Anda di halaman 1dari 7

TUGAS HUKUM ADAT

(Pemberian Sertifikat Atas Hak Ulayat )

Oleh :

Anisya Rahmawati 190200537


Grup G

Mata Kuliah: Hukum adat

Dosen Pengampu: Dr. Maria SH.,M.Hum

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM


ILMU HUKUM 2019/2020
“TUGAS INDIVIDU HUKUM ADAT”

Dosen Pengampu : Dr. Maria Kaban, S.H., M.Hum

Nama : Anisya Rahmawati

NIM : 190200537

Mata Kuliah : Hukum Adat

Materi : Hukum Tanah dalam Hukum Adat

Grup :G

Soal :

Pada Pasal 23, 32, dan 38 UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 disebutkan bahwa para
pemegang hak atas tanah wajib mendaftarkan hak atas tanahnya, agar mereka memperoleh
kepastian hukum atas tanahnya yaitu melalui pemberian sertifikat, sehingga dapat dihindarkan
persengketaan-persengketaan yang mungkin terjadi dan merupakan jaminan hukum kepada
pemilik yang berhak.Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana dengan hak ulayat? Apakah
juga dapat diberikan sertifikat atas tanah ulayat tersebut? Apakah benar sertifikat dapat diberikan
secara perorangan dan secara berkelompok yang diatas namakan pengetua adat atau anggota
persekutuan ?

Jawaban :

Tanah Ulayat adalah tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak
penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan Hak Ulayat. Hak ulayat
merupakan hak bersama dari anggota persekutuan untuk menguasai, mengolah, dan
memanfaatkan tanah yang dimaksud secara bersama-sama dengan tujuan untuk kemakmuran
para warga persekutuan. Pengaturan mengenai pertanahan di Indonesia jelas diatur dalam
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960.

Permasalahan atau kasus tanah ulayat sering sekali dijumpai permasalahan terkait kepemilikan
tanah tersebut. Biasanya kasus ini diperkarakan ketika orang luar ingin memakai tanah tersebut
untuk kepentingan kelompoknya sementara masyarakat di daerah tanah tersebut tidak
menyetujuinya. Akhirnya berakhirlah kasus tersebut ke pengadilan dengan alasan orang luar
tersebut adalah bahwa mereka telah mendapat izin dari badan yang berwenang. Izin tersebut
kemudian menjadi objek gugatan oleh masyarakat karena dianggap pejabat tersebut tidak boleh
secara sembarangan mengizinkan orang luar memakai tanah adat sebelum ada persetujuan dari
masyarakat adat. Tanggapan terhadap protes masyarakat kemudian disanggah pejabat dengan
pernyataan bahwa tidak ada bukti sah secara hukum yang menyatakan tanah tersebut masuk ke
dalam batas-batas dari tanah ulayat milik masyarakat. Dari kasus seperti ini kemudian
masyarakat mulai menyadari pentingnya memiliki bukti sah secara hukum untuk melindungi
tanah ulayat.

Pada dasarnya sebuah persekutuan penting untuk dapat mempertahankan tanah ulayatnya. Usaha
untuk mempertahankan tanah ulayat salah satunya adalah dengan membuat sertifikat atas tanah
tersebut. Pembuatan sertifikat sebenarnya sejak zaman dahulu telah diberlakukan namun dalam
bentuk yang berbeda, seperti surat pikukuh yang dikeluarkan oleh raja-raja dahulu atau pejabat
pamong praja lainnya. Sertifikat ini berguna untuk menunjukkan kepemilikan atas sebuah tanah
agar tidak terjadi sengketa dan perbuatan semena-mena di atas tanah tersebut. Perlindungan
dalam bentuk sertifikatlah yang kemudian menjadi pilihan paling baik untuk melindungi tanah
ulayat.

Menjawab pertanyaan pada judul di atas, sebuah tanah ulayat bisa dibuatkan sebuah sertifikat
resmi dari negara. Sertifikat atas tanah ulayat dibenarkan karena menurut pasal 3 UU No. 5 tahun
1960 tentang Peraturan Pokok Agraria, menyatakan bahwa negara mengakui bahwa hak ulayat
masih ada. Selain itu, tanah ulayat dapat didaftarkan karena termasuk dalam objek pendaftaran
tanah. Jadi, untuk tanah ulayat, dapat dilakukan pendaftaran kepada Badan Pertanahan Nasional
(BPN) untuk dikeluarkan sebuah sertifikat resmi.

