Anda di halaman 1dari 32

RESPONSI

EKLAMPSIA, HELLP SYNDROME, FETAL DISTRESS

Oleh:
Chrisanty Azzahra G99152072
Rosa Riris S G99152070
Beata Dinda S G99152086
Mutiani Rizki G99152073
Silvia Khasnah G99152068

Pembimbing :

dr. Hafi Nurinasari, Sp. OG., M. Kes.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sekitar 50.000 wanita meninggal setiap tahun akibat komplikasi terkait

preeklampsia dan eklampsia (Hezelgrave dkk., 2012). Preeklampsia dan eklampsia adalah

bentuk hipertensi dalam kehamilan yang paling menonjol sebagai penyebab utama

morbiditas dan mortalitas pada ibu dan bayi (WHO, 2011). Preeklampsia didefinisikan

sebagai hipertensi disertai proteinuria, merupakan suatu gangguan multisistem yang

terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu. Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai

dengan kejang. Preeklampsia dan eklampsia berkontribusi terhadap 10 – 15% dari total

kematian ibu di dunia. Sebagian besar kematian di negara berkembang diakibatkan oleh

eklampsia, sementara di negara maju lebih sering disebabkan oleh komplikasi dari

preeklampsia (Turner, 2010).

Eklampsia menduduki urutan kedua setelah perdarahan sebagai penyebab utama

kematian ibu di Indonesia pada tahun 2010 (Hernawati, 2011). Etiologi dan patofisiologi

preeklampsia masih belum dapat dipahami dengan jelas sehingga menjadi tantangan

dalam pencegahan penyakit tersebut. Strategi untuk mengatasi preeklampsia dan

komplikasinya difokuskan pada deteksi dini penyakit dan tatalaksana terapi yang tepat.

Tatalaksana terapi preeklampsia dan eklampsia bergantung pada ketersediaan pelayanan

obstetri emergensi termasuk antihipertensi, magnesium sulfat (antikonvulsan), dan

fasilitas yang diperlukan untuk persalinan (Hezelgrave dkk., 2012). Pengontrolan tekanan

darah ibu dengan antihipertensi penting untuk menurunkan insidensi perdarahan serebral

dan mencegah terjadinya stroke maupun komplikasi serebrovaskular lain akibat

preeklampsia dan eklampsia (Sidani dan SiddikSayyid, 2011). Antikonvulsan diberikan


untuk mencegah terjadinya kejang pada preeklampsia dan mengatasi kejang pada

eklampsia (Duley dkk., 2010). Kejang yang tidak ditangani dengan antikonvulsan secara

tepat menjadi masalah utama pada kasus kematian akibat eklampsia (Duley dkk., 2010).

Terapi antihipertensi yang inadekuat dalam perawatan klinis juga menjadi masalah serius

yang menyebabkan perdarahan intrakranial pada sebagian besar kasus kematian. Terapi

dengan obat pada masa kehamilan memerlukan perhatian khusus karena ancaman efek

teratogenik obat dan perubahan fisiologis pada ibu sebagai respon terhadap kehamilan.

Obat dapat menembus sawar plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi darah janin (Sharma

dkk., 2006; Schellack dan Schellack, 2011). Optimalisasi pelayanan kesehatan dalam

memberikan terapi pada wanita hamil dengan gangguan hipertensi merupakan langkah

yang diperlukan untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas pada ibu dan bayi (WHO,

2011).
BAB II
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
Tanggal 16 Agustus 2017 pukul 20:00 WIB
1. Identitas Pasien
a. Nama : Ny. W
b. Umur : 35 tahun
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Pekerjaan : Ibu rumah tangga
e. Agama : Islam
f. Alamat : Ngargoyoso, Karanganyar
g. Status Perkawinan : Menikah 1 kali selama 7 tahun
h. Paritas : G2P1A0
i. HPMT : 30 Desermber 2016
j. HPL : 6 September 2017
k. UK : 37 minggu
l. Tanggal Masuk : 16 Agustus 2016
m. No.CM : 01-38-92-05
n. Berat badan : 50 Kg
o. Tinggi Badan : 153 cm

2. Keluhan Utama
Hamil dengan tekanan darah tinggi

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Seorang G2P1A0, 35 tahun, usia kehamilan 37 minggu datang rujukan dari
RSUD Karanganyar dengan keterangan pasien seorang G2P1A0, dengan HELLP
Syndrome post eklampsia. Pasien merasa hamil 9 bulan, gerakan janin masih
dirasakan, kenceng-kenceng teratur belum dirasakan, air kawah belum dirasakan
keluar, dan lendir darah belum dirasakan keluar.
Pasien memiliki riwayat kejang 2 kali di RSUD Karanganyar yaitu pada jam
10.0 dan 17.00. Pasien sudah diberikan terapi injeksi diazepam 1 ampul dan MgSO4
4 gram dalam 100 cc NaCl pada saat pasien kejang. Keluhan mual muntah (-),
pusing di bagian depan (-)

4. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat hipertensi : Disangkal
b. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
c. Riwayat diabetes mellitus : Disangkal
d. Riwayat asthma : Disangkal
e. Riwayat alergi obat/makanan : Disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat hipertensi : Disangkal
b. Riwayat penyakit Jantung : Disangkal
c. Riwayat diabetes mellitus : Disangkal
d. Riwayat asthma : Disangkal
e. Riwayat alergi obat/makanan : Disangkal

6. Riwayat Fertilitas
Baik

7. Riwayat Obstetri
I : Laki-laki, 5 tahun, lahir spontan di bidan, BBL 2700 gram
II : Hamil sekarang

8. Riwayat Ante Natal Care (ANC)


Pasien rutin ANC sebanyak 4 kali di bidan. Pada kehamilan sekarang, pasien
pertama kali ANC ke bidan saat usia kehamilan sekitar 4 bulan karena merasa
terlambat menstruasi. Setelah itu, pasien rutin ANC ke bidan sebanyak 4 kali.

9. Riwayat Menstruasi
a) Menarche : 12 tahun
b) Lama menstruasi : 5-7 hari
c) Siklus menstruasi : 28 hari
10. Riwayat Perkawinan
Menikah 1 kali, selama 7 tahun

11. Riwayat Keluarga Berencana (KB)


Setelah melahirkan anak pertama, pasien menggunakan KB suntik setiap 3 bulan
selama 2 tahun.

B. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan Umum: sedang, somonolen, gizi kesan cukup
b. Tanda Vital:
- Tensi : 200/130 mmHg
- Nadi : 99 x / menit
- Respiratory Rate : 22 x/menit
- Suhu : 36,70C
c. Kepala : Mesocephal
d. Mata : Conjunctiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
e. Leher : Pembesaran Gld. thyroidea (-), lymphadenopathy (-)
f. Thorax : Normothorax, Gld. mammae dalam batas normal, areola mammae
hiperpigmentasi (+)
g. Cor:
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
- Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
- Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
h. Pulmo:
- Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
- Palpasi : Fremitus taktil dada kanan = kiri
- Perkusi : Sonor/sonor
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
i. Abdomen:
- Inspeksi : Dinding perut > dinding dada, distended gravid (+), striae
gravidarum (+), bekas luka operasi (-)
- Palpasi : Teraba janin tunggal intrauteri, memanjang, punggung di
kanan (puka), presentasi kepala (preskep), kepala belum masuk panggul, his
(-), tinggi fundus uteri (TFU) 27 cm ~ taksiran berat janin (TBJ) 2325 gram.
Palpasi Leopold
- I : Tinggi fundus uteri (TFU) setinggi 27 cm ~ taksiran berat janin (TBJ)
2325 gram, teraba bagian lunak dan bulat, kesan bokong janin
- II : Teraba punggung di sebelah kanan (puka), dan bagian-bagian kecil
sebelah kiri
- III : Teraba 1 bagian keras, kesan kepala janin
- IV : Kepala janin belum masuk panggul
- Perkusi : Redup (+) di seluruh lapang perut
- Auskultasi : Detak Jantung Janin (+) 90x/menit
j. Genital: VU tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio teraba lunak
mencucu, OUE tertutup, eff 0%, preskep, kepala belum masuk panggul ,KK dan
penunjuk belum dapat dinilai, AK (-), STLD (-).
k. Extremitas :
_ _

_ _
_ _
Akral dingin Oedem
+ +

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium Darah tanggal 16 Agustus 2017 pukul 20.45
a. Hemoglobin : 16,4 g/dL
b. Hematokrit : 43 %
c. Eritrosit : 4,45 x 103/μL
d. Leukosit : 18,3 x 103/μL
e. Trombosit : 42 x 103/μL
f. PT : 15,9 detik
g. APTT : 40.0 detik
h. GDS : 101 mg/dL
i. SGOT : 364 μ/L
j. SGPT : 157 μ/L
k. Albumin : 2,5 g/dL
l. Creatinine : 0,9 mg/dL
m. Ureum : 36 mg/dL
n. LDH : 2449 μ/L
o. Na+ darah : 132 mmol/L
p. K+ darah : 4,9 mmol/L
q. Cl- darah : 105 mmol/L
r. Golongan Darah : O
s. HBsAg : non-reaktif
t. Proteinuria : +3

2. Ultrasonografi (USG) tanggal 16 Agustus 2017


Tampak janin tunggal, intrauterin, memanjang, punggung di kanan,
presentasi kepala, his (-), DJJ (+), dengan biometri:

BPD : 8,38 cm ~ 33+5 mg


FL : 7,03 cm ~ 36 mg
AC : 28,85 cm ~ 32+6 mg
EFBW : 2342 gram
Plasenta insersi di corpus uteri grade II
Air kawah kesan cukup
Tak tampak jelas kelainan kongenital mayor
Kesimpulan: saat ini janin dalam keadaan baik

3. NST tanggal 16 Agustus 2017


a. Baseline : 90
b. Variabilitas :<5
c. Deselerasi : (+)
d. Akselerasi : (-)
e. Fetal movement : (+)
Kesimpulan : NST kategori III

D. SIMPULAN
Seorang G2P1A0, 35 tahun, UK 37 minggu, riwayat fertilitas dan obstetri baik,
teraba janin tunggal, intrauteri, memanjang, punggung kanan, presentasi kepala, DJJ (+)
90 kali/menit kepala belum masuk panggul, his (-), portio teraba lunak mencucu, OUE
tertutup, eff: 0%, KK dan penunjuk belum dapat dinilai, AK (-), STLD (-).

E. DIAGNOSIS AWAL
Eklampsia, HELLP Syndrome, fetal distress, pada sekundigravida hamil aterm
belum dalam persalinan.

F. PROGNOSIS
Dubia

G. TERAPI DAN PLANNING


1. Usul terminasi SCTP emergency + insersi IUD
2. Injeksi Cefazolin 2 mg /24 jam -> skin test
3. Informed consent
4. Konsul anestesi
5. Konsul jantung
6. Protap PEB:
a) O2 3 lpm
b) Infus Ringer Lactate (RL) 12 tpm
c) Injeksi MgSO4 20% 4 g IV bolus pelan dalam 15-20 menit, dilanjutkan injeksi
MgSO4 20% 1 g/jam selama 24 jam
d) Nifedipine tablet 3x10mg jika TD ≥ 160/110 mmHg
e) Awasi DJJ /15 menit
f) Awasi balans cairan -> DC
g) Awasi keadaan umum (KU) dan tanda vital (VS)

F. OUTCOME
Tanggal 1 September 2016 pukul 21:30
1. Lahir SC bayi laki-laki dengan berat badan lahir (BBL) 2300 gram, APGAR
score (AS) 7-8-9, anus (+), kelainan kongenital (-)
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. EKLAMPSIA
A. DEFINISI
Eklampsia merupakan keadaan dimana ditemukan serangan kejang tiba- tiba
yang dapat disusul dengan koma pada wanita hamil, persalinan atau masa nifas yang
menunjukan gejala preeklampsia sebelumnya. Kejang disini bersifat grand mal dan
bukan diakibatkan oleh kelainan neurologis. Istilah eklampsia berasal dari bahasa
Yunani yang berarti halilintar. Kata-kata tersebut dipergunakan karena seolah-olah
gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa didahului tanda-tanda lain (Angsar,
2005; Amirrudin, 2007).
Eklampsia dibedakan menjadi eklampsia gravidarum (antepartum), eklampsia
partuirentum (intrapartum), dan eklampsia puerperale (postpartum), berdasarkan saat
timbulnya serangan. Eklampsia banyak terjadi pada trimester terakhir dan semakin
meningkat saat mendekati kelahiran. Pada kasus yang jarang, eklampsia terjadi pada
usia kehamilan kurang dari 20 minggu. Sektar 75% kejang eklampsia terjadi sebelum
melahirkan, 50% saat 48 jam pertama setelah melahirkan, tetapi kejang juga dapat
timbul setelah 6 minggu postpartum (Cunningham et al, 2005; Prasetiyo, 2012).
Sesuai dengan batasan dari National Institutes of Health (NIH) Working
Group on Blood Pressure in Pregnancy preeklampsia adalah timbulnya hipertensi
disertai dengan proteinuria pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu atau segera
setelah persalinan. Saat ini edema pada wanita hamil dianggap sebagai hal yang biasa
dan tidak spesifik dalam diagnosis preeclampsia (Tierney et al, 2006).

B. EPIDEMIOLOGI
Insiden eklampsia bervariasi antara 0,2% - 0,5% dari seluruh persalinan dan
lebih banyak ditemukan di negara berkembang (0,3%-0,7%) dibandingkan negara
maju (0,05%-0,1%). Insiden yang bervariasi dipengaruhi antara lain oleh paritas,
gravida, obesitas, ras, etnis, geografi, faktor genetik dan faktor lingkungan yang
merupakan faktor risikonya (Cunningham et al, 2005; Prasetiyo, 2012).
Di RSUP Dr. Kariadi tahun 2011 disebutkan angka kejadian preeklampsia
sebesar 3,7% dan eklampsia 0,9% dengan angka kematian perinatal 3,1%. Eklampsia
termasuk dari tiga besar penyebab kematian ibu di Indonesia. Menurut laporan KIA
Provinsi tahun 2011, jumlah kematian ibu yang dilaporkan sebanyak 5.118 jiwa.
Penyebab kematian ibu terbanyak masih didominasi Perdarahan (32%), disusul
hipertensi dalam kehamilan (25%), infeksi (5%), partus lama (5%) dan abortus (1%).
Penyebab lain –lain (32%) cukup besar, termasuk di dalamnya penyebab penyakit non
obstetric (Pokharel dan Chattopadhyay, 2008).

C. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


Dari beberapa studi dikumpulkan ada beberapa fakto risiko preeklampsia,
yaitu :
1. Usia
Peningkatan risiko preeklampsia dan eklampsia hampir dua kali lipat pada
wanita hamil berusia 40 tahun atau lebih pada primipara maupun multipara.
Selain itu, disebutkan bahwa eklampsia lebih banyak (46,8%) terjadi pada ibu
dengan usia kurang dari 19 tahun.
2. Nulipara
Hipertensi gestasional lebih sering terjadi pada wanita nulipara. Duckitt
melaporkan nulipara memiliki risiko hampir tiga kali lipat (RR 2,91, 95% CI
1,28 – 6,61) (Evidence II, 2004).
3. Multigravida dengan kondisi klinis:
- Kehamilan ganda dan hidrops fetalis.
- Penyakit vaskuler termasuk hipertensi esensial kronik dan diabetes mellitus.
- Penyakit-penyakit ginjal.
4. Jarak antar kehamilan
Studi melibatkan 760.901 wanita di Norwegia, memperlihatkan bahwa wanita
multipara dengan jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih memiliki
risiko preeklampsia dan eklampsia hampir sama dengan nulipara.Robillard dkk
melaporkan bahwa risiko preeklampsia dan eklampsia semakin meningkat
sesuai dengan lamanya interval dengan kehamilan pertama (1,5 setiap 5 tahun
jarak kehamilan pertama dan kedua; p <0,0001).
5. Riwayat preeklampsia eklampsia sebelumnya
Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan faktor risiko
utama. Menurut Duckitt risiko meningkat hingga tujuh kali lipat (RR 7,19 95%
CI 5,85-8,83). Kehamilan pada wanita dengan riwayat preeklampsia dan
eklampsia sebelumnya berkaitan dengan tingginya kejadian preeklampsia
berat, preeklampsia onset dinin dan dampak perinatal yang buruk.

6. Riwayat keluarga preeklampsia eklampsia


Riwayat preeklampsia dan eklampsia pada keluarga juga meningkatkan risiko
hampir tiga kali lipat. Adanya riwayat preeklampsia pada ibu meningkatkan
risiko sebanyak 3,6 kali lipat.

7. Kehamilan multifetus
Studi melibatkan 53.028 wanita hamil menunjukkan, kehamilan kembar
meningkatkan risiko preeklampsia hampir tiga kali lipat (Witlin dan Sibai,
2000; Greer et al, 2007).
8. Gizi yang kurang dan anemi.
9. Kasus-kasus dengan kadar asam urat yang tinggi, DM, defisiensi kalsium,
defisiensi asam lemak tidak jenuh, kurang antioksidans
10. Obesitas sebelum hamil dan Indeks Massa Tubuh (IMT) saat pertama kali
Antenatal Care (ANC)
Obesitas merupakan faktor risiko preeklampsia dan risiko semakin besar
dengan semakin besarnya IMT. Obesitas sangat berhubungan dengan resistensi
insulin, yang juga merupakan faktor risiko preeklampsia. Obesitas
meningkatkan rsisiko preeklampsia sebanyak 2,47 kali lipat, sedangkan wanita
dengan IMT sebelum hamil >35 dibandingkan dengan IMT 19-27 memiliki
risiko preeklampsia empat kali lipat.
11. Frekuensi ANC
Eklampsia banyak terjadi pada ibu yang kurang mendapatkan pelayanan ANC
yaitu sebesar 6,14% dibandingkan dengan yang mendapatkan ANC sebesar
1,97%. Studi case control di Kendal menunjukkan bahwa penyebab kematian
ibu terbesar (51,8%) adalah perdarahan dan eklampsia. Kedua penyebab itu
sebenarnya dapat dicegah dengan pelayanan antenatal yang memadai atau
pelayanan berkualitas dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan (Witlin
dan Sibai, 2000).

D. DIAGNOSIS DAN GAMBARAN KLINIK


Kejang eklampsia didahului dengan preeklampsia.
Preeklampsia ringan:

 Tekanan darah > 140/90 mmHg


 Protenuria : dipstick + 1
Preeklampsia berat:
 Tekanan darah > 160/110 mmHg
 Protenuria : dipstick + 2 atau > 300 mg/24 jam
 Serum kreatinin > 1,1 mg/dL
 Edema paru
 Peningkatan fungsi hati > 2 kali
 Trombosit > 100.0000
 Nyeri kepala, nyeri epigastrium dan gangguan penglihatan
Pada umumnya serangan kejang didahului dengan memburuknya preeklampsia
dan terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan,
nyeri di daerah epigastrium, dan hiperrefleksia. Menurut Sibai terdapat beberapa
perubahan klinis yang memberikan peringatan gejala sebelum timbulnya kejang,
adalah sakit kepala yang berat dan menetap, perubahan mental sementara, pandangan
kabur, fotofobia, iritabilitas, nyeri epigastrik, mual, muntah. Namun, hanya sekitar
50% penderita yang mengalami gejala ini. Presentase gejala sebelum timbulnya
kejang eklampsia adalah sakit nyeri kepala yang berat dan menetap (50-70%),
gangguan penglihatan (20-30%), nyeri epigastrium (20%), mual muntah (10-15%),
perubahan mental sementara (5- 10%) (Galan et al, 2007).
Frekuensi pernapasan biasanya meningkat setelah kejang eklampsia dan dapat
mencapai 50 kali per menit. Hal ini dapat menyebabkan hiperkarbia dampai asidosis
laktat, tergantung derajat hipoksianya. Pada kasus yang berat ditemukan sianosis
(Cunningham et al, 2005).
Sekarang, diagnosis preeklamsia tidak tergantung pada proteinuria. Pada hal
ini, proteinuria hampir selalu didapatkan, produksi urin berkurang, bahkan kadang-
kadang sampai anuria dan pada umumnya terdapat hemoglobinuria. Setelah persalinan
urin output akan meningkat dan ini merupakan tanda awal perbaikan kondisi
penderita. Proteinuria dan edema menghilang dalam waktu beberapa hari sampai dua
minggu setelah persalinan apabila keadaan hipertensi menetap setelah persalinan
maka hal ini merupakan akibat penyakit vaskuler kronis (Cunningham et al, 2005).

