Anda di halaman 1dari 17

PRESENTASI KASUS

ABORTUS IMMINENS

Oleh:
Chrisanty Azzahra G99152072
Rosa Riris S G99152070
Beata Dinda S G99152086
Mutiani Rizki G99152073
Silvia Khasnah G99152068

Pembimbing :

Dr., dr. Abdurahman Laqif Sp.OG (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Abortus imminens ialah peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada

kehamilan sebelum 20 minggu, dengan hasil konsepsi masih dalam uterus dan

viable, serta serviks tertutup (Ross and Jennings, 2010).

Abortus imminens adalah wanita yang mengandung bayi hidup dengan

usia kehamilan kurang dari 24 minggu yang mengalami perdarahan vaginal

dengan atau tanpa nyeri abdomen ketika kondisi serviks masih tertutup

(Deevaselan, 2012)

Abortus imminens merupakan komplikasi kehamilan tersering dan

menyebabkan beban emosional serius, terjadi satu dari lima kasus dan

meningkatkan risiko keguguran, kelahiran prematur, bayi berat badan lahir rendah

(BBLR), kematian perinatal, perdarahan antepartum, dan ketuban pecah dini

(KPD), namun tidak ditemukan kenaikan risiko bayi lahir cacat. Diagnosis abortus

imminens ditentukan karena terjadi perdarahan pada awal kehamilan melalui

ostium uteri eksternum, disertai nyaeri perut sedikit atau tida sama sekali, serviks

tertutup dan janin masih hidup (Winkjosastro, 2007).


BAB II
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
1. Identitas Penderita
Nama : Ny. K
Umur : 34 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
BB : 60 kg
TB : 157 cm
Alamat : Pucang Sawit, Jebres, Surakarta
Status Perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 17 Agustus 2017
Tanggal Periksa : 19 Agustus 2017
No RM : 00996979

2. Keluhan Utama
Pasien datang sendiri ke RSUD Dr Moewardi dengan keluhan flek-
flek sejak 1 hari SMRS.

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Seorang G2P1A0, 34 tahun, usia kehamilan: 8+2 minggu datang
dengan keluhan flek-flek sejak 1 hari SMRS. Pasien merasa hamil 8
minggu. Selain itu, pasien juga mengeluhkan perut terasa kenceng-
kenceng dan mules, serta badan lemas. Keluhan keluar mrongkol-
mrongkol disangkal, keluar jaringan seperti gajih disangkal, riwayat
trauma disangkal, riwayat minum obat-obatan dan jamu disangkal.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat perdarahan saat hamil : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat sakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi obat/ makanan : disangkal

5. Riwayat Haid
Menarche : 13 tahun
Lama menstruasi : 5-7 hari
Siklus menstruasi : 28 hari

6. Riwayat Obstetri
Hamil I : Laki-laki, 2700 gram, lahir spontan di bidan, saat ini anak
berusia 11 tahun.
Hamil II : Hamil Sekarang
HPMT : 29 Juni 2017
HPL : 5 April 2018
UK : 8+2 minggu

7. Riwayat Perkawinan
Menikah 1x, telah menikah sejak berusia 22 tahun, usia pernikahan 12
tahun.

8. Riwayat KB
KB IUD (+) sejak kurang lebih selama 5 tahun
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
a. Keadaan Umum : Sedang, compos mentis, gizi kesan cukup
b. Tanda Vital :
Tensi : 100/80 mmHg
Nadi : 80x/menit
Respiratory Rate : 20 x/menit
Suhu : 36,50C
c. Kepala : normocephal
d. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
e. THT : discharge (-/-)
f. Leher : kelenjar getah bening tidak membesar
g. Thorak :
1) Cor
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi Jantung I-II intensitas normal, reguler,
bising (-)
2) Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba dada kanan = kiri
Perkusi : sonor // sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara napas tambahan
(-/-), wheezing (-)
h. Abdomen :
Inspeksi : striae gravidarum (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
i. Genital : Inspeksi : V/U tenang, dinding vagina dbn, portio
livide, OUE tertutup, darah (+), discharge (-)
VT : V/U tenang, dinding vagina dbn, portio lunak,
OUE tertutup, CU sebesar telur bebek, darah (+),
discharge (-).
j. Ekstremitas :
oedema akral dingin
- - - -
- - - -