Pertanyaan lain yang kemudian muncul adalah, apakah dalam pendaftaran tanah ulayat secara
keseluruhan dapat diatasnamakan oleh satu orang atau dalam hal ini pengetua adat? Jawabannya
adalah bisa saja, tergantung kesepakatan dari masyarakat hukum adat tersebut. Tanah ulayat
bukan merupakan suatu kesatuan yang dapat diatasnamakan oleh satu orang. Misalnya, dari 1000
hektar tanah ulayat, dahulu para leluhur sudah saling membagi tanah untuk ditempati. Tanah
yang ditempati secara terpisah oleh masing-masing leluhur, kemudian diwariskan oleh masing-
masing penerusnya. Oleh karena itu, untuk melindungi tanah leluhur masing-masing, setiap
pihak juga harus mendaftarkan tanah mereka secara masing-masing atas nama penerus masing-
masing. Pendaftaran tanah ini bisa jadi diurus oleh pengetua adat, namun bukan berarti dalam
sertifikat tanah tersebut dibuat atas nama pengetua adat. Dalam PP No. 24 tahun 1997 pasal 31
ayat (3) disebutkan bahwa sertifikat atas tanah hanya dapat diserahkan kepada pihak yang
namanya tercantum dalam buku tanah yang bersangkutan atau pihak lain yang dikuasakan
olehnya. Ini berarti pengetua adat mungkin dapat mewakilkan seorang penerus dalam mengurus
sertifikat, namun hanya sebagai pihak yang diberi kuasa. Dari pendaftaran tanah untuk mendapat
sertifikat, tanah ulayat tersebut kemudian akan menjadi tanah milik perseorangan dimana setiap
pemegang sertifikat memiliki hak penuh atas tanah miliknya.

