Anda di halaman 1dari 10

kerangka dasar ajaran Islam meliputi tiga konsep kajian pokok, yaitu aqidah, syariah,

dan akhlak. Tiga kerangka dasar ajaran Islam ini sering juga disebut dengan tiga ruang lingkup pokok
ajaran Islam atau trilogi ajaran Islam. Kalau dikembalikan pada konsep dasarnya, tiga kerangka dasar
Islam di atas berasal dari tiga konsep dasar Islam, yaitu iman, islam, dan ihsan. Ketiga konsep dasar Islam
ini didasarkan pada hadis Nabi saw. yang diriwayatkan dari Umar Bin Khaththab. Hadis ini menceritakan
tentang dialog antara Malaikat Jibril dengan Nabi saw. Jibril bertanya kepada Nabi tentang ketiga konsep
tersebut, pertama-tama tentang konsep iman yang dijawab oleh Nabi dengan rukun iman yang enam,
yaitu:

1. Iman kepada Allah


2. Iman kepada Malaikat-Nya
3. Iman kepada Kitab-kitab-Nya
4. Iman kepada Rasul-rasul-Nya
5. Iman kepada Hari Akhir
6. Iman kepada Qadla dan Qadar-Nya.

Allah berfirman dalam QS.An-Nisa’, ayat 136 yaitu

“ Wahai orang yang beriman, tetaplah beriman kepaada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang
diturunkan kepada rasul-Nya serta kitab yang diturunkan sebelumnya. Barang siapa ingkar kepada
Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, Rasul-Nya, hari Kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat
sejauh- jauhnya”. 

rukun Islam yang lima yaitu:

1. Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya,
2. Mendirikan shalat
3. Menunaikan zakat
4. Melaksanakan puasa di bulan Ramadhan
Haji ke Baitullah bagi yang mampu.

Dari konsep dasar ini para ulama mengembangkannya menjadi tiga konsep kajian. Konsep iman
melahirkan konsep kajian aqidah, konsep islam melahirkan konsep kajian, syariah dan konsep ihsan
melahirkan konsep kajian akhlak.

1. Aqidah

Secara etimologis, aqidah berarti ikatan, sangkutan, keyakinan. Aqidah secara teknis juga berarti
keyakinan atau iman. Dengan demikian, aqidah merupakan asas tempat mendirikan seluruh bangunan
(ajaran) Islam dan menjadi Kerangka Dasar Ajaran Islam sangkutan semua hal dalam Islam. Aqidah juga
merupakan sistem keyakinan Islam yang mendasar seluruh aktivitas umat Islam dalam kehidupannya.
Aqidah atau sistem keyakinan Islam dibangun atas dasar enam keyakinan atau yang biasa disebut dengan
rukun iman yang enam. Adapun kata iman secara etimologis berarti percaya atau membenarkan dengan
hati. Sedang menurut istilah syara’, iman berarti membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lidah,
dan melakukan dengan anggota badan. Dengan pengertian ini, berarti iman tidak hanya terkait dengan
pembenaran dengan hati atau sekedar meyakini adanya Allah saja.

2. Syariah

Secara etimologis, syariah berarti jalan ke sumber air atau jalan yang harus diikuti, yakni jalan
kearah sumber pokok bagi kehidupan. Orang-orang Arab menerapkan istilah ini khususnya pada jalan
setapak menuju palung air yang tetap dan diberi tanda yang jelas terlihat mata (Ahmad Hasan, 1984: 7).
Adapun secara terminologis syariah berarti semua peraturan agama yang ditetapkan oleh Allah untuk
kaum Muslim baik yang ditetapkan dengan al-Quran maupun Sunnah Rasul (Muhammad Yusuf Musa,
1988: 131).

