Anda di halaman 1dari 24

PEMBAHASAN KASUS

FARMAKOTERAPI TERAPAN

“TUBERKULOSIS MENINGITIS”

DISUSUN OLEH :

Evianti Takimpo 192211101106

M. Febrian Bachtiar 192211101107

Aisyah Rulina Safitri 192211101108

Devi Rusvita Khoirul Nisah 192211101109

Desy Dwi Utami 192211101110

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS JEMBER

2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Definisi dan Patofisiologi


Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis, dan tempat infeksi yang paling umum adalah paru-
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Bakteri mulai hidup pada
inangnya ditandai dengan demam, menggigil, keringat malam, penurunan berat
badan, dan perubahan radiografi dada. Penularan penyakit tuberkulosis berasal
dari pasien tuberkulosis Bakteri Tahan Asam (BTA) positif. Proses penularan
terjadi pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar
3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana
percikan dahak berada dalam waktu yang lama, karena itu keluarga atau orang
terdekat dengan pasien akan memiliki resiko tertular sangat tinggi. Hal ini dapat
ditanggulangi dengan cara memaksimalkan ventilasi dan jendela yang lebar.
Ventilasi di ruangan dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari
langsung yang masuk lewat jendela dapat membunuh kuman. Percikan dapat
bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang
terpajan kuman tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara
dan lamanya menghirup udara tersebut (Kemenkes RI, 2011). Penyakit
tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 tipe, yaitu :
1) Tuberkulosis laten
Pada tuberkulosis laten, penderita tidak menunjukkan gejala, tidak
merasa sakit, dan bakteri T bersifat dorman di dalam tubuh inang. Artinya
penderita tidak dapat menularkannya pada orang lain. Namun tuberkulosis laten
bisa saja berubah menjadi tuberkulosis aktif di kemudian hari karena sdah tidak
mampunya lagi sistem imun inang untuk melawan bakteri. Infeksi laten terjadi
ketika basil tuberkel dihirup ke dalam tubuh, kemudian M. tuberculosis menetap
di dalam bronkiolus dan alveoli paru-paru. Perkembangan infeksi di paru-paru
tergantung pada inokulum organisme M. Tuberculosis dihirup, virulensi
organisme, dan kekebalan bawaan respon dari tuan rumah. Pada host yang tidak
rentan, bacilli awalnya melawan pertahanan tuan rumah, organisme kemudian
difagositosis oleh alveolar makrofag dan sel dendritik residen, tetapi mereka
mungkin tersisa kemudian berkembang biak di dalam sel untuk waktu yang lama.
Setelah Replikasi 14 hingga 21 hari, basil tuberkel menyebar melalui limfatik
sistem ke kelenjar getah bening hilar dan melalui aliran darah ke banyak organ
tubuh lainnya.
Organ-organ dengan aliran darah dan O2 tinggi, seperti paru-paru,
ginjal, tulang, dan otak, khususnya menguntungkan untuk pertumbuhan
organisme. Organisme hidup 2 sampai 12 minggu hingga mulai merangsang
respon imun tubuh yaitu sel T. Sel T CD4 + menghasilkan interferon-γ, yang
sangat penting sitokin untuk aktivasi makrofag dan mikobakteri pembunuh, serta
sitokin lain. Pada titik ini, pasien memiliki perkembangan imunitas yang
dimediasi sel, dan replikasi bakteri dihentikan.
Pada orang dengan kekebalan yang dimediasi sel utuh, Sel T dan
makrofag aktif bekerja dengan menyebabkan pembentukan granuloma, ciri khas
TB, yang dianggap mewakili fisik dan penghalang imunologis untuk
mengendalikan infeksi dan batas penyebaran basil ke lingkungan sekitar. Sel yang
ditemukan dalam granuloma termasuk CD4 + dan CD8 +, sel T, sel B, neutrofil,
makrofag, dan fibroblas. Organisme cenderung melokalisasi di pusat granuloma,
yang sering nekrotik, dan basil tuberkel dapat tetap hidup dalam granuloma.
Tambahan, pemeliharaan integritas granuloma memungkinkan kontrol replikasi
bakteri dan tergantung pada status kekebalan tubuh pasien. Sebagian besar pasien
dengan infeksi tuberkulosis laten adalah tanpa gejala tanpa bukti radiografi
infeksi. Pada beberapa pasien, mungkin ada lesi yang sembuh dan mengalami
kalsifikasi di dada radiografi, tetapi studi bakteriologis negatif. A positif Tes kulit
TBC biasanya merupakan satu-satunya indikasi bahwa orang tersebut telah
terinfeksi M. tuberculosis.
2) Tuberkulosis aktif
Pada tipe ini terjadi ketika bakteri mulai memenangkan perlawanan
terhadap sistem pertahanan tubuh dan mulai menyebabkan gejala. Saat bakteri
menginfeksi paru-paru, tuberkulosis aktif dapat menyebar dengan mudah ke orang
lain melalui percikan ludah ketika batuk, bersin, atau bicara.
Pada sebagian besar pasien, penyakit tuberkulosis aktif dihasilkan dari
reaktivasi dari infeksi laten yang sebelumnya dikendalikan, disebut reaktivasi
tuberkulosis. Diperkirakan sekitar 10% dari orang yang tertular infeksi
tuberkulosis dan tidak menerima terapi untuk infeksi laten akan berkembang
penyakit tuberkulosis aktif, dan risikonya mengembangkan penyakit aktif terbesar
selama 2 tahun pertama setelah infeksi. Tingkat reaktivasi di antara orang dengan
tuberkulosis laten infeksi adalah 0,10 hingga 0,16 kasus per 100 orang-tahun.
Pengaktifan kembali tuberkulosis pada orang dengan infeksi laten
tuberkulosis terutama tergantung pada status kekebalan tubuh inang. Kemampuan
inang untuk merespon infeksi M. tuberculosis berkurang karena penyakit tertentu
seperti diabetes mellitus, silikosis, ginjal kronis kegagalan, dan penyakit atau obat
yang terkait dengan imunosupresi (contoh infeksi HIV, agen-faktor α-tumor
necrosis, transplantasi organ, kortikosteroid, dan imunosupresif lainnya agen).
Kemungkinan berkembangnya penyakit tuberkulosis aktif lebih besar pada orang
dengan kondisi ini. Orang yang terinfeksi HIV, terutama mereka dengan jumlah
sel T CD4 + yang rendah, memiliki risiko berkembangnya penyakit TB aktif
dengan cepat setelah terinfeksi M. tuberculosis hingga 50%. Dari individu-
individu ini dapat mengembangkan penyakit aktif dalam 2 tahun pertama setelah
infeksi. Selain itu, seseorang dengan infeksi TB laten yang tidak diobati yang
tertular infeksi HIV akan berkembang menjadi penyakit TB aktif pada tingkat
perkiraan 5% hingga 10% per tahun. Stres fisik atau emosional, gastrektomi,
operasi bypass usus, penyalahgunaan alkohol, penyakit hematologi, penyakit
retikuloendotelial, dan penggunaan obat intravena adalah risiko faktor-faktor
untuk pengembangan penyakit aktif. Orang tua, remaja, dan anak-anak di bawah 5
tahun mengalami peningkatan risiko terkena penyakit aktif (Alldredge & al,
2013).
1.2 Etiologi
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis, dan tempat infeksi yang paling umum adalah paru-
paru. Penyakit infeksi ini ditandai oleh adanya demam, kedinginan, keringat
malam, penurunan berat badan, dan perubahan radiografi pada dada. Beberapa
faktor risiko untuk tuberkulosis yaitu adanya imuno supresan, paparan akibat
kontak langsung dengan penderita TB,serta merokok. (Alldredge.et.al. 2013).
Mycobacterium tuberkulosis berbentuk batang berkuran panjangnya 1-4
μm dan di bawah mikroskop, bentuknya lurus atau sedikit melengkung. Tidak
bernoda dengan pewarnaan Gram, sehingga pewarnaan menggunakan pewarnaan
Ziehl-Neelsen atau pewarnaan fluorochrome. Setelah pewarnaan Ziehl-Neelsen
dengan carbol-fuchsin, mikobakteri mempertahankan warna merah meskipun
dicuci dengan asam-alkohol. Oleh karena itu Mycobakterium disebut basil tahan
asam (BTA) ( Dipiro dkk., 2017).
Selain Mycobacterium tuberculosis juga terdapat Mycobacterium bovis
dan Mycobacterium africanum, tetapi keduanya jarang menyebabkan sakit pada
manusia. Sumber penularan penyakit TB adalah pasien TB BTA (Basil Tahan
Asam) positif. Apabila seseorang telah terinfeksi kuman TB namun belum
menjadi sakit maka tidak dapat menyebarkan infeksi ke orang lain. Kuman
ditularkan oleh penderita TB BTA positif melalui batuk, bersin, atau saat
berbicara lewat percikan droplet yang keluar (WHO, 2002).

