Anda di halaman 1dari 9

 Home

 AGENDA
 ARTIKEL
 DOKUMEN HUKUM
 GALLERY
 POLLING
 SUSUNAN MAJELIS
 TENTANG KAMI
 PROFIL

Cakimptun4's Blog
Entries RSS | Comments RSS

 HALAMAN
o AGENDA
o ARTIKEL
 GLOBALISASI, HIPERREGULASI, DAN MASA DEPAN
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
 PROSES DISMISSAL DAN UPAYA HUKUM PERLAWANAN
 RUMUSAN DISKUSI CALON HAKIM PENGADILAN TATA
USAHA NEGARA
 SUBYEK HUKUM ( PENGGUGAT DAN TERGUGAT )
 UPAYA PENINGKATAN KONTROL YURIDIS DARI PUBLIK
o DOKUMEN HUKUM
 RUU PTUN PERUBAHAN KEDUA
 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN
2009 TENTANG PELAYANAN PUBLIK
o GALLERY
 BERSAMA PARA SENIOR
 SORE HARI DI MEGAMENDUNG
o POLLING
o PROFIL
 ANDI PUTRI BULAN
 DAFRIAN
 DAILY YUSMINI
 EKO PRIYATNO
 ERICK. S. SIHOMBING
 EUIS RIYANTI
 FADHOLY HERNANTO
 FATMAWATY ARIFIN
 FITRI WAHYUNINGTYAS
 IKAWATI UTAMI
 IRVAN MAWARDI
 JIMMY.R. NATAREZA
 M. HERRY INDRAWAN
 M.YUNUS TAZRYAN
 MARIA PINGKAN TELEW
 MOHAMMAD IRFAN TAHIR
 MUHAMMAD ALI
 RETNO ARIYANI
 RORY YONALDI
 ROS ENDANG NAIBAHO
 SAHIBUR RASID
 SANTI OCTAVIA
 SUDARTI KADIR
 TAMADO DHARMAWAN
 TAUFIK ADHI PRIYANTO
o SUSUNAN MAJELIS
 MAJELIS KEDELAPAN
 MAJELIS KEDUA
 MAJELIS KEEMPAT
 MAJELIS KEENAM
 MAJELIS KELIMA
 MAJELIS KETIGA
 MAJELIS KETUJUH
 MAJELIS PERTAMA
o TENTANG KAMI
 Kategori
o artikel
o BERITA DIKLAT
o Berita Hukum
o Gallery
o Mahkamah Agung
o Uncategorized
o UNDANG-UNDANG
 Kalender
June 2020
M T W T F S S
1 2 3 4 5 6 7
8 9 10 11 12 13 14
June 2020
M T W T F S S
15 16 17 18 19 20 21
22 23 24 25 26 27 28
29 30  

 « May    

 Blogroll
o irvanogie salah satu blog kawan kita 0

o Rori Yonaldi 0
o WordPress.com 0
o WordPress.org 0

Advertisements
REPORT THIS AD

SUBYEK HUKUM ( PENGGUGAT DAN TERGUGAT )


SUBYEK HUKUM ( PENGGUGAT DAN TERGUGAT ) SERTA PERKEMBANGAN
SUBYEK DAN OBYEK HUKUM DALAM YURISPRUDENSI TUN.

Oleh Kadar Slamet, S.H.M Hum

Ceramah pada Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim

Angkatan IV Tahun 2009

Di PUSDIKLAT MA-RI, CIKOPO

Ketentuan normatif mengenai sengketa Tata Usaha Negara di atur dalam Pasal 1 butir 4 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986. Pasal tersebut memberikan batasan pengertian sengketa Tata
Usaha Negara, yaitu sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau
badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai
akibat dikeluarnya Keputusan TUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Dari batasan pengertian pasal tersebut, maka dalam sengketa tata usaha uegara subyek
hukumnya terdiri dari :
1.    Penggugat          :      yaitu orang atau badan hukum perdata.