E. TATALAKSANA
Protokol Preeklampsia Berat
 O2 3lpm
 Infus RL 12 tpm
 MgSO4
 Nifedipin 10 mg tiap 30 menit (maksimal 120mg/24 jam) jika tekanan diastolik >
160/110 mmHg
 Injeksi dexamethason 2 amp/12 jam sampai AT >100.000
 Kateterisasi urin untuk pengukuran volume dan pemeriksaan proteinuria
 Awasi tanda impending eklampsia

.
Indikasi utama pemberian anti hipertensi ada kehamilan adalah untuk
keselamatan ibu dan mencegah penyakit serebrovaskuler. Obat anti hipertensi
diberikan bila tekanan darah > 160/110 mmHg (II/A). Pemberian anti hipertensi
pilihan pertama adalah nifedipin oral , hydralazine, dan labetalol parenteral (I/A).
Alternatif anti hipertensi yang lain adalah : nitrogliserin, metildopa, labetalol (I/B)
Magnesium sulfat direkomendasikan sebagai terapi lini pertama preeklamsia /
eklamsia dan sebagai profilaksis terhadap eklamsia pada Pasien preeklamsia berat
(I/A). MgSO4 Merupakan pilihan utama pada Pasien preeklamsia berat dibandingkan
diazepam atau fenitoin untuk mencegah terjadinya kejang atau kejang berulang (1a/A)
Dosis dan cara pemberian MgSO4 :
•Loading dose : 4 g MgSO4 40% dalam 100 cc NaCL : habis dalam 30 menit (73 tts /
menit)
•Maintenance dose : 6 gr MgSO4 40% dalam 500 cc Ringer Laktat selama 6 jam : (28
tts/menit)
•Awasi : volume urine, frekuensi nafas, dan reflex patella setiap jam
•Pastikan tidak ada tanda-tanda intoksikasi magnesium pada setiap pemberian MgSO4
ulangan
•Bila ada kejang ulangan : berikan 2g MgSO4 40%, IV

II. SINDROMA HELLP (HEMOLYSIS, ELEVATED LIVER ENZYME LEVELS,


LOW PLATELET LEVELS)
Sindroma HELLP dinamakan demikian karena mencakup 3 gangguan (anemia
hemolisis, peningkatan kadar enzim hepar, dan kadar trombosit rendah). Sindroma
HELLP diyakini merupakan hasil dari aktivasi endotelial mikrovaskuler dan cedera
sel.
Patofisiologi sindroma HELLP masih belum diketahui secara pasti. Beberapa
teori menyebutkan, karena sindroma HELLP adalah varian dari preeklamsia, maka
patofisiologinya juga tidak jauh berbeda. Pada preeklamsia, terjadi defek pada
remodeling vaskuler plasenta selama usia kehamilan 16-22 minggu saat invasi
trofoblas gelombang kedua pada desidua. Defek remodeling vaskuler tersebut
menyebabkan perfusi plasenta tidak adekuat. Plasenta yang hipoksik tersebut
kemudian mensekresikan soluble vascular endothelial growth factor reseptor-1
(sVEGFR-1), yang akan berikatan dengan vascular endothelial groth factor (VEGF)
dan placental growth factor (PGF), menyebabkan disfungsi sel endotel dan plasenta
dengan mencegah sel endotel dan plasenta berikatan dengan reseptor sel endotel.
Hasilnya adalah hipertensi, proteinuria, dan peningkatan aktivasi dan agregasi
platelet.
Lebih jauh, aktivasi kaskade koagulasi menyebabkan peningkatan konsumsi
platelet karena adhesi pada endotel yang rusak dan teraktivasi. Hemolisis
mikroangiopati disebabkan oleh pecahnya eritrosit saat eritrosit melewati kapiler yang
dipenuhi timbunan platelet-fibrin. Cedera mikrovaskuler multiorgan dan nekrosis
hepatik menyebabkan disfungsi hepar, yang kesemuanya mengarah pada karakteristik
sindroma HELLP.
Hipotesis lain menyebutkan bahwa terjadi penolakan imunitas maternal oleh
karena sel-sel maternal yang imunokompeten berkontak dengan fetus yang secara
genetik dianggap sebagai benda asing, sehingga terjadi keseimbangan imunitas
maternal-fetal. Hal tersebut menyebabkan disfungsi endotel, aktivasi dan agregasi
platelet, dan hipertensi arterial.
Diagnosis sindroma HELLP ditegakkan bila terjadi hipertensi pada usia
kehamilan lebih dari 20 minggu, dengan proteinuria. Faktor risiko dari sindroma
HELLP antara lain usia maternal lebih dari 34 tahun, multiparitas, ras Eropa, dan
riwayat obstetri buruk (Khan dan Ramus, 2015).

III. FETAL DISTRESS


A. DEFINISI
Fetal distress (gawat janin) adalah gangguan pada janin yang menggambarkan
hypoksia janin (kadar oksigen rendah) sehingga dapat mengakibatkan kerusakan atau
kematian janin jika tidak segera di tangani. Keadaan ini dapat terjadi pada masa
antepartum atau intrapartum. Kegawatan janin antepartum menjadi nyata dalam
bentuk retardasi pertumbuhan intrauterin (Supridi, 2009).
Keadaan janin biasanya dinilai dengan menghitung denyut jantung janin (DJJ)
dan memeriksa kemungkinan adanya mekonium didalam cairan amnion. Sering
dianggap DJJ yang abnormal, terutama bila ditemukan mekonium, menandakan
hipoksia dan asidosis. Akan tetapi, hal tersebut sering kali tidak benarkan. Misalnya,
takikardi janin dapat disebabkan bukan hanya oleh hipoksia dan asidosis, tapi juga
oleh hipotemia, sekunder dari infeksi intra uterin.
Untuk kepentingan klinik perlu ditetapkan kriteria apa yang dimaksud dengan
gawat janin. Disebut gawat janin bila ditemukan denyut jantung janin diatas 160 /
menit atau dibawah 100 / menit, denyut jantung tidak teratur , atau keluarnya
mekonium yang kental pada awal persalinan.

B. ETIOLOGI
a. Insufisiensi uteroplasenter akut (kurangnya aliran darah uterus-plasenta dalam
waktu singkat) :
-      Aktivitas uterus yang berlebihan, hipertonik uterus, dapat dihubungkan dengan
pemberian oksitosin.
-      Hipotensi ibu, anestesi epidural,kompresi vena kava, posisi terlentang.
-      Solusio plasenta.
-      Plasenta previa dengan pendarahan.
b. Insufisiensi uteroplasenter kronik (kurangnya aliran darah uterus-plasenta dalam
waktu lama) :
-      Penyakit hipertensi
-      Diabetes mellitus
-      Postmaturitas atau imaturitas
c.  Kompresi (penekanan) tali pusat
-      Oligihidramnion
-      Prolaps tali pusat
-      Puntiran tali pusat
d. Penurunan kemampuan janin membawa oksigen
-      Anemia berat misalnya isomunisasi , perdarahan fetomaternal
-      Kesejahteraan janin dalam persalinan asfiksia intrapartum dan komplikasi
-      Skor APGAR 0-3 selam > 5 menit
-      Sekuele neorologis neonatal
-      Disfungsi multi organ neonatal
-      PH arteri tali pusat 7,0

