Anda di halaman 1dari 57

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN KONSEP ARSITEKTUR JEPANG

Jepang adalah sebuah negara kepulauan yang terdiri dari kira-kira 4000 pulau
mulai dari  Hokkaido di utara hingga Okinawa di Selatan. Ada empat pulau besar
yang memiliki populasi  cukup tinggi yaitu Honshu, Hokkaido, Kyushu, dan
Shikoku Jepang beriklim sejuk, cuaca dingin  berasal dari utara dan panas berasal
dari Selatan. Hampir seluruh wilayah memiliki empat  musim; dingin, gugur, semi
dan panas, terutama di wilayah utara. Area pegunungan meliputi  hampir 75% dari
seluruh luas wilayahnya dan termasuk negara yang memiliki gunung berapi  yang
banyak di dunia sehingga gempa sering terjadi dan terdapat banyak titik sumber air
panas  (hotspring). Perkembangan budaya, ekonomi, dan politik mengalami proses
yang panjang sejak  dari masa prasejarah hingga sekarang ini.
Berbagai tipe dan fungsi bangunan yang berkembang mulai masa prasejarah,
medieval  (Nara) hingga periode Edo dalam arsitektur Jepang, antara lain rumah
primitif, bangunan  religius: Kuil (Shinto dan Buddha), istana dan puri, rumah toko
(machiya), rumah tinggal prajurit  (rumah para samurai), vila atau paviliun
bangsawan, gedung teater kabuki, rumah tinggal petani  (minka), sekolah dan
rumah tempat minum teh. Kesemuanya memiliki karakteristik desain
tersendiri.  Pertumbuhan kota-kota baru di Jepang dimulai sejak masa Nara.
Masuknya Budha pada  abad ke-6 telah membuka hubungan perdagangan
internasional yang erat dengan Asia khususnya  Cina yang dikuasai oleh Dinasti
Tang pada masa itu dan Kerajaan yang menguasai jalan sutra.
Hubungan dagang tersebut telah membawa pengaruh pada ekonomi, sosial
politik dan hukum. Sehingga tidak heran bahwa perencanaan kota Heian (Kyoto)
merupakan replika yang lebih kecil  dari desain kota Cangan, ibukota Dinasti
Tang. Konsep itu pula sebelumnya telah diadopsi dalam  perencanaan kota Naniwa
pada tahun 645 (sekarang Osaka), kota Fujiwara pada tahun 694  (sekarang sebelah
selatan kota Nara), kota Heijo pada tahun 710 (Nara), kota Kuni pada tahun  740,
kota Nagaoka, dan kota Otsu.

Ciri-ciri dan karakteristik rumah Austronesia tampak pada rumah Jepang


pada masa  prasejarah. Pengaruh budaya, iklim dan alam sangat menentukan
konsep arsitektur rumah awal  Jepang. Bentuk rumah tenda berdiri diatas tanah
yang dilubangi (pit dwelling) merupakan perkembangan dari rumah
gua.Kemudian, sejalan dengan perkembangan peradaban, telah  mengakibatkan
terjadinya evolusi pada bentuk dan konsep rumah. Pit dwelling berevolusi  menjadi
pit dwelling dengan dinding, kemudian menjadi rumah panggung (raised floor
dwelling)  dengan struktur kayu dan atap alang-alang. Semua perangkat dan
peralatan yang digunakan  mengalami perubahan dan kemajuan. Pada saat itu
rumah bukan lagi semata sebagai tempat  berlindung dari panas dan hujan akan
tetapi sudah menjadi penanda status sosial di dalam  masyarakat. Pada masa
Jomon, pit dwelling dengan dinding banyak didirikan, Kemudian pada  masa
Yayoi dan Kofun, rumah panggung (takayuka) yang pada sebelumnya hanya
dibangun sebagai tipikal lumbung menjadi favorit.
Perkembangan sejarah arsitektur Jepang secara singkat diperkirakan dimulai
sejak awal periode Yomon (ca. 8000~300 BC.). Kemudian dilanjutkan dengan beberapa
periode, yaitu Yayoi (ca. 300 BC. ~ AD. 300) dan periode berikutnya adalah periode
Tomb atau Kofun (ca. 300~552). Perjalanan dari periode-periode tersebut memberikan
banyak peninggalan tradisi berbudaya dalam bangunan tempat tingal, temuan dari hasil
rekonstruksi arsitektur dan arkeologi yang masih mempunyai bentuk keasliannya, yang
sampai saat ini masih dapat dilacak keberadaannya. Arsitektur dari bangunan tempat
tinggal tersebut memberi corak tradisi perkembangan awal peradaban Jepang dalam
membentuk lingkungan permukiman tradisionalnya. Tradisi dan budaya ini berkembang
menjadi dasar pijakan awal perkembangn arsitektur dan kepercayaan asli bangsa
Jepang. Hasil rekonstruksi di atas menunjukkan bahwa budaya asli mereka dalam
berhuni cukup tinggi dengan struktur konstruksi bangunannya maupun pola
permukimannya yang sangat dinamis.

