DISUSUN OLEH:
PEMBIMBING:
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2020
TUGAS MAKALAH SAINTIFIKASI JAMU
DISUSUN OLEH:
PEMBIMBING:
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2020
LEMBAR PENGESAHAN
Makalah ini diselesaikan untuk memenuhi tugas PKPA Saintifikasi Jamu Daring di
B2P2TOOT Tawangmangu pada tangga 17 November 2020
Jember, … … ….
Disetujui Oleh:
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Tugas Saintifikasi Jamu
“Tinjauan tentang Saintifikasi Jamu dari Berbagai Sisi: Teori dan Praktik” dengan baik dan
lancar. Penyusunan laporan ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu,
kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Tuhan Yang Maha Esa atas Limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan laporan ini;
2. Ibu apt. Lestyo Wulandari, S.Si., M.Farm. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Jember;
3. Ibu apt. Lidya Ameliana, S.Si., M.Farm. selaku Ketua Program Profesi Apoteker
Fakultas Farmasi Universitas Jember;
4. Bapak apt. Bawon Triatmoko, S.Farm., M.Sc. selaku Dosen Pembimbing PKPA
Saintifikasi Jamu yang telah bersedia meluangkan waktu memberikan bimbingan,
petunjuk dan nasehat;
5. Orang tua, saudara, keluarga kami tercinta, serta rean dan teman-teman yang telah
memberikan dorongan, nasehat, dan doa sehingga Penulis dapat menyelesaikan
tugas makalah ini;
6. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Pendidikan Apoteker Angkatan XII Fakultas
Farmasi Universitas Jember, untuk perjuangannya bersama dalam suka maupun
duka, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Error! Bookmark not defined.
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Hortus Medicus................................................................................................................4
Gambar 2. Metodologi SaintifikasI Jamu........................................................................................20
Gambar 3. Alur Penelitian Saintifikasi Jamu....................................................................................25
Gambar 4. Sortasi Basah.................................................................................................................34
Gambar 5. Pencucian......................................................................................................................35
Gambar 6. Penirisan.......................................................................................................................35
Gambar 7. Perajangan atau Perubahan Bentuk..............................................................................36
Gambar 8. Pengeringan Menggunakan Sinar Matahari...................................................................37
Gambar 9. Pengeringan dengan Oven............................................................................................37
Gambar 10. Penyimpanan Simplisia...............................................................................................40
Gambar 11. Titik Lokasi Klinik dan Apotek "Toga Farma:................................................................51
Gambar 12. Layout Apotek dan Klinik Tampak Depan....................................................................52
Gambar 13. Layout Apotek dan Klinik Tampak Atas.......................................................................52
Gambar 14. Struktur Organisasi......................................................................................................53
iv
DAFTAR TABEL
Table 1 Formula Jamu B2P2TOOT...................................................................................................10
Table 2. Perbedaan Klinik Jamu Tipe A dan B..................................................................................12
Table 3. Parameter kontrol kualitas................................................................................................41
Table 4. Investasi Apotek................................................................................................................48
Table 5. Rencana Pengadaan Modal Tetap.....................................................................................48
Table 6. Rencana Anggaran Tetap Tahun ke-1................................................................................49
v
RINGKASAN
Aturan aturan yang terkait dengan pengobatan tradisional dan sanitifikasi jamu
telah banyak dikeluarkan oleh pemerintah seperti Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1076/MENKES/SK/VII/2003 Tentang Penyelenggaraan Pengobatan
Tradisional, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 121/MENKES/SK/II/2008. Tentang
Standar Pelayanan Medik Herbal, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 003/Menkes/Per/I/2010 Tentang
Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan, Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2014 Tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional, dan
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/9848/2020
Tentang Komisi Nasional Saintifikasi Jamu.
vi
klinik saintifikasi jamu dengan klinik konvensional dapat dilihat dari aspek persyaratan
sarana dan prasarana, ketenagaan, perbedaan model klinik dan apotek saintifikasi jamu,
alur pengadaan bahan baku, dan alur pelayanan jamu di B2P2TOOT. Pengolahan saintifikasi
jamu dilakukan dari penangan panen, pasca panen, compounding dan dispensing, dan
pelayanan KIE.
vii
Klinik dan Apotek Saintifikasi jamu di Indonesia masih sangat terbatas, hal ini
dikarenakan pola pikir masyarakat yang menganggap obat sintetis atau obat modern lebih
manjur serta kurangnya minat masyarakat untuk mengonsumsi jamu. Hal tersebut menjadi
dasar untuk pendirian klinik dan apotek “Toga Farma” yang dibangun di Desa Kolor,
Kabupaten Sumenep Jawa Timur. Pendirian di lokasi tersebut, dikarenakan di Madura
Kabupaten Sumenep tidak ada klinik dan apotek saintifikasi jamu dan kebanyakan
masyarakat di Kabupaten Sumenep masih percaya khasiat dari jamu dan efek samping yang
minim. Tenaga kesehatan yang dibutuhkan ketika pembangunan apotek dan klinik adaah
dokter, apoteker, tenaga teknis kefarmasian, perawat dan administrasi. Biaya yang perlu
dikeluarkan sebesar Rp. 300.000.000 dengan perhitungan payback periode selama 2,6
tahun.
viii
ix
1
BAB 1. PENDAHULUAN
Prinsip penggunaan obat tradisional pada umumnya bersifat promotif, yaitu untuk
menyegarkan badan, preventif untuk mencegah penyakit, kuratif untuk menyembuhkan
penyakit dan paliatif untuk mengurangi keluhan pada pasien setelah penyakitnya tidak
mungkin disembuhkan. WHO juga merekomendasikan penggunaan obat tradisional atau
obat herbal untuk memelihara kesehatan masyarakat, mencegah, serta mengobati penyakit
terutama untuk penyakit kronis dan generative (Katno, 2008)
Program yang dikenal dengan “saintifikasi jamu” yang merupakan terobosan untuk
mengangkat jamu menjadi produk berbukti ilmiah dan diharapkan dapat digunakan dalam
fasilitas pelayanan kesehatan, sedangkan produk dari kumpulan ramuan jamu yang
diperoleh dari studi klinik yang telah dilakukan oleh rumah riset jamu dinamakan jamu
saintifik, artinya jamu empirik yang telah tersaintifikasi, setelah menjadi jamu saintifik maka
2
dapat dimanfaatkan oleh dokter atau tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan
primer. Program saintifikasi jamu hanya dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan
yang telah mendapatkan izin atau memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Salah
satunya dilakukan di Klinik Saintifikasi Jamu Hortus Medicus di Balai Besar Penelitian
Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Tawangmangu. Badan
Litbang Kesehatan yang merupakan klinik jamu yang telah terakreditasi kedalam tipe A
yang dapat menyelenggarakan program saintifikasi jamu (Hartono & Kusumastuti, 2019)
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan jamu dan B2P2TOOT.
2. Untuk mengetahui produk saintifikasi jamu di B2P2TOOT.
3. Untuk mengetahui ketentuan umum dan peraturan perundang-undangan
terkait saintifikasi jamu.
4. Untuk mengetahui peran apoteker dalam saintifikasi jamu.
5. Untuk mengetahui metode penelitian saintifikasi jamu.
6. Untuk mengetahui pustaka rujukan pada saintifikasi jamu.
7. Untuk mengetahui model standar klinik dan apotek saintifikasi jamu.
3
2 Sejarah dan Perkembangan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan
Obat Tradisional (B2P2TOOT)
B2P2TOOT merupakan salah satu badan yang dibawahi oleh Kementerian
Kesehatan yang perkembangannya bisa terlihat jelas pada saat ini. Kiprah badan tersebut
sudah banyak memberikan manfaat khususnya dalam pemanfaatan obat tradisional di
Indonesia. Dari B2P2TOOT ini, diharapkan dapat mencapai tujuan untuk terus
membudayakan dan mengembangkan tanaman obat dan obat tradisional dalam
mendukung pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang optimal (KEMENKES RI, 2016)
Sejarah awal bermulanya pembentukan badan resmi tersebut adalah berawal dari
Kebun Koleksi Tanaman Obat yang dibentuk oleh R.M Santoso Soerjokoesoemo sebagai
bentuk kecintaannya terhadap warisan nenek moyang tentang pengobatan tradisional. Dari
kegigihan dan usaha kerasnya, kebun rintisannya tersebut mulai dilirik oleh pemerintah.
