Mungkin nama ‘Wentira’ di kota-kota lain dianggap biasa, namun berbeda hal nya
apabila nama ini di dengar oleh masyarakat yang berada di Pulau Sulawesi Tengah.
Namun yang sebenarnya sesuai dengan yang saya lihat langsung, Wentira
sebenarnya hanya daerah berhutan lebat, jauh dari mana-mana, di antara Palu-
Parigi, di lintas jalan yang disebut orang sebagai Trans-Sulawesi. Pohon-pohon
raksasa tumbuh di pinggir jalan, dengan bentuk batang besar, putih, cenderung
lurus, menjulang sangat tinggi seakan ingin menggapai langit. Batang pohon itu
begitu lurus, dan baru di bagian sangat atas di ketinggian, tumbuh dahan dan
cabangnya dengan daun-daun yang menjadi sangat kecil-kecil kalau dilihat dari
bawah. Konon, tak ada seorang pun berani menebang pohon seperti itu.
lalu setelah di mobil tersebut di antar, ternyata tempat yang mereka datangi
hanyalah hutan lebat.
Banyak juga warga di sekitar Wentira mengatakan, apabila ada kendaraan lewat
daerah tersebut harus membunyikan klakson 3X agar perjalanan mereka lancar
sampai tujuan.
Ada juga cerita yang lebih para dari kisah wentira : Suatu hari di Pulau
kalimantan ada sebuah tebing yang penuh dengan sarang burung walet tetapi tak
seorang pun yang bisa memanjatnya, pada suatu ketika ada seorang pemuda dengan
santai memanjat tebing itu meski tampa pengaman, melihat aksi dari pemuda itu
warga serompak terkejut ketika turun para warga datang bertanya kepada pemuda
itu karna wajahnya agak asing di mata warga, ketika para penduduk bertanya dari
mana dia berasal, lalu pemuda itu menjawab dengan lantang ” saya dari Kota Wentira
Palu” tak lama kemudian pemuda itu hilang di kerumunan warga, (Cerita Pak Sappam
SekolahQ), dari cerita di atas warga wentira juga sering berkelana dan
mengembangkan kotanya dan menurut perkiraan kami Wentira telah berkembang
sampai di Mamuju (sul-bar), Mekongga (sul-tra) dan bisa saja sampai di Kalimantan
Walaupun cerita ini seperti tak mungkin, namun saya sarankan agar kalian jalan-jalan
untuk melihat langsung lokasi dari Wentira ini
3. Kesaksian PS Patandung
To wentira menurut orang Kaili (Suku asli di Sulteng) ada di sekitar kebun kopi ( Jl
poros tawaeli – Toboli ) di jalan poros tersebut ada satu jembatan yang masih ada
sampai sekarang. Konon katanya, masih buatan Belanda. Di sampingnya ada satu
jembatan jembatan beton yang digunakan konon tahun 1980-an setiap kendaraan yg
lewat wajib memberi kode lampu atau setidaknya klakson sebagai tanda permisi mau
lewat.
Saya sudah beberapa kali melewati kawasan Kebun Kopi
yang disebut-sebut dua teman terakhir ini. Kawasan ini dikenal cukup berat,
menanjak dengan kemiringan tajam. Belum lagi sering terjadi longsong. Jembatan itu
masih ada, dan bahkan sekarang ada sebuah tugu berwarna kuning bertuliskan
NGAPA UWENTIRA. Ngapa dalam bahasa Kaili berarti Kampung,Negeri atau Kota.
Uwentira berarti tidak kasat mata. Jadi NGAPA UWENTIA berarti Kota
UWENTIRA.
Bagaimana ciri-ciri fisik warga Uwentira, apakah bedanya dengan manusia seperti
kita? Nantikan kisah berikutnya.
Kisah Wentira : Kisah berikut agaknya sejalan dengan cerita yang saya dapatkan
dari beberapa sumber di Palu maupun di luar Palu. Warga Wentira tidak punya garis
pemisah diatas tengah bibir, seperti layaknya manusia normal.
Sumber:http://www.bismania.com
WENTIRA
SESEORANG yang mengaku baru pulang dari tanah paling suci tiba-tiba muncul di
kantor Andy. Dengan tutur kata memikat tiada tara yang membuat semua lawan
bicara kehilangan kata-kata, ia meminta Andy untuk mengunjungi Wentira, daerah
yang dipastikan bakal membuatnya jatuh cinta.