          Setelah ketiga periode di atas berjalan, muncul satu kepercayaan asli bangsa
Jepang yang berkembang pada waktu itu, yaitu Shinto (the Way of God). Mereka
menyebutnya Tuhan mereka sebagai kami, karena itu kata kami dapat diartikan pula
sebagai dewa atau Tuhan. Shinto merupakan satu kepercayaan asli (primitif) dengan
sifat universal. Bentuk bangunan kuilnya merupakan ciri khas dari arsitektur tradisional
Jepang (native architecture). Struktur dan konstruksi bangunannya masih asli dan
sangat sederhana, tanpa adanya detail dan ornament serta warna. Bentuk bdan
tampilan angunannya mempunyai karakter jerinih, tanpa adanya polesan apapun.
Keasliannya memberikan cermin akan kesederhanaan karakter dan budaya yang
melekat pada tradisi waktu itu, yang akhirnya dibawa ke dalam era modern sekarang
ini. Dari bentuk bangunannya, belum nampak adanya pengaruh dari arsitektur
manapun dalam hal ini Budisme. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada masa tersebut
agama/kepercayaan dan arsitektur yang berkembang pada waktu itu belum
terpengaruh dari manapun. Karena pada periode tersebut agama Buda dan segela
bentuk budayanya belum masuk dan menyebar ke Jepang, baik yang melalui Korea
maupun Cina.

          Pada tahun 552 AD., Budisme masuk ke Jepang melalui Korea (melalui kerajaan
Paekche). Pada waktu itu Budisme berkembang sangat pesat terutama di Kota Nara,
dan perkembangan tersebut meliputi agama (dengan munculnya enam aliran di dalam
agama Buda), kebudayaan, arsitektur, seni, dan sebagainya. Pola dan bentuk
bangunan kuil-kuilnya pengaruh dari arsitektur dan budaya Cina sangat kuat sekali,
baik dari struktur bangunannya maupun bentuk tampilannya. Perkembangan Budisme
diawali sejak periode Asuka (552~645) dan dilanjutkan pada periode Nara (646~793).
Dari perjalanan kedua periode tersebut, arsitektur kuil berkembang pesat, dan style
yang muncul pada waktu itu, adalah wayou (native style = Japanese style
architecture). Merupakan style dengan keaslian bentuk dan tampilannya mencirikan
awal dari berkembangnya arsitektur Budhis di Jepang. Dengan berbagai macam aliran
dalam Budisme yang berkembang di Kota Nara, berkembang pula berbagai macam
bangunan kuil mulai pagoda sampai pada permukimannya. Dengan bentuk dan detail-
detail arsitekturnya menjadikan awal dari perkembangan arsitektur bangunan kuil-kuil
di Jepang.

          Pada periode Heian (794~1185), ada dua sekte besar yang banyak berperan di
dalam pengembangannya. Kedua sekte tersebut adalah, sekte Shingon dan sekte
Tendai. Kedua sekte ini mengembangkan ajaran tentang esoterik Budisme (dari aliran
Mahayana) dengan mandalanya (kosmik diagram). Untuk sekte Shingon mempunyai
kompleks kegiatan yang berpusat di atas gunung Koya di propinsi Wakayama.
Sedangkan sekte Tendai berpusat di atas gunung Hie yang terletak di perbatasan
antara propinsi Kyota dan Shiga. Pada periode ini perkembangan dari style untuk kuil-
kuil Buda, masih bertahan dengan wayou (Japanese style). Bangunan-bangunan kuil
dengan pola perletakan kompleks kuilnya menjadi ciri khas pada periode tersebut.
Demikian juga dengan lukisan-lukisan dengan konsep mandalanya berkembang dengan
pesat, dan menjadi ciri dari periode tersebut.