Mahmud Syaltut mendefinisikan syariah sebagai aturan-aturan yang disyariatkan oleh Allah
atau disayariatkan pokok-pokoknya agar manusia itu sendiri menggunakannya dalam berhubungan
dengan Tuhannya, dengan saudaranya sesama Muslim, dengan saudaranya sesama manusia, dan alam
semesta, serta dengan kehidupan (Syaltut, 1966: 12). Syaltut menambahkan bahwa syariah merupakan
cabang dari aqidah yang merupakan pokoknya. Keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat yang
tidak dapat dipisahkan. Aqidah merupakan fondasi yang dapat membentengi syariah, sementara syariah
merupakan perwujudan dari fungsi kalbu dalam beraqidah (Syaltut, 1966: 13).

Mengatur manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya (hablun minallah) dan dalam
berhubungan dengan sesamanya (hablun minannas). Kedua hubungan manusia inilah yang merupakan
ruang lingkup dari syariah Islam. Hubungan yang pertama itu kemudian disebut dengan ibadah, dan
hubungan yang kedua disebut muamalah.

Ibadah mengatur bagaimana manusia bisa berhubungan dengan Allah. Dalam arti yang khusus
(ibadah mahdlah), ibadah terwujud dalam rukun Islam yang lima, yaitu mengucapkan dua kalimah
syahadah (persaksian), mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan pergi haji
bagi yang mampu.

Sedang muamalah bisa dilakukan dalam berbagai bentuk aktivitas manusia dalam
berhubungan dengan sesamanya. Bentuk-bentuk hubungan itu bisa berupa hubungan :

1. perkawinan(munakahat),
2. pembagian warisan (mawaris),
3. ekonomi (muamalah),
4. pidana (jinayah),
5. politik (khilafah),
6. hubungan internasional (siyar), dan
7. peradilan (murafa’at).
Dengan demikian, jelaslah bahwa kajian syariah lebih tertumpu pada pengamalan konsep
dasar Islamyang termuat dalam aqidah. Pengamalan inilah yang dalam al-Quran disebut dengan Al-a’mal
al-shalihah (amal-amal shalih).

Untuk lebih memperdalam kajian syariah ini para ulama mengembangkan suatu ilmu yang
kemudian dikenal dengan ilmu fikih atau fikih Islam. Ilmu fikih ini mengkaji konsep-konsep syariah yang
termuat dalam al-Quran dan Sunnah dengan melalui ijtihad. Dengan ijtihad inilah syariah dikembangkan
lebih rinci dan disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat manusia.
Sebagaimana dalam kajian aqidah, kajian ilmu fikih ini juga menimbulkan berbagai perbedaan yang
kemudian dikenal dengan mazhab-mazhab fikih. Jika aqidah merupakan konsep kajian terhadap iman,
maka syariah merupakan konsep kajian terhadap islam. Islam yang dimaksud di sini adalah
islamsebagaimana yang dijelaskan dalam hadis Nabi saw.yang di riwayatkan oleh Umat Ibn Khaththab
sebagaimana yang diungkap di atas.

3. Akhlak

Secara etimologis, kata akhlak berasal dari bahasa Arab al-akhlaq yang merupakan bentuk
jamak dari kata khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat (Hamzah Ya’qub,
1988: 11). Sinonim dari kata akhlak ini adalah etika, moral, dan karakter. S

edangkan secaraterminologis, akhlak berarti keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah
melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pikiran. Inilah pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu
Maskawaih. Sedang al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu sifat yang tetap pada jiwa yang
daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak membutuhkankepada pikiran
(Rahmat Djatnika, 1996: 27).

Adapun ilmu akhlak oleh Dr. Ahmad Amin didefinisikan suatu ilmu yang menjelaskan arti
baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh sebagian manusia kepada sebagian
lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan
jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat (Hamzah Ya’qub, 1988: 12).