1.3 Terapi Farmakologi


Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah
antibotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium.
Aktifitas obat TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh
bakteri, aktifitas sterilisasi, dan mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai
adalah Isoniazid, Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin sebagai
obat primer (Depkes RI, 2005). Berikut merupakan obat-obat untuk tuberkuosis
berdasarkan Population and Public Health Division (2018), yaitu :
a. Obat lini pertama
Tabel 1. Tabel OAT lini pertama
Ethambutol (EMB) 100mg, 400mg
Rifampin (RMP) 150mg, 300mg
Isoniazid (INH) 100mg, 300mg, 10mg/ml (syrup)
Pyrazinamide (PZA) 500mg
Pyridoxine HCL (Vitamin B6) 25mg

b. Obat lini kedua


Obat lini kedua untuk pengobatan TB meliputi fluoroquinolon, semua
yang dapat disuntikkan (mis., Kanamisin, kapreomisin, dan amikasin) dan banyak
obat TB yang lebih tua yang sebagian besar telah ditinggalkan karena kemanjuran
yang relatif buruk dan / atau toksisitas yang lebih besar. Namun, dalam kasus
resistensi terhadap obat lini pertama, penyedia layanan primer akan sering
meresepkan rejimen alternatif ini untuk mengelola kasus TB.

