Anda di halaman 1dari 10

PENDAHULUAN

Latar belakang

Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama. Dalam ilmu sosial tak
ada ukuran mutlak ataupun angka pasti untuk menentukan beberapa jumlah manusia
yang harus ada. Sebagai manusia kita dilahirkan untuk hidup saling ketergantungan
dengan orang lain, kita tidak bisa hidup sendiri didunia ini karena manusia pada
hakekatnya adalah sebagai makhluk sosial. Dalam menjalani kehidupan
bermasyarakat misalnya, kita harus saling mengenal satu dengan yang lainya, saling
membantu dan saling menolong. Setiap orang hidup pasti mempunyai kehendak dan
keinginan dalam dirinya, karena sesungguhnya manusia adalah makhluk hidup yang
bergerak dengan kehendaknya dan ia tidak bisa hidup tanpa saling berkumpul atau
berhubungan. Tidak hanya itu dalam hal keagamaan juga dituntut untuk selalu
berperan aktif, baik dalam shalat jama‟ah di musholla atau masjid, shalat Jum‟at,
pengajian, dan lain-lain.

Beribadah adalah salah satu jalan untuk bisa berinteraksi secara vertical
kepada Yang Maha Kuasa, yakni pengabdian pada Tuhan. Telah dikemukakan arti
ibadah secara bahasa, mula-mula pengertian lengkapnya dalam peristilahan Islam
ialah menyatakan ketundukan atau kepatuhan sepenuhnya disertai oleh kekhidmatan
sedalam-dalamnya. Dalam pengertian sehari-hari pengertiannya mengambil sikap
jasmani secara khidmat terhadap sesuatu, sedang rohani dipenuhi oleh pikiran
mengajukan permohonan pada-Nya. Ibadah adalah manifestasi atau pengertian
pengabdian muslim pada Tuhan. Mengabdi kepada Allah dengan jalan menaati
perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya seperti yang ditunjukkan Al-Qur‟an
dan hadits. Hakikat ibadah mempunyai dua unsur, yaitu ketundukan dan kecintaan
yang dalam kepada Allah, unsur tertinggi adalah ketundukan. Sedangkan kecintaan
merupakan implementasi dari ibadah tersebut. Di samping itu ibadah juga
mengandung unsur kehinaan, yaitu kehinaan paling rendah di hadapan Allah SWT.

1
Banyak sekali jenis-jenis ibadah dalam agama Islam. Ada yang hukumnya
wajib ada pula yang hukumnya sunnah. Salah satu ibadah wajib adalah shalat lima
waktu. Biasanya pada saat sholat kita akan mendengarkan khutbah. Oleh karena itu
makalah ini ditulis untuk mengetahui pengertian, syarat, rukun, jeni-jenis, daan
metode khutbah.

2
PEMBAHASAN

1. Pengertian Khutbah
Menurut Tata Sukayat, khutbah adalah ucapan, ceramah, pidato dan
istilah-istilah lainnya yang semakna dengan khutbah. Menurut Moh. Ali Aziz,
khutbah sudah bergeser dari pidato secara umum menjadi pidato atau ceramah
agama dalam ritual keagamaan. Sebab definisi khutbah sudah berubah makna
dari pidato atau ceramah menjadi pidato yang khusus pada acara ritual
keagamaan di atas, maka perbedaan khutbah dan pidato pada umumnya
terletak pada adanya aturan yang ketat tentang waktu, isi dan cara
penyampaian pada khutbah. Nabi Muhammad SAW mengingatkan untuk
berkhutbah dengan singkat dan padat. Sebab semakin padat dan singkat,
semakin tampak kecerdasan pengkhutbah. Diksi juga menentukan perhatian
dan kesan audiens. Hal ini yang harus dilakukan oleh oleh seorang
pengkhutbah agar pesan yang disampaikan dapat diterima oleh audiens.
Pemilihan topik juga harus diusakan agar menarik dan mudah diingat. Pesan
khutbah juga berisi pemberian motivasi kepada audiens, tidak hanya untuk
semangat beribadah tetapi juga untuk semangat hidup.

