BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Pada
awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antar negara namun dalam
perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga
hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan, pada batas tertentu,
Hukum bangsa-bangsa dipergunakan untuk menunjukkan pada kebiasaan dan aturan hukum yang berlaku
dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu. Hukum antar bangsa atau hukum antar negara menunjukkan pada
kompleks kaedah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara. Hukum
Internasional terdapat beberapa bentuk perwujudan atau pola perkembangan yang khusus berlaku di suatu bagian
dunia (region) tertentu : (1) Hukum Internasional regional : Hukum Internasional yang berlaku/terbatas daerah
lingkungan berlakunya, seperti Hukum Internasional Amerika / Amerika Latin, seperti konsep landasan kontinen
(Continental Shelf) dan konsep perlindungan kekayaan hayati laut (conservation of the living resources of the sea)
yang mula-mula tumbuh di Benua Amerika sehingga menjadi hukum Internasional Umum. (2) Hukum
Internasional Khusus : Hukum Internasional dalam bentuk kaedah yang khusus berlaku bagi negara-negara tertentu
seperti Konvensi Eropa mengenai HAM sebagai cerminan keadaan, kebutuhan, taraf perkembangan dan tingkat
integritas yang berbeda-beda dari bagian masyarakat yang berlainan. Berbeda dengan regional yang tumbuh
Hukum Internasional didasarkan atas pikiran adanya masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah
negara yang berdaulat dan merdeka dalam arti masing-masing berdiri sendiri yang satu tidak dibawah kekuasaan
lain sehingga merupakan suatu tertib hukum koordinasi antara anggota masyarakat internasional yang sederajat.
Hukum Nasional di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan
hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa
kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan
dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia
menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan,
kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan
dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
B. Permasalahan
Dalam perkembangan teori-teori hukum, dikenal dua aliran besar mengenai hubungan antara hukum nasional
dengan hukum internasional. Monisme dan dualisme. Untuk memperjelas hubungan antara hukum Nasional dan
Internasional, maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana hubungan hukum
PEMBAHASAN
Hukum internasional dapat didefinisikan sebagai sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-
prinsip dan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh negara-negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam
hubungan-hubungan antara mereka satu dengan lainnya, serta yang juga mencakup : (a) organisasi
internasional, hubungan antara organisasi internasional satu dengan lainnya, hubungan peraturan-peraturan hukum
yang berkenaan dengan fungsi-fungsi lembaga atau antara organisasi internasional dengan negara atau negara-
negara ; dan hubungan antara organisasi internasional dengan individu atau individu-individu ; (b) peraturan-
peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan individu-individu dan subyek-subyek hukum bukan negara (non-
state entities) sepanjang hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan subyek hukum bukan negara tersebut
Sejalan dengan definisi yang dikeluarkan Hyde, Mochtar Kusumaatmadja mengartikan ’’hukum internasional
sebagai keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi
batas-batas negara, antara negara dengan negara dan negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subyek
Berdasarkan pada definisi-definisi di atas, secara sepintas sudah diperoleh gambaran umum tentang ruang
lingkup dan substansi dari hukum internasional, yang di dalamnya terkandung unsur subyek atau pelaku,
hubungan-hubungan hukum antar subyek atau pelaku, serta hal-hal atau obyek yang tercakup dalam pengaturannya,
Sedangkan mengenai subyek hukumnya, tampak bahwa negara tidak lagi menjadi satu-satunya subyek
hukum internasional, sebagaimana pernah jadi pandangan yang berlaku umum di kalangan para sarjana
sebelumnya.
B. Pengertian Hukum Nasional
Hukum nasional adalah sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturan-
peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat dalam suatu negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam
Hukum Nasional di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan
hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa
kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan
dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia
menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan,
kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan
dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
Menurut teori Dualisme, hukum internasional dan hukum nasional, merupakan dua sistem hukum yang secara
keseluruhan berbeda. Hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang terpisah, tidak
saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Berlakunya hukum internasional dalam lingkungan
hukum nasional memerlukan ratifikasi menjadi hukum nasional. Kalau ada pertentangan antar keduanya, maka
Sedangkan menurut teori Monisme, hukum internasional dan hukum nasional saling berkaitan satu sama
lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional itu adalah lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum
nasional untuk urusan luar negeri. Menurut teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan
hukum internasional. Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum internasional. (Burhan Tsani, 1990;
26)
Berangkat dari pentingnya hubungan lintas negara disegala sektor kehidupan seperti politik, sosial, ekonomi
dan lain sebagainya, maka sangat diperlukan hukum yang diharap bisa menuntaskan segala masalah yang timbul
dari hubungan antar negara. Hukum Internasional ialah sekumpulan kaedah hukum wajib yang mengatur hubungan
antara person hukum internasional (Negara dan Organisasi Internasional), menentukan hak dan kewajiban badan
tersebut serta membatasi hubungan yang terjadi antara person hukum tersebut dengan masyarakat sipil.