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. LABORATORIUM (17/08/2017 13:00):
Hb : 10,5 g/dL
Hct : 32 %
AL : 8,7 x103/uL
AT : 213 x103/uL
AE : 3,66 x106/uL
Golongan Darah: A
Kimia Klinik
GDS : 73 mg/dl
Hemostasis
PT : 14,7detik
APTT : 37,3 detik
INR : 1,230
HbsAg non reaktif
Anti HIV-1 non reaktif
2. Ultrasonografi (USG) tanggal 17 Agustus 2017
V/U terisi cukup, tampak uterus membesar, tampak janin tunggal dengan CRL
1,91 cm , pulsasi (+), kesan menyokong kehamilan 8 minggu

D. SIMPULAN
G2P1A0, 34 tahun, usia kehamilan: 8+2 minggu, riwayat obstetri dan fertilitas
dalam keadaan baik, tampak uterus membesar, tampak janin tunggal dengan CRL
1,91 cm , pulsasi (+), portio lunak, OUE tertutup, CU sebesar telur bebek, darah
(+), discharge (-).

E. DIAGNOSIS AWAL
Abortus imminens

F. PROGNOSIS
Dubia

G. TERAPI
1. Bedrest total
2. Konservatif pertahankan kehamilan
3. Didrogesteron 3x10 mg
4. Asam folat 1x400 mg
5. SF 1x1
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Abortus imminens disebut juga abortus membakat, dimana terjadi perdarahan

pervaginam pada kehamilan <20 minggu dengan atau tanpa kontraksi uterus tanpa

disertai dilatasi serviks dan tanpa pengeluaran hasil konsepsi. Perdarahan pada

abortus imminens seringkali hanya sedikit, namun hal tersebut berlangsung beberapa

hari atau minggu. Dapat atau tanpa disertai rasa mulas ringan, sama dengan pada

waktu menstruasi atau nyeri pinggang bawah (Wiknjosastro, 2007).

Pemeriksaan vagina pada kelainan ini memperlihatkan tidak adanya

pembukaan serviks. Sementara pemeriksaan dengan real time ultrasound pada

panggul menunjukkan ukuran kantong amnion normal, jantung janin berdenyut, dan

kantong amnion kosong, servik tertutup, dan masih terdapat janin utuh. Keluarnya

fetus masih dapat dicegah dengan tirah baring dan memberikan obat-obatan

(Wiknjosastro, 2007).

B. EPIDEMIOLOGI
Insiden aborsi dipengarui oleh umur ibu dan riwayat obstetriknya seperti

kelahiran normal sebelumnya, riwayat abortus spontan, dan kelahiran dengan anak

memiliki kelainan genetik. Frekuensi abortus diperkirakan sekitar 10-15 % dari semua

kehamilan. Namun, frekuensi angka kejadian sebenarnya dapat lebih tinggi lagi

karena banyak kejadian yang tidak dilaporkan, kecuali apabila terjadi komplikasi;

juga karena abortus spontan hanya disertai gejala ringan, sehingga tidak memerlukan

pertolongan medis dan kejadian ini hanya dianggap sebagai haid yang terlambat.

Delapan puluh persen kejadian abortus terjadi pada usia kehamilan sebelum 12
minggu. Hal ini banyak disebabkan karena kelainan pada kromosom (Mansjoer,

2001).

Dari 1.000 kejadian abortus spontan, setengahnya merupakan blighted ovum

dan 50-60 % dikarenakan abnormalitas kromosom. Disamping kelainan kromosom,

abortus spontan juga disebabkan oleh penggunaan obat dan faktor lingkungan, seperti

konsumsi kafein selama kehamilan (Mansjoer, 2001).