Sehingga pada bulan April tahun 1948, Kebun Koleksi Tanaman Obat mulai dikelola
pemerintah di bawah Lembaga Eijkman dan diberi nama “Hortus Medicus Tawangmangu”
(KEMENKES RI, 2016)
5
Balai Penelitian Tanaman Obat (BPTO) bertransformasi kembali menjadi Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) pada tahun
2006. Perubahan tersebut dibentuk dengan dibentuknya Permenkes No. 491 tahun 2006
tanggal 17 Juli 2006. Dari perubahan tersebut semakin meningkatkan peran dan
tanggungjawab B2P2TOOT dalam pengembangan obat tradisional sehingga membantu
dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat (KEMENKES RI, 2016)
6
Pada permasalahan minimnya bukti ilmiah tentang khasiat jamu, maka pada tahun
2010 Departemen Kesehatan Indonesia mengeluarkan Permenkes No. 3 Tahun 2010
mengenai Saintifikasi jamu. Saintifikasi jamu adalah pembuktian secara ilmiah jamu melalui
penelitian berbasis pelayanan kesehatan, tdak hanya berdasarkan pengalaman turun
menurun, namun khasiat jamu dibuktikan secara keilmuan melalui penelitian. Saintifikasi
7
jamu merupakan perkembangan tugas dan fungsi dari B2P2TOOT untuk lebih mengangkat
derajat obat-obatan tradisional terutama jamu pada pandangan seluruh kalangan
masyarakat. Dengan penelitian tersebut, diharapkan jamu yang merupakan warisan budaya
di Indonesia dapat terus dilestarikan dan dikembangkan sehingga aman dikonsumsi untuk
masyarakat Indonesia khususnya, dan secara umum pada kancah dunia (IAI, 2016)
Dari pengesahan PMK No. 3 Tahun 2010, banyak kegiatan dan program yang
dilaksanakan untuk mencapai tujuan dalam Saintifikasi jamu. Beberapa kegiatan yang
dilakukan adalah dengan memberikan pelatihan khusus pada dokter yang selanjutnya akan
dilatih menjadi dokter jamu. Hingga pada tahun 2012, telah terdididk 60 dokter yang
melakukan praktek pelayanan kesehatan dengan menggunakan jamu. Dokter-dokter
tersebut telah mendapatkan sertifikat dan juga ditempatkan di Faskes di berbagai daerah di
Indonesia (IAI, 2016)
Selain dukungan dari pemerintah, program Saintifikasi jamu ini juga didukung
penuh oleh organisasi-organisasi kesehatan lainnya salahsatunya oleh organisasi Apoteker.
Pada Kongres Ilmiah Internasional Apoteker Asia Pasific di Bali pada tahun 2012, program
menjadi satu topik yang dibahas dengan kongres yang bertema “Culture and Medicine”.
Dalam kongres tersebut dibahas mengenai bagaiman praktik farmasi dan posisi budaya
kesehatan tradisional tersebut memberikan kontribusi pada dunia kesehatan (IAI, 2016).
Peran para pelaksana saintifikasi jamu yang ada di B2P2TOOT dan diseluruh daerah
di Indoneisa, hingga saat ini sudah diperoleh 7 macam ramuan obat tradisional yang telah
tersaintifikasi. Ramuan-ramuan tersebut adalah antihipertensi, antihiperurisemia,
antidyspepsia, antihemorhoid, antiosteoarthritis, hepatoprotektor dan antihiperkolesterol
(B2PP2TOOT KEMENKES RI, 2016)
8
BAB 3. HASIL TERKINI SAINTIFIKASI JAMU
Produk saintifikasi jamu merupakan produk jamu yang sudah terbukti manfaat dan
khasiatnya melalui uji klinik. Jamu dan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian
berbasis pelayanan kesehatan harus sudah terdaftar dalam vademikum, atau merupakan
bahan yang ditetapkan oleh Komisi Nasional Saintifikasi Jamu (PERMENKES, SAINTIFIKASI
JAMU DALAM PENELITIAN BERBASIS, 2010).Bahan jamu yang digunakan dalam saintifikasi
jamu harus memenuhi beberapa persyaratan diantanranya aman berdasarkan uji
keamanan atau toksisitas, berkhasiat berdasarkan data empiris yang dibuktikan dengan uji
praklinis, serta berkualitas sesuai dengan pedoman yang berlaku secara nasional.
Persyaratan tersebut dapat dipenuhi dengan mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No.1109/Menkes/Per/IX/2007 mengenai penyelenggaraan pengobatan
komplementer alternatif di fasilitas kesehatan (PERMENKES RI, 2007)
Formulasi Jamu
Nama Tanaman Nama Latin Dosis
Saintifikasi
Hipertensi Ringan Herba seledri Apium graveolens
5 gram
Daun Kumis Kucing Orthosiphon stamineus
3 gram
Daun Pegagagn Centella asiatica
3 gram
Rimpang Temulawak Curcuma Xanthorrhiza
3 gram
Rimpang Kunyit Curcuma domestica
3 gram
Herba Meniran Phyllantus niruri
3 gram
Asam Urat Daun Tempuyung Sonchus arvensis
2 gram
Kayu Secang Caesalpinia sappan
5 gram
Daun kepel Stelechocarpus buraho
3 gram
Rimpang Temulawak Curcuma xanthorrhiza
3 gram
Rimpang Kunyit Curcuma domestica
3 gram
Herba Meniran Phyllantus niruri
3 gram
Dispepsia Rimpang Kunyit Cucurma domestica 7 gram
Rimpang Jahe Zingiber officinale 7 gram
Biji Jinten Hitam Nigella sativa 2 gram
Daun Sembung Blumea balsamifera 7 gram
Osteoatritis Rimpang Temulawak Curcuma xanthorrhiza 15 gram
Herba Meniran Phyllantus niruri 7 gram
Rimpang Kunyit Cucurma domestica 15 gram
Biji Adas Foeniculum vulgarae 3 gram
Daun Kumis Kucing Orthosipon aristatus 5 gram
Herba Rumput Bolong Equisetum debile 5 gram
Gangguan Fungsi Hati Daun Jombang Taraxacum officinale 12 gram
Rimpang Temulawak Curcuma xanthorrhiza 28 gram
Rimpang Kunyit Cucurma domestica 6 gram
Hypercholesterol Daun Jati Cina Alexandrina senna 1 gram
Daun Jati Belanda Guazuma ulmifolia 6 gram
Herba Tempuyung Sonchus arvensis 6 gram
Herba Teh Hijau Camellia sinensis 5 gram
Rimpang Temulawak Curcuma xanthorrhiza 5 gram
Rimpang Kunyit Cucurma domestica 4 gram
Herba Meniran Phyllantus niruri 3 gram
Hiperurisemia Daun Tempuyung Sonchus arvensis 6 gram
Kayu secang Caesalpinia sappan 15 gram
Daun kepel Stelechocarpus buraho 9 gram
Rimpang Temulawak Curcuma xanthorrhiza 9 gram
Rimpang kunyit Cucurma domestica 9 gram
Herba Meniran Phyllantus niruri 9 gram
Hepatoprotector Rimpang temulawak Curcuma xanthorrhiza 28 gram
Rimpang kunyit Cucurma domestica 12 gram
Daun jombang Taraxacum officinale 6 gram
Hemoroid Daun ungu Graptophyllum pictum 15 gram
Daun duduk Desmodium triquetrum 12 gram
10
Klinik jamu harus memiliki izin dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kota setempat
yang berlaku selama 5 tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.