Dari pengertian di atas jelaslah bahwa kajian akhlak adalah tingkah laku manusia, atau
tepatnya nilai dari tingkah lakunya, yang bisa bernilai baik (mulia) atau sebaliknya bernilai buruk
(tercela). Yang dinilai di sini adalah tingkah laku manusia dalam berhubungan dengan Tuhan, yakni
dalam melakukan ibadah, dalam berhubungan dengan sesamanya, yakni dalam bermuamalah atau dalam
melakukan hubungan sosial antar manusia,dalam berhubungan dengan makhluk hidup yang lain seperti
binatang dan tumbuhan, serta dalam berhubungan dengan lingkungan atau benda-benda mati yang juga
merupakan makhluk Tuhan.

Secara singkat hubungan akhlak ini terbagi menjadi dua, yaitu akhlak kepada Khaliq(Allah
Sang Pencipta) dan akhlak kepada makhluq (ciptaan-Nya). Akhlak merupakan konsep kajian terhadap
ihsan. Ihsan merupakan ajaran tentang penghayatan akan hadirnya Tuhan dalam hidup, melalui
penghayatan diri yang sedang menghadap dan berada di depan Tuhan ketika beribadah. Ihsan juga
merupakan suatu pendidikan atau latihan untuk mencapai kesempurnaan Islam dalam arti sepenuhnya
(kaffah), sehingga ihsan merupakan puncak tertinggi dari keislaman seseorang. Ihsan ini baru tercapai
kalau sudah dilalui dua tahapan sebelumnya,yaitu iman dan islam. Orang yang mencapai predikat ihsan
ini disebut muhsin. Dalam kehidupan sehari-hari ihsan tercermin dalam bentuk akhlak yang mulia (al-
akhlak alkarimah). Inilah yang menjadi misi utama diutusnya Nabi saw. ke dunia, seperti yang
ditegaskannya dalam sebuah hadisnya:

“Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak mulia”.

Hubungan antara Aqidah, Syariah, dan Akhlak

Aqidah, syariah, dan akhlak mempunyai hubungan yang sangat erat, bahkan merupakan satu
kesatuan yang tidak dapt dipisah-pisahkan. Meskipun demikian, ketiganya dapat dibedakan satu sama
lain. Aqidah sebagai konsep atau sistem keyakinan yang bermuatan elemen-elemen dasar iman,
menggambarkan sumber dan hakikat keberadaan agama. Syariah sebagai konsep atau sistem hukum berisi
peraturan yang menggambarkan fungsi agama. Sedangkan akhlak sebagai sistem nilai etika
menggambarkan arah dan tujuan yang hendak dicapai oleh agama.

Oleh karena itu, ketiga kerangka dasar tersebut harus terintegrasi dalam diri seorang Muslim.
Integrasi ketiga komponen tersebut dalam ajaran Islam ibarat sebuah pohon, akarnya adalah aqidah,
sementara batang, dahan, dan daunya adalah syariah, sedangkan buahnya adalah akhlak.

http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Dr.%20Marzuki,%20M.Ag./Dr.%20Marzuki
%20M.Ag_.%20%20Buku%20PAI%20UNY%20%20BAB%205.%20Kerangka%20Dasar%20Ajaran
%20Islam.pdf

1. Pengertian hukum/ syariat Islam

Hukum Islam atau syariat islam adalah sistem kaidah-kaidah yang didasarkan pada wahyu Allah
SWT dan Sunnah Rasul mengenai tingkah laku mukalaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang
diakui dan diyakini, yang mengikat bagi semua pemeluknya.
Dan hal ini mengacu pada apa yang telah dilakukan oleh Rasul untuk melaksanakannya secara
total. Syariat Islam menurut istilah berarti hukum-hukum yang diperintahkan Allah SWT untuk umat-Nya yang
dibawa oleh seorang Nabi, baik yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun yang berhubungan
dengan amaliyah.Syariat Islam menurut bahasa berarti jalan yang dilalui umat manusia untuk menuju kepada
Allah Ta’ala. Dan ternyata Islam bukanlah hanya sebuah agama yang mengajarkan tentang bagaimana
menjalankan ibadah kepada Tuhannya saja. Keberadaan aturan atau sistem ketentuan Allah SWT untuk
mengatur hubungan manusia dengan Allah Ta’ala dan hubungan manusia dengan sesamanya. Aturan tersebut
bersumber pada seluruh ajaran Islam, khususnya Al-Quran dan Hadits.
2. Klasifikasi Hukum Islam