           Pada periode Kamakura (1186~1333), muncul beberapa sekte baru dalam


agama Buda, di antaranya adalah Zen Budisme yang berkembang pesat di Jepang.
Waktu itu perkembangannya melalui dua sekte besar, yaitu sekte Rinzai dan sekte
Soutou. Kedua sekte ini dibawa oleh biksu-biksu dari Jepang yang belajar ke Cina.
Membawa filosofi baru dalam Budisme yang akhirnya berkembang keseluruh bagian
dari kehidupan masyarakat Jepang, terutama dalam bidang seni dan budaya. Periode
ini campur tangan dari pemerintah militer mempunyai peran besar, terutama dalam
perkembangan dari sekte Rinzai. Dapat dikatakan, bahwa kedua sekte yang mereka
bawa dari Cina dapat masuk ke dalam kehidupan masyarakat, termasuk arsitektur Zen
yang terlihat pada bangunan kuil maupun huniannya. Selain sekte yang berkembang
melalui Zen Budisme, ada, beberapa sekte lain dari agama Buda yang juga
berkembang, di antaranya sekte Judou, sekte Joudou-shin dan sekte Nichiren.
Meskipun demikian, pada awalnya Japanese style (wayou) masih bertahan, namun
dalam proses perjalanannya style baru yang masuk dibawa dari Cina Zen style
(zenshuyou) atau juga disebut karayou (Chinese style), mengalami perkembangan
pesat. Style ini berkembang terutama pada bangunan-bangunan kuil, pola lay out
bangunan ataupun detail-detail arsitektur menjadikan ciri khas bangunan Zen Budisme
di Jepang. Di samping style-style tersebut, ada beberapa kuil yang di dalam
perkembangannya menggunakan atau mengadopsi lebih dari dari satu macam style,
yang diwujudkan ke dalam sebuah bangunan. Di antaranya, adalah penggabungan dari
beberapa macam style, yaitu “wayou”+”zenshuyou/karayou”+“daibutsuyou”.
Penggabungan dari berbagai macam style ini juga dinamakan setchuyou (mix
style/hybrid style). Sebenarnya, pada periode Kamakura ini, style yang berkembang
hanya ada dua, yaitu zenshuyou dan daibutsuyou (great Buddha style)/tenjikuyou
(Hindu style). Sedangkan untuk daibutsuyou muncul pertama kali saat Chogen
melakukan restorasi bangunan Nandaimon, yaitu pintu gerbang, yang terdapat di
bagian selatan dari kuil Toudai-ji di Kota Nara.

         Dalam Zen Budisme, perkembangan pesat terjadi pada sekte Rinzai, terutama di
Kota Kamakura dan Kyoto. Di kedua kota tersebut, terdapat ranking dari lima kuil besar
(gozan), sistem tersebut diadopsi dari sistem yang terdapat di Cina. Kuil-kuil besar
yang terdapat di kedua kota tersebut mendapat dukungan dari pemerintah militer yang
berkuasa pada waktu itu. Dukungan yang diberikan oleh pemerintah militer antara lain
meliputi ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Sedangkan sekte Rinzai lebih banyak
berkembang di pusat-pusat Kota, dibandingkan dengan sekte Soutou karena mendapat
dukungan dari pemerintah militer. Sebaliknya, untuk sekte Soutou lebih banyak
berkembang di daerah pedesaan dan pegunungan yang jauh dari pusat kota. Pada
tahun 1630, ada sekte baru, yaitu sekte Obaku yang merupakan bagian dari Zen
Budisme masuk ke Jepang dibawa oleh seorang bhiksu dari Cina. Dalam perjalanan
sejarah berikutnya, di Kota Kyoto berkembang pula dua kuil besar dari sekte Rinzai,
yaitu Myoushin-ji dan Daitoku-ji. Kedua kuil ini tidak mendapat dukungan dari
pemerintah militer yang berkuasa waktu itu. Karena keduanya tidak masuk ke dalam
ranking lima kuil besar (gozan), dan dalam perkembangannya kedua kuil tersebut
hingga saat ini masih bertahan.

          Pada periode Muromachi (1134~1573), style dari zenshuyou maupun karayou


masih berkembang dengan pesatnya. Terutama pada art of garden (seni penataan
taman) dengan bentuk penataan mempunyai ciri khas dari filosofi Zen. Seni taman ini
banyak terlihat pada vihara-vihara sekte Rinzai, yang terdapat di dalam kompleks kuil-
kuil besar Zen yang berada di Kota Kyoto. Perkembangan lain yang terjadi, adalah
residential architecture (rumah tinggal), terlihat pada bangunan-bangunan kuil, vila,
dan rumah para samurai dengan sentuhan detail-detail arsitektur yang khas dari Zen
Budisme.

          Berikutnya pada periode Momoyama (1574~1614), ada tiga shogun besar yang
mempersatukan Jepang di antaranya adalah Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi, dan
Tokugawa Ieasu. Style yang berkembang pada periode ini masih bertahan pada
zenshuyou/karayou, sedangkan pada bagian lain adalah Zen painting (seni lukis)
nampak berkembang sangat pesat. Pada bagian lain dari periode ini yang juga
berkembang pesat adalah bangunan castle, perkembangannya hampir terdapat di
seluruh Kota yang ada di Jepang. Sebagian dari bangunan castle tersebut sampai saat
ini masih bertahan dan dilestarikan sebagai cagar budaya. Ada beberapa bangunan
yang sudah mengalami perubahan baik dengan cara restorasi maupun rekonstruksi,
dan bahkan menggunakan teknologi modern, karena dengan kondisi bangunan yang
ada sekarang sudah tidak mungkin lagi untuk dipertahankan sesuai dengan struktur
dan konstruksi aslinya.

          Pada periode Edo (1574~1868), adalah merupakan penerusan dan


Perkembangan dari periode sebelumnya (Momoyama). Dalam periode ini terlihat
adanya penekanan pada detail-detail bangunan, warna, dan ukiran baik untuk kuil
maupun hunian rumah tinggal. Machiya (rumah di perkotaan) berkembang pesat
hampir di semua kota, menjadi awal peradaban hunian kota yang sebagian besar masih
bertahan sampai saat ini di Jepang. Akhir periode ini menjadi awal dari pelestarian
cagar budaya bagi bangunan-bangunan yang di bangun periode sebelum sampai akhir
periode Edo.

