Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental, dan so-

sial saja, tetapi juga diukur dari produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan

atau menghasilkan secara ekonomi. Menurut Notoatmodjo (2015), kesehatan

mencakup fisik dan psikis. Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi sehat

emosional, psikologis dan sosial dari hubungan interpersonal yang memuaskan,

perilaku dan koping yang efektif, konsep diri yang positif dan kesetabilan

emosional (Videbeck, 2016).

Ada enam ciri sehat jiwa antara lain: bersikap positif terhadap diri sendiri,

mampu tumbuh dan berkembang serta mencapai aktualisasi diri, mampu

mengatasi stres, bertanggung jawab terhadap keputusan dan tindakan yang

diambil, mempunyai persepsi yang realistik dan menghargai perasaan serta sikap

orang lain, dan mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Setiap perubahan

situasi kehidupan baik positif maupun negatif dapat mempengaruhi keseimbangan

fisik, mental, dan psikososial seperti bencana dan konflik yang dialami sehingga

berdampak sangat besar terhadap kesehatan jiwa seseorang yang berarti akan

meningkatkan jumlah pasien gangguan jiwa (Keliat, 2016).

Gangguan jiwa merupakan manifestasi dari bentuk penyimpangan


perilaku akibat adanya distorsi emosi sehingga ditemukan ketidakwajaran
dalam bertingkah laku. Hal ini terjadi karena menurunnya semua fungsi
kejiwaan (Nasir & Muhith, 2016). Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara
berpikir

(cognitive), kemauan (volition), emosi (affective), tindakan (psychomotor) (Yosep,


2015).
Gangguan jiwa adalah penyakit otak neurologis komplek salah satunya
gangguan Skizofrenia. Skizofrenia terjadi karena kelainan pada struktur otak yang
(18)
mempengaruhi pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan perilaku sosial . Skizofrenia
merupakan salah satu diagnosa medis dari gangguan jiwa berat. Skizofrenia
menyerang lebih dari 21 juta orang di seluruh dunia (WHO, 2016). Prevalensi
gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia yaitu sebanyak 1,7 per1.000
penduduk atau sekitar 400.000 orang menderita skizofrenia. (Riskesdas, 2015).
Harga diri rendah adalah penilaian diri negatif yang berkembang sebagai respons
terhadapa hilangnya atau berubahnyya perawatan diri seseorang yang sebelumnya
mempunyai penilaian diri yang positif (NANDA).
Data WHO (2016) menjukkan sebanyak 24 juta orang telah menderita gangguan

jiwa. Prevalensi masalah kesehatan jiwa saat ini cukup tinggi, sekitar 10% orang

dewasa mengalami gangguan jiwa saat ini dan 25% penduduk dunia diperkirakan

akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu hidupnya. Menurut National

Institute of Mental Health, gangguan harga diri rendah.

Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah
diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan
kemampuan diri, dan sering juga disertai dengan kurangnya perawatan diri,
berpakaian tidak rapi, selera makan menurun, tidak berani bertatap muka dengan
lawan bicara, lebih banyak menundukkan kepala, berbicara lambat dan nada suara
lemah (Keliat dalam Suerni,2015).
Harga diri rendah adalah penilaian negatif individu terhadap diri sendiri
dan kemampuan, yang diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung
(Schult & Videbeck dalam Afnuhazi).
Harga diri rendah adalah perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya rasa
percaya diri dan harga diri, merasa gagal untuk mencapai keinginan (Keliat dalam
Fitria, 2016).
Kebijakan pemerintah dalam manangani pasien gangguan jiwa tercantum
dalam Undang- undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatanjiwa, disebutkan
dalam pasal 149 ayat (2) mengatakan bahwa pemerintah dan masyarakat wajib
melakukan pengobatan dan perawatan difasilitas pelayanan kesehatan bagi
penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam
keselamatan, dirinya dan mengganggu ketertiban atau keamanan umum, termasuk
pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa untuk
masyarakat miskin.

Skizofrenia merupakan kumpulan gejala berupagangguan isidan bentuk


pikiran, persepsi, kesulitan berfikir dengan benar, memahami dan menerima
realita, emosi/perasaan, perilaku dan hubungan interpersonal( Halgin dan
Whitbourne, 2015).Seseorang yang mengalamiskizofrenia akan mempengaruhi
semuaaspek dari kehidupannya yang ditandaidengan gejala-gejala psikotik
yang khas danterjadi kemunduran fungsi sosial yaitu gangguan
dalam berhubungan dengan orang lain, fungsi kerja menurun, kesulitan
dalam berfikir abstrak, kurang spontanitas, sertagangguan pikiran/ inkoheren.
Selain mengalami kegagalan dalam menjalankanfungsi sosial, pasien
skizofrenia juga menghadapimasalah yang berhubungan dengan
keterampilaninterpersonal dan sosial yang buruk dan mengalamidefisit fungsi
kognitif, sehingga akhirnya merekamengalami isolasi sosial dan memiliki
kualitas hidup yang buruk (Bustillo, 2016).