Empat Mazhab Fiqh yang bersumber dari para Ahli fikih seperti Al-Imam Abu Hanifah,
Al-Imam Malik, Al-Imam As-Syafi’I, dan Al-Imam Ahmad bin Hanbali, mengklasifikasikan
hukum Islam menjadi 5, yaitu :
1. Wajib (Fardlu)
Wajib adalah suatu perkara yang harus dilakukan oleh pemeluk agama islam yang telah
dewasa dan waras (mukallaf), di mana jika dikerjakan mendapat pahala dan apabila
ditinggalkan akan mendapat dosa. Contoh : solat lima waktu, pergi haji (jika telah mampu),
membayar zakat, dan lain-lain.

Wajib terdiri atas dua jenis/macam :


- Wajib 'ain adalah suatu hal yang harus dilakukan oleh semua orang muslim mukalaf
seperti sholah fardu, puasa ramadan, zakat, haji bila telah mampu dan lain-lain.
- Wajib Kifayah adalah perkara yang harus dilakukan oleh muslim mukallaff namun jika
sudah ada yang malakukannya maka menjadi tidak wajib lagi bagi yang lain seperti
mengurus jenazah.

2. Sunnah/Sunnat

Sunnat adalah suatu perkara yang bila dilakukan umat islam akan mendapat pahala dan jika
tidak dilaksanakan tidak berdosa. Contoh : sholat sunnat, puasa senin kamis, solat tahajud,
memelihara jenggot, dan lain sebagainya.

Sunah terbagi atas dua jenis/macam:


- Sunah Mu'akkad adalah sunnat yang sangat dianjurkan Nabi Muhammad SAW seperti
shalat ied dan shalat tarawih.
- Sunat Ghairu Mu'akad yaitu adalah sunnah yang jarang dilakukan oleh Nabi Muhammad
SAW seperti puasa senin kamis, dan lain-lain.

3. Haram

Haram adalah suatu perkara yang mana tidak boleh sama sekali dilakukan oleh umat
muslim di mana pun mereka berada karena jika dilakukan akan mendapat dosa dan siksa di
neraka kelak. Contohnya : main judi, minum minuman keras, zina, durhaka pada orang tua,
riba, membunuh, fitnah, dan lain-lain.

4. Makruh

Makruh adalah suatu perkara yang dianjurkan untuk tidak dilakukan akan tetapi jika
dilakukan tidak berdosa dan jika ditinggalkan akan mendapat pahala dari Allah SWT.
Contoh : posisi makan minum berdiri, merokok (mungkin haram).

5. Mubah

Mubah adalah suatu perkara yang jika dikerjakan seorang muslim mukallaf tidak akan
mendapat dosa dan tidak mendapat pahala. Contoh : makan dan minum, belanja, bercanda,
melamun, dan lain sebagainya.
http://www.organisasi.org/1970/01/pengertian-hukum-islam-syara-wajib-sunnah-
makruh-mubah-haram.html#.XmX4Ps4zbIU
https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Islam_di_Indonesia

