Anda di halaman 1dari 3

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENJADI


DASAR HUKUM DAN YANG TERKAIT

A.KONDISI HUKUM DAN STATUS HUKUM YANG ADA

Tercatat ada empat undang-undang yang  berhubungan dengan pemberdayaan terhadap


perempuan sejak tahun 1984 hingga 2011 di website resmi Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia.1

Di awal millenium kedua, muncul Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender
(gender streaming ). Peraturan ini bertujuan untuk menyelenggarakan perencanaan,  penyusunan,
pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan pemerintah yang berspektif keadilan gender. 2Dikeluarkannya
ketentuan tersebut tidak terlepas dari fakta kegagalan program Keluarga Berencana (KB) yang tidak
berwawasan kesetaraan. Praktek-praktek ber-KB dilaksanakan melalui “paksaan” dengan target
perempuan dari kalangan ekonomi bawah. Perempuan tidak diberikan kesempatan untuk memilih alat
kontrasepsi yang tepat dan kehilangan otonomi untuk mengatur aspek reproduksinya sendiri. Akibatnya,
perempuanlah yang harus menanggung dampak buruk pada kesehatan organ reproduksi mereka.

Terkait kesejahteraan perempuan di lingkungan tempat kerja, Undang-Undang Nomor 13 Tahun


2003 Tentang Ketenagakerjaan dilengkapi dengan beberapa aturan yang cukup memadai. Beberapa hal
yang diatur untuk menjamin hak-hak perempuan antara lain:  perlindungan jam kerja bagi wanita (mulai
pukul 23.00 hingga jam 7 pagi) yang meliputi  juga jaminan asupan makanan bergizi selama waktu
istirahat, perlindungan dalam masa haid dimana tenaga kerja wanita diperbolehkan tidak hadir pada hari
pertama dan kedua menstruasi, perlindungan cuti hamil bersalin selama 1,5 bulan sebelum saatnya
melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan dengan upah penuh, serta pemberian kesempatan pada
pekerja wanita yang anaknya masih menyusu untuk menyusui anaknya hanya efektif untuk yang
lokasinya dekat dengan perusahaan. Sayangnya, masih banyak perusahaan yang tidak mematuhi peraturan
tersebut. Diperbolehkannya perjanjian khusus antara majikan dan buruh terkait peraturan kerja
mengakibatkan banyaknya penyelewengan tersembunyi terhadap ketentuan-ketentuan yang telah
disebutkan di atas. Minimnya pengawasan dari dinas-dinas yang berwenang juga menyebabkan
banyaknya pekerja wanita yang menderita di lingkungan tempat kerja mereka.

Kemudian muncul Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif. Ketentuan
dalam pasal 8, pasal 53 dan pasal 55 memberikan mandat bahwa posisi wanita yang duduk di lembaga
legislatif sekurang-kurangnya berjumlah 30%. Diharapkan, melalui  porsi yang lebih besar tersebut kaum
Hawa dapat lebih didengar suaranya serta mampu memerankan peranan vital dalam pengambilan
keputusan negara. Akan tetapi, kenyataannya realisasi dari ketentuan Undang-Undang tersebut masih jauh
dari harapan. Pada periode 2004-2009 dari 550 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, anggota
perempuan hanya 12 persen. Ditingkat DPRD bahkan jumlahnya semakin kecil, hanya 7-8 persen, dan
1
http://www.menegpp.go.id/aplikasidata/index.php?option=com_docman&Itemid=105 ,diakses pada 19 mei 2018
pukul 10.47.
2
Romany Sihite. Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan Jakarta: PT. Rajagrafindo. 2007 ,hlm.54.
yang lebih memprihatinkan, terdapat satu kabupaten yang tidak terdapat anggota DPRD yang
perempuan.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kurang optimalnya fungsi hukum sebagai social
engineering . Pertama, faktor perundang-undangan. Ketiadaan aturan hukum membuat upaya-upaya
pemberdayaan perempuan penuh dengan ketidakpastian serta tanda tanya. Kedua, faktor penegak hukum.
Aparat penegak hukum memiliki tanggung jawab sebagai aktor yang melaksanakan perintah perundang-
undangan. Tanpa kinerja yang giat dan efektif, peraturan hukum yang melindungi perempuan tidak akan
dapat berjalan sesuai dengan tujuan pembentukannya. Faktor ketiga adalah warga masyarakat. Peran aktif
masyarakat dalam  pelaksanaan menjadi penting sebab di sanalah fungsi operasional hukum dapat terlihat
jelas. Terakhir, faktor fasilitas pendukungnya. Kelengkapan sarana dan prasana yang menunjang
pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai perempuan akan memberikan banyak kemudahan
serta kemanfaatan baik dari pihak pelaksana maupun target yang disasar oleh peraturan hukum tersebut.

Harapan baru atas hak-hak perempuan muncul seiring dengan dikeluarkannya Perda oleh
Kabupaten SITUBONDO Nomor 18 Tahun 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN
PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN,Namun di dalam perda
tersebut sama sekali tidak menyinggung tentang pemberdayaan perempuan dalam kaitanya dengan hak
hak perempuan dalam bidang pemberdayaan yang di upayakan oleh pemerintah Kabupaten
SITUBONDO..

B. KETERKAITAN DENGAN PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN YANG LAIN 

Mengingat arti pentingnya perempuan dalam hal pemberdayaan maka KABUPATEN


SITUBONDO menaruh perhatian yang besar terhadap hal tersebut.hal ini terlihat dengan diperlukanya
beberapa peraturan perundangan yang mengatur tentang pemberdayaan perempuan.Peraturan Perundang
– undangan yang menjadi dasar hukum pembentukan Peraturan daerah Kabupaten Situbondo tentang
Pemberdayaan Perempuan adalah :

1. UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan ( Convention on The Eliminatioan of all Form of Discrimination Against
Women).
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138
Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi mengenai Usia Minimum
Anak Diperbolehkan Bekerja).
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.Bahwa setiap orang melekat
hak dan kewajibannya masingmasing yang dijunjung tinggi oleh hukum.
4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Esensi undang-undang ini yang
berkaitan dengan perempuan dan anak adalah masalah batas usia anak bekerja, dan hakhak
perempuan dalam melakukan pekerjaan.
5. Undang -Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pemerintah Daerah
berhak untuk mengurus dan mengatur daerahnya sendiri berdasarkan asas otonomi.
6. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010
Tentang ` Panduan Pembentukan Dan Pengembangan Pusat Pelayanan Terpadu.

Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menentukan pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah
dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Ketentuan ini
merupakan landasan hukum konstitusional bagi pembentukan Peraturan Daerah. Pemerintahan daerah
provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota adalah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (2) UUD 1945). Pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai urusan Pemerintah Pusat (Pasal 18 ayat (5) UUD 1945).

Ketentuan tersebut menjadi politik hukum pembentukan peraturan daerah tentang Pemberdayaan
Perempuan . Sebagai dasar hukum formal pembentukan perda ini adalah Pasal 18 ayat (6) UUD 1945,
sebagaimana juga ditentukan pada Pedoman 39 Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan
(TP3U) Lampiran UU 12/2011, yang menyatakan bahwa dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah
adalah Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Anda mungkin juga menyukai