Berbagai penelitian yang dilakukan terhadap masalah skizofrenia


menunjukkan bahwa gangguan dan hendaya pada fungsi sosial berdampak
pada penurunan kualitas hidup, dan menyebabkan beban bagi kehidupan
sebagian besar anggota keluarga yang merawat pasien skizofrenia (Harvey dan
Fielding,2015).Bukti-bukti menunjukkan adanya penurunan tingkat kualitas
hidup pasien skizofrenia dibandingkan dengan populasi umum (Evans et al.,
2015).

Isolasi sosial adalah merupakan suatu keadaan perubahan yangdialami


klien skizofrenia. Isolasi sosialadalah suatu pengalaman menyendiri dari
seseorang dan perasaan segan terhadap orang lain sebagai sesuatu yang negatif
ataukeadaan yang mengancam. Klien yang mengalami isolasi sosialakan
cenderung muncul perilakumenghindar saat berinteraksi dengan oranglain dan
lebih sukamenyendiri terhadaplingkungan agar pengalaman yang
tidakmenyenangkan dalam berhubungan denganorang lain tidak terulang
kembali. Dengan

Dampak yang dapat ditimbulkan oleh isolasi sosial adalah, gangguan


hubungan interpersonal dan gangguan interaksi sosial. Bila klien isolasi sosial
(menarik diri) tidak cepat teratasi maka akan dapat membahayakan
keselamatan diri sendiri maupun orang lain (Keliat, Panjaitan, & Helena,
2006). Individu dalam situsi seperti ini harus diarahkan pada respon perilaku
dan interaksi sosial yang optimal melalui pemberian pelatihan keterampilan
sosial (Stuart and Sundeen, 2006).

Pemberian pelatihan keterampilan sosial merupakan salah satu intervensi


dengan teknik modifikasi perilaku yang didasarkan pada prinsip-prinsip
bermain peran, praktek dan umpan balik guna meningkatkan kemampuan klien
dalam menyelesaikan masalah pada klien depresi, skizofrenia, klien dengan
gangguan perilaku kesulitan berinteraksi, mengalami fobia sosial dan klien
yang mengalami kecemasan (Kneisl, 2004; Stuart & Laraia, 2005; Varcarolis,
2006). Pelatihan keterampilan sosial telah terbukti efektif dalam meningkatkan
kemampuan adaptasi sosial, komunikasi, interkasi sosial, mengurangi gejala
kejiwaan, sehingga mengurangi tingkat kekambuhan, selain untuk
meningkatkan harga diri (Ji-Min,Sukhee, Eun-Kyung & Chul-Kweon, 2016).

Pelatihan keterampilan sosial mengajarkan tiga kemampuan sosial yakni:


1) kemampuan berkomunikasi, yaitu kemampuan menggunakan bahasa tubuh
yang tepat, mengucapkan salam, memperkenalkan diri, menjawab pertanyaan,
menginterupsi pertanyaan dengan baik, dan kemampuan bertanya; 2)
kemampuan menjalin persahabatan, yaitu menjalin pertemanan, mengucapkan
dan menerima ucapan terima kasih, memberikan dan menerima pujian, terlibat
dalam aktifitas bersama, berinisiatif melakukan kegiatan dengan orang lain,
meminta dan memberikan pertolongan; 3) kemampuan dalam menghadapi
situasi sulit, yaitu memberikan kritik dan menerima penolakan, bertahan dalam
tekanan kelompok dan minta maaf (MqQuaid, 2000).Keterampilan sosial yang
buruk ini terkait erat dengan berulangnya kekambuhan penyakit dan
kembalinya klien ke rumah sakit, hal ini telah dilaporakan sebagai faktor yang
penting mempengaruhi prognosis (Ji-Min,Sukhee, Eun-Kyung & Chul-
Kweon, 2007).

Pendekatan behavior berorientasi pada masa depan dalam


menyelesaikanmasalah. Inti dari behavioral adalah proses belajar dan
lingkungan individu. Konselingbehavioral dikenal sebagai ancangan yang
pragmatis.Perilaku dipandang sebagai respon terhadap stimulasi atau
perangsangan eksternal dan internal.Karena itu tujuan terapi adalah untuk
memodifikasi koneksi-koneksi dan metode-metode Stimulus-Respon (S-R)
sedapat mungkin. Kontribusi terbesar konseling behavioral adalah bagaimana
memodifikasi perilaku melalui rekayasa lingkungan sehingga terjadi proses
belajar untuk perubahan perilaku.Modifikasi tingkah laku bertujuan
meningkatkan keterampilan individu sehingga mereka mempunyai lebih
banyak pilihan dalam memilih suatu tingkah laku.
Berdasarkan teori belajar modifikasi tingkah laku dan terapi tingkah laku
adalah pendekatan – pendekatan terhadapkonseling dan psikoterapi yang
berurusandengan perubahan tingkah laku. Konseling tingkah laku adalah
penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakarpada berbagai teori
tentang belajar.Konseling tingkah laku menyertakan penerapan yang sistematis
prinsip – prinsipbelajar pada pengubahantingkah lakukearah yang lebih adaptif
(Corey, 2015).