C. PATOFISIOLOGI
Ada beberapa proses atau tahapan terjadinya peristiwa fetal distress, antara lain:
a.  Perubahan cairan amnion
Terjadi perubahan kualitas dan kuantitas cairan amnion. Jumlah cairan
amnion mencapai puncak pada usia kehamilan 38 minggu sekitar 1000 ml dan
menurun sekitar 800 ml pada 40 minggu. Penurunan jumlah cairan amnion
berlangsung terus menjadi sekitar 480 ml , 250 ml, 160 ml pada usia kehamilan
42 dan 43 minggu.
Penurunan tersebut berhubungan dengan produksi urin janin yang
berkurang. Dilaporkan bahwa aliran darah janin menurun pada kehamilan
postterm dan menyebabkan oligohidramnion.
Selain perubahan volume terjadi pula perubahan komposisi cairan amnion
menjadi kental dan keruh. Hal ini terjadi karena lepasnya vernik kaseosa dan
komposisi phosphilipid. Dengan lepasnya sejumlah lamellar bodies dari paru-
paru janin dan perbandingan Lechitin terhadap Spingomielin menjadi 4 : 1 atau
lebih besar. Dengan adanya pengeluaran mekonium maka cairan amnion menjadi
hijau atau kuning.
Evaluasi volume cairan amnion sangat penting. Dilaporkan kematian
perinatal meningkat dengan adanya oligohidramnion yang menyebabkan
kompresi tali pusat. Keadaan ini menyebabkan fetal distress intra partum pada
persalinan postterm.
Untuk memperkirakan jumlah cairan amnion dapat di ukur dengan
pemeriksaan ultrasonografi. Bila AFI kurang dari 5 cm indikasi
oligrohidramnion. AFI 5 – 10 cm indikasi penurunan volume cairan amnion. AFI
10 – 15 cm adalah normal. AFI 15 – 20 cm terjadi peningkatan volume cairan
amnion. AFI lebih dari 25 cm indikasi polihidramnion.
b.  Perubahan pada plasenta
Plasenta sebagai perantara untuk suplai makanan dan tempat pertukaran gas
antara maternal dan fetal. Dengan bertambahnya umur kehamilan, maka terjadi
pula perubahan struktur plasenta.
Plasenta pada kehamilan postterm memperlihatkan pengurangan diameter
dan panjang villi chorialis. Perubahan ini secara bersamaan atau di dahului
dengan titik-titik penumpukan kalsium dan membentuk infark putih. Pada
kehamilan atterm terjadi infark 10 % - 25 % sedangkan pada postterm terjadi
60% - 80 %.   Timbunan kalsium pada kehamilan postterm meningkat sampai 10
g / 100 g jaringan plasenta kering, sedangkan kehamilan atterm hanya 2 – 3 g /
100 g jaringan plasenta kering.
Secara histology plasenta pada kehamilan postterm meningkatkan infark
plasenta, kalsifikasi, thrombosis intervilosus, deposit fibrin perivillosus,
thrombosis arterial dan endarteritis arterial. Keadaan ini menurunkan fungsi
plasenta sebagai suplai makanan dan pertukaran gas. Hal ini menyebabkan
malnutrisi dan asfiksia.
c.    Perubahan pada janin
Sekitar 45 % janin yang tidak di lahirkan setelah hari perkiraan lahir, terus
berlanjut tumbuh dalam uterus. Ini terjadi bila plasenta belum mengalami
insufisiensi. Dengan penambahan berat badan setiap minggu dapat terjadi berat
lebih dari 4000 g. keadaan ini sering disebut janin besar. Pada umur kehamilan 38
– 40 minggu insiden janin besar sekitar 10 % dan 43 minggu sekitar 43 %.
Dengan keadaan janin tersebut meningkatkan resiko persalinan traumatik.
Janin postmatur mengalami penurunan jumlah lemak subkutaneus, kulit
menjadi keriput dan vernik kaseosa hilang. Hal ini menyebabkan kulit janin
berhubungan langsung dengan cairan amnion. Perubahan lain yaitu : rambut
panjang, kuku panjang, warna kulit kehijauan atau kekuningan karena terpapar
mekonium.

D. DIAGNOSIS
Gejala fetal distress dapat berupa penurunan gerak janin, terdapatnya meconium
pada air ketuban, peningkatan fetal heart rate ( < 160 ) yang disebabkan kompensasi
syaraf simpatis fetus karena kadar oksigen menurun, fetal heart rate turun ( <110 )
biasanya isufisiensi pada fetus sudah berlangsung lama sehingga mekanisme
kompensasi tidak optimal, dan yang terakhir adalah terjadinya acidosis karena
penururnan kadar oksigen dalam aliran darah fetus, sehingga pemenuhan energy lebih
kearah anaerob yang menyebabkan kadar CO2 darah meningkat sehingga
menyebakan acidosis.
CTG ( cardiotopography ) adalah pemantauan janin kontinu secara elektronik
atau biofisik. DJJ adalah hasil dari macam-2 faktor fisiologis yang mengatur, yang
paling berperan adalah sistem syaraf autonom. Indikasi pemakaian CTG adalah hamil
posterm Pre eklamsia Ketuban pecah dini ( 6-8 jam )IUGR / janin tumbuh lambat.
Cara mendiagnosis adanya fetal distress :
1. Menggunakan CTG, kriterianya adalah
 Bradicardia ( <110 bpm ) dengan lost of variability
 Recurrent Late deceleration
 Recurrent variable deceleration
 Sinusoidal patern
 Severe variable deceleration
2. Yang kedua adalah dengan fetal scalp blood sampling untuk memeriksa pH darah
janin. Kriteria untuk asidosis adalah ketika pH darah kurang dari 7,2.