Oleh karena itu hukum internasional adalah hukum masyarakat internasional yang mengatur segala hubungan
yang terjalin dari person hukum internasional serta hubungannya dengan masyarakat sipil. Hukum internasional
mempunyai beberapa segi penting seperti prinsip kesepakatan bersama (principle of mutual consent), prinsip timbal
balik (priniple of reciprocity), prinsip komunikasi bebas (principle of free communication), princip tidak diganggu
gugat (principle of inciolability), prinsip layak dan umum (principle of reasonable and normal), prinsip eksteritorial
(principle of exterritoriality), dan prinsip-prinsip lain yang penting bagi hubungan diplomatik antarnegara.
Maka hukum internasional memberikan implikasi hukum bagi para pelangarnya, yang dimaksud implikasi
disini ialah tanggung jawab secara internasional yang disebabkan oleh tindakan-tindakan yang dilakukan sesuatu
negara atau organisasi internasional dalam melakukan segala tugas-tugasnya sebagai person hukum internasional.
Dari pengertian diatas dapat kita simpulkan unsur-unsur terpenting dari hukum internasional; (a) Objek dari hukum
internasional ialah badan hukum internasional yaitu negara dan organisasi internasional, (b) Hubungan yang terjalin
antara badan hukum internasional adalah hubungan internasional dalam artian bukan dalam scope wilayah tertentu,
ia merupakan hubungan luar negeri yang melewati batas teritorial atau geografis negara, berlainan dengan hukum
negara yang hanya mengatur hubungan dalam negeri dan (c) kaedah hukum internasional ialah kaedah wajib,
seperti layaknya semua kaedah hukum, dan ini yang membedakan antara hukum internasional dengan kaedah
internasional yang berlaku dinegara tanpa memiliki sifat wajib seperti life service dan adat kebiasaan internasional.
Jika hukum nasional ialah hukum yang terapkan dalam teritorial sesuatu negara dalam mengatur segala
urusan dalam negeri dan juga dalam menghadapi penduduk yang berdomisili didalamnya, maka hukum
internasional ialah hukum yang mengatur aspek negara dalam hubungannya dengan negara lain.
Hukum Internasional ada untuk mengatur segala hubungan internasional demi berlangsungnya kehidupan
internasional yang terlepas dari segala bentuk tindakan yang merugikan negara lain. Oleh sebab itu negara yang
melakukan tindakan yang dapat merugikan negara lain atau dalam artian melanggar kesepakatan bersama akan
dikenai implikasi hukum, jadi sebuah negara harus bertanggung jawab atas segala tindakan yang telah
dilakukannya.
Pengertian tanggung jawab internasional itu sendiri itu adalah peraturan hukum dimana hukum internasional
mewajibkan kepada person hukum internasional pelaku tindakan yang melanggar kewajiban-kewajiban
internasional yang menyebabkan kerugian pada person hukum internasional lainnya untuk melakukan kompensasi.
Apa yang menjadi kepentingan hukum internasional adalah memberikan batasan yang jelas terhadap
kewenangan negara dalam pelaksanaan hubungan antarnegara. Hal ini bertolak belakang dengan kepentingan
penyelenggaraan politik internasional yang bertujuan untuk mempertahankan atau memperbesar kekuasaan. Karena
itu, hukum bermakna memberikan petunjuk operasional perihal kebolehan dan larangan guna membatasi kekuasaan
absolut negara.
Realitanya keterkaitan diantara kedua dimensi hubungan ini berujung kepada persoalan esensi hukum sebagai
suatu kekuatan yang bersifat memaksa. Masalah efektifitas hukum dalam hubungan internasional ini menimbulkan
dua konsekuensi yang secara diameteral saling bertolak-belakang. Pertama, struktur hukum nasional lebih tinggi
dari pada hukum internasional. Pemahaman ini membawa implikasi hukum internasional terhadap kebijakan
domestik suatu negara akan diukur berdasarkan sistem hukum nasional. Di sini hukum internasional baru akan
berlaku jika tidak bertentangan dengan kaedah hukum nasional. Agar berlaku, hukum internasional juga perlu
diadopsi terlebih dahulu menjadi hukum nasional, yaitu suatu proses yang dilakukan antara lain melalui ratifikasi.
