FARMAKOTERAPI TERAPAN
“TUBERKULOSIS MENINGITIS”
DISUSUN OLEH :
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Jenis , sifat dan dosis OAT yang akan dijelaskan pada bab ini adalah yang
tergolong pada lini pertama. Secara ringkas OAT dijelaskan gambar dibawah ini
(Kemenkes RI, 2011) :
Gambar 1. Obat Antituberkulosis
Gambar 4. Alur tatalaksana pasien TB anak pada unit pelayanan kesehatan dasar
Prinsip dasar pengobatan tuberkulosis minimal 3 macam obat dan
diberikan dalam jangka waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik
pada tahap intensif maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan
berat badan anak.
Tabel 8. Dosis OAT Kombipak pada anak
Jenis Obat BB <10 kg BB 10-19 Kg BB 20-32 Kg
Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampicin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirazinamid 150 mg 300 mg 600 mg
7) Kegagalan Hati
8) Gagal Ginjal
Isoniazid dan rifampisin biasanya tidak memerlukan modifikasi dosis pada
gagal ginjal, sedangkan Pyrazinamide dan etambutol dikurangi menjadi tiga
kali seminggu untuk menghindari akumulasi obat (etambutol) atau metabolit
(pirazinamid) . pada penderita gagal ginjal obat TB harus diberikan setelah
hemodialisis dengan rejimen tiga kali seminggu. Pemantauan konsentrasi
serum harus dilakukan untuk menghindari sikloserin dan etambutol toksisitas
terkait dosis pada pasien gagal ginjal (Dipiro J.T., 2016).
Berikut merupakan beberapa regimen obat yang dikutip dari Dipiro J.T., (2016).
1.5 Monitoring
Monitoring terhadap efektifitas terapi dislipidemia dan efek samping serta
toksisitas terapi, sebaiknya dilakukan secara berkala. Hal ini diperlukan untuk
mengetahui kemungkinan baik dan buruk yang terjadi selama penggunaan terapi,
dan juga dapat menuntukan terapi lanjutan untuk pasien.
a. Pemeriksaan lipid dilakukan sebelum memulai terapi dan setiap 4-12 minggu
setelah terapi dimulai atau setelah pengaturan dosis obat hingga target yang
diinginkan tercapai. Bila target terapi sudah tercapai, maka pemeriksaan lipid
dapat dilakukan sekali dalam setahun.
b. Pemeriksaan enzim hati. Pemeriksaan SGPT dilakukan sebelum pemberian
terapi, pemeriksaan selanjutnya hanya dianjurkan sekali yaitu pada minggu ke
8-12 setelah dimulainya terapi atau setelah dosis ditingkatkan. Bila
didapatkan hasil peningkatan SGPT namun <3 kali dari batas normal, maka
terapi dapat dilalanjutkan, namun harus dilakukan pemeriksaan ulang pada
minggu ke 4-6. Bila peningkatan SGPT >3 kali dari batas normal, maka
segera hentikan atau turunkan dosis dan cek ulang SGPT setelah minggi ke 4-
6. Bila SGPT sudah kembali normal, maka terapi statin dapat dimulai
kembali dengan berhati-hati.
c. Pemeriksaan enzim otot (CK). Pemeriksaan Creatine Kinase (CK) hanya
dianjurkan sebelum terapi. Jangan memulai terapi bila kadar CK >4 kali dari
batas atas normal. Pemeriksaan CK pada pasien yang mendapat terapi obat
hipolipidemik secara rutin tidak dianjurkan dan hanya dilakukan bila ada
keluhan mialgia dari pasien. Jika kadar CK meningkat <4 kali batas atas
normal, monitoring keluhan dan periksan CK secara regular. Bila keluhan
menetap, hentikan terapi statin dan evaluasi ulang keluhan setelah 6 minggu.
Pertimbangkan untuk pemberian statin yang sama atau ganti dengan statin
lain bila keluhan membaik. Statin dapat dimulai kembali dengan dosis rendah
atau diberikan selang sehari bahkan sekali seminggu atau dikombinasi dengan
obat hipolipidemik yang lain.
Jika kadar CK meningat >4 – 10 kali dari batas atau normal, namun
tanpa disertai keluhan mialgia maka terapi statin dapat dilanjutkan sambil
melakukan monitoring CK. Bila disertai keluhan, maka hentikan terapi statin
sambil melakukan monitoringkadar CK hingga normal kembali untuk dapat
memulai kembali terapi statin dengan dosis yang lebih rendah. Jika kadar CK
meningkat >10 kali dari batas atas normal, maka segera hentikan terapi statin
dan periksan fungsi ginjal serta kadar CK setiap 2 minggu. Bila kadar CK
tetap tinggi setelah penghentian terapi statin, maka pertimbangkan penyakit
lain (ginjal/hati) atau obat-obatan lain sebagai penyebab miopati.
d. Oleh karena risiko diabetes meningkat pada pasien yang mendapat terapi
statin jangka panjang, maka pemeriksaan HbA1c secara reguler sebaiknya
dilakukan pada pasien yang berisiko untuk menderita diabetes, seperti
obesitas, sindroma metabolik, usia lanjut maupun pasien dengan tanda-tanda
resistensi insulin (Aman & dkk, 2019).