E. KLASIFIKASI
Pembagian gawat janin
a. Gawat janin sebelum persalinan
Gawat janin sebelum persalinan biasanya merupakan gawat janin yang bersifat
kronik berkaitan dengan fungsi plasenta yang menurun atau bayi sendiri yang
sakit.
1). Data subyektif dan obyektif
Gerakan janin menurun. Pasien mengalami kegagalan dalam pertambahan berat
badan dan uterus tidak bertambah besar. Uterus yang lebih kecil daripada umur
kehamilan yang diperkirakan memberi kesan retardasi pertumbuhan intrauterin
atau oligohidramnion. Riwayat dari satu atau lebih faktor-faktor resiko tinggi,
masalah-masalah obstetri, persalinan prematur atau lahir mati dapat memberikan
kesan suatu peningkatan resiko gawat janin.
2). Faktor predisposisi
Faktor-faktor resiko tinggi meliputi penyakit hipertensi, diabetes mellitus,
penyakit jantung, postmaturitas, malnutrisi ibu, anemia, dan lain-lain.
3). Data diagnostik tambahan
Pemantauan denyut jantung janin menyingkirkan gawat janin sepanjang (a)
denyut jantung dalam batas normal (b) akselerasi sesuai dengan gerakan janin (c)
tidak ada deselerasi lanjut dengan adanya kontraksi uterus.
Ultrasonografi : Pengukuran diameter biparietal secara seri dapat
mengungkapkan bukti dini dari retardasi pertumbuhan intrauterin. Gerakan
pernafasan janin, aktifitas janin dan volume cairan ketuban memberikan penilaian
tambahan kesekatan janin. Oligihidramnion memberi kesan anomali janin atau
retardasi pertumbuhan.
Kadar estriol dalam darah atau urin ibu memberikan suatu pengukuran fungsi
janin dan plasenta, karena pembentukan estriol memerluakn aktifitas dari enzim-
enzim dalam hati dan kelenjar adrenal janin seperti dalam plasenta.
HPL (Human Placental Lactogen) dalam darah ibu : kadar 4 mcg/ml atau kurang
setelah kehamilan 3 minggu member kesan fungsi plasenta yang abnormal.
Amniosintesis : adanya mekonium di dalam cairan amnion masih menimbulkan
kontroversi. Banyak yang percaya bahwa mekonium dalam cairan amnion
menunjukkan stress patologis atau fisiologis, sementara yang lain percaya bahwa
fasase mekonium intrauterin hanya menunjukkan stimulasi vagal temporer tanpa
bahaya yang mengancam. Penetapan rasio lesitin sfingomielin (rasio L/S)
memberikan suatu perkiraan maturitas janin.
4). Penatalaksanaan
Keputusan harus didasarkan pada evaluasi kesehatan janin inutero dan maturitas
janin. Bila pasien khawatir mengenai gerakan janin yang menurun pemantauan
denyut jantung janin atau dimiringkan atau oksitosin challenge test sering
memberikan ketenangan akan kesehatan janin. Jika janin imatur dan keadaan
insufisiensi plasenta kurang tegas, dinasehatkan untuk mengadakan observasi
tambahan. Sekali janin matur, kejadian insufisiensi plasenta biasanya berarti
bahwa kelahiran dianjurkan. Persalinan dapat diinduksi jika servik dan presentasi
janin menguntungkan. Selama induksi denyut jantung janin harus dipantau secara
teliti. Dilakukan sectio secaria jika terjadi gawat janin, sectio sesaria juga dipilih
untuk kelahiran presentasi bokong atau jika pasien pernah mengalami operasi
uterus sebelumnya.
b. Gawat janin selama persalinan
Gawat janin selama persalinan menunjukkan hipoksia janin. Tanpa oksigen yang
adekuat, denyut jantung janin kehilangan variabilitas dasarnya dan menunjukkan
deselerasi lanjut pada kontraksi uterus. Bila hipoksia menetap, glikolisis anaerob
menghasilkan asam laktat dengan pH janin yang menurun.
1). Data subyektif dan obyektif
Gerakan janin yang menurun atau berlebihan menandakan gawat janin. Tetapi
biasanya tidak ada gejala-gejala subyektif. Seringkali indikator gawat janin yang
pertama adalah perubahan dalam pola denyut jantung janin (bradikardia,
takikardia, tidak adanya variabilitas, atau deselerasi lanjut).
Hipotensi pada ibu, suhu tubuh yang meningkat atau kontraksi uterus yang
hipertonik atau ketiganya secara keseluruhan dapat menyebabkan asfiksia janin.
2). Faktor-faktor etiologi
a. Insufisiensi uteroplasental akut
 aktivitas uterus berlebihan.
 hipotensi ibu.
 solutio plasenta.
 plasenta previa dengan pendarahan.
b. Insufisiensi uteroplasental kronik
 penyakit hipertensi.
 diabetes mellitus.
 isoimunisasi Rh.
 postmaturitas atau dismaturitas
c. Kompresi tali pusat
d. Anestesi blok paraservikal
3). Data diagnostik tambahan
Pemantauan denyut jantung janin : pencatatan denyut jantung janin yang segera
dan kontinu dalam hubungan dengan kontraksi uterus memberika suatu penilaian
kesehatan janin yang sangat membantu dalam persalinan.
Indikasi-indikasi kemungkinan gawat janin adalah:
1. Bradikardi : denyut jantung janin kurang dari 120 kali permenit.
2. Takikardi : akselerasi denyut jantung janin yang memanjang (> 160) dapat
dihubungkan dengan demam pada ibu sekunder terhadap terhadap infeksi
intrauterin. Prematuritas dan atropin juga dihubungkan dengan denyut jantung
dasar yang meningkat.
3. Variabilitas: denyut jantung dasar yang menurun, yang berarti depresi sistem
saraf otonom janin oleh mediksi ibui (atropin, skopolamin, diazepam,
fenobarbital, magnesium dan analgesik narkotik).
4. Pola deselerasi: Deselerasi lanjut menunjukan hipoksia janin yang
disebabkan oleh insufisiensi uteroplasental. Deselerasi yang bervariasi tidak
berhubungan dengan kontraksi uterus adalah lebih sering dan muncul untuk
menunjukan kompresi sementara waktu saja dari pembuluh darah umbilikus.
Peringatan tentang peningkatan hipoksia janin adalah deselerasi lanjut, penurunan
atau tiadanya variabilitas, bradikardia yang menetap dan pola gelombang sinus.
Contoh darah janin memberikan informasi objektif tentang status asam basa
janin. Pemantauan janin secara elektronik dapat menjadi begitu sensitif terhadapt
perubahan-perubahan dalam denyut jantung janin dimana gawat janin dapat
diduga bahkan bila janin dalam keadaan sehat dan hanya menber reaksi terhadap
stess dari kontraksi uterus selama persalianan. Contoh darah janin diindikasikan
bila mana pola denyut jantung janin abnormal atau kacau memerlukan penjelasan.
Mekonium dalam cairan ketuban : arti dari mekoneum dalam cairan ketuban
adalah tidak pasti dan kontroversial sementara beberapa ahli berpendapat bahwa
pasase mekoneum intrauterun adalah suatu tanda gawat janin dan kemungkinan
kegawatan, yang lainya merasakan bahwa adanya mekoneum tanpa kejadian
asfiksia janin lainnya tidak menunjukan bahaya janin. Tetapi, kombinasi asfiksia
janin dan mekoneum timbul untuk mempertinggi potensi asfirasi mekoneum dan
hasil neonatus yang buruk.