          Periode berikutnya, adalah restorasi Meiji (1687~1911) dan periode Taisho


(1912~1926), pengaruh dari western style (arsitektur barat) di antaranya renaissance,
gothic dan romanesque masuk ke Jepang. Style-style tersebut banyak dikembangkan
untuk bangunan-bangunan universitas, museum, peribadatan, dan kantor. Pengaruh
dari style-style peninggalan periode Meiji dan Taisho sampai saat ini masih dapat dilihat
di Kota-Kota besar di Jepang sebagai warisan budaya masa lalu. Dipertahankan sebagai
bagian dari bangunan cagar budaya mereka. Bahkan para arsitek Jepang yang
menghasilkan karyanya pada waktu itu hampir kesemuanya menggunakan style-style
tersebut sebagai bagain dari desain bangunannya.
          Babak baru dari dunia arsitektur berkembang dengan pesat hampir keseluruh
daratan Jepang, terutama di Kota-Kota besar. Pada periode Showa (1927~1988)
banyak arsitek Jepang yang belajar ke Amerika dan Eropa memberikan pengaruh besar
terhadap Perkembangan arsitektur di Jepang. Seperti Maekawa Kunihiro yang disebut
sebagai bapak arsitektur modern Jepang yang belajar ke Prancis di bawah arsitek Le
Corbusier. Pengaruh besar dari hasil belajarnya di Prancis memberikan suasana baru di
Jepang dalam desain bangunannya. Kemudian arsitek lain seperti, Kenzo Tange juga
banyak memberikan ungkapan-ungkapan baru di dalam rancangannya. Sangat berbeda
dengan native arsitektur yang tmbuh dan berkembang di Jepang sendiri. Dilanjutkan
dengan periode Heisei (1989~sekarang) di mana post-modern mulai berkembang di
Jepang (sebenarnya post-modern di Jepang berkembang awal tahun 1980-an) dan hal
ini muncul akibat dari bubble economic. Perkembangan desain dari arsitektur post-
modern memberikan perubahan dalam perjalanan arsitektur Jepang dalam memberikan
segala macam bentuk-bentuk arsitekturnya. Dengan sedemikian rupa penjelajahannya
memberikan ungkapan yang sukar untuk diduga ke mana arh ide dan gagasannya.
Bermunculan bagai cendawan di musim hujan bersanding secara kontradiktif dengan
ketradisionalan yang mereka punyai. Style-style telah mengabaikan tradisi, budaya,
bentuk, bahan dan ungkapannya. Menjadi tempat berlombanya para arsitek Jepang
dalam menemukan ide-de dan gagasan baru dalam berkreasi untuk menciptakan
bentuk-bentuk barunya. Ini menjadi ciri khas berakhirnya arsitektur post-modern di
Jepang.

