Anda di halaman 1dari 162

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/326458914

HANDBOOK PEMERINTAHAN DAERAH

Book · June 2018

CITATION READS

1 11,312

1 author:

Irfan Setiawan
Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)
10 PUBLICATIONS   10 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Border management on west Kalimantan View project

Anti corruption View project

All content following this page was uploaded by Irfan Setiawan on 10 October 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari beberapa


pulau besar dan kecil. Pulau Besar terdiri atas 5 pulau yaitu Sumatra,
Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Sementara pulau kecil
jumlahnya ribuan. Menurut data Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Indonesia memiliki 17.504 pulau1. Tiap wilayah di
Indonesia dibagi dalam wilayah daratan dan perairan untuk dikelola
oleh pemerintah daerah di dalam batas-batas wilayahnya masing-
masing.
Menurut Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
pada Bab VI tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 18, Ayat 1,
dinyatakan bahwa "Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten
dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang". Jelaslah
bahwa provinsi adalah tingkat pertama pembagian wilayah di
Indonesia, kemudian kabupaten atau kota. Pemerintah daerah
Provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-
luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat.
Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah
dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan Pengaturan pengelolaan pemerintahan daerah diatur
dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah. Undang-undang tersebut melahirkan berbagai peraturan

1
Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia, 2015, katalog BPS 1101001.

1
perundangn-undangan yang mengatur berbagai sendi-sendi
pelaksanaan pemerintahan daerah.
Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah
merupakan hubungan kekuasaan sebagai konsekuensi dianutnya asas
desentralisasi dalam pemerintahan negara. Pada dasarnya, guna
mencapai tujuan Negara yaitu kemakmuran rakyat, perlu adanya
hubungan harmonis dari berbagai pihak. Termasuk pemerintah pusat
dan daerah. Dengan adanya hubungan yang harmonis, diharapkan
terjalin kinerja yang sinergis sehingga pelayanan negara terhadap
rakyat dapat diwujudkan.
Ditinjau dari sudut hubungan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dapat dilihat pada hubungan dalam
penyelenggaraan pemerintahan, khususnya dalam bidang kebijakan
otonomi daerah. Kebijakan otonomi daerah dimaksudkan untuk
memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Bahwa tanggung jawab akhir dari
penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan
kepada Daerah adalah menjadi tanggung jawab Pemerintah Nasional
(Pusat) karena externalities (dampak) akhir dari penyelenggaraan
urusan tersebut menjadi tanggung jawab negara.
Peran pemerintah pusat dalam kerangka otonomi Daerah
banyak bersifat menentukan kebijakan makro, melakukan supervisi,
monitoring, evaluasi, kontrol dan pemberdayaan (capacity building)
agar Daerah dapat menjalankan otonominya secara optimal.
Sedangkan peran daerah akan lebih banyak pada tataran pelaksanaan
otonomi tersebut. Dalam melaksanakan otonominya Daerah
berwenang membuat kebijakan Daerah. Kebijakan yang diambil
Daerah adalah dalam batas-batas otonomi yang diserahkan
kepadanya dan tidak boleh bertentangan dengan Peraturan
Perundangan yang lebih tinggi yaitu norma, standar dan prosedur
yang ditentukan Pusat.

2
A. Otonomi Daerah
Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan
Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.2 Hal tersebut sejalan dengan
yang dikemukakan oleh Hoessein3 bahwa Otonomi mengandung
konsep kebebasan untuk berprakarsa dalam mengambil keputusan
atas dasar aspirasi masyarakat yang memiliki status demikian tanpa
kontrol langsung oleh pemerintah pusat. Pemerintahan daerah (local
government) dan otonomi daerah (local autonomy) tidak dicerna
sebagai daerah atau pemerintah daerah tetapi merupakan masyarakat
setempat. Urusan dan kepentingan yang menjadi perhatian keduanya
bersifat lokalitas karena basis politiknya adalah lokalitas tersebut
bukan bangsa.
Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah merupakan suatu
pilihan politik suatu bangsa, hal ini merupakan dampak penerapan
dari bentuk sebuah negara. Masing-masing negara menerapkan
otonomi daerah sesuai dengan kondisi politik kekuasaan negara
tersebut. Penerapannya di Indonesia pun seperti “Bandul jam” yang
bergerak ke kiri dan ke kanan. Hal ini terlihat dari perjalan penerapan
desentralisasi di Indonesia yang bergerak antara sentralisasi dan
desentralisasi, sebagaimana yang digambarkan berikut di bawah ini:

2
Pasal 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014
3
Hoessein, Bhenyamin, 2000, Hubungan Penyelenggaraan Pemerintahan Pusat
dengan Pemerintahan Daerah, Jurnal Bisnis & Birokrasi No.1/Vol.1/Juli.
Departemen Ilmu Administrasi Fisip-UI, hlm 16.

3
Sentralisasi Desentralisasi

Pusat Daerah

UU 5/74 UU 23/14 UU 32/04 UU 22/99

Ket: UU No 23/14 lebih mengarah ke sentralisasi di banding dengan ke dua UU


sebelumnya
Gambar 1.1
“Bandul” Otonomi Daerah

Penerapan otonomi daerah juga dimaksud sebagai upaya


mewujudkan terciptanya pusat-pusat kota baru yang bersifat metropolitan,
kosmopolitan, sebagai sentra-sentra perdagangan, bisnis dan industri. Inti
pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya kekuasaan pemerintah
daerah untuk menyelenggarakan pemerintah sendiri atas dasar prakarsa,
kreatifitas, peran serta aktif masyarakat dalam rangka mengembangkan dan
memajukan daerahnya.
Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan
pemerintahan daerah lainnya. Hubungan pemerintahan tersebut bertujuan
untuk menyelenggarakan apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar
1945 dalam pembukaan alenia ke IV yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Berdasarkan tujuan tersebut, maka dalam Undang-Undang Dasar
1945 pasal 18A, dibentuklah hubungan pemerintahan pusat dan daerah yang
meliputi:
1. Wewenang
2. Keuangan
3. Pelayanan umum

4
4. Pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.

Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan


sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan
selaras antara Pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah untuk mencapai
tujuan negara. Dalam mencapai tujuan negara tersebut pemerintah pusat
membentuk hubungan dengan pemerintah daerah dalam pelaksanaan
otonomi daerah. Bila kita mengadopsi teori Paul Hersey dan Kenneth H.
Blanchard tentang konsep dasar kepemimpinan situasional4 ke dalam
hubungan pemerintah pusat sebagai pemerintah level atas (pemimpin) dan
pemerintah daerah sebagai pemerintah level bawah (dipimpin) maka dapat
dimodelkan hubungan sesuai teori tersebut yaitu: telling, selling, partisipatif,
dan delegatif. Berdasarkan hubungan tersebut maka dapat digambarkan
hubungan pemerintah pusat dan daerah berdasarkan wewenang adalah
sebagai berikut:
a. Telling; provide specific instruction and closely supervise performance yaitu
memberikan arahan tugas yang spesifik dan mengawasi pekerjaan secara
ketat.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah pusat mengeluarkan
kebijakan yang spesifik dan mengawasi secara ketat implementasi
kebijakan tersebut. Model hubungan ini disebut model hubungan direktif.
b. Selling; explain decion and provide opportunity for clarification yaitu
menjelaskan arah tugas dan membuka kesempatan klarifikasi. Hal ini
terlihat bahwa pemerintah pusat mengurangi campur tangan dan
membuka ruang konsultasi kepada pemerintah daerah sehingga
penyelenggaraan pemerintahan lebih terarah sesuai dengan kebijakan
yang telah ditetapkan. Model hubungan ini disebut model hubungan
konsultatif.
c. Participating; share ideas and facilitate in decision making yaitu membagi
gagasan bersama dan memfasilitasi dalam pengambilan keputusan. Pada
model ini pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan kepada pemerintah
daerah dengan memfasilitasi kebutuhan dan masukan pemerintah daerah
dalam suatu kebijakan.

4
Teori Basic concept of situasional leadership dapat dilihat pada Paul Hersey and
Kenneth H. 1988, Blanchard, Management and Organizational Behavior (5th Ed.)
utilizing human resources, Englewood Cliffs, New Jersey, Prentice-Hall. h 171

5
Dalam hal ini tingkat kemandirian daerah sudah lebih mampu, sehingga
pemerintah pusat membuka peluang besar untuk komunikasi dengan
pemerintah daerah sehingga tercipta kebijakan pemerintah yang
didukung penuh oleh pemerintah daerah sehingga model hubungan ini
disebut model hubungan partisipatif.
d. Delegating; turn over responsibility for decisions and implementation yaitu
menyerahkan tanggung jawab atas keputusan dan implementasi. Pada
model ini pemerintah pusat hanya mengeluarkan kebijakan secara garis
besar dengan memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk
mengimplementasikan kebijakan yang telah diberikan. Pemerintah daerah
diperkenankan untuk melaksanakan dan memutuskan bagaimana, kapan
dan dimana pekerjaan yang perlu ditangani. Pada model ini tidak lagi
diperlukan komunikasi dua arah, pemerintah daerah diberikan peluang
untuk berkembang saja Model hubungan ini disebut model hubungan
konsultatif.

Hubungan Pusat-Daerah dapat diartikan sebagai hubungan


kekuasaan pemerintah pusat dan daerah sebagai konsekuensi dianutnya asas
desentralisasi dalam pemerintahan negara. Model hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah secara teoritis menurut Clarke dan Stewart
dapat dibedakan menjadi tiga, yakni: Pertama, The Relative Autonomy Model
yaitu pola hubungan yang memberikan kebebasan yang relatif besar kepada
pemerintahdaerah dengan tetap menghormati eksistensi pemerintah pusat.
Penekanannya adalah pada pemberian kebebasan bertindak bagi pemerintah
daerah dalam kerangka kekuasaan/tugas dan tanggung jawab yang telah
dirumuskan oleh peraturan perundangan. Kedua, The Agency Model, model
dimana pemerintah daerah tidak mempunyai kekuasaan yang cukup berarti
sehingga keberadaannya terlihat lebih sebagai agen pemerintah pusat yang
bertugas untuk menjalankan kebijaksanaan pemerintah pusatnya. Karenanya
pada model ini berbagai petunjuk rinci dalam peraturan perundang-
undangan sebagai mekanisme kontrol sangat menonjol. Pada model ini
pendapatan asli daerah bukanlah hal penting dan sistem keuangan daerahnya
didominasi oleh bantuan dari pemerintah pusat. Ketiga, The Interaction
Model, merupakan suatu bentuk model di mana keberadaan dan peran

6
pemerintah daerah ditentukan oleh interaksi yang terjadi antara
pemerintahan pusat dan pemerintah daerah. 5
Pendapat lainnya dikemukakan Asep Nurjaman ada beberapa alternatif
bagaimana hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
dibangun6, yaitu:
1. Hubungan pemerintah pusat dan daerah dibangun dengan
memberikan kekuasaan yang besar kepada pusat (hightly centralized)
2. Hubungan pemerintah pusat dan daerah dibangun dengan cara,
memberikan kewenangan yang besar kepada daerah (highly
decentralized) atau dikenal dengan nama confederal system.
3. Hubungan pusat dan daerah berdasarkan “sharing” antara pusat
dan daerah. Sistem, ini disebut sistem federal (federal System) yang
banyak diadopsi oleh negara-negara besar dengan fluralisme etnik,
seperti Amerika Serikat, Kanada, India dan Australia.

Nimrod Raphaeli, mengemukakan pendapatnya mengenai Sistem


Hubungan Pusat dan Daerah berdasarkan penyerahan urusan7 adalah sebagai
berikut:
1. Comprehensive Local Government System: pemerintah pusat banyak
sekali menyerahkan urusan dan wewenangnya kepada pemerintah
daerah. Pemerintah Daerah memiliki kekuasaan yang besar.
2. Partnership System: beberapa urusan yang jumlahnya cukup
memadai diserahkan oleh pusat kepada daerah, wewenang lain
tetap di pusat.
3. Dual System: imbangan kekuasaan pusat dan daerah.
4. Integrated Administrative System: Pusat mengatur secara langsung
daerah bersangkutan mengenai segala pelayanan teknis melalui
koordinatornya yang berada di daerah/wilayah.

5
Ni'matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung, Nusamedia, 2009, hlm.
12.
6
Guruh LS, Syahda, 2000, Menimbang Otonomi vs Federal Mengembangkan
Wacana Federalisme dan Otonomi Luas Menuju Masyarakat Madani Indonesia,
Rodakarya, Bandung, hlm 85.
7
Natal kristiono, Buku Ajar Otonomi Daerah, Universitas Negeri Semarang, 2015,
hlm, 127.

7
Pola hubungan pusat dan daerah yang lain dikemukakan oleh John
Haligan dan Chris Aulich (1998) yang membangun 2 model pemerintahan
daerah8 yang terdiri dari:
1. The Local Democracy model, dimana model ini lebih menekankankan
pada nilai-nilai demokrasi dan pengembangan nilai-nilai lokal untuk
pengembangan efesensi pelayanan. Model ini menurut Danny Burn.
Dkk 1994 dibangun berdasarkan pada teori politik.
2. The Struktural efficiency model, yakni model yang lebih menekankan
pada efesensi pendistribusian pelayanan kepada masyarakat lokal
yang dibangun berdasarkan pada teori manajemen.

Pilihan terhadap model hubungan antara pusat dan daerah tersebut


membawa konsekwensi-konsekwensi yang berbeda pada hubungan antara
pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Model Demokrasi yang
menekankan pada pengembangan nilai-nilai lokal membawa kecenderungan
pada penghargaan pada perbedaan nilai-nilai lokal dan perbedaan sistem
pemerintahan kekuasaan yang dimiliki daerah berasal dari masyarakat
daerah itu sendiri. Sedangkan pilihan pada model struktural dapat membawa
kecenderungan sebaliknya yaitu intervensi dan campur tangan pemerintah
pusat pada pemerintah lokal untuk mengontrol pemerintah daerah dengan
maksud agar tercapai efeseinsi pembangunan. Pemilihan model efeseinsi ini
menurut A.F. Leemans mempunyai kecenderungan-kecenderungan9 sebagai
berikut:
1. kecenderungan untuk memangkas jumlah susunan daerah otonom
2. kecenderungan untuk mengorbankan demokrasi dengan cara
membatasi peran dan partisipasi lembaga perwakilan rakyat daerah
sebagai lembaga penentu kebijakan dan lembaga kontrol di daerah
3. kecenderungan pusat untuk tidak menyerahkan kewenangan atau
diskresi yang lebih besar kepada daerah otonom

8
Benyamin Hoessein, Landasan Filosofis tentang Pembentukan Daerah Otonom di
Indonesia, IULA-ASPAC, 1999, hlm. 9.
9
Koswara, E, 1999. Otonomi Daerah yang Berorientasi Kepada Kepentingan
Rakyat. Jakarta: Widya Praja HP, hlm 5.

8
Pengembangan Model hubungan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah lainnya dapat diadopsi juga dari pendapat B.C. Smith
yang membagi berbagai model desentralisasi atas 3 model10, yaitu:
1. Model Development
Desentralisasi dengan model pembangunan ini melahirkan sejumlah
otonomi daerah pada negara-negara yang sedang berkembang dimana
pengaruh kolonial masih sangat mewarnai sistem penyelenggaraan
pemerintahannya seperti institusi lokal yang diberi nama pemerintahan
kotapraja. Dengan model ini hubungan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah yang terjalin bersifat hubungan yang bercorak
sentralistis mengingat model pembangunan membutuhkan mobilisasi
sumberdaya alam dan modal yang maksimal.
2. Model liberal
Model liberal adalah model desentralisasi yang lebih berorientasii pada
pada dua fungsi utama, yaitu pelayanan dan partisipasi, sehingga format
hubungan antara pusat dan daerah yang terbentuk lebih cenderung pada
bentuk desentralisasi mengingat pelayanan damn partisipasi lebih prima
dan efesein apabila diserahkan pada daerah yang paling dekat dengan
masyarakat yang dilayani.
3. Model Komunis
Desentralisasi dengan corak komunis ini adalah corak desentralisasi yang
menekankan pada ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah
pusat.

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa berbagai sistem, bentuk


ataupun model yang diterapkan dalam hubungan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah tentunya memiliki tujuan yang disesuaikan dengan
kondisi sumber daya dan politik yang terjadi pada suatu masa rezim
pemerintahan. Bentuk, sistem, atau model hubungan tersebut menimbulkan
hubungan administrasi, kelembagaan, anggaran dan kewilayahan antar
susunan pemerintahan.
Hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang
dilaksanakan oleh pemerintah Republik Indonesia yang berbentuk kebijakan
otonomi daerah diatur dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2014. Dalam

10
Ali, Faried, 1999, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif di Indonesia,
Jakarta, Rajawali Press hlm 11.

9
proses hubungan pemerintahan itu diperlukan pembagian urusan
pemerintahan sesuai skala kewenangan yang berdasarkan aturan perundang-
undangan. Kebijakan pembagian urusan pemerintahan sesuai dengan
Undang-undang nomor 23 tahun 2014 dijelaskan secara rinci pada
lampirannya. Hal ini berbeda dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2004
yang dijelaskan pada Peraturan Pemerintah nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan.

B. Urusan Pemerintahan
Perubahan paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan pada
era orde baru menuju era reformasi berkorelasi terhadap penyebutan
kewenangan pemerintahan menjadi urusan pemerintahan. UUD 1945 Pasal 17
(amandemen pertama) dan Pasal 18 (amandemen kedua), menggunakan
istilah baku “urusan pemerintahan” bukan “kewenangan”. Sadu Wasistiono
dkk11 menjelaskan bahwa kewenangan adalah “kekuasaan yang sah
(legitimate power) atau kekuasaan yang terlembagakan (institutionalized power)”.
Kekuasaan pada dasarnya adalah merupakan kemampuan yang membuat
seseorang atau orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
sesuai keinginannya. Dalam pengertian administrasi, hal ini diarahkan untuk
mencapai tujuan bersama (organisasi). Dengan demikian disimpulkan bahwa
dalam kewenangan terdapat kekuasaan, dan sebaliknya. Jadi kewenangan
dan kekuasaan pada dasarnya merupakan dua sisi mata uang yang tidak
dapat dipisahkan.
Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian
negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani,
memberdayakan, dan mensejahterakan masyarakat.12 Sementara itu Ndraha
menyatakan bahwa dalam masyarakat demokratik, urusan pemerintahan
adalah, satu, urusan yang disepakati oleh kedua belah pihak menjadi
wewenang pemerintah (public service, dapat diprivatisasi), dan kedua,

11
Sadu Wasistiono, dkk. 2009. Perkembangan Organisasi Kecamatan Dari Masa Ke.
Masa. Fokusmedia. Bandung hlm 32.
12
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 1 ayat 5.

10
Kewajiban Negara terhadap warganegara, yang penyelenggaraannya oleh
konstitusi atau konvensi dibebankan kepada pemerintah (civil service). 13
Dari pengetian di atas di ketahui bahwa tujuan pemerintahan untuk
melindungi, melayani, memberdayakan dan mensejahterahkan masyarakat,
sehingga untuk mewujudkan hal tersebut urusan pemerintahan di bagi dalam
public service dan civil service. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
gambar berikut:

Sumber: Ndraha14
Gambar 1.2
Interaktif Antara Negara dengan Manusia

Dari gambar tersebut, terlihat bahwa Ndraha membagi 2


kategori urusan pemerintahan, bahwa diantara interaksi antara
negara dan masyarakat terdapat ruang bersama yang disebut ruang
publik. Dalam ruang publik tersebut, urusan disepakati oleh pihak

13
Ndraha, 2005, Keybernology, Sebuah carta pembaharuan, Sirao Credentia Center,
Banten hlm 221.
14
Ibid.

11
negara dan masyarakat dalam hal pemenuhan kebutuhan masyarakat
kemudian menjadi kewenangan negara yang diselenggarakan melalui
pelayanan publik (publik service). Pelayanan publik yang menjadi
kewenangan negara yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah
terdapat pada pasal 12 Undang-undang nomor 23 tahun 2014,
kemudian yang menjadi pelayanan civil (civil service) terdapat pada
Deklarasi umum tentang Hak Asasi Manusia dan pada pasal 1 (2), 26,
27, 28, 29, 31 (1), dan 34 Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut Made Suwandi mengemukakan pembagian urusan
pemerintahan yang dilaksanakan oleh masing-masing tingkatan
pemerintahan berdasarkan 3 (tiga) kewenangan antara lain15 :
1. Pusat
Berwenang membuat norma-norma, standar, prosedur, monev,
supervisi, fasilitasi dan urusan-urusan pemerintahan dengan
eksternalitas nasional.
2. Provinsi
Berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan
dengan eksternalitas regional (lintas Kabupaten/Kota).
3. Kabupaten/Kota
Berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan
dengan eksternalitas lokal (dalam satu Kabupaten/ Kota).

Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 Pasal 9,


urusan pemerintahan diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) urusan yaitu
urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan
urusan pemerintahan umum. Setiap urusan tersebut terbagi pada tiap
bidang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat sebagai berikut:

15
Suwandi, Made. 2007. Pokok-pokok Pikiran; Konsepsi Dasar Otonomi Daerah
Indonesia (Dalam Upaya Mewujudkan Pemerintahan Daerah yang Demokratis
dan Efisien). Jakarta: Ditjen Otda Depdagri.

12
1. Urusan pemerintahan absolut.
Urusan pemerintahan ini merupakan Urusan Pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Urusan
Pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
2. Urusan pemerintahan konkuren,
Urusan pemerintahan konkuren merupakan Urusan Pemerintahan
yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan
Daerah kabupaten/kota. Urusan ini meliputi Urusan pemerintahan
yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan Urusan Pemerintahan
yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar serta urusan Pilihan.
a. Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan
Pelayanan Dasar meliputi:
1) pendidikan;
2) kesehatan;
3) pekerjaan umum dan penataan ruang;
4) perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
5) ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan
masyarakat; dan
6) sosial.
b. Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan
Pelayanan Dasar meliputi:
1) tenaga kerja;
2) pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;
3) pangan;
4) pertanahan;
5) lingkungan hidup;
6) administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;

13
7) pemberdayaan masyarakat dan Desa;
8) pengendalian penduduk dan keluarga berencana;
9) perhubungan;
10) komunikasi dan informatika;
11) koperasi, usaha kecil, dan menengah;
12) penanaman modal;
13) kepemudaan dan olah raga;
14) statistik;
15) persandian;
16) kebudayaan;
17) perpustakaan; dan
18) kearsipan.

c. Urusan Pemerintahan Pilihan meliputi:


1) kelautan dan perikanan;
2) pariwisata;
3) pertanian;
4) kehutanan;
5) energi dan sumber daya mineral;
6) perdagangan;
7) perindustrian; dan
8) transmigrasi.

3. Urusan pemerintahan Umum


Urusan pemerintahan umum adalah Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan,
Urusan pemerintahan umum tersebut meliputi,
1) pembinaan wawasan kebangsaan dan ketahanan nasional
dalam rangka memantapkan pengamalan Pancasila,
pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pelestarian Bhinneka Tunggal Ika serta
pemertahanan dan pemeliharaan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;

14
2) pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa;
3) pembinaan kerukunan antarsuku dan intrasuku, umat
beragama, ras, dan golongan lainnya guna mewujudkan
stabilitas kemanan lokal, regional, dan nasional;
4) penanganan konflik sosial sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
5) koordinasi pelaksanaan tugas antarinstansi pemerintahan
yang ada di wilayah Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota untuk menyelesaikan permasalahan yang
timbul dengan memperhatikan prinsip demokrasi, hak asasi
manusia, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan, potensi serta keanekaragaman Daerah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
6) pengembangan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila;
dan
7) pelaksanaan semua Urusan Pemerintahan yang bukan
merupakan kewenangan Daerah dan tidak dilaksanakan oleh
Instansi Vertikal.

C. Manajemen Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan


Sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa terdapat
Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat yang dikenal dengan istilah urusan pemerintahan
absolut dan ada urusan pemerintahan konkuren serta urusan
pemerintahan umum. Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas
Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan yang
dibagi antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi, dan Daerah
kabupaten/kota.
Urusan Pemerintahan Wajib yang dibagi terkait Pelayanan
Dasar dan yang tidak terkait Pelayanan Dasar. Untuk Urusan
Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar yang dilaksanakan
pemerintahan daerah ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM)

15
untuk menjamin hak-hak konstitusional masyarakat. Pembagian
urusan pemerintahan konkuren antara Daerah provinsi dengan
Daerah kabupaten/kota walaupun Urusan Pemerintahan yang sama,
perbedaannya akan nampak dari skala atau ruang lingkup Urusan
Pemerintahan tersebut. Walaupun Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota mempunyai Urusan Pemerintahan masing-masing
yang sifatnya tidak hierarki, namun tetap akan terdapat hubungan
antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota
dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada NSPK yang dibuat oleh
Pemerintah Pusat.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren sebagaimana
yang disebutkan di atas sebelumnya, antara Pemerintah Pusat dan
daerah provinsi serta daerah kabupaten/kota didasarkan pada prinsip
akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis
nasional. Berdasarkan prinsip tersebut, maka dapat diuraikan kriteria
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat
adalah:
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah provinsi atau
lintas negara;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah provinsi
atau lintas negara;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya
lintas Daerah provinsi atau lintas negara;
d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih
efisien apabila dilakukan oleh Pemerintah Pusat; dan/atau
e. Urusan Pemerintahan yang peranannya strategis bagi
kepentingan nasional.

Berdasarkan prinsip tersebut, setelah di breakdown ke level


pemerintahan ke bawah, maka kriteria Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah provinsi adalah:
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah
kabupaten/kota;

16
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah
kabupaten/kota;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya
lintas Daerah kabupaten/kota; dan/atau
d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih
efisien apabila dilakukan oleh Daerah Provinsi.

Kemudian untuk tingkat pemerintahan lebih rendah lagi,


maka kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah kabupaten/kota adalah:
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah
kabupaten/kota;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah
kabupaten/kota;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya
hanya dalam Daerah kabupaten/kota; dan/atau
d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih
efisien apabila dilakukan oleh Daerah kabupaten/kota.

1. Penyelenggaraan Urusan Konkuren


Pada Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah pembagian urusan pemerintahan dijelaskan
lebih lanjut pada Peraturan Pemerintah nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan. Hal in agak berbeda dengan
Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 yang menjelaskan lebih rinci
pembagian urusan konkuren pada lampiran undang-undang tersebut.
Sehingga dalam pembentukan perangkat daerah yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2016, pemerintah daerah
berpedoman pada lampiran Undang-undang Nomor 23 tahun 2014
tersebut. Pada lampiran tersebut diatur sedemikian rupa urusan
pemeritahan konkuren menjadi 32 Bidang, yang tiap-tiap bidang
memiliki sub-urusan yang akan di bagi bersama untuk urusan

17
pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah daerah,
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 1.1.
Matriks Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara
Pemerintah Pusat Dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota

Pembagian
No. Sub Urusan
Urusan Bidang
1 Pendidikan 1. Manajemen Pendidikan
2. Kurikulum
3. Akreditasi
4. Pendidik & Tenaga Kependidikan
5. Perizinan Pendidikan
6. Bahasa Dan Sastra

2 Kesehatan 1. Upaya Kesehatan


2. Sumber Daya Manusia (Sdm) Kesehatan
3. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, Dan
Makanan Minuman
4. Pemberdayaan Masyarakat Bidang
Kesehatan
3 Pekerjaan Umum 1. Sumber Daya Air (Sda)
Dan Penataan 2. Air Minum
Ruang 3. Persampahan
4. Air Limbah
5. Drainase
6. Permukiman
7. Bangunan Gedung
8. Penataan Bangunan Dan Lingkungannya
9. Jalan
10. Jasa Konstruksi
11. Penataan Ruang

18
4 Perumahan Dan 1. Perumahan
Kawasan 2. Kawasan Permukiman
Permukiman 3. Perumahan Dan Kawasan Permukiman
Kumuh
4. Prasarana, Sarana, Dan Utilitas Umum
(Psu)
1. 5. Sertifikasi, Kualifikasi, Klasifikasi, Dan
Registrasi Bidang Perumahan Dan
Kawasan Permukiman
5 Ketenteraman Dan 1. Ketenteraman Dan Ketertiban Umum
Ketertiban Umum 2. Bencana
Serta Perlindungan 3. Kebakaran
Masyarakat
6 Sosial 1. Pemberdayaan Sosial
2. Penanganan Warga Negara Migran
Korban Tindak Kekerasan
3. Rehabilitasi Sosial
4. Perlindungan Dan Jaminan Sosial
5. Penanganan Bencana
6. Taman Makam Pahlawan
7. Sertifikasi Dan Akreditasi
7 Tenaga Kerja 1. Pelatihan Kerja Dan Produktivitas
Tenaga Kerja
2. Penempatan Tenaga Kerja
3. Hubungan Industrial
4. Pengawasan Ketenagakerjaan
8 Pemberdayaan 1. Kualitas Hidup Perempuan
Perempuan Dan 2. Perlindungan Perempuan
Pelindungan Anak 3. Kualitas Keluarga
4. Sistem Data Gender Dan Anak
5. Pemenuhan Hak Anak (Pha)
6. Perlindungan Khusus Anak

19
9 Pangan 1. Penyelenggaraan Pangan Berdasarkan
Kedaulatan Dan Kemandirian
2. Penyelenggaraan Ketahanan Pangan
3. Penanganan Kerawanan Pangan
4. Keamanan Pangan
10 Pertanahan 1. Izin Lokasi
2. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum
3. Sengketa Tanah Garapan
4. Ganti Kerugian Dan Santunan Tanah
Untuk Pembangunan
5. Subyek Dan Obyek Redistribusi Tanah,
Serta Ganti Kerugian Tanah Kelebihan
Maksimum Dan Tanah Absentee
6. Tanah Ulayat
7. Tanah Kosong
8. Izin Membuka Tanah
9. Penggunaan Tanah

20
11 Lingkungan Hidup 1. Perencanaan Lingkungan Hidup
2. Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(Klhs)
3. Pengendalian Pencemaran Dan/Atau
Kerusakan Ingkungan Hidup
4. Keanekaragaman Hayati (Kehati)
5. Bahan Berbahaya Dan Beracun (B3), Dan
Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun
(Limbah B3)
6. Pembinaan Dan Pengawasan Terhadap
Izin Lingkungan Dan Izin Perlindungan
Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(PPLH)
7. Pengakuan Keberadaan Masyarakat
Hukum Adat (Mha), Kearifan Lokal Dan
Hak Mha Yang Terkait Dengan Pplh
8. Pendidikan, Pelatihan, Dan Penyuluhan
Lingkungan Hidup
9. Untuk Masyarakat
10. Penghargaan Lingkungan Hidup Untuk
Masyarakat
11. Pengaduan Lingkungan Hidup
12. Persampahan
12 Administrasi 1. Pendaftaran Penduduk
Kependudukan 2. Pencatatan Sipil
Dan Pencatatan 3. Pengelolaan Informasi Administrasi
Sipil Kependudukan
4. Profile Kependudukan

21
13 Pemberdayaan 1. Penataan Desa
Masyarakat Dan 2. Kerja Sama Desa
Desa 3. Administrasi Pemerintahan Desa
4. Lembaga Kemasyarakatan, Lembaga
Adat, Dan Masyarakat Hukum Adat

14 Pengendalian 1. Pengendalian Penduduk


Penduduk Dan 2. Keluarga Berencana (Kb)
Keluarga 3. Keluarga Sejahtera
Berencana 4. Standardisasi Dan Sertifikasi

15 Perhubungan 1. Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan (Llaj)


2. Pelayaran
3. Penerbangan
4. Perkeretaapian

16 Komunikasi Dan 1. Penyelenggaraan, Sumber Daya, Dan


Informatika Perangkat Pos, Serta Informatika
2. Informasi Dan Komunikasi Publik
3. Aplikasi Informatika

17 Koperasi, Usaha 1. Badan Hukum Koperasi


Kecil, Dan 2. Izin Usaha Simpan Pinjam
Menengah 3. Pengawasan Dan Pemeriksaan
4. Penilaian Kesehatan Ksp/Usp Koperasi
5. Pendidikan Dan Latihan Perkoperasian
6. Pemberdayaan Dan Perlindungan
Koperasi
7. Pemberdayaan Usaha Menengah, Usaha
Kecil, Dan Usaha Mikro (Umkm)
8. Pengembangan Umkm
18 Penanaman Modal 1. Pengembangan Iklim Penanaman Modal
2. Kerja Sama Penanaman Modal
3. Promosi Penanaman Modal

22
4. Pelayanan Penanaman Modal
5. Pengendalian Pelaksanaan Penanaman
Modal
6. Data Dan Sistem Informasi Penanaman
Modal
19 Kepemudaan Dan 1. Kepemudaan
Olahraga 2. Keolahragaan
3. Kepramukaan

20 Statistik 1. Statistik Dasar


2. Statistik Sektoral
21 Persandian 1. Persandian Untuk Pengamanan
Informasi
2. Akreditasi Dan Sertifikasi
3. Analisis Sinyal
22 Kebudayaan 1. Kebudayaan
2. Perfilman Nasional
3. Kesenian Tradisional
4. Sejarah
5. Cagar Budaya
6. Permuseuman
7. Warisan Budaya
23 Perpustakaan 1. Pembinaan Perpustakaan
2. Pelestarian Koleksi Nasional Dan Naskah
Kuno
3. Sertifikasi Pustakawan Dan Akreditasi
Pendidikan Dan Pelatihan Perpustakaan
24 Kearsipan 1. Pengelolaan Arsip
2. Pelindungan Dan Penyelamatan Arsip
3. Akreditasi Dan Sertifikasi
4. Formasi Arsiparis
5. Perizinan

23
25 Kelautan Dan 1. Kelautan, Pesisir, Dan Pulau-Pulau Kecil
Perikanan 2. Perikanan Tangkap
3. Perikanan Budidaya
4. Pengawasan Sumber Daya Kelautan Dan
Perikanan
5. Pengolahan Dan Pemasaran
6. Karantina Ikan, Pengendalian Mutu Dan
Keamanan Hasil Perikanan
7. Pengembangan Sdm Masyarakat
Kelautan Dan Perikanan