BAB II
STUDI KASUS DAN PCP
Tgl 22/ 23/ 24/ 25/9 26/9 27/9 28/9 29/9 30/9 1/10 2/10 3/10 4/10
9 9 9
TD 100 100 100 110/ 110/ 100/ 110/ 100/ 110/ 110/ 110/ 100/ 110/
/70 /70 /80 80 75 70 80 80 70 80 75 70 80
Nadi 84 82 80 80 82 80 80 81 80 82 80 80 80
RR 20 22 20 22 22 20 20 20 20 20 20 20 20
Suhu 38, 38,5 38 37 37,5 37 37,5 37 37,3 37 37,5 37 37
tubuh 9
GCS 325 426 446 456 456 456 456 456 456 456 456 456 456
lemah ++ ++ ++ ++ + + + + + + + - -
mual - + + ++ + + + + - - - - -
Pasien memiliki riwayat tuberkulosis paru 1 tahun lalu, akan tetapi hanya
mengkonsumi OAT (Obat antituberkulosis) selama dua bulan karena merasa
batuk telah mereda. Berdasarkan riwayat tersebut, pengobatan yang dapat
diberikan kepada pasien merupakan paduan obat kategori 2 yang diperuntukkan
untuk pasien dengan BTA positif yang telah diobati sebelumnya yang mengalami
kekambuhan maupun putus berobat (default) (Kemenkes RI, 2011). Paduan
pengobatan yang diberikan berdasarkan berat badan pasien (40 Kg) terdiri dari 2
tahap yaitu tahap intensif (3 bulan) dan tahap lanjutan (4 bulan). Tahap intensif
terdiri dari 2 bulan pertama (56 hari) dengan dosis harian (RHZE + S = 3 tablet 4
KDT) yaitu isoniazid 300 mg, rifampicin 450 mg, pirazinamid 500 mg, etambutol
250 mg dan streptomisin injeksi 750 mg serta 1 bulan (28 hari) tahap intensif
dengan isoniazid 300 mg, rifampicin 450 mg, pirazinamid 500 mg, etambutol 250
mg tanpa streptomisin. Tahap lanjutan yang diberikan terdiri dari isoniazid 300
mg, rifampicin 450 mg, etambutol 250 mg dan etambutol 400 mg dengan dosis 3
kali dalam seminggu (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan studi kasus, diketahui
pengobatan OAT yang diberikan kepada pasien pada tanggal 22 september hingga
1 oktober telah sesuai dengan paduan pengobatan tuberkulosis di Indonesia. Data
laboratorium menunjukkan selama pemberian terapi OAT terjadi peningkatan
nilai SGOT dan SGPT yang merupakan salah satu parameter untuk menunjukkan
toktisitas pada hati (hepatoksis) melebihi kadar normal yaitu 0-35 U/L (American
college of physicians). Ketika OAT dihentikan terjadi penurunan kadar SGOT dan
SGPT yang mengindikasikan bahwa beberapa obat OAT yang digunakan
memberikan efek samping hepatotoksisitas yaitu isoniazid, rifampicin dan
pirazinamid (Kulsum, I. D., 2018).
Alldredge, B. K., & al, e. (2013). Koda-Kimble & Young's Applied Therapeutics;
The Clinical Use of Drug, Tenth Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
American college of physicians. Normal laboratory values. MKSAP* 14
Independece Mall West: Philadelphia.
AphA. 2009. Drug Information Handbook, 17th Edition. LEXI-COMP.
Dipiro J. T. Dkk., 2016. Tuberculosis. Dalam Pharmacotherapyprinciples dan
practice. OH, United States: McGraw-Hill Education.
Dipiro J. T., R. L. Talbert, G. R. Matzke, B. G. Wells, dan L. M. Posey. 2017.
Tuberculosis. Dalam Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. OH,
United States: McGraw-Hill Education.
Depkes RI, 2011, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, Edisi 11, UBM Medica
Asia, Jakarta
Depkes RI, 2015, British National Formulary 69, BMJ Group & RPS Publishing,
London.
KemenKesRI. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Kulsum, I. D., Eka P.P, dan Enny R., 2018. Efek Samping Obat Anti tuberkulosis
kategori I dan II Pasien Tuberkulosis Paru Dewasa di Rumah Sakit Hasan
Sadikin. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia 7 : 254-257.
WHO. 2012. Treatment of Tuberculosis Guidelines. Edisi 4. Geneva, Switzerland:
WHO Press. SUPPL.1
WHO. 2017. Guidelines for treatment of drug-susceptible tuberculosis and
patient care. Geneva, Switzerland: WHO Press. SUPPL.1
Wilkinson R.J., dkk 2017. Nature Reviews : Tuberculosis meningitis. Oxford
University Clinical Research Unit : Macmillan Publishers Limited.