ARSITEKTUR JEPANG

Asya 2015
Jepang adalah sebuah negara kepulauan yang terdiri dari
kira-kira 4000 pulau mulai dari Hokkaido di utara hingga
Okinawa di Selatan. Ada empat pulau besar yang memiliki
populasi cukup tinggi yaitu Honshu, Hokkaido, Kyushu, dan
Shikoku Jepang beriklim sejuk, cuaca dingin berasal dari
utara dan panas berasal dari Selatan. Hampir seluruh wilayah
memiliki empat musim; dingin, gugur, semi dan panas,
terutama di wilayah utara. Area pegunungan meliputi hampir
75% dari seluruh luas wilayahnya dan termasuk negara yang
memiliki gunung berapi yang banyak di dunia sehingga
gempa sering terjadi dan terdapat banyak titik sumber air
panas (hotspring). Perkembangan budaya, ekonomi, dan
politik mengalami proses yang panjang sejak dari masa
prasejarah hingga sekarang ini. Berbagai tipe dan fungsi
bangunan yang berkembang mulai masa prasejarah,
medieval (Nara) hingga periode Edo dalam arsitektur Jepang,
antara lain rumah primitif, bangunan religius: Kuil (Shinto dan
Buddha), istana dan puri, rumah toko (machiya), rumah
tinggal prajurit (rumah para samurai), vila atau paviliun
bangsawan, gedung teater kabuki, rumah tinggal petani
(minka), sekolah dan rumah tempat minum teh. Kesemuanya
memiliki karakteristik desain tersendiri. Pertumbuhan kota-
kota baru di Jepang dimulai sejak masa Nara. Masuknya
Budha pada abad ke-6 telah membuka hubungan
perdagangan internasional yang erat dengan Asia khususnya
Cina yang dikuasai oleh Dinasti Tang pada masa itu dan
Kerajaan yang menguasai jalan sutra. Hubungan dagang
tersebut telah membawa pengaruh pada ekonomi, sosial
politik dan hukum. Sehingga tidak heran bahwa perencanaan
kota Heian (Kyoto) merupakan replika yang lebih kecil dari
desain kota Cangan, ibukota Dinasti Tang. Konsep itu pula
sebelumnya telah diadopsi dalam perencanaan kota Naniwa
pada tahun 645 (sekarang Osaka), kota Fujiwara pada tahun
694 (sekarang sebelah selatan kota Nara), kota Heijo pada
tahun 710 (Nara), kota Kuni pada tahun 740, kota Nagaoka,
dan kota Otsu. Ciri-ciri dan karakteristik rumah Austronesia
tampak pada rumah Jepang pada masa prasejarah.
Pengaruh budaya, iklim dan alam sangat menentukan konsep
arsitektur rumah awal Jepang. Bentuk rumah tenda berdiri
diatas tanah yang dilubangi (pit dwelling) merupakan
perkembangan dari rumah gua.Kemudian, sejalan dengan
perkembangan peradaban, telah mengakibatkan terjadinya
evolusi pada bentuk dan konsep rumah. Pit dwelling
berevolusi menjadi pit dwelling dengan dinding, kemudian
menjadi rumah panggung (raised floor dwelling) dengan
struktur kayu dan atap alang-alang. Semua perangkat dan
peralatan yang digunakan mengalami perubahan dan
kemajuan. Pada saat itu rumah bukan lagi semata sebagai
tempat berlindung dari panas dan hujan akan tetapi sudah
menjadi penanda status sosial di dalam masyarakat. Pada
masa Jomon, pit dwelling dengan dinding banyak didirikan,
Kemudian pada masa Yayoi dan Kofun, rumah panggung
(takayuka) yang pada sebelumnya hanya dibangun sebagai
tipikal lumbung menjadi favorit. Perkembangan sejarah
arsitektur Jepang secara singkat diperkirakan dimulai sejak
awal periode Yomon (ca. 8000~300 BC.). Kemudian
dilanjutkan dengan beberapa periode, yaitu Yayoi (ca. 300
BC. ~ AD. 300) dan periode berikutnya adalah periode Tomb
atau Kofun (ca. 300~552). Perjalanan dari periode-periode
tersebut memberikan banyak peninggalan tradisi berbudaya
dalam bangunan tempat tingal, temuan dari hasil rekonstruksi
arsitektur dan arkeologi yang masih mempunyai bentuk
keasliannya, yang sampai saat ini masih dapat dilacak
keberadaannya. Arsitektur dari bangunan tempat

Saat berwisata ke Jepang, kalian mungkin akan tertarik


untuk mengunjungi aneka kuilnya. Ya, wisata kuil memang
menjadi salah satu daya tarik pariwisata Jepang, dan untuk
kota-kota kuno seperti Kyoto, Nara, Kanazawa,
maupun Kamakura; kuil justru menjadi daya tarik utama
dari pariwisata di kota-kota tersebut.
Faktanya, di Jepang memang banyak terdapat kuil dengan
beragam ukuran, mulai dari kuil kecil berskala lokal,
hingga kuil super besar yang mengundang wisatawan dari
berbagai negara. Namun, tahukah kalian jika kuil di Jepang
setidaknya terdiri dari 2 jenis, yaitu kuil Shinto dan kuil
Buddha.

Walau sama-sama terletak di Kyoto, kuil Kinkaku-


ji berbeda dengan kuil Fushimi Inari Taisha, karena yang
satu adalah kuil Buddha sementara yang lainnya
merupakan kuil Shinto, dan itu bisa sangat
membingungkan wisatawan yang ingin melakukan wisata
kuil. Yang mana kuil Buddha? Yang mana kuil Shinto? Dan
apa sih perbedaan di antara kedua jenis kuil tersebut?
Kinkakuji, via forums.hardwarezone

Memahami definisi kuil Shinto dan


kuil Buddha

Saat ini, diperkirakan ada sekitar 95,000 kuil Shinto dan


kira-kira 86,000 kuil Buddha yang ada di seluruh Jepang.
Untuk memahami perbedaan di antara kedua jenis kuil
tersebut, yang pertama harus dilakukan adalah memahami
apa itu kuil Shinto dan apa itu kuil Buddha.

Perbedaan yang paling mendasar adalah fungsi utama dari


kuil Shinto dan kuil Buddha. Kuil Shinto (dalam bahasa
Inggris disebut “shrine”), merupakan sebuah kuil yang
dibangun untuk memuja dewa (dalam bahasa Jepang
disebut “kami”) yang disembah dalam ajaran Shinto yang
merupakan kepercayaan asli bangsa Jepang.