3. Sasaran Hukum Islam


Hukum Islam memiliki 3 sasaran, yaitu : Penyucian jiwa, Menegakkan
keadilan dalam masyarakat, dan Mewujudkan kemaslahatan manusia. (Zahroh,
1999).
 Penyucian jiwa, agar manusia mampu berperan sebagai sumber kebaikan-
bukan sumber keburuka-bagi masyarakat dan lingkungannya.
 Menegakkan keadilan dalam masyarakat, keadilan disini adalah meliputi
segala bidang kehidupan manusia termasuk keadilan dari sisi hukum, sisi
ekonomi, dan sisi persaksian. Keadilan adalah harapan dan fitrah semua
manusia, sehingga Allah melarang manusia berlaku tidak adil. (Baca juga
artikel lain pada : Sun as Source of Earth Life)
 Mewujudkan kemaslahatan manusia, mewujudkan kemaslahatan manusia di
dalam Islam dikenal sebagai Maqashibus Syariah (Tujuan Syariah). Dari segi
bahasa maqasidsyariah berarti maksud dan tujuan adanya hukum Islam yaitu
untuk kebaikan dan kesejahteraan (maslahah) umat manusia di dunia dan di
akhirat.

https://www.belajartanpaguru.com/sasaran-hukum-islam.html

4. Tujuan Syariah

Menurut buku “Syariah dan Ibadah” (Pamator 1999) yang disusun oleh Tim Dirasah Islamiyah dari
Universitas Islam Jakarta, ada 5 (lima) hal pokok yang merupakan tujuan utama dari Syariat Islam, yaitu:

1. Memelihara kemaslahatan agama (Hifzh al-din)


Agama Islam harus dibela dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung-jawab yang hendak
merusak aqidah, ibadah dan akhlak umat. Ajaran Islam memberikan kebebasan untuk memilih agama, seperti
ayatAl-Quran:

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…” (QS Al-Baqarah [2]: 256).
Akan tetapi, untuk terpeliharanya ajaran Islam dan terciptanya rahmatan lil’alamin, maka Allah SWT
telah membuat peraturan-peraturan, termasuk larangan berbuat musyrik dan murtad:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempesekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat
dosa yang besar.” (QS An-Nisaa [4]: 48).
Dengan adanya Syariat Islam, maka dosa syirik maupun murtad akan ditumpas.

2. Memelihara jiwa (Hifzh al-nafsi)


Agama Islam sangat menghargai jiwa seseorang. Oleh sebab itu, diberlakukanlah hukum qishash yang
merupakan suatu bentuk hukum pembalasan. Seseorang yang telah membunuh orang lain akan dibunuh,
seseorang yang telah mencederai orang lain, akan dicederai, seseorang yang yang telah menyakiti orang lain,
akan disakiti secara setimpal. Dengan demikian seseorang akan takut melakukan kejahatan. Ayat Al-Quran
menegaskan:

“Hai orang-orang yang beriman! Telah diwajibkan kepadamu qishash (pembalasan) pada orang-orang yang
dibunuh…” (QS Al-Baqarah [2]: 178).
Namun, qishash tidak diberlakukan jika si pelaku dimaafkan oleh yang bersangkutan, atau daiat (ganti
rugi) telah dibayarkan secara wajar. Ayat Al-Quran menerangkan hal ini:

“Barangsiapa mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah mengikuti cara yang baik dan hendaklah (orang
yang diberi maaf) membayar diat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)” (QS Al-Baqarah [2]: 178).
Dengan adanya Syariat Islam, maka pembunuhan akan tertanggulani karena para calon pembunuh akan
berpikir ulang untuk membunuh karena nyawanya sebagai taruhannya. Dengan begitu,   jiwa orang beriman
akan terpelihara.

3. Memelihara akal (Hifzh al-‘aqli)

Kedudukan akal manusia dalam pandangan Islam amatlah penting. Akal manusia dibutuhkan untuk
memikirkan ayat-ayat Qauliyah (Al-Quran) dan kauniah (sunnatullah) menuju manusia kamil. Salah satu cara
yang paling utama dalam memelihara akan adalah dengan menghindari khamar (minuman keras) dan judi.
Ayat-ayat Al-Quran menjelaskan sebagai berikut:

“Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad) mengenai khamar (minuman keras) dan judi. Katakanlah:
“Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa kedua-duanya lebih besar dari
manfaatnya.” (QS Al-Baqarah [2]: 219).
Syariat Islam akan memelihara umat manusia dari dosa bermabuk-mabukan dan dosa perjudian.