Dalam operasionalnya, klinik jamu harus memiliki kerja sama rujukan pasien dengan rumah
sakit yang memberikan pelayanan penelitian kompelementer-alternatif utnuk rujukan
pelayanan jamu, atau rumah sakit umum untuk rujukan pengobatan pasien. Dalam
menangani pasien SJ, dokter atau dokter gigi rumah sakit rujukan berdiskusi dengan dokter
13
atau dokter gigi klinik jamu yang merujuknya dan bila perlu dapat berkonsultasi pada
Komisi Daerah dan/atau Komisi Nasional SJ (PERMENKES, 2010)
Dokter, dokter gigi, dan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan jamu pada
fasilitas pelayanan kesehatan tersebut harus memiliki dokumen-dokumen berikut.
a. Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia untuk dokter atau dokter
gigi, Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) untuk apoteker dan surat izin/registrasi
dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi untuk tenaga kesehatan lainnya.
b. Surat izin praktik bagi dokter atau dokter gigi dan surat izin kerja/surat izin praktik dari
Dinas Kesehatan kabupaten/Kota setempat.
c. Surat bukti registrasi sebagai tenaga pengobat komplementer alternatif (SBR-TPKA) dari
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
d. Surat tugas sebagai tenaga pengobat komplementer alternatif (ST-TPKA/SIK-TPKA) dari
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
e. Khusus untuk tenaga pengobat tradisional harus memiliki surat terdaftar/surat izin
sebagai tenaga pengobat tradisional di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat
(PERMENKES, 2010)
Pasien yang mendapatkan terapi jamu sbegai bagian penelitian berbasis pelayanan
sebelumnya telah mendapatkan penjelasan lisan maupun tertulis dan menyetujui informed
consent. Tenaga kesehatan dan tenaga lainnya kemudian harus membuat rekam medis
sesuai pedoman pelayanan jamu di fasilitas kesehatan. Adapun tarif pelayanan saitifikasi
jamu ini harus murah dan terjangkau oleh masyarakat, yang hasilnya merupakan penadapat
negara bukan pajak (PERMENKES, 2010)
4.1.4 Bab IV Pembinaan dan Pengawasan
Pembinaan dan pengawasan SJ dilakukan oleh Menteri, Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan Komisi Nasional SJ. Adapun tugas
Komisi Nasional SJ antara lain sebagai berikut.
a. Membina pelaksanaan SJ.
b. Meningkatkan pelaksanaan penegakan etik penelitian jamu.
c. Menyusun pedoman nasional tentang pelaksanaan SJ.
d. Mengusulkan kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan bahan
jamu, khususnya segi budidaya, formulasi, distribusi dan mutu serta keamanan yang
layak digunakan untuk penelitian.
14
pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
Dapat terlihat bahwa obat tradisional juga merupakan tanggung jawab apoteker (UNDANG
UNDANG RI, 2009)
Pada tanggal 30 November 2020, Menteri Kesehatan Republik Indonesia baru saja
mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/MENKES/9848/2020 Tentang Komisi Nasional Saintifikasi Jamu. Keputusan
16
tersebut berisi susunan keanggotaan Komisi Nasional SJ yang diketuai oleh Dr. (C) Drs.
Budiman Gunawan, Apt., MARS (KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN RI, 2020)
BAB 5. PERAN APOTEKER DALAM SAINTIFIKASI JAMU
Pengujian ini ditujukan untuk memastikan keamanan dan khasiat simplisia bahan baku
jamu. Jika simplisia bahan baku jamu yang datang bukan berasal dari budidaya maka
kontrol kualitas ini sangat penting untuk menghindari terjadinya adulterasi/pemalsuan
simplisia bahan baku jamu. Hal ini mengingat tanaman dalam satu spesies memiliki
beragam varietas dengan bentuk morfologi maupun kandungan fitokimia yang mirip
(Suharmiati, Handayani, Bahfen, & Kristiana, 2012)
3. Pengelolaaan bahan baku simplisia
Apoteker berperan melakukan pengendalian dan penyimpanan stok bahan baku jamu.
Apoteker berperan memastikan bahwa simplisia bahan baku jamu disimpan dalam
wadah yang tepat dan kondisi penyimpanan yang tepat agar tidak mudah rusak
maupun ditumbuhi jamur atau mikroba lainnya. Pengendalian persediaan simplisia
bahan baku jamu ini memanfaatkan prinsip FIFO (first in first out) yaitu simplisia yang
pertama kali datang akan digunakan terlebih dahulu (Suharmiati, Handayani, Bahfen, &
Kristiana, 2012)
4. Dispensing simplisia jamu kepada pasien
Dalam kegiatan dispensing ini, apoteker berperan melakukan pelayang farmasi klinis
mulai dari pengkajian resep hingga KIE (komunikasi dan edukasi) kepada pasien. Selain
itu, apoteker juga bisa berperan dalam penyusunan ramuan jamu saintifik baik melalui
pengumpulan data bukti empiris dari etnis tradisional seluruh wilayah di Indonesia
maupun berdasarkan hasil pengembangan dalam skala laboratorium. Selanjutnya,
apoteker juga berperan dalam proses uji klinis ramuan jamu saintifik tersebut melalui
penelitian berbasis pelayanan. Apoteker berperan memantau efektivitas hingga efek
samping yang mungkin muncul selama pelaksanaan uji klinis ramuan jamu saintifik pada
pasien (Suharmiati, Handayani, Bahfen, & Kristiana, 2012)
BAB 6. METODE PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SAINTIFIKASI JAMU
Metode penelitian jamu adalah metode deskriptif (baseline data). Metode yang
digunakan terdiri dari beberapa penelitian, seperti penelitian etnologi dan
etnofarmakologi, penelitian epidemiologi (survey cross-sectional) dan penelitian
pelayanan kesehatan (penelitian pelayanan kesehatan). Cara ini dilakukan untuk
mendapatkan jenis tanaman, ramuan tradisional, dan manfaat ramuan tersebut yang
digunakan masyarakat secara turun temurun (Siswanto, 2012)
Tujuan Proyek Saintifikasi Jamu yaitu untuk memberikan bukti ilmiah tentang
manfaat dan keamanan obat herbal khususnya terkait dengan penggunaan obat herbal di
masyarakat. Telah diakui banyak orang secara turun-temurun menjaga kesehatan dan
mengobati penyakit, namun terkait khasiatnya dan keamanan yang diperoleh belum
didukung oleh bukti ilmiah yang terstruktur. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa
pengobatan tradisional, termasuk pengobatan herbal, menggunakan paradigma
naturalistik, yaitu memperlakukan pasien secara utuh (body-mind-spirit) dan berupaya
untuk sekaligus memperbaiki ketidakseimbangan tubuh, jiwa, jiwa, dan lingkungan.
Perkembangan jamu tentunya berbeda dengan penelitian dan pengembangan pengobatan
modern. Pada formula ramuan tradisional yang belum diketahui profil kemananannya
(bukan turun-temurun)maka tahapan uji klinik sebagaimana obat modern tetap harus
diberlakukan. Oleh karena itu, uji pre-klinik, uji klinik fase 1, uji klinik fase 2, dan uji klinik
fase 3. Pada uji pre klinik dan uji klinik fase 1, uji untuk melihat profil farmakokinetik
(ADME) tidak perlu dilakukan. Hal ini dikarenakan ramuan jamu berisi banyak zat kimia
(bisa ratusan) sehingga tidak mungkin untuk melacak absorbsi, distribusi, metabolisme,
dan ekskresi semua komponen zat kimia tersebut dalam tubuh hewan coba maupun
tubuh manusia. Pada formula turun temurun hanya menggunakan uji klinis fase 2 dan uji
klinis fase 3,Karena Telah banyaknya bukti empiris (RISKESDAS, 2018).