2.    Tergugat             :      yaitu Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah.

Ad. 1. Penggugat

Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh
suatu Keputusan TUN (Pasal 53 ayat 1 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004).

Badan hukum perdata di sini adalah murni Badan yang menurut pengertian hukum perdata
berstatus sebagai badan hukum. Jadi bukan lembaga hukum publik yang berstatus sebagai badan
hukum, seperti Propinsi, Kabupaten, Departemen, dan sebagainya.

Jadi, orang atau badan hukum perdata tersebut secara hukum sebagai pendukung  (pemangku)
hak-hak dan kewajiban, sehingga atas dasar itu mempunyai legal standi untuk mempertahankan
kepentingan yang dirugikan oleh suatu Keputusan TUN dengan cara mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara.

Apabila Penggugat meninggal dunia, maka ahli warisnya dapat melanjutkan gugatannya
sepanjang dapat membuktikan adanya kepentingan untuk itu.

Di dalam perkembangan dimungkinkan Pejabat TUN dapat menjadi Penggugat bertindak


mewakili instansi Pejabat TUN tersebut dalam mempermasalahkan prosedur penerbitan
Keputusan TUN yang ditujukan kepada instansi Pemerintah yang bersangkutan.

Misalnya, mengajukan gugatan terhadap Keputusan TUN tentang Pencabutan Surat Ijin
Penghunian (SIP) yang ditempati instansi Pemerintah, mengajukan gugatan terhadap Keputusan
TUN yang berisi perintah bongkar bangunan milik instansi Pemerintah, mengajukan gugatan
terhadap pembatalan sertipikat tanah milik instansi Pemerintah, dan sebagainya (lihat Buku II,
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara, halaman 44).

Ad.2. Tergugat

Tergugat adalah Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang
yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang diguguat oleh orang atau badan
hukum perdata (vide Pasal 1 butir 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986).

Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (vide Pasal 1 butir 2 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 ).

Yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan“ adalah kegiatan yang bersifat eksekusif. Dengan
demikian kegiatan-kegiatan lain di luar kegiatan yang bersifat eksekusif tersebut terutama yang
masuk dalam pengertian kegiatan legeslatif dan yudikatif, tidak masuk di dalam pengertian
“urusan pemerintah“.
Urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, yaitu semua peraturan yang
bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama
Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang juga bersifat mengikat secara
umum.

Apa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN dalam praktek Peradilan Tata Usaha
Negara selama ini menganut kriteria fungsional. Jadi ukurannya adalah, – sepanjang Badan atau
Pejabat TUN tersebut – “berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan yang
dikerjakan berupa kegiatan urusan pemerintahan”.  Sehingga tolok ukurnya adalah asalkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (dhi. berdasarkan ketentuan hukum
baik yang tertulis atau yang tak tertulis untuk memenuhi asas legalitas tindakan pemerintah) dan
yang dikerjakan berupa kegiatan urusan pemerintahan.

Konsekuensi dari kriteria fungsional adalah, pengertian Badan atau Pejabat TUN menjadi tidak
terbatas pada Badan-Badan atau Pejabat-Pejabat di lingkungan eksekutif yang dapat digugat di
Peradilan Tata Usaha Negara, akan tetapi siapa saja asalkan kepadanya diletakkan kewenangan
untuk menjalankan fungsi pemerintahan atau melakukan kegiatan urusan pemerintahan, maka
terhadap Keputusan TUN yang dikelurakannya pada prinsipnya dapat saja di jadikan obyek
sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara, asalkan ada dasar wewenangnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Beberapa Catatan Dapat Diungkapkan Dari Praktek

Peradilan Tata Usaha Negara Menyangkut Subyek Dan Obyek Hukum

Dalam Yurisprudensi.

1. 1. Pengertian Badan atau Pejabat TUN Cenderung Memakai Kriteria Fungsional.

Beberapa contoh dapat dikemukakan, yaitu Keputusan pemecatan Dosen oleh Rektor Universitas
swasta (kasus Arif Budiman), Keputusan-Keputusan yang diterbitkan oleh
BUMN,BUMD,BPPN, dan sebagainya.