Inti dari ajaran Shinto adalah mempercayai jika ada dewa


di setiap tempat maupun di setiap elemen kehidupan, dan
setiap manusia akan menjadi dewa setelah meninggal. Jadi
jangan heran jika ada dewa besar yang disembah oleh
banyak orang seperti dewi matahari, namun ada juga
dewa-dewa lokal yang hanya dikenal oleh masyarakat di
sebuah daerah.
Sementara kuil Buddha (dalam bahasa Inggris
disebut  “temple”) merupakan kuil yang dibangun untuk
tempat beribadah para penganut agama Buddha. Ajaran
Buddha sendiri bukanlah ajaran asli di Jepang, melainkan
dibawa dari Cina serta Korea dan baru masuk ke Jepang
kira-kira pada abad ke-6.

Ajaran Buddha cukup diterima oleh masyarakat Jepang


yang memang terbuka dengan semua ajaran agama, walau
sempat ada konflik diantara kedua kepercayaan tersebut
pada permulaannya. Namun ajaran Shinto dan Buddha
kemudian hidup berdampingan, dan untuk beberapa hal,
terjadi akulturasi yang menyebabkan batas antara ajaran
Shinto dan Buddha menjadi kabur. Hal ini akan saya
jelaskan di bagian lain dari tulisan ini.
Great Buddha di Kamakura, via onmarkproductions

Penting nggak sih membedakan


antara kuil Shinto dan kuil Buddha?
Sebagai wisatawan, mungkin ada yang merasa nggak
penting-penting amat mengetahui perbedaan antara kuil
Shinto dan kuil Buddha. Toh kedua kuil tersebut sama-
sama menarik untuk dikunjungi, dan akan terlihat keren
saat diabadikan oleh kamera.

Pandangan tersebut nggak salah, tapi juga nggak


sepenuhnya benar. Memang benar, entah itu kuil Shinto
maupun kuil Buddha, keduanya sama-sama menarik untuk
dikunjungi. Tapi, kuil Shinto punya etika dan juga hal-hal
penting yang harus diketahui oleh para pengunjung,
termasuk wisatawan.

Begitu juga dengan kuil Buddha, yang juga memiliki etika


dan aturan tersendiri. Dengan mengetahui apakah kuil
yang dikunjungi merupakan kuil Shinto atau kuil Buddha,
setidaknya wisatawan sudah berusaha untuk menghormati
tempat suci agama lain dan tahu apa yang boleh dan
nggak boleh dilakukan disana. Dan, wisatawan juga akan
mengetahui apa sih yang menarik dari kuil Shinto maupun
kuil Buddha, dan itulah yang harus dicari saat berwisata
kesana.

Bagaimana cara membedakan kuil


Shinto dan kuil Buddha?

Berikut beberapa cara mudah untuk membedakan antara


kedua jenis kuil.

 Masalah nama

Membedakan kuil Shinto dan kuil Buddha bisa dilakukan


dari segi nama. Kuil Shinto biasanya disebut dengan
tambahan embel-embel “jingu” yang berarti kuil Shinto- di
belakang namanya. Selain  “jingu”, nama lain yang biasa
dilekatkan di belakang nama kuil Shinto
adalah “jinja” dan “taisha”.

Contoh: Meiji-Jingu, Yasukuni Jinja, dan Fushimi Inari


Taisha.
Meiji Jingu, via bluebalu.wordpress

Sementara kuil Buddha, biasanya dibelakang nama kuil


ditambahkan kata  “ji“yang berarti “kuil Buddha”. Alternatif
lainnya, ditambahkan kata “tera” atau “dera”, dan kadang-
kadang “in”.

Contoh: Ryoan-ji, Kiyomizu-dera, Byodo-in.
Byodo-in temple, via shaneharderphotography.com

 Gaya Arsitektur

Arsitektur di kuil Shinto sangat khas ala Jepang, karena kuil


ini memang dibangun berdasarkan kepercayaan Shinto
yang notabene merupakan kepercayaan asli masyarakat
Jepang. Berikut beberapa fitur khas dalam arsitektur kuil
Shinto:
 Gerbang kuil(torii), mayoritas dibuat berwarna
merah-oranye dan hitam, kecuali jika torii  dibuat
dari bahan lain seperti kayu.
Torii atau gerbang kuil, via digital-images.net

 Temizuya, tempat untuk menyucikan diri sebelum


berdoa di kuil.

Temizuya, via necessaryindulgences


 Bangunan utama kuil, terdiri dari honden  (hall
utama) dan haiden  (hall
permohonan). Honden  dan haiden  bisa disatukan
dalam satu bangunan maupun dipisah, tergantung
besar kecilnya kuil. Fungsi honden  adalah untuk
menyimpan benda yang disucikan dan tempat
tersebut nggak bisa dimasuki oleh sembarang
orang, sementara haiden  adalah tempat untuk
mengajukan permohonan pada dewa.
Haiden di Omiya Atsuta Shrine, via Qurren/wikimedia commons.org

 Panggung, untuk menampilkan pertunjukan tari.