Tabel 2. Obat lini kedua


Drugs not requiring approval
Amikasin Cycloserine Moxifloxacin
Aminosalicylic Acid Ethioniamide Ondansetron
Amoxicillin/Clavulin Imipenem-Cilastatin Rifabutin
Ciprofloxacin Levofloxacin Thalidomide
Clarithromycin Linezolid Vitamin D

Jenis , sifat dan dosis OAT yang akan dijelaskan pada bab ini adalah yang
tergolong pada lini pertama. Secara ringkas OAT dijelaskan gambar dibawah ini
(Kemenkes RI, 2011) :
Gambar 1. Obat Antituberkulosis

Gambar 2. Jenis, Sifat dan Lini pertama OAT

· Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian


Tuberkulosis di Indonesia, meliputi :
a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru yaitu pasien baru TB paru
BTA positif, asien TB paru BTA negatif foto toraks positif dan pasien TB
ekstra paru.
Tabel 3 Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1
Berat Tahap Intensif tiap hari selama Tahap Lanjutan 3 kali seminggu
Badan 56 hari RHZE (150/75/400/275) selama 16 minggu RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Tabel 4. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1
Tahap Lama Dosis per hari / kali Jumlah
Pengobatan Pengobatan Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/kali
Isoniasid@ Rifampisin@ Pirazinamid@ Etambutol@ menelan
300 mgr 450 mgr 500 mgr 250 mgr obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
Sebelumnya seperti pasien kambuh, pasien gagal dan pasien dengan
pengobatan setelah putus berobat (default).

Tabel 5. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 2


Tahap Intensif tiap hari RHZE Tahap Lanjutan 3 kali seminggu
Berat (150/75/400/275) RH (150/150) + E(400)
Badan Selama 56 hari Selama 28 Selama 20 minggu
hari
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT + 2 tab 4KDT 2 tablet 2KDT + 2 tab etambutol
500 mg
streptomisin inj.
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tab 4KDT 3 tablet 2KDT + 3 tab etambutol
+ 750 mg
streptomisin inj.
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tab 4KDT 4 tablet 2KDT + 4 tab etambutol
+ 1000 mg
streptomisin inj.
71 kg 5 tablet 4KDT + 5 tab 4KDT 5 tablet 2KDT + 5 tab etambutol
1000 mg
streptomisin inj.

Gambar 3. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1


c. OAT Sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori
1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Tabel 6. Dosis KDT untuk Sisipan


Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari RHZE (150/75/400/275)
30-37 Kg 2 tablet 4 KDT
38-54 Kg 3 tablet 4 KDT
55-70 Kg 4 tablet 4 KDT
71 Kg 5 tablet 4 KDT

Tabel 7. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan

Tahap Lamanya Tablet Tablet Tablet Tablet Jumlah


Pengobat pengobata Isoniazid Rifampicin Pirazinamid Etambutol hari/kali
an n @300 mg @450 mg @500 mg @250 mg menelan
obat
Tahap 1 bulan 1 1 3 3 28
Intensif
(dosis
harian)

d. Kategori Anak (2RHZ/ 4RH)

Gambar 4. Alur tatalaksana pasien TB anak pada unit pelayanan kesehatan dasar
Prinsip dasar pengobatan tuberkulosis minimal 3 macam obat dan
diberikan dalam jangka waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik
pada tahap intensif maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan
berat badan anak.
Tabel 8. Dosis OAT Kombipak pada anak
Jenis Obat BB <10 kg BB 10-19 Kg BB 20-32 Kg
Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampicin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirazinamid 150 mg 300 mg 600 mg

Tabel 9. Dosis OAT KDT pada anak


Berat Badan (Kg) 2 bulan tiap hari RHZ 4 bulan tiap hari RH (75-
(75/50/159) 50)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet

Keterangan tambahan terapi OAT pada anak :


· Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
· Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.
· Anak dengan BB > 33 kg , dirujuk ke rumah sakit.
· Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
· OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus sesaat
sebelum diminum.
e. Pengobatan Khusus
1) Pengobatan Tuberkulosis Resistan Obat.
Secara umum, prinsip pengobatan TB resisten obat, khususnya TB
dengan MDR dilakukan dengan :
- Pengobatan menggunakan minimal 4 macam OAT yang masih efektif dan
tidak boleh menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resistan
silang (cross-resistance)
- Membatasi pengunaan obat yang tidak aman serta menggunakan
golongan/kelompok 1 - 5 secara hirarkis sesuai potensinya. Penggunaan
OAT golongan 5 harus didasarkan pada pertimbangan khusus dari Tim
Ahli Klinis (TAK) dan disesuaikan dengan kondisi program.
- Paduan pengobatan diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal yaitu
tahap pemberian suntikan dengan lama minimal 6 bulan atau 4 bulan
setelah terjadi konversi biakan dan tahap lanjutan.
- Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan.
Disebut konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan
jarak pemeriksaan 30 hari.
- Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan
menganut prinsip DOT = Directly/Daily Observed Treatment, dengan
PMO diutamakan adalah tenaga kesehatan atau kader
Pilihan paduan baku OAT untuk pasien TB dengan MDR saat ini adalah
paduan standar (standardized treatment). yaitu :
Km – E – Eto – Lfx – Z - Cs / E – Eto – Lfx – Z - Cs

Paduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR


secara laboratoris dan dapat disesuaikan bila :
a. Etambutol tidak diberikan bila terbukti telah resisten atau riwayat
penggunaan sebelumnya menunjukkan kemungkinan besar terjadinya
resistensi terhadap etambutol.
b. Panduan OAT disesuaikan paduan atau dosis pada :
- Pasien TB MDR yang diagnosis awal menggunakan Rapid test, kemudian
hasil konfirmasi DST menunjukkan hasil resistensi yang berbeda.
- Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut diatas sebelumnya
sehingga dicurigai telah ada resistensi.
- Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang dapat
diidentifikasi penyebabnya.
- Terjadi perburukan klinis.
2) Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman
untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai
pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat
menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang
akan dilahirkan.
3) Ibu Menyusui
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui.
Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan
kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi
tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan
kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
4) Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan
KB, susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut.
Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau
kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg).
5) Pasien TB dengan hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis
ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada
keadaan dimana pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin
(S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan
dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan.
6) Tuberkulosis dengan infeksi HIV/AIDS
Tatalaksanan pengobatan TB pada ODHA adalah sama seperti pasien TB
lainnya. Pada prinsipnya pengobatan TB diberikan segera, sedangkan
pengobatan ARV dimulai berdasarkan stadium klinis HIV atau hasil CD4.
Pada penderita HIV/AIDS perlu diperhatikan apakah pasien tersebut sedang
dalam pengobatan ARV atau tidak. Apabila pasien tidak dalam pengobatan
ARV, maka segera dimulai pengobatan TB, tetapi jika pasien sedang dalam
pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB tidak dimulai di fasilitas
pelayanan kesehatan dasar (strata I), rujuk pasien tersebut ke RS rujukan
pengobatan ARV. Pemberian ARV pada pasien TB dilakukan dengan prinsip :
· Semua ODHA dengan stadium klinis 3 perlu dipikirkan untuk mulai pengobatan
ARV bila CD4 < 350/mm3 tapi harus dimulai sebelum CD4 turun dibawah
200/mm3.
· Semua ODHA stadium klinis 3 yang hamil atau menderita TB dengan CD4 <
350/mm3 harus dimulai pengobatan ARV.
· Semua ODHA stadium klinis 4 perlu diberikan pengobatan ARV tanpa
memandang nilai CD4.

Tabel 10. Pilihan paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB


Obat ARV lini pertama/ Paduan Pengobatan ARV Pilihan obat ARV
lini kedua pada waktu TB
didiagnosis
Lini Pertama 2 NRTI + EFV Teruskan dengan 2 NRTI
+ EFV
2 NRTI + NVP Ganti dengan 2 NRTI +
EFV atau ganti dengan 2
NRTI + LP/r
Lini Kedua 2 NRTI + PI Ganti ke atau teruskan
(bila sementara
menggunakan) paduan
mengandung LP/r

7) Kegagalan Hati

Obat TB yang diekskresi di dalam hati termasuk isoniazid, rifampisin,


pirazinamid, etionamid, dan asam p-aminosalisilat. Ciprofloxacin dan
moxifloxacin sekitar 50% dieliminiasi oleh hati. Isoniazid, rifampisin,
pirazinamid, etambutol etionamid dan asam p-aminosalisilat pada tingkat yang
rendah jarang dapat menyebabkan hepatotoksisitas. Pasien dengan kegagalan
hati membutuhkan pemantauan ketat, dan pemantauan kadar serum (Dipiro
J.T., 2016)

8) Gagal Ginjal
Isoniazid dan rifampisin biasanya tidak memerlukan modifikasi dosis pada
gagal ginjal, sedangkan Pyrazinamide dan etambutol dikurangi menjadi tiga
kali seminggu untuk menghindari akumulasi obat (etambutol) atau metabolit
(pirazinamid) . pada penderita gagal ginjal obat TB harus diberikan setelah
hemodialisis dengan rejimen tiga kali seminggu. Pemantauan konsentrasi
serum harus dilakukan untuk menghindari sikloserin dan etambutol toksisitas
terkait dosis pada pasien gagal ginjal (Dipiro J.T., 2016).

Berikut merupakan beberapa regimen obat yang dikutip dari Dipiro J.T., (2016).