Namun dalam perkembangan yurisprudensi, kriteria fungsional tentang Badan atau Pejabat TUN
mulai selektif diterapkan dengan melihat instrumen hukum yang melandasi hubungan hukum
antara Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan dengan orang atau badan hukum perdata
yang dikenai Keputusan tersebut.

Mahkamah Agung dalam putusan-putusannya mulai mengoreksi putusan sebelumnya, misalnya


tentang hubungan hukum antara Rektor atau Dekan perguruan tinggi swasta dengan Dosen di
lingkungan universitas swasta tersebut dengan melihat pada kriteria instrumen hukum yang
melandasi hubungan hukumnya (dhi. hubungan hukum perikatan/keperdataan ataukah memang
melekat padanya hubungan hukum publik/pemerintahan).

Di samping itu, sebenarnya sesuai asas legalitas kewenanangan dalam kaitannya dengan
Tergugat di dalam sengketa Tata Usaha Negara, adalah apakah ada dasar hukum kewenangan
yang dimilikinya yang diberikan oleh undang-undang terhadap badan-badan swasta (baik secara
expersis verbis maupun atas dasar pelimpahan-delegasai wewenang), untuk menjalankan fungsi
pemerintahan.

Mahkamah Agung beranggapan bahwa sengketa Tata Usaha Negara yang diajukan yang
menyangkut sanksi-sanksi pemutusan atau pemberhentian dosen pada universitas swasta, dengan
melihat hubungan hukum yang melandasinya. Sepanjang bersifat keperdataan, Pengadilan Tata
Usaha Negara tidak berkompeten untuk mengadilinya. Dalam hal ini juga termasuk Badan-
Badan Usaha Milik Negara/Daerah yang menerbitkan sanksi-sanksi adminitrasi terhadap Pejabat
atau Karyawan di lingkungannya.

2.    Notaris / PPAT

Notaris/PPAT, pada awalnya digolongkan sebagai Badan atau pejabat TUN yang menjalankan
urusan pemerintah. Pada awal Peradilan Tata Usaha Negara ini berjalan,  para Hakim TUN
melalui putusan-putusannya berpendapat bahwa produk Keputusan Notaris/PPAT dapat diuji
keabsahannya oleh Hakim Tata Usaha Negara, namun dalam pekembangannya pendapat ini
mengalami elaborisasi dalam putusan Hakim yang menyatakan meskipun Notaris/PPAT adalah
Pejabat TUN tetapi produk keputusannya (dhi.  akta jual beli tanah) tidak termasuk Keputusan
TUN, karena akta Notaris/PPAT secara yuridis formal, materi muatannya hanyalah sekedar
menuangkan perbuatan hukum perdata (jual beli atas tanah dalam akta PPAT), sehingga tidak
dapat disebut sebagai suatu Keputusan TUN. Akan tetapi apabila Notaris/PPAT menolak untuk
menerbitkan akta jual beli tanah, oleh beberapa Hakim Tata Usaha Negara penolakan
Notaris/PPAT dapat digolongkan sebagai Keputusan TUN yang fiktif-negatif.

Dalam perkembangannya pendapat tersebut berubah oleh pendapat Mahkamah Agung, bahwa
Notaris/PPAT tidak dapat digolongkan sebagi Badan atau Pejabat TUN, karena dalam suatu
wilayah adminitrasi  Notaris/PPAT terdapat beberapa atau banyak Notaris/PPAT yang diberikan
kewenangan sebagai Pejabat umum di bidang pembuatan akta-akta otentik jual beli tanah di
wilayah adminitrasi yang bersangkutan. Konsekuensi hukumnya bagi orang atau badan hukum
perdata ada pilihan terhadap Notaris/PPAT mana dia akan meminta dibuatkan akta jual beli
tanah. Sehingga penolakan Notaris/PPAT untuk tidak mau membuat akta Notaris/PPAT tidak
berakibat merugikan kepentingan pihak-pihak yang membutuhkan.