Panggung di Yasaka Shrine, via japanryan.blogspot.com

 Ema, atau papan untuk menulis permohonan pada


dewa.
Ema, via injapan.gaijinpot.com

 Dekorasi khas seperti shimenawa, yaitu tali jerami


yang dihiasi dengan kertas zigzag. Fungsi
dari shimenawa  ini untuk menandai sesuatu yang
suci, seperti batu, pohon, gerbang kuil, dan lain-
lain.

Shimenawa, via
sumojoesays.com

 Dewa penjaga, ditempatkan di area pintu masuk


kuil. Wujudnya bisa macam-macam, mulai dari
anjing, singa, maupun rubah.
Melanjutkan tulisan Kuil Shinto Vs Kuil Buddha, Dan
Perbedaan Yang Perlu Diketahui Wisatawan (Part 1), pada
tulisan ini saya akan langsung menulis tentang ciri khas
pada arsitektur khas yang ada di kuil Buddha di Jepang.
Semoga dapat membantu wisatawan yang tertarik untuk
melakukan wisata kuil saat berada di Jepang agar dapat
membedakan antara kuil Shinto dan kuil Buddha.

Untuk kuil Buddha, berikut fitur khas dalam bangunan


kuilnya.

 Pintu gerbang, biasanya memiliki gaya arsitektur


yang dipengaruhi dengan arsitektur Cina. Jumlah
pintu gerbang dalam sebuah kuil Buddha bisa
lebih dari satu, dan bisa terdiri berlapis-lapis
tergantung banyaknya zona yang harus dilalui
sebelum mencapai area kuil utama. Kadang
gerbang kuil bisa berwarna monokrom, namun
bisa juga didominasi dengan warna merah.
Sanmon (salah satu gerbang penting) di kuil Tofukuji, via Fg2/wikimediacommons

 Osenko, atau tempat untuk membakar


dupa. Banyak kuil Buddha menyediakan tempat
khusus untuk membakar dupa sehingga ini
menjadi sebuah fitur khas dalam arsitektur kuil
Buddha di Jepang.
Tempat membakar dupa di kuil Sensoji, via panoramio.com

 Hall utama, biasa disebut kondo, hondo, hatto,


amidado, butsuden, dan lainnya. Merupakan
tempat untuk menyimpan benda suci maupun
benda pemujaan.

Daibutsuden, hall utama di Todai-ji di kota Nara, via 663highland/wikimedia commons


 Pagoda. Tingginya bisa 3 tingkat (disebut sanju no
to) atau 5 tingkat (atau goju no to).
Pintu gerbang kuil Sensoji dan pagoda, via daderot/wikimedia commons
 Lecture hall atau kodo, merupakan tempat
pertemuan dan pembelajaran. Kadang disediakan
juga area display untuk memajang obyek
tertentuk.

Kodo di Toji, via gracetheglobe.wordpress


 Lonceng kuil, dibunyikan bukan untuk
menandakan waktu, melainkan untuk tujuan
tertentu seperti pembersihan dosa.

Lonceng kuil, via johnharveyphoto.com

 Patung penjaga atau nio, berbentuk sepasang


patung yang biasa ditempatkan di pintu gerbang.
Nio di Futagoji, via japantimes

 Kuburan.Banyak kuburan di Jepang yang


ditempatkan menjadi satu dengan kuil Buddha,
dan akhirnya menjadi salah satu ciri khas dari kuil
Buddha di Jepang.
Makam 47 ronin di Sengakuji, via muza-chan.net

Pendeta Shinto vs Pendeta Buddha

Membedakan kuil Shinto dan kuil Buddha juga bisa


dilakukan dengan melihat pendetanya. Pendeta Shinto
biasanya berdandan dengan gaya yang khas dengan topi
yang khas pula. Para gadis kuil-nya, disebut miko,
umumnya mengenakan seragam khas dengan perpaduan
warna putih dan merah. Untuk momen tertentu, para gadis
kuil ini kerap mengenakan kostum yang juga cukup
mencolok.
Pendeta Shinto, via bobkrist.com

Sementara pendeta Buddha, biasanya tampil dalam gaya


yang lebih sederhana, walau nggak selalu seperti itu. Yang
pasti, seragam pendeta Buddha memiliki perbedaan
dengan seragam pendeta Shinto seperti bisa dilihat dalam
foto di atas dan di bawah ini.
Pendeta Buddha di Jepang, via robovet.net

Walau sudah ada perbedaan


sebanyak itu, mengapa kuil Shinto
dan kuil Buddha kadang masih sulit
untuk dibedakan?

Jika dilihat sekilas dari panduan yang sudah saya bagikan


dalam tulisan bagian pertama dan kedua, harusnya nggak
susah membedakan antara kuil Shinto dan kuil Buddha.
Namun pada kenyataannya, nggak semudah itu
membedakan antara kuil Shinto dan kuil Buddha.

Mari mundur dulu ke masa beberapa ratus tahun silam.


Shinto merupakan kepercayaan asli masyarakat Jepang
yang usianya sudah sepanjang usia bangsa Jepang.
Sementara Buddha merupakan agama pendatang.