26 Pariwisata 1. Destinasi Pariwisata


2. Pemasaran Pariwisata
3. Pengembangan Ekonomi Kreatif Melalui
Pemanfaatan Dan Perlindungan Hak
Kekayaan Intelektual
4. Pengembangan Sumber Daya Pariwisata
Dan Ekonomi Kreatif

27 Pertanian 1. Sarana Pertanian


2. Prasarana Pertanian
3. Kesehatan Hewan Dan Kesehatan
Masyarakat Veteriner
4. Pengendalian Dan Penanggulangan
Bencana Pertanian
5. Perizinan Usaha Pertanian
6. Karantina Pertanian
7. Varietas Tanaman

28 Kehutanan 1. Perencanaan Hutan


2. Pengelolaan Hutan
3. Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

24
Dan Ekosistemnya
4. Pendidikan Dan Pelatihan, Penyuluhan
Dan Pemberdayaan Masyarakat Di
Bidang Kehutanan
5. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Das)
29 Energi Dan Sumber 1. Geologi
Daya Mineral 2. Mineral Dan Batubara
3. Minyak Dan Gas Bumi
4. Energi Baru Terbarukan
5. Ketenagalistrikan

30 Perdagangan 1. Perizinan Dan Pendaftaran Perusahaan


2. Sarana Distribusi Perdagangan
3. Stabilisasi Harga Barang Kebutuhan
Pokok Dan Barang Penting
4. Pengembangan Ekspor
5. Standardisasi Dan Perlindungan
Konsumen
31 Perindustrian 1. Perencanaan Pembangunan Industri
2. Perizinan
3. Sistem Informasi Industri Nasional

32 Transmigrasi 1. Perencanaan Kawasan Transmigrasi


2. Pembangunan Kawasan Transmigrasi
3. Pengembangan Kawasan Transmigrasi
Sumber: Lampiran UU nomor 23 tahun 2014

Substansi 32 urusan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan


Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimuat
dalam matriks pembagian Urusan Pemerintahan konkuren antara
Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota
tersebut di atas termasuk;

25
- kewenangan dalam pengelolaan unsur manajemen (yang
meliputi sarana dan prasarana, personil, bahan-bahan, metode
kerja) dan
- kewenangan dalam penyelenggaraan fungsi manajemen (yang
meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
pengoordinasian, penganggaran, pengawasan, penelitian dan
pengembangan, standardisasi, dan pengelolaan informasi)
dalam substansi Urusan Pemerintahan tersebut melekat menjadi
kewenangan masing-masing tingkatan atau susunan pemerintahan
tersebut, kecuali apabila dalam matriks pembagian Urusan
Pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah
provinsi dan Daerah kabupaten/kota tersebut terdapat unsur
manajemen dan/atau fungsi manajemen yang secara khusus sudah
dinyatakan menjadi kewenangan suatu tingkatan atau susunan
pemerintahan yang lain, sehingga tidak lagi melekat pada substansi
Urusan Pemerintahan pada tingkatan atau susunan pemerintahan
tersebut.
Salah satu contoh matriks pembagian Urusan Pemerintahan
bidang Pendidikan. Dalam matrik Urusan Pemerintahan bidang
Pendidikan terdiri atas 6 (enam) sub Urusan Pemerintahan yaitu
manajemen pendidikan, kurikulum, akreditasi, pendidik dan tenaga
kependidikan, perizinan pendidikan, dan bahasa dan sastra.
Dari keenam sub Urusan Pemerintahan tersebut yang
merupakan substansi Urusan Pemerintahan adalah sub urusan
manajemen pendidikan; kurikulum; perizinan pendidikan; dan
bahasa dan sastra, sedangkan yang merupakan unsur manajemen
adalah sub urusan pendidik dan tenaga kependidikan dan yang
merupakan fungsi manajemen adalah sub urusan akreditasi.
Perincian pembagian Urusan Pemerintahan bidang
pendidikan yang merupakan substansi Urusan Pemerintahan bidang
pendidikan adalah sebagai berikut:

26
Tabel 1.2.
Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pendidikan

Kabupaten
No. Bidang Sub Urusan Pusat Provinsi
/Kota
1 Pendidikan 1. Manajemen a. Penetapan standar a. Pengelolaan a. Pengelolaan
Pendidikan nasional pendidikan pendidikan pendidikan dasar.
menengah
b. Pengelolaan b. Pengelolaan b. Pengelolaan
Pendidikan tinggi. pendidikan pendidikan anak
khusus usia dini dan
pendidikan non-
formal anak usia
dini
dan pendidikan
non-formal.
2. Kurikulum Penetapan kurikulum Penetapan kurikulum Penetapan kurikulum
nasional pendidikan muatan lokal muatan lokal
menengah, pendidikan pendidikan pendidikan dasar,
dasar, pendidikan anak menengah dan pendidikan anak usia
usia dini, dan muatan lokal dini, dan pendidikan
27
pendidikan nonformal. pendidikan khusus. nonformal.
3. Akreditasi Akreditasi perguruan - -
tinggi, pendidikan
menengah, pendidikan
dasar, pendidikan anak
usia dini, dan
pendidikan nonformal.
4. Pendidik Dan a. Pengendalian Pemindahan Pemindahan pendidik
Tenaga formasi pendidik, pendidik dan tenaga dan tenaga
Kependidikan pemindahan kependidikan lintas kependidikan dalam
pendidik, dan Daerah kabupaten/ Daerah kabupaten/
pengembangan kota dalam 1 (satu) kota.
karier pendidik. Daerah provinsi.
b. Pemindahan
pendidik
dan tenaga
kependidikan lintas
Daerah provinsi

5. Perizinan a. Penerbitan izin a. Penerbitan izin a. Penerbitan izin


Pendidikan perguruan tinggi pendidikan pendidikan dasar

28
swasta yang menengah yg diselenggarakan
diselenggarakan oleh yg diselenggarakan oleh masyarakat.
masyarakat. oleh masyarakat.
b. Penerbitan izin b. Penerbitan izin b. Penerbitan izin
penyelenggaraan pendidikan khusus pendidikan anak usia
satuan pendidikan yg diselenggarakan dini dan pendidikan
asing. oleh masyarakat. nonformal yang
diselenggarakan oleh
masyarakat.
6. Bahasa Dan Pembinaan bahasa dan Pembinaan bahasa Pembinaan bahasa dan
Sastra sastra Indonesia. dan sastra yang sastra yang penuturnya
penuturnya lintas dalam Daerah
Daerah kabupaten/kota.
kabupaten/kota
dalam 1 (satu) Daerah
provinsi.
Sumber: Lampiran UU nomor 23 tahun 2014

29
Seharusnya seluruh fungsi dan unsur manajemen sub urusan
manajemen pendidikan tersebut melekat pada pengelolaan masing-
masing jenjang pendidikan yang sudah dibagi menjadi kewenangan
tingkatan atau susunan pemerintahan. Namun karena dalam matriks
pembagian Urusan Pemerintahan bidang pendidikan telah ditetapkan
bahwa pendidik dan tenaga kependidikan secara nasional seluruh
jenjang pendidikan dan akreditasi seluruh jenjang pendidikan
ditetapkan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, maka pendidik dan
tenaga kependidikan secara nasional dan akreditasi seluruh jenjang
pendidikan tidak lagi menjadi kewenangan daerah provinsi atau daerah
kabupaten/kota.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa seluruh
pengelolaan sub urusan manajemen pendidikan termasuk unsur dan
fungsi manajemen pengelolaan jenjang pendidikan menjadi
kewenangan masing-masing tingkatan atau susunan pemerintahan,
kecuali pendidik dan tenaga kependidikan serta akreditasi secara
nasional karena dalam matriks pembagian Urusan Pemerintahan
bidang pendidikan ditetapkan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
Pemetaan seluruh urusan yang yang dibagi sedemikian rupa
pada setiap level pemerintahan, sehingga bila terdapat urusan pada
bidang pendidikan yang tidak terdapat pada yang di dicamtumkan di
atas, akan menjadi suatu tindakan diskresi kebijakan pemerintahan
yang akan ditempuh oleh pemerintahan pusat atau daerah. Diskresi
adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau
dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan
konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam
hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak
mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi
pemerintahan.16 Pelaksanaan diskresi pemerintahan disesuaikan
dengan dimana masalahnya dan level pemerintahan mana yang
dianggap mampu mengatasi maslah tersebut. Misalkan terjadi masalah

16
Pengaturan mengenai diskresi pejabat pemerintahan dapat dilihat pada Undang-
undang nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

30
di tingkat kabupaten/kota yang tidak terdapat dalam urusan yang telah
dibagikan tersebut, maka pemerintah daerah kabupaten/kota dapat
melakukan diskresi kebijakan untuk mengatasi masalah tersebut sesuai
kemampuan kelembagaan dan anggaran yang dimiliki suatu daerah.

2. Manajemen Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Umum


Pemerintahan Umum merupakan suatu urusan pemerintahan
yang dilaksanakan oleh Perangkat pemerintah pusat yang berada di
Daerah. Menurut J. Wajong ruang lingkup pemerintahan umum
meliputi;17 kegiatan petugas Pamong Praja yang dalam jabatan kepala
pemerintahan daerah administrasi negara adalah wakil Pemerintah
Pusat yang memegang kekuasaan sipil di daerah dan pada dasarnya
bertanggung jawab sebagai kepala territorial dan sebagai wali rakyat
dengan tidak mengurangi kewenangan pejabat-pejabat dinas teknis,
spesialistis baik militer maupun sipil. Pemerintahan Umum mencakup
tugas-tugas (Gubernur, Residen) yaitu:
1) mewakili kekuasaan dan menegakkan kewibawaan Pemerintah
Pusat;
2) menjamin keamanan dan ketertibang umum;
3) melaksanakan kebijakan politik pemerintah pusat;
4) Menguasai lingkungan daerah hukumnya dan kekayaan alam
milik Negara;
5) Memegang kendali atas penduduk;
6) Memelihara dan memajukan kemakmuran dan kesejahteraan
daerah.
Dalam Undang-Undang 23 tahun 2014 dikenal adanya urusan
pemerintahan umum. Urusan pemerintahan umum menjadi
kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan yang terkait
pemeliharaan ideologi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, menjamin
hubungan yang serasi berdasarkan suku, agama, ras dan antar

17
Pamudji, S., 1982. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara
hlm 46.

31
golongan sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara serta
memfasilitasi kehidupan demokratis. Presiden dalam pelaksanaan
urusan pemerintahan umum di Daerah melimpahkan kepada gubernur
sebagai kepala pemerintahan provinsi dan kepada bupati/walikota
sebagai kepala pemerintahan kabupaten/kota.
Urusan pemerintahan umum yang dilaksanakan oleh gubernur
dan bupati/walikota di wilayah kerja masing-masing. Untuk
melaksanakan urusan pemerintahan umum gubernur dan
bupati/walikota dibantu oleh Instansi Vertikal. Dalam melaksanakan
urusan pemerintahan umum, gubernur bertanggung jawab kepada
Presiden melalui Menteri dan bupati/walikota bertanggung jawab
kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Gubernur dan bupati/walikota dalam melaksanakan urusan
pemerintahan umum dibiayai dari APBN. Bupati/walikota dalam
melaksanakan urusan pemerintahan umum pada tingkat Kecamatan,
dapat melimpahkan pelaksanaannya kepada camat.

D. Asas-asas Pemerintahan Daerah


Pada hakekatnya, Penyelenggaraan pemerintahan daerah di
Indonesia di dasari dengan Asas pemerintahan daerah yang yakni; Asas
desentralisasi, Asas dekonsentrasi, dan Asas tugas pembantuan.
Melalui Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 dilakukan pengaturan
yang bersifat afirmatif yang dimulai dari pemetaan Urusan
Pemerintahan yang akan menjadi prioritas Daerah dalam pelaksanaan
otonomi yang seluas-luasnya. Melalui pemetaan tersebut dapat tercipta
sinergi kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang Urusan
Pemerintahannya di desentralisasaikan ke Daerah.
Sinergitas Urusan Pemerintahan dapat melahirkan sinergi
kelembagaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah karena
setiap kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dapat
mengetahui siapa pemangku kepentingan (stakeholder) dari
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian tersebut di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota secara nasional. Sinergitas urusan

32
pemerintahan dan kelembagaan tersebut dapat menciptakan sinergi
dalam perencanaan pembangunan antara kementerian/lembaga
pemerintah non-kementerian dengan pemerintah daerah untuk
mencapai tujuan nasional. Manfaat selanjutnya adalah tercipta
penyaluran bantuan yang terarah dari kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian terhadap daerah-daerah yang menjadi
stakeholder utamanya untuk akselerasi realisasi tujuan nasional
tersebut.
Asas Penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia
sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Asas Desentralisasi
Konsep desentralisasi sering nampak pada pembahasan tentang
sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pada Undang-Undang
nomor 23 tahun 2014 menjelaskan bahwa desentralisasi adalah
penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada
daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi. Hal ini sejalan dengan
berbagai pengertian dan defenisi yang dikemukakan para ahli
mengenai desentralisasi. Apalagi pada saat sekarang, hampir setiap
negara menerapkan konsep desentralisasi sebagai suatu asas dalam
sistem penyelenggaraan pemerintahan negara kepada pemerintahan
daerah.
UNDP memberikan pengertian mengenai decentralization,
yaitu; refers to the restructuring or reorganization of authority so that there is
a system of co-responsibility between institutions of governance at the central,
regional and local levels according to the principle of subsidiarity, thus
increasing the overall quality and effectiveness of the system of governance,
while increasing the authority and capacities of sub-national levels. 18
Pengertian tersebut menjelaskan adanya restruturisasi atau
pengaturan kewenangan sehingga jelas implementasi tanggung jawab

18
UNDP, Decentralized Governance Programme: Strengthening Capacity for People-
Centered Development, Management Development and Governance Division,
Bureau for Development Policy, Sept 1997. http://www.pogar.org/publications/
other/undp/decentralization/ decenpro97e.pdf

33
bersama antara institusi pemerintah pada tingkat pusat dan daerah,
sehingga sehingga dapat meningkatkan kualitas dan keefektifan sistem
pemerintahan termasuk kewewenangan dan kapasitas daerah.
Desentralisasi merupakan pembagian fungsi dan tanggungjawab
kepada pemerintah daerah untuk menjalankan fungsi-fungsi
pemerintahan.
Selain itu Dennis Rondinelli memberikan pengertian
Decentralization yaitu; the transfer of authority and responsibility for public
functions from the central government to subordinate or quasi-independent
government organizations or the private sector.19 Sementara Dimce Nikolov,
mengemukakan bahwa desentralisasi adalah sebuah proses dimana
wewenang dan tanggung jawab untuk fungsi publik dialihkan dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah, masyarakat sipil dan
organisasi non-pemerintah lainnya. Ini adalah spektrum daripada satu
negara, mulai dari dekonsentrasi, delegasi hingga devolusi, dan
delokalisasi.
Tapi, desentralisasi seharusnya tidak dilihat dengan cara yang
terlalu sederhana, sebagai perpindahan kekuasaan dari pusat ke
pemerintah daerah. Ini lebih merupakan proses redefinisi struktur,
prosedur dan praktik tata pemerintahan agar lebih dekat dengan warga
negara.20 Kemudian Aaron Schneider, juga memberikan pengertian
desentralisasi adalah sistem di mana entitas sentral memainkan peran
lebih rendah dalam setiap atau semua dimensi ini. Dalam sistem seperti
itu, pemerintah pusat memiliki bagian sumber daya fiskal yang lebih
kecil, memberikan lebih banyak otonomi administratif, dan/atau

19
Litvack, Jennie, Seddon, Jessica, 1999, Decentralization Brefing Notes, The World
Bank, Washington, D.C. https://siteresources. worldbank.org/WBI/ Resources/
wbi37142.pdf
20
Dimce Nikolov, Decentralization And Decentralized Governance For Enhancing
Delivery Of Services In Transition Conditions, Background paper for the Regional
Forum on “Enhancing Trust in Government through Leadership Capacity Building”,
to be held in St.Petersburg, 28-30 September 2006, https://www.unpan1.un.org/
intradoc/groups/public/documents/un/ unpan025134.pdf

34
menyerahkan tingkat tanggung jawab yang lebih tinggi untuk fungsi
politik. 21
Berbagai definisi tentang desentralisasi yang dikemukakan di
atas, serta berbagai defenisi yang dikemukakan para ahli lainnya, pada
umumnya didasarkan kepada sudut pandang yang berbeda. Terkadang
istilah itu dianggap istilah, terkadang konsep, sistem, teori, metodologi,
kebijakan, atau proses, sehingga sulit untuk diambil defenisi yang
paling tepat. Walaupun demikian, perlu batasan sebagai rujukan dalam
menemukan pengertian desentralisasi. United Nations memberikan
batasan tentang desentralisasi sebagai berikut “Decentralization as used
here refers to the transfer of authority avay from the national capital whether by
de£oncentration (i.e. delegation) to field offices or by devolution to local
authorities or other local bodies...” 22
Batasan ini memberikan penjelasan mengenai proses
kewenangan yang diserahkan pusat kepada daerah. Proses itu melalui
dua cara yaitu dengan delegasi kepada pejabat-pejabatnya di daerah
(deconcentration) atau dengan devolution kepada badan-badan otonom
daerah. Akan tetapi, tidak dijelaskan isi dan keluasan kewenangan serta
konsekuensi penyerahan kewenangan itu bagi badan-badan otonom
daerah.
Handbook of Public Administration yang diterbitkan oleh
United Nations (1961:64) menyebutkan bentuk-bentuk desentralisasi
sebagai berikut; “The two principal forms of decentralization of governmental
powers and fungtions are deconcentration to area offices off administration and

21
Aaron Schneider, Decentralization: Conceptualization and Measurement, Studies in
Comparative International Development, Fall 2003, Vol.38, No. 3, pp.32-56.
https://hks.harvard.edu/fs/pnorris/Acrobat/stm103%20articles/Schneider_
Decentralization.pdf
22
United Nations, 1962, Decentralization for National and Local Development,
Technical Asistant Programe, New York: Departement of Economic and Social Affair,
Division for Public Administration hlm 3. https://babel.hathitrust.org/cgi/pt?id
=mdp.39015019908428;view=1up;seq =13

35
devolution to state and local authorities.”23 Yang dimaksud dengan area
offices of administration adalah suatu perangkat pusat yang berada di
daerah. Perangkat pusat melimpahkan wewenang dan tanggung jawab
kepada pejabatnya mengenai fungsi tertentu yang bertindak sebagai
perwakilan perangkat pusat untuk melaksanakan fungsi tertentu yang
bersifat adminitratif tanpa penyerahan penuh kekuasaan.
Pertanggungjawaban akhir tetap berada pada perangkat pusat.
Penulis menambahkan bahwa desentralisasi merujuk pada
pengalihan fungsi, wewenang dan atau tanggung jawab pemerintah
pusat ke pemerintah daerah, masyarakat sipil dan atau organisasi non-
pemerintah lainnya, hal ini merujuk pada pengertian urusan
pemerintahan oleh Ndraha dan Gambar Interaktif Antara Negara
dengan Manusia.24 Dari segi pemunculannya, adanya lembaga
pemerintahan daerah merupakan pencerminan dari prinsip
desentralisasi. 25 Sehingga pembentukan 8 daerah provinsi serta
Gubernurnya sejak awal kemerdekaan melalui sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945 dan
dilanjutkan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang
Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah merupakan
pengakuan Pemerintah Pusat mengenai pengalihan fungsi, wewenang
dan atau tanggung jawab pemerintah pusat ke pemerintah daerah
mengenai pelaksanaan pemerintahan di daerah untuk mengatur dan
melayani masyarakatnya. Hal tersebut merupakan fakta nyata adanya
desentralisasi melalui keinginan pemerintah untuk lebih dekat
melayani masyarakatnya.

23
United Nations, 1961, A Handbook of Public Administration: Current Concept and
Practice with Special Reference to Developing Countries, New York: Departement
Of Economics and Sosial Affair, hlm 64. https://babel.hathitrust.org/cgi/pt?id
=uc1.$b234583;view=1up;seq=78.
24
Telah diuraikan pada Gambar 1.2, Interaktif Antara Negara dengan Manusia
25
Muchlis Hamdi, 2002, Bunga Rampai Pemerintahan, Yasrif Watampone, Jakarta
hlm.65.

36
Dengan kedekatan jarak seperti itu diharapkan pemerintahan
daerah, yang terbentuk sebagai implementasi prinsip desentralisasi,
dapat berarti banyak bagi masyarakat antara lain sebagai berikut:
- Pemerintahan daerah akan semakin mempunyai tingkat
akuntabilitas yang tinggi;
- Pemerintahan deaerah akan dapat mempunyai tingkat daya
tanggap yang tinggi dalam menyikapi prkembangan masyarakat;
- Pemerintah daerah dapat menjamin pelayanan pemerintahan yang
tidak saja efisien dalam menyelenggarakanya tetapi juga sesuai
dengan aspirasi masyarakat dalam substansinya;
- Pemerintah daerah merupakan latihan bagi munculnya
pemimpinan nasional. 26

Bryant dan White, mengemukakan bahwa pada dasarnya


memang terdapat dua bentuk desentralisasi, yaitu desentralisasi
administrasi adalah suatu delegasi wewenang pelaksanaan yang
diberikan kepada pejabat pusat ditingkat lokal; dan, desentralisasi
politik yaitu wewenang pembuatan keputusan dan kontrol tertentu
terhadap sumber-sumber daya yang diberikan kepada badan-badan
pemerintah regional dan lokal. 27
Sementara Cohen dan Peterson pun mengidentifikasi enam
bentuk desentralisasi yang utama, Enam pendekatan dalam
mengidentifikasi bentuk-bentuk desentralisasi adalah sebagai berikut28:
1) Bentuk desentralisasi berdasarkan asal-usul sejarah
Pendekatan pertama mengklasifikan bentuk-bentuk atas dasar asal-
usul sejarah. Sebuah fokus terhadap sejarah membawa seorang
spesialis untuk menegaskan bahwa ada empat pola desentralisasi
dasar, yaitu pola Prancis, Inggris, Soviet, dan Tradisional. Menurut

26
ibid hlm.66
27
Bryant dan White. 1987. Manajemen Pembangunan Untuk Negara Berkembang,
Cetakan Pertama, Alih Bahasa Rusyanto L. Simatupang, LP3ES, Jakarta hlm.213-214.
28
Cohen M, John and Peterson B, Stephen. 1999, Administrative Decentralization
(Strategies for Developing Countries), Kumarian Press: USA,hlm 16-18

37
Cohen dan Peterson, sistem klasifikasi ini dipandang sebagai terlalu
menyederhanakan dan secara analitis lemah.
2) Bentuk desentralisasi teritorial dan fungsional
Pendekatan kedua membedakan bentuk-bentuk desentralisasi
dengan hierarki dan fungsi. Menurut pandangan ini, desentralisasi
teritorial/kawasan merujuk pada pelimpahan kebaikan dan
pelayanan kepada publik yang dihasilkan dan disediakan secara
terpusat kepada unit-unit di tingkatan daerah dalam hierarki
yurisdiksi pemerintahan. Sedangkan desentralisasi fungsional
merujuk pada transfer tanggung jawab pusat baik kepada
pemerintah di bawahnya yang berada dibawah pengawasan
pemerintah maupun kepada unit-unit di luar kontrol pemerintahan,
seperti LSM atau perusahaan privat.
3) Bentuk yang berpusatkan pada masalah dan nilai
Pendekatan ini mengidentifikasi bentuk-bentuk desentralisasi
dengan masalah yang ditunjukkan dan nilai-nial dari para
investigatornya. Pendekatan ini diilustrasikan dengan begitu
gamblang oleh Proyek Desentralisasi Berkeley, yang sangatlah
tertarik dalam menemukan cara-cara membawa program-program
dan proyek-proyek pembangunan yang lebih efektif bagi
masyarakat miskin pedesaan.
Kelompok Berkeley tersebut berhasil mengidentifikasi delapan
bentuk desentralisasi, yaitu:
a. Devolusi,
b. devolusi fungsional,
c. organisasi kepentingan,
d. dekonsentrasi prefektoral,
e. dekonsentrasi di tingkatan menteri,
f. pelimpahan wewenang terhadap agen-agen otonom,
g. Kedermawanan atau filantropi, dan
h. Marketisasi/proses pemasaran.
Kekurangan dari pendekatan ini yang menunjukkan kelemahan-
kelemahan tertentu dari sentralisasi yang berlebihan adalah bahwa

38
pendekatan ini bersifat memilah-milah dan menjadi bergantung
pada nalar pemerintahan, politik, ekonomi, dan nilai dari para analis
yang menunjukkan masalah yang ada.
4) Bentuk pemberian pelayanan
Pendekatan ini memfokuskan diri pada pola struktur dan fungsi
administratif atau pemerintahan yang bertanggung jawab bagi
produksi dan pemberian pelayanan kolektif. Pendekatan ini
mengidentifikasi empat bentuk desentralisasi, yaitu: sistem
pemerintahan daerah, sistem partnership, sistem ganda, dan sistem
pemerintahan terintegrasi. Kekurangan dari pendekatan ini adalah
bentuknya yang tidak cukup analitis dalam menghadapi keragaman
desain struktural dan fungsional yang semakin meningkat yang
menjadi fenomena dalam beberapa dekade terakhir.
5) Bentuk pengalaman tunggal negara
Pendekatan ini menggambarkan definisi sempit desentralisasi, yang
didasarkan pada pengalaman dari satu negara. Dengan pandangan
ini, pelimpahan tanggung jawab, kekuasaan, dan sumber daya
kepada pemerintahan pusat bukanlah desentralisasi. Namun,
desentralisasi hanya terjadi ketika pemerintah daerah: (a) dibentuk
oleh undang-undang, dalam bentuk sebuah piagam yang
memberikan aspek legalitas, yang didefinisikan sebagai
pemerintahan yang dibentuk oleh hukum dengan hak untuk digugat
dan menggugat; (b) terletak dalam ikatan yurisdiksi yang memiliki
batas yang jelas yang di dalamnya ada sebuah pemahaman akan
masyarakat, kesadaran, dan solidaritas; (c) diperintah oleh pejabat
dan aparaturnya yang dipilih dalam pilkada; (d) secara resmi
membuat dan menjalankan ordonansi atau peraturan daerah yang
berkaitan dengan tugastugas sektor publiknya; (e) secara resmi
mengumpulkan pajak dan pendapatan lainnya yang dilakukan
secara legal; dan (f) berusaha memperkuat dan mengatur anggaran
belanja, pengeluaran, dan sistem perhitungan keuangannya, dan
menggaji para karyawan, termasuk mereka yang bertanggung jawab
bagi keamanannya.

39
6) Bentuk-bentuk desentralisasi berdasarkan tujuan
Pendekatan ini mengklasifikasikan bentuk-bentuk desentralisasi atas
dasar tujuan: politik, ruang, pasar, dan pemerintahan. Pendekatan
ini pun kemudian memberikan perhatian spesifik kepada tiga jenis
desentralisasi administratif, yaitu: dekonsentrasi, devolusi, dan
delegasi. Desentralisasi politik mengidentifikasi pelimpahan
kekuasaan membuat keputusan kepada warga negara atau mereka
yang terpilih. Desentralisasi ruang adalah sebuah istilah yang
digunakan oleh perencana regional yang terlibat dalam kebijakan
dan program pemformulasian yang tujuannya adalah mereduksi
konsentrasi berlebihan dari masyarakat perkotaan dalam suatu kota
besar dengan mempromosikan kutub pertumbuhan regional yang
memiliki potensi untuk menjadi pusat pemasaran, industri dan
pertanian. Desentralisasi pasar memfokuskan pada penciptaan
berbagai kondisi yang menyediakan barang-barang dan jasa untuk
diproduksi dan disediakan oleh mekanisme pasar yang sensitive
terhadap pilihan yang tampak pada diri individu. Kemudian,
desentralisasi pemerintahan difokuskan pada distribusi kekuasaan
yang sifatnya hierarkis dan fungsional antara pemerintah pusat
dengan unit-unit pemerintah daerah.
Labolo menjelaskan bahwa tanpa melupakan sepenuhnya
perdebatan konsep dan teori desentralisasi, hal yang seringkali
dilupakan adalah bagaimana mengetahui derajat desentralisasi dalam
praktek penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pengukuran
desentralisasi pada suatu negara paling tidak berguna untuk
mengevaluasi perkembangan desentralisasi secara domestik maupun
perbandingan kualitas desentralisasi antar negara secara eksternal.29
Lebih lanjut, Labolo mengemukakan derajat desentralisasi dapat
disusun berdasarkan faktor-faktor tertentu antara lain: 30

29
Muhadam Labolo, 2012, Meperkuat Pemerintahan Mencegah Negara Gagal;
Sebuah ikhtiar mewujudkan Good Goovernance dan Negara Kesejahteraan. Kubah
Ilmu (Kelompok Grafindo Khasanah Ilmu), Jakarta hlm.308.
30
ibid hlm.309-311.

40
1) Sejauh manakah fungsi dan urusan yang dijalankan oleh
pemerintahan daerah, Semakin banyak banyak fungsi atau urusan
yang diserahkan semakin tinggi derajat desentralisasi.
2) Berkenaan dengan jenis pendelegasian fungsi. Dalam hal ini
terdapat dua jenis pendelegasian fungsi yaitu general competence,
dan ultra-vires doctrin. General competence memungkinkan
daerah dapat mengembangkan kemampuannya secara maksimal
di luar apa yang menjadi kewenangan pusat, jenis ini cenderung
dipraktekkan dalam negara federalistik. Ultra-vires doctrin
memberikan kewenangan terbatas pada daerah dimana fungsi-
fungsi tertenttu ditentukan secara jelas oleh pemerintah pusat, jenis
ini menjadi rujukan dalam negara berbentuk kesatuan.
3) Berkaitan dengan seberapa besar kontrol pusat terhadap
pemerintah daerah. Kontrol ini bersifat refresif memberikan
peluang pada pemerintah daerah untuk menumbuhkan
kemandirian, kreativitas dan inovasi mendahului intervensi pusat.
Sebaliknya kontrol yang bersifat preventif dipandang tidak
memberikan peluang kepada pemerintah daerah untuk
mengembangkan kemandirian, kreativitas dan inovasi melalui
intervensi pusat. Dengan demikian kontrol yang bersifat refresif
dinilai ebih mendorong derajat desentralisasi dibanding kontrol
preventif.
4) Berhubungan dengan otoritas pengambilan keputusan
menyangkut pengelolaan keuangan baik penerimaan maupun
pengeluaran pemerintah daerah. semakin tinggi diskresi
pengambilan keputusan dalam hal alokasi keuangan yang
didasarkan pada kebtuhan nyata pemerintahan daerah semakin
tinggi pula erajat desentralisasinya
5) Berkorelasi dengan metode pembentukan daerah otonom
(pemerintah daerah), metode pembentukan daerah otonom yang
berlangsung secara bottom up menunjukkan derajat desentralisasi
yang lebih tinggi dibandung jika inisiasi pembentukan daerah
otonom terjadi secara top down. Faktor ini memiliki relevansi yang

41
kuuat terhadap derajat demokrasi dimana partisipasi masyarakat
menjadi faktor penentu dibanding kepentingan politik elit semata.
6) Seberapa besar tingkat ketergantungan finansial pemerintah
daerah terhadap pemerintah pusat. Faktor ini akan melihat
seberapa besar alokasi finansial pemerintah pusat diluar
pendapatan asli daerah, semakin tinggi pendapatan asli daerah
dibanding alokasi bantuan pemerintah pusat dalam berbagai
mekanisme yang dirancang semakin tinggi derajat desentralisasi.
7) Berkaian dengan cakupan luas area pelayanan semakin luas
cakupan area pelayanan dpandang semakin tinggi derajat
desentralisasi.
8) Berhubungan dengan perana partai politik lokal dalam
mengartikulasikan kepentingan masyarakat di daerah di banding
dominasi partai politik nasional. Semakin tinggi diskresi partai
politik dalam mencerminkan kebutuhan masyarakat lewat sarana
legislasi yang tersedia semakin tinggi pula derajat desentralisasi
pada suatu negara.

Pada implementasi asas desentralisasi di daerah, urusan-urusan


pemerintahan yang telah diserahkan kepada pemerintah daerah dalam
rangka pelaksanaan asas desentralisasi pada dasarnya menjadi
wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah sepenuhnya. Dalam
hal ini prakarsa juga sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah
daerah, baik yang menyangkut perencanaan, penentuan kebijaksanaan,
pelaksanaan maupun yang menyangkut segi-segi pembiayaan.
Demikian pula perangkat pelaksanaannya adalah perangkat daerah itu
sendiri, yaitu terutama dinas-dinas daerah yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.

2. Asas Dekonsentrasi
Jazim Hamidi menjelaskan bahwa Asas dekonsentrasi adalah
pendelegasian wewenang pusat kepada daerah yang bersifat
menjalankan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan pusat

42
lainya yang tidak berbentuk peraturan, yang tidak dapat berprakarsa
menciptakan peraturan dan/ atau membuat keputusan bentuk lainya
untuk kemudian dilaksanakan sendiri. Pendelegasian dalam asas
dekonsentrasi berlangsung antara petugas perorangan pusat
dipemerintahan pusat kepada petugas perorangan pusat
dipemerintahan.31 Dalam Undang-undang nomor 23 Tahun 2014
pengertian dekonsentrasi didefenisikan yakni pelimpahan sebagian
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat
kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi
vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali
kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.
Gubernur sebagai kepala daerah provinsi berfungsi pula selaku
wakil Pemerintah di daerah, dalam pengertian untuk menjembatani
dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi
Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah kabupaten dan kota.
Dasar pertimbangan dan tujuan diselenggarakannya asas dekonsentrasi
yaitu:
a. terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. terwujudnya pelaksanaan kebijakan nasional dalam mengurangi
kesenjangan antar daerah;
c. terwujudnya keserasian hubungan antar susunan pemerintahan
dan antarpemerintahan di daerah;
d. teridentifikasinya potensi dan terpeliharanya keanekaragaman
sosial budaya daerah;
e. tercapainya efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan,
serta pengelolaan pembangunan dan pelayanan terhadap
kepentingan umum masyarakat; dan

31
Jazim Hamidi, 2011, Optik Hukum Peraturan Daerah Bermasalah, Jakarta, Prestasi
Pustaka hlm. 17.

43
f. terciptanya komunikasi sosial kemasyarakatan dan sosial budaya
dalam sistem administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. 32

Dekonsentrasi menempatkan fungsi dan tugas khusus yang


dilaksanakan oleh pemerintah pusat kepada aparat yang ditempatkan
di daerah dalam kawasan negara tersebut. Aparat, peralatan, kendaraan,
dan sumber dana ditransfer kepada unit-unit seperti pejabat provinsi.
Pimpinan dari setiap unit tersebut diberikan wewenang untuk
membuat keputusan otonom berkaitan dengan pelaksanaan tersebut,
yang sebelumnya telah dilakukan oleh pemerintah pusat, atau
membutuhkan kejelasan dari pemerintah pusat.
Pada Undang-undang nomor 23 tahun 2014 pelaksanaan asas
dekonsentrasi diperjelas dengan penguatan fungsi gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat. Pelaksanaan asas dekonsentrasi tersebut
merupakan bentuk halus dari model sentralisasi salah satunya yaitu
penguatan peran gubenur. Peran Gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat dipertegas dan diperkuat dalam melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap kabupaten/kota di wilayahnya. Pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur
secara jelas dengan berbagai instrumen seperti evaluasi, klarifikasi,
persetujuan, dan bentuk lainnya. Kemudian diatur sanksi bagi
penyelenggara pemerintahan daerah yang melanggar aspek- aspek
kritis dan penting yang mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan
pemerintahan.
Penguatan Peran dan fungsi gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat tersebut juga memantapkan koordinasi antar level
pemerintahan dan memperkuat sinergitas antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, serta mendukung efektivitas dan efisiensi
penyelenggaraan pemerintah daerah. Posisi gubernur selain sebagai
kepala daerah di wilayah provinsi, juga sebagai wakil pemerintah pusat
di wilayah provinsi memiliki tugas dan fungsi yang sangat strategis

32
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan.