20
2) eksplorasi dan inventarisasi manfaat pengobatan dengan jamu yang digunakan oleh
pengobat tradisional di Indonesia.
b. Studi epidemiologi
tentang Pengudusan Jamu Dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan tanggal 3 Maret
2010. Nomor 121 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Kesehatan Herbal, yang antara
lain:
a) Ruang untuk penerimaan calon subjek, melaksanakan proses tanya jawab untuk
mendapatkan persetujuan calon subjek dan konsultasi setiap kali kunjungan.
b) Tempat penyimpanan dokumen penelitian, dokumen subjek, dokumen monitoring, hasil
uji laboratorium, kode bahan uji dan laporan.
c) Ruang untuk penyimpanan bahan uji dan pembanding dan Peralatan penunjang
kegiatan penelitian pelayanan jamu serta peralatan medik untuk mengatasi konsisi
darurat.
d) Memiliki fasilitas pelayanan kesehatan rujukan jika terjadi kejadian yang tidak diinginkan
(KTD) serta sarana pendukung fisik.
3) Pelaksana penelitian jamu berbasis pelayanan
Pelaksana utama saintifikasi jamu di fasilitas pelayanan kesehatan adalah Dokter
Saintifikasi Jamu (DSJ) yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi (STR), Surat Ijin Praktik
(SIP), dan Sertifikat Saintifikasi Jamu sesuai persyaratan. Dalam menjalankan tugas, DSJ
dapat melakukan:
a) Penelitian jamu berbasis pelayanan kesehatan secara mandiri.
b) Pelaporan rekan medis ke Pusat Registrasi Jamu melalui situs web Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan atau Sistem Jamu Elektronik
Penelitian berbasis Pelayanan (SIJAE LILA).
4) Rujukan
Rujukan pelayanan kesehatan pada saintifikasi jamu mempunyai sistem
penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pengalihan tugas dan tanggung
jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik, baik secara vertikal maupun horizontal,
yang harus dilaksanakan atas dasar kompetensi, kewenangan dan kemampuan yang ada
sesuai dengan peraturan yang berlaku
8.1.1 Uji Keamanan dan Kemanfaatan
a. Praklinis
Meliputi uji toksisitas yang dilakukan baik secara in vitro dan in vivo pada hewan
coba untuk melihat toksisitas dan efek farmakodinamik dari formula jamu. Hal ini
dikarenakan ramuan jamu berisi banyak zat kimia (bisa ratusan) sehingga tidak mungkin
untuk melacak absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi semua komponen zat kimia
23
tersebut dalam tubuh hewan coba maupun tubuh manusia (Siswanto, Saintifikasi Jamu
sebagai Upaya Terobosan untuk Mendapatkan Bukti Ilmiah tentang Manfaat dan
Keamanan Jamu, 2012)
Meliputi uji keamanan dan kemampuan toleransi ramuan jamu. Dilakukan pada
orang sehat, untuk farmakodinamik dan keamanan. Pada fase ini tidak dilakukan uji profil
farmakokinetik (absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi). Hal ini dikarenakan
ramuan jamu berisi banyak zat kimia (bisa ratusan) sehingga tidak mungkin untuk melacak
absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi semua komponen zat kimia tersebut dalam
tubuh hewan coba maupun tubuh manusia (Siswanto, 2012)
Komisi Nasional saintifkasi jamu sepakat bahwa pada uji klinis fase 2 untuk melihat
khasiat dan keamanan awal cukup menggunakan desain pre post test (tanpa pembanding).
Uji klinis fase 2 berfokus pada hubungan efek-dosis, frekuensi pemberian jamu, dan
karakteristik manfaat dan keamanan. Berdasarkan data hasil kajian etnomedisinal dan
etnofarmakologi pada awal penelitian saintifikasi jamu perlu dikaji oleh ahli farmakologi
herbal untuk skrining guna mengetahui jenis tanaman dan jenis ramuan yang berpotensi
untuk uji manfaat dan keamanan. Untuk formula yang sudah turun temurun dan terbukti
aman dapat langsung ke uji klinis fase 2. Pada uji ini harus mendapatkan dosis yang tepat,
khasiat awal, dan keamanan dalam suatu populasi terbatas pada kondisi tertentu, penyakit
yang akan disembuhkan. , tidak ada komorbiditas atau kondisi lain yang harus dicegah
(Siswanto, 2012)
Uji klinik fase 3 dilakukan untuk melihat efektivitas dan keamanannya pada sampel
yang lebih besar, pada target populasi yang sebenarnya. Desain uji klinik fase 3 Jamu ini
sebaiknya menggunakan randomized trial meski tanpa ketersamaran (open label
randomized trial). Sebagai pembanding (kontrol) bisa menggunakan obat standar bila
Jamu dipakai sebagai terapi alternatif, atau Jamu on-top (sebagai terapi tambahan) pada
obat standar, bila Jamu dipakai sebagai terapi komplementer. Hasil akhir uji klinik
24
Saintifikasi Jamu adalah Jamu Saintifik, yang menunjukkan bahwa Jamu uji mempunyai
nilai manfaat dan terbukti aman. Apabila perusahaan farmasi akan mengembangkan Jamu
Saintifik menjadi produk fitofarmaka, maka perusahaan farmasi berkewajiban untuk
mengikuti tahapan pengembangan fitofarmaka sesuai dengan peraturan yang berlaku
(Siswanto, 2012)
Untuk formula jamu baru (tidak turun temurun) tahapan pengujian keamanan dan
kegunaan yang dilakukan sama dengan uji keamanan pada pengobatan modern yaitu uji
praklinis, uji klinis fase 1, uji klinis fase 2, dan uji klinis fase 3. Profil farmakokinetik jamu
tidak perlu dilakukan, baik uji praklinis maupun uji klinis fase 1. tubuh hewan dan tubuh
manusia. Jika uji klinis fase 3 menunjukkan efektivitas yang memadai dan aman, formula
tersebut dapat digunakan di layanan kesehatan formal (Siswanto, 2012)
.
BAB 7. PUSTAKA RUJUKAN DALAM PENELITIAN DAN PELAYANAN JAMU SAINTIFIK
Penggunaan obat bersumber dari alam di Indonesia merupakan bagian dari budaya
pemeliharaan kesehatan dan sudah dimanfaatkan masyarakat berabad – abad lalu. Hal
ini terbukti dengan ditemukannya beberapa gambar penggunaan obat tradisional dari
masyarakat pada relief di Candi Borobudur. Obat tradisional ini di Indonesia berdasarkan
ijin edarnya digolongkan menjadi Fitofarmaka, Obat Herbal Terbatas (OHT) dan Jamu.
Fitofarmaka merupakan sediaan yang dapat digunakan untuk pelayanan kesehatan di
fasilitas Kesehatan karena telah memiliki bukti ilmiah yaitu uji klinik (Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, 2017).
Perkembangan pelayanan kesehatan tradisional dengan menggunakan fitofarmaka
ataupun menggunakan obat tradisional kini semakin pesat, terbukti dari hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 bahwa persentasi penduduk Indonesia yang pernah
mengonsumsi jamu sebanyak 59,12 % yang terdapat pada kelompok umur di atas 15
tahun, baik laki-laki maupun perempuan, di pedesaan maupun di perkotaan, dan 95,60 %
merasakan manfaatnya. Untuk berupaya agar penggunaan jamu yang rasional semakin
meningkat maka dilakukan berbagai riset penelitian studi klinik (Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia, 2017).
Studi klinik ini ditujukan untuk memberikan bukti ilmiah manfaat jamu empiric.