Saat ajaran Buddha mulai masuk ke Jepang, sempat terjadi


pergesekan dan juga pergolakan di antara kedua agama
tersebut. Namun lama kelamaan terjadi akulturasi yang
menyebabkan ajaran Shinto dan Buddha seolah saling
mendukung. Beberapa dewa Buddha dipuja juga oleh
penganut Shinto, dan kuil Buddha di Jepang pun banyak
mengadopsi elemen-elemen dalam kuil Shinto.

Akibatnya, sudah sangat lazim jika ada kuil Shinto yang


juga menjadi kuil Buddha, begitu juga dengan kuil Buddha
yang memiliki kuil Shinto di dalam kompleks kuilnya; dan
itulah yang menyebabkan beberapa kuil Shinto terlihat
seperti kuil Buddha dan sebaliknya. Praktek
penggabungan agama tersebut baru dihentikan sejak
Restorasi Meiji dimulai pada tahun 1868.

Berikut beberapa contoh kuil yang menjadi saksi sejarah


akulturasi antara ajaran Shinto dan Buddha.

 Torii  (pintu gerbang khas kuil Shinto) ini menjadi


pintu gerbang kuil Shitenno-ji(kuil Buddha)
di Osaka.
via KENPEI/wikimedia commons
 Pagoda Seigantoji (kuil Buddha) yang berada satu
kompleks dengan Nachi Taisha (kuil Shinto) di
Kumano kodo.

via cnn

 Jishu Jinja (kuil Shinto) berada dalam


kompleks Kiyomizudera (kuil Buddha).
Via panoramio.com
 Benzaiten shrine di taman Inokashira. Kuil Shinto
ini dipersembahkan untuk
memuja Benzaiten (dewi dalam agama Buddha
yang juga adalah dewi Saraswati dalam agama
Hindu).
Via thomasgittel.wordpress.com
Etika berkunjung ke kuil Shinto dan
kuil Buddha

Salah satu alasan mengapa wisatawan perlu mengetahui


perbedaan antara kuil Shinto dan kuil Buddha, adalah
untuk mengetahui etika yang berlaku saat mengetahui
kedua jenis kuil tersebut. Terlepas dari apakah kalian
tertarik untuk melakukan ritual di kuil atau tidak, nggak
ada salahnya mengetahui detail etika/ritual untuk
menghormati masing-masing tempat suci. Detailnya
adalah sebagai berikut.

Etika ritual di kuil Shinto

1. Masuk ke area kuil melalui torii.


2. Sebelum masuk lebih lanjut ke area kuil, bersihkan
diri dulu di temizuya. Caranya:

 Ambil gayung dengan tangan dan tuangkan ke


tangan kiri.
 Lalu pindahkan gayung ke tangan kiri, dan
bersihkan tangan kanan.
 Pindahkan lagi gayung ke tangan kanan, dan tuang
air ke tangan satunya lagi untuk dimasukkan ke
dalam mulut dan berkumurlah.
 Bersihkan tangan kiri sekali lagi, dan letakkan
gayung kembali ke tempatnya dengan posisi
menghadap ke bawah.

3. Jika ingin ikut berdoa di kuil, masukkan koin ke


kotak sumbangan yang telah disediakan di depan
altar.
4. Goyangkan lonceng (jika nggak ada lonceng
langkah ini bisa dilewat), bungkukkan badan dua
kali, tepukkan tangan 2 kali, dan kemudian berdoa
dengan posisi tangan tetap terkatup. Akhiri
dengan membungkukkan badan sekali lagi untuk
penutupan. Prosesi menggoyangkan lonceng
bertujuan untuk menarik perhatian dewa.
Catatan: aturan berdoa bisa berbeda untuk setiap kuil.
Langkah di atas hanya untuk gambaran umum saja.
Menggoyangkan lonceng untuk memanggil dewa di kuil Shinto, via wholeheartedmen.com
Etika ritual di kuil Buddha

Biasanya, kuil Buddha di Jepang nggak punya aturan


berdoa yang baku layaknya kuil Shinto. Kira-kira gambaran
ritualnya seperti ini.

1. Masuk ke area kuil melalui pintu gerbang.


2. Perhatikan sekitar kalian. Jika kuil tersebut
memiliki temizuya, sucikan diri terlebih dulu
dengan mengikuti langkah-langkah seperti saat
mengunjungi kuil Shinto. Namun jika kuil hanya
menyediakan tempat untuk membakar dupa,
bakarlah dupa di tempat yang telah disediakan
dan biarkan asapnya menyelimuti kalian.
3. Acara berdoa di kuil Buddha di Jepang jauh lebih
tenang dibanding kuil Shinto, jadi kalian nggak
perlu menepukkan tangan saat akan berdoa. Dan
jangan coba-coba membunyikan lonceng di kuil
ya, karena lonceng di kuil Buddha hanya
dibunyikan pada saat tertentu saja.
Berdoa di kuil Zojoji, via artery.wbur

Anda mungkin juga menyukai