F. TATALAKSANA
a. Penanganan umum:
1.   Pasien dibaringkan miring ke kiri, agar sirkulasi janin dan pembawaan
oksigen dari ibu ke janin lebih lancar.
2.   Berikan oksigen sebagai antisipasi terjadinya hipoksia janin.
3.   Jika sebab dari ibu diketahui (seperti demam, obat-obatan) mulailah
penanganan yang sesuai.
4.   Jika sebab dari ibu tidak diketahui dan denyut jantung janin tetap abnormal
sepanjang paling sedikit 3 kontraksi, lakukan pemeriksaan dalam untuk
mencari penyebab gawat janin:
-  Bebaskan setiap kompresi tali pusat
-  Perbaiki aliran darah uteroplasenter
-   Menilai apakah persalinan dapat berlangsung normal atau kelahiran segera
merupakan indikasi.
Rencana kelahiran (pervaginam atau perabdominam) didasarkan pada faktor-
faktor etiologi, kondisi janin, riwayat obstetric pasien dan jalannya
persalinan.
b.    Penatalaksanaan Khusus
1.    Posisikan ibu dalam keadaan miring sebagai usaha untuk membebaskan
kompresi aortokaval dan memperbaiki aliran darah balik, curah jantung dan
aliran darah uteroplasenter. Perubahan dalam posisi juga dapat membebaskan
kompresi tali pusat.
2.    Oksigen diberikan melalui masker muka 6 liter permenit sebagai usaha untuk
meningkatkan pergantian oksigen fetomaternal.
3.  Hipotensi dikoreksi dengan infus intravena dekstrose 5 % berbanding larutan
laktat. Transfusi darah dapat di indikasikan pada syok hemoragik.
4.    Pemeriksaan pervaginam menyingkirkan prolaps tali pusat dan menentukan
perjalanan persalinan.
5.    Pengisapan mekonium dari jalan napas bayi baru lahir mengurangi risiko
aspirasi mekoneum. Segera setelah kepala bayi lahir, hidung dan mulut
dibersihkan dari mekoneum dengan kateter pengisap. Segera setelah
kelahiran, pita suara harus dilihat dengan laringoskopi langsung sebagai
usaha untuk menyingkirkan mekoneum dengan pipa endotrakeal.
BAB IV

ANALISA KASUS

Pasien merupakan G2P1A0, 35 tahun, UK: 37 minggu datang rujukan dari RSUD
Karanganyar dengan keterangan pasien seorang G2P1A0, dengan HELLP Syndrome post
eklampsia. Berdasarkan autoanamnesis dan alloanamnesis saat pasien datang ke RSDM,
didapatkan keterangan pasien merasa hamil 9 bulan, gerakan janin masih dirasakan,
kenceng-kenceng teratur belum dirasakan, air kawah belum dirasakan keluar, dan lendir
darah belum dirasakan keluar. Pasien memiliki riwayat kejang 2 kali di RSUD Karanganyar
yaitu pada jam 10.0 dan 17.00. Pasien sudah diberikan terapi injeksi diazepam 1 ampul dan
MgSO4 4 gram dalam 100 cc NaCl pada saat pasien kejang. Keluhan mual muntah (-),
pusing di bagian depan (-).
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 200/130 mmHg, pada pemeriksaan
abdomen didapatkan supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal, intrauterine, memanjang,
punggung di kanan, presentasi kepala, kepala belum masuk panggul. TFU 27 cm ~ TBJ 2325
gr, His (-), DJJ (+) 90x/menit. Pada pemeriksaan dalam VT didapatkan vulva/uretra tenang,
dinding vagina dalam batas normal, portio lunak mencucu, OUE tertutup, eff 0 %, kulit
ketuban (-), penunjuk belum dapat dinilai, air ketuban (-), STLD (-).
Pemeriksaan laboratorium tanggal 16 Agustus 2017 menunjukkan Hb: 16.4 g/dl
(↑), AL: 18.3 ribu/ul (↑), AT: 42 ribu/ul (↓), SGOT: 364 u/l (↑), SGPT: 157 u/l (↑),
albumin 2.5 g/dl (↓), LDH: 2449 u/l (↑), pada pemeriksaan urin protein kualitatif +3. Pada
pemeriksaan USG 16 Agustus 2017 : Tampak janin tunggal, intrauterin, memanjang, punggung di
kanan, presentasi kepala, his (-), DJJ (+), dengan biometri: BPD: 8,38 cm, FL: 7,03 cm , AC:
28,85 cm dan EFBW : 2342 gram. Plasenta insersi di corpus uteri grade II, air kawah kesan
cukup, tak tampak jelas kelainan kongenital mayor. Kesimpulan: saat ini janin dalam keadaan
baik. Dari hasil pemeriksaan NST didapatkan baseline 90x/menit, variabilitas <5, deselerasi
(+) lambat dan fetal movement (+). Kesimpulan: NST kategori III.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang saat pasien
datang di RSDM, pasien didiagnosis dengan eklampsia, HELLP syndrome, fetal distress pada
sekundigravida hamil aterm belum dalam persalinan.
Pada pasien ini ditemui tanda-tanda eklampsia yaitu serangan kejang tiba-tiba pada
wanita hamil, persalinan atau masa nifas yang menunjukkan gejala preeklampsia sebelumnya.
Pasien sudah mengalami dua kali kejang saat pasien masih di RSUD Karanganyar. Pada
pasien juga didapatkan gejala preeklampsia berat yaitu hipertensi (200/130 mmHg) dan
proteinuria (+3). Tekanan darah ≥ 160/110 termasuk dalam kategori pre-eklampsia berat
(Bari A, 2003).
Hipertensi yang terjadi pada pasien ini dapat disebabkan oleh vasokonstriksi yang
terjadi terutama pada arteriol dan diperkirakan disebabkan oleh peningkatan reaktivitas
vaskular. Mekanisme peningkatan reaktivias vaskular diduga disebabkan oleh perubahan
interaksi antara substansi vasodilator (prostasiklin, nitrit oksida) dan vasokonstriktif
(tromboksan A2, endotelin). Perubahan tersebut meningkatkan tekanan darah arterial
(afterload) (Rustam, 1998).
Proteinuria yang terjadi pada pasien ini disebabkan karena adanya kerusakan endotel
glomerulus akibat radikal bebas dari plasenta yang iskemik. Kerusakan glomerulus
menyebabkan protein yang seharusnya tersaring menjadi keluar melalui urin. Keluarnya
protein melalui urin menimbulkan penurunan albumin pada pembuluh darah dan
menyebabkan hipoalbuminemia (2,5 g/dl). Albumin dalam pembuluh darah berfungsi
menjaga tekanan onkotik pembuluh darah. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan
tekanan onkotik, sehingga terjadi kebocoran plasma yang dapat menyebabkan edema di
berbagai organ seperti, ekstremitas, paru, mata dan otak (Rustam, 1998). Preeklampsia berat
dapat mengarah menjadi impending eklampsia dan menjadi eklampsia.
HELLP syndrome yang merupakan kumpulan gejala klinis sebagai komplikasi dari
pre-eklampsia ditemui pula pada pasien ini, dimana pada hasil laboratorium didapatkan 3
tanda dari HELLP syndrome yaitu hemolisis; berupa peningkatan LDH (LDH: 2449 u/l),
peningkatan enzim hati (SGOT: 364 u/l dan SGPT: 157 u/l), dan trombositopenia (42
ribu/ul).
Karena sindroma HELLP adalah merupakan bagian dari preeklampsia, maka
etiopatogenesisnya sama dengan preeklampsia. Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti
patogenesis preeklampsia atau sindroma HELLP. Sel-sel darah merah yang, mengalami
hemolisis akan keluar dari pembuluh darah yang telah rusak, membentuk timbunan fibrin.
Adanya timbunan fibrin di sinusoid akan mengakibatkan hambatan aliran darah hepar.
Akibatnya enzim hepar akan meningkat. Destruksi sel darah merah akan meningkatkan LDH
sehingga terjadi penurunan konsentrasi hemoglobin. Hemoglobinemia dan hemoglobinuria
dapat ditemukan pada 10% wanita (Jayakusuma, 2005; Haram et al., 2009; Angsar, 2010).
Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder akibat obstruksi aliran darah
hati oleh deposit fibrin di sinusoid. Obstruksi ini menyebabkan nekrosis periportal dan pada
kasus yang berat dapat terjadi perdarahan intrahepatik, hematom subkapsular atau ruptur hati.
Nekrosis periportal dan perdarahan merupakan gambaran histopatologik yang paling sering
ditemukan. Trombositopeni ditandai dengan peningkatan pemakaian dan atau destruksi
trombosit (Jayakusuma, 2005; Haram et al., 2009; Angsar, 2010).
Karena didapatkan adanya eklampsia, pada pasien ini dilakukan perawatan aktif,
yang berarti kehamilan segera diakhiri setelah mendapat terapi medikamentosa untuk
stabilisasi ibu. Pada pasien diberikan protap PEB untuk stabilisasi hemodinamik, mencegah
ibu jatuh dalam keadaan eklampsia. Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini merupakan :
O2 3 lpm, infus RL 12 tpm, injeksi MgSO4 20% 4 gram iv bolus pelan selama 10-15 menit,
dan nifedipin 3x10 mg. Selain itu diberikan injeksi cefazolin 2 g/24 jam sebagai profilaksis
antibiotik pada ibu untuk mencegah kolonisasi bakteri (Vieira et al., 1997).
Janin pada pasien ini juga mengalami distress, yaitu gangguan pada janin yang
menggambarkan hipoksia janin ( kadar oksigen rendah ) sehingga dapat mengakibatkan
kerusakan atau kematian janin (gawat janin) jika tidak segera di tangani (Nelson, Ilmu
Kesehatan Anak). Gawat janin terjadi bila ditemukan denyut jantung janin diatas 160 / menit
atau dibawah 100 / menit, denyut jantung tidak teratur , atau keluarnya mekonium yang
kental pada awal persalinan. Keadaan ini bisa disebabkan eklampsia pada Ibu. Dalam
keadaan normal, serbuan trofoblas mengakibatkan penggantian lapisan otot dan lapisan
elastis pada arteri spiralis oleh jaringan fibrinoid dan fibrosa, menghasilkan saluran berliku-
liku yang besar yang berekstensi melalui miometrium. Pada eklampsia, perubahan ini terbatas
pada segmen desidua pembuluh darah dan dapat mengakibatkan reduksi diameter segmen
miometrium pada arteri spiralis. Sebesar 60% tingkat infark plasenta meningkat pada hampir
semua kehamilan. Terjadi iskemia uteroplasenter, menyebabkan ketidakseimbangan antara
massa plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi darah sirkulasi yang berkurang. Karena
gangguan sirkulasi uteroplasenter ini, terjadi penurunan suplai oksigen dan nutrisi ke janin.
Akibatnya bervariasi dari gangguan pertumbuhan janin sampai hipoksia dan kematian janin.
Pasien kemudian diusulkan untuk dilakukan SCTP emergency dan insersi IUD.
SCTP emergency dilakukan karena adanya eklampsia pada pasien dan fetal distress pada
janin. Kontrasepsi diperlukan untuk mencegah kehamilan karena penderita sindroma HELLP
mempunyai kemungkinan 19-27% untuk mendapat risiko sindrom ini pada kehamilan
berikutnya dan mempunyai risiko sampai 43% untuk mendapat preeklampsia pada kehamilan
berikutnya (Gibbons et al., 2010). IUD dipilih karena efektivitasnya yang tinggi. Pasien
kemudian dilakukan terminasi kehamilan dengan SCTP emergency dan melahirkan bayi
berjenis kelamin laki-laki dengan BB: 2300 gr dan Apgar Score 7-8-9. Sehingga, sesudah
operasi pasien didiagnosis dengan Post SCTP-em + insersi IUD a/i eklampsia, fetal distress,
dan HELLP syndrome pada sekundipara hamil aterm. Berdasarkan klasifikasi bayi baru lahir,
bayi yang dilahirkan pasien termasuk bayi berat lahir rendah (BBLR, kurang dari 2500 gram)
(Stoll dan Kligman, 2003). Berat badan bayi yang rendah ini mungkin disebabkan status gizi
ibu yang kurang baik selama kehamilan. Setelah operasi, dilakukan pengawasan terhadap
keadaan umum, vital sign, BC, dan tanda-tanda perdarahan pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Bari Saifuddin dkk. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan kesehatan Maternal
dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka: Jakarta.