44
dalam mensinergikan penyelenggaraan pemerintah pusat, provinsi
maupun kabupaten/kota demi kepentingan dan kesejahteraan
masyarakat

3. Asas Tugas Pembantuan


Penyelenggaraan asas tugas pembantuan merupakan cerminan
dari sistem dan prosedur penugasan Pemerintah kepada daerah
dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota
dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa
untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan dan pembangunan
yang disertai dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan
mempertanggung-jawabkannya kepada yang memberi penugasan.
Dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2014 menyebutkan bahwa
tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada
daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan
yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah
Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan
sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
provinsi.
Tujuan diberikannya tugas pembantuan (Medebewind) adalah
untuk lebih meningkatkan efektivitas dan efesiensi penyelenggaraan
pembangunan serta pelayanan umum kepada masyarakat. Selain itu
pemberian tugas pembantuan juga bertujuan untuk memperlancar
pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan serta membantu
mengembangkan pembangunan daerah dan desa sesuai dengan potensi
dan karakteristiknya.33 Tugas pembantuan yang diberikan oleh
Pemerintah kepada daerah dan/atau desa meliputi sebagian tugas-tugas
Pemerintah yang apabila dilaksanakan oleh daerah dan/atau desa akan
lebih efisien dan efektif. Tugas pembantuan yang diberikan oleh
pemerintah provinsi sebagai daerah otonom kepada kabupaten/kota
dan/atau desa meliputi sebagian tugas-tugas provinsi, antara lain dalam

33
Sadu Wasistiono, Etin Indrayani, dan Andi Pitono, Memahami Asas Tugas
Pembantuan, Bandung: Fokus Media, 2006, hlm. 2.

45
bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta
sebagian tugas pemerintahan dalam bidang tertentu lainnya, termasuk
juga sebagian tugas pemerintahan yang tidak atau belum dapat
dilaksanakan oleh kabupaten dan kota.
Menurut Irawan Soejito,34 tugas pembantuan itu dapat berupa
tindakan mengatur (tugas legislatif) atau dapat pula berupa tugas
eksekutif (beschikken). Daerah yang mendapat tugas pembantuan
diwajibkan untuk mempertanggung jawabkan kepada yang
menugaskan.Amrah Muslim menafsirkan tugas pembantuan
(medebewind) adalah kewenangan pemerintah daerah menjalankan
sendiri aturan-aturan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah
yang lebih tinggi tingkatannya.
Sementara itu, Bagir Manan,35 mengatakan bahwa pada
dasarnya tugas pembantuan adalah tugas melaksanakan peraturan
perundang-undangan tingkat lebih tinggi (de uitvoering van hogere
regelingen). Daerah terikat melaksanakan peraturan perundang-
undangan termasuk yang diperintahkan atau diminta (vorderen) dalam
rangka tugas pembantuan.
Tugas pembantuan dalam hal-hal tertentu dapat dijadikan
semacam “terminal” menuju penyerahan penuh suatu urusan kepada
daerah atau tugas pembantuan merupakan tahap awal sebagai
persiapan menuju kepada penyerahan penuh. Bidang tugas
pembantuan seharusnya bertolak dari:
1) Tugas pembantuan adalah bagian dari desentralisasi dengan
demikian seluruh pertanggungjawaban mengenai
penyelenggaraan tugas pembantuan adalah tanggung jawab
daerah yang bersangkutan.
2) Tidak ada perbedaan pokok antara otonomi dan tugas
pembantuan. Dalam tugas pembantuan terkandung unsur

34
Irawan Soejito, 1981, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jakarta:
Bina Aksara, hlm.117.
35
Bagir Manan. 1994. Hubungan Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta,
Pustaka Sinar Harapan, hlm 179

46
otonomi (walaupun terbatas pada cara melaksanakan), karena
itu daerah mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri
cara-cara melaksanakan tugas pembantuan.
3) Tugas pembantuan sama halnya dengan otonomi, mengandung
unsur penyerahan (overdragen) bukan penugasan (opdragen).
Perbedaannya, kalau otonomi adalah penyerahan penuh
sedangkan tugas pembantuan adalah penyerahan tidak
penuh.36

BAB II

36
ibid, hlm 60

47
PEMERINTAHAN DAERAH

Suatu negara biasanya membagi wilayahnya dengan beberapa


provinsi untuk mempererat hubungan keterjangkauan dengan
masyarakatnya. Dalam pembagian wilayah tersebut timbullah
pemerintahan yang berskala yang lebih kecil yang di Indonesia di sebut
pemerintah daerah. Indonesia membentuk pertama kali pemerintah
daerah dengan 8 provinsi melalui sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus
1945 dan menunjukan 8 orang Gubernur yang memimpin wilayah tiap
provinsi tersebut. Saat ini Indonesia terdiri dari 34 provinsi, dan dari
jumlah provinsi tersebut, terdiri dari 415 Kabupaten dan 93 Kota.
Hal yang sama juga seperti negara-negara lainnya yang
membagi wilayahnya dengan beberapa provinsi atau negara bagian.
Hal ini dapat dilihat pada beberapa negara-negara di dunia yang
membagi wilayahnya sebagai berikut:
a) Britania Raya adalah sebuah negara kesatuan yang diatur di bawah
system monarki konstitusional dan parlementer, dengan roda
penggerak pemerintahannya berada di ibukota London. Terdapat
empat negara dalam kedaulatan Britania Raya yang masing-
masingnya berdiri sendiri; Inggris, Irlandia Utara, Skotlandia dan
Wales. Tiga negara terakhir memiliki pemerintahan tersendiri yang
berbeda-beda kekuasaannya, dan berpusat di ibukota masing-
masing, yaitu Belfast, Edinburgh, dan Cardiff. Inggris dibagi
menjadi 48 county seremonial (provinsi) dimana masing-masing
county memiliki seorang Lord Lieutenant dan High Sheriff; jabatan
ini dimaksudkan untuk mewakili Monarki Britania Raya lokal.
Pemerintahan daerah di Wales terdiri dari 22 otoritas kesatuan
(unitary authorities). Otoritas ini termasuk kota Cardiff, Swansea
dan Newport yang memiliki kewenangan tersendiri atas otoritas
mereka. Skotlandia modern terbagi menjadi berbagai unit
administratif untuk berbagai tujuan.

48
Dalam pemerintahan daerah, terdapat 32 wilayah dewan sejak
1996, dengan dewan yang memiliki kewenangan uniter untuk
menyediakan seluruh pelayanan pemerintah daerah. Dewan
komunitas adalah organisasi tidak resmi yang mewakili wilayah
dewan tertentu. Irlandia Utara dibagi menjadi 26
Country/Negara/Region dan 1 Kota/Desa Britania Raya memiliki
kedaulatan atas tujuh belas wilayah yang tidak membentuk bagian
dari Britania Raya: empat belas Wilayah Seberang Laut Britania,
dan tiga Dependensi Mahkota (Crown Dependencies). Keempat
belas Wilayah Seberang Laut Britania Raya tersebut adalah:
Anguilla, Bermuda, Wilayah Antartika Britania, Wilayah Samudra
Hindia Britania, Kepulauan Virgin Britania Raya, Kepulauan
Cayman, Kepulauan Falkland, Gibraltar, Montserrat, Saint Helena,
Ascension dan Tristan da Cunha, Kepulauan Turks dan Caicos,
Kepulauan Pitcairn, Georgia Selatan dan Kepulauan Sandwich
Selatan, dan Kawasan Pangkalan Berdaulat di Siprus
b) Amerika Serikat, Pada saat Deklarasi Kemerdekaan (Declaration of
Independence), Amerika Serikat hanya mempunyai 13 negara
bagian. Jumlahnya kemudian terus bertambah dari tahun ke tahun
karena terjadi perluasan wilayah ke arah barat, penjajahan dan
pembelian tanah yang dilakukan pemerintah AS, serta pemecahan
negera-negera bagian yang ada hingga mencapai 50. Selain 50
negara bagian tersebut, Amerika Serikat juga memiliki daerah
khusus dan wilayah-wilayah lain
c) Australia, terdiri dari enam negara bagian dan sepuluh wilayah
(territory) di bawah pemerintahan dengan sistem federal. Wilayah
adalah sebuah daerah di mana pemerintah pusat memiliki
wewenang yang lebih banyak daripada di negara bagian. Oleh
karena itu sebuah wilayah dikepalai oleh seorang administrator
dan bukan oleh seorang gubernur seperti di sebuah negara bagian.
d) Rusia, merupakan negara terbesar di dunia yang berasal dari
pecahan Uni Soviet yang runtuh pada tahun 1990. Konstitusi
pertama negara Rusia disahkan pada tahun 1993 melalui

49
pemungutan suara, konsekuensi hukum dari hancurnya Uni Soviet
dan Rusia memiliki hukum dasarnya sendiri adalah pembagian
wilayah administrasi di Rusia yang berubah. Berdasarkan
konstitusi tahun 1993, penamaan menjadi Federasi Rusia. Rusia
adalah sebuah federasi yang terdiri atas 88 subjek federal (bahasa
Rusia: tunggal: субъект dan jamak: субъекты). Semua subjek
federal sama statusnya namun berbeda dalam hal kadar otonomi.
Semua subjek federal memiliki dua wakil di Dewan Federal Rusia.
Pembagian wilayah di Rusia memang sangat rumit, negara besar
seperti Rusia terbagi ke dalam beberapa tingkatan wilayah.
Terdapat 22 republik etnik37, 46 oblast38, 9 krai39, 3 kota tingkat
federal40, 1 oblast otonom41 dan 4 okrug otonom42.
e) China, Republik Rakyat Cina (RRC) adalah negara kesatuan yang
sentralistik dimana wilayahnya terbagi menjadi beberapa provinsi
dan dua daerah otonomi khusus (Hong Kong dan Macau).
Gubernur, Walikota dan Kepala Distrik dan Daerah Otonom
diangkat oleh Pemerintah Pusat di Beijing setelah menerima
persetujuan dari Kongres Rakyat Nasional (KRN). Negara
Tiongkok memiliki 34 daerah administrasi tingkat provinsi, di
mana 23 provinsi, 5 daerah otonomi, 4 kota setingkat provinsi, dan
2 daerah administrasi khusus.

37
Daerah otonom dengan hak untuk keluar dari federasi, masing-masing memiliki
konstitusi sendiri, presiden dan parlemen; diwakili oleh pemerintah federal dalam
hubungan luar negeri; dan merupakan rumah dari etnis minoritas tertentu.
38
Provinsi, unit administratif biasa dengan gubernur yang dipilah secara federal dan
"legislatur" yang dipilih secara lokal.
39
Wilayah, mirip dengan oblast namun biasanya lebih berada di perbatasan luar dan
lebih jarang penduduknya.
40
Negara Kota, kota utama yang berfungsi sebagai wilayah terpisah.
41
Provinsi yang lebih otonom, oblast otonom Yahudi, statusnya hampir sama dengan
oblast pada umumnya. Akan tetapi yang membedakan adalah sejarah
pembentuknya. Terletak di perbatasan negara China dengan Ibukota Birobidzhan.
42
Distrik otonom, lebih otonom dari oblasts tetapi kurang dari republik; biasanya
dengan etnik minoritas yang berjumlah besar atau mendominasi.

50
Berdasarkan hal tersebut di atas, terlihat bahwa negara-negara,
baik yang berbentuk kerajaan, federasi maupun republik membagi
wilayahnya berdasarkan tujuan kondisi sosial politik dan letak geografi
suatu negara. Pembagian negara merupakan pembagian wilayah suatu
negara berdasarkan sistem tertentu dengan maksud untuk
mempermudah administrasi, pemerintahan, dan hal-hal yang
sehubungan dengan itu. Hasil dari pembagian tersebut dikenal dengan
sebutan umum "subdivisi negara" atau pembagian negara.
Berbeda dengan batas-batas geografi yang kasat mata seperti
sungai, gunung, gurun, dan semacamnya, pembagian negara
merupakan suatu hal yang abstrak. Pembagian negara yang paling
umum adalah pembagian daerah administratif, yaitu pembagian
menjadi provinsi, distrik, kota, dan sebagainya. Beberapa negara
mempunyai pembagian yang disebut "divisi" atau "subdivisi".
Pembagian wilayah adalah istilah generik untuk suatu daerah
pemerintahan di dalam atau di bawah struktur suatu negara berdaulat.
Wilayah ini biasanya berupa suatu pemerintahan lokal dengan nama
yang berbeda-beda dan dengan derajat otonomi tertentu.

A. Makna dan Fungsi Pemerintah Daerah


Undang-undang nomor 23 tahun 2014 memberikan pengertian
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. Kemudian,
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan
oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Sementara Appadorai mengemukakan bahwa
pemerintah daerah adalah pemerintah oleh badan-badan yang dipilih
secara populer yang ditugaskan untuk tugas administratif dan eksekutif

51
dalam hal-hal yang berkaitan dengan penghuni tempat atau distrik
tertentu. 43
Gomme (statistical office of the london county council)
mendefinisikan pemerintah daerah dengan cara sebagai berikut: 44
Pemerintah daerah adalah bagian dari keseluruhan pemerintahan suatu
negara atau bagian negara yang dikelola oleh otoritas yang berada di
bawah otoritas negara, namun dipilih secara independen oleh kontrol
oleh otoritas negara, oleh orang-orang yang berkualifikasi, atau
memiliki properti di daerah tertentu, yang dimiliki daerah setempat.
Telah dibentuk oleh masyarakat yang memiliki kepentingan bersama
dan sejarah bersama.
Kemudian menurut Kyenge, konsep pemerintah daerah telah
diberi berbagai definisi oleh berbagai cendekiawan. Betapapun
berbedanya konsepnya, pendekatan ini berfokus pada transfer
kekuatan politik ke daerah setempat dengan melibatkan penduduk
dalam penyediaan kebutuhan dasar di masyarakat masing-masing. 45
Baik Appadorai dan Gomme tampaknya menekankan
independensi, sementara pemerintah daerah sebenarnya tidak terlepas
dari kontrol pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya menikmati
otonomi relatif, karena pembagian tanggung jawab untuk pelayanan
antara pemerintah pusat dan daerah. Perlu dicatat bahwa pembagian
tanggung jawab dilakukan sesuai dengan kepentingan politik dan
agenda terkait kebijakan. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan
bahwa pemerintah daerah adalah penyelenggara pemerintahan yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintahan negara

43
Appadorai A. 1975, the Substance of Politics, New Delhi Oxford University Press.
hlm 287.
44
Gomme, G.L. 1897. “Lectures on the Principles of Local Government”, Delivered at
London School of Economics, Lent term, Westminster Constable, Archibald
Constable and CO, Whitehall Garden, hlm 1-2, https://archive.org/details/
lecturesonprinc00gommgoog.
45
Kyenge .J., 2013, The Challenges of Local Government Administration in Nigeria, J.
of Management and Corporate Governance Vol.5, No.1, Pp. 70-76, hlm 70 .

52
dan yang menerima pelimpahan urusan untuk memenuhi kebutuhan
dan mensejahterahkan masyarakat.
Bank Dunia (1989) telah mengidentifikasi beberapa prasyarat
yang menentukan hubungan yang berhasil antara pemerintah pusat
dan daerah sebagai berikut: 46
1) Mensyaratkan dan dorongan untuk sebuah sistem
pemerintahan daerah yang kuat dalam lingkungan politik
yang demokratis;
2) Dalam pembangunan nasional dan daerah, peran utama akan
dimainkan oleh pemerintah daerah;
3) Penyaluran sumber keuangan yang adil antara pemerintah
pusat, pemerintah daerah dan daerah;
4) Distribusi sumber daya manusia dilakukan secara adil antara
pemerintah pusat dan daerah;
5) Adanya checks and balances antara pemerintah pusat dan
daerah yang dilakukan secara formal dan efektif;
6) Berbagi informasi dan mengalir di antara semua tingkatan
dengan kecepatan yang akurat dan konsisten serta
konsultasinya tepat dan lengkap;
7) Perluasan demokrasi ada di semua dimensi pemerintahan,
seperti partisipasi semua warga negara sampai tingkat penuh
pada tingkat administrasi Dan pemerintah, terlepas dari jenis
kelamin dan bias ras;
8) Harmoni dalam aspek sosial dan politik;
9) Jelas menyebutkan urusan di antara berbagai tingkat
pemerintahan dan kemampuan tekanan lokal terhadap
pemerintah pusat untuk mengubah undang-undang;
10) Prinsip dasar pemerintahan adalah kepercayaan dan kejujuran;
11) Mampu mengadopsi inovasi.

46
Heymans, C. &Totemeyer, G. (1988) “Government by the people? Politics of local
government in South Africa. Kenwyn: Juta& Co. Ltd, hlm 6

53
Pemerintah daerah harus dipandang sebagai landasan dalam
struktur sistem politik yang demokratis dan pembangunan yang
berkelanjutan Dalam perancangan sistem politik demokratis,
pemerintah daerah harus dipandang sebagai landasan kebijakan
pembangunan nasional, karena berfungsi sebagai wahana yang vital
pada tingkat tertentu untuk menjamin peningkatan pemahaman dan
dukungan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
Penyelenggaran pemerintahan daerah pada tiap negara,
berbeda satu sama lainnya. Perbedaan tersebut menjadikan fungsi
pemerintahan daerah pada tiap negara juga berbeda-beda. Masing-
masing negara membentuk penyelenggara pemerintahan daerah sesuai
dengan kondisi politik, sosial dan geografi yang ada di negara tersebut.
Beberapa negara secara lazim menerapkan fungsi pada local
government adalah fungsi pembuatan kebijakan (policy making function)
dan fungsi pelaksanaan kebijakan (policy executing function). Fungsi
pembentukan kebijakan dilakukan oleh pejabat yang dipilih melalui
pemilu, sedangkan fungsi pelaksanaan kebijakan dilakukan oleh
pejabat yang diangkat/birokrat lokal.
Dalam melaksanakan fungsi tersebut Local Government juga
diberikan hak untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
yang telah diserahkan oleh Pemerintah Pusat yang menjadi urusan
rumah tangganya. Hak mengatur ini diwujudkan dengan pembuatan
peraturan daerah yang pada intinya merupakan kebijakan umum
pemerintahan daerah sedang hak untuk mengurus rumah tangga
daerah diwujudkan dalam implementasi peraturan daerah berupa
kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan pelaksanaan pemerintahan,
pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan masyarakat.
Di Indonesia, inti penyelenggaraan pemerintahan daerah
adalah untuk melaksanakan otonomi daerah. beberapa alasan yang
rasioanal mengenai perlunya pemerintahan daerah dengan
memberikan wewenang yang luas kepada daerah. Beberapa alasan

54
tersebut menyebabkan sehingga pemerintah daerah itu penting, sebagai
yang dikemukakan Ni’matul Huda47 sebagai berikut:
1) Persiapan ke arah federasi Indonesia masih belum
memungkinkan. Sejumlah persyaratan juga harus dipenuhi
terutama yang menyangkut perwujudan demokrasi dalam
kehidupan sehari-hari. Sementara itu, kita harus menyadari
bahwa pada saat sekarang ini masyarakat indonesia sedang
mengalami proses transisi dalam mewujudkan sebuah
demokrasi.
2) Pilihan otonomi luas merupakan pilihan yang sangat strategis
dalam rangka memelihara nation state yang sudah lama kita
bangun, dan kita pelihara.
3) Sentralisasi dan dekonsentrasi dianggap gagal mengatasi krisis
nasional. Oleh karena itu desentralisasi dan otonomi daerah
merupkan pilihan yang baik bagi kepentingan bangsa dan
masyarakat Indonesia ketimbang sentralisasi dan
dekonsentrasi.
4) Pemantapan demokrasi politik. Demokrasi tanpa ada
pengauatan politik lokal akan menjadi sangat rapuh, karena
tidaklah mungkin sebuah demokrasi dibangun dan hanya
memperkuat politik nasional.
5) Keadilan. Desentralisasi/ otonomi daerah akan mencegah
terjadinya kepincangan di dalam menguasai sumber daya yang
dimiliki dalam sebuah negara.

Belinda Havenga mengemukakan tujuan Pemerintah daerah.


pertama adalah tujuan administratif penyediaan barang dan jasa; kedua,
adalah untuk mewakili dan melibatkan warga dalam menentukan
kebutuhan masyarakat lokal tertentu dan bagaimana kebutuhan lokal
ini dapat terpenuhi. Pemerintah perwakilan lokal adalah sebuah proses
yang mencakup dan menghubungkan perwakilan dan administrasi di

47
Huda, Ni’matul , 2009, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan dan
Problematika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm 95 58.

55
tingkat lokal di dalam struktur pemerintah daerah. Untuk memahami
fungsi dan struktur pemerintahan daerah, penting untuk
mendefinisikan pemerintah daerah dan memahami makna demokrasi
dan nilai-nilai pemerintahan daerah. kebutuhan pemerintah daerah
akan diatasi, dengan aspek-aspek pemikiran pemerintah daerah ini,
perhatian diarahkan pada struktur khas pemerintah daerah karena
struktur administrasi pemerintah daerah membentuk kerangka dasar
dimana dalam kebijakan publik daerah ditentukan dan dilaksanakan.
Oleh karena itu perhatian akan diarahkan pada komposisi dewan dan
kegiatannya. 48
Berdasarkan beberapa hal tentang pemaknaan pemerintahan
daerah, alasan mengapa pemerintah daerah itu penting dan tujuan
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang telah dikemukakan oleh
para ahli di atas, maka dapat dikemukakan fungsi pemerintahan daerah
adalah sebagai berikut:
1) Sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat untuk
mendekatkan hubungan negara dan masyarakat.
2) Sebagai perencana pembangunan dan pemberdayaan nasional
pada daerah masing-masing.
3) sebagai executif dengan pelaksana pemerintahan, dengan
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilimpahkan
oleh pemerintah pusat.
4) sebagai legislatif dengan pembuatan kebijakan di daerah,
kegiatan ini merupakan fungsi penting yang pada hakikatnya
merupakan fungsi untuk pembuatan kebijakan pemerintah
daerah yang dilakukan kepala daerah bersama DPRD, yang
dijadikan dasar atau arah dalam menyelenggarakan
pemerintahan.

48
Havenga, Belinda, 2002, The restructuring of local government with specific
reference to the city of Tshwane, Disertation, Faculty Humanity, University of
Pretoria, http://repository.up.ac.za/handle/2263/25724.

56
B. Sejarah Pemerintahan Daerah
Sejarah Pemerintahan Daerah di Republik Indonesia telah
melalui perjalanan yang panjang. Lebih dari setengah abad lembaga
pemerintah daerah ini telah mencetak sejarah perjalanan bangsa. Dari
waktu ke waktu pemerintahan daerah telah banyak mengalami
perubahan bentuk. Setidaknya ada delapan periode hingga bentuk
pemerintahan daerah seperti sekarang ini (terakhir melalui Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2014, 2017). Pembagian periode ini
didasarkan pada masa berlakunya Undang-Undang yang mengatur
pemerintahan lokal secara umum. Tiap-tiap periode pemerintahan
daerah memiliki bentuk dan susunan yang berbeda-beda berdasarkan
aturan yang ditetapkan oleh undang-undang. Patut juga dicatat bahwa
konstitusi yang digunakan juga turut mempengaruhi warna dari
kebijakan peraturan yang mengatur pemerintahan daerah.
Pada bahasan di bawah ini tidak mengulas mengenai sejarah
pemerintahan daerah secara mendalam, namun hanya membahas
mengenai susunan daerah otonom dan pemegang kekuasaan
pemerintahan daerah di bidang legislatif dan eksekutif serta beberapa
kejadian yang khas untuk masing-masing periode pemerintahan daerah.

1. Periode I (1945-1948)
Pada periode ini belum terdapat sebuah undang-undang yang
mengatur Pemerintahan Daerah secara khusus. Aturan yang digunakan
adalah aturan yang ditetapkan oleh PPKI. Selain itu digunakan pula
aturan UU No 1 Tahun 1945 yang mengatur mengenai penyelenggaraan
pemerintahan sehari-hari oleh Komite Nasional Daerah. PPKI dalam
rapatnya pada 19 Agustus 1945 menetapkan pembagian daerah dan
pelaksanaan pemerintahan secara umum dengan melanjutkan
pelaksanaan yang sudah ada. PPKI hanya menetapkan adanya Komite
Nasional di Daerah untuk membantu pekerjaan kepala daerah seperti
yang dilakukan di pusat dengan adanya KNI Pusat.
Oleh PPKI, secara umum, wilayah Indonesia dibagi menjadi
provinsi-provinsi. Tiap-tiap provinsi dibagi lagi menjadi karesidenan-

57
karesidenan. Masing-masing provinsi dikepalai oleh Gubernur.
Sedangkan karesidenan dikepalai oleh Residen. Gubernur dan Residen
dalam melaksanakan pemerintahan dibantu oleh Komite Nasional
Daerah. Selebihnya susunan dan bentuk pemerintahan daerah
dilanjutkan menurut kondisi yang sudah ada. Dengan demikian
provinsi dan karesidenan hanya sebagai daerah administratif dan
belum mendapat otonomi.
Selain itu PPKI juga memutuskan disamping adanya provinsi
terdapat pula Kooti (Zelfbestuurende Landschappen/Kerajaan) dan Kota
(Gemeente/Haminte) yang kedudukan dan pemerintahan lokalnya tetap
diteruskan sampai diatur lebih lanjut. Wilayah-wilayah Provinsi yang
ada tersebut tidak mencakup wilayah-wilayah kooti (Zelfbestuurende
Landschappen/Kerajaan). Wilayah-wilayah kooti berada di bawah
pemerintahan pusat baik secara langsung maupun melalui perwakilan
yang disebut dengan Komisaris. Tingkatan selengkapnya yang ada
pada masa itu adalah:

1) Provinsi (warisan Hindia Belanda, tidak digunakan oleh Jepang)


2) Karesidenan (disebut Syu oleh Jepang)
3) Kabupaten/Kota (disebut Ken/Syi/Tokubetsu Syi oleh Jepang,
pada saat Hindia Belanda disebut Regentschap/Gemeente
/Stadsgemeente)
4) Kawedanan (disebut Gun oleh Jepang)
5) Kecamatan (disebut Son oleh Jepang)
6) Desa (disebut Ku oleh Jepang)

Otonomi bagi daerah baru dirintis dengan keluarnya UU No. 1


Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. UU No. 1
Tahun 1945 menyebutkan setidaknya ada tiga jenis daerah yang
memiliki otonomi yaitu: Karesidenan, Kota otonom dan Kabupaten
serta lain-lain daerah yang dianggap perlu (kecuali daerah Surakarta
dan Yogyakarta).

58
Pemberian otonomi itu dilakukan dengan membentuk Komite
Nasional Daerah sebagai Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Sebagai
penyelenggara pemerintahan daerah adalahKomite Nasional Daerah
bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah. Untuk
pemerintahan sehari-hari dibentuk Badan Eksekutif dari dan oleh
Komite Nasional Daerah dan dipimpin oleh Kepala Daerah.
Mengingat situasi dan kondisi pada masa itu tidak semua
daerah dapat membentuk dan melaksanakan pemerintahan daerah.
Daerah-daerah Maluku (termasuk didalamnyaPapua), Nusa Tenggara,
Sulawesi, dan Kalimantan bahkan harus dihapuskan dari wilayah
Indonesia sesuai isi Perjanjian Linggajati. Begitu pula dengan daerah-
daerah Sumatera Timur, Riau, Bangka, Belitung, Sumatera Selatan
bagian timur, Jawa Barat, Jawa Tengah bagian barat, Jawa Timur bagian
timur, dan Madura juga harus dilepaskan dengan Perjanjian Renville.

2. Periode II (1948-1957)
Pada periode ini berlaku Undang-Undang Pokok No. 22 Tahun
1948 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini adalah UU pertama kalinya
yang mengatur susunan dan kedudukanpemerintahan daerah di
Indonesia. Secara umum Indonesia memiliki dua jenis daerah
berotonomi yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom khusus yang
disebut dengandaerah istimewa. Daerah otonom khusus yang diberi
nomenklatur "Daerah Istimewa" adalah daerah kerajaan/kesultanan
dengan kedudukan zelfbesturende landschappen/kooti/daerah
swapraja yang telah ada sebelum Indonesia merdeka dan masih
dikuasai oleh dinasti pemerintahannya. Masing-masing daerah
berotonomi tersebut memiliki tiga tingkatan dan nomenklatur yang
berbeda-beda yaitu:

59
Tabel 2.1.
Tingkatan Daerah Otonom di Indonesia periode 1948-1957

Tingkatan Daerah Nomenklatur Daerah Nomenklatur Daerah


Otonom Otonom Biasa Otonom Khusus
Daerah Istimewa
Tingkat I Provinsi
Setingkat Provinsi
Daerah Istimewa
Tingkat II Kabupaten/Kota Besar
Setingkat Kabupaten
Desa, Negeri, Marga,
Daerah Istimewa
Tingkat III atau nama lain/Kota
Setingkat Desa
Kecil

Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal


menggunakan nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintahan lokal
terdiri dari:
1) Legislatif
2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
3) Eksekutif
4) Dewan Pemerintah Daerah (DPD)

DPRD mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya.


Anggota DPRD dipilih dalam sebuah pemilihan yang diatur oleh UU
pembentukan daerah. Masa jabatan Anggota DPRD adalah 5 tahun.
Jumlah anggota DPRD juga diatur dalam UU pembentukan daerah
yang bersangkutan. Ketua dan Wakil Ketua DPRD dipilih oleh dan dari
anggota DPRD yang bersangkutan.
DPD menjalankan pemerintahan sehari-hari. AnggotaDPD
secara bersama-sama atau masing-masing bertanggung jawab terhadap
DPRD dan diwajibkan memberi keterangan-keterangan yang diminta
oleh DPRD. DPD dipilih oleh dan dari DPRD dengan memperhatikan
perimbangan komposisi kekuatan politik dalam DPRD. Masa jabatan
anggota DPDsama seperti masa jabatan DPRD yang bersangkutan.

60
Jumlah anggota DPD ditetapkan dalam UU pembentukan daerah yang
bersangkutan.
Kepala Daerah menjadi ketua dan anggota DPD. Kepala Daerah
diangkat dan diberhentikan dengan ketentuan umum:
1) Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh Presiden dari calon yang
diajukan oleh DPRD Provinsi.
2) Kepala Daerah Kabupaten/Kota Besar diangkat oleh Menteri
Dalam Negeri dari calon yang diajukan oleh DPRD
Kabupaten/Kota Besar.
3) Kepala Daerah Desa, Negeri, Marga atau nama lain/Kota Kecil
diangkat oleh Kepala Daerah Provinsi dari calon yang diajukan
oleh DPRD Desa, Negeri, Marga atau nama lain/Kota Kecil.
4) Kepala Daerah dapat diberhentikan oleh pejabat yang
mengangkat atas usul DPRD yang bersangkutan.
5) Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan
keluarga yang berkuasa di daerah itu pada zaman sebelum
Republik Indonesia dengan syarat tertentu. Untuk daerah
istimewa dapat diangkat seorang Wakil Kepala Daerah
Istimewa oleh Presiden dengan syarat yang sama dengan
Kepala Daerah Istimewa. Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah
anggota DPD.

Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 disusun berdasarkan pada


konstitusi Republik I pasal 18. Pada mulanya UU ini mengatur pokok-
pokok pemerintahan daerah di wilayah Indonesia yang tersisa yaitu:
a. Wilayah Sumatera meliputi: Aceh, Sumatera Utara bagian barat,
Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan bagian utara dan
barat, Bengkulu, dan Lampung.
b. Wilayah Jawa meliputi: Banten, Jawa Tengah bagian timur,
Yogyakarta, dan Jawa Timur bagian barat (daerah Mataraman)

Setelah pembentukan Republik III pada 15 Agustus 1950 UU ini


berlaku untuk daerah seluruh Sumatera, seluruh Jawa, dan seluruh
Kalimantan. Sedangkan pada daerah-daerah di bekas wilayah Negara

61
Indonesia Timur yaitu wilayah Sulawesi, wilayah Nusa Tenggara, dan
wilayah Maluku masih berlaku UU NIT No. 44 Tahun 1950.