C. ETIOLOGI
1. Faktor ovofetal :
a. Pemeriksaan USG janin dan histopatologis menunjukkan bahwa pada 70%
kasus, ovum yang telah dibuahi gagal untuk berkembang atau terjadi
malformasi pada tubuh janin. Pada 40% kasus, diketahui bahwa latar belakang
kejadian abortus adalah kelainan chromosomal. Pada 20% kasus, terbukti
adanya kegagalan trofoblast untuk melakukan implantasi dengan adekuat.
b. Sebagian besar abortus disebabkan oleh kelainan kariotip embrio. Paling
sedikit 50% kejadian abortus pada trimester pertama merupakan kelainan
sitogenetik. Separuh dari abortus karena kelainan sitogenetik pada trimester
pertama berupa trisomi autosom. Insiden trisomi meningkat dengan
bertambahnya usia. Risiko ibu terkena aneuploidi adalah 1 : 80, pada usia
diatas 35 tahun karena angka kejadian kelainan kromosom/trisomi akan
meningkat setelah usia 35 tahun.

2. Faktor maternal :
a. Sebanyak 2% peristiwa abortus disebabkan oleh adanya penyakit sistemik
maternal (systemic lupus erythematosis) dan infeksi sistemik maternal tertentu
lainnya. Penyakit ibu, baik yang akut seperti pneumonia, tifus abdominalis,
pielonefritis, malaria, dan lain-lain, maupun kronik seperti, anemia berat,
keracunan, laparotomi, peritonitis umum, dan penyakit menahun seperti
brusellosis, mononukleosis infeksiosa, toksoplasmosis juga berpengaruh
terhadap kejadian ini.
b. 8% peristiwa abortus berkaitan dengan abnormalitas uterus. Penyebab
terbanyak abortus karena kelainan anatomik uterus adalah septum uterus (40 -
80%), kemudian uterus bikornis atau uterus didelfis atau unikornis (10 - 30%).
Mioma uteri juga bisa menyebabkan infertilitas maupun abortus berulang.
Risiko kejadiannya 10 - 30% pada perempuan usia reproduksi. Endometrium
kurang sempurna, biasanya terjadi pada ibu hamil saat usia tua, dimana
kondisi abnormal uterus dan endokrin atau sindroma ovarium polikistik
c. Terdapat dugaan bahwa masalah psikologis memiliki peranan pula dengan
kejadian abortus meskipun sulit untuk dibuktikan atau dilakukan penilaian
lanjutan.

3. Kelainan plasenta, misalnya endartritis terjadi dalam vili koriales dan menyebabkan
oksigenasi plasenta terganggu, sehingga mengganggu pertumbuhan dan kematian janin.
Keadaan ini dapat terjadi sejak kehamilan muda misalnya karena hipertensi menahun,
nefritis, toksemia-gravidarum
4. Faktor Lingkungan
Diperkirakan 1 – 10% malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan kimia, atau
radiasi dan umumnya berakhir dengan abortus, misalnya paparan obat-obatan, radiasi
dan tembakau. Sigaret rokok diketahui mengandung ratusan unsur toksik, antara lain
nikotin yang telah diketahui mempunyai efek vasoaktif sehingga menghambat sirkulasi
uteroplasenta. Karbon monoksida juga menurunkan pasokan oksigen ibu dan janin serta
memacu neurotoksin. Dengan adanya gangguan pada sistem sirkulasi fetoplasenta dapat
terjadi gangguan pertumbuhan janin yang berakibat terjadinya abortus.