2. Syarat dan Rukun Khutbah


a. Memuji kepada Allah
Pada kedua khutbah Rukun khutbah pertama ini disyaratkan menggunakan
kata “hamdun” dan lafadh-lafadh yang satu akar kata dengannya, misalkan
“alhamdu”, “ahmadu”, “nahmadu”. Demikian pula dalam kata “Allah”
tertentu menggunakan lafadh jalalah, tidak cukup memakai asma Allah
yang lain.
Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:

3
“Disyaratkan adanya pujian kepada Allah menggunakan kata Allah dan
lafadh hamdun atau lafadh-lafadh yang satu akar kata dengannya. Seperti
alhamdulillah, ahmadu-Llâha, Allâha ahmadu, Lillâhi al-hamdu, ana
hamidun lillâhi, tidak cukup al-hamdu lirrahmân, asy-syukru lillâhi, dan
sejenisnya, maka tidak mencukupi.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-
Minhaj al-Qawim Hamisy Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj,
2011, juz.4, hal. 246)
b. Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad
Pada kedua khutbah Dalam pelaksanaanya harus menggunakan kata “al-
shalatu” dan lafadh yang satu akar kata dengannya. Sementara untuk asma
Nabi Muhammad, tidak tertentu menggunakan nama “Muhammad”,
seperti “al-Rasul”, “Ahmad”, “al-Nabi”, “al-Basyir”, “al-Nadzir” dan lain-
lain. Hanya saja, penyebutannya harus menggunakan isim dhahir, tidak
boleh menggunakan isim dlamir (kata ganti) menurut pendapat yang kuat,
meskipun sebelumnya disebutkan marji’nya. Sementara menurut pendapat
lemah cukup menggunakan isim dlamir.
Syekh Mahfuzh al-Tarmasi mengatakan:

“Shighatnya membaca shalawat Nabi tertentu, yaitu komponen kata yang


berupa as-shalâtu beserta isim dhahir dari beberapa asma Nabi
Muhammad shallahu ‘alaihi wasallama”. (Syekh Mahfuzh al-Tarmasi,
Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011, juz.4, hal. 248).

4
c. Berwasiat dengan ketakwaan
Pada kedua khutbah, rukun khutbah ketiga ini tidak memiliki ketentuan
redaksi yang paten. Prinsipnya adalah setiap pesan kebaikan yang
mengajak ketaatan atau menjauhi kemaksiatan. Seperti “Athi’ullaha,
taatlah kalian kepada Allah”, “ittaqullaha, bertakwalah kalian kepada
Allah”, “inzajiru ‘anil makshiat, jauhilah makshiat”. Tidak cukup sebatas
mengingatkan dari tipu daya dunia, tanpa ada pesan mengajak ketaatan
atau menjauhi kemakshiatan.
Syekh Ibrahim al-Bajuri mengatakan:

“Kemudian berwasiat ketakwaan. Tidak ada ketentuan khusus dalam


redaksinya menurut pendapat yang shahih. Ucapan Syekh Ibnu Qasim ini
kelihatannya mengharuskan berkumpul antara seruan taat dan himbauan
menghindari makshiat, sebab takwa adalah mematuhi perintah dan
menjauhi larangan, namun sebenarnya tidak demikian kesimpulannya.
Akan tetapi cukup menyampaikan salah satu dari keduanya sesuai
pendapatnya Syekh Ibnu Hajar. Tidak cukup sebatas menghindarkan dari
dunia dan segala tipu dayanya menurut kesepakatan ulama”. (Syekh
Ibrahim al-bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim, Kediri, Ponpes
Fathul Ulum, tanpa tahun, juz.1, hal.218-219)
d. Membaca ayat suci al-Quran di salah satu dua khutbah.
Membaca ayat suci al-Quran dalam khutbah standarnya adalah ayat al-
Qur'an yang dapat memberikan pemahaman makna yang dimaksud secara
sempurna. Baik berkaitan dengan janji-janji, ancaman, mauizhah, cerita
dan lain sebagainya.

5
e. Berdoa untuk kaum mukmin di khutbah terakhir
Mendoakan kaum mukminin dalam khutbah Jumat disyaratkan isi
kandungannya mengarah kepada nuansa akhirat. Seperti “allahumma
ajirnâ minannâr, ya Allah semoga engkau menyelematkan kami dari neraka”,
“allâhumma ighfir lil muslimîn wal muslimât, ya Allah ampunilah kaum
muslimin dan muslimat”. Tidak mencukupi doa yang mengarah kepada
urusan duniawi, seperti “allâhumma a’thinâ mâlan katsîran, ya Allah semoga
engkau memberi kami harta yang banyak”.