Dasarnya adalah doktrin hukum pacta sunc servanda di mana perjanjian berlaku sebagai hukum bagi para pihak.
Perjanjian merefleksikan itikad bebas yang dicapai secara sukarela oleh subjek hukum internasional yang memiliki
kesetaraan satu sama lain. Sebaliknya, hukum dinilai tidak dapat berfungsi secara efektif jika tidak ada keinginan
negara untuk tunduk di bawah ketentuan yang diaturnya. Kemudian pemahaman kedua sementara itu mendalilkan
bahwa hukum internasional otomatis berlaku sebagai kaedah hukum domestik yang mengikat negara tanpa melalui
proses adopsi menjadi hukum nasional. Menurut paradigma ini, hukum internasional merupakan fondasi tertinggi
yang mengatur hubungan antarnegara. Sumber kekuatan mengikat hukum internasional adalah prinsip hukum
alam(costumary) yang menempatkan akal sehat masyarakat internasional sebagai cita-cita dan sumber hukum ideal
yang tertinggi. Terlepas dari ada atau tidaknya persetujuan ini, secara yuridis negara dapat terikat oleh prinsip
hukum internasional yang berlaku universal atau oleh kaedah kebiasaan internasional. Customary itu sendiri
membuktikan bahwa praktek negara atas sesuatu hal yang sama dan telah mengkristal, sehingga diakui oleh
Ketentuan hukum internasional telah melarang penggunaan kekerasan dalam hubungan antar negara.
Keharusan ini seperti tercantum pada Pasal 1 Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa-Sengketa Secara Damai
yang ditandatangani di Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907, yang kemudian dikukuhkan oleh pasal 2 ayat (3)
Piagan Perserikatan bangsa-Bangsa dan selanjutnya oleh Deklarasi Prinsip-Prinsip Hukum Internasional mengenai
Hubungan Bersahabat dan Kerjasama antar Negara. Deklarasi tersebut meminta agar “semua negara menyelesaikan
sengketa mereka dengan cara damai sedemikian rupa agar perdamaian, keamanan internasional dan keadilan tidak
sampai terganggu”.
Penyelesaian sengketa secara damai dibedakan menjadi: penyelesaian melalui pengadilan dan di luar
pengadilan. Yang akan dibahas pada kesemapatan kali ini hanyalah penyelesaian perkara melalui pengadilan.
1. Arbitrase Internasional
internasional kepada arbitrator yang dipilih secara bebas oleh para pihak, yang memberi keputusan dengan tidak
harus terlalu terpaku pada pertimbangan-pertimbangan hukum. Arbitrase adalah merupakan suatu cara
penerapan prinsip hukum terhadap suatu sengketa dalam batas-batas yang telah disetujui sebelumnya oleh para
pihak yang bersengketa. Hal-hal yang penting dalam arbitrase adalah; (a) perlunya persetujuan para pihak dalam
setiap tahap proses arbitrase, dan (b) sengketa diselesaikan atas dasar menghormati hukum. (Burhan Tsani,
1990; 211)
Secara esensial, arbitrase merupakan prosedur konsensus, karenanya persetujuan para pihaklah yang
mengatur pengadilan arbitrase. Arbitrase terdiri dari seorang arbitrator atau komisi bersama antar anggota-
anggota yang ditunjuk oleh para pihak atau dan komisi campuran, yang terdiri dari orang-orang yang diajukan
oleh para pihak dan anggota tambahan yang dipilih dengan cara lain.
Pengadilan arbitrase dilaksanakan oleh suatu “panel hakim” atau arbitrator yang dibentuk atas dasar
persetujuan khusus para pihak, atau dengan perjanjian arbitrase yang telah ada. Persetujuan arbitrase tersebut
dikenal dengan compromis (kompromi) yang memuat; (a) persetujuan para pihak untuk terikat pada keputusan
arbitrase, (b) metode pemilihan panel arbitrase, (c) waktu dan tempat hearing (dengar pendapat), (d) batas-
batas fakta yang harus dipertimbangkan, dan (e) prinsip-prinsip hukum atau keadilan yang harus diterapkan
Masyarakat internasional sudah menyediakan beberapa institusi arbitrase internasional, antara lain (a)
Pengadilan Arbitrase Kamar Dagang Internasional (Court of Arbitration of the International Chamber of
Commerce) yang didirikan di Paris, tahun 1919, (b) pusat Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal
Internasional (International Centre for Settlement of Investment Disputes) yang berkedudukan di Washington
DC, (c) Pusat Arbitrase Dagang Regional untuk Asia (Regional Centre for Commercial Arbitration),
berkedudukan di Kuala Lumpur, Malaysia dan (d) Pusat Arbitrase Dagang Regional untuk Afrika (Regional
Centre for Commercial Arbitration), berkedudukan di Kairo, Mesir. (Burhan Tsani; 216)
2. Pengadilan Internasional
Pada permulaan abad XX, Liga Bangsa-Bangsa mendorong masyarakat internasional untuk membentuk
suatu badan peradilan yang bersifat permanent, yaitu mulai dari komposisi, organisasi, wewenang dan tata
kerjanya sudah dibuat sebelumnya dan bebas dari kehendak negara-negara yang bersengketa.