Seperti yang kita tahu bahwa Hak Ulayat merupakan hak bersama dari anggota
persekutuan untuk menguasai, mengolah, dan memanfaatkan tanah yang dimaksud secara
bersama-sama dengan tujuan untuk kemakmuran para warga persekutuan. Sehubungan dengan
ini, hak ulayat merupakan bagian dari hukum tanah. Indonesia memiliki pengaturan yang jelas
tentang pertanahan yaitu diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 Tahun
1960. Dalam undang-undang tersebut, tidak di jelaskan secara rinci apa yang merupakan defenisi
dari hak ulayat.
Namun dalam Pasal 3 UUPA terdapat istilah “hak ulayat dan hak-hak yang serupa
dengan itu”. Dalam Penjelasan Pasal 3 UUPA dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "hak
ulayat dan hak-hak yang serupa itu" ialah apa yang di dalam perpustakaan hukum adat disebut
beschikkingsrecht oleh van vollen hoven. Isi dari Pasal 3 UUPA adalah sebagai berikut: “Dengan
mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang
serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada,
harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”. Berdasarkan Pasal 3 UUPA, hak ulayat diakui
“sepanjang menurut kenyataannya masih ada”.
Mengenai hak tanah yang diakui oleh negara itu sudah jelas diatur dalam UUPA Pasal
23, 32 dan 38 seperti yang telah tertera disoal bahwa pasal-pasal tersebut mewajibkan kepada
semua pemilik tanah untuk mendaftarkannya kepada negara agar dapat diakui secara sah oleh
negara. Hal ini karena pengaturan hak atas tanah merupakan salah satu kewajiban negara untuk
mengaturnya demi terwujudnya kepastian hukum serta terjaganya hak-hak masing-masing pihak.
Selain kepastian hukum, aturan hukum yang ada dalam negara ini juga memberikan
perlindungan hukum bagi pengakuan hak-hak warga negaranya. Namun yang menjadi
perdebatan yang ada di soal adalah tentang bagaimana dengan nasib hak ulayat dalam
pendaftarannya sebagai hak ulayat secara kelompok atau perseorangan.
Apabila kita tinjau lebih dalam Pasal 3 UUPA yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa
hak ulayat yang masih ada harus disesuaikan dengan pengaturan yang dimiliki negara. Dalam
tingkat peraturan pelaksananya telah disahkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah yang merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1961, akan tetapi dalam Peraturan Pemerintah ini hak ulayat tidak termasuk obyek
pendaftaran tanah, hal ini dikaitkan dengan Pasal 9 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah ini
yaitu ayat:
(1) bahwa obyek pendaftaran tanah meliputi: (a) Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan
hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai; (b) Tanah hak pengelolaan;
(c) Tanah wakaf; (d) Hak milik atas satuan rumah susun; (e) Hak tanggungan; (f) Tanah
negara.
(2) bahwa dalam tanah negara sebagai obyek pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf f, pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang
merupakan tanah negara dalam daftar tanah.
Dalam hal ini, hak ulayat berada dalam status tidak jelas karena keberadaanya diakui namun
tidak dapat didaftarkan menjadi sertifikat karena tidak merupakan obyek pendaftaran tanah.
Kekuatan undang-undang negara berada lebih tinggi dari hak ulayat. Oleh karena itu secara
singkat, tidak ada cara untuk mensertifikatkan hak ulayat, walaupun sudah dibuktikan dengan
adanya eksistensi masyarakat adat tersebut.
Namun, bukan berarti ini adalah jawaban akhir. Hak ulayat seperti pada Pasal 3 UUPA
secara otomatis akan menjadi hak milik negara. Apabila suatu masyarakat adat yang benar
memiliki hak ulayat dalam tanah tersebut, maka dapat memiliki status kepemilikannya dengan
pengalihan dari tanah negara. Namun namanya tidak lagi menjadi hak ulayat melainkan menjadi
hak milik pribadi sesuai dengan pembuatan sertifikat tanah dalam peraturan tentang pertanahan
di Indonesia. Hal ini berdasarkan ketentuan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 5 Tahun 1999 pada Pasal 4 ayat (1) dan (2) yang menyebutkan hak ulayat dapat
dikuasai oleh perseorangan dan badan hukum dengan cara didaftar sebagai hak atas tanah apabila
dikehendaki oleh pemegang haknya yaitu warga masyarakat hukum adat menurut kententuan
hukum adatnya yang berlaku. Kemudian oleh instansi pemerintah, badan hukum atau
perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan bisa menguasai hak
ulayat setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu atau oleh warganya
sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.
Lebih lengkapnya, status hak ulayat dapat dijadikan sebagai hak milik perorangan apabila
status tanah ulayat tersebut sudah menjadi “tanah negara”. Dalam praktik administrasi digunakan
sebutan tanah negara. Tanah negara itulah yang dapat dialihkan menjadi hak milik perseorangan.
Hak Ulayat dapat diubah statusnya menjadi hak milik perseorangan apabila tanah tersebut sudah
menjadi tanah negara seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Tata cara peralihan hak atas
tanah negara menjadi hak milik diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999. Menurut pasal 9 ayat (1) jo. pasal 11 Permenag/KBPN
No. 9/1999, Permohonan Hak Milik atas tanah negara diajukan secara tertulis kepada Menteri
melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.
Permohonan tersebut memuat pasal 9 ayat (2) Permenag/KBPN No. 9 Tahun 1999:
1) Keterangan mengenai pemohon:
a) Apabila perorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaannya
serta keterangan mengenai istri/suami dan anaknya yang masih menjadi tanggungannya;
b) Apabila badan hukum: nama, tempat kedudukan, akta atau peraturan pendiriannya,
tanggal dan nomor surat keputusan pengesahan oleh Pejabat yang berwenang tentang
penunjukannya sebagai badan hukum yang dapat mempunyai hak milik berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2) Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik;
a) Dasar penguasaan atau alas haknya, dalam hal ini bisa berupa girik atau surat – surat
bukti perolehan tanah lainnya;
b) Letak, batas – batas dan luasnya;
c) Jenis tanah (pertanian/non pertanian);
d) Rencana penggunaan tanah;
e) Status tanahnya, dalam hal ini adalah tanah Negara.
3) Keterangan Lainnya:
a) Keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah – tanah yang dimiliki oleh
pemohon, termasuk bidang tanah yang dimohon;
b) Keterangan lain yang dianggap perlu.
Maka kesimpulan dari jawaban ini adalah, hak ulayat yang merupakan hak yang dimiliki
masyarakat adat diakui keberaadaanya oleh negara, namun dalam hal kepemilikan dengan
cara mensertifikatkan tanah atau mendaftarkan tanah atas dasar hak ulayat tidak mungkin
dilakukan oleh kelompok, karena sesuai dengan Pasal 3 UUPA bahwa keberadaan hak ulayat
dibawah undang-undang dan disesuaikan dengan negara. Oleh karena itu, apabila masyarakat
adat ingin mendapatkan haknya kembali, harus dengan permohonan dengan pembuktian
kepada negara yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 yang menurut pasal 9 ayat (1) jo. pasal 11
Permenag/KBPN No. 9/1999, Permohonan Hak Milik atas tanah negara dapat diajukan
secara tertulis kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya
meliputi letak tanah yang bersangkutan, agar tanah yang dulunya menjadi hak ulayat yang
sudah diambil alih oleh negara dapat diminta kembali. Dan untuk mendapatkan sertifikat, hak
ulayat akan berubah nama menjadi hak milik pribadi. Begitulah proses pemberian hak atau
cara mendapatkan sertifikat tanah kepada masyarakat dari suatu hak ulayat.

Anda mungkin juga menyukai