Gambar 5. Rekomendasi OAT untuk LTBI dewasa

Gambar 6. Rekomendasi OAT untuk TB Paru kultur positif


Gambar 7. Rekomendasi OAT untuk dewasa dan anak-anak

1.4 Terapi Non Farmakologi


Terapi nonfarmakologis bertujuan untuk mencegah penyebaran TB,
menemukan di mana sudah TB menyebar menggunakan investigasi kontak, dan
mengisi kembali pasien yang lemah (konsumtif) ke keadaan berat badan normal
dan kesejahteraan. Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan :

1) Konseling untuk melakukan kontrol rutin dan mengambil obat di Puskesmas


jika obatnya habis
2) Konseling mengenai jadwal pemeriksaan dahak
3) Diet tinggi kalori dan tinggi protein
4) Konseling untuk mengalihkan stress psikososial dengan hal-hal bersifat
positif.
5) Edukasi mengenai gaya hidup sehat danfungsi dari ventilasi rumah
Dokter yang terlibat dalam pengobatan tuberkulosis harus memverifikasi
bahwa departemen kesehatan setempat telah diberitahu tentang semua kasus TB.
Semua pekerja tersebut harus belajar dan mengikuti pedoman pengendalian
infeksi masing-masing institusi. Ini termasuk menggunakan peralatan pelindung
pribadi, termasuk respirator yang dipasang dengan benar, dan menutup pintu ke
"tekanan negatif" kamar. Ruang isolasi rumah sakit ini menarik udara dari daerah
sekitarnya daripada meniupkan udara (dan M. tuberculosis) ke daerah-daerah
sekitarnya. Udara dari ruang isolasi dapat dirawat lampu ultraviolet dan kemudian
dibuang dengan aman di luar. Namun, ruang isolasi ini berfungsi dengan baik
hanya jika pintu tertutup. Pasien tuberkulosis yang lemah mungkin memerlukan
terapi untuk masalah medis lainnya, termasuk penyalahgunaan zat dan Infeksi
HIV, dan beberapa mungkin memerlukan dukungan nutrisi. Karena itu, dokter
terlibat dalam penyalahgunaan zat layanan dukungan rehabilitasi dan nutrisi
dengan kebutuhan pasien tuberkulosis. Operasi mungkin diperlukan untuk
mengangkat jaringan paru-paru yang hancur, lesi terinfeksi yang ditempati ruang
(TBC), dan lesi ekstrapulmoner tertentu. BCG adalah satu-satunya vaksin yang
relevan secara klinis untuk tuberkulosis yang digunakan saat ini. Walaupun itu
adalah salah satu vaksin yang paling sering diberikan dalam sejarah, nilainya
terbatas, dan tidak dapat dicegah infeksi oleh M. tuberculosis. BCG (dibahas lebih
lanjut) dapat mencegah bentuk ekstrem tuberkulosis pada bayi. (Pharmacologi A
pathofisiologi approach)

1.5 Monitoring
Monitoring terhadap efektifitas terapi dislipidemia dan efek samping serta
toksisitas terapi, sebaiknya dilakukan secara berkala. Hal ini diperlukan untuk
mengetahui kemungkinan baik dan buruk yang terjadi selama penggunaan terapi,
dan juga dapat menuntukan terapi lanjutan untuk pasien.

a. Pemeriksaan lipid dilakukan sebelum memulai terapi dan setiap 4-12 minggu
setelah terapi dimulai atau setelah pengaturan dosis obat hingga target yang
diinginkan tercapai. Bila target terapi sudah tercapai, maka pemeriksaan lipid
dapat dilakukan sekali dalam setahun.
b. Pemeriksaan enzim hati. Pemeriksaan SGPT dilakukan sebelum pemberian
terapi, pemeriksaan selanjutnya hanya dianjurkan sekali yaitu pada minggu ke
8-12 setelah dimulainya terapi atau setelah dosis ditingkatkan. Bila
didapatkan hasil peningkatan SGPT namun <3 kali dari batas normal, maka
terapi dapat dilalanjutkan, namun harus dilakukan pemeriksaan ulang pada
minggu ke 4-6. Bila peningkatan SGPT >3 kali dari batas normal, maka
segera hentikan atau turunkan dosis dan cek ulang SGPT setelah minggi ke 4-
6. Bila SGPT sudah kembali normal, maka terapi statin dapat dimulai
kembali dengan berhati-hati.
c. Pemeriksaan enzim otot (CK). Pemeriksaan Creatine Kinase (CK) hanya
dianjurkan sebelum terapi. Jangan memulai terapi bila kadar CK >4 kali dari
batas atas normal. Pemeriksaan CK pada pasien yang mendapat terapi obat
hipolipidemik secara rutin tidak dianjurkan dan hanya dilakukan bila ada
keluhan mialgia dari pasien. Jika kadar CK meningkat <4 kali batas atas
normal, monitoring keluhan dan periksan CK secara regular. Bila keluhan
menetap, hentikan terapi statin dan evaluasi ulang keluhan setelah 6 minggu.
Pertimbangkan untuk pemberian statin yang sama atau ganti dengan statin
lain bila keluhan membaik. Statin dapat dimulai kembali dengan dosis rendah
atau diberikan selang sehari bahkan sekali seminggu atau dikombinasi dengan
obat hipolipidemik yang lain.
Jika kadar CK meningat >4 – 10 kali dari batas atau normal, namun
tanpa disertai keluhan mialgia maka terapi statin dapat dilanjutkan sambil
melakukan monitoring CK. Bila disertai keluhan, maka hentikan terapi statin
sambil melakukan monitoringkadar CK hingga normal kembali untuk dapat
memulai kembali terapi statin dengan dosis yang lebih rendah. Jika kadar CK
meningkat >10 kali dari batas atas normal, maka segera hentikan terapi statin
dan periksan fungsi ginjal serta kadar CK setiap 2 minggu. Bila kadar CK
tetap tinggi setelah penghentian terapi statin, maka pertimbangkan penyakit
lain (ginjal/hati) atau obat-obatan lain sebagai penyebab miopati.
d. Oleh karena risiko diabetes meningkat pada pasien yang mendapat terapi
statin jangka panjang, maka pemeriksaan HbA1c secara reguler sebaiknya
dilakukan pada pasien yang berisiko untuk menderita diabetes, seperti
obesitas, sindroma metabolik, usia lanjut maupun pasien dengan tanda-tanda
resistensi insulin (Aman & dkk, 2019).
BAB II
STUDI KASUS DAN PCP