3. Periode III (1957-1965)


Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 1 Tahun 1957
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang disebut juga Undang-
undang tentang pokok-pokok pemerintahan 1956. UU ini
menggantikan Undang-Undang RI No. 22 Tahun 1948 dan UU NIT No.
44 Tahun 1950.
Secara umum Indonesia memiliki dua jenis daerah berotonomi
yaitu daerah otonom biasa yang disebut daerah swatantra dan daerah
otonom khusus yang disebut dengan daerah istimewa. Masing-masing
daerah berotonomi tersebut memiliki tiga tingkatan dan nomenklatur
yang berbeda-beda yaitu:
Tabel 2.2.
Tingkatan Daerah Otonom di Indonesia periode 1957-1965

Nomenklatur Daerah Nomenklatur Daerah


Tingkatan
Otonom Biasa Otonom Khusus
Daerah Swatantra Tingkat Daerah Istimewa
Tingkat I
ke I/Kotapraja Jakarta Raya Tingkat ke I
Daerah Swatantra Daerah Istimewa
Tingkat II
Tingkat ke II/Kotapraja Tingkat ke II
Daerah Swatantra Daerah Istimewa
Tingkat III
Tingkat ke III Tingkat ke III

Tingkatan tersebut tidak berlaku pada Pemerintahan Daerah


Kotapraja Jakarta Raya, dalam Pemerintahan Daerah Kotapraja tidak
dibentuk daerah Swatantra tingkat lebih rendah. Selain dua macam
daerah berotonomi tersebut terdapat pula Daerah Swapraja. Daerah ini
merupakan kelanjutan dari sistem pemerintahan daerah zaman Hindia
Belanda dan Republik II (Pemerintahan Negara Federal RIS). Menurut
perkembangan keadaan Daerah Swapraja dapat dialihkan statusnya
menjadi Daerah Istimewa atau Daerah Swatantra.

62
Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal
menggunakan nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintahan lokal
terdiri dari:
1) Legislatif
2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
3) Eksekutif
4) Dewan Pemerintah Daerah (DPD).

DPRD mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga


daerahnya kecuali ditentukan lain dengan UU. Pemilihan dan
penggantian anggota DPRD diatur dengan undang-undang tersendiri.
Masa jabatan anggota DPRD adalah empat tahun. Masa jabatan anggota
pengganti antar waktu hanya untuk sisa masa empat tahun tersebut.
Jumlah anggotaDPRD ditetapkan dalam UU pembentukan, dengan
dasar perhitungan jumlah penduduk tertentu. Ketua dan Wakil Ketua
DPRD dipilih oleh dan dari anggota DPRD.
Pimpinan sehari-hari Pemerintahan Daerah dijalankan oleh
DPD. DPD menjalankan keputusan-keputusan DPRD. Anggota DPD
dalam menjalankan tugasnya secara bersama-sama bertanggung jawab
kepada DPRD dan wajib memberi keterangan-keterangan yang diminta
oleh DPRD. DPD dipilih oleh dan dari DPRD dengan memperhatikan
perimbangan komposisi kekuatan politik dalam DPRD. Masa jabatan
anggota DPD sama seperti masa jabatan DPRD yang bersangkutan.
Anggota DPD antar waktu yang dipilih memiliki masa jabatan hanya
untuk sisa masa jabatan DPD yang ada. Jumlah anggota DPD
ditetapkan dalam peraturan pembentukan daerah yang bersangkutan.
Kepala Daerahkarena jabatannya menjadi ketua dan anggota DPD.
Wakil Ketua DPD dipilih oleh dan dari, anggota DPD bersangkutan.
Kepala Daerah dipilih, diangkat, dan diberhentikan menurut
aturan yang ditetapkan dengan undang-undang tersendiri. Untuk
sementara waktu Kepala Daerah dipilih oleh DPRDdengan syarat-
syarat tertentu dan disahkan oleh Presiden untuk Kepala Daerah dari
tingkat ke I atau Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk
olehnya untuk Kepala Daerah dari tingkat ke II dan ke III. Kepala

63
Daerah dipilih untuk satu masa jabatan DPRD atau bagi mereka yang
dipilih antar waktu guna mengisi lowongan Kepala Daerah, untuk sisa
masa jabatan tersebut.
Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan
oleh DPRD dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu pada
zaman sebelum Republik dengan memperhatikan syarat tertentu dan
diangkat serta diberhentikan oleh Presiden bagi Daerah Istimewa
tingkat I atau Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk
olehnya bagi Daerah Istimewa tingkat II dan III. Untuk Daerah
Istimewa dapat diangkat Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan
tatacara seperti Kepala Daerah Istimewa. Kepala dan Wakil Kepala
Daerah Istimewa karena jabatannya adalah berturut-turut menjadi
Ketua serta anggota dan Wakil Ketua serta anggota dari Dewan
Pemerintah Daerah.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 disusun berdasarkan aturan
Konstitusi Republik III pasal 131, 132, dan 133. Namun dalam
perjalanan waktu, peraturan tersebut mengalami perubahan pada 1959
dan 1960 karena menyesuaikan dengan sistem ketatanegaraan Republik
IV. Penyesuaian pada tahun 1959 dilaksanakan dengan Penetapan
Presiden No. 6 Tahun 1959. Menurut peraturan itu pemerintahan
daerah terdiri dari:
1) Eksekutif
2) Kepala Daerah dengan dibantu Badan Pemerintah Harian (BPH)
3) Legislatif
4) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden bagi


Daerah Tingkat I dan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah bagi
Daerah Tingkat II dengan syarat tertentu. Kepala Daerah dapat
diangkat baik dari calon yang diajukan DPRD maupun dari luar calon
yang diusulkan DPRD. Masa jabatan Kepala Daerah sama seperti masa
jabatanDPRD. Kepala Daerah adalah Pegawai Negara dan karenanya
tidak dapat diberhentikan karena keputusan DPRD.

64
Kepala Daerah Istimewa diangkat dari keturunan keluarga
yang berkuasa menjalankan pemerintahan di daerah pada zaman
sebelum Republik Indonesia dengan syarat tertentu dan diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden. Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat
Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan tata cara yang sama dengan
Kepala Daerah Istimewa.
BPH terdiri dari 3 sampai 5 anggota kecuali yang berasal dari
anggota DPD sebelumnya. Anggota BPH diangkat dan diberhentikan
menurut aturan yang ditetapkan Mendagri dan Otda.
Penyesuaian pada tahun 1960 dilaksanakan dengan Penetapan
Presiden No. 5 Tahun 1960. Peraturan ini mengatur tentang DPRD
Gotong Royong (DPRD-GR) dan Sekretariat Daerah. Dalam aturan ini
pula ditetapkan bahwa Kepala Daerah karena jabatannya adalah Ketua
DPRD-GR. Masa jabatan Kepala Daerah dan BPH disesuaikan dengan
masa jabatan DPRD-GR

4. Periode IV (1965-1974)
Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 18 Tahun 1965
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. UU ini menggantikan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden No. 6 tahun
1959; Penetapan Presiden No. 2 tahun 1960; Penetapan Presiden No. 5
tahun 1960 jo Penetapan Presiden No. 7 tahun 1965. Menurut UU ini
secara umum Indonesia hanya mengenal satu jenis daerah otonomi.
Daerah otonomi tersebut dibagi menjadi tiga tingkatan daerah.
Tabel 2.3.
Tingkatan Daerah Otonom di Indonesia periode 1965-1974

No. Tingkatan Nomenklatur Daerah Otonom


1. Tingkat I Provinsi/Kotaraya
2. Tingkat II Kabupaten/Kotamadya
3. Tingkat III Kecamatan/Kotapraja
Daerah-daerah yang memiliki otonomi khusus menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 boleh dikatakan dihapus secara

65
sistematis dan diseragamkan dengan daerah otonomi biasa. Selain itu
untuk mempersiapkan pembentukan daerah otonom tingkat III maka
dikeluarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja
Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah
Tingkat III di seluruh Wilayah Indonesia yang dalam artikel ini
disingkat menjadi "UU Desapraja".
Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal
menggunakan nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintah Daerah
berhak dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah-tangga
daerahnya. Pemerintahan lokal terdiri dari:
1) Legislatif
2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
3) Eksekutif
4) Kepala Daerah, dibantu Wakil Kepala Daerah dan Badan
Pemerintah Harian

Jumlah anggota DPRD ditetapkan dalam UU pembentukan


daerah dengan dasar perhitungan jumlah penduduk tertentu. Masa
jabatan anggota DPRD adalah 5 tahun. Anggota DPRD antar waktu
masa jabatannya hanya untuk sisa masa lima tahun tersebut. Pemilihan,
pengangkatan dan penggantian anggota DPRD diatur dengan UU
tersendiri. PimpinanDPRD terdiri dari seorang Ketua dan beberapa
orang Wakil Ketua yang mencerminkan poros Nasakom. Pimpinan
DPRD dalam menjalankan tugasnya mempertanggung-jawabkan
kepada Kepala Daerah.
Masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, serta
Anggota BPH adalah 5 tahun. Kepala Daerah adalah pegawai Negara.
Kepala Daerah merupakan wakil pemerintah pusat sekaligus pejabat
dalam pemerintahan daerah. Oleh karena itu Kepala Daerah harus
melaksanakan politik pemerintah dan bertanggung jawab kepada
Presiden melalui Menteri Dalam Negeri menurut hirarki yang ada.
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta Anggota BPH diangkat
dan diberhentikan oleh:

66
a. Presiden bagi Daerah tingkat I,
b. Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden bagi Daerah
tingkat II, dan
c. Kepala Daerah tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri
bagi Daerah tingkat III yang ada dalam Daerah tingkat I.

Anggota BPH bagi masing-masing tingkatan daerah adalah:


a. bagi Daerah tingkat I sekurang-kurangnya 7 orang.
b. bagi Daerah tingkat II sekurang-kurangnya 5 orang.
c. bagi Daerah tingkat III sekurang-kurangnya 3 orang.

Desapraja merupakan kesatuan masyarakat hukum yang


tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya
sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri.
Alat-alat kelengkapan pemerintahan desapraja terdiri atas Kepala
Desapraja, Badan Musyawarah Desapraja, Pamong Desapraja, Panitera
Desapraja,Petugas Desapraja, dan Badan Pertimbangan Desapraja.
Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 disusun berdasar pasal 18
Konstitusi Republik IV (UUD 1945). Namun berbeda dengan Undang-
Undang No. 22 Tahun 1948, UU ini secara tegas tidak lagi
mengakomodasi daerah-daerah dengan otonomi khusus dan secara
sistematis berusaha menghapuskan daerah otonomi khusus tersebut
sebagaimana yang tercantum dalam pasal 88[8]. Hal tersebut juga
diterangkan dengan lebih gamblang dalam penjelasan Undang-Undang
No. 18 Tahun 1965 pasal 1-2 serta pasal 88. Akan tetapi, badai politik
tahun 1965, yang terjadi hanya 29 hari setelah Undang-Undang No. 18
Tahun 1965 disahkan, menyebabkan UU pemerintahan daerah ini tidak
dapat diberlakukan secara mulus. Perubahan konstelasi politik yang
terjadi sepanjang akhir 1965 sampai dengan tahun 1968 mengakibatkan
UU Pemerintahan Daerah dan UU Desapraja tidak dapat diberlakukan.

5. Periode V (1974-1999)

67
Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 5 Tahun 1974
tentang Pemerintahan di Daerah. UU ini menggantikan Undang-
Undang No. 18 Tahun 1965 yang dinyatakan tidak dapat diterapkan.
Menurut UU ini secara umum Indonesia dibagi menjadi satu macam
Daerah Otonom sebagai pelaksanaan asas desentralisasi dan Wilayah
Administratif sebagai pelaksanaan asas dekonsentrasi, yang dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.4.
Tingkatan Daerah Otonom/Wilayah Administratif
di Indonesia Periode 1974-1999

Nomenklatur Daerah Nomenklatur Wilayah


No. Tingkatan
Otonom Administratif
Daerah Tingkat I
(Dati I)/Daerah
1. Tingkat I Khusus Provinsi/Ibukota Negara
Ibukota/Daerah
Istimewa
Daerah Tingkat
2. Tingkat II Kabupaten/Kotamadya
II (Dati II)
3. Tingkat IIa - Kota Administratif
4. Tingkat III - Kecamatan

Nama dan batas Daerah Tingkat I adalah sama dengan nama


dan batas Wilayah Provinsi atau Ibukota Negara. Ibukota Daerah
Tingkat I adalah ibukota Wilayah Provinsi. Nama dan batas Daerah
Tingkat II adalah sama dengan nama dan batas Wilayah Kabupaten
atau Kotamadya. Ibukota Daerah Tingkat II adalah ibukota Wilayah
Kabupaten. Penyebutan Wilayah Administratif dan Daerah Otonom
disatukan.

68
a. Untuk Wilayah Administratif Provinsi dan Daerah Otonom
Tingkat I disebut Provinsi Daerah Tingkat I. Sebagai contoh
adalah Provinsi Daerah Tingkat I Riau.
b. Untuk Wilayah Administratif Ibukota Negara dan Daerah
Otonomi Khusus Ibukota Jakarta disebut Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta.
c. Untuk Wilayah Administratif Provinsi dan Daerah Otonomi
Istimewa disebut Provinsi Daerah Istimewa. Untuk Aceh
disebut Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Untuk
Yogyakartadisebut Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
d. Untuk Wilayah Administratif Kabupaten dan Daerah Otonom
Tingkat II disebut Kabupaten Daerah Tingkat II. Sebagai contoh
adalah Kabupaten Daerah Tingkat II Kampar.
e. Untuk Wilayah Administratif Kotamadya dan Daerah Otonom
Tingkat II disebut Kotamadya Daerah Tingkat II. Sebagai
contoh adalah Kotamadya Daerah Tingkat II Pakanbaru.

Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal


menggunakan nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintahan lokal
terdiri dari:
1) Legislatif
2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
3) Eksekutif
4) Kepala Daerah

Daerah berhak, berwenang, dan berkewajiban mengatur dan


mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Titik berat Otonomi Daerahdiletakkan pada
Daerah Tingkat II. Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah
dibentuk Sekretariat Daerah dan Dinas-dinas Daerah.
Susunan, keanggotaan, dan pimpinan DPRD, begitu juga
sumpah/janji, masa keanggotaan, dan larangan rangkapan jabatan bagi
anggota-anggotanya diatur dengan UU tersendiri.

69
Kepala Daerah adalah Pejabat Negara. Kepala Daerah diangkat
untuk masa jabatan 5 (lima) tahun terhitung mulai tanggal
pelantikannya dan dapat diangkat kembali, untuk 1 (satu) kali masa
jabatan berikutnya. Kepala Daerah Tingkat I dicalonkan dan dipilih
oleh DPRD Tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri dan
selanjutnya diangkat olehPresiden. Kepala Daerah Tingkat II
dicalonkan dan dipilih oleh DPRD Tingkat II dengan persetujuan
Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I dan selanjutnya diangkat oleh
Menteri Dalam Negeri.
Wakil Kepala Daerah adalah Pejabat Negara. Wakil Kepala
Daerah Tingkat I diangkat oleh Presiden dari Pegawai Negeri yang
memenuhi persyaratan. Wakil Kepala Daerah Tingkat II diangkat oleh
Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden dari Pegawai Negeri yang
memenuhi persyaratan. Apabila dipandang perlu, Menteri Dalam
Negeri dapat menunjuk Pembantu Gubernur, Pembantu Bupati atau
Pembantu Walikotamadya yang mempunyai wilayah kerja tertentu
dalam rangka dekonsentrasi.
Kepala Daerah Tingkat I karena jabatannya adalah Kepala
Wilayah Provinsi atau Ibukota Negara. Wakil Kepala Daerah Tingkat I
karena jabatannya adalah Wakil Kepala Wilayah Provinsi atau Ibukota
Negara dan disebut Wakil Gubernur. Kepala Daerah Tingkat II karena
jabatannya adalah Kepala Wilayah Kabupaten atau Kotamadya. Wakil
Kepala Daerah Tingkat II karena jabatannya adalah Wakil Kepala
Wilayah Kabupaten atau Kotamadya, dan disebut Wakil Bupati atau
Wakil Walikotamadya. Sebutan Kepala Wilayah dan Kepala Daerah
disatukan.
1) Untuk Kepala Wilayah Provinsi/Kepala Daerah Tingkat I disebut
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Sebagai contoh Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah.
2) Untuk Kepala Wilayah Ibukota Negara/Daerah Khusus Ibukota
Jakarta disebut Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
3) Untuk Kepala Wilayah Provinsi/Daerah Istimewa disebut
Gubernur Kepala Daerah Istimewa. Untuk DI Aceh disebut

70
Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh. Untuk DI Yogyakarta
disebut Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
4) Untuk Kepala Wilayah Kabupaten/Daerah Tingkat II disebut
Bupati Kepala Daerah Tingkat II. Sebagai contoh Bupati Kepala
Daerah Tingkat II Sumedang.
5) Untuk Kepala Wilayah Kotamadya/Daerah Tingkat II disebut
Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II. Sebagai contoh
Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Garut.

Pemerintahan Desa diatur tersendiri dengan Undang-Undang


No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Desa adalah suatu
wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan
masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah
Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam
ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan Lembaga
Musyawarah Desa (LMD). Dalam menjalankan pemerintahan Kepala
Desa dibantu oleh Perangkat Desa yang terdiri atas Sekretaris Desa,
Kepala-kepala Dusun, dan Kepala-kepala Urusan. Kepala Desa karena
jabatannya adalah Ketua LMD. Sekretaris Desa karena jabatannya
adalah Sekretaris LMD.
Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 juga diatur
mengenai Kelurahan. Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati
oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan
terendah langsung di bawah Camat dan tidak berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Pemerintah Kelurahan
terdiri atas Kepala Kelurahan danPerangkat Kelurahan yang meliputi
Sekretaris Kelurahan, Kepala-kepala Lingkungan, dan Kepala-kepala
Urusan.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 disusun berdasarkan pasal
18 UUD 1945 dan dikembangkan lebih jauh dengan mengadopsi "ide-
ide" yang ada dalam penjelasan Konstitusi. UU ini cukup lama bertahan
yaitu selama 25 tahun. Dalam perjalanannya Indonesia mengalami

71
penambahan wilayah baru yang berasal dari koloni Portugis pada 1976
dan dibentuk sebagai sebuah provinsi yaitu Provinsi Daerah Tingkat I
Timor Timur dengan Undang-Undang No 7 Tahun 1976 tentang
Pengesahan Penyatuan Timor-Timur ke Dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I Timor-
Timur. Pada tahun 1990 Kota Jakarta mendapat status Daerah Khusus
dengan tingkatan daerah otonom Daerah Tingkat I melalui Undang-
Undang No. 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah
Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta.

6. Periode VI (1999-2004)
Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang
No. 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979. Menurut UU
ini Indonesia dibagi menjadi satu macam daerah otonom dengan
mengakui kekhususan yang ada pada tiga daerah yaitu Aceh, Jakarta,
danYogyakarta dan satu tingkat wilayah administratif.
Tiga jenis daerah otonom adalah Daerah Provinsi, Daerah
Kabupaten, dan Daerah Kota. Ketiga jenis daerah tersebut
berkedudukan setara dalam artian tidak ada hirarki daerah otonom.
Daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai wilayah administratif.
Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan
nomenklatur "Pemerintahan Daerah". Pemerintahan Daerah adalah
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom oleh Pemerintah
Daerah dan DPRD menurut asas Desentralisasi. Daerah Otonom
(disebut Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota) adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Pemerintahan lokal terdiri dari:
a. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
b. Pemerintah Daerah

72
Pemerintah Daerah, yang terdiri atas Kepala Daerah dan
Perangkat Daerah. DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah
berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah.
Kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak, keanggotaan, pimpinan,
dan alat kelengkapan DPRD diatur dengan undang-undang tersendiri.
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai masa
jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa
jabatan. Pengisian jabatan Kepala Daerah danWakil Kepala Daerah
dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan. Kepala
Daerah dilantik oleh Presiden atau pejabat lain yang ditunjuk untuk
bertindak atas nama Presiden.
Kepala Daerah Provinsi disebut Gubernur, yang karena
jabatannya adalah juga sebagai wakil Pemerintah. Dalam menjalankan
tugas dan kewenangan sebagai Kepala Daerah, Gubernur bertanggung
jawab kepada DPRD Provinsi. Kepala Daerah Kabupaten disebut
Bupati. Kepala Daerah Kota disebut Walikota. Dalam menjalankan
tugas dan kewenangan selaku Kepala Daerah, Bupati/Walikota
bertanggungiawab kepada DPRD Kabupaten/Kota.
Peraturan mengenai Desa dipisahkan dalam bab yang berbeda
dari peraturan mengenai daerah otonom provinsi/ kabupaten/kota. Ini
dikarenakan Desa atau yang disebut dengan nama lain (Nagari,
Kampung, Huta, Bori, Marga dan lain sebagainya) memiliki susunan
asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa, sebagaimana
dimaksud dalam penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945.
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui
dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.
Pemerintahan Desa terdiri atas Pemerintah Desa dan Badan
Perwakilan Desa. Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa atau yang
disebut dengan nama lain dan perangkat Desa. Kepala Desa dipilih
langsung oleh Penduduk Desa. Masa jabatan Kepala Desa paling lama
sepuluh tahun atau dua kali masa jabatan terhitung sejak tanggal

73
ditetapkan.Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain
berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa,
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan
pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Anggota Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh
penduduk Desa yang memenuhi persyaratan. Pimpinan Badan
Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh anggota. Di Desa dapat dibentuk
lembaga lainnya sesuai dengan kebutuhan Desa dan ditetapkan
denganPeraturan Desa. UU ini disusun berdasarkan UUD 1945 pasal 18
dan dikembangkan dengan mengadopsi beberapa ide dalam penjelasan
konstitusi pasal 18 khususnya bagian II. UU ini cukup istimewa karena
diberlakukan dalam masa UUD 1945 amandemen IV, V, dan VI.
Dalam perjalanannya Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
diatur dengan Undang-Undang No. 34 Tahun 1999. Provinsi Aceh juga
ditegaskan keistimewaannya dengan Undang-Undang No. 44 Tahun
1999 dan diberi otonomi khusus dengan Undang-Undang No. 18 Tahun
2001 serta perubahan nomenklatur menjadi Aceh. Selain itu Provinsi
Irian Jaya juga diberi otonomi khusus dengan UU No. 21 Tahun 2001
serta perubahan nomenklatur menjadi Provinsi Papua. Selain
pemberian penegasan dan pemberian status khusus, beberapa provinsi
lainnya mengalami pemekaran menjadi provinsi baru. Provinsi Timor-
Timur juga memperoleh kemerdekaan penuh pada 2002 dengan nama
Timor Leste/Timor Lorosae dari Pemerintahan Transisi PBB.
Kemerdekaan tersebut berdasarkan hasil referendum atas status koloni
Portugis pada 1999 setelah sekitar 23 tahun bergabung dengan
Indonesia.
7. Periode VII (2004-2014)
Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang
No. 22 Tahun 1999. Menurut UU ini Indonesia dibagi menjadi satu jenis
daerah otonom dengan perincian Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
daerah kabupaten dan daerah kota. Selain itu Negara mengakui

74
kekhususan dan/atau keistimewaan yang ada pada empat daerah yaitu
Aceh, Jakarta, Papua, dan Yogyakarta. Negara juga mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat (Desa atau
nama lain) 49 beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan.
Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal
menggunakan nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintahan
Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah
daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintahan lokal secara umum terdiri dari:
a. Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah)
b. Eksekutif (Pemerintah Daerah, yang terdiri atas Kepala Daerah
dan Perangkat Daerah)

Pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas Pemerintah


Daerah Provinsi dan DPRD Provinsi. Untuk Provinsi Aceh disebut
Pemerintah Aceh (Pemda Aceh) dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
(DPR Aceh). Khusus Aceh terdapat Majelis Permusyawaratan Ulama
(MPU) yang menjadi mitra DPR Aceh dan Pemda Aceh. Untuk Provinsi
Papua danProvinsi Papua Barat disebut Dewan Perwakilan Rakyat
Papua (DPR Papua). Khusus Papua dan Papua Barat terdapat Majelis
Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural orang asli Papua.
Pemerintahan daerah Kabupaten/Kota terdiri atas Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota dan DPRD Kabupaten/Kota. Untuk
Kabupaten/Kota di lingkungan Provinsi Aceh disebut Dewan
Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPR Kabupaten/Kota). Khusus
Kabupaten/Kota di lingkungan Provinsi Aceh terdapat Majelis
Permusyawaratan Ulama Kabupaten/Kota (MPU) yang menjadi mitra

49
Hal ini ditandai dengan terbitnya Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang
Desa.

75
DPR Kabupaten/Kota dan Pemda Kabupaten/Kota di dalam lingkungan
Provinsi Aceh.
DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan
berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah.
DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Ketentuan
tentang DPRD sepanjang tidak diatur secara khusus berlaku ketentuan
undang-undang yang mengatur Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,
DPD, danDPRD. Khusus untuk DPR Aceh, DPR Papua, dan DPRD
Provinsi DKI Jakarta dapat memiliki anggota sebanyak 125% dari
jumlah yang ditentukan dalam UU yang mengatur mengenai DPRD.
Kepala daerah untuk provinsi disebut Gubernur, untuk
kabupaten disebut Bupati, dan untuk kota disebut Walikota. Wakil
kepala daerah untuk provinsi disebut Wakil Gubernur, untuk
kabupaten disebut Wakil Bupati dan untuk kota disebut Wakil
Walikota. Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga
sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsiyang bersangkutan dan
bertanggung jawab kepada Presiden. Kepala daerah dan wakil kepala
daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara
demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil.
Perangkat daerah provinsi secara umum terdiri atas sekretariat
daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah.
Perangkat daerah kabupaten/kota secara umum terdiri atas sekretariat
daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah,
kecamatan, dan kelurahan.
Desa atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul
dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
Pemerintahan Negara. Termasuk dalam pengertian ini adalah Nagari di
Sumatera Barat, Gampong di provinsi Aceh, Lembang di Sulawesi
Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan dan Papua, Negeri di Maluku.
Secara bertahap, Desa dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi

76
kelurahan. Pada tahun 2014, dikelularkannya Undang-Undang Nomor
6 tahun 2014 Tentang desa dengan 3 (tiga) isu penting yaitu:
a. Kedudukan dan kewenangan
b. Tata Pemerintahan dan demokratisasi
c. Perencanaan pembangunan dan ekonomi desa

Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk


pemerintahan desa yang terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan
Permusyawaratan Desa. Pemerintah Desa terdiri atasKepala Desa dan
Perangkat Desa. Kepala Desa dipilih langsung oleh dan dari penduduk
desa yang syarat dan tata cara pemilihannya diatur dengan Perda. Masa
jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali
hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Badan
Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama
kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
Anggota badan permusyawaratan desa adalah wakil dari penduduk
desa bersangkutan yang ditetapkan melalui musyawarah dan mufakat.
Masa jabatan anggota badan permusyawaratan desa adalah 6 (enam)
tahun dan dapat dipilih lagi untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 disusun berdasarkan pasal
18, 18A, dan 18B UUd 1945. Dalam perjalanannya UU ini telah diubah
sebanyak dua kali dengan Perppu No. 3 Tahun 2005 (ditetapkan
menjadi Undang-Undang No. 8 Tahun 2005) dan dengan Undang-
Undang No. 12 Tahun 2008 dan terakhir melalui Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2014 dan kemudian diubah kembali pada tanggal 2
Oktober 2014 melalui Perpu nomor 2 Tahun 2014 Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Selanjutnya Daerah Aceh dan Jakarta kembali diatur dengan UU
tersendiri.
Aceh diatur secara penuh dengan UU No. 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh. Sedangkan Jakarta diatur kembali dengan
UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Provinsi Papua tetap diatur dengan UU No. 21 Tahun 2001 tentang

77
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Provinsi Papua Barat sebagai
pemekaran dari Provinsi Papua juga mendapatkan otonomi khusus
sebagaimana provinsi induknya dengan Perppu No. 1 Tahun 2008
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (ditetapkan menjadi
Undang-Undang No. 35 Tahun 2008).
8. Periode VIII (2014-sekarang)
Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004. Menurut UU ini Indonesia dibagi menjadi satu jenis
daerah otonom dengan perincian Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
daerah kabupaten dan daerah kota.
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah
provinsi dan Daerah provinsi itu dibagi atas Daerah kabupaten dan
kota. Daerah kabupaten/kota dibagi atas Kecamatan dan Kecamatan
dibagi atas kelurahan dan/atau Desa. Daerah provinsi dan
kabupaten/kota merupakan Daerah dan masing-masing mempunyai
Pemerintahan Daerah. Daerah provinsi selain berstatus sebagai Daerah
juga merupakan Wilayah Administratif yang menjadi wilayah kerja
bagi gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dan wilayah kerja bagi
gubernur dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di
wilayah Daerah provinsi. Daerah kabupaten/kota selain berstatus
sebagai Daerah juga merupakan Wilayah Administratif yang menjadi
wilayah kerja bagi bupati/walikota dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan umum di wilayah Daerah kabupaten/kota.
Pada kebijakan UU ini, tidak menyatakan penyerahan dan
pelimpahan kewenangan, namun dengan kalimat penyerahan dan
pelimpahan urusan. Terjadi pergeseran makna bahwa kekuasaan
penyelenggaraan pemerintahan dalam bentuk kewenangan yang
dulunya diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah, namun
dalam kebijakan UU ini, kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan
berada pada pemerintaha pusat. Pemerintah pusat menyerahkan dan

78
melimpahkan sebagian urusan pemerintahan untuk ditangani oleh
pemerintah daerah.
C. Organisasi Pemerintahan di Daerah
Pemerintah daerah merupakan organisasi pemerintah yang
menyelenggarakan kegiatan pemerintahan yaitu mengatur, melayani,
membangun dan memberdayakan sumber daya di daerah sebagaimana
urusan pemerintahan yang telah dilimpahkan oleh pemerintah pusat.
Berdasarkan hal itu maka daerah mempunyai kewenangan untuk
mengatur urusan rumah tangganya termasuk membentuk organisasi
dalam rangka menjalankan roda pemerintahan.
Undang-undang nomor 23 tahun 2014 menjelaskan pembagian
organisasi pemerintahan daerah dengan pengelompokan organisasi
Perangkat Daerah yang didasarkan pada konsepsi pembentukan
organisasi yang terdiri atas 5 (lima) elemen, yaitu kepala Daerah
(strategic apex), sekretaris Daerah (middle line), Dinas Daerah
(operating core), badan/fungsi penunjang (technostructure), dan staf
pendukung (supporting staff). Untik lebih jelasnya dapat dilihat pada
gambar di bawah ini:

Kepala Daerah
Strategic ApeX

Badan Sekda Dinas


Middle Line Operating
Technostructure Core

Staf Pendukung
Supportinf Staff

Gambar 2.1
Konsepsi Pembentukan Organisasi Pemerintah Daerah

79
Penyelenggara pemerintahan daerah provinsi dan
kabupaten/kota terdiri atas kepala daerah dan DPRD dibantu oleh
perangkat daerah. 50 Kepala Daerah baik itu Gubernur maupun
Bupati/Walikota mempunyai tugas sebagai berikut:
a. memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama
DPRD;
b. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;
c. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD
dan rancangan Perda tentang RPJMD kepada DPRD untuk
dibahas bersama DPRD, serta menyusun dan menetapkan
RKPD;
d. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD,
rancangan Perda tentang perubahan APBD, dan rancangan
Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada
DPRD untuk dibahas bersama;
e. mewakili Daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan
dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
f. mengusulkan pengangkatan wakil kepala daerah; dan
g. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. 51

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas,


kepala daerah berwenang:
a. mengajukan rancangan Perda;
b. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama
DPRD;
c. menetapkan Perkada dan keputusan kepala daerah;

50
Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah pasal 57.
51
idem pasal 65.

80
d. mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang
sangat dibutuhkan oleh Daerah dan/atau masyarakat;
e. melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. 52

Kepala daerah dalam memimpin penyelenggaraan


pemerintahan di daerah dapat dibantu oleh wakil kepala daerah. Wakil
kepala daerah untuk Daerah provinsi disebut wakil gubernur, dan
untuk Daerah kabupaten disebut wakil bupati, serta untuk Daerah kota
disebut wakil wali kota. Wakil Kepala daerah mempunyai tugas: 53
a. membantu kepala daerah dalam:
1) memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah;
2) mengoordinasikan kegiatan Perangkat Daerah dan
menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan
aparat pengawasan;
3) memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah yang dilaksanakan oleh Perangkat Daerah provinsi bagi
wakil gubernur; dan
4) memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan
yang dilaksanakan oleh Perangkat Daerah kabupaten/kota,
kelurahan, dan/atau Desa bagi wakil bupati/wali kota;
b. memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam
pelaksanaan Pemerintahan Daerah;
c. melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala
daerah menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara; dan
d. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Untuk menjalankan roda pemerintahan, kepala daerah dibantu


oleh operating core, technostructure, middle line dan supporting staf,

52
idem
53
idem pasal 66.

81
Sekretaris Daerah sebagai middle line mempunyai tugas membantu
kepala daerah dalam penyusunan kebijakan dan pengoordinasian
administratif terhadap pelaksanaan tugas Perangkat Daerah serta
pelayanan administratif. Dinas Daerah merupakan pelaksana fungsi inti
(operating core) yang melaksanakan tugas dan fungsi sebagai
pembantu kepala Daerah dalam melaksanakan fungsi mengatur dan
mengurus sesuai bidang Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada
Daerah, baik urusan wajib maupun urusan pilihan.
Badan Daerah melaksanakan fungsi penunjang (technostructure)
yang melaksanakan tugas dan fungsi sebagai pembantu kepala Daerah
dalam melaksanakan fungsi mengatur dan mengurus untuk menunjang
kelancaran pelaksanaan fungsi inti (operating core). Badan dibentuk
untuk melaksanakan fungsi penunjang Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah meliputi: (a). Perencanaan, (b). Keuangan,
(c). kepegawaian serta pendidikan dan pelatihan, (d). penelitian dan
pengembangan; dan, (e). fungsi lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. 54
Perangkat Daerah adalah unsur pembantu kepala daerah dan
DPRD dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah. Perangkat Daerah provinsi dan kabupaten/kota
selain melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah juga melaksanakan Tugas Pembantuan. Untuk lebih jelasnya
susunan perangkat daerah provinsi dan perangkat daerah
kabupaten/kota dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

54
idem pasal 219.