Beberapa studi klinik tekait pelayanan Jamu saintifik ini memerlukan beberapa pustaka
yang digunakan. Penggunaan pustaka ini digunakan untuk sebagai dasar keamanan,
mutu dan manfaat jamu tidak terlepas dari bahan baku yang digunakan dalam
pembuatan jamu. Beberapa pustaka tersebut adalah Vademekum Tanaman Obat,
Materia Medika Indonesia dan Farmakope Herbal Indonesia (Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia, 2008).
7 Vademakum Tanaman Obat
Buku Vademekum tanaman obat ini disusun sebagai pelaksanaan amanat
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 003/2010 tentang saintifikasi jamu
melalui penelitian berbasis pelayanan (buku vademekum jilid 3). Vademekum tanaman
obat terdiri dari beberapa jilid, yaitu:
Setiap monografi dari FHI berisikan informasi terkait identitas simplisia yang terdiri
dari pemerian, gambar simplisia, mikroskopis, gambar fragmen serbuk, senyawa identitas,
pola kromatografi, persyaratan (susut pengeringan, abu total, abu tidak larut asam, sisa
larut air, sisa larut etanol), kandugan kimia simplisia. FHI juga berisikian informasi terkait
bentuk ekstraknya, pembuatan ekstrak, persyaratan rendemen, identitas ekstrak, dan
beberapa persyaratan ekstrak (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2008).
BAB 8. MODEL STANDAR KLINIK DAN GRIYA JAMU
a. Ketenagaan
1) Penanggung jawab klinik yaitu dokter
2) Asisten Apoteker.
3) Tenaga kesehatan yang bersifat komplementer alternatif lainnya berdasarkan
kebutuhan klinik
4) Tenaga dengan pendidikan Diploma (D3) pengobat tradisional dan/atau
pengobat tradisional ramuan yang tergabung dalam Asosiasi Pengobat
Tradisional yang diakui Departemen Kesehatan.
5) Tenaga administrasi.
b. Sarana
1) Alat-alat medis
2) Alat-alat jamu
3) Memiliki ruangan :
1. Ruang tunggu.
2. Ruang pendaftaran dan rekam medis (medical record).
3. Ruang konsultasi/pelaksanaan penelitian.
4. Ruang pemeriksaan/tindakan.
5. Ruang peracikan jamu.
6. Ruang penyimpanan jamu.
7. Ruang diskusi.
8. Ruang laboratorium sederhana.
30
a. Ketenagaan:
1) Penanggung jawab klinik yaitu dokter
2) Tenaga kesehatan yang bersifat komplementer alternatif lainnya berdasarkan
kebutuhan klinik
3) Tenaga dengan pendidikan Diploma (D3) pengobat tradisional dan/atau
pengobat tradisional ramuan yang tergabung dalam Asosiasi Pengobat
Tradisional yang diakui Departemen Kesehatan.
4) Tenaga administrasi.
Indonesia, 2016).
9 Griya Jamu
Pelayanan klinik terdiri dari pemeriksaan, tindakan, hingga penyedia jamu. Griya
jamu merupakan bentuk pelayanan klinik yang bertindak sebagai penyedia jamu baik
berupa kapsul maupun rebusan. Jamu yang digunakan berupa racikan simplisia, serbuk
dan juga ekstrak tanaman obat yang telah diteliti keamanan, mutu dan khasiat melalui
riset praklinik dan riset klinik. Pada griya jamu juga dilakukan kontrol kualitas yang
merujuk pada acuan yaitu Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008. Pelayanan klinik yang
diberikan tidak hanya pemeriksaan pasien saja namun, juga melayani permintaan dari
dokter jejaring Saintifikasi Jamu (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016).
Bahan baku jamu bersumber dari hasil budidaya dan sebagian besar masih berasal
dari tanaman non budidaya (liar) merupakan bentuk dari produk tanaman obat.
Tanaman obat yang berasal dari alam dapat dikembangkan sehingga dapat dipanen
secara berkelanjutan. Berkelanjutan sendiri merupakan prinsip manajemen pemanfaatan
sumber daya alam secara optimal dengan mempertimbangkan kebutuhan sekarang dan
yang akan datang. Sistem ini harus mempertimbangkan kondisi populasi tanaman di alam
,umur tanaman, bahan yang akan dipanen, interval waktu panen, teknik panen, alat
panen dan pengumpulan bahan(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015).
1) Waktu Panen
Waktu yang tepat tergantung dari tiap tanaman obat yang dapat dipanen jika
terdapat kadar kandungan senyawa aktif, kondisi iklim untuk menghindari
fermentasi, bagian tanaman yang akan dipanen, pembusukan bahan, dan
pertumbuhan jamur.
Pemberian identitas tanaman pada bahan yang dipanen harus jelas agar tidak
tercampur dengan tanaman lain yang tidak diinginkan. Pemilihan tanaman yang
sudah layak di panen yaitu dipilih yang utuh dan sehat. Sedangkan kondisi
dimana tanaman yang terinfeksi jamur atau serangga tidak dipanen karena
produk organisme tersebut dapat mengubah profil kandungan kimia bahan
32
3) Teknik Panen
Teknik panen bahan simplisia nabati tergantung dari bag ian tanaman yang
dipanen, dirinci sebagai berikut:
a. Kulit batang (cortex) pada batang utama atau cabang, mengkelupas kulit
batang dengan ukuran panjang dan lebar tertentu. Alat pengkelupas kulit
batang sebaiknya menggunakan bahan non logam jika batang mengandung
minyak atsiri atau fenol. Contoh: Burmani cortex (k lit kayu manis).
d. Daun (folium): memilih daun yang memiliki kriteria tua namun belum
menguning, memetiknya secara manual (satu per satu menggunakan
tangan), Contoh: Blumea folium (daun sembung),
e. Bunga (flos): bagian yang di panen mulai dari kuneup bunga atau bunga yang
telah mekar atau mahkota bunga, kemudia memetiknya secara manual.
Contoh: Jasminum flos (bunga melati),
f. Pucuk
g. (shoot): bagian yang di panen mulai dari pucuk daun yang masih muda
beserta bunganya (tanaman yang berbunga) memetiknya dengan tangan,
Contoh: Timus folium (pucuk daun timi),
h. Akar (radix): bagian yang di panen mulai dari bagian batang di bawah tanah,
kemudian memotongnya sepanjang 5-10 cm dari pangkal batang agar
tanaman tidak mati. Contoh: Rouvolfia serpentina radix (akarpule pandak)
j. Buah (fructus): bagian yang di panen mulai dari buah yang tua namun hampir
masak atau telah masak, memetik dengan tangan atau gunting. Contoh:
Morinda fructus (mengkudu)
k. Biji (semen): bagian yang di panen mulai dari buah yang masak, mengupas
33
m. Umbi dan umbi lapis (bulbus): mencabut tanaman d, memisahkan umbi dari
daun dan akar kemudian membersihkannya. Contoh : Alium cepa bulbus
(bawang merah)
n. Kulit buah (pericarpium): memetik buah yang sudah masak dan mengupas
kulit buahnya kemudia membuang biji dan isi buah. Contoh: Graniti
pericarpium (kulit buah delima)
4) Alat-Alat Panen
Alat dan wadah untuk panen tanaman obat memiliki syarat bersih dan bebas dari
sisa tanaman yang dipanen sebelumnya agar tidak membuang cross
contaminant. Apabila wadah berbahana plastik harus memiliki sirkulasi udara
yang baik bertujuan untuk menjaga keelembaban di dalam wadah. Wadah yang
tidak digunakan harus dijaga agar tetap kering dan diletakkan dalam ruang yang
bersih, terhindar dari serangga, burung dan binatang lain.
