada suatu percobaan acak, terapi dengan seftriakson
pada anak dengan meningitis Haemophillus influenza, terapi selama 7 hari
ternyata memiliki efektivitas yang sama dengan terapi selama 10 hari. Namun,
pada praktek sehari-hari, durasi terapi tiap-tiap pasien biasanya berbeda,
karena kembali disesuaikan secara individual, berdasarkan gejala klinis dan
respons tubuh serta patogennya itu sendiri. Di bawah ini adalah suatu gambar
rekomendasi durasi pemberian antibiotik untuk meninigits bakterialis yang
diunduh dari http://www.nejm.org. Gambar ini memberikan gambaran durasi
terapi, secara umum.
2.11.2 Meningitis Viral
Kebanyakan kasus meningitis virus bersifat self-limited dan terapi yang
diberikan cukup terapi simtomatik. Bahkan, pada beberapa kasus, pasien tidak
diindikasikan untuk rawat inap. Pada pasien dengan defisiensi imunitas
ataupun sepsis berat pada neonatus, dapat diberikan immunoglobulin
intravena.
2.12 Pencegahan
- Neisseria meningitides
o Direkomendasikan rutin untuk orang berusia 11-18 tahun
dan anak yang dinilai berisiko tinggi
- Pneumococcal
o Vaksin pneumococcus konjugasi, PCV7 (Prevnar®), yang
diproduksi akhir tahun 2000, merupakan vaksin pertama
yang digunakan untuk anak-anak usia kurang dari 2 tahun.
PCV13 (Prevnar 13®), diproduksi awal tahun 2010,
menggantikan PCV7.
o Vaksin pneumococcus sebagai pencegahan penyakit pada
anak-anak usia 2 tahun atau lebih dan dewasa sudah
digunakan sejak tahun 1977.
- HiB
o Vaksin Haemophillus influenza tipe B (Hib) mempunyai
efektivitas yang tinggi dalam mencegah terjadinya
meningitis oleh bakteri Haemophillus influenza tipe B.
o Vaksin ini direkomendasikan untuk semua anak berusia
kurang dari 5 tahun
- Mycobacterium tuberculosis
o Vaksin BCG dapat mengurangi faktor risiko terkenanya
meningitis tuberkulosis, hingga mencapai angka 64%
Sumber
1. Saharso D, dkk. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Buku Ajar Neurologi Anak, Jakarta: BP
IDAI; 1999
2. Sitorus MS. Sistem ventrikel dan liquor cerebrospinal. Available from:
http://repository.usu.ac.id/123456789/3546/1/anatomi-mega2.pdf. Accessed on
10/08/2013
3. Lazoff M, Slabinski MS, Talaver F, Weiss EL, Halamka JD, Kulkarni L. Meningitis.
Society for Academic Emergency Medicine. USA: 2010.
4. Fenichel GM. Clinical Pediatric Neurology. 5th edition. Philadelphia: Elsevier
saunders; 2005
5. American Academy of Pediatrics. Meningococcal infections. In: Pickering LK, Baker
CJ, Long SS, McMillan JA, eds. Red Book: 2006 Report of the Committee on
Infectious Diseases. 27th ed. Elk Grove Village, Ill: American Academy of
Pediatrics; 2006: p.452–560
6. Mann K, Jackson MA. Meningitis. Pediatr. Rev. 2008; 29: p.417-430.
7. Latief A, Napitupulu PM, Pudjiadi A, Ghazali MV, Putra ST. Dalam: Hassan R,
Alatas H, editor. Infeksi. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid kedua. Cetakan
Kesebelas. Jakarta: Percetakan Info Medika. 1985: h.549-659.
8. Muller ML, Jaimovich D, Windle ML, Domachowske J, Tolan RW Jr, Steele RW.
Bacterial Meningitis. University of New Mexico School of Medicine. USA:
2009.
9. Nelson textbook of pediatrics 20 E
10. Rudolph’s pediatrics 22 E