Tanggal 22 Sept 2018, seorang perempuan, 27 tahun, (40 kg) dibawa ke


IGD RS dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 1 hari sebelum MRS.
Keluhan ini terjadi pertama kali pada pagi hari saat pasien bangun tidur, pasien
terlihat lemas dan tidak ada respon saat diajak berkomunikasi. Sebelumnya pasien
mengeluhkan sakit kepala, demam, mual muntah, lemas dan tidak nafsu makan
sejak 1 minggu yang lalu. Demam dirasakan hilang timbul tetapi tidak disertai
dengan kejang. Nyeri kepala dirasakan menetap sepanjang hari di seluruh bagian
kepala.
Riwayat Penyakit: TB paru sejak 1 tahun yang lalu, tidak ada riwayat trauma
kepala
Riwayat Pengobatan: Pasien pernah mengonsumsi obat anti tuberkulosis namun
hanya 2 bulan dan tidak dilanjutkan karena merasa batuk
telah berkurang.
Hasil pemeriksaan: Keadaan fisik secara umum tampak sakit berat, GCS 325,
tanda-tanda vital: TD 100/70 mmHg, nadi 84 x/menit, RR
20 x/menit, suhu 39oC.
Status generalis: kepala: konjungtiva anemis, toraks: ronkhi pada kedua lapang
paru, abdomen dan ekstremitas: tidak ditemukan kelainan.
Status neurologis: kaku kuduk (+), refleks babinsky (+/+), refleks fisiologis
meningkat, pemeriksaan sistem motorik dan sensorik sulit
dinilai.
Hasil pemeriksaan laboratorium: Hb 7,5 g/dL, Hct 23%, leukosit 19.100/uL,
trombosit 199.000/ul. BUN 31 mg/dL, kreatinin 0,8 mg/dL,
Na 134 mmol/L, K 3,3 mmol/L, Ca 8,1 mg/dL, Cl 100
mmol/L, rontgen toraks: ada kavitas pada lobus superior
pulmo sinistra dan infiltrat pada lobus inferior pulmo dekstra.
Diagnosa: meningitis TB.
Hasil pemeriksaan lanjutan setelah dirawat
Data Klinik

Tgl 22/ 23/ 24/ 25/9 26/9 27/9 28/9 29/9 30/9 1/10 2/10 3/10 4/10
9 9 9
TD 100 100 100 110/ 110/ 100/ 110/ 100/ 110/ 110/ 110/ 100/ 110/
/70 /70 /80 80 75 70 80 80 70 80 75 70 80
Nadi 84 82 80 80 82 80 80 81 80 82 80 80 80
RR 20 22 20 22 22 20 20 20 20 20 20 20 20
Suhu 38, 38,5 38 37 37,5 37 37,5 37 37,3 37 37,5 37 37
tubuh 9
GCS 325 426 446 456 456 456 456 456 456 456 456 456 456
lemah ++ ++ ++ ++ + + + + + + + - -
mual - + + ++ + + + + - - - - -

Hasil pemeriksaan laboratorium

Data pengobatan pelama MRS


No Obat Waktu pemberian
1 RL 20 tpm 22/9 – 4/10
2 Dexametason iv 3 x 5 mg 22/9 – 4/10
3 Paracetamol tab 3dd1 22/9 – 26/9
3 Rifampisin 450 mg 1dd1 22/9 – 1/10
4 INH 300 mg 1dd1 22/9 – 1/10
5 Etambutol 250 mg 1dd3 22/9 – 1/10
6 PZA 500 mg 1dd3 22/9 – 1/10
7 Streptomisin 1x750 mg i.m 22/9 – 1/10
8 Metoclopramide inj 3 dd1 25/9
9 Curcuma tab 3dd2 1/10 – 4/10
BAB III
PEMBAHASAN