Bahan baku merupakan bahan utama atau mentah yang akan diproses menjadi
produk jadi atau setengah jadi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
Adapun proses pengadaan bahan baku sampai pada penyimpanan meliputi:
b. Sortasi basah
Sortasi merupakan kegiatan memisahkan hasil panen yang memenuhi standar atau
tidak serta dari bahan asing baik organik ataupun anorganik lainnya. Pada melakukan
proses secara hati-hati dan rinci untuk memghindari rusaknya bahan simplisia. Sortasi dapat
secara manual maupun menggunakan instrumen yang sesuai dengan sifat dan karakteristik
tanaman. Target proses sortasi basah yaitu memastikan bahan simplisia bersih dari kotoran
dan bahan asing kemudian jika di pastikan bersih dapat melanjutkan proses pascapanen
(Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2011).
c. Pencucian
Pembersihan merupakan proses menghilangkan kotoran fisik, kimiawi dan biologis
dengan menggunakan metode dan instrumen yang sesuai dengan sifat dan karakteristik
hasil. Pembersihan bahan simplisa menggunakan teknik pencucian yang dapat langsung
dialiri air mengalir serta melakkan pencucian bertingkat dengan cara mencucinya dengan
air yang dilakukan secara berulang dengan air bersih. Setelah dilakukan pencucian sampai
35
d. Penirisan
Setelah mencuci simplisia, dilanjutkan dengan proses penirisan. Penirisan merupakan
kegiatan untuk menghilangkan air yang menempel dipermukaan simplisia yang berasal dari
perendaman, pencelupan atau pencucian dengan menggunakan metode dan instrumen
yang sesuai dengan jenis dan spesifikasi simplisia. Penirisan dapat dilakukan dengan cara
membolak balikkan dari kedua sisi simplisia agar mempercepat proses penguapan. Kegiatan
ini dapat dilakukan ditempat teduh dengan aliran udara. Setelah air di permukaan simplisia
telah hilang maka simplisia telah siap untuk dilakukan perajangan (Kementerian Pertanian
Republik Indonesia, 2011).
36
e. Perajangan
Kegiatan paska panen selanjutnya yaitu emperkecil ukuran produk atau pengubahan
bentuk dengan menggunakan metode dan instrumen yang sesuai sifat dan
karakteristik simplisia atau sering disebut perajangan. Hasil perajangan tidak boleh
terlalu tebal karna kadar air di simplisia akan lama menguap sehingga dapat
mempercepat busuknya bahan. Apabila terlalu tipis, kandungan minyak atsiri dalam
simplisia dapat ikut menguap sehingga menurunkan standar kadar yang telah di
f. Pengeringan
Kegiatan setelah penirisan yaitu pengeringan yang bertujuan untuk mengurangi atau
menghilangkan kadar air pada bahan simplisia. Pengeringan bertujuan untuk meminimalisir
kerusakan, meningkatkan mutu simplisia, menghentikan reaksi enzimatis, serta mencegah
pertumbuhan kapang, jamur, dan mikroba. Kriteria keterimaan pengeringan yaitu kadar air
simplisia tidak boleh lebih dari 10%. B2P2TOOT melakukan proses pengeringan dengan dua
metode yaitu sinar matahari langsung dan menggunakan oven. Pengeringan secara manual
dengan cara meangin-anginkan bahan simplisia menggunakan sinar matahari secara tidak
langsung. Penyinaran tidak langsung dapat dilakukan dengan menutupi memggunakan kain
hitam berpori besar kemudian melakukan pengadukan agar mendapatkan kering yang
37
biasanya juga ditempatkan pada bed dryer yang dibawahnya akan dialiri udara panas
sehingga lebih mempercepat pengeringan. Metode kedua yaitu melakukan pengeringan
menggunakan oven room yang biasanya digunakan untuk pengeringan daun-daun dan
cabinet room yang biasanya untuk pengeringan rimpang, kulit dan batang selama 2-3 hari
pada suhu 40- 50oC agar zat aktif tidak rusak (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2011).
Salah satu faktor penyebab kerusakan bahan baku simplisia yaitu tinggi nya
kandungan kadar air pada bahan simplisia. Tingginya kadar air dapat mengakibatkan
pertumbuhan mikroba pada bahan simplisia sehingga menurunkan standar mutu yang telah
ditentukann (Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2011).
g. Sortasi kering
Sortasi kering memiliki prinsip kerja yang sama dengan sortasi basah, namun
melakukannya setelah proses pengeringan dan sebelum pengemasan. Proses ini bertujuan
untuk memisahkan kotoran, bahan organik asing, pengotor fisik dan simplisia yang rusak
akibat proses penanganan sebelumnya serta melakukannya secara manual (Peraturan
Menteri Pertanian RI, 2013).
h. Pengemasan
Proses pengemasan dilakukan setelah bahan simplisia sudah bersih dan tidak ada bahan
lain yang menempel. Proses ini merupakan kegiatan membungkus produk dengan
menggunakan bahan pengemas tertentu untuk melindungi produk dari gangguan faktor
risiko yang mengakibatkan terganggunya proses penyimpanan. Pengemasan harus
dilakukan secara hati-hati agar tidak rusak. Bahan kemasan dapat berasal dari daun, kertas,
plastik, kayu, karton, kaleng, foil aluminium dan bambu. Pengemasan dapat menggunakan
instrumen dengan jenis dan spesifikasi sesuai sifat dan karakteristik produk. Bahan
kemasan tidak boleh menimbulkan kerusakan, pencemaran hasil panen yang dikemas dan
tidak membawa organisme pengganggu tumbuhan (OPT) . Setelah mengemas simplisia
dalam wadah tertutup baik. Hal tersebut bertujuan untuk melindungi simplisia dari
masuknya bahan padat dan mencegah kehilangan bahan selama penanganan,
39
pengangkutan, penyimpanan dan distribusi. Wadah diberi label sebagai identitas simplisia
yang meliputi nama, bagian tanaman yang digunakan, tanggal simpan, berat bahan, asal
bahan, dan kadar air (Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2011).
40
i. Penyimpanan
Proses penyimpanan bertujuan untuk menjaga dan melindungi mutu simplisia baik
kualitas fisik dan kestabilan kandungan senyawa aktif sehingga tetap memenuhi standar
mutu yang telah ditetapkan. Pada proses penyimpanan, terdapat beberapa risiko yang
dapat berpotensi kerusakan dan penurunan mutu pada simplisia seperti cahaya, oksidasi,
kelembapan, kontaminasi, serangga, dan tumbuhnya kapang. Penyimpanan simplisia di
B2P2TOOT menggunakan metode first in first out (FIFO). Metode ini menggunakan prinsip
yaitu simplisia yang digunakan merupakan simplisia yang lebih dulu di simpan. Selain itu,
penyimpanan di dalam gudang juga dipisahkan berdasarkan tanggal pengemasan yang
dapat dilihat melalui perbedaan warna pada masing- masing kemasan. Dalam
pelaksanaannya, penanganan hasil panen dari pengumpulan bahan baku hingga
penyimpanan di instalasi pascapanen telah sesuai cara pembuatan obat tradisional yang
baik (CPOTB) pascapanen dan MMI.
Pada proses penyimpanan, terdapat beberapa faktor dapat rusak dan turun kualitas
simplisia sebagai berikut.
1) Mutu simplisia dapat dipengaruhi oleh cahaya dan sinar dengan panjang
gelombang tertentu (misal terjadi proses isomerasi dan polimerasi).
2) Perubahan kimia simplisia dapat berubah karena proses reaksi kimiawi seperti
proses fermentasi, polimerisasi atau autooksidasi.
