Anda di halaman 1dari 1

Berbagai manfaat dari PITC ini mulai diperkenalkan sejak tahun 2007 oleh WHO[1].

Di Indonesia
sendiri, Kemenkes telah mengeluarkan pedoman penerapannya sejak tahun 2010. PITC biasanya
dilaksanakan sebagai bagian dari layanan Kesehatan Ibu dan Anak dimana tes HIV ditawarkan oleh
petugas layanan kepada ibu-ibu hamil yang mengakses layanan di fasilitas kesehatan. Sayangnya
setelah sekitar lima tahun diterapkan, masih sangat sedikit evaluasi terhadap penerapan PITC di
Indonesia. Apabila ada, evaluasi tersebut skalanya kecil dan hasilnya tidak terpublikasi dengan baik
sehingga sulit diakses untuk dijadikan sebagai pembelajaran bersama. Padahal di masa-masa awal
PITC diperkenalkan, telah ada banyak literatur yang memperingatkan tentang diperlukannya kehati-
hatian dalam penerapan pendekatan ini, sebab ada area-area resiko yang butuh perhatian lebih
lanjut agar PITC bisa membawa manfaat sesuai yang diharapkan.

Gruskin et al. (2008), contohnya, memperingatkan bahwa salah satu aspek resiko adalah
terkompromikannya hak asasi dari ibu hamil yang menjadi target PITC dalam beberapa hal. Pertama,
panduan PITC dari WHO menekankan bahwa pre dan post-counseling adalah 'komponen integral
dari proses tes HIV' dan merupakan tahapan yang harus diterima oleh semua orang yang mengikuti
tes terlepas dari apapun hasil tesnya. Akan tetapi Gruskin et al. mencatat bahwa karena diberikan
sebagai bagian dari layanan kesehatan yang lain, ada kecenderungan konseling direduksi menjadi
sebatas pemberian informasi. Tenaga kesehatan harus turut melakukan berbagai tugas yang lain
sehingga proses konseling yang memadai tidak terprioritaskan. Tidak saja karena faktor tenaga
kesehatan, hak atas konseling juga berpotensi diabaikan karena masalah infrastruktur. Contohnya
dalam paparan di Forum Nasional VI JKKI, dr. Ni Komang Yuni Rahyani menjelaskan bahwa peran
bidan dalam memberikan konseling tidak dapat berjalan dengan baik karena tidak tersedianya
ruangan khusus konseling. Tanpa langkah konkrit untuk mengatasi masalah beban kerja maupun
infrastruktur ini, hak ibu hamil atas konseling dalam PITC akan tetap sulit dipenuhi.

Masalah berikutnya adalah dari segi persetujuan atau informed consent. Di banyak tempat pengaruh
gender dan kelas sosial membuat relasi antara tenaga medis khususnya dokter dengan pasien
(terlebih pasien perempuan) menjadi tidak setara. Pasien tidak bisa mempertanyakan nasihat medis
dari dokter, termasuk saran untuk menjalani tes HIV. Padahal, pedoman WHO maupun Kemenkes
untuk PITC menekankan bahwa PITC bukan merupakan tes wajib dan ibu hamil berhak untuk
menolak tawaran untuk tes HIV. Selama belum ada strategi untuk memastikan bagaimana informed
consent tetap bisa dipenuhi walaupun ada kendala budaya seperti ini, pada prakteknya kesempatan
dan hak untuk menolak tawaran tes HIV tidak akan bisa terwujud bagi banyak ibu hamil.

Anda mungkin juga menyukai