Dengan demikian Notaris/PPAT tidak memenuhi kriteria Badan atau Pejabat TUN, karena setiap
wewenang Badan atau Pejabat TUN selalu dibatasi oleh locus, tempus, dan materi. Padahal
dalam wilayah adminitrasi Notaris/PPAT, terdapat lebih dari seorang Notaris/PPAT yang diberi
kewenangan untuk menjalankan profesinya.

Namun, dalam kerangka ius constituendum (dhi. RUU Adminitrasi Pemerintahan) Notaris/PPAT
digolongkan sebagai Pejabat adminitrasi pemerintahan.

3. Pergeseran Pendapat Hukum Dengan Melihat Obyek Gugatan Dan Permasalahan


Hukum Yang Dimintakan Diputus Oleh Hakim.
Pada mulanya Hakim Tata Usaha Negara beranggapan semua produk Keputusan TUN sepanjang
diterbitkan oleh Badan atau Pejabat TUN dapat periksa oleh Hakim Tata Usaha Negara.
Misalnya dalam kasus-kasus yang menyangkut BPPN pada awalnya Hakim TUN tidak
mempersoalkan materi persoalan yang dimintakan diputus oleh Hakim TUN dan hanya melihat
bahwa BPPN sebagai Badan Tata Usaha Negara sehingga produk Keputusan TUN yang diajukan
gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dapat diperiksa materi muatannya oleh Hakim Tata
Usaha Negara.

Dalam perkembangannya, Mahkamah Agung berpendapatan dengan melihat pada materi


persoalan yang diminta diselesaikan atau diputus oleh badan peradilan. Jika persoalan yang
diajukan oleh Penggugat adalah menyangkut persoalan-persoalan tentang aspek-aspek
keperdataan, seperti peralihan piutang-piutang (cessie) atau keberatan/ketidakcocokan jumlah
hutang yang ditagihkan atau harus dibayar dan sebagainya, maka Keputusan TUN yang
demikian tidaklah termasuk Keputusan TUN dan lebih bersifat Keputusan TUN yang merupakan
perbuatan hukum perdata (Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004).

Lebih lanjut tentang hal ini lihat Putusan Mahkamah Agung No.447K/TUN/2000.

Masih dalam kaitannya dengan obyek gugutan dan permasalahan hukum yang diminta diputus
oleh Hakim, dalam kasus-kasus yang menyangkut Keputusan TUN yang diterbitkan oleh Kepala
Kantor Lelang Negara,  Mahkamah Agung berpendapatan “risalah lelang bukan Keputusan
TUN yang dapat dijadikan obyek sengketa Tata Usaha Negara”, karena risalah lelang hanya
merupakan catatan tentang jalannya pelelangan dan tentang pelelangan adalah perbuatan hukum
keperdataan, maka jika terhadap hal itu ada pihak-pihak yang dirugikan dapat mengajukan
gugatan perdata pada Peradilan Umum dengan mendasarkan pada pasal 1365 KUH Perdata
sebagai perbuatan melawan hukum oleh Penguasa (OOD) kepada kantor lelang yang
bersangkutan.

Lebih lanjut tentang hal ini lihat Putusan Mahkamah Agung No.151K/TUN/1999.

4.    Pergeseran Pendapat Oleh Pengaruh Doktrin Hukum Dan Perubahan Norma Hukum
Positif  Dalam Undang-Undang.

a.    Pada awalnya Keputusan-Keputusan TUN yang menyangkut prosedur pemilihan baik di


pusat maupun di daerah sepanjang tidak mengenai Keputusan Panitia Pemilihan sebagaimana
dimaksud oleh pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986, Hakim TUN berpendapat
Keputusan TUN tersebut menjadi kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara.