D. DIAGNOSIS

Diagnosis abortus imminens ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis

a. Adanya amenore pada masa reproduksi

b. Perdarahan pervaginam sedikit

c. Rasa sakit atau mulas sedikit daerah atas simpisis

d. Perlu juga ditanyakan: riwayat menstruasi, riwayat pemakaian obat-obatan dan

zat, riwayat penyakit dahulu, riwayat operasi uterus dan/atau adneksa, riwayat

obstetri dan ginekologi dahulu


2. Pemeriksaan Fisik

a. Tanda vital biasanya dalam rentang normal kecuali bila terjadi hipovolemik

b. Abdomen biasanya lembek dan tidak nyeri tekan, bila ditemukan nyeri perlu

dicatat letak dan lamanya nyeri tersebut berlangsung.

c. Pemeriksaan inspekulo tampak ostium uteri tertutup, perdarahan pervaginam

dapat hanya berupa flek (bercak darah) hingga perdarahan banyak. Hal in sangat

penting untuk menilai apakah perdarahan semakin berkurang atau bahkan

semakin memburuk. Adanya gumpalan darah atau jaringan merupakan tanda

bahwa abortus berjalan dengan progresif. Sumber perdarahan juga perlu

diidentifikasi, apakah dari dinding vagina, permukaan serviks, atau keluar dari

ostium uteri eksternum. Pada abortus perdarahan keluar dari ostium uteri

d. Pada pemeriksaan dalam pemeriksaan nyeri goyang porsio dilakukan untuk

menyingkirkan diagnosis banding kehamilan ektopik, dengan hasil nyeri goyang

porsio (-). Selain itu didapatkan ostium uteri tertutup, hasil konsepsi masih ada di

dalam uterus. Identifikasi ukuran, konsistensi, dan ada tidaknya massa pada

uterus dan adneksa.

e. Pada pemeriksaan bimanual didapatkan uterus membesar dan lunak, identifikasi

ada tidaknya massa pada uterus dan adneksa.

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium berupa tes kehamilan, hemoglobin, leukosit, waktu

bekuan, waktu perdarahan, dan trombosit. Pemeriksaan seri hCG kuantitatif dan

serum progesteron dapat membantu memastikan apakah janin masih hidup dan

dalam rahim

b. Pemeriksaan USG (dengan transvaginal USG) ditemukan kantung gestasi utuh,

hasil konsepsi masih dalam keadaan baik.


(Schorge, 2008).

E. TATALAKSANA

1) Tirah baring
Tirah baring merupakan unsur penting dalam pengobatan abortus imminens
karena cara ini menyebabkan bertambahnya aliran darah ke uterus dan berkurangnya
rangsang mekanik (Wiknjosastro et al, 2007). Pada suatu penelitian, 1228 dari 1279
(96%) dokter umum meresepkan istirahat pada perdarahan hebat yang terjadi pada
awal kehamilan, meskipun hanya delapan dari mereka yang merasa hal tersebut perlu,
dan hanya satu dari tiga orang yang yakin hal tersebut bekerja baik (Sotiriadis et al,
2004).
Sebuah penelitian randomised controlled trial (RCT) tentang efek tirah baring
pada abortus imminens menyebutkan bahwa 61 wanita hamil yang mengalami
perdarahan pada usia kehamilan kurang dari delapan minggu yang viabel, secara acak
diberi perlakuan berbeda yaitu injeksi hCG, plasebo atau tirah baring. Persentase
terjadinya keguguran dari ketiga perlakuan tersebut masing-masing 30%, 48%, and
75%. Perbedaan signifi kan tampak antara kelompok injeksi hCG dan tirah baring
namun perbedaan antara kelompok injeksi hCG dan plasebo atau antara kelompok
plasebo dan tirah baring tidak signifi kan. Meskipun pada penelitian tersebut hCG
menunjukkan hasil lebih baik dibandingkan tirah baring, namun ada kemungkinan
terjadi sindrom hiperstimulasi ovarium, dan mengingat terjadinya abortus imminens
dipengaruhi banyak faktor, tidak relevan dengan fungsi luteal, menjadikan hal
tersebut sebagai pertimbangan untuk tidak melanjutkan penelitian tentang penggunaan
hCG (Wiknjosastro et al, 2007).
Dalam sebuah penelitian retrospektif pada 226 wanita yang dirawat di RS
dengan keluhan akibat kehamilannya dan abortus imminens, 16% dari 146 wanita
yang melakukan tirah baring mengalami keguguran, dibandingkan dengan seperlima
wanita yang tidak melakukan tirah baring. Sebaliknya, sebuah studi kohort
observasional terbaru dari 230 wanita dengan abortus imminens yang
direkomendasikan tirah baring menunjukkan bahwa 9,9% mengalami keguguran dan
23,3% baik-baik saja (p=0,03). Lamanya perdarahan vagina, ukuran hematoma dan
usia kehamilan saat diagnosis tidak mempengaruhi tingkat terjadinya keguguran.
Meskipun tidak ada bukti pasti bahwa istirahat dapat mempengaruhi jalannya
kehamilan, membatasi aktivitas selama beberapa hari dapat membantu wanita merasa
lebih aman, sehingga memberikan pengaruh emosional (Sotiriadis et al, 2004;
Cunningham et al, 2010; Ben-Haroush et al, 2003). Dosisnya 24-48 jam diikuti
dengan tidak melakukan aktivitas berat, namun tidak perlu membatasi aktivitas ringan
sehari-hari. (Wiknjosastro et al, 2007; Norwitz et al, 2007; McPhee dan Papadakis,
2010)
2) Abstinensia
Abstinensia sering kali dianjurkan dalam penanganan abortus imminens,
karena pada saat berhubungan seksual, oksitoksin disekresi oleh puting atau akibat
stimulasi klitoris, selain itu prostaglandin E dalam semen dapat mempercepat
pematangan serviks dan meningkatkan kolonisasi mikroorganisme di vagina
(Kontoyannis et al, 2012).