3) Penurunan kandungan zat aktif pada simplisia karna reaksi oksidasi dapat
disebakan oleh ada nya oksigen di udara
4) Simplisia dapat mengalami dehidrasi atau terjadi proses kehilangan air yang
disebut "shrinkage". Hal tersebut disebabkan oleh kelembaban di luar lebih
rendah dari pada di dalam simplisia
5) Simplisia yang bersifat higroskopis dapat menyerap air dari lingkungan sekitarnya
6) Kontaminasi, sumber kontaminan utama debu, pasir, kotoran bahan asing
(minyak tumpah, organ binatang/ manusia, fragmen wadah).
7) Serangga, dapat menimbulkan kerusakan dan pengotoran simplisia dalam bentuk
larva, imago dan sisa-sisa metamorfosisnya (kulit telur, kerangka yang telah usang
dll).
8) Kapang, jika kadar air simplisia masih tingg i akan mudah ditumbuhi kapang
(Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2011)
41
j. Distribusi
Distribusi merupakan upaya memindahkan produk dari tempat pengumpulan
sementara ke bangsal pascapanen dan selama proses di dalam bangsal pascapanen, serta
dari bangsal pascapanen ke konsumen (Peraturan Menteri Pertanian RI, 2013). Ketika ada
permintaan dari klinik dan apotek saintifikasi jamu maka simplisia yang ada di gudang
penyimpanan didistribusikan ke tempat tersebut, di klinik dan apotek itulah nantinya akan
dilakukan peracikan oleh apoteker sesuai dengan kebutuhan pasien (sesuai dengan
penyakit hasil pemeriksaan pasien pada dokter). Setelah resep diracik maka diserahkan
kepada pasien atau keluarga pasien.
k. Kontrol Kualitas
Parameter kontrol kualitas setiap tahapan pengelolaan pasca panen tanaman obat
sebagai berikut.
jamu pasien diberikan ramuan minimal untuk dua minggu sampai dengan satu bulan dan
pasien tidak diberikan copy resep. Pasien harus datang kembali untuk kontrol dan
mendapatkan kembali ramuan serta dimonitoring perkembangan terapinya (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2016).
BAB 9. STRATEGI PENDIRIAN KLINIK DAN GRIYA JAMU
9 Latar Belakang
Jamu telah menjadi bagian budaya dan kekayaan alam Indonesia dan hasil Riset
Kesehatan Dasar menunjukkan bahwa penggunaan jamu oleh masyarakat Indonesia lebih
dari 50%. Jamu merupakan bagian dari pengobatan tradisional. Pengobatan tradisional
telah berkembang secara luas di banyak negara dan semakin populer. Indonesia memiliki
kekayaan tanaman obat dan ramuan jamu dari berbagai suku yang tersebar di berbagai
wilayah indonesia mulai Sabang sampai Merauke. Jamu adalah warisan leluhur bangsa yang
telah dimanfaatkan secara turun temurun untuk pengobatan dan pemeliharaan kesehatan.
Riset menunjukkan bahwa 49,53% penduduk Indonesia menggunakan jamu baik untuk
menjaga kesehatan maupun untuk pengobatan karena sakit. Penduduk yang
mengkonsumsi jamu sebanyak 95,6% menyatakan merasakan manfaat minum jamu. Hasil
Riskesdas tahun 2010 juga menunjukkan bahwa dari masyarakat yang mengkonsumsi jamu,
55,3% mengkomsumsi jamu dalam bentuk cairan (infusum/decoct), sementara sisanya
(44,7%) mengkonsumsi jamu dalam bentuk serbuk, rajangan, dan pil/kapsul/tablet (Badan
Litbang Kesehatan, 2010).
Dalam UU No 36 tahun (2009) tentang Kesehatan, Pasal 48 dinyatakan bahwa
“pelayanan kesehatan tradisional merupakan bagian dari penyelenggaraan upaya
kesehatan”. Artinya, pengobatan tradisional (indigenous health system) diakui sebagai
bahagian dari sistem pelayanan kesehatan (health care system). Untuk itu, perlu
“sinkronisasi / harmonisasi” antara sistem pelayanan kesehatan formal dan sistem
pelayanan kesehatan tradisional. Pasal 101, disebutkan bahwa sumber obat tradisional
yang terbukti berkhasiat dan aman, harus dijaga kelestariannya. Dengan demikian, maka
pembuktian empiris terkait khasiat dan keamanan obat tradisional (jamu) menjadi hal
penting dalam menjadikan jamu sebagai komponen penting dalam sistem pelayanan
kesehatan di Indonesia. Dengan kata lain, litbang di bidang jamu merupakan salah
satu “upaya penting” dalam mengangkat jamu menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Sejalan dengan apa yang tertuang dalam Undang-Undang Kesehatan dan Peraturan
Pemerintah Tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional, Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional yang selanjutnya disebut B2P2TOOT,
yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
2346/Menkes/Per/XI/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
491/Menkes/Per/VII/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Besar Penelitian dan
44
Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional telah melaksanakan penelitian dan
pengembangan dibidang tanaman obat dan obat tradisional. Kegiatan penelitian dan
pengembangan dilakukan dari sisi hulu sampai hilir, pembibitan tanaman obat, budidaya
tanaman obat, pasca panen, formulasi hingga penelitian pelayanan (PERMENKES, 2011)
Klinik dan Apotek Saintifikasi jamu di Indonesia sayangnya masih sangat terbatas, hal
ini dikarenakan pola pikir masyarakat yang menganggap obat sintetis atau obat modern
lebih manjur serta kurangnya minat masyarakat untuk mengonsumsi jamu. Pemerintah
sendiri telah menyiapkan program pelatihan saintifikasi jamu untuk dokter maupun
apoteker. Dokter dan apoteker yang telah lulus pelatihan dapat mengimplementasikan atau
membuka saintifikasi jamu di wilayah kerja masing-masing. Adanya para dokter dan
apoteker yang telah lulus pelatihan saintifikasi jamu diharapkan dapat bekerjasama agar
menambah kepercayaan masyarakat terhadap pengobatan tradisional (B2P2TOOT, 2016)
Dari hal tersebut maka perlu dilakukan pendirian klinik dan apotek saintifikasi jamu di
Desa Kolor, Kabupaten Sumenep Jawa Timur. Lokasi tersebut dipilih karena khususnya di
Madura Kabupaten Sumenep tidak ada klinik dan apotek saintifikasi jamu dan kebanyakan
masyarakat di Kabupaten Sumenep masih percaya khasiat dari jamu dan efek samping yang
minim. Pendirian klinik dan apotek saintifikasi jamu ini akan memberikan potensi bisnis
yang baik dan menjanjikan, karena belum ada pesaing di daerah tersebut.
10 Motto Klinik dan Apotek Saintifikasi Jamu
Motto kami adalah “Meningkatkan Kesehatan Masyarakat dengan Produk Obat
Herbal ”.
14 Profil Klinik
15 Nama dan Lokasi Klinik
Klinik saintifikasi jamu yang akan didirikan kami beri nama “Toga Farma”. Toga
singkatan dari Tanaman Obat Keluarga, yang mempunyai arti tanaman hasil budidaya
rumahan yang berkhasiat sebagai obat. Klinik Toga Farma berlokasi di Jalan Adi Poday, Desa
Kolor, Kec. Kota Sumenep, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, Indonesia (69417). Klinik Toga
Farma juga memiliki apotek sendiri sebagai bagian akhir pelayanan klinik, yaitu bagian
penyedia jamu baik berupa kapsul maupun rebusan. Jamu yang digunakan berupa racikan
simplisia, serbuk dan juga ekstrak tanaman obat yang telah diteliti keamanan, mutu dan
khasiat melalui riset praklinik dan riset klinik.