Anda boleh percaya atau tidak, tetapi hampir semua orang di wilayah Palu, Parigi,
termasuk kabupaten baru bernama Parimot (Parigi Motong), tempat dalam lintas
daerah-daerah tersebut Wentira berada, percaya bahwa kisah ini benar-benar
terjadi. Mereka percaya, Wentira, daerah paling wingit di wilayah setempat
-sebagaimana beberapa kali pernah terjadi- lagi-lagi mengirimkan makhluknya
muncul dari alam maya, dan kali ini yang disatroni rupanya Andy, seorang arsitek,
urban designer atau perencana kota yang dikenal dengan proyek-proyeknya yang
modern.
Wentira sebenarnya hanya daerah berhutan lebat, jauh dari mana-mana, di antara
Palu-Parigi, di lintas jalan yang disebut orang sebagai Trans-Sulawesi. Pohon-pohon
raksasa tumbuh di pinggir jalan, dengan bentuk batang besar, putih, cenderung
lurus, menjulang sangat tinggi seakan ingin menggapai langit. Batang pohon itu
begitu lurus, dan baru di bagian sangat atas di ketinggian, tumbuh dahan dan
cabangnya dengan daun-daun yang menjadi sangat kecil-kecil kalau dilihat dari
bawah. Konon, tak ada seorang pun berani menebang pohon seperti itu.
“Wentira…” Orang terkesiap ketika Andy menunjukkan kartu nama, yang memang
tertulis “Wentira” sebagai alamat si empunya nama. Semua orang yang mengenal
Wentira termangu-mangu, merinding mendengar cerita Andy yang begitu yakin,
bahwa dia bukan saja berhubungan langsung dengan orang yang mengaku dari
Wentira, tetapi beberapa kali ia mengunjung Wentira, tinggal di sana beberapa
waktu, bahkan telah menyelesaikan proyek yang tiada terkira artinya baginya.
“Ya, saya tidak mengira bahwa di Palu ada daerah seramai dan semodern itu,” kata
Andy.
Mati, Mas Andy telah percaya pada eksistensi dunia maya sebagai benar-benar ada,
tangible seperti kartu nama yang dipegangnya. Lanjut Andy, seperti mimpi, “Tak ada
dalam bayangan saya, bahwa saya bakal bisa menjumpai kota abad 21 seperti Paris-
La Defense di situ. Taman kotanya mengingatkan saya pada Parc Culturel Urbain de
la Villette, dengan monumen berupa tangga merah melingkar yang oleh orang sana
disebut Folies. Sejarah masa depan arsitektur seakan telah dimulai dari situ, dalam
bentuk arsitektur virtual, arsitektur maya, sesuatu yang hanya dimungkinkan
perencanaannya setelah kemajuan proses komputer…”
BEGITULAH, konon orang yang mengaku baru pulang dari tanah paling suci tadi,
meminta Andy untuk datang ke Wentira, untuk membangunkan rumah baru baginya.
“Saya tidak pernah membangun rumah tinggal pribadi Pak…,” kata Andy sopan,
menolak secara halus tawaran orang itu.
“Ya, tetapi kegiatan saya lebih banyak pada perencanaan kota,” ujarnya. Ia ingin
menerangkan lebih lanjut, bahwa dia adalah urban designer, dengan proyek-proyek
begitu luas lingkupnya, dari penataan kembali ruang kumuh bagi masyarakat miskin
sampai pembangunan kota modern untuk lokasi perkantoran dan bangunan-bangunan
komersial, tetapi ia pikir itu semua kurang ada gunanya.
Yang diajaknya bicara, tersenyum arif. “Kalau begitu tidak apa-apa. Pak Andy tidak
perlu merasa punya beban atas permintaan saya. Saya selalu merasa, bisa
berkenalan dengan seseorang saja sudah suatu berkah, melebihi apa saja, apalagi
hanya dibanding rumah. Oleh karenanya saya akan mengundang Pak Andy ke Wentira
saja. Nanti seseorang akan menyediakan tiket. Pak Andy bisa berangkat kapan saja,
pokoknya tinggal beri tahu kami, dan nanti kami akan menjemput di airport. Belum
pernah kan, ke Wentira? Anggaplah ini hanya ajakan berpiknik dan berteman, tidak
ada yang lain…,” ucap tamunya santun.
Mendadak dia menangkap suatu hawa yang seakan menyedotnya untuk segera hadir
di Wentira. Entah nyata atau tidak ini semua, ia sendiri merasa datang ke Wentira
dengan naik pesawat dengan tiket yang sudah disediakan, dan di airport sudah
tersedia mobil bagus barikut sopir menjemputnya.