Pasal 14 Liga Bangsa-Bangsa menugaskan Dewan untuk menyiapkan sebuah institusi Mahkamah
Permanen Internasional. Namun, walaupun didirikan oleh Liga Bangsa-Bangsa, Mahkamah Permanen
Internasional, bukanlah organ dari Organisasi Internasional tersebut. Hingga pada tahun 1945, setelah
berakhirnya Perang Dunia II, maka negara-negara di dunia mengadakan konferensi di San Fransisco untuk
membentuk Mahkamah Internasional yang baru. Di San Fransisco inilah, kemudian dirumuskan Piagam
Namun sesungguhnya, pendirian Mahkamah Internasional yang baru ini, pada dasarnya hanyalah
merupakan kelanjutan dari Mahkamah Internasional yang lama, karena banyak nomor-nomor dan pasal-pasal
yang tidak mengalami perubahan secara signifikan. Secara umum, Mahkamah Internasional mempunyai
kewenangan untuk:
1. Melaksanakan “Contentious Jurisdiction”, yaitu yurisdiksi atas perkara biasa, yang didasarkan pada
2. Memberikan “Advisory Opinion”, yaitu pendapat mahkamah yang bersifat nasehat. Advisory Opinion
tidaklah memiliki sifat mengikat bagi yang meminta, namun biasanya diberlakukan sebagai “Compulsory
Ruling”, yaitu keputusan wajib yang mempunyai kuasa persuasive kuat (Burhan Tsani, 1990; 217)
Sedangkan, menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, sumber-sumber hukum
1. Perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat umum, maupun khusus;
4. Keputusan pengadilan (judicial decision) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya, yang
Mahkamah Internasional juga sebenarnya bisa mengajukan keputusan ex aequo et bono, yaitu didasarkan
pada keadilan dan kebaikan, dan bukan berdasarkan hukum, namun hal ini bisa dilakukan jika ada kesepakatan
antar negara-negara yang bersengketa. Keputusan Mahkamah Internasional sifatnya final, tidak dapat banding
dan hanya mengikat para pihak. Keputusan juga diambil atas dasar suara mayoritas. Yang dapat menjadi pihak
hanyalah negara, namun semua jenis sengketa dapat diajukan ke Mahkamah Internasional. Masalah pengajuan
sengketa bisa dilakukan oleh salah satu pihak secara unilateral, namun kemudian harus ada persetujuan dari
pihak yang lain. Jika tidak ada persetujuan, maka perkara akan di hapus dari daftar Mahkamah Internasional,
karena Mahkamah Internasional tidak akan memutus perkara secara in-absensia (tidak hadirnya para pihak).
BAB III
KESIMPULAN
Menurut teori Dualisme, hukum internasional dan hukum nasional, merupakan dua sistem hukum yang secara
keseluruhan berbeda. Hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang terpisah, tidak
saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Berlakunya hukum internasional dalam lingkungan hukum
nasional memerlukan ratifikasi menjadi hukum nasional. Kalau ada pertentangan antar keduanya, maka yang
Sedangkan menurut teori Monisme, hukum internasional dan hukum nasional saling berkaitan satu sama lainnya.
Menurut teori Monisme, hukum internasional itu adalah lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk
urusan luar negeri. Menurut teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum
internasional. Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum internasional. (Burhan Tsani, 1990; 26)
Berangkat dari pentingnya hubungan lintas negara disegala sektor kehidupan seperti politik, sosial, ekonomi dan
lain sebagainya, maka sangat diperlukan hukum yang diharap bisa menuntaskan segala masalah yang timbul dari
hubungan antar negara. Hukum Internasional ialah sekumpulan kaedah hukum wajib yang mengatur hubungan antara
person hukum internasional (Negara dan Organisasi Internasional), menentukan hak dan kewajiban badan tersebut
serta membatasi hubungan yang terjadi antara person hukum tersebut dengan masyarakat sipil.