3) Asam tranexamat
Asam traneksamat adalah obat golongan antifibrinolitik yang bekerja
mengurangi perdarahan dengan cara menghambat aktivasi plasminogen menjadi
plasmin pada pembekuan darah. Karena plasmin berfungsi mendegradasi fibrin, maka
asam traneksamat bekerja menghambat degradasi fibrin, yang berujung pada
meningkatnya aktivitas pembekuan darah
Asam tranexamat banyak digunakan untuk mencegah perdarahan. Sebuah
tinjauan sistematis baru-baru ini asam tranexamat mengurangi jumlah kehilangan
darah setelah melahirkan (baik pervaginam maupun secar) dan mengurangi kebutuhan
akan transfusi darah .
Asam tranexamat murah dan pengobatan akan dianggap sangat efektif
biaya di negara berpenghasilan rendah. Asam tranexamat adalah turunan sintetis dari
blok lisin asam amino yang melumpuhkan lysine binding pada molekul plasminogen,
sehingga menghambat interaksi plasminogen dan rantai plasmin berat dengan residu
lisin. (Ismail et al, 2017)
Selama kehamilan, aktifitas fibrinolitik menurun secara drastis, dan
kembali seperti semula setelah plasenta lahir. Pengaktifan sistem fibrinolitik saat
plasenta lahir dengan melepaskan aktivator plasminogen dari uterus, yang diketahui
kaya akan enzim tersebut. Astedt dan Nilsson telah melaporkan kasus abrutio
plasenta berulang berhasil diobati dengan asam traneksamat. (Svanberg et al, 1980)
Pada perempuan dengan keluhan perdarahan uterus abnormal ditemukan
kadar activator plasminogen pada endometrium lebih tinggi dari normal. Penghambat
activator plasminogen atau obat antifibrinolisis dapat digunakan untuk pengobatan
perdarahan uterus abnormal. Asam traneksamat bekerja menghambat plasminogen
secara reversible dan bila diberikan saat haid mampu menurunkan jumlah perdarahan
40- 50%. Efek sampingnya adalah keluhan gastrointestinal dan tromboemboli. (Ismail
et al, 2017)