82
Tabel 2.5.
Susunan Perangkat Daerah Provinsi Dan Perangkat Daerah
Kabupaten/Kota

Perangkat Daerah
No. Perangkat Daerah Provinsi
Kabupaten/Kota
1.. Sekretariat Daerah; Sekretariat Daerah;
2. Sekretariat DPRD; Sekretariat DPRD;
3. Inspektorat; Inspektorat;
4. Dinas; Dinas
5. Badan Badan;
6. - Kecamatan

Dalam rangka mewujudkan pembentukan Perangkat Daerah


sesuai dengan prinsip desain organisasi, pembentukan Perangkat
Daerah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 2016
tentang Perangkat Daerah, yang didasarkan pada asas efisiensi,
efektivitas, pembagian habis tugas, rentang kendali, tata kerja yang jelas,
fleksibilitas, Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah,
dan intensitas Urusan Pemerintahan dan potensi Daerah.
Unsur pelaksana fungsi penunjang Urusan Pemerintahan
Daerah diwadahi dalam badan Daerah. Unsur penunjang yang khusus
melaksanakan fungsi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah diwadahi dalam inspektorat. Di samping itu,
pada Daerah kabupaten/kota dibentuk kecamatan sebagai Perangkat
Daerah yang bersifat kewilayahan untuk melaksanakan fungsi
koordinasi kewilayahan dan pelayanan tertentu yang bersifat sederhana
dan intensitas tinggi.
Kepala dinas, kepala badan, sekretaris DPRD, kepala
inspektorat dan camat atau nama lain di kabupaten/kota bertanggung

83
jawab kepada kepala Daerah melalui Dalam rangka mewujudkan
pembentukan Perangkat Daerah sesuai dengan prinsip desain
organisasi, pembentukan Perangkat Daerah yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah,
yang didasarkan pada asas efisiensi, efektivitas, pembagian habis tugas,
rentang kendali, tata kerja yang jelas, fleksibilitas, Urusan Pemerintahan
yang menjadi kewenangan Daerah, dan intensitas Urusan
Pemerintahan dan potensi Daerah.
Unsur pelaksana fungsi penunjang Urusan Pemerintahan
Daerah diwadahi dalam badan Daerah. Unsur penunjang yang khusus
melaksanakan fungsi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah diwadahi dalam inspektorat. Di samping itu,
pada Daerah kabupaten/kota dibentuk kecamatan sebagai Perangkat
Daerah yang bersifat kewilayahan untuk melaksanakan fungsi
koordinasi kewilayahan dan pelayanan tertentu yang bersifat sederhana
dan intensitas tinggi.
Kepala dinas, kepala badan, sekretaris DPRD, kepala
inspektorat dan camat atau nama lain di kabupaten/kota bertanggung
jawab kepada kepala Daerah melalui didesentralisasikan ke daerah.
Dari hasil pemerataan tersebut kementerian/lembaga pemerintah non
kementerian akan mengetahui daerah-daerah mana saja yang
mempunyai potensi unggulan yang sesuai dengan bidang tugas
kementerian/lembaga pemerintah non kementerian yang brsangkutan.
Daerah tersebut yang kemudian akan menjadi stakeholder utama dari
kementerian/lembaga pemerintah non kementerian terkait.
Pada perangkat daerah kabupaten/kota terdapat organisasi
kecamatan yang merupakan organisasi kewilayahan dan juga
merupakan organisasi perangkat daerah kabupaten/kota. Daerah
kabupaten/kota membentuk Kecamatan dalam rangka meningkatkan
koordinasi penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik, dan

84
pemberdayaan masyarakat Desa/kelurahan.55 Organisasi ecamatan
dipimpin oleh Camat yang mempunyai tugas: 56
a. menyelenggaraan urusan pemerintahan umum
b. mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;
c. mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan
ketertiban umum;
d. mengoordinasikan penerapan dan penegakan Perda dan Perkada;
e. mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan sarana pelayanan
umum;
f. mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan yang
dilakukan oleh Perangkat Daerah di Kecamatan;
g. membina dan mengawasi penyelenggaraan kegiatan Desa
dan/atau kelurahan;
h. melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah kabupaten/kota yang tidak dilaksanakan oleh unit kerja
Perangkat Daerah kabupaten/kota yang ada di Kecamatan; dan
i. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Selain melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas,


camat mendapatkan pelimpahan sebagian kewenangan bupati/walikota
untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah kabupaten/kota. Pelimpahan kewenangan
bupati/walikota dilakukan berdasarkan pemetaan pelayanan publik
yang sesuai dengan karakteristik Kecamatan dan/atau kebutuhan
masyarakat pada Kecamatan yang bersangkutan.
Pendanaan penyelenggaraan urusan pemerintahan umum
sebagai mana dimaksud di atas dibebankan pada APBN dan sementara
tugas lainnya, pendanaannya dalam penyelenggaraan tugas
pemerintahan yang dilakukan oleh camat dibebankan pada APBD
kabupaten/kota, serta tugas lainnya yang dilimpahkan kepada camat

55
idem pasal 221.
56
idem pasal 225.

85
dibebankan kepada pemberi tugas. Kewenangan yang dilimpahkan
bupati/wali kota kepada camat misalnya kebersihan di Kecamatan
tertentu, pemadam kebakaran di Kecamatan tertentu dan pemberian
izin mendirikan bangunan untuk luasan tertentu
Untuk melihat struktur organisasi pemerintahan daerah secara
lebih jelasnya, dapat dilihat pada contoh bagan sruktur organisasi
pemerintah Kota Bandung sebagaimana yang tertera di bawah ini:

Sumber: https://ppid.bandung.go.id/informasi/struktur-organisasi-pemerintah-kota-bandung/

Gambar 2.2.
Bagan Struktur Organisasi Pemerintah Kota Bandung

86
Perubahan Susunan Organisasi Perangkat Daerah Kota
Bandung sudah dilaksanakan yang diwujudkan dalam Peraturan
Daerah Kota Bandung Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan
Susunan Perangkat Daerah Kota Bandung. Perubahan yang mengacu
pada Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat
Daerah itu bertujuan untuk mengedepankan organisasi pemerintahan
daerah yang tepat struktur dan tepat fungsi. Kota Bandung sudah
menjadi kota metropolitan dimana kompleksitas permasalahannya
lebih tinggi dibandingkan daerah lain. Untuk itu Kota Bandung
membentuk organisasi yang mampu memenuhi ekspektasi masyarakat
terhadap kinerja perangkat daerah.

D. DPRD
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD merupakan
lembaga legislatif yang berada di daerah. DPRD adalah lembaga yang
membuat peraturan di daerah, peraturan perundang-undangan yang
dibuat DPRD mencerminkan kebijakan daerah untuk kepentingan
umum yang dilaksanakan oleh penyelenggara pemerintahan di daerah
itu. Lembaga DPRD adalah wadah penyalur kepentingan masyarakat
yang dikelola menjadi suatu kebijakan daerah.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Indonesia
merupakan institusi yang berada dalam sistem pemerintahan di daerah
sebagaimana amanat Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, yaitu DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat
daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan
Daerah.
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 yang merevisi Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebenarnya telah mengurangi dominasi
DPRD atas Kepala Daerah, dan hal tersebut tetap di lanjutkan pada
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Kedudukan DPRD dalam UU
32/2004 dan UU 23/2014 mengalami perubahan sangat mendasar
dibanding UU 22/99 dan hampir mirip kembali kepada keadaan dan
suasana keberlakuan UU 5/1974, namun tetap memberikan hak dan

87
kewenangan kepada DPRD dalam menjalankan fungsi pemerintahan
daerah, sebagaimana disebut dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 57 UU
23/2014. Sedangkan dalam Pasal 14 dan Pasal 16 UU 22/1999, DPRD
disebut sebagai Badan Legislatif Daerah yang berkedudukan sejajar dan
menjadi mitra Pemerintah Daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah.
Dengan lahirnya UU 32/2004 yang kemudian dilanjutkan
dengan UU 23/2014, DPRD tidak lagi diposisikan sebagai lembaga
legislatif daerah tetapi sebagai unsur dari pemerintahan daerah.
Kendati menjadi bagian atau unsur dari pemerintahan daerah, kepada
DPRD diberikan 3 (tiga) fungsi utama, yaitu fungsi legislasi, fungsi
anggaran dan fungsi pengawasan.57
Hal tersebut juga dijelaskan dalam penjelasan UU 23/2014 yang
menyatakan bahwa Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
dilaksanakan oleh DPRD dan kepala daerah. DPRD dan kepala daerah
berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang
diberi mandat rakyat untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang
diserahkan kepada Daerah. Dengan demikian maka DPRD dan kepala
daerah berkedudukan sebagai mitra sejajar yang mempunyai fungsi
yang berbeda. DPRD mempunyai fungsi pembentukan Perda, anggaran
dan pengawasan, sedangkan kepala daerah melaksanakan fungsi
pelaksanaan atas Perda dan kebijakan Daerah. Dalam mengatur dan
mengurus Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
tersebut, DPRD dan kepala daerah dibantu oleh Perangkat Daerah.
Hal tersebut menjadi sebuah perdebatan dari para ahli. Apalagi
bila membandingkan dengan pelaksanaan lembaga legislatif lokal yang
diterapkan beberapa negara di luar negeri. Perdebatan tentang isu
kedudukan DPRD menyentuh pertanyaan mendasar, yakni apa “jenis
kelamin” DPRD; apakah DPRD didudukan secara tegas sebagai
lembaga (badan) legislatif sebagaimana dikenal dalam konsep trias

57
Nomensen Sinamo, 2010, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Jakarta:
Pustaka Mandiri, hlm. 47-48.

88
politica ataukah diposisikan sebagai salah satu unsur penyelenggara
pemerintahan daerah. 58
Jimly Asshiddiqie59 mengemukakan pendapat bahwa fungsi
utama DPRD ialah untuk mengontrol jalannya pemerintahan di daerah,
sedang berkenaan dengan fungsi legislatif, posisi DPRD bukanlah aktor
yang dominan. Pemegang kekuasaan yang dominan di bidang legislatif
itu tetap Gubernur dan Bupati/Walikota. Bahkan, UU 32/2004
“mewajibkan” Gubernur dan Bupati/Walikota mengajukan rancangan
peraturan daerah (Raperda) dan menetapkannya menjadi Perda dengan
persetujuan DPRD. Artinya, DPRD itu hanya bertindak sebagai
lembaga pengendali atau pengontrol yang dapat menyetujui, menolak
ataupun menyetujui dengan perubahan-perubahan, dan sesekali dapat
mengajukan Raperda dengan usul inisiatif sendiri.
Penerapan pada UU 23/2014 juga berlaku sama seperti yang
diungkapkan di atas. DPRD lebih berfungsi sebagai lembaga pengawas
pelaksanaan pemerintah daerah daripada sebagai lembaga legislatif
dalam arti yang sebenarnya, walaupun tidak dipungkiri bahwa DPRD
tetap memiliki fungsi legislasi sebagaimana haknya yang dimuat dalam
UU tersebut. Pada penyelenggaraan pemerintahan daerah, walaupun
DPRD di daerah provinsi maupun kabupaten/kota berhak mengajukan
rancangan peraturan daerah (Raperda) kepada kepala daerah. Namun,
tidaklah menyebabkan DPRD berposisi sebagai pemegang kekuasaan
legislatif yang utama, karena fungsi menyusun dan mengajukan
rancangan serta menetapkan Perda tersebut juga berada pada Gubernur
atau Bupati/Walikota sebagai kepala daerah.

1. Fungsi, Tugas dan Wewenang DPRD Provinsi


DPRD pada tingkat provinsi merupakan lembaga perwakilan
rakyat Daerah provinsi yang berkedudukan sebagai unsur

58
Ari Dwipayana, 2008, Arah dan Agenda Reformasi DPRD: Memperkuat Kedudukan
dan Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Jakarta: USAID, hlm. 20.
59
Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta:
Sekretariat dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, hlm. 298.

89
penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi. Anggota pada Dewan
legislatif daerah provinsi terdiri atas anggota partai politik peserta
pemilihan umum pada tingkat daerah provinsi yang dipilih melalui
pemilihan umum. DPRD provinsi mempunyai fungsi60:
1) Pembentukan Perda provinsi, Fungsi pembentukan Perda Provinsi
ini dilaksanakan dengan cara:
a) membahas bersama gubernur dan menyetujui atau tidak
menyetujui rancangan Perda Provinsi;
b) mengajukan usul rancangan Perda Provinsi; dan
c) menyusun program pembentukan Perda bersama gubernur.
2) Anggaran, Fungsi anggaran DPRD diwujudkan dalam bentuk
pembahasan untuk persetujuan bersama terhadap rancangan
Perda Provinsi tentang APBD provinsi yang diajukan oleh
gubernur, fungsi anggaran dilaksanakan dengan cara:
a) membahas KUA dan PPAS yang disusun oleh gubernur
berdasarkan RKPD;
b) membahas rancangan Perda Provinsi tentang APBD provinsi;
c) membahas rancangan Perda Provinsi tentang perubahan APBD
provinsi; dan
d) membahas rancangan Perda Provinsi tentang
Pertanggungjawaban APBD provinsi.
3) Pengawasan, Fungsi pengawasan dari DPRD diwujudkan dalam
bentuk pengawasan terhadap:
a) pelaksanaan Perda provinsi dan peraturan gubernur;
b) pelaksanaan peraturan perundang-undangan lain yang terkait
dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah provinsi; dan
c) pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan laporan keuangan
oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

Fungsi-fungsi tersebut dimiliki dan dijalankan oleh DPRD


dalam kerangka mengemban amanat rakyat di propinsi dan
kabupaten/kota. Dapat dijelaskan bahwa fungsi legislasi adalah legislasi

60
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 96-100.

90
daerah yang merupakan fungsi DPRD untuk membentuk peraturan
daerah bersama kepala daerah. Fungsi anggaran adalah fungsi yang
dijalankan DPRD bersama-sama pemerintah daerah untuk menyusun
dan menetapkan APBD. Fungsi pengawasan adalah fungsi yang
dijalankan DPRD untuk melaksanakan pengawasan terhadap
pelaksanaan undang-undang, peraturan daerah dan keputusan kepala
daerah serta kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. 61
Sedangkan dalam pelaksanaan fungsi anggaran, DPRD Provinsi
mempunyai kewenangan untuk membahas dan memberikan
persetujuan terhadap rancangan peraturan daerah mengenai anggaran
pendapatan dan belanja daerah yang diajukan oleh Gubernur.
Sesungguhnya fungsi anggaran (budgeting) tidak tepat disebut sebagai
satu fungsi tersendiri. Sebab, APBD itu dituangkan dalam baju hukum
Perda sehingga penyusunan APBD identik dengan pembentukan Perda
tentang APBD, meskipun rancangannya selalu datang dari pihak
Gubernur dan Bupati/Walikota. Sementara itu, pelaksanaan APBD itu
sendiri harus pula diawasi oleh DPRD, dan pengawasan demikian
termasuk kategori fungsi pengawasan yang dijalankan DPRD. 62
Dalam melaksanakan fungsinya, DPRD tingkat provinsi
mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut: 63
a) membentuk Perda Provinsi bersama gubernur;
b) membahas dan memberikan persetujuan Rancangan Perda
Provinsi tentang APBD Provinsi yang diajukan oleh gubernur;
c) melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda Provinsi
dan APBD provinsi;
d) memilih gubernur;

61
Nomensen Sinamo, 2010, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Depok,
Pustaka Mandiri, hlm. 49.
62
Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Konstitusi
Press, hlm. 35.
63
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 101.

91
e) mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur kepada
Presiden melalui Menteri untuk mendapatkan pengesahan
pengangkatan dan pemberhentian;
f) memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah
Daerah provinsi terhadap rencana perjanjian internasional di
Daerah provinsi;
g) memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama
internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah provinsi;
h) meminta laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur
dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah provinsi;
i) memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan
Daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani
masyarakat dan Daerah provinsi; dan
j) melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hal yang sama juga diperjelas oleh Kansil bahwa untuk


menjalankan fungsi legislasi, DPRD diberikan tugas dan wewenang
untuk membentuk peraturan daerah bersama Kepala Daerah. DPRD
menetapkan peraturan-peraturan daerah untuk kepentingan daerah
atau untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi tingkatannya yang pelaksanaannya didelegasikan kepada daerah.
DPRD dapat membela kepentingan daerah dan penduduknya ke
hadapan Pemerintah Pusat dan DPR dengan sepengetahuan Kepala
Daerah yang bersangkutan. 64
Kemudian dalam menjalankan fungsi-fungsi sebagaimana
disebutkan diatas, maka Undang-undang nomor 23 tahun 2014
memberikan hak kepada DPRD provinsi dalam bentuk: 65
a. Hak interpelasi, adalah hak DPRD provinsi untuk meminta
keterangan kepada gubernur mengenai kebijakan Pemerintah

64
C.S.T. Kansil, 2008, Pemerintahan Daerah di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.
41.
65
C Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 106.

92
Daerah provinsi yang penting dan strategis serta berdampak luas
pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
b. Hak angket, adalah hak DPRD provinsi untuk melakukan
penyelidikan terhadap kebijakan Pemerintah Daerah provinsi yang
penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan
masyarakat, Daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundangundangan.
c. Hak menyatakan pendapat, adalah hak DPRD provinsi untuk
menyatakan pendapat terhadap kebijakan gubernur atau mengenai
kejadian luar biasa yang terjadi di Daerah provinsi disertai dengan
rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut
pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.

Telah diuraikan di atas bahwa dalam pelaksanaan fungsi


pengawasan, UU 23/2014 memberikan tugas dan wewenang pada
DPRD Provinsi untuk melaksanakan pengawasan terhadap
pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja
daerah. Kewenangan itu dilengkapi juga dengan hak DPRD Provinsi
untuk mengajukan hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan
pendapat. Selain itu, wewenang dan hak DPRD tersebut juga ditambah
dengan hak anggota DPRD untuk mengajukan pertanyaan, meminta
keterangan, mengajukan pernyataan pendapat dan mengadakan
penyelidikan. 66
Hak interpelasi adalah hak DPRD untuk meminta keterangan
kepada Pemerintah Daerah mengenai kebijakan Pemerintah Daerah
yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Hak angket adalah hak DPRD untuk
melakukan penyelidikan terhadap kebijakan Pemerintah Daerah yang
penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan. Hak menyatakan pendapat adalah

66
Josef Riwu Kaho, 2007, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia,
Jakarta: Rajawali Press, hlm. 78.

93
hak DPRD untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan Pemerintah
Daerah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air
disertai dengan solusi tindak lanjut dari hak interpelasi dan hak
angket.67
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka setiap Anggota DPRD
Provinsi mempunyai hak dan kewajiban dalam menjalankan tugas dan
fungsi, Hak Anggota DPRD Provinsi adalah:68
a. mengajukan rancangan Perda Provinsi;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f. imunitas;
g. mengikuti orientasi dan pendalaman tugas;
h. protokoler; dan
i. keuangan dan administratif.
Kemudian, Anggota DPRD provinsi mempunyai kewajiban
sesuai dengan UU 23/2014 sebagai berikut:69
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan menaati ketentuan peraturan perundang-
undangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi,
kelompok, dan golongan;
e. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;
f. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah;

67
Titik Triwulan Tutik, 2010, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945, Jakarta: Kencana, hlm. 195.
68
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 107.
69
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 108.

94
g. menaati tata tertib dan kode etik;
h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga
lain dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah provinsi;
i. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui
kunjungan kerja secara berkala;
j. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan
masyarakat; dan
k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada
konstituen di daerah pemilihannya.

2. Fungsi, Tugas dan Wewenang DPRD Kabupaten/Kota


DPRD kabupaten/kota terdiri atas anggota partai politik peserta
pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum. DPRD
kabupaten/kota merupakan lembaga perwakilan rakyat Daerah
kabupaten/kota yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah kabupaten/kota. Anggota DPRD kabupaten/kota
adalah pejabat Daerah kabupaten/kota.
Dalam Undang-undang nomor 23 tahu 2014 dijelaskan fungsi,
tugas dan wewengan, serta hak dan kewajiban Fungsi DPRD
kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten/kota
adalah sebagai berikut:
1) Pembentukan Perda Kabupaten/Kota, fungsi pembentukan Perda
Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan cara:
a) membahas bersama bupati/wali kota dan menyetujui atau
tidak menyetujui rancangan Perda Kabupaten/Kota;
b) mengajukan usul rancangan Perda Kabupaten/Kota; dan
c) menyusun program pembentukan Perda Kabupaten/Kota
bersama bupati/walikota.
2) Anggaran, Fungsi anggaran diwujudkan dalam bentuk
pembahasan untuk persetujuan bersama terhadap Rancangan
Perda Kabupaten/Kota tentang APBD Kabupaten/Kota yang
diajukan oleh bupati/walikota. Fungsi anggaran dilaksanakan
dengan cara:

95
a) membahas KUA dan PPAS yang disusun oleh bupati/wali
kota berdasarkan RKPD;
b) membahas rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang APBD
kabupaten/kota;
c) membahas rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang
perubahan APBD kabupaten/kota; dan
d) membahas rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kabupaten/kota.
3) Pengawasan, Fungsi pengawasan diwujudkan dalam bentuk
pengawasan terhadap:
a) pelaksanaan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan
bupati/wali kota;
b) pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan lain
yang terkait dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
kabupaten/kota; dan pelaksanaan tindak lanjut hasil
pemeriksaan laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan.

Dalam melaksanakan fungsi-fungsi yang diberikan kepada


DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka DPRD
kabupaten/kota juga diberikan tugas dan wewenang sebagi berikut:
a) membentuk Perda Kabupaten/Kota bersama bupati/wali kota;
b) membahas dan memberikan persetujuan rancangan Perda
mengenai APBD kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/wali
kota;
c) melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan
APBD kabupaten/kota;
d) memilih bupati/wali kota;
e) mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/wali kota
kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan
pemberhentian.

96
f) memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah
Daerah kabupaten/kota terhadap rencana perjanjian international
di Daerah;
g) memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama
internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah
kabupaten/kota;
h) meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/wali
kota dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
kabupaten/kota;
i) memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan
Daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani
masyarakat dan Daerah;
j) melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kemudian dalam menjalankan fungsi-fungsi sebagaimana


disebutkan diatas, maka Undang-undang nomor 23 tahun 2014
memberikan hak kepada DPRD Kabupaten/Kota dalam bentuk:
a) Interpelasi,
Hak interpelasi adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk meminta
keterangan kepada bupati/wali kota mengenai kebijakan Pemerintah
Daerah kabupaten/kota yang penting dan strategis serta berdampak
luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara
b) Angket; dan
Hak angket adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk melakukan
penyelidikan terhadap kebijakan Pemerintah Daerah
kabupaten/kota yang penting dan strategis serta berdampak luas
pada kehidupan masyarakat, Daerah, dan negara yang diduga
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
c) Menyatakan pendapat.
Hak menyatakan pendapat adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk
menyatakan pendapat terhadap kebijakan bupati/wali kota atau
mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di Daerah kabupaten/kota

97
disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak
lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka setiap Anggota DPRD


Provinsi mempunyai hak dan kewajiban dalam menjalankan tugas dan
fungsi, Hak Anggota DPRD kabupaten/kota adalah:
a. mengajukan rancangan Perda Kabupaten/Kota;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f. imunitas;
g. mengikuti orientasi dan pendalaman tugas;
h. protokoler; dan
i. keuangan dan administratif.

Kemudian, Anggota DPRD kabupaten/kota berkewajiban:


a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan menaati ketentuan peraturan perundang-
undangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi,
kelompok, atau golongan;
e. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;
f. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah kabupaten/kota;
g. menaati tata tertib dan kode etik;
h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga
lain dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota;
i. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui
kunjungan kerja secara berkala;

98
j. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan
masyarakat; dan
k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada
konstituen di daerah pemilihannya.
E. Peraturan Daerah
Undang-undang nomor 23 tahun 2014 pasal 236 menjelaskan
tujuan utama daerah dalam membentuk Peraturan Daerah (perda)
adalah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas
Pembantuan. Perda dibentuk oleh Kepala Daerah bersama DPRD
sebagai acuan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah dengan
memperhatikan keseusaian sumber daya yang ada di daerah masing-
masing.
Ada beberapa materi Perda yang sama dengan pemerintah
daerah yang satu dengan lainnya, dan adapula yang berbeda.
Contohnya Perda tentang retribusi parkir, Perda ini umumnya dibentuk
pada pemerintah daerah di Indonesia, sementara Perda tentang
pengelolaan rumah kos, hanya diterapkan pada beberapa pemerintah
daerah. Pada beberapa fenomena, terdapat beberapa perda yang copy
paste dari studi kasus pada daerah lain, contohnya Draft Perda
Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Semarang yang dinilai
mengcopy paste Perda Kabupaten Magelang. 70 Hal yang sama juga
terjadi pada Raperda Ketertiban Umum Kabupaten Bondowoso,
dimana naskah akademik yang digunakan dalam pembahasan pansus
ditengarai hasil copy paste dari Kabupaten Gresik. 71
Pada kasus lainnya, munculnya berbagai Peraturan Daerah
(Perda) berpotensi menciptakan konflik di daerah, contohnya Perda

70
kompas.com, Dituding Menjiplak Raperda, Bupati Semarang Kehilangan Kata-kata,
News Regional, Kompas.com - 20/02/2017, 18:26 WIB,
http://regional.kompas.com/read/2017/02/20/18265701/dituding.menjiplak.
raperda.bupati.semarang.kehilangan.kata-kata.
71
timesindonesia.co.id, Parah! Raperda Ketertiban Umum Diduga Hasil 'Nyontek'
Kabupaten Lain, 22-03-2016 - 14:30, Timesindonesia,
http://m.timesindonesia.co.id/baca/121429/20160322/143037/parah-raperda-
ketertiban-umum-diduga-hasil-nyontek-kabupaten-lain/

99
Kabupaten Gowa tentang Lembaga Adat Daerah yang menimbulkan
konflik yang terjadi antara Kerajaan Gowa dan Pemerintah Kabupaten
sehingga DPRD Kabupaten Gowa, dibakar massa karena telah
mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Lembaga Adat Daerah
(LAD).72
Saldi Isra mengemukakan bahwa merujuk pengalaman yang
ada selama ini, pembentukan Perda memiliki sejumlah kelemahan
seperti: 73
1. Pembentukan Perda belum terencana dengan baik, sebagaimana di
tingkat nasional sudah ada Prolegnas namun di tingkat Provinsi,
Kabupaten/Kota masih banyak yang belum memiliki Prolegda
(berdasarkan Pasal 403 UU 23/2014 namanya diganti menjadi
Program Pembentukan Perda). Sehingga penyusunan perda
kadangkala dadakan bahkan “copy paste” dari daerah lain.
2. Project oriented, pembentukan Perda hanya dianggap semacam
proyek dengan jumlah anggaran tertentu bahkan melibatkan pihak
ketiga melalui mekanisme tender, swakelola maupun penunjukan
langsung. Sehingg Perda yang lahir hanya merupakan hasil
negosiasi antara pemda atau DPRD dengan pihak tentu.
3. Perda dibentuk belum menjawab kebutuhan masyarakat justru
dinggap sesuatu yang membebani masyarakat terutama
menyangkut pembatasan atau larangan tertentu bahkan hanya
berupa retribusi ataupun pajak daerah.
4. Perda sulit ditegakkan, karena rasa memiliki masyarakat amat
rendah akibat dari pembentukan perda yang sangat elitis bahkan
politis.
5. Partisipasi masyarakat untuk terlibat sulit diwujudkan karena
masyarakat terlibat hanya pada saat pembahasan akhir. Seharusnya

72
bisnis.com, Konflik Kerajaan Gowa Vs Pemkab, Kesbangpol Sulsel Dorong Upaya
Mediasi, sulawesi, quicknews, 17 september 2016, 19:03 WIB,
http://sulawesi.bisnis.com/read/ 20160917/5/195377/url
73
pamongreaders.com, Prof. Saldi Isra : 7 Kelemahan Perda, Politik, Senin, 03 Agustus
2015 - 11:42:21 WIB, http://pamongreaders.com/berita-759-prof-saldi-isra--7-
kelemahan-perda.html

100
partisipasi tersebut dimulai sejak perencanaan perda baik tahunan
maupun lima tahunan.
6. Visi dan misi daerah kadangkala “terpinggirkan” oleh visi dan misi
kepala daerah sehingga dukungan atas pemberlakuan Perda tertentu
pun sifatnya periodik, mengikuti periode jabatan kepala daerah.
7. Banyak Perda dibatalkan pemerintah pusat (terutama oleh
Kementerian Dalam Negeri). Padahal pembentukannya telah
menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Hal ini dikarenakan
perencanaan dan substansi yang masih bermasalah. Jika
perencanaan telah ada sebelumnya maka sejak awal substansi Perda
dapat dikonsultasikan dan diklarifikasi.

Perda yang dibentuk di suatu daerah memang bisa dicontoh


oleh daerah lainnya, namum sebaiknya memperhatikan politik sosial
dan sumber daya yang ada di daerah tersebut, karena setiap daerah
mempunyai karakter yang berbeda-beda. Keleluasaan yang diberikan
ke pemerintah daerah tidak sesuai dengan tujuan awal otonomi daerah
sehingga harus dibina dan diawasi dengan baik. Sejauh ini terdapat
sebanyak 3.14374 peraturan daerah dan peraturan kepala daerah yang
dibatalkan Kementerian Dalam Negeri sampai dengan Juni 2016.
Menurut UU 23/2014 pasal 251 menjelaskan bahwa Perda
Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum,
dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri. Kemudian, Perda
Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/walikota yang bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Pasal tersebut sangat berguna sebagai alat pengontrol terhadap
Perda yang bermasalah dan berpeluang menimbulkan konflik. Namun

74
Kompas.com, Jokowi: 3.143 Perda Bermasalah Telah Dibatalkan, News Nasional,
13/06/2016, 17:21 WIB, http://nasional.kompas.com/read/2016/06/13/
17215521/ jokowi.3.143.perda. bermasalah.telah.dibatalkan

101
aturan pembatalan perda ini dianulir oleh Keputusan Mahkamah
Agung Nomor 137/PUU-XIII/2015, dimana MK mengabulkan
permohonan sepanjang pengujian Pasal 251 ayat (2), ayat (3), dan ayat
(8) serta ayat (4) sepanjang frasa ‘pembatalan Perda Kabupaten/Kota
dan peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Dan, Keputusan Mahkamah Agung Nomor 56/PUU-XIV/2016, terhadap
uji materi terhadap Pasal 251 Ayat 1, 2, 7 dan 8 UU Nomor 23 Tahun
2014.
Pembatalan Perda Kabupaten/Kota melalui keputusan
gubernur sebagai wakil pemerintah pusat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 251 ayat (4) UU Pemda, menurut Mahkamah tidak sesuai
dengan rezim peraturan perundang-undangan yang dianut Indonesia.
Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 UU 12/2011 tidak mengenal keputusan
gubernur sebagai salah satu jenis dan hierarki peraturan perundang-
undangan, hal tersebut juga berlaku pada keputusan Menteri Dalam
Negeri mengenai pembatalan Perda Provinsi. 75
Putusan tersebut justru kontraproduktif dengan langkah
pemerintah yang sedang getol melakukan deregulasi sejumlah perda
bermasalah. Implikasinya, pemerintah daerah akan semakin sulit
dikontrol, bahkan ke depannya bakal muncul banyak regulasi baru
yang bertabrakan dengan keinginan pemerintah pusat menciptakan
iklim investasi yang sehat. Akan semakin banyak peraturan yang
muncul, bahkan bisa jadi akan membuat pungutan kepada pelaku
usaha di daerah. memikirkan aspek legalnya saja, tanpa melihat aspek
efektifitas dan dinamika di daerah. Padahal, selama ini banyak regulasi
yang dibuat pemda cenderung bermasalah dan menyulitkan pelaku
usaha. selama jalannya otonomi daerah kurang lebih 17 tahun,
pemerintah pusat telah membatalkan sekitar 4.000-an peraturan daerah
bermasalah. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan capaian

75
Kompas.com, Putusan MK Cabut Kewenangan Mendagri Batalkan Perda Provinsi,
News Nasional -14/06/2017, 22:39 WIB, http://nasional.kompas.com/read/2017/
06/14/22392261/putusan.mk.cabut.kewenangan.mendagri.batalkan.perda.provins

102
yang dilakukan oleh Mahkamah Agung yang selama berlangsungnya
otonomi daerah hanya membatalkan kurang dari 100 perda. 76
Maksud baik Mahkamah Konstitusi tersebut untuk membenahi
sistem perundangan yang berlaku di Indonesia utamanya dalam segu
tata cara pembatalan peraturan sehingga sesuai dengan perundangan
yang berlaku di Indonesia. Namun hal ini tentunya sulit bagi
Mahkamah Konstitusi untuk mengkaji sejumlah perda yang telah
ditetapkan oleh pemerintah daerah karena keterbatasan sumber
dayanya. Berdasarkan evaluasi kemendagri terhadap 30 ribu perda di
Indonesia diketahui ada 3.143 perda yang berpotensi bermasalah.
Adapun jumlah seluruh perda di Indonesia mencapai sekitar 60 ribu77,
sehingga evaluasi terhadap 30 ribu perda lain akan dilakukan
selanjutnya.
Putusan MK tersebut banyak sesalkan oleh beberapa pihak
karena selama ini upaya kementerian Dalam Negeri tersebut
merupakan terobosan dalam membersihkan perda yang menghambat
jalannya birokrasi, misalnya dalam urusan pajak, retribusi dan investasi.
Sehingga akibat hukum dari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
membuat upaya Kementerian Dalam Negeri tidak lagi mempunyai
kewenangan untuk membatalkan perda yang menabrak peraturan lebih
tinggi atau dalam tataran implementasi penyelenggaraan pemerintahan
daerah dapat bermasalah serta dapat bertentangan dengan kepentingan
umum.
Upaya pengawasan perda dan pembinaan terhadap
penyelenggaran pemerintahan daerah dalam hal pembentukan perda
hanya dapat dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri melalui
evaluasi pada saat proses penetapan Perda, dalam hal mana sesuai

76
kabar24.bisnis.com, Pemerintah Tak Bisa Batalkan Perda, Bagaimana 3.143 Perda
yang Dibatalkan? HUKUM, 06 april 2017, 02:47 WIB, http://kabar24.bisnis.com/
read/20170406/16/643053/pemerintah-tak-bisa-batalkan-perda-bagaimana-3.143-
perda-yang-dibatalkan.
77
republika.co.id, Kemendagri Cabut 1.665 Perda Bermasalah, News, Nasional, Ahad,
09 October 2016, 18:58 WIB, http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/
umum/16/10/09/oes3wp383-kemendagri-cabut-1665-perda-bermasalah.