Dia melihat piramid kaca dengan konstruksi besi yang dibangun dengan berani dan
manis, sebagai bagian pintu masuk dari bangunan besar yang kata si sopir, tempat
menyimpan barang-barang berharga, dari patung Medusa karya Gericault, sampai ke
maket sebuah museum di Berlin karya Daniel Libeskind yang merupakan tonggak
bangunan paska-modernisme. Seketika Andy merasa kecil, dan menyesali belaka
atas impresi yang hendak ia tunjukkan pada tamu yang telah mengundangnya ke
Wentira ini.
“Siapa sebenarnya dia? Dan daerah apa pula ini?” kata Andy dalam hati.
Tempat tinggal orang yang mengundangnya itu sendiri berupa bangunan dengan
facade boleh dikata terdiri hanya dari tiga elemen: kaca, besi, dan sesuatu yang
serba putih, entah apa materinya, ia kurang mengenalinya. Sepintas ia teringat
Georges Pompidou Centre di Paris. “Semua bentuk ini mengambil primary form. Ia
mengonsepkan bangunan ini dalam era modernisme,” ucap Andy, lagi-lagi hanya dalam
hati. Ia mengamati segalanya dengan gumun. Bisiknya, “Benar, primary form. Yang
ada hanya bentuk kotak-kotak seperti lukisan Picasso, serta warna-warna dasar
seperti dipakai Mondrian.”
Pikirannya masih melayang ke mana-mana, ketika dia dikejutkan oleh sambutan tuan
rumah yang luar biasa hangat.
“Sampai juga kan, di sini. Jangan merasa sebagai tamu, dan jangan sungkan untuk
menunjuk atau melakukan apa saja yang Pak Andy suka,” kata si tuan rumah. Di
rumah yang seperti “miniatur Georges Pompidou Centre’ ini rupanya tinggal keluarga
besar. Tuan rumah mengenalkan istri, anak, saudara istri, keponakan, dan lain-lain
yang sulit diingat Andy satu-persatu. Yang jelas, wajah mereka tampan-tampan dan
cantik-cantik.
Ia dijamu berbagai makanan, yang katanya merupakan makanan khas setempat. Ada
sup sumsum sapi yang bernama kaledo, minuman yang sangat mengesankan rasanya,
disajikan dalam keadaan hangat, bernama saraba, dan lain-lain. Belum lagi
lobsternya, yang terasa tak ada duanya. Benar-benar santapan raja. Berangsur-
angsur Andy merasa betah. Ada proses sedemikian rupa yang tidak dia pahami,
dimana dia kemudian merasa seperti di rumah sendiri.
Pagi hari, seiring sarapan, kepadanya disajikan juice buah-buahan seperti wortel,
jeruk, yang kesegaran buah-buahannya lagi-lagi mengingatkannya ketika dia
bersekolah di Amerika dan Inggris. Akhirnya, dia tak bertanya-tanya lagi, di mana
dia ini sebenarnya. Ia hanya tahu, ini Wentira -sebuah daerah ultra modern yang
untuk sebagian orang barangkali hanya dianggap mimpi. Dia menerima Wentira
dengan segenap jiwa, menerimanya sebagaimana adanya…
DUNIA wadag manusia dan dunia maya entah alam mana, gagasan paling scientific
dan mimpi, bertaut-taut menjadi satu. Para staf dan pegawainya di kantor agak
heran setiap kali “bos”-nya itu memberi briefing mengenai proyek di Wentira. Tidak
seperti pada proyek-proyek yang lain, setiap kali bicara mengenai Wentira, si bos
berubah menjadi pendongeng, dengan dongeng yang memukau. Sampai-sampai, staf
andalannya, arsitek wanita paling cantik sekantor, mengaku terbawa mimpi tentang
Wentira.
“Pak, saya ingin ikut ke Wentira, menginap di sana,” kata staf tersebut.
“Dia cantik, seperti bintang film Maggie Cheung,” katanya. “Namun saya tidak
tertarik, karena wanita semacam itu terkesan galak di mata saya. Suka
menggampar, menyiram air ke muka orang, bahkan seperti dalam film, diceritakan
dia hendak membunuh raja. Saya tidak suka wanita yang galak. Saya mencari wanita
yang romantis…,” kenang Andy sambil tertawa.
“Untung Mas Andy tidak mau dijodohkan di situ. Kalau mau, Mas Andy tidak akan
pernah kembali ke dunia nyata,” komentar orang yang mendengar ceritanya.
Semua orang menganggap, dunia yang diceritakan Andy adalah dunia gaib, dunia alam
maya yang tidak ada di dunia nyata. Sebaliknya, Andy percaya sepenuhnya, bahwa
Wentira adalah dunia nyata, bahkan sampai “Maggie Cheung” tadi pun benar-benar
ada…