Seorang perempuan yang berusia 27 tahun dengan berat 40 kg masuk


rumah sakit (MRS) didiagnosis menderita tuberkulosis meningitis. IGD RS
dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 1 hari sebelum MRS. Pasien
mengalami keluhan pada lemas, tidak ada respon saat diajak berkomunikasi, sakit
kepala dengan TD 100/70 mmHg, demam ditandai dengan suhu badan 39C, mual
muntah, dan tidak nafsu makan sejak 1 minggu lalu yang merupakan gejala-geala
dari tuberkulosis meningitis. Tuberkulosis meningitis dari pasien tergolong ke
dalam derajat 3 dengan nilai GCS 10 (325) yang memiliki tingkat resiko kematian
yang tinggi, dimana derajat GCS pasien harus diturunkan ke derajat 1 dengan nilai
GCS 15 tanpa neurologi fokal atau dapat dikatakan tingkat kesadaran normal
(Dipiro T., 2016). Pasien dengan meningitis tuberkulosis akan mengalami tanda
dan gejala meningitis yang khas, seperti demam, nyeri kepala dan gangguan-
gangguan serebral lainnya, seperti penurunan kesadaran, kaku kuduk, hingga
kejang. Gejala-gejala tersebut harus dikurangi agar tidak memperburuk penyakit
dan meringankan penderitaan pasien. Dari kasus tersebut, suhu pasien tinggi saat
dibawa ke IGD RS, yaitu dalam suhu 39o C. Jika suhu pasien tidak ditangani
dengan segera, dapat menimbulkan gejala yang lebih parah yaitu kejang. Jadi
dipilih terapi menggunakan parasetamol tab 3 kali sehari. Terapi ini terbukti dapat
menurunkan suhu pasien dengan bertahap. Setelah suhu pasien kembali normal,
terapi parasetamol dapat dihentikan. Pasien juga diberikan RL (Ringer Laktat)
yang merupakan larutan infus untuk memelihara keseimbangan atau mengganti
elektrolit dan cairan tubuh. Kandungan dalam RL yaitu natrium klorida, kalium
klorida, kalsium klorida, natrium laktat, dan air yang berfungsi untuk
memperbaiki kandungan elektrolitnya yang tidak stabil. Hal tersebut dapat dilihat
dari turunnya nilai natrium, kalium, dan kalsium. Dari terapi tersebut, diharapkan
dapat menyeimbangkan elektrolit pasien sehingga tidak lemas.

Pasien memiliki riwayat tuberkulosis paru 1 tahun lalu, akan tetapi hanya
mengkonsumi OAT (Obat antituberkulosis) selama dua bulan karena merasa
batuk telah mereda. Berdasarkan riwayat tersebut, pengobatan yang dapat
diberikan kepada pasien merupakan paduan obat kategori 2 yang diperuntukkan
untuk pasien dengan BTA positif yang telah diobati sebelumnya yang mengalami
kekambuhan maupun putus berobat (default) (Kemenkes RI, 2011). Paduan
pengobatan yang diberikan berdasarkan berat badan pasien (40 Kg) terdiri dari 2
tahap yaitu tahap intensif (3 bulan) dan tahap lanjutan (4 bulan). Tahap intensif
terdiri dari 2 bulan pertama (56 hari) dengan dosis harian (RHZE + S = 3 tablet 4
KDT) yaitu isoniazid 300 mg, rifampicin 450 mg, pirazinamid 500 mg, etambutol
250 mg dan streptomisin injeksi 750 mg serta 1 bulan (28 hari) tahap intensif
dengan isoniazid 300 mg, rifampicin 450 mg, pirazinamid 500 mg, etambutol 250
mg tanpa streptomisin. Tahap lanjutan yang diberikan terdiri dari isoniazid 300
mg, rifampicin 450 mg, etambutol 250 mg dan etambutol 400 mg dengan dosis 3
kali dalam seminggu (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan studi kasus, diketahui
pengobatan OAT yang diberikan kepada pasien pada tanggal 22 september hingga
1 oktober telah sesuai dengan paduan pengobatan tuberkulosis di Indonesia. Data
laboratorium menunjukkan selama pemberian terapi OAT terjadi peningkatan
nilai SGOT dan SGPT yang merupakan salah satu parameter untuk menunjukkan
toktisitas pada hati (hepatoksis) melebihi kadar normal yaitu 0-35 U/L (American
college of physicians). Ketika OAT dihentikan terjadi penurunan kadar SGOT dan
SGPT yang mengindikasikan bahwa beberapa obat OAT yang digunakan
memberikan efek samping hepatotoksisitas yaitu isoniazid, rifampicin dan
pirazinamid (Kulsum, I. D., 2018).