4) Antibiotik
Pemberian antibiotika yang cukup tepat yaitu suntikan penisilin 1 juta satuan
tiap 6 jam, suntikan streptomisin 500 mg setiap 12 jam, atau antibiotika spektrum luas
lainnya. 24 sampai 48 jam setelah dilindungi dengan antibiotika atau lebih cepat bila
terjadi perdarahan yang banyak, lakukan dilatasi dan kuretase untuk mengeluarkan
hasil konsepsi. Pemberian infus dan antibiotika diteruskan menurut kebutuhan dan
kemajuan penderita
Pemberian antibiotika hendaknya mempertimbangkan spektrum yang
mencakup kuman penyebabnya, farmakokinetik, dosis, cara pemberian, keamanan
serta biaya. Pemberian antibiotika harus diberikan tanpa menunggu hasil kultur dan
dapat dimulai secara empiris dengan antibiotika spektrum luas. Apabila hasil kultur
dan tes sensitifitas sudah ada maka jenis antibiotika harus disesuaikan dengan hasil tes
sensitifitas yang ada untuk menghindari timbulnya resistensi antibiotika tersebut. Pada
infeksi yang berat dipilih cara pemberian intravena untuk mempercepat kerja obat.
Beberapa pilihan antibiotika pada sepsis adalah :
a. Pada umumnya untuk infeksi yang terkait dengan
kehamilan dan persalinan yang dicurigai dengan infeksi aerob dan anaerob masih
dapat diberikan kombinasi penisilin, aminoglikosid dan klindamisin atau
metronidazole.
b. Sebagai alternatif pada pasien pasien yang tidak
mengalami neutropenia dapat diberikan sefalosporin generasi kedua atau ketiga.
Dapat dipertimbangkan sefalosporin generasi ketiga atau keempat seperti :
cefotaxime, ceftizoxime, ceftriaxon serta meropenem untuk infeksi yang berat
atau infeksi oleh berbagai macam strain bakteri gram negatif.
c. Pada sepsis berat yang mengancam nyawa
direkomendasikan kombinasi sefalosporin generasi ketiga atau keempat dengan
aminoglikosida.
d. Pada beberapa rumah sakit terdapat bakteri gram negatif
yang resisten terhadap aminoglikosida dan sefalosporin generasi kedua, ketiga
dan empat. Pada kondisi ini dapat diberikan meropenem atau ciprofloxacin.
Pseudomonas aeruginosa yang resisten terhadap gentamisin, dapat diberikan
Amikasin, Ceftazidime, Meropenem atau Tobramisin. Strain Enterokokal yang
saat ini resisten dengan banyak antibiotika dapat diberikan klorampenikol,
doksisiklin atau flourokuinolon.
e. Obat antijamur tidak dianjurkan diberikan secara rutin,
kecuali pada pasien yang mengalami penurunan imunitas dan kondisi tertentu
yang memudahkan terjadinya infeksi jamur dan dapat diberikan ampotericin B
atau flukonazol.

Kontrol sumber infeksi harus segera dihilangkan begitu kondisi pasien


mengijinkan. Pada kasus dengan infeksi luka atau fasciitis dapat dilakukan
debridement, evakuasi produk konsepsi yang tersisa dengan kuretase, drainase
pada abses pelvic, laparatomi dan bahkan bila perlu dilakukan histerektomi. (Rai,
2009).