4. Memelihara keturunan dan kehormatan (Hifzh al-nashli)


Islam secara jelas mengatur pernikahan, dan mengharamkan zina. Didalam Syariat Islam telah jelas
ditentukan siapa saja yang boleh dinikahi, dan siapa saja yang tidak boleh dinikahi. Al-Quran telah mengatur
hal-hal ini:

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS Al-Baqarah [2]: 221).
“Perempuan dan lak-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan
janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-
orang yang beriman.” (QS An-Nur [24]: 2).
Syariat Islam akan menghukum dengan tegas secara fisik (dengan cambuk) dan emosional (dengan
disaksikan banyak orang) agar para pezina bertaubat.

5. Memelihara harta benda (Hifzh al-mal)


Dengan adanya Syariat Islam, maka para pemilik harta benda akan merasa lebih aman, karena Islam
mengenal hukuman Had, yaitu potong tangan dan/atau kaki. Seperti yang tertulis di dalam Al-Quran:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagaimana) pembalasan
bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana”
(QS Al-Maidah [5]: 38).
Hukuman ini bukan diberlakukan dengan semena-mena. Ada batasan tertentu dan alasan yang sangat
kuat sebelum diputuskan. Jadi bukan berarti orang mencuri dengan serta merta dihukum potong tangan.
Dilihat dulu akar masalahnya dan apa yang dicurinya serta kadarnya. Jika ia mencuri karena lapar dan hanya
mengambil beberapa butir buah untuk mengganjal laparnya, tentunya tidak akan dipotong tangan. Berbeda
dengan para koruptor yang sengaja memperkaya diri dengan menyalahgunakan jabatannya, tentunya hukuman
berat sudah pasti buatnya. Dengan demikian Syariat Islam akan menjadi andalan dalam menjaga suasana
tertib masyarakat terhadap berbagai tindak pencurian.

5. Sumber Hukum Islam


Sumber Hukum Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi sumber
syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah Rasulullah SAW).Sebagian besar
pendapat ulama ilmu fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya sumber utama hukum islam adalah Al-
Qur’an dan Hadist.Disamping itu terdapat beberapa bidang kajian yang erat berkaitan dengan sumber
hukum islam yaitu : ijma’, ijtihad, istishab, istislah, istihsun
1.Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber atau dasar hukum yang utama dari semua ajaran dan syari’at islam.
Hal ini ditegaskan di dalam Al-Qur’an yaitu 105. Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab
kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang
telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah),
karena (membela) orang-orang yang khianat.
2. Hadist
Hadist adalah ucapan Rasulullah SAW tentang suatu yang berkaitan dengan kehidupan
manusia atau tentang suatu hal,atau disebut pula sunnah Qauliyyah.Hadist merupakan bagian dari
sunnah Rasulullah.Pengertian sunnah sangat luas,sebab sunnah mencakup dan meliputi:
-Semua ucapan Rasulullah SAW yang mencakup sunnah qauliyah
-Semua perbuatan Rasulullah SAW disebut sunnah fi’liyah
-Semua persetujuan Rasulullah SAW yang disebut sunnah taqririyah
Pada prinsipnya fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an sebagai penganut hukum yang ada dalam Al-
Qur’an.
Dilihat dari segi jumlah perawinya sunnah dapat dibagi kedalam tiga kelompok yaitu :