Dalam perkembangannya Mahkamah Agung berpendapat, sesuai doktrin hukum adminitrasi,


keputusan-keputusan di bidang politik tidak termasuk Keputusan TUN, sehingga dengan melihat
pada tindakan-tindakan yang mendasari diterbitkannya Keputusan TUN dalam rangka pemilihan,
baik dari segi prosedur maupun materinya tidak dapat digolongkan sebagai tindakan di bidang
fungsi penyelenggaraan urusan pemerintahan, maka produk Keputusan TUN nya tidak dapat
dinilai oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (lihak SEMA No.8 Tahun 2005 Jo. Putusan
Mahkamah Agung No.482K/TUN/2003).
b.    Di samping itu ada perubahan norma hukum positif dalam undang-undang, yaitu ketentuan
Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 diubah oleh ketentuan Pasal 2 huruf g
Undang-Undang Nomor 9 Tahun  2004, yang menyatakan Keputusan KPU baik di pusat maupun
di daerah mengenai hasil Pemilihan Umum tidak termasuk dalam pengertian Keputusan TUN.

Dengan demikian, menyangkut kasus-kasus dibidang politik seperti Keputusan TUN obyek
sengketa tentang pengesahan kepengurusan Partai Politik, pemecatan anggota atau pengurus
Partai Politik tertentu oleh DPP/DPD Partai Politik yang bersangkutan, bukanlah termasuk
Keputusan Badan atau Pejabat TUN menurut ketentuan pasal 1 butir (3) Undang-Undang
PERATUN, karena kegiatan partai politik tidak dapat digolongkan sebagai kegiatan fungsi
urusan pemerintah.

Untuk hal ini lebih lanjut lihat Putusan Mahkamah Agung No.190K/TUN 1997 Jo. No. 77/BGD-
G.PD/PT. TUN-MDN/1996 Jo. No. 06/G/1996/ PTUN-PDG.

5.    Teori Melebur.

Pada awalnya Hakim TUN tidak melihat pada jangkauan yang dituju oleh Keputusan TUN yang
menjadi obyek gugatan, padahal di dalam praktek dijumpai Keputusan TUN yang materi
muatannya bertujuan untuk mengakhiri atau melahirkan hak-hak keperdataan terhadap seseorang
atau badan hukum perdata.

Dalam hal ini Mahkamah Agung berpendapat dengan memakai teori melebur bahwa terhadap
Keputusan TUN yang bersifat demikian itu dianggap melebur ke dalam perbuatan hukum
perdatanya.

Berbeda dalam hal sengketa TUN yang berkaitan dengan Operasi Pemulihan Aliran Listrik
(OPAL). Dalam hal ini hubungan hukum antara PLN dengan pelanggan adalah bersifat
keperdataan, tetapi oleh karena PLN diberi wewenang berdasarkan peraturan perundang-
undangan untuk memutus secara sepihak aliran listrik pada waktu melakukan OPAL, maka
tindakan pemutusan aliran listrik secara yang dilakukan PLN atas dasar OPAL tersebut dapat
mejadi obyek sengketa TUN, karena dasar yang dipakai melakukan tindakan dalam OPAL
adalah hukum publik.

Untuk hal ini lihat Putusan Mahkamah Agung No.300 K/TUN/1998.

1. 6. Pendapat Yang Bekembang Tentang Kemungkinan Penggugat Dalam  Senketa


TUN Adalah Badan Hukum Publik.

Sementara itu terdapat pendapat yang berkembang di kalangan Hakim TUN tentang
dimungkinkannya Badan atau Pejabat TUN dalam rangka mempertahankan hak-hak keperdataan
yang menyangkut aset-aset yang dimiliki oleh badan hukum publiknya dapat bertindak secara
hukum untuk mewakili badan hukum publiknya mengajukan gugatan terhadap Keputusan TUN
yang merugikan asset-aset badan hukum publik yang bersangkutan.
Tentang perkembangan pendapatan ini, secara kasus per kasus pada Hakim yang mengadili
sengketanya, hal ini disebabkan sudah masuk dalam ranah kemandirian Hakim di dalam
memutus sengketanya. Namun hendaknya disertai argumentasi logis dengan berpijak pada
ketentuan normatif yang diatur dalam undang-undang sebelum melangkah masuk ke dalam
proses mengadili pokok sengketanya.

Anda mungkin juga menyukai