Upaya untuk menghindari hepatotoksisitas yang berat akibat penggunaan


OAT, maka dilakukan pemberhentian terlebih dahulu hingga SGPT dan SGOT
kurang dari 2x dari batas tertinggi nilai SGPT dan kondisi pasien mulai membaik
dilihat dari GCS dan mual muntah. Terapi dapat dimulai dari rifampisin
dimonitoring SGPT jika tidak terjadi peningkatan SGPT dalam waktu seminggu
maka ditambahkan isoniazid. Selanjutya dimonitoring kadar SGPT jika tidak
terjadi peningkatan SGPT dalam waktu seminggu maka bisa ditambahkan
pyrazinamid. Apabila terjadi peningkatan SGPT maka pyrazinamid dihentikan
(WHO, Treatment of TB Guideline, 4thEdition). Dosis yang diberikan meliputi
INH : 10 – 15 mg/kg/hari 5mg/kg , rifampisin : 10-20 mg/kg max 600mg/hari,
pyrazinamid 15-30 mg/kg/hari, dan etambutol : 15-25 mg/kg/sehari. Curcuma
tablet pada pengobatan tetap diberikan, karena berfungsi sebagai hepatoprotektor
untuk membantu mengurangi efek hepatotoksisitas serta menjadi suplemen
penambah nafsu makan bagi pasien. Curcuma terbuat dari Curcuma xanthorriza
diberikan sehari 3 kali dengan dosis 200 mg. (MIMS, 2013).
Selain efek samping hepatotoksisitas OAT juga memberikan efek samping
lain yang harus di monitoring. Isoniazid dapat menyebabkan neuropati perifer,
sehingga diberikan piridoksin sebagai pencegahan dengan dosis 10 – 25 mg/hari.
Dan jika neuropati perifer sudah muncul, maka penanganannya dengan pemberian
dosis piridoksin lebih besar yaitu 50-75 mg/hari (WHO, 2012). Rifampicin
menimbulkan beberapa efek samping seperti mual-muntah dan demam. Pada
pasien yang mengkonsumsi rifampicin perlu diinformasikan bahwa rifampicin
menimbulkan warna merah pada air kencing. Pirazinamid menimbulkan efek
samping hiperurisemia, sehingga perlu dimonitoring kadar urisemia dalam darah.
Pada penggunaan etambutol dilakukan pengecekan rutin terhadap penglihatan,
karena etambutol menyebabkan gangguan penglihatan. Untuk mengurangi mual
muntah, pasien diberikan terapi metoclopramide inj pada hari dimana pasien
merasa mual hebat. Setelah gejala mual muntah berhenti, maka terapi
metoclopramid dihentikan.

Pada pengobatan tuberkulosis meningitis ini, deksametason tetap diberikan


dengan dosis 0,6 mg/kg/hari dalam 6 jam (DIH 17, 2009), karena deksametason
merupakan kortikosteroid digunakan sebagai terapi tambahan untuk mengurangi
peradangan pada pasien dengan TBM dengan penurunan aktivasi inflammasome
model kultur melalui penghambatan spesies oksigen reaktif asal mitokondria.
Pemberian deksametason harus tappering off selama 6-8 minggu (WHO, 2017).
Deksametason juga diketahui dapat menurunkan mortalitas dari pasien (Wilkinson
R.J., dkk 2017), hal tersebut diketahui dari hasil laboatorium yang menunjukkan
apabila tingkat kesadaran pasien ketika diberikan deksametason meningkat dilihat
dari nilai GCS.
Daftar Pustaka

Alldredge, B. K., & al, e. (2013). Koda-Kimble & Young's Applied Therapeutics;
The Clinical Use of Drug, Tenth Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
American college of physicians. Normal laboratory values. MKSAP* 14
Independece Mall West: Philadelphia.
AphA. 2009. Drug Information Handbook, 17th Edition. LEXI-COMP.
Dipiro J. T. Dkk., 2016. Tuberculosis. Dalam Pharmacotherapyprinciples dan
practice. OH, United States: McGraw-Hill Education.
Dipiro J. T., R. L. Talbert, G. R. Matzke, B. G. Wells, dan L. M. Posey. 2017.
Tuberculosis. Dalam Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. OH,
United States: McGraw-Hill Education.
Depkes RI, 2011, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, Edisi 11, UBM Medica
Asia, Jakarta
Depkes RI, 2015, British National Formulary 69, BMJ Group & RPS Publishing,
London.
KemenKesRI. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Kulsum, I. D., Eka P.P, dan Enny R., 2018. Efek Samping Obat Anti tuberkulosis
kategori I dan II Pasien Tuberkulosis Paru Dewasa di Rumah Sakit Hasan
Sadikin. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia 7 : 254-257.
WHO. 2012. Treatment of Tuberculosis Guidelines. Edisi 4. Geneva, Switzerland:
WHO Press. SUPPL.1
WHO. 2017. Guidelines for treatment of drug-susceptible tuberculosis and
patient care. Geneva, Switzerland: WHO Press. SUPPL.1
Wilkinson R.J., dkk 2017. Nature Reviews : Tuberculosis meningitis. Oxford
University Clinical Research Unit : Macmillan Publishers Limited.

Anda mungkin juga menyukai