103
dengan UU 23/2014 pasal 242 ayat (3) menyebutkan Gubernur wajib
menyampaikan rancangan Perda Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
kepada Menteri paling lama 3 (tiga) Hari terhitung sejak menerima rancangan
Perda Provinsi dari pimpinan DPRD provinsi untuk mendapatkan nomor
register Perda. Dan ayat (4) yang menyebutkan Bupati/wali kota wajib
menyampaikan rancangan Perda Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat paling lama 3 (tiga)
Hari terhitung sejak menerima rancangan Perda kabupaten/kota dari pimpinan
DPRD kabupaten/kota untuk mendapatkan nomor register Perda.
Hal tersebut juga didukung pada pasal 243 yang menyebutkan
bahwa Rancangan Perda yang belum mendapatkan nomor register
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 ayat (5) belum dapat ditetapkan kepala
Daerah dan belum dapat diundangkan dalam lembaran daerah. Dalam hal ini
pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri dan Gubernur
sebagai Wakil pemerintahan pusat dapat memberikan pembinaan
terhadap materi perda yang dianggap bermasalah atau bertentangan
dengan kepentingan umum sehingga pemerintah daerah dapat
melakukan konsultasi dan merevisi rancangan peraturan daerah yang
dianggap bermasalah tersebut.
Pada sisi pemerintah daerah pun seharusnya menyadari
kelemahan dan kekurangan rancangan peraturan daerah tersebut,
proses perencanaan menjadi suatu hal yang penting dalam
pembentukan Perda. Apalagi jika dihubungkan dengan prinsip
keterpaduan antara produk hukum lokal dengan peraturan nasional
yang di atasnya, sehingga tercipta kesinambungan perencanaan
nasional dan daerah. Jika Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
merupakan perencanaan legislasi di tingkat pusat, maka perda sebagai
produk hukum lokal harusnya mampu menyesuaikan dan
menterjemahkan produk hukum yang lebih tinggi. Hal ini kemudian
berdampak pada prinsip penyusunan Perda yang tidak bertentangan
dengan aturan yang lebih tinggi dalam konteks vertikal. Proses
perencanaan tersebut harus dapat menyerap aspirasi masyarakat,
sehingga akibat dari ketetapan dalam perda tersebut tidak membebani

104
masyarakat secara berlebihan sehingga tidak mendapat penolakan atau
gejolak yang terjadi di masyarakat sebagaimana yang telah dicontohkan
pada beberapa ulasan masalah perda pada beberapa pemerintah daerah
di atas. Untuk lebih jelasnya dapat dilhat pada gambar top down dan
bottom up proses pembentukan perda sebagai berikut:

Gambar 2.3.
Top Down dan Bottom Up Proses Pembentukan Perda

Keterpaduan Perda dengan sistem hukum nasional menjadi


suatu hal yang penting agar tidak menciptakan disharmoni dengan
peraturan yang lebih tinggi maupun peraturan yang perda lainnya.
Perbedaan sumberdaya dan karakterisktik pada tiap daerah di
Indonesia mempunyai fungsi dalam membentuk keterpaduan
bangunan sistem hukum yang kokoh dalam kebhinekaan Indonesia.
Kebhinekaan dapat membentuk pondasi hukum yang bersumber dari
karakteristik daerah di Indonesia. Sehingga pada masing-masing

105
daerah dapat mencul perbedaan pengaturan yang disesuaikan dengan
kondisi politik dan sosisal serta sumber daya yang ada di daerah.
Para perancang Perda perlu membuat Perda atas nama dan
untuk kepentingan masyarakat. Langkah pertama yang harus diambil
adalah mengajukan pertanyaan mengenai jenis permasalahan yang
dihadapi oleh masyarakat. Permasalahan dapat mencakup banyak hal,
antara lain degradasi dan deviasi sumber daya, konflik pemanfaatan
antar pihak yang mengakibatkan keresahan sosial, dan lain-lain. Selain
mengidentifikasi masalah, perancang Perda harus pula
mengidentifikasi penyebab terjadinya masalah (akar masalah) dan
pihak-pihak yang terkena dampak dari berbagai masalah tersebut.
Perancang Perda hendaknya memahami konsekuensi-konsekuensi yang
mungkin akan timbul dari penanganan masalah-masalah tertentu.
Misalnya saja, apakah semua pihak akan diperlakukan secara adil?
Apakah ada pihak-pihak tertentu yang sangat diuntungkan dan di lain
sisi mengorbankan pihak lain? Dengan hanya menangani sejumlah
permasalahan, apakah tidak menimbulkan permasalahan baru

F. Penyelenggaran Pemerintahan di Daerah


Setiap negara sesuai karakternya akan mempunyai prioritas
yang berbeda dalam membentuk kekuasaan lokal, sebagai upaya
mensejahterakan masyarakatnya. Hal tersebut terlihat pada penerapan
penyelenggaran pemerintahan subnasional pada berbagai negara
lainnya yang menyesuaikan dengan bentuk negara dan sistem
pemerintahan yang digunakan. Sebenarnya perbincangan mengenai
bentuk Negara (staat vormen) terkait dengan pilihan-pilihan antara (a)
bentuk Negara Kesatuan (unitary state, eenheidsstaat), (b) bentuk
Negara Serikat (Federal, bonds-staat), atau (c) bentuk Konfederasi
(confederation, staten-bond). Sedangkan perbincangan mengenai
bentuk pemerintahan (regerings-vormen) berkaitan dengan pilihan
antara (a) bentuk Kerajaan a (Monarki), atau (b) bentuk Republik.
Sementara dalam sistem pemerintahan (regering sytem) terkait pilihan-
pilihan antara (a) sistem pemerintahan presidensiil, (b) sistem
pemerintahan parlementer, (c) sistem pemerintahan campuran, yaitu

106
quasi preidensiil seperti di Indonesia (dibawah UUD 1945 yang asli)
atau quasi parlementer seperti prancis yang dikenal dengan istilah
hybrid system, dan (d) sistem pemerintahan collegial seperti swiss. 78

1. Fenomena peningkatan peran Gubernur sebagai Wakil


Pemerintah Pusat di daerah
Indonesia sebagai Negara Kesatuan terdiri dari 17.504 pulau79
dan 548 daerah otonom (416 Kabupaten, 98 kota dan 34 Provinsi) yang
bernaung dalam negara berbentuk Republik. Pemerintah Indonesia
mengeluarkan Undang-undang nomor 23 tahun 2014 sebagai dasar
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat,
serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-undang tersebut sebagai penyempurnaan dari
sebelumnya undang-undang nomor 32 tahun 2004 yang dipandang
belum dapat menjawab tantangan perubahan zaman dalam
penyelenggaran pemerintahan daerah. Kemudian UU No. 23/2014
tersebut akan dibreakdown dalam beberapa Peraturan Pemerintah sesuai
amanat dalam undang-undang tersebut. Salah satu yang sudah di
keluarkan yatu Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang
Perangkat Daerah. Peraturan Pemerintah tersebut merombak besar
organisasi perangkat daerah yang sesuai versi terdahulunya, yiatu
Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2007.
Sesuai arahan dari PP 18 Tahun 2016 tersebut, perangkat daerah
yang ada di daerah otonom diatur kembali menyesuaikan napas dari
UU nomor 23 Tahun 2014 yaitu Penyerahan “urusan” pemerintahan

78
Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi Dan Konstitusionalisme. Jakarta, Konstitusi Press,
Hlm. 259.
79
Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia, 2015, katalog BPS 1101001

107
dan pelimpahan “urusan” pemerintahan.80 Makna Desentralisasi
tersebut lebih mirip UU nomor 5/1974 dibanding makna dengan UU
nomor 23/2004 dan UU nomor 22/1999. Sehingga kebijakan
penyelenggaran pemerintahan daerah dalam UU 23/2014 terkesan lebih
mengarah pada Sentralisasi yang terlihat pada beberapa hal yang
sebelumnya tidak terdapat pada UU sebelumnya sebagai berikut:
1) Yang diserahkan bukan kewenangan pemerintahan tapi urusan
pemerintahan, sehimgga terkesan pemerintah pusatlah yang
mempunyai kewenangan pemerintahan namun hanya
menyerahkan dan melimpahkan urusan-urusan pemerintahan
kepada pemerintah daerah.
2) Peningkatan peran gubernur sebagai wakil pemerintahan pusat di
daerah
3) Adanya mekanisme konsultasi yang dilakukan pemda ke
kemendagri
4) Menteri dalam melakukan evaluasi Rancangan Perda Provinsi
tentang RPJPD, dan RPJMD
5) Adanya pemantauan dan evaluasi tentang kerjasama pemerintah
Kabupaten/kota oleh gubenur dan kerjasama gubernur oleh
mendagri
6) Adanya kewajiban meregister setiap perda yang akan
diundangkan ke Gubernur terhadap perda kabupaten/kota dan ke
Mendagri terhadap perda provinsi.
7) Penarikan beberapa urusan yang biasa di tangani
pemerintahkabupaten/kota menjadi urusan pemerintah provinsi,
seperti pendidikan menengah, bidang ESDM, bidang rehabilitasi
penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan,
bidang ketenagakerjaan dan pengelolaan perbatasan negara serta
penarikan urusan balai pengembangan pendidikan non formal dari
Provinsi ke Pusat.

80
Pada UU no 32/2004 menyebutkan makna desentralisasi sebagi penyerahan
kewenangan pemerintahan dan dekonsentrasi sebagai pelimpahan kewenangan
pemerintahan.

108
Peningkatan peran Gubernur dalam hal pemantauan dan
evaluasi terhadap penyelenggaran pemerintahan daerah, disatu sisi
merupakan penguatan pemerintah pusat dan wakilnya di daerah dalam
hal mengawasi dan mengendalikan penyelenggaraan otonomi daerah
yang kebablasan pada era UU Nomor 22/1999. Namun disisi lainnya
pengendalian tersebut justru menampakkan adanya pemberian
kebijakan desentralisasi yang setengah hati oleh pemerintah pusat.
Karena semangat kebijakan dalm UU Nomor 23/2014 ini lebih mirip
dengan UU Nomor 5/1974 pada masa orde baru. Paradigma
peningkatan peran dan fungsi Gubenur sebagai Wakil pemerintah
pusat di daerah sebenarnya sudah cukup baik, dan penarikan sejumlah
urusan pemerintah kabupaten kota ke Pemerintah Provinsi tersebut
tidak perlu dilakukan utama yang berkaitan dengan pelayanan
langsung ke masyarakat misalnya Pendidikan Menengah dan Tambang
Galian C.
Pada urusan Pendidikan Menengah, Guru PNS dan staf
administrasi serta Guru Bantu selama ini berinduk ke pemerintah
kabupaten kota otomatis beralih ke pemerintah provinsi yang jaraknya
ada yang jauh dari ibukota provinsi. Sehingga asas efisien dan efektif
tentunya akan kurang berpengaruh karena kebijakan ini malah
memperjauh induk pelayanan pendidikan menengah yang selama ini
berada dekat di kabupaten menuju Ibukota Provinsi yang jarak satu
daerah dengan ibukota Provinsi di atas sepuluh jam seperti di provinsi
Kalimantan Barat, belum lagi bila yang jauhnya di pedalaman antar
pulau.
Bagaimana pembinaan dan pengawasan kegiatan pendidikan
tingkat SMA dan sederajatnya (SMA) dilakukan oleh pemerintah
provinsi kepada seluruh SMA yang terbagi diseluruh wilayah
provinsinya? Seberapa banyak sumber daya Dinas Pendidikan Provinsi
untuk mengawasi kegiatan pendidikan di keseluruhan SMA tersebut?
Dan pertanyaan intinya akan menjadi efektif dan efisienkah kegiatan
pendidikan di tingkat SMA?

109
Pada urusan tambang Galian C, tambang galian C selama ini
jadi primadona pemerintah kabupaten/kota dalam mendukung
peningkatan penerimaan pendapatan asli daerah. Contohnya
penerimaan pajak pengambilan bahan galian golongan C Pemerintah
Kabupaten Tuban pada tahun 2011 sebesar Rp. 27.687.542.021,- 81 atau
30,05%, dari PAD Kabupaten Tuban Tahun 2011 yang sebesar Rp. 92,1
Milyar-. Setiap ada kerusakan lingkungan yang membahayakan
masyarakat akibat dari galian C, maka yang disalahkan oleh
masyarakat adalah Bupati/Walikota, bahkan tidak jarang masyarakat
mendatangi kantor Bupati/Walikota untuk melakukan demo.
Pemerintah kabupaten dan kota dapat saja cuek dan melakukan
pembiaran terhadap kerusakan lingkungan di sekitar daerah tambang,
namun ujung-ujungnya tetap saja terkena dampak akibat kerusakan
lingkungan.
Di daerah lokasi tambang sangat marak munculnya aktifitas
penambangan yang terindikasi ilegal, bahkan yang legalpun bisa
meresahkan masyarakat lantaran dari aktivitas itu terjadi kerusakan
atau minimal perubahan lingkungan yang mengancam
keberlangsungan hidup seperti potensi banjir dan longsor. Sewaktu
ditangani oleh pemerintah Kabupaten/Kota pun, telah banyak tambang
ilegal yang sulit diberantas. Apalagi bila pengelolaan dan
pengawasannya dialihkan ke provinsi?

2. Fenomena Penyelenggaraan Pemerintahan di Kawasan


Perbatasan
Semakin tahun kebijakan otonomi daerah bergulir, semakin
banyak fenomena yang yang mesti ditindaklanjuti oleh pemerintah
pusat. Terdapat beberapa kebijakan yang belum ada pada Undang-

81
Lailatul Karmiratin, Pengaruh Perkembangan Industri Manufaktur (Subsektor
Penggalian) Terhadap Pendapatan “Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C”
Di Kabupaten Tuban, Jurnal Akuntansi Unesa | Vol 1, No 1, 2012, Universitas Negeri
Surabaya, http://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/ index.php/jurnal-
akuntansi/article/view/301.

110
undang pemerintahan daerah sebelumnya, salah satunya yaitu
pengaturan kawasan perbatasan. Pada UU nomor 32/2004 hanya
mengatur tentang kawasan khusus, hal yang sama juga masih terdapat
pada UU nomor 23/2014. Kebijakan kawasan khusus bertujuan untuk
menyelengarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus
bagi kepentingan nasional, Pemerintah dapat menetapkan kawasan
khusus dalam wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota. Kawasan
khusus meliputi:
a. kawasan perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas;
b. kawasan hutan lindung;
c. kawasan hutan konservasi;
d. kawasan taman laut;
e. kawasan buru;
f. kawasan ekonomi khusus;
g. kawasan berikat;
h. kawasan angkatan perang;
i. kawasan industri;
j. kawasan purbakala;
k. kawasan cagar alam;
l. kawasan cagar budaya;
m. kawasan otorita; dan
n. kawasan untuk kepentingan nasional lainnya yang diatur dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada UU Nomor 23/2014 pada bab XVI, selain mengatur
kawasan khusus juga ditambahkan pengaturan tentang kawasan
perbatasan negara. Kawasan perbatasan negara adalah Kecamatan-
Kecamatan terluar yang berbatasan langsung dengan negara lain.
Kewenangan Pemerintah Pusat di kawasan perbatasan meliputi seluruh
kewenangan tentang pengelolaan dan pemanfaatan kawasan
perbatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai wilayah negara. Selain kewenangan tersebut, Pemerintah
Pusat mempunyai kewenangan untuk:

111
a. penetapan rencana detail tata ruang;
b. pengendalian dan izin pemanfaatan ruang; dan
c. pembangunan sarana dan prasarana kawasan.

Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mengoordinasikan


pelaksanaan pembangunan kawasan perbatasan berdasarkan pedoman
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Dalam mengoordinasikan
pelaksanaan pembangunan kawasan perbatasan, gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat dibantu oleh bupati/walikota. Dalam
memberikan bantuan pelaksanaan pembangunan kawasan perbatasan
bupati/walikota menugaskan camat di kawasan perbatasan.
Salah satu contoh penyelenggaraan kebijakan tersebut adalah
Kawasan Perbatasan Entikong yang berada di wilayah Kecamatan
Entikong, yang merupakan Daerah perbatasan dengan negara tetangga
Malaysia di Propinsi Kalimantan Barat. Kawasan entiikong tersebut
mempunyai pola keterkaitan pada daerah perbatasan darat antara
wilayah Propinsi Kalimantan Barat dengan Negeri Sarawak, kawasan
tersebut relatif berhubungan langsung satu sama lain karena
merupakan perbatasan darat. Desa-desa di kecamatan Entikong yang
merupakan salah satu garda pemerintahan terdepan NKRI di
Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat. Namun sangat disayangkan
karena kondisi sosial ekonomi sangatlah kontras dengan “pemerintahan
daerah kecil” di Tebedu, Malaysia. Kondisi yang berbeda satu sama lain,
dimana wilayah Malaysia relatif lebih maju dibandingkan dengan
wilayah Indonesia, maka terjadi kecenderungan perubahan orientasi
kegiatan sosial ekonomi penduduk di wilayah Indonesia ke wilayah
Malaysia. Pos lintas batas darat yang telah diresmikan meliputi dua titik,
yaitu Entikong (Indonesia)– Tebedu (Malaysia), dan Nanga Badau
(Indonesia)–Lubuk Antu (Malaysia). Keadaan sarana dan prasarana
seperti jalan, pasar, toko, pusat perbelanjaan, kantor pemerintahan di
daerah perbatasan kita terlihat kumuh dan kurang tertata. Hal berbeda
ketika kita melewati garis batas negara terlihat tertata rapih sehingga
timbul rasa kagum melihat pemandangan tersebut.

112
Ketimpangan inilah yang banyak menjadi penyebab masalah
sosial ekonomi diantara kedua negara tersebut. Mulai dari
penyelundupan barang dan orang, tracficking, narkoba, hingga masalah
kedaulatan negara. Tidak dapat dipungkiri bahwa berapa banyak
penduduk di desa-desa sekitar Kecamatan Entikong yang bekerja di
seberang batas, baik yang bekerja tinggal menetap, maupun yang pergi
pagi pulang petang, berapa banyak pedagang yang berbelanja barang
kebutuhan pangan, sandang dan papan lainnya di negeri seberang
kemudian menjualnya di Indonesia. Sehingga wajar bila ada ungkapan
“Garuda Di Dadaku, Malaysia Di Perutku.82
Hal tersebut didukung oleh strategi Pemerintah Malaysia dan
kekurang-pedulian masyarakat dan pemerintah Indonesia sehingga
para penjual dan pembeli di Pasar Entikong semakin berkurang dan
berpindah ke pasar. Kondisi tersebut merupakan keadaan sosial
ekonomi masyarakat Desa Entikong yang berada di sekitar jalan negara
Indonesia-Malaysia.
Sementara kondisi desa-desa lainnya di Kecamatan Entikong
seperti Desa Suruh Tembawang dan Desa Palapasang lebih parah lagi,
selain kondisi desa yang minim sarana dan prasarana penunjang.
Kenyataan ini telah berlangsung sejak dulu, tidak ada alat penerangan
listrik PLN sehingga rata-rata masyarakat menggunakan genset dan
lampu minyak yang bahan bakarnya mereka beli dari Malaysia, belum
adanya akses jalan darat, tidak adanya siaran televisi indonesia, serta
tidak adanya jaringan telekomunikasi Indonesia.
Bahkan lebih parah lagi bahwa masyarakat desa Suruh
Tembawang lebih memiliki uang Ringgit Malaysia dibanding Rupiah.
Masyarakat lebih banyak membawa hasil perkebunanan dan kerajinan
mereka untuk dijual lalu membeli kebutuhan hidup sehari di kampung
Gun Sapit, Malaysia di banding mereka bawa ke pusat wilayah

82
Fariastuti Djafar, 2013, Merah Putih di Hatiku Malaysia Sumber Nafkahku”Kisah
Pedagang Lintas Batas, http://www.kompasiana.com/ fariastuti/merah-putih-di-
hatiku-malaysia-sumber-nafkahku-kisah-pedagang-lintas-
batas_552ad45f6ea8345f7f552d13.

113
Kecamatan Entikong sehingga terlihat bahwa kegiatan ekonomi mereka
lebih bersandar kepada negara tetangga.
Minimnya akses dan fasilitasi dasar yang disediakan oleh
Pemerintah membuat beberapa diantara warga masyarakat Desa suruh
Tembawang lantas kehilangan rasa nasionalisme dan membelot
menjadi warga negara Malaysia. Berita ini sempat membuat heboh di
Kalimanatan Barat pada tahun 201183 sehingga membuat pemerintah
daerah provinsi dan pemerintah daerah saling tuding mengenai
penggunaan dana perbatasan sebesar 15M pada tahun 2010 dan sebesar
19 M pada tahun 201184.
Hal ini seharusnya disikapi secara serius oleh pemerintah pusat
dan daerah untuk mengembangkan program yang lebih nyata bagi
Masyarakat di Kecamatan Entikong yang telah mempunyai dasar
kebijakan yaitu pada UU Nomor 23/2014 pasal 361 dan 362. Program
selama ini dilaksanakan belum dapat menyentuh kebutuhan real
masyarakat di kawasan perbatasan, sementara akses mereka ke Negeri
Seberang lebih mudah.
Pengelolaan Alokasi Dana Desa yang tidak transparan dan
tidak merata serta tidak berjalan secara optimal sesuai kebutuhan
Masyarakat Desa Suruh Tembawang85 karena daerah dusunnya begitu
terpencil dan sulitnya jalur komunikasi. Jarak tempuh ke pusat
kecamatan Entikong dari pusat desa sejauh 48 Km melalui jalan dari
Desa Suruh Tembawang ke Entikong yang masih berbentuk jalan tanah
dan sangat sulit dilewati kendaraan roda 2 pada musim penghujan
apalagi roda 4, sehingga masyarakat desa lebih memilih melalui perahu
motor sekitar selama kurang lebih 6 jam untuk menuju jalan raya yang

83
Harian Equator, edisi 6 agustus 2011, “Perbatasan di ambang disintegrasi”
memberitakan bahwa 61 orang penduduk Dusun Gun Jamak, Desa Suruh
Tembawang Kecamatan Entikong Sanggau, pindah menjadi warga negara Malaysia.
84
Harian Equator, edisi 6 agustus 2011, “Gubernur Tuding Bupati Kurang Peka”
85
Suparno, 2015, Pelaksanaan Prinsip-prinsip Pengelolaan Keuangan Dalam
Pengelolaan Alokasi dana Desa (ADD) Di Desa Suruh Tembawang Kecamatan
Entikong, Kabupaten Sanggau. Jurnal Publika, Ilmu Administrasi Negara, Universitas
Tanjungpura Vol 4 No. 4 Edisi Desember 2015, Pontianak.

114
menuju pusat kecamatan dengan biaya berkisar 400-600 ribu setiap kali
perjalanan via perahu motor.
Hal ini juga yang menjadi dilema untuk sektor pendidikan di
desa terpencil di kecamatan tersebut. Minimnya fasilitas pendidikan
juga menjadi dilema bagi masyarakat Di Desa Suruh Tembawang, desa
yang berpenduduk 2.795 jiwa itu pendidikan warganya
memprihatinkan karena 963 jiwa masih buta aksara dan 689 jiwa tidak
tamat SD. Sedangkan di SMPN 2 Suruh Tembawang 73 siswanya
mempelajari teknologi informasi dan komunikasi tanpa menyentuh
komputer karena sekolah belum punya aliran listrik86. Bahkan di dusun
Gun Tembawang terdapat bangunan SD yang telah ditumbuhi semak
belukar dan tidak pernah digunakan dengan alasan tidak pernah ada
guru yang datang ke lokasi tersebut. Anak-anak sekolah khususnya bila
ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA harus melalui perjalanan
panjang ke ibukota kecamatan dengan biaya yang mahal, sementara
mereka hanya menempuh kurang lebih 2 jam berjalan kaki bila
menyeberang ke Malaysia. Itupun bagi warga yang mempunyai IC
Malaysia yang dapat mendapatkan pendidikan di Malaysia, sehingga
terkesan dapat dimaklumi bila mereka berkewarganegaan ganda.
Fenomena di atas memperlihatkan betapa pembangunan desa
tidak begitu merata utamanya di daerah terpencil kawasan perbatasn.
Mungkin kondisi ini juga banyak didapati pada daerah terpencil
lainnya, kurang tersedianya infrastruktur seperti jalan dan fasilitas
umum lainnya, namun kondisi desa-desa perbatasan khususnya di
Kecamatan Entikong, Kalimantan Barat sangatlah memprihatinkan,
berbeda dengan kondisi perbatasan darat di Desa Skow, Papua dan
Desa Motamasin, Kabupaten Belu, NTT. Pada daerah perbatasan NTT
dan Papua, penduduk negeri seberanglah yang banyak bergantung
pada Indonesia terutama dari segi aktivtas ekonomi. Kebutuhan pangan
dan sandang banyak mereka beli di desa-desa di daerah perbatasan kita.

86
M. Ishaq, 2013, Pembinaan Nasionalisme Pemuda Perbatasan Melalui Program
Pendidikan Luar Sekolah, Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 17, Nomor 6, Oktober 2011,
Universitas Negeri Malang.

115
Pembangunan desa melalui usulan muyawarah pembangunan
desa di desa terpencil di Kecamatan Entikong belum menyentuh pada
aspek fisik antar dusun maupun antar desa di pusat kecamatan. Luas
Desa Palapasang yang berkisar 84.15 km dan Desa Suruh Tembawang
sebesar 148.82 Km begitu sulit untuk menjangkau masing-masing
dusun. Apalagi dusun Gun Tembawang dan dusun Mangkau yang
berada di ujung batas negara Indonesia-Malaysia. Jalan tanah yang
pernah dibuat pada tahun 1996 dan kemudian tidak pernah lagi
dilanjutkan. Jalan tersebut melintasi perkebunan dan hutan yang tidak
dapat dilewati oleh kendaraan bermotor karena kondisi tanah dan alam
yang tidak mendukung.
Jalur perbatasan di Indonesia baik laut maupun darat yang
sangat luas perlu menjadi perhatian yang serius oleh negara. Perbatasan
negara merupakan pertemuan wilayah suatu negara dengan negara lain,
dimana aspek sosial budaya, ekonomi dan politik dapat saling
berinteraksi satu sama lain. Seperti di Kecamatan Entikong, Kalimantan
Barat, masyarakat diantara kedua negara bahkan telah berintaraksi
sebelum Negara Indonesia-Malaysia terbentuk. Mereka saling
berinteraksi melalui perkawinan, jual beli dan berbagai hal lainnya.
Wilayah Kalimantan yang awalnya telah didiami oleh etnis dari Dayak,
Melayu dan Cina serta percampuran dari ketiga etnis tersebut, telah
menjadi satu dalam sosial ekonomi dan budaya yang tidak terpisahkan
walaupun wilayah tersebut telah berbeda negara.
Luasnya jalur perbatasan dan adanya interaksi ekonomi, sosial
dan budaya, sudah seharusnya telah lama dikelola dengan multi
approach system yang efektif dan akuntabel. Namun fenomena yang
terjadi selama ini di garis batas negara itu, memperlihatkan adanya
manajemen perbatasan tidak terlaksana dengan baik. Bahkan pada garis
batas tersebut marak terjadi tindak kejahatan seperti penyelundupan
barang, perdagangan orang, serta penyebaran ideologi politik asing
yang sangat mengganggu stabilitas keamanan dan kedaulatan negara
Republik Indonesia.

116
Dalam buku Partnership for Governance Reform, 2011, tentang
Kebijakan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Indonesia, menjelaskan 11
(sebelas) tantangan pengelolaan kawasan perbatasan darat Kalimantan
Barat–Serawak yaitu sebagai berikut: 87
1. Belum jelasnya penataan ruang dan pemanfaatan sumber daya alam.
Kondisi ini ditunjukkan dengan terjadinya konflik ataupun tumpang
tindih pemanfaatan ruang (lahan) baik antara kawasan budidaya
dengan kawasan lindung, maupun antar kawasan budidaya seperti
kegiatan pertambangan dan kehutanan yang berkaitan dengan
ekonomi daerah dan masyarakat.
2. Kawasan perbatasan sebagai daerah tertinggal.
Kawasan perbatasan di Kabupaten Sanggau dan Sambas, masuk
dalam kategori daerah tertinggal karena kurangnya perhatian
pemerintah. Kebijakan pembangunan saat ini cenderung menjadikan
dua kawasan perbatasan hanya difungsikan sebagai sabuk
keamanan.
3. Kendala geografis.
Secara geografis kawasan perbatasan merupakan daerah yang
sangat luas. Di Kalimantan Barat saja panjang garis perbatasan 966
km, sehingga cukup menyulitkan dalam penanganan terutama
ditinjau dari aspek rentang kendali pelayanan, kebutuhan dana, dan
kebutuhan aparatur. Kondisi ini semakin diperparah oleh kondisi
infrastruktur jalan yang relatif sangat terbatas baik kualitas maupun
kuantitasnya.
4. Adanya inkonsistensi antara perencanaan dengan pelaksanaan.
Di dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 – 2004 dan
dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000 – 2004 telah
diamanatkan perlunya arah kebijakan dan program pembangunan
wilayah perbatasan, namun pada tataran implementasi tidak

87
Partnership for Governance Reform, 2011, Kebijakan Pengelolaan Kawasan
Perbatasan Indonesia, Partnership Policy Paper No. 2/2011, Jakarta
http://www.kemitraan.or.id/sites/default/files/20111125095137.Policy%
20Brief%202%20PSG%20arsip_2.pdf

117
terbukti, karena selama periode 1999 – 2004 tidak terjadi
peningkatan kegiatan pembangunan yang signifikan di kawasan
perbatasan. Untuk pasca 2004, pembangunan kawasan perbatasan
belum menjadi prioritas kebijakan nasional.
5. Ketidakjelasan wewenang dan koordinasi.
Penanganan masalah di kawasan perbatasan membutuhkan
landasan hukum yang tegas, komprehensif dan mampu mengikat
semua pihak. Salah satunya adalah kejelasan wewenang dan jalur
koordinasi dalam pengelolaan kawasan perbatasan. Tidak jarang
masing-masing level pemerintahan berebut pengaruh di perbatasan
ketika ada potensi penerimaan dan lepas tanggung jawab pada saat
timbul masalah.
6. Rendahnya sumber daya manusia (SDM).
Kondisi ini ditunjukkan dengan rendahnya tingkat pendidikan dan
kualitas kesejahteraan penduduk dengan penyebaran yang tidak
merata dibandingkan dengan luas wilayah dan garis perbatasan
yang panjang, sehingga berimplikasi pada kegiatan pelintas batas
yang ilegal. Demikian pula banyak TKI maupun TKW yang bekerja
di luar negeri hanya sebagai buruh, pembantu rumah tangga dan
pekerja kasar lainnya, yang jelas-jelas menggambarkan rendahnya
kualitas SDM pada umumnya.
7. Kemiskinan.
Walaupun saat ini kawasan perbatasan kaya dengan sumber daya
alam dan letaknya mempunyai akses ke pasar (Serawak), tetapi
terdapat sekitar 45% desa miskin dengan jumlah penduduk miskin
sekitar 35%. Jika dibandingkan dengan penduduk Malaysia tampak
adanya ketimpangan pendapatan yang besar sekali. Akibatnya
penduduk di kawasan perbatasan tidak memiliki posisi tawar yang
sebanding dalam kegiatan ekonomi di perbatasan. Akibat lainnya
adalah mendorong masyarakat semakin terlibat dalam kegiatan
ekonomi ilegal guna memenuhi kebutuhannya.

118
8. Keterbatasan infrastruktur.
Tingkat ketersediaan dan kualitas pelayanan publik di kawasan
perbatasan masih sangat terbatas, seperti sistem perhubungan dan
telekomunikasi, pelayanan listrik dan air bersih, serta fasilitas
lainnya seperti kesehatan, pendidikan dan pasar. Hal ini membuat
penduduk di daerah perbatasan masih cenderung untuk berorientasi
ke negara tetangga yang tingkat aksesilibilitas infrastruktur fisik dan
informasinya relatif lebih tinggi. Demikian pula dengan jaringan
jalan darat di kawasan perbatasan Kalimantan Barat yang masih
kurang, membuat masyarakat lebih sering bepergian dan
berinteraksi dengan masyarakat di Serawak. Untuk fasilitas listrik,
dari 14 ibukota kecamatan yang ada di kawasan perbatasan
Kalimantan Barat, baru 6 ibukota kecamatan (43%) yang mendapat
pelayanan. Hal ini menunjukkan besarnya perbedaan kesejahteraan
masyarakat Indonesia dengan masyarakat Serawak yang hampir
seluruhnya telah mendapat layanan listrik. Ini menjadi salah satu
penyebab rendahnya investasi ke kawasan perbatasan. Akibatnya
kawasan ini menjadi daerah yang tertinggal, dan sebagian besar
penduduknya hidup dalam kemiskinan.
9. Lemahnya penegakan hukum.
Akibat penegakan hukum yang masih lemah, maka berbagai bentuk
pelanggaran hukum sering terjadi di kawasan perbatasan. Luasnya
wilayah yang harus ditangani serta minimnya prasarana dan sarana
telah menyebabkan aktivitas aparat keamanan dan kepolisian belum
dapat dilakukan dengan optimal. Ini menyebabkan lemahnya
pengawasan di sepanjang garis perbatasan. Berbagai permasalahan
seperti perubahan batas-batas wilayah, penyelundupan barang/jasa
(smuggling), pembalakan liar (illegal logging), perdagangan
manusia, anak-anak dan wanita (human trafficking) menjadi
fenomena kontemporer kejahatan lintas negara.
10. penegakan hukum.
Akibat penegakan hukum yang masih lemah, maka berbagai bentuk
pelanggaran hukum sering terjadi di kawasan perbatasan. Luasnya

119
wilayah yang harus ditangani serta minimnya prasarana dan sarana
telah menyebabkan aktivitas aparat keamanan dan kepolisian belum
dapat dilakukan dengan optimal. Ini menyebabkan lemahnya
pengawasan di sepanjang garis perbatasan. Berbagai permasalahan
seperti perubahan batas-batas wilayah, penyelundupan barang/jasa
(smuggling), pembalakan liar (illegal logging), perdagangan
manusia, anak-anak dan wanita (human trafficking) menjadi
fenomena kontemporer kejahatan lintas negara.
11. Pemanfaatan sumber daya alam belum optimal.
Potensi sumber daya alam yang berada di kawasan perbatasan
sebenarnya sangat besar, seperti bahan tambang (emas dan batu
bara), potensi hutan dan perkebunan, namun sejauh ini upaya
pengelolaannya belum dilakukan secara optimal. Selain karena
permasalahan keterbatasan infrastruktur juga terkait dengan
ketidakjelasan regulasi yang mengatur tentang masalah pengelolaan
ekonomi di kawasan perbatasan.
12. Terjadinya eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali.
Di sebagian besar kawasan perbatasan, upaya pemanfaatan sumber
daya alam dilakukan secara ilegal dan tak terkendali, sehingga
mengganggu keseimbangan ekosistem dan kelestarian lingkungan
hidup. Berbagai dampak lingkungan seperti polusi asap lintas batas,
banjir, longsor, tenggelamnya pulau kecil dan lain sebagainya terjadi.