3. Jenis-Jenis Khutbah
Secara terminologi khutbah adalah ceramah yang menggunakan ajaran agama.
Khutbah merupakan kegiatan dakwah yang paling efektif yang bertujuan
untuk mengajak orang lain untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan dengan
memberi nasihat yang isinya berupa ajaran agama.
Dalam ajaran agama Islam ada beberapa macam jenis khutbah antara lain:
a. Khutbah Jum’at
b. Khutbah Idul Fitri
c. Khutbah Idul Adha
d. Khutbah Istisqa
e. Khutbah Pernikahan

4. Metode-Metode Khutbah.

Beberapa metode dan etika yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam
berkhutbah adalah :

a. Memulai dengan memuji Allah SWT.

6
b. Mengingatkan bahwa yang terbaik untuk disampaikan dalam khutbah
atau informasi yang terbaik untuk diketahui manusia adalah: al-Qur’an
dan al-Hadis.
c. Memisahkan pujian dengan isi, dengan mengatakan Amma Ba’du.
d. Banyak mengutip dan membacakan al-Qur’an.
e. Dalam menyampaikan pesan tertentu yang sangat penting, suara beliau
meninggi, matanya memerah dan kelihatan kemarahan beliau.
f. Dalam masalah lain seperti dalam pembagian harta rampasan pada perang
Hunayn, beliau menyampaikannya dengan lembut dan menggunakan
nurani dan bahasa cinta yang dalam.
g. Dalam kesempatan lain, beliau menggunakan bahasa keimanan, seperti
dalam perjanjian Hudaibiyah.
h. Dalam kesempatan lain, beliau menggunakan bahasa kiasan, seperti
dalam berbicara dengan orang-orang badui.
i. Momentum, tema, pendengar/hadirin, akan menentukan metode yang
beliau pilih agar lebih komunikatif, efektif dan tepat.

Riwayat 1

Dari Jabir ra. dia bercerita:

Bahwa Rasulullah SAW ketika berkhutbah matanya memerah, suaranya


meninggi dan kemarahannya memuncak sampai seolah-olah beliau komandan
pasukan tentara yang berkata: Hati-hati di pagi hari dan hati-hati di sore hari.
Beliau bersabda:

Aku diutus dan jaraknya dengan kiamat seperti ini (Beliau mengisyaratkan
antara jari telunjuk dan jari tengah).

7
Kemudian Beliau melanjutkan:

Amma Ba’du, sesungguhnya pembicaraan yang terbaik adalah kitabullah (al-


Qur’an) dan sebaik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk
masalah adalah yang baru dan setiap yang bid’ah adalah kesesatan.

Kemudian Beliau melanjutkan khutbahnya:

Aku lebih berhak dari setiap orang mu’min dari dirinya sendiri. Barang siapa
yang mewariskan harta, maka itu untuk keluarganya, dan barang siapa yang
meninggalkan hutang atau barang hilang, maka itu diberikan kepadaku dan
aku yang akan menanggungnya.

(HR. Muslim)

Riwayat 2

Dari Ummi Hisyam bint Haritsah yang berkata:

Tidaklah aku mengambil (mendengar/menghafal) surat Qof kecuali langsung


dari lisan Rasulullah SAW, beliau membacanya setiap Jum’at di atas mimbar
ketika berkhutbah di hadapan kaum manusia.

(HR. Muslim dan Ahmad)

8
PENUTUP

Kesimpulan

Khutbah adalah ucapan, ceramah, pidato dan istilah-istilah lainnya yang semakna
dengan khutbah. Ada bebrapa rukun khutbah yaitu, memuji kepada Allah, membaca
shalawat kepada Nabi Muhammad, berwasiat dengan ketakwaan, membaca ayat suci al-
Quran di salah satu dua khutbah, berdoa untuk kaum mukmin di khutbah terakhir. Dalam
ajaran agama Islam ada beberapa macam jenis khutbah antara lain yaitu, khutbah Jum’at,
khutbah Idul Fitri, khutbah Idul Adha, khutbah Istisqa, khutbah pernikahan.

9
DAFTAR PUSTAKA

Mulkhan, Abdul Munir. 2005. Masalah-masalah Teologi dan Fiqh Dalam Tarjih
Muhammadiyah. Yogyakarta: Roykhan, 2005.

Yanuarita, Andri. 2012. Langkah Cerdas Pidato dan MC. Yogyakarta:Teranova


Books.

10

Anda mungkin juga menyukai