Sunnah Mutawattir : sunnah yang diriwayatkan banyak perawi


Sunnah Masyur : sunnah yang diriwayatkan 2 orang atau lebih yang tidak mencapai tingkatan
mutawattir
Sunnah ahad : sunnah yang diriwayatkan satu perawi saja.
Pembagian hadist dapat pula dilakukan melalui pembagian berdasarkan rawinya dan berdasarkan sifat
perawinya.
1. Matan, teks atau bunyi yang lengkap dari hadist itu dalam susunan kalimat yang tertentu.
2. Sanad, bagian yangg menjadi dasar untuk menentukan dapat di percaya atau tidaknya sesuatu
hadist. Jadi tentang nama dan keadaan orang-orang yang sambung-bersambung menerima dan
menyampaikan hadist tersebut, dimulai dari orang yang memberikannya sampai kepada sumbernya
Nabi Muhammad SAW yang disebut rawi.
Ditinjau dari sudut periwayatnya ( rawi ) maka hadist dapat di golongkan ke dalam empat tingakatan
yaitu:
· Hadist mutawir, hadist yang diriwayatkan oleh kaum dari kaum yang lain hingga sampai pada
Nabi Muhammad SAW.
· Hadist masyur, hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah orang, kemudian tersebar luas. Dari
nabi hanya diberikan oleh seorang saja atau lebih.
· Hadist ahad, hadist yang diriwayatkan oleh satu, dua atau lebih hingga sampai kepada nabi
muhammad.
· Hadist mursal, hadist yang rangkaian riwayatnya terputus di tengah-tengah,se hingga tidak
sampai kepada Nabi Muhammad SAW.

3. Al-Ijma’

Ijma’ menurut hukum islam pada prinsipnya ijma’ adalah kesepakatan beberapa ahli istihan atau sejumlah
mujtahid umat islam setelah masa rasulullah tentang hukum atau ketentuan beberapa masa yang berkaitan
dengan syariat atau suatu hal. Ijma merupakan salah satu upaya istihad umat islam setalah qiyas.

Apabila di kaji lebih mendalam dan mendasar terutama dari segi cara melakukannya, maka terdapat dua
macam ijma’ yaitu :

Ijma’ shoreh (jelas atau nyata) adalah apabila ijtihad terdapat beberapa ahli ijtihad atau mujtahid
menyampaikan ucapan atau perbuatan masing-masing secara tegas dan jelas.

Ijma’ sukuti (diam atau tidak jelas) adalah apabila beberapa ahli ijtihad atau sejumlah mujtahid
mengemukakan pendapatnya atau pemikirannya secara jelas.

Apabila ditinjau dari segi adanya kepastian hukum tentang suatu hal, maka ijma’ dapat digolongkan menjadi :

Ijma’ qathi yaitu apabila ijma’ tersebut memiliki kepastian hukum ( tentang suatu hal)

Ijma’ dzanni yaitu ijma’ yang hanya menghasilkan suatu ketentuan hukum yang tidak pasti.

Pada hakikatnya ijma’ harus memiliki sandaran, danya keharusan tersebut memiliki beberapa aturan yaitu :

Pertama: bahwa bila ijma’ tidak mempunyai dalil tempat sandarannya, ijma’ tidak akan sampai kepada
kebenaran.
Kedua: bahwa para sahabat keadaanya tidak akan lebih baik keadaan nabi, sebagaimana diketahui, nabi saja
tidak pernah menetapkan suatu hukum kecuali berdasarkan kepada wahyu.

Ketiga: bahwa pendapat tentang agama tanpa menggunakan dalil baik kuat maupun lemah adalah salah.kalau
mereka sepakat berbuat begitu berati mereka sepakat berbuat suatu kesalahan yang demikian tidak mungkin
terjadi.

Keempat: bahwa pendapat yang tidak didasarkan kepada dalil tidak dapat diketahui kaitannya dengan hukum
syara’ kalau tidak dapat dihubungkan kepada syara’ tidak wajib diikuti.

4. Al-Qiyas

Qiyas ialah menyamakan suatu peristiwa yang tidak ada hukumnya dalam nash kepada kejadian yang lain yang
hukumnya dalam nash karena adanya kesamaan dua kejadian dalam illat hukumnya.

Anda mungkin juga menyukai