Tantangan tersebut menunjukkan bahwa selama ini kebijakan


yang dilaksanakan di kawasan perbatasan Kecamatan Entikong belum
dimanajemen dengan baik secara terpadu. Selama ini pemerintah
Indonesia mengedepankan strategi pendekatan keamanan di garis batas
Malaysia untuk menghadapi strategi kebijakan pendekatan
kesejahteraan pemerintah Kerajaan Malaysia. Betapa sibuknya pihak
pertahanan dan keamanan Indonesia mengurusi tindak kejahatan di
garis batas yang salah satunya sebenarnya terjadi karena ketimpangan
ekonomi masyarakat perbatasan dibanding saudaranya yang berada di
negeri seberang. Bahkan Komando Militer Tanjungpura di Kalimantan

120
Barat berencana menempatkan lebih banyak prajurit dan mendirikan
pos perbatasan lebih banyak di sepanjang perbatasan sejauh 966
kilometer antara Provinsi Kalbar dan Sarawak, Malaysia. Jumlah pos
perbatasan akan ditambah dari yang saat ini 33 menjadi 42. Personil
TNI akan berjaga di pos-pos tersebut, yang didukung oleh pesawat
pengintai tak berawak88.
Program Kebijakan Bela Negara yang dilaksanakan oleh
Kementerian Pertahanan masih terbukti belum mengena pada hati
masyarakat di desa-desa perbatasan. Karena yang terjadi malah
sebaliknya, yaitu masih banyak masyarakat di perbatasan yang pindah
kewarganegaraan menjadi penduduk Malaysia akibat pernikahan dan
desakan sosial ekonomi lainnya. Fakta lainnya yaitu kurangnya usia
produktif yang bertahan hidup di desa perbatasan, karena kurangnya
lapangan kerja di daerah perbatasan sementara di Malaysia dengan
jarak begitu dekat89 sehingga banyak yang pergi menjadi tenaga kerja
(TKI) ke Malaysia. Banyaknya kebijakan yang dilaksanakan di 134
perbatasan masih sebatas pemanis bibir bagi masyarakat perbatasan
dan hanya dirasakan oleh segelintir orang yang terkait dengan program
kebijakan tersebut. Sementara kenyataannya mereka masih tetap
terkucil dan terpencil di hutan belantara.
Pada implementasi kebijakan di daerah, berbagai kementerian
yang melaksanakan program kebijakan pada bidang pengelolaan
perbatasan kadang mengalami kesulitan dalam koordinasi satu sama
lainnya, bahkan karena kurang adanya koordinasi menyebabkan timing
pelaksanaan program tidak terpadu dan tumpang tindih. Ketidak-
jelasan wewenang ini timbul akibat kebijakan yang tidak saling
mensinergikan tetapi malah sebaliknya, cenderung berseberangan dan

88
http://tni-au.mil.id, Tentara Nasional Indonesia memperkuat pertahanan di
perbatasan Kalimantan Barat. http://tni-au.mil.id/pustaka/tentara-nasional-
indonesia-memperkuat-pertahanan-di-perbatasan-kalimantan-barat.
89
Dibutuhkan sekitar 3 jam jalan darat untuk menuju Putussibau, ibukota Kabupaten
Kapuas Hulu dan sekitar 16 jam perjalanan darat bila menuju ke Kota Pontianak,
Ibukota Provinsi, dan dibutuhkan 3 jam jalan darat menuju Kota Kuching, Sarawak,
Malaysia.

121
hanya akan fokus pada sektornya masing-masing. Karena masing-
masing mereka berpegang pada Undang-undang atau peraturan
pemerintah yang memang menuntut mereka untuk berbuat seperti itu.90
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 yang membentuk
Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) sebagai lembaga yang
memiliki tanggung jawab utama mengelola perbatasan dengan sektor
terdepan belum juga memberikan hasil yang maksimal bagi
pemberdayaan masyarakat desa di kawasan perbatasan Kecamatan
Entikong. Badan tersebut belum mampu menjadi koordinator pada
setiap program kebijakan yang menyangkut perbatasan pada berbagai
kementarian lainnya seperti Kementerian Pertahanan, Kementerian
Luar Negeri, Kementerian Desa dan PDT serta Bappenas karena
menyangkut urusan dapur kementerian tersebut.
Strategi pendekatan yang kurang berdampak pada masyarakat
dan kebijakan yang saling tumpang tindih antara berbagai kementerian
serta terbatasnya kewenangan Pemerintah Kabupaten sepanjang
perbatasan di Kalimantan Barat dalam pengelolaan kawasan perbatasan
akibat kebijakan UU Nomor 23/2014 dan PP Nomor 18/2016 membuat
kawasan perbatasan di Kecamatan Entikong dan Kecamatan Nanga
Badau kurang berkembang maju sebagaimana saudaranya di negeri
tetangga.
Keterbatasan tersebut tercermin dalam penanganan
pengelolaan perbatasan di tingkat kabupaten. Pada tingkat Provinsi dan
kabupaten masing-masing di wilayah perbatasan telah di bentuk Badan
Pengelola Perbatasan pada tahun 201191, seperti Badan Pengelola

90
Harmen batubara, Perbatasan, Membenahi Kebijakan Pengelolaan Perbatasan,
November 18th, 2015, http://www.wilayahperbatasan.com/ perbatasan-
membenahi-kebijakan-pengelolaan-perbatasan.
91
Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016, Badan Perbatasan
yang ada di Daerah Kabupaten ditutup dan urusannya ditangani oleh pejabat
setingkat Kepala Bagian atau Kepala Sub Bagian pada Organisasi Sekretariat Daerah,
setelah terbitnya Permendagri Nomor 140 Tahun 2017 tentang pembentukan
badan pengelola perbatasan di daerah, sampai saat ini Kabupaten Sangau belum
membentuk Badan perbatasan tersebut.

122
Perbatasan, Pedalaman dan daerah Tertinggal Provinsi Kalimantan
Barat dan Badan Pengelola Perbatasan Kabupaten Sanggau
Dalam pelaksanaan tupoksinya belum mampu
memberdayakan masyarakat desa di wilayah perbatasan. Contohnya
pada Peraturan Daerah Kabupaten Sanggau Nomor 8 Tahun 2011
tentang Badan Pengelola Perbatasan Kabupaten Sanggau92, yang
menetapkan penyelenggaraan fungsi BPP Kab Sanggau salah satunya
yakni Penyusunan program dan kebijakan pembangunan sarana dan
prasarana perhubungan dan sarana lainnya di kawasan perbatasan
Kabupaten Sanggau. Namun sejak badan ini terbentuk tahun 2011
sampai dengan sekarang, fungsi ini pun belum terlaksana dengan baik,
karena badan ini tidak memiliki anggaran untuk pelaksanaan kegiatan,
yang ada hanya anggaran operasional kantor. Hal ini terlihat pada
keadaan di Kecamatan Entiokong khususnya di desa Suruh
Tembawang dan desa Pala Pasang yang sampai saat ini belum ada
sarana dan prasarana perhubungan darat kecuali melalui sungai.
Sarana dan prasarana antar dusun di desa pun juga masih belum ada,
apalagi mengharapkan sarana lainnya seperti kesehatan dan
pendidikan yang lebih memadai.
Ada 4 (empat) hal yang perlu segera dibenahi dalam
pemberdayaan dan pembangunan desa-desa perbatasan, sehingga
sedikit-demi sedikit mengangkat martabat bangsa dan menumbuhkan
semangat yang dapat memperkuat kedaulatan negara. Ke empat hal
tersebut yakni; 93
1. Pembangunan jalan antar dusun
Pembangunan jalan dan jembatan yang menghubungkan dusun
yang satu dengan lainnya, utamanya antara dusun dengan pusat
desa berguna sebagai prasarana transportasi darat untuk
mengangkut hasil bumi berupa padi, sayuran dan hasil kebun serta

92
Kabupaten Sanggau, Peraturan Daerah Kabupaten Sanggau Nomor 8 Tahun 2011
tentang Badan Pengelola Perbatasan Kabupaten Sanggau pasal 6 huruf e.
93
Irfan Setiawan, Sebuah Asa di Desa Perbatasan NKRI, Suara Khatulistiwa, Jurnal
Ilmu Pemerintahan, Volume I, No 2. Desember 2016.

123
hasil kerajinan tangan penduduk pada tiap dusun di desa
perbatasan. Jalan dan jempabatn penghubung antar dusun tersebut
dapat mempererat interaksi sosial ekonomi masyarakat satu dengan
lainnya. Jalan dan jembatan penghubung antar dusun ke pusat desa
minimal dapat dilalui oleh motor roda dua dan roda tiga sehingga
kebutuhan masyarakat di tiap dusun dapat dipasok dengan baik dan
lebih cepat dibanding melalui jalan kaki ataupun perahu motor.
2. Penyediaan sarana dan prasarana kesehatan
Saking terpencilnya desa-desa perbatasan di Kalimatan Barat
sehingga petugas kesehatan terkendala sarana dan prasarana serta
anggaran untuk dapat bertugas sebagai mana mestinya. Sangat
diperlukan petugas kesehatan yang berdedikasi tinggi terhadap
tugasnya dan terhadap kedaulatan bangsa. Beberapa dusun
terpencil di dekat tanda batas negara tidak pernah dikunjungi
petugas kesehatan. Masyarakat di dusun tersebut hanya sering
dibantu oleh anggota TNI yang bertugas di pos batas negara dengan
pengetahuan dan pengobatan seadanya. Bila infrastruktur jalan dan
jembatan antar dusun telah tersedia, akan sangat membantu para
petugas kesehatan untuk mengunjungi secara rutin di dusun-dusun
terpencil tersebut.
3. Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan
Pada beberapa dusun yang jauh dari pusat desa terdapat beberapa
bangunan sekolah dasar yang tidak memiliki guru sama sekali.
Anak-anak usia sekolah tidak dapat mendapatkan pendidikan
sekolah sebagaimana teman-temannya sebayanya yang berada di
pusat desa. Beberapa SD pernah di datangi oleh guru untuk
mengajar namun tidak mampu bertahan dengan kondisi yang
terpencil. Desa Suruh Tembawang dengan luas 148,88 km dan
berada 42 km dari pusat kecamatan sangat sulit dijangkau oleh
guru-guru yang bertugas di daerah tersebut. Diperlukan
pengorbanan dan jiwa besar serta kemampuan bertahan hidup
untuk dapat mengabdi sebagai tenaga pendidik di daerah tersebut.
Harapannya pun tetap tergantung pada jalan dan jembatan

124
penghubung antar dusun agar dapat dikunjungi oleh guru-guru
yang bertugas pada SD tiap dusun tersebut.
4. Pemberdayaan masyarakat dalam usaha ekonomi desa
Masyarakat di Desa Suruh Tembawang Dan Desa Pala Pasang
sangat terbatas dalam pengembangan usaha ekonomi desa. Usaha
warung dan lainnya sulit berkembang dengan keadaan seperti
sekarang ini. Pelatihan-pelatihan untuk membangkitkan usaha
ekonomi di desa tidak segampang bila dijalankan dengan kondisi
tanpa akses transportasi yang lebih murah. Usaha simpan pinjam
Credit Union (CU) yang beroperasi di pusat desa Suruh Tembawang
menjadi tumpuan bagi masyarakat di desa tersebut tidak dapat
berkembang lebih baik karena permodalan yang terbatas.
Pemberdayaan masyarakat untuk membentuk koperasi dan
mengembangkan alternatif usaha ekonomi lainnya sangat perlu
didukung. Dengan banyaknya timbul usaha ekonomi lainnya akan
dapat memberi harapan untuk menetap di desa dan tidak
meninggalkan desanya untuk mencari usaha dan pekerjaan lain di
negara tetangga.

Pembenahan keempat hal tersebut dapat dilakukan oleh


masyarakat desa di dukung oleh pemerintah desa dan daerah.
Pembangunan jalan dan jembatan antar dusun sehingga dapat dilalui
oleh motor roda dua dan tiga, perlu didukung oleh pemerintah melalui
penyaluran anggaran ke desa. Anggaran yang dikelola desa di
Kabupaten Sanggau pada tahun 2016 ini berasal dari anggaran Alokasi
Dana Desa (ADD) sebesar Rp 92.694.800.200,- Dana Desa sebesar Rp
101.979.243.000,- dan dana bagi hasil pajak dan retribusi daerah sebesar
Rp 3.155.828.795,-. Total anggaran mencapai sebesar Rp.
197.829.871.995,- dibagi ke 163 desa, sehingga rata-rata desa akan
mendapatkan Rp. 1.213.680.196,- untuk dikelola guna membangun desa.
Dana sekitar 1,2 M untuk membangun infrastruktur jalan dan
jembatan di desa terpencil dan luas tentunya belumlah cukup, apalagi
bila dana yang diterima desa tentunya tidak diperuntukkan
pembangunan jalan dan jembatan saja. Pengembangan usaha desa juga

125
sangat dibutuhkan masyarakat, baik itu yang berasal dari masyarakat
yang melalui dana PNPM maupun anggaran lainnya. Perlu dukungan
semua pihak terutama pihak BPP Kabupaten Sanggau untuk
menjalankan fungsi dalam pengelolaan dan pembangunan di wilayah
perbatasan. Dana pembangunan wilayah perbatasan jangan hanya
difokuskan pada masyarakat yang berada di sekitar Pos Lintas Batas
Negara saja, namun masyarakat yang di dusun-dusun perbatasan
terbengkalai.
Pendekatan pada masyarakat yang selama ini dijadikan obyek
dari kegiatan harus diubah menjadi pelaku atau subyek dari kegiatan
yang masuk di desa-desa perbatasan. Bila tenaga pendidik dan tenaga
kesehatan tidak betah dan mampu bertahan di daerah yang sangat
terpencil di desa perbatasan, mengapa pemerintah tidak mengkaderkan
dan mendidik beberapa orang dari desa-desa perbatasan untuk menjadi
tenaga pendidik dan tenaga kesehatan?.
Melatih dan mendidik masyarakat setempat untuk menjadi
pilot projek dan bertugas di kampung sendiri serta membangun
desa/dusunnya, tentu menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat
di desa perbatasan. Tidak ada lagi perasaan tidak betah atau tidak
mampu bertahan di dusun terpencil bila orang yang bertugas sebagai
tenaga pendidik dan petugas kesehatan adalah orang dari dusun itu
sendiri. Selama ini pemerintah melihat mereka sebagai “obyek
penderita” yang harus dibantu tanpa memberdayakannya untuk
mengatasi kebutuhan mereka sendiri.
Kita selalu pesimis melihat tingkat pendidikan masyarakatnya
yang rendah, merasa kalau mereka sulit untuk berubah, sementara
yang menjadi kendala itu berada dipihak pemerintah atau pihak yang
berada dari luar desa tersebut. Guru-guru kita yang tidak mau bertugas
di daerah terpencil di perbatasan, perawat, bidan dan dokter kita yang
tidak mampu bertahan di daerah pedalaman serta pemerintah kita
belum mampu memberdayakan masyarakat di desa perbatasan.
Strategi pemerintah Malaysia di perbatasan darat Kalimantan
melalui pendekatan kesejahteraan seharusnya dihadapi dengan

126
pendekatan kesejahteraan terpadu. Melalui pendekatan kesejahteraan
terpadu ini diharapkan akan dapat mengejar ketinggalan masyarakat
desa perbatasan dengan saudaranya yang berada di negeri seberang.
Program kebijakan pemberdayaan dan pembangunan masyarakat
perbatasan perlu dikelola dan dikoordinir secara terpadu di bawah satu
wadah setingkat Menko (Kenteri Koordinator) karena bila hanya
setingkat Badan (BNPP) akan sulit mengkoordinir kegiatan pada
masing-masing kementerian sebagaimana yang terjadi selama ini.
Pengelolaan secara terpadu tersebut diharapkan dapat
menghilangkan ego sektoral masing-masing kementerian dan dapat
berbuah straregi kebijakan yang benar-benar dapat memberdayakan
masyarakat serta terlaksana secara terpadu. Penerapan kebijakan
tersebut pun harus menyentuh kebutuhan real masyarakat perbatasan,
bukan hanya sekedar berkunjung kemudian selesai acara berakhir
pulalah manfaat yang didapatkan oleh masyarakat desa perbatasan.
Pelaksanaan kebijakan yang diharapkan dapat memberikan manfaat
secara berkelanjutan.
Pada kebijakan di kecamatan sesuai dengan kebijakan pada
pasal 361 dan 362 UU Nomor 23/2014, diharapkan terbentuk kecamatan
plus atau setingkat “kota administratif” yang dapat berfungsi seperti
kota kecil yang mampu memberikan akses pelayanan pemerintahan
dan penyediaan fasilitas umum yang memadai. Pada fenomena ini kita
dapat bercermin seperti pengelolaan Tebedu Border Town. Walaupun
daerah kecil ini merupakan pemerintahan kecil dibawah administratif
devision of serian namun berkembang layaknya kota kecil bahkan tidak
jauh dari Tebedu, terdapat hotel bintang 4 yang dilengkapi lapangan
golf (Borneo Highlands Resort) yang berbatasan langsung dengan desa
Palapasang dan desa suruh tembawang. Sehingga nampak sekali
perbedaan sosial ekonomi masyarakat diperbatasan kedua negara
Indonesia-Malaysia. 94
Pembentukan kantor Kecamatan Plus setingkat “kota
administratif” di sepanjang perbatasan Kalimantan yang didukung

94
Op cit

127
dengan sarana dan prasarana transportasi ini selain untuk
memudahkan pelayanan kepada masyarakat sekitar perbatasan juga
dapat berfungsi sebagai counter attack terhadap strategi kebijakan
perbatasan pemerintah Malaysia. Sehingga masyarakat perbatasan
tidak perlu lagi berjalan kaki menuju kampung-kampung di Malaysia
untuk menjual hasil pertanian dan perkebunannya serta untuk kegiatan
pendidikan. Tapi dapat langsung membawa ke pasar-pasar semi
modern di pusat “kota administratif” (kecamatan plus). Guru-guru dan
petugas kesehatan serta petugas keamanan yang selama sulit
mengakses desa-desa perbatasan, dengan adanya jalan penghubung
antar kota administratif maka tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk
mangkir dari tugas.
Kegiatan pemerintahan di kota administratif pun seharusnya
agak berbeda dan lebih diistimewakan dari kantor kecamatan pada
umumnya. Dari segi tata laksana dan anggaran pun kota administratif
di sepanjang perbatasan perlu didukung oleh pemerintah daerah dan
pemerintah pusat. Program kebijakan dan kegiatan pembangunan
masyarakat perbatasan yang berasal dari berbagai kementerian, tidak
perlu melalui struktur birokrasi yang terlalu panjang. Sehingga dana
kegiatan yang berasal anggaran pusat pun tidak banyak tercecer pada
tataran pemerintah provinsi dan kabupaten, yang sering menyisakan
setetes di lokasi desa perbatasan.
Namun kendalanya sistem dan organisasi kecamatan plus
dalam bentuk kota administratif tidak dikenal pada kebijakan otonomi
daerah menurut undang-undang nomor 23 tahun 2014, namun yang
ada pada pasal 361 dan 362 yaitu; Pembentukan Kecamatan di kawasan
perbatasan yang ditetapkan dengan Perda Kabupaten/Kota setelah
mendapatkan persetujuan dari Menteri. Susunan organisasi dan tata
kerja Kecamatan di kawasan perbatasan serta persyaratan dan tatacara
pengangkatan camat ditetapkan dengan Peraturan Menteri95 setelah

95
Setelah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2018 tentang Kecamatan,
tidak ada satupun pasal yang membreakdown pasal UU no 23 Tahun 2014

128
mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan bidang pendayagunaan aparatur negara. Berdasarkan hal
tersebut Kecamatan Entikong, Kecamanatan Nanga Badau, Kecamatan
Aruk dan Kecamatan di kawasan perbatasan lainnya dapat
menyesuaikan struktur organisasi yang lebih mempunyai nilai plus
dibandingkan kecamatan lainnya baik dari segi anggaran maupun
struktur organisasi.
Struktur organisasi Kantor Camat tersebut sebaiknya setara
dengan eselon IIb atau dengan Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama
sehingga dapat mengkoordinir organisasi pemerintah lainnya wilayah
yang ada di kawasan perbatasan, baik itu dari unsur TNI, Polri,
Kejaksaan, Bea cukai, Imigrasi dan unsur Pos Lintas Batas Negara
(PLBN) serta unsur pemerintah daerah yang ada di wilyah kecamatan
perbatasan. Dalam UU Nomor 23 tahun 2014 Camat mempunyai tugas
sebagai berikut
a. menyelenggaraan urusan pemerintahan umum
b. mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;
c. mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan
ketertiban umum;
d. mengoordinasikan penerapan dan penegakan Perda dan Perkada;
e. mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan sarana pelayanan
umum;
f. mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan yang
dilakukan oleh Perangkat Daerah di Kecamatan;
g. membina dan mengawasi penyelenggaraan kegiatan Desa
dan/atau kelurahan;
h. melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah kabupaten/kota yang tidak dilaksanakan oleh unit kerja
Perangkat Daerah kabupaten/kota yang ada di Kecamatan; dan
i. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

mengenai organisasi dan tatakerja organisasi kecamatan di wilayah perbatasan.


Dan permendagri mengatur hal tersebut juga sampai saat ini belum dikeluarkan.

129
Selain melaksanakan tugas sebagaimana tersebut di atas, camat
mendapatkan pelimpahan sebagian kewenangan bupati/walikota untuk
melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah kabupaten/kota. Pelimpahan kewenangan
bupati/walikota dilakukan berdasarkan pemetaan pelayanan publik
yang sesuai dengan karakteristik Kecamatan dan/atau kebutuhan
masyarakat pada Kecamatan yang bersangkutan. Kewenangan yang
dilimpahkan bupati/walikota kepada camat misalnya kebersihan di
Kecamatan tertentu, pemadam kebakaran di Kecamatan tertentu dan
pemberian izin mendirikan bangunan untuk luasan tertentu. 96
Selain hal tersebut pelimpahan yang perlu diberikan di wilayah
kecamatan terpencil, pulau terluar atau berada jauh dari jangkauan
pemerintah kabupaten/kota yaitu pencetakan administrasi
kependudukan seperti Kartu Keluarga, Akte Kelahiran dan e-KTP,
sehingga masyarakat daerah kecamatan terpencil, dan pulau terluar
ttidak keluar biaya yang besar dalam pengurusan admnistrasi
kependudukan tersebut.
Dalam mengoordinasikan pelaksanaan pembangunan kawasan
perbatasan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dibantu oleh
bupati/walikota. Bupati/walikota dalam memberikan bantuan
pelaksanaan pembangunan kawasan perbatasan tersebut dapat
menugaskan camat di kawasan perbatasan. Penugasan camat di
kawasan perbatasan dimaksudkan untuk menyelengggarakan tugas
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dalam memberikan
pelayanan langsung yang dipandang tidak efisien apabila dilaksanakan
sendiri oleh kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian,
sehingga dapat ditugaskan kepada camat, misalnya pelayanan
keimigrasian di pos lintas batas di Daerah terpencil.
Urgensi peningkatan peran Camat dalam penyelenggaran
pemerintahan di kawasan perbatasan sebagaimana diamanatkan dalam
UU Nomor 23/2014 pasal 361 dan 362 seharusnya dapat didukung

96
Hal ini termuat dalam lampiran penjelasan 361 ayat 6 Undang-undang nomor 23
tahun 2014

130
dalam PP Nomor 18/2016, namun sayangnya dalam PP tersebut tidak
memuat aturan pendukung peningkatan peran Organisasi kantor
Camat di daerah perbatasan. Eselonisasi Jabatan Camat dalam PP
tersebut tetap sama seperti kebijakan sebelumnya yaitu eselon III/a.
Indikator pemetaan intensitas urusan pemerintahan dan penentuan
beban kerja camat dalam perhitungan variabel umum dan variabel
teknis yang menentukan bentuk tipe kecamatan, apakah termasuk tipe
A atau tipe B hanya diukur berdasarkan; luas wilayah kecamatan per
Km2, Jumlah kelurahan/desa, dan Jumlah penduduk kecamatan
sebagaimana yang dijelaskan dalam tabel berikut ini:
Tabel 2.6.
Indikator Pemetaan Intensitas Urusan Pemerintahan
dan Penentuan Beban Kerja Kecamatan
No Indikator & Kelas Interval Skala Nilai Bobot (%) Skor
1. Luas wilayah kecamatan (km2)
a. < 5 200 40
b. 6 – 10 400 80
c. 11 – 50 600 20 210
d. 51 – 100 800 160
e. > 100 1000 200
2. Jumlah Kelurahan/Desa atau nama lain
a. < 5 200 70
b. 6 – 10 400 140
c. 11 – 15 600 35 210
d. 16 – 20 800 280
e. > 21 1000 350
3. Jumlah Penduduk kecamatan
a. < 2500 200 50
b. 2501 – 5000 400 25 100
c. 5001 – 10.000 600 150
d. 10.001 – 15.000 800 200
e. > 15.000 1000 250
Sumber: lampiran PP Nomor 18/2016 tentang Perangkat Daerah

131
Dari ketiga indikator tersebut belum dapat menampakkan
beban kerja Camat yang sedemikian kompleks sesuai tugas sesuai
peraturan perundangan dan pelimpahan tugas dari bupati apalagi bila
ditambahkan beban kerja camat yang beraada di wilayah kawasan
perbatasan. PP No 18 Tahun 2016 tersebut telah mengunci struktur
organisasi kecamatan dan eselonisasinya dengan besaran 1 sekretaris
beserta 2 subbag dan paling banyak 5 kepala seksi untuk tipe A,
sementara Kecamatan tipe B terdiri dari 1 sekretaris beserta 2 subbag
dan paling banyak 4 kepala seksi.
Dengan Peraturan Pemerintah tersebut secara otomatis tidak
dapat menjalankan amanat pasal 362 ayat (2) yaitu Susunan organisasi
dan tata kerja Kecamatan di kawasan perbatasan serta persyaratan dan
tata cara pengangkatan camat ditetapkan dengan Peraturan Menteri
setelah mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan bidang pendayagunaan aparatur negara.
Peraturan setingkat menteri (Permen) mengenai Susunan organisasi
dan tata kerja kantor Kecamatan di kawasan perbatasan tidak akan
dapat menyalahi kebijakan yang telah diatur dalam PP tersebut.
Diperlukan kebijakan setingkat Peraturan Pemerintah yang dapat
“membijaki” pengaturan tersebut dan yang menjelaskan susunan
organisasi dan tata kerja Kecamatan di kawasan perbatasan misalkan
pada Peraturan Pemerintah Pengelolaan Perbatasan.
Perlu adanya penyesuaian dan perencanaan strategi
pengelolaan perbatasan yang terpadu dari seluruh kementerian terkait
beserta DPR dan DPD guna mengejar ketinggalan desa-desa di
Kecamaan perbatasan dari kampung-kampung di negeri tetangga
Malaysia. Perencanaan strategi yang lebih matang sehingga tercipta
suatu kebijakan terpadu dalam pengelolaan daerah perbatasan,
tentunya diharapkan suatu strategi yang dapat mengcounter attack
strategi pengelolaan perbatasan pemerintahan Malaysia yang selama
ini diterapkan.

132
UNTUK VERSI LENGKAPNYA
DAPAT DIBACA DI
GOOGLE BOOKS
https://books.google.co.id/books/about/Handbook_Pemerintahan_Daer
ah.html?id=oJBiDwAAQBAJ&redir_esc=y

GOOGLE PLAY
https://play.google.com/store/books/details?id=oJBiDwAAQBAJ&rdid=
book-
oJBiDwAAQBAJ&rdot=1&source=gbs_atb&pcampaignid=books_books
earch_atb

Atau di BUKALAPAK
https://www.bukalapak.com/p/hobi-koleksi/buku/politik/to1ft3-jual-
buku-handbook-pemerintahan-daerah?keyword=

TOKOPEDIA
https://www.tokopedia.com/irfanbuku/handbook-pemerintahan-daerah

133
DAFTAR PUSTAKA

a. Buku/Jurnal

Ali, Faried,. 1999, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif di


Indonesia, Rajawali Press, Jakarta.
Appadorai A. 1975, the Substance of Politics, New Delhi Oxford
University Press.
Arikunto, S. 2010. Prosedur penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. (Edisi.
Revisi). Jakarta : Rineka Cipta
Astuti, P. D. dan Arifin S. 2005. Hubungan Intellectual Capital dan Business
Perfomance dengan Diamond Spesification: Sebuah Perspektif
Akuntansi. SNA VIII, hlm. 694-707
Amirudin dan Bisri, A. Zaini, 2006, Pemilihan kepala daerah (pilkada)
Langsung Problem dan Prospek Sketsa Singkat Perjalanan Pemilihan
kepala daerah (pilkada) 2005, Pusataka Pelajar , Yogyakarta.
Benda, Harry J. (dkk.), 1965. Japanese Military Administration in Indonesia:
Selected Documents. Yale University Southeast Asia Studies.
Asshiddiqie, Jimly, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta:
Konstitusi Press.
……………, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:
Sekretariat dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia, 2015, katalog BPS 1101001.
Badrudin, Rudy, 2012. Ekonomika Otonomi Daerah. Yogyakarta: UPP
STIM. YKPN. 281
Bahri, T.Saiful, dkk., 2004, Hukum dan Kebijakan Publik, Yayasan
Pembaharuan Administrasi Publik Indonesia (YPAPI),
Yogyakarta.
Barr, Nicholas, 2004, The economics of the welfare state, 4th ed, Oxford:
Oxford University Press
Barney, 1991, Firm resources and sustained competitive advantage", Journal
of Management,. Vol.17 No. 1, pp. 99-120
Batubara, Harmen, Perbatasan, Membenahi Kebijakan Pengelolaan
Perbatasan, Posted on November 18th, 2015,

134
http://www.wilayahperbatasan.com/ perbatasan-membenahi-
kebijakan-pengelolaan-perbatasan.
Bhagwati, Jagdish N., 1969, The Generalized Theory Of Distortions And
Welfare, Working Paper Department of Economics,
Massachusetts Institute of Technology, Massachusetts.
Bouskela, Mauricio dkk, 2016, The Road toward Smart Cities, Migrating
from Traditional City Management to the Smart City, Inter-
American Development Bank (IDB)
Bryant dan White. 1987. Manajemen Pembangunan Untuk Negara
Berkembang, Cetakan Pertama, Alih Bahasa Rusyanto L.
Simatupang, LP3ES, Jakarta.
Cohen M, John and Peterson B, Stephen. 1999, Administrative
Decentralization (Strategies for Developing Countries), Kumarian
Press, USA.
Davey, K.J., 1988. Pembiayaan Pemerintah Daerah (Praktek-praktek.
Internasional dan Relevansinya bagi Dunia Ketiga), Jakarta,
UI – Press.
Deardorff, V, 2014, Terms of Trade, Glossary of International Economics,
2nd Edition, University of Michigan, USA.
Devas, Nick dkk, 1989, Keuangan Pemerintah Daerah Di Indonesia,
Penerbit Universitas. Indonesia press, Jakarta.
Djoened, Marwati, 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. Balai Pustaka,
Jakarta.
Dwipayana, Ari, 2008, Arah dan Agenda Reformasi DPRD: Memperkuat
Kedudukan dan Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
Jakarta: USAID.
Fauzi, A. 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Gramedia
Pustaka. Utama. Jakarta
Grima, A.P.L and F. Berkes. 1989, Natural Resources: Acces, Right to Use
and Management in Berkes, F. (ed) Common Property Resources:
Ecology and Community based Sustainable Development. Belhaven
Press, London.

135
Guruh LS, Syahda, 2000, Menimbang Otonomi vs Federal Mengembangkan
Wacana Federalisme dan Otonomi Luas Menuju Masyarakat Madani
Indonesia, Rodakarya, Bandung.
Halim, Abdul, 2004, Akuntansi Keuangan Daerah, Jakarta, Salemba Empat.
Hamidi, Jazim, 2011, Optik Hukum Peraturan Daerah Bermasalah, Prestasi
Pustaka, Jakarta.
Hamdi, Muchlis, 2002, Bunga Rampai Pemerintahan, Yasrif Watampone,
Jakarta.
Harian Equator, edisi 6 agustus 2011, “Perbatasan di ambang disintegrasi”
memberitakan bahwa 61 orang penduduk Dusun Gun Jamak, Desa
Suruh Tembawang Kecamatan Entikong Sanggau, pindah menjadi
warga negara Malaysia.
…………., edisi 6 agustus 2011, “Gubernur Tuding Bupati Kurang Peka”
Harsono. S.H., 1992, Hukum Tata Negara Pemerintahan Lokal Dari Masa Ke
Masa. Liberty, Yogyakarta.
Hersey, Paul and H, Kenneth, 1988, Blanchard, Management and
Organizational Behavior (5th Ed.) Utilizing Human Resources,
Englewood Cliffs, Prentice Hall, New Jersey.
Heymans, C. &Totemeyer, G., 1988 “Government by the people? Politics of
local government in South Africa, Kenwyn: Juta& Co. Ltd.
Hoessein, Benyamin, 1999, Landasan Filosofis tentang Pembentukan
Daerah Otonom di Indonesia, IULA-ASPAC,.
.................. 2000. ”Hubungan Penyelenggaraan Pemerintahan Pusat dengan
Pemerintahan Daerah”, Jurnal Bisnis & Birokrasi No.1/Vol.1/Juli.
Departemen Ilmu Administrasi Fisip-UI.
Huda, Ni'matul, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusamedia,
Bandung.
…………., 2009, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan dan
Problematika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Ishaq,M. 2013, Pembinaan Nasionalisme Pemuda Perbatasan Melalui
Program Pendidikan Luar Sekolah, Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 17,
Nomor 6, Oktober 2011, Universitas Negeri Malang.