Amiruddin R, dkk. 2007. Issu Mutakhir tentang Komplikasi Kehamilan (preeklampsia dan
eklampsia). Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat UNHAS.

Angsar MD,dkk. 2005. Pedoman Pengelolaan Hipertensi Dalam Kehamilan Di Indonesia


edisi kedua. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI.

Angsar MD. 2010. Hipertensi dalam Kehamilan dalam Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp: 530-561

Bari A. 2003. Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi. PB POGI, FKUI.
Jakarta.

Cunningham, F.G.et al. 2005. Hipertensive Disorder in Pregnancy. In: Williams


Obstetrics-22nd Edition. USA: Mc Graw Hill co.

Galan, H. et al.  2007. Obstetrics Normal and Problem Pregnancies. USA: Elsevier.

Greer IA, Walters B, Nelson C. 2007. Maternal Medicine. London: Elsevier.

Haram K, Svendsen E, dan Abilgaard U. 2009. The Sindroma HELLP: clinical issues and
management: a review. BMC Pregnancy and Childbirth, 9: 8

Jayakusuma A. 2005. Sindroma HELLP Parsial Pada Kehamilan Prematur. FK – UNUD.


25 – 43.

JNPK-KR. 2008. Buku Acuan Pelatihan Klinik Pelayanan Obstetri Emergensi Dasar.
Jakarta.
Khan H, Ramus RM. 2015. HELLP syndrome. Tersedia pada
http://emedicine.medscape.com/article/1394126-overview diakses pada 12
September 2017.

Matrin, Tucker Susan. 2008. Pemantauan Janin. EGC: Jakarta

Mochtar, Rustam, Prof. Dr. M. Ph. 2009. Synopsis Obstetri. EGC: Jakarta.

Pokharel SM, Chattopadhyay SK. 2008. HELLP Syndrome – a pregnancy disorder with
poor diagnosis.

Prasetiyo I. Eklampsia. [online]. [cited: September 2017]. Available from:


http://rsud.patikab.go.id/?page=download&file=EKLAMPSIA.doc&id=13

Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan . Yayasan BinaPustaka Sarwono


Prawirohardjo: Jakarta.

Supridi, Teddy. 2009. Kedokteran Obstetri Dan Gynekologi. EGD: Jakarta

Tierney, M.L., McPhee, S.J., Papadakis, M.A. 2006. Current Medical Diagnosis &
Treatment-45th Edition.. USA: Mc Graw Hill co.

Witlin AG, Sibai BM. 2000. Diagnosis and Management of Women with HELLP
syndrome.

Anda mungkin juga menyukai