Dalam pandangan behavioral,kepribadian manusia itu pada


hakikatnya adalah perilaku.Perilaku dibentuk berdasarkan hasil dari
segenap pengalamannya berupa interaksi individu dengan lingkungan
sekitarnya. Tidak ada manusia yang sama, karena kenyataannya manusia
memiliki pengalaman yangberbeda dalam kehidupannya.
Kepribadian seseorang merupakan cerminan dari pengalaman, yaitu situasi
atau stimulus yang diterimanya (Latipun, 2015).

Skizofrenia merupakan salah satu diagnosa medis dari gangguan jiwa yang
paling banyak ditemukan dan merupakan gangguan jiwa berat dengan angka
insiden adalah 1 per 10.000 orang pertahun (Sinaga, 2016) dan Kementrian
Kesehatan RI (2015) melaporkan prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk
Indonesia 1,7 per mil. Gangguan fungsi sosial adalah salah satu masalah yang
banyak ditemukan pada klien skizofrenia. Gangguan tersebut mencakup
ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara efektif dengan orang lain,
mengkonfirmasi dan mengekspresikan perasaan mereka, dan memahami batasan
interpersonal (Padmavathi, Lalitha, Parthasaraty, 2016). Kondisi diatas sebagian
besar mengganggu klien dalam penyesuaikan diri dan berdampak pada
kemampuan memulai dan mempertahankan hubungan, memulai dan
mempertahankan percakapan, mempertahankan pekerjaan, membuat keputusan,
dan menjaga kebersihan diri (Burbridge, Barch, Deanna, 2016; Varcarolis, 2015).
Berkurangnya kontak sosial merupakan prediktor munculnya kekambuhan dan
rehospitalisasi yang dapat menurunkan kualitas hidup klien (Khalil, 2016).
Isolasi sosial adalah suatu pengalaman menyendiri dari seseorang dan
perasaan segan terhadap orang lain sebagai sesuatu yang negatif atau keadaan
yang mengancam (NANDA, 2015-2017). Ancaman yang dirasakan dapat
menimbulkan respons. Respon kognitif pasien isolasi sosial dapat berupa merasa
ditolak oleh orang lain, merasa tidak dimengerti oleh orang lain, merasa tidak
berguna, merasa putus asa dan tidak mampu membuat tujuan hidup atau tidak
memiliki tujuan hidup, tidak yakin dapat melangsungkan hidup, kehilangan rasa
tertarik kegiatan sosial, merasa tidak aman berada diantara orang lain, serta tidak
mampu konsentrasi dan membuat keputusan.
Jumlah penderita gangguan jiwa dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.
WHO (2016) memperkirakan 450 juta orang di seluruh dunia mengalami gangguan
mental, sekitar 10% adalah orang dewasa dan 25% penduduk diperkirakan akan
mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama hidupnya. Gangguan jiwa
mencapai 13% dari penyakit secara keseluruhan dan kemungkinan akan
berkembang menjadi 25% di tahun 2030. Menurut National Institute of Mental
Health (NIMH) berdasarkan hasil sensus penduduk Amerika Serikat tahun 2015, di
perkirakan 26,2 % penduduk yang berusia 18 tahun atau lebih mengalami gangguan
jiwa (NIMH, 2015). Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kasus gangguan jiwa
yang ada di negara- negara berkembang.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam Latar belakang tersebut di atas, maka rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah “Adakah Pengaruh Mental Pasen, Dengan

Harga Diri Rendah .


C. Tujuan Penelitian :

a. Tujuan Umum

Tujuan Penulisan karya ilmiah ini diharapkan dapat memberikan Analisis

Asuhan Keperawatan Klien Pada pasen dengan Harga Diri Rendah dan kronis.

1. Rumah Sakit

Penulisan karya ilmiah akhir DIII Keperawatan ini sebagai bahan

masukan menajemen/ pengambil kebijakan untuk terus mendukung

terlaksananya pemberian asuhan keperawatan secara komperhensif sebagai

salah satu terapi untuk mengatasi masalah pada pasien dengan harga diri

rendah.

Anda mungkin juga menyukai