5) Progestogen
Progestogen merupakan substansi yang memiliki aktivitas progestasional atau
memiliki efek progesteron,1 diresepkan pada 13-40% wanita dengan abortus
imminens.2 Progesteron merupakan produk utama korpus luteum dan berperan
penting pada persiapan uterus untuk implantasi, mempertahankan serta memelihara
kehamilan.2,3
Sekresi progesteron yang tidak adekuat pada awal kehamilan diduga sebagai
salah satu penyebab keguguran sehingga suplementasi progesteron sebagai terapi
abortus imminens diduga dapat mencegah keguguran, karena fungsinya yang
diharapkan dapat menyokong defisiensi korpus luteum gravidarum dan membuat
uterus relaksasi. Sebagian besar ahli tidak setuju3,4,5 namun mereka yang setuju
menyatakan bahwa harus ditentukan dahulu adanya kekurangan hormon progesteron.
Kadar hormon progesteron relatif stabil pada trimester pertama, sehingga
pemeriksaan tunggal dapat digunakan untuk menentukan apakah kehamilan viabel;
kadar kurang dari 5 ng/mL menunjukkan prognosis kegagalan kehamilan dengan
sensitivitas 60%, sedangkan nilai 20 ng/mL menunjukkan kehamilan yang viabel
dengan sensitivitas 100%.2,5
Meskipun bukti terbatas,2,4 percobaan pada 421 wanita abortus imminens
menunjukkan bahwa progestogen efektif diberikan pada penatalaksanaan abortus
imminens sebagai upaya mempertahankan kehamilan.3 Salah satu preparat
progestogen adalah dydrogesterone.
Penelitian dilakukan pada 154 wanita yang mengalami perdarahan vaginal saat
usia kehamilan kurang dari 13 minggu. Persentase keberhasilan mempertahankan
kehamilan lebih tinggi (95,9%) pada kelompok yang mendapatkan dosis awal
dydrogesterone 40 mg dilanjutkan 10 mg dua kali sehari selama satu minggu
dibandingkan kelompok yang mendapatkan terapi konservatif 86,3%.6 Meskipun
tidak ada bukti kuat tentang manfaatnya namun progestogen disebutkan dapat
menurunkan kontraksi uterus lebih cepat daripada tirah baring,2 terlepas dari
kemungkinan bahwa pemakaiannya pada abortus imminens mungkin dapat
menyebabkan missed abortion,4 progestogen pada penatalaksanaan abortus imminens
tidak terbukti memicu timbulnya hipertensi kehamilan atau perdarahan antepartum
yang merupakan efek berbahaya bagi ibu. Selain itu, penggunaan progestogen juga
tidak terbukti menimbulkan kelainan kongenital. Sebaiknya dilakukan penelitian
dengan jumlah lebih besar untuk memperkuat kesimpulan.3

DAFTAR PUSTAKA

Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD, Cunningham FG
(2008). Williams Gynecology. New York: The McGraw-Hill Companies Inc.

Speroff (2005). Female Infertility. In: Clinical Gynaecologic Endocrinology and Infertility.
7th edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.

Sucipto NI (2013). Abortus imminens: upaya pencegahan, pemeriksaan, dan


penatalaksanaan. CDK-206. 40 (7)
Wiknjosastro (2007). Ilmu Kebidanan, yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo. Jakarta.
302-312

Sotiriadis A, Papatheodorou S, Makrydimas G. Threatened Miscarriage: Evaluation and


management. BMJ. 2004;329(7458):152-5.

Williams obstetrics. In: Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong
CY, editors. 23rd ed. Ohio: McGraw-Hill; 2010.

Norwitz ER, Arulkumaran S, Symonds IM, Fowlie A, editors. Oxford American handbook of
obstetrics and gynecology. 1st ed. New York: Oxford University Press; 2007.

Papadakis MA. Current medical diagnosis & treatment. USA: McGraw-Hill; 2010.

Mansjoer A (2001). Kelainan Dalam Kehamilan. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran. Edisi
ketiga. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 260-
265.

Wiknjosastro (2007). Ilmu Kebidanan, yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo. Jakarta.
302-312

Devaseelan P, Fogarty PP, Regan L. Human chorionic gonadotrophin for threatened


miscarriage. Cochrane Database of Systematic Reviews [Internet]. 2010 [cited 2012
Dec 10];5:CD007422.Availablefrom:
http://www.thecochranelibrary.com/DOI:10.1002/14651858.CD007422.pub2

Svanberg Lars, Astedt Birger, Nilsson Inga Marie (1980) . Abruptio Placentae - Treatment
With The Fibrinolytic Inhibitor Tranexamic Acid . Acta Obstet Gynecol Scand 59: 127
- 130,

Anda mungkin juga menyukai