136
Ishkineeva, Guzel dkk, 2015, Major Approaches towards Understanding
Smart Cities Concept, Kazan Federal University, Kazan, Russia
Federation.
Ismansyah dan Sulistyo, Purwantoro Agung, 2010, Permasalahan Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme di Daerah serta Strategi Penanggulangannya,
Jurnal Demokrasi Vol. IX No. 1 Th. 2010, Universitas Negeri
Padang.
Johannes, Ayu Widowati, 2015, Analisis Distorsi Kebijakan Dalam
Pelaksanaan Penarikan Retribusi Parkir Di Kota Manado
Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Ilmu Pemerintahan
Widyapraja, Institut Pemerintahan Dalam Negeri VOL XLI
No 1 Tahun 2015.
Kaho, Josef Riwu, 2007, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik
Indonesia, Jakarta: Rajawali Press.
Kansil, C.S.T. 2008, Pemerintahan Daerah di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika.
Koswara, E, 1999. Otonomi Daerah yang Berorientasi Kepada Kepentingan
Rakyat, Widya Praja HP, Jakarta.
Kota Kita, Kolom Wawancara, Farid Subkhan, CEO Citiasia Inc:
“Indonesia Cerdas Dimulai dari Daerah Cerdas”, Majalah Asosiasi
Pemerintah Kota Seluruh Indonesia, Volume XII, Januari 2016.
Kristiono, Natal, 2015, Buku Ajar Otonomi Daerah, Universitas Negeri
Semarang, Semarang.
Kyenge .J., 2013, The Challenges of Local Government Administration in
Nigeria, J. of Management and Corporate Governance Vol.5,
No.1, Pp. 70-76.
Labolo, Muhadam, 2012, Meperkuat Pemerintahan Mencegah Negara Gagal;
Sebuah ikhtiar mewujudkan Good Goovernance dan Negara
Kesejahteraan. Kubah Ilmu (Kelompok Grafindo Khasanah Ilmu),
Jakarta.
luwuraya.net, Sebagian Besar Pemilihan Gubernur dan Walikota di Negara-
Negara Eropa Dilakukan Tidak Langsung. Diakses pada tanggal 05
Juni 2017. http://www.luwuraya.net/?p=36031

137
okezone.com, Lakukan Money Politic, Anak Calon Bupati di Pilkada
Jayapura Dicokok Polisi, News, Nusantara, Rabu, 15 Februari
2017 – (18:44), 191
Madhani, Pankaj M. 2009, Resource Based View: Concepts and Practices, ed.,
pp. 3-. 22, Icfai University Press, Hyderabad, India 304
Mahsun, Moh, dkk 2011, Akuntansi Sektor Publik, Yogyakarta, BPFE.
Manan, Bagir. 1994. Hubungan Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Mardiasmo, 2002, Akuntansi Sektor Publik, Penerbit Andi, Yogyakarta.
Ndraha, Taliziduhu, 2005, Keybernology, Sebuah carta pembaharuan, Sirao
Credentia Center, Banten
Nugroho, Riant D, 2000, Otonomi Desentralisasi Tanpa Revolusi, Kajian
dan Kritik atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, PT.Elex Media
Komputindo, Jakarta.
Palmisano, Samuel. Welcome to the Decade of Smart. IBM. 2010.
Pamudji, S., 1982. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, Bina Aksara,
Jakarta.
Prihatmoko, Joko J., 2005, Pemilihan Kepala Daerah Langsung; Filosofi,
Sistem, dan Problema Penerapan di Indonesia, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Pudehokang, Chelsy Adelin Elsa, 2013, Implementasi Peraturan Daerah
Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Retribusi Parkir di Kota
Manado (Suatu Studi pada Unit Pelaksana Teknis Perparkiran Dinas
Perhubungan Kota Manado), Manado, Universitas Sam Ratulangi.
Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Bahasa
Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional , Jakarta.
Rahmad, Paisal, 2014, Implementasi Kebijakan Retribusi Pelayanan Parkir
Di Tepi Jalan Umum, Studi Kasus Di Jalan Pahlawan Pasar Segiri
Kota Samarinda, Samarinda, Tesis, Fisip Ummul.
Ricardo Go, Edwar, dkk, Analisis Penerimaan Retibusi Parkir Kota Manado
Tahun 2008-2012, Manado, Jurnal Riset Akuntansi Going
Concern, Vol. 8 No. 3, September 2013, Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, Universitas Sam Ratulangi.

138
Shah, A. and Schacter, M. (2004), “Combating corruption: look before you
leap‟, Finance & Development, Vol. 41 No. 4 (December)
Setiawan, Irfan, 2016, Sebuah Asa di Desa Perbatasan NKRI, Suara
Khatulistiwa, Jurnal Ilmu Pemerintahan, Volume I, No 2.
Desember 2016.
Sinamo, Nomensen, 2010, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia,
Jakarta: Pustaka Mandiri.
Soejito, Irawan, 1981, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
Bina Aksara, Jakarta.
Soemitro, Rochmat, 1986, Asas dan Dasar Perpajakan I, Bandung, PT.
Eresco.
Subarsono, A.G, 2005, Analisis Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Sumodiningrat, Gunawan. 1996. Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan
Masyarakat: Kumpulan Esei tentang Penanggulangan
Kemiskinan. Jakarta: Bina Rena Pariwara. Suharto, Edi, 2010,
Analisis Kebijakan Publik, Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan
Kebijakan Sosial, Alfabeta, Bandung.
Suparno, 2015, Pelaksanaan Prinsip-prinsip Pengelolaan Keuangan Dalam
Pengelolaan Alokasi dana Desa (ADD) Di Desa Suruh Tembawang
Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau. Jurnal Publika, Ilmu
Administrasi Negara, Universitas Tanjungpura Vol 4 No. 4
Edisi Desember 2015, Pontianak.
Surbakti, Ramlan, Understanding the Flaws in Indonesia’s Electoral
Democracy, dalam Strategic Review, The Indonesian Journal of
Leadership, Policy and World Affairs, Volume 4, Number 1
January-March 2014.
Suwandi, Made. 2007. Pokok-pokok Pikiran; Konsepsi Dasar Otonomi
Daerah Indonesia (Dalam Upaya Mewujudkan Pemerintahan Daerah
yang Demokratis dan Efisien), Ditjen Otda Depdagri, Jakarta.
Samsudin, Sadili, 2010, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bandung: CV
Pustaka Setia.

139
Syaukani, 2011, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Pustaka Relajar,
Yogyakarta.
Tachjan, 2006, Implementasi Kebijakan Publik, AIPI, Bandung.
The Deloitte Team, Smart Cities, How rapid advances in technology are
reshaping our economy and society, Deloitte The Netherlands,
Version 1.0, November 2015
Thoha, Miftah, 1990, Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya.
Rajawali Press, Jakarta.
Tutik, Titik Triwulan, 2010, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia
Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta: Kencana, hlm. 195.
Yamani, Agus Suryadi, 2012, Remah-Remah Pemerintahan, Wadi Press,
Jakarta.
Waluyo 2000. Perpajakan Indonesia, Jakarta: Salemba Empat.
Warren, Harris G, et. al. 1963. Our Democracy at Work. Prentice-Hall,Inc.
Engelewood Cliffs, N.J,.
Wasistiono, Sadu, Etin Indrayani, dan Andi Pitono, 2006, Memahami
Asas Tugas Pembantuan, Fokus Media, Bandung.
…………., dkk. 2009. Perkembangan Organisasi Kecamatan Dari Masa Ke.
Masa. Fokusmedia. Bandung.
………….., Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Menurut Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 Dan Dampaknya Secara Politis,
Hukum, Pemerintahan Serta Sosial Ekonomi, Diskusi Panel PPMP
dan Alumni Universitas Satyagama. Indramayu, 7 Februari
2005.
Winarno, Budi, 1989, Teori Kebijaksanaan Publik, Pusat Antar Universitas
Studi Sosial UGM, Yogyakarta.

b. Peraturan Perundangan
Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 2602, Undang-undang Panglima Tentara
Ke Enambelas nomor 1 Tahun 1942, tanggal 7 Maret 1942.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Indonesia
Daerah (KNID), 23 Nopember 1945

140
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan di
Daerah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pemerintah Daerah
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang
Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang nomor 30 tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi
Undang-Undang
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan.
Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Perangkat Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2018 tentang Kecamatan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 140 Tahun 2017 tentang
Pembentukan Badan Pengelola Perbatasan Di Daerah.
Peraturan KPU 6/2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur Aceh, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota
dan Wakil Walikota di Wilayah Aceh, Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur pada Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Papua
dan Papua Barat

141
Peraturan Daerah Kabupaten Sanggau Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Badan Pengelola Perbatasan Kabupaten Sanggau.

c. Bahan Online
Anton O. Zakharov, 2009, Constructing the polity of Sriwijaya in the 7th-
8th Centuries: The view according to the inscriptions, Indonesian
Studies Working Papers, No. 9. http://sydney.edu.au/
arts/indonesian/ docs/USYD-IS_Zakharov_Sriwijaya.pdf
Aziz, Noor M, 2009, Laporan Akhir Pengkajian Hukum Tentang Pemilihan
Kepala Daerah Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian
Hukum dan HAM RI, http://www.bphn.go.id/data/
documents/pkj_ pilkada.pdf.
bappeda.jabarprov.go.id, Draft Rancangan Rencana Kerja Pemerintah
Daerah (RKPD) Provinsi Jawa Barat Tahun 2018,
http://www.bappeda. jabarprov.go.id/wp-
content/uploads/2017/ 03/Paparan-Pramusrenbang-2017.pdf
Balikpapan.go.id, Balikpapan raih peringkat kedua kota cerdas 2015,
http://balikpapan.go.id/berita/detail/6156/balikpapan-raih-
peringkat-kedua-kota-cerdas-2015.
Balikpapan.go.id, bukktikan diris sebagai kota cerdas,
http://balikpapan.prokal.co/read/news/171114-buktikan-diri-
sebagai-kota-cerdas.
bisnis.com, Konflik Kerajaan Gowa Vs Pemkab, Kesbangpol Sulsel Dorong
Upaya Mediasi, Sulawesi, quicknews, 17 September 2016, 19:03
WIB, http://sulawesi.bisnis.com/read/20160917/5/ 195377/url
Chatterjee, Sayan & Wernerfelt, Birger, The Link between Resources and
Type of Diversification: Theory and Evidence, Strategic
Management Journal, Vol. 12, No. 1. (Jan., 1991), pp. 33-48.
http://links.jstor.org/sici?sici=0143-2095%28199101%2912%3A1
%3C33%3ATLBRAT%3E2.0.CO%3B2-B
cnnindonesia.com, T&J: Di Balik Kontroversi RUU Pilkada, CNN
Indonesia Kamis, 11/09/2014 18:36 WIB

142
http://www.cnnindonesia.com/ politik/20140911183630-77-
3142/tj-di-balik-kontroversi-ruu-pilkada/
Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah, Dana Perimbangan, sumber
Pendapatan Daerah Terbesar, Artikel, 02 Agustus 2013,
Kemendagri, http://keuda.kemendagri.go.id/artikel/detail/24-
dana-perimbangan--sumber-pendapatan-daerah-terbesar.
Djafar, Fariastuti 2013, Merah Putih di Hatiku Malaysia Sumber Nafkahku
Kisah Pedagang Lintas Batas, http://www.kompasiana.com/
fariastuti/merah-putih-di-hatiku-malaysia-sumber-nafkahku-
kisah-pedagang-lintas-batas_ 552ad45f6ea8345f7f552d13.
Gomme, G.L. 1897. “Lectures on the Principles of Local Government”,
Delivered at London School of Economics, Lent term,
Westminster Constable, Archibald Constable and CO, Whitehall
Garden, hlm 1-2, https://archive.org/details/lecturesonprinc
00gommgoog
Hasan, H. M. Nur, Corak Budaya Birokrasi Pada Masa Kerajaan, Kolonial
Belanda Hingga Di Era Desentralisasi Dalam Pelayanan Publik,
Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012,
https://media.neliti.com/media/publications/12292-ID-corak-
budaya-birokrasi-pada-masa-kerajaan-kolonial-belanda-hingga-
di-era-desentr.pdf
Havenga, Belinda, 2002, The restructuring of local government with specific
reference to the city of Tshwane, Disertation, Faculty Humanity,
University of Pretoria, http://repository.up.ac.za/
handle/2263/25724
kabar24.bisnis.com, Pemerintah Tak Bisa Batalkan Perda, Bagaimana 3.143
Perda yang Dibatalkan? HUKUM, 06 April 2017, 02:47 WIB,
http://kabar24.bisnis.com/read/20170406/16/643053/pemerintah-
tak-bisa-batalkan-perda-bagaimana-3.143-perda-yang-
dibatalkan.
Kaltim.trbunnews, dukung smart city disdik balipapan dorong penerapan e
learning, http://kaltim.tribunnews.com/2016/11/30/ dukung-
smart-city-disdik-balikpapan-dorong-penerapan-e-learning

143
kompas.com, Dituding Menjiplak Raperda, Bupati Semarang Kehilangan
Kata-kata, News Regional, Kompas.com -20/02/2017, 18:26 WIB,
http://regional.kompas.com/read/2017/02/20/18265701/dituding.
menjiplak.raperda.bupati.semarang.kehilangan.kata-kata.
……………, Jokowi: 3.143 Perda Bermasalah Telah Dibatalkan, News
Nasional, 13/06/2016, 17:21 WIB, http://nasional.kompas.com/
read/2016/06/13/17215521/jokowi.3.143.perda.bermasalah.telah.
dibatalkan.
……………, Putusan MK Cabut Kewenangan Mendagri Batalkan Perda
Provinsi, News Nasional -14/06/2017, 22:39 WIB,
http://nasional.kompas.com/read/2017/06/14/22392261/putusan.
mk. cabut.kewenangan.mendagri.batalkan.perda.provinsi.
……………, Bawaslu Temukan 600 Dugaan Politik Uang pada Pilkada 2017,
News Nasional, 14/02/2017, http://nasional.kompas.com/read/
2017/02/14/19334401/bawaslu.temukan.600.dugaan.politik.uang.
pada.pilkada.2017
……………. KPU DKI Telusuri 33.000 DPT Bermasalah, News
Megapolitan, 10/04/2017, http://megapolitan.kompas.com/read/
2017/04/10/ 07224581/kpu.dki.telusuri. 33.000. dpt.bermasalah
……………, Mahar Politik Serangan Fajar dan Suap,
http://nasional.kompas.com/read/2016/03/03/10490381/Mahar.P
olitik.Serangan.Fajar.dan.Suap?page=all,
……………, "Waspadai Praktik 'Investasi Pilkada'", News Megapolitan,
10/04/2017, http://megapolitan.kompas.com/read/2017/04/10/
19085811/. waspadai.praktik.investasi.pilkada
Kompasiana, Kota Balikpapan menuju smart city,
http://kompasiana.com/ridhanurhuda/kota-balikpapan-menuju-
smart-city_584402eb6723bd2f09b3b5a0
Lailatul Karmiratin, Pengaruh Perkembangan Industri Manufaktur
(Subsektor Penggalian) Terhadap Pendapatan “Pajak Pengambilan
Bahan Galian Golongan C Di Kabupaten Tuban”, Jurnal Akuntansi
Unesa | Vol 1, No 1, 2012, Universitas Negeri Surabaya,

144
http://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/jurnal-akuntansi
/article/view/ 301
Litvack, Jennie, Seddon, Jessica, 1999, Decentralization Brefing Notes, The
World Bank, Washington, D.C. https://siteresources.
worldbank.org/WBI/Resources/ wbi37142.pdf
Nikolov, Dimce, Decentralization And Decentralized Governance For
Enhancing Delivery Of Services In Transition Conditions,
Background paper for the Regional Forum on “Enhancing Trust
in Government through Leadership Capacity Building”, to be
held in St.Petersburg, 28-30 September 2006,
http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/un/
unpan025134.pdf
Nugraha, Al Fajar dan Mulyandari, Atika, Pilkada Langsung Dan Pilkada
Tidak Langsung Dalam Perspektif Fikih Siyasah, jurnal pemikiran
hukum islam, Mazahib,Vol XV, No. 2 (Desember 2016), Pp. 208-
237, http://journal.iain-samarinda.ac.id/index.php/mazahib/
article/ view/630.
okezone.com, Lakukan Money Politic Anak Calon Bupati di Pilkada Jayapura
Dicokok Polisi, http://news.okezone.com/read/2017/02
/15/340/1619397/lakukan-money-politic-anak-calon-bupati-di-
pilkada-jayapura-dicokok-polisi
pamongreaders.com, Prof. Saldi Isra : 7 Kelemahan Perda, Politik, Senin, 03
Agustus 2015 - 11:42:21 WIB, http://pamongreaders.com/ berita-
759prof-saldi-isra--7-kelemahan-perda.html
Partnership for Governance Reform, 2011, Kebijakan Pengelolaan Kawasan
Perbatasan Indonesia, Partnership Policy Paper No. 2/2011,
Jakarta
http://www.kemitraan.or.id/sites/default/files/20111125095137.
Policy% 20Brief%202%20PSG%20arsip_2.pdf
pemilu.com, Inilah 19 Alasan Kenapa Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD
Lebih Baik, Berita 13 September 2014,
http://www.pemilu.com/berita/2014/09/inilah-19-alasan-kenapa-
pemilihan-kepala-daerah-oleh-dprd-lebih-baik/.

145
pikiran-rakyat.com,, Inilah Alasan Mengapa Pilkada Melalui DPRD Lebih
Baik, 12 September 2014, http://www.pikiran-rakyat.com/
politik/2014/09/12/296680/inilah-alasan-mengapa-pilkada-
melalui-dprd-lebih-baik.
……………., Dugaan Mahar Politik Berujung di Pengadilan, 19 Agustus,
2015 (21:10), http://www.pikiran-rakyat.com/ politik/2015/08/
19/339004/dugaan-mahar-politik-berujung-di-pengadilan
……………., Pemprov Gelontorkan Rp 1,687 Triliun untuk Pilkada Jabar
2018, 28 April, 2017 - 23:58, http://www.pikiran-
rakyat.com/jawa-barat/2017/04/28/ pemprov-gelontorkan-rp-
1687-triliun-untuk-pilkada-jabar-2018-400063
Rado, Rudini Hasyim, 2015, Analisis UU No. 22 Tahun 2014 jo. UU No. 23
Tahun 2014 dan Perpu No. 1 Tahun 2014 jo. Perpu No. 2 Tahun
2014 Berkaitan dengan Pemilukada Gubernur,
https://www.academia.edu/13997170/ Politik_Hukum.
republika.co.id, Kemendagri Cabut 1.665 Perda Bermasalah, News,
Nasional, Ahad, 09 October 2016, 18:58 WIB,
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/ umum/16/10/09/
oes3wp383-kemendagri-cabut-1665-perda-bermasalah.
rmol.co, ICW: Praktek Jual Beli Perahu dalam Pilkada Harus Segera
Dihentikan! berita tanggal Rabu, 25 April 2012,
http://www.rmol.co/m/news. php?id=61771,
rmol.co, Yuddy Beberkan Setoran Bervariasi Calon Petarung Pilkada, Rabu,
25 April 2012, http://m.rmol.co/read/2012/04/25/61768/Yuddy-
Beberkan-Setoran-Bervariasi-Calon-Petarung-Pilkada-
Schneider, Aaron, Decentralization: Conceptualization and Measurement*,
Studies in Comparative International Development, Fall 2003, Vol.
38, No. 3, pp. 32-56. https://www.hks.harvard.edu/fs/pnorris/
Acrobat/stm103%20articles/Schneider_Decentralization.pdf
Soleh, Ahmad, Plus Minus Pilkada Langsung dan Tak Langsung”.
http://www.politik.kompasiana.com/.../plusminus-pilkada-
langsung-dan-melalui-dprd.

146
timesindonesia.co.id, Parah! Raperda Ketertiban Umum Diduga Hasil
'Nyontek' Kabupaten Lain, http://m.timesindonesia.co.id/baca
/121429/20160322/143037/parah-raperda-ketertiban-umum-
diduga-hasil-nyontek-kabupaten-lain/
tni-au.mil.id, Tentara Nasional Indonesia memperkuat pertahanan di
perbatasan Kalimantan Barat. http://tni-au.mil.id/pustaka/tentara-
nasional-indonesia-memperkuat-pertahanan-di-perbatasan-
kalimantan-barat.
Transparency International, 2017, Corruption Perceptions Index 2016,
https://www.transparency.org/news/feature/corruption_percept
ions_index_2016.
UNDP, Decentralized Governance Programme: Strengthening Capacity for
People-Centered Development, Management Development and
Governance Division, Bureau for Development Policy, September
1997,.http://pogar.org/publications/other/undp/decentralization
/decenpro97e.pdf
United Nations, 1961, A Handbook of Public Administration: Current
Concept and Practice with Special Reference to Developing Countries,
New York: Departement Of Economics and Sosial Affair.
https://babel.hathitrust.org/cgi/pt?id=uc1.$b234583;view=1up;
seq=78.
United Nations, 1962, Decentralization for National and Local Development,
Technical Asistant Programe, New York: Departement of
Economic and Social Affair, Division for Public Administration.
https://babel.hathitrust.org/cgi/pt?id=mdp.39015019908428;view
=1up;seq =13
Voa Indonesia, Kota-kota Indonesia menuju Konsep Smart City,
http://www.voaindonesia.com/a/kota-kota-indonesia-menuju-
konsep-smart-city/3024412.htm

147
Handbook Pemerintahan Daerah
Copyright ® Irfan Setiawan, 2018

Hak Cipta Dilindungi Undang Undang


All Rights Reserved

Cetakan 1, 2018

Penulis: Irfan Setiawan, S.IP.,M.Si.


Editor: Irfan Setiawan
Tataletak: Joni
Disain sampul: Agus Istianto

Diterbitkan oleh:
Penerbit Wahana Resolusi

Redaksi:
Jl Gajah No 11, Warungboto, Umbulharjo
Kota Yogyakarta 55164

ISBN: 978-602-5775-18-5

Dicetak oleh WR Printing


Isi di luar tanggung jawab percetakan
KATA PENGANTAR

Oleh Prof. Dr. H. Murtir Jeddawi, SH, S.Sos, M.Si


Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri

Kebijakan desentralisasi di Indonesia merupakan upaya negara


untuk mendekatkan diri dan menjangkau pelayanan di segenap
wilayah Indonesia. Kebijakan tersebut ditandai dengan adanya undang-
undang mengenai otonomi daerah yang merupakan amanat pasal 18
UUD 1945. Penerapan desentralisasi di Indonesia mengalami sejarah
panjang dalam pencarian bentuk yang sesuai untuk pengembangan
daerah dan hubungannya dengan pemerintah pusat. Mulai dari UU No
1 tahun 1945, sampai dengan sekarang dengan UU No 23 Tahun 2014
dengan dua kali perubahan yang terakhir melalui UU No 9 tahun 2015.

Penerapan teori desentralisasi perlu adanya "modifikasi" sesuai


dengan kondisi geografis, politik, sosial, budaya dan masyarakat,
sebagaimana negara-negara lainnya termasuk negara-negara ASEAN
yg menerapkan teori desentralisasi sesuai dengan kondisi negara
masing-masing. Penerapan Desentralisasi yang ber Bhinneka Tunggal
Ika, dengan mengedepankan kondisi daerah akan dapat
memberdayakan daerah sesuai dengan kondisi dan kemampuan daerah
untuk membangun diberbagai bidang.

Desentralisasi berbhinneka tunggal ika merupakan penerapan


yang tepat dengan konsep desentralisasi asimetris yang kian marak di
berbagai wacana ilmiah di Indonesia. Diharapkan nantinya penetapan
desentralisasi tersebut mampu mengembangkan dan memajukan
daerah-daerah di Indonesia dalam jalinan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

***

iii
KATA PENGANTAR

Oleh Dr. Muhadam Labolo, M.Si


Deputi Otonomi Khusus Pada Pusat Kajian Desentralisasi IPDN

Buku dihadapan pembaca adalah deskripsi konseptual- teoritik


serta protret empirik tentang dinamika penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Dua aspek penting yang menjadi titik berat buku ini yaitu
manajemen otonomi daerah dan isu pemilukada. Hal ini sejalan dengan
tujuan utama kebijakan desentralisasi itu sendiri yaitu administrasi dan
politik. Administrasi berkaitan dengan manajemen otonomi itu sendiri
sejak perencanaan, implementasi hingga evaluasi. Didalamnya
berkaitan dengan banyak hal, termasuk pengelolaan urusan, pelayanan
publik, keuangan daerah dan inovasi pemerintah daerah. Sementara isu
pemilukada adalah refleksi dari tujuan politik desentralisasi.

Buku ini tampaknya mencoba untuk mendekatkan konsep dan


teori yang dimaknai penulis terhadap realitas atas tujuan desentralisasi,
yakni administrasi dan politik di daerah. Bagaimanapun titik berat
administrasi dibayangkan dapat semakin simpel melalui tata kelola
pemerintahan daerah yang profesional. Demikian pula aspek politiknya,
bahwa demokrasi lokal diharapkan tidak saja mampu melahirkan
kepemimpinan yang akseptabel (legitimat), namun lebih dari itu
terciptanya sirkulasi di level elit lokal dengan tingkat partisipasi politik
masyarakat yang tinggi. Bahwa kemudian kedua titik berat tersebut
relatif belum menyentuh esensi utamanya, saya kira kita perlu merujuk
pada sejumlah gagasan dan saran penulis. Mungkin itulah maksud
penulis, memberi alternatif jawaban setelah melakukan sedikit studi
perbandingan atas implementasi otonomi daerah di Indonesia.

***

iv
KATA PENGANTAR

Kebijakan otonomi daerah di Indonesia yang berjalan sejak


kemerdekaan Indonesia, banyak mengalami perubahan paradigma.
Paradigma pelimpahan urusan pemerintahan yang tepat diterapkan di
Indonesia, masih belum menemukan posisi yang tepat. Tarik menarik
urusan pemerintahan antara pusat dan daerah banyak ditentukan oleh
kepentingan politik. Belum nyamannya posisi “bandul otonomi
daerah” menandakan bahwa belum sepakatnya para ahli mengenai
kebijakan desentralisasi di Indonesia. Belum terbentuknya paradigma
yang dianggap tepat, tentunya dapat menganggu perkembangan
daerah-daerah di Indonesia, dan hal ini juga dapat berpengaruh pada
perkembangan Negara Kesatuan Republik Indonesia secara
menyeluruh.

Dapat dipahami bahwa memang tidak ada sesuatu yang


sempurna dari kebijakan yang dibuat suatu rezim pemerintahan,
namun setidaknya diperlukan pemikiran bersama dari para cendikia
untuk perkembangan daerah-darah di Indonesia, sehingga diperlukan
kebijakan otonomi daerah yang dapat dilengkapi dengan kebijakan
turunannya dengan cepat sehingga pemerintah daerah dapat
menerapkannya dengan baik. Tentunya pula diperlukan dukungan dari
para cendikia untuk memberikan solusi permasalahan dalam
penerapan otonomi daerah.

Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai paradigma


kebijakan otonomi daerah tersebut, kebijakan tersebut harus tetap
dilaksanakan sebagai penerapan hasil kesepakatan kepentingan politik
di masa kini, maka dari itu buku dengan judul Handbook Pemerintahan
Daerah ini memperjelas kebijakan otonomi daerah, hubungan
pemerintahan pusat dan daerah, penerapan Undang-Undang Nomor 23

v
Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, berserta sejarah
pemerintahan daerah.

Buku ini dapat menjadi bahan pembelajaran bagi para pelajar,


mahasiswa, aparat pemerintahan, tenaga pengajar dan pemerhati
pemerintahan daerah. Diharapkan pula buku ini dapat membuka
wawasan mengenai ilmu pemerintahan, utamanya pemerintahan
daerah serta memberikan pandangan berbeda yang dapat diterapkan
pada penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Akhirnya, semoga buku ini dapat bermanfaat bagi para


pembacanya, dan tak lupa penulis ucapkan terima kasih bagi para
pihak yang membantu yang tidak dapat disebutkan satu per satu,
semoga segala bantuan, masukan dan doa yang diberikan menjadi amal
kebaikan di sisi Tuhan Yang Maha Esa, Aamiin.

Jatinangor, April 2018

Penulis

Irfan Setiawan

vi
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Prof. Dr. Murtir Jeddawi, SH, S.Sos, M.Si iii
Dr. Muhadam Labolo, M.Si iv
Penulis v
Daftar Isi vii
Daftar Tabel x
Daftar Gambar xi

BAB I PENDAHULUAN 1
A. Otonomi Daerah 3
B. Urusan Pemerintahan 10
C. Manajemen Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan 15
1. Penyelenggaraan Urusan Konkuren 17
2. Manajemen Penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan Umum 31
D. Asas-asas Pemerintahan Daerah 32
1. Asas Desentralisasi 33
2. Asas Dekonsentrasi 42
3. Asas Tugas Pembantuan 45

BAB II PEMERINTAHAN DAERAH 48


A. Makna dan Fungsi Pemerintah Daerah 51
B. Sejarah Pemerintahan Daerah 57
1. Periode I (1945-1948) 57
2. Periode II (1948-1957) 59
3. Periode III (1957-1965) 62
4. Periode IV (1965-1974) 65
5. Periode V (1974-1999) 68
6. Periode VI (1999-2004) 72

vii
7. Periode VII (2004-2014) 74
8. Periode VIII (2014-sekarang) 78
C. Organisasi Pemerintahan di Daerah
D. DPRD 79
1. Fungsi, Tugas dan Wewenang DPRD Provinsi 87
2. Fungsi, Tugas dan Wewenang DPRD 89
Kabupaten/Kota 95
E. Peraturan Daerah 99
F. Penyelenggaran Pemerintahan di Daerah 106
1. Fenomena peningkatan peran Gubernur sebagai
Wakil Pemerintah Pusat di daerah 107
2. Fenomena Penyelenggaraan pemerintahan di 110
kawasan perbatasan

BAB III PILKADA 133


A. Sejarah Pengangkatan Kepala Daerah 147
B. Tata Cara dan Proses Pesta Demokrasi di Daerah 157

BAB IV ANGGARAN PEMERINTAHAN DAERAH 189


A. Pelaksanaan Anggaran Pemerintahan Daerah 170
1. Sumber Pendapatan Daerah 171
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) 172
b. Pendapatan Transfer 187
c. Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah 193
2. Belanja Daerah 194
B. Distorsi Implementasi Pemungutan Retribusi Daerah 196
C. Mengikis Prilaku Korupsi Pelaksanaan Anggaran
Pemerintahan Daerah 208
1. Analisa Perilaku Korupsi Pada Pelaksanaan
Angggaran Pemerintahan Daerah 210
2. Alternatif Upaya Pemerintah Dalam Menekan
Perilaku Korupsi Pada Pelaksanaan Anggaran
Pemerintahan Daerah 216

viii
BAB V INOVASI DAERAH 221
A. Pemahaman Konsep Inovasi Daerah 222
B. Penerapan Inovasi Daerah melalui Konsep Smartcity
Balikpapan 226

DAFTAR PUSTAKA 239

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Matriks Pembagian Urusan Pemerintahan 18


Konkuren Antara Pemerintah Pusat Dan
Daerah Provinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota
Tabel 1.2. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang 27
Pendidikan

Tabel 2.1. Tingkatan Daerah Otonom di Indonesia 60


periode 1948-1957

Tabel 2.2. Tingkatan Daerah Otonom di Indonesia 61


periode 1957-1965

Tabel 2.3. Tingkatan Daerah Otonom di Indonesia 65


periode 1965-1974

Tabel 2.4. Tingkatan Daerah Otonom/Wilayah 68


administratif di Indonesia Periode 1974-1999

Tabel 2.5. Susunan Perangkat Daerah Provinsi Dan 83


Perangkat Daerah Kabupaten/Kota

Tabel 2.6. Indikator Pemetaan Intensitas Urusan 131


Pemerintahan dan Penentuan Beban Kerja
Kecamatan

Tabel 3.1 Cara pengangkatan Gubernur, Bupati/ 148


Walikota di Indonesia Era Pra-Kemerdekaan

x
Tabel 3.2. Cara pengangkatan/pemilihan Gubernur, 151
Bupati/Walikota di Indonesia Era Pasca
Kemerdekaan

Tabel 3.3. Provinsi Dan Gubernur Pertama 153


Setelah Indonesia Merdeka Tahun 1945

Tabel 4.1 Tabulasi Data Tindak Pidana Korupsi 212


Berdasarkan Instansi Tahun 2004-2017

Tabel 4.2. Tabulasi Data Tindak Pidana Korupsi 213


Berdasarkan Profesi/Jabatan. Per 31 Maret
2017

Tabel 4.3. Perbandingan skor pada Corruption 215


Perceptions Index Tahun 2015 dan 2016

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 “Bandul” Otonomi Daerah 4

Gambar 1.2 Interaktif Antara Negara dengan Manusia 11

Gambar 2.1. Konsepsi Pembentukan Organisasi 79


Pemerintah Daerah

Gambar 2.2. Bagan Struktur Organisasi Pemerintah Kota 86


Bandung

Gambar 2.3. Top Down dan Bottom Up Proses 105


Pembentukan Perda

Gambar 4.1 Distorsi Implementasi Kebijakan 207

Gambar 5.1 Penerapan Konsep Smartcity 234

xii
View publication stats

UNTUK VERSI LENGKAPNYA


DAPAT DIBACA DI
GOOGLE BOOKS
https://books.google.co.id/books/about/Handbook_Pemerintahan_Daer
ah.html?id=oJBiDwAAQBAJ&redir_esc=y

GOOGLE PLAY
https://play.google.com/store/books/details?id=oJBiDwAAQBAJ&rdid=
book-
oJBiDwAAQBAJ&rdot=1&source=gbs_atb&pcampaignid=books_books
earch_atb

Atau di BUKALAPAK
https://www.bukalapak.com/p/hobi-koleksi/buku/politik/to1ft3-jual-
buku-handbook-pemerintahan-daerah?keyword=

Anda mungkin juga menyukai