Lokasi Klinik ini strategis karena berada di pemukiman warga padat penduduk, sarana
kesehatan, hotel, dan pertokoan. Lokasi klinik yang sangat mudah dijangkau karena terletak
di pinggir jalan, dan memiliki area parkir yang cukup luas serta aman. Pendirian klinik di
lokasi tersebut menjadi salah satu peluang menjadi klinik jamu atau herbal pertama bagi
masyarakat, dengan menerapkan pelayanan kefarmasian yang bermutu, aman, terjamin,
dan berkualitas serta menguntungkan dan meningkatkan kesehatan bagi konsumen.
a) Nama Klinik dan Apotek
Name Klinik : Klinik Toga Farma
Alamat : Jalan Adi Poday, Desa Kolor, Kec. Kota Sumenep, Kabupaten Sumenep,
Jawa Timur, Indonesia (69417)
b) Pemilik Klinik
Nama : dr. Evianti, M.Kes.
46
16 Tenaga Kerja
Klinik Toga Farma ini dibuka tiap hari senin sampai minggu selama 30/31 hari dalam
tiap bulan dari mulai pukul 07.00-16.00 WIB. Pengelolaan sebuah klinik memerlukan tenaga
kerja yang memiliki komunikasi efektif dan efisien dalam menangani setiap kegiatan, baik
yang berhubungan dengan administratif maupun pelayanan di klinik sehingga visi dan misi
klinik dapat terlaksana. Klinik Toga Farma merekrut karyawan dengan susunan sebagai
berikut :
1) Dokter : 2 orang
2) Apoteker Pengelola Apotek (APA) : 1 orang
3) Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) : 1 orang
4) Perawat: 1 orang
5) Administrasi: 1 orang
Pada pembukaan klinik saintifikasi jamu “Toga Farma” di 6 bulan yang pertama,
hanya diperlukan 6 karyawan, karena diperkirakan di 6 bulan pertama pengunjung klinik
Toga Farma masih tidak terlalu banyak. Penambahan tenaga kerja akan dilakukan seiring
dengan pertumbuhan klinik. Dasar pertimbangan perekrutan karyawan tersebut adalah
pelayanan klinik yang diberikan meliputi pengobatan dan pemeriksaan oleh seorang dokter
yang secara khusus sudah memiliki sertifikat pelatihan, seorang apoteker yang juga
memiliki sertifikat pelatihan dan kemampuan dalam hal manajemen perapotekan yang
mencakup manajemen personal, administrasi, keuangan, produk dan penguasaan informasi
obat tradisonal / jamu. TTK yang memiliki kemampuan teknis dalam penyiapan dan
47
peracikan obat tradisional / jamu serta bagian administrasi yang memiliki kemampuan
dalam bidang administrasi dan keuangan seperti menjadi kasir.
17 Analisis SWOT
Analisis SWOT Klinik Toga Farma adalah :
A. Kekuatan/Strength
Yang menjadi kekuatan kompetitif klinik Toga Farma yang akan didirikan adalah
sebagai berikut:
1) Klinik Toga Farma menjadi satu-satunya klinik saintifikasi jamu yang ada di
Madura khususnya Kabupaten/Kota Sumenep
2) Klinik Toga Farma dilengkapi dengan praktek dokter untuk melakukan
pemeriksaan kesehatan sekaligus apotek sebagai sarana penyiapan jamu yang
telah diresepkan
3) Harga ekonomis dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat
4) Klinik dengan pelayanan berbasis Pharmaceutical Care dengan tepat, cermat
dan cepat.
5) Letak/lokasi apotek mudah dijangkau.
6) Memiliki Apoteker yang mempunyai pengetahuan tentang obat-obatan
tradisional dan memberikan pelayanan yang ramah dan sopan.
7) Dokter dan apoteker adalah seorang tenaga kesehatan yang sudah melakukan
pelatihan saintifkasi jamu dan bersertifikat.
B. Kelemahan/Weakness
1) Membutuhkan waktu untuk sosialisasi kepada masyarakat untuk
memperoleh costumer yang loyal dan tingkat ekonomi dan konsumsi yang
cukup rendah (menengah kebawah).
2) Klinik saintifikasi jamu baru / pertama yang ada di Kabupaten/Kota Sumenep
3) Kurangnya Sumber daya manusia
4) Jamu yang tersedia masih terbatas jenis dan jumlahnya
C. Peluang/Oppurtunity
1) Lokasi yang strategis terletak di tepi jalan raya yang mudah diakses oleh
kendaraan
2) Gencarnya promosi obat tradisional di media elektronik
48
18 Analisis Keuangan
19 Sumber Dana dan Biaya
a) Sumber dana
Sumber dana untuk pendirian apotek dan klinik saintifikasi jamu berasal dari dana
penelitian, dana pemerintah Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kementerian Kesehatan.
b) Table 4. Investasi Apotek
Modal Tetap Rp. 121.175.000
Modal operasional 1 tahun Rp. 190.800.000
Modal Cadangan Rp. 11.975.000
Total (modal pribadi) Rp. 300.000.000
ROI =
= = 39.07%
3) Break Even Point (BEP)
Biaya variabel = total pengeluaran 1 tahun-biaya tetap 1 tahun
= Rp. 433.800.000- Rp. 190.800.000
= Rp. 243.000.000
= x 100%
= 78,5%
4) Kapasitas BEP
Kapasitas BEP = 78,5% x (30 resep x 30 hari x 12 bulan)
= 8478 resep/tahun
= 707 resep/blan
3 2
1
6
8
Keterangan Gambar :
1. Apotek 5. Kamar mandi 2
2. Ruang periksa dokter 1 6. Ruang tunggu
3. Ruang periksa dokter 2 7. Pendaftaran
4. Kamar mandi 1 8. Ruang tunggu penebusan jamu
24 Struktur Organisasi
53
25 Analisis Pesaing
26 Hasil Survei Denah Lokasi
Berdasarkan hasil survei tempat pendirian klinik dan apotek “Toga Farma”,
didapatkan data-data sebagai berikut :
a) Jumlah Pesaing
Di sekitar klinik dan apotek “Toga Farma” terdapat apotek lain yaitu Apotek
Purnama dan Apotek Sumekar Baru. Apotek Purnama berjarak sekitar 350 meter
dari Apotek Meita Farma. Sedangkan Apotek Sumekar Baru berjarak sekitar 550
meter dari Apotek Meita Farma, akan tetapi belumterdapat klinik atau apotek yang
bergerak di bidang jamu, sehingga menjadikan apotek dan klinik toga farma
memiliki peluang yang besar.
b) Kepadatan Penduduk
Apotek dan klinik toga farma berlokasi di daerah pemukiman warga dengan
kepadatan penduduk yang tinggi. Lokasi di Desa Kolor memiliki keramaian yang cukup
tinggi karena berdekatan dengan Pasar Anom Sumenep, sehingga berpengaruh
terhadap jumlah orang yang melintasi lokasi apotek. Keadaan wilayah desa kolor
terdiri dari :
1) Dusun Gudang terdiri dari 7 RT dengan jumlah penduduk sebanyak 2.416 jiwa;
55
27 Potensi Pasar
Letak apotek dan klinik toga farma yang sangat strategis dan dekat dengan pusat
keramaian menjadikan potensi klinik dan apotek cukup menjanjikan. Analisis perkiraan
jumlah pasien yang diperkirakan datang berobat dalah 30 pasien/hari dengan klinik dan
apotek menerapkan beberapa usaha untuk mencegah resep keluar.
56
DAFTAR PUSTAKA
Bahan Ajar Obat Tradisional. 2017. Bali: Fakultas MIPA Uiversitas Udayana.
B2P2TOOT. 2016. Pelatihan Saintifikasi Jamu. Retrieved Desember 8, 2020, from Pelatihan
Saintifikasi Jamu: http://www.b2p2toot.litbang.kemkes.go.id/?
page=postcont&postid=51&content=Pelatihan+Saintifikasi+Jamu
B2PP2TOOT KEMENKES RI, B. 2016. Tujuh Ramuan Jamu Saintifik Pemanfaatan Mandiri
Oleh Masyarakat. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI.
Badan Litbang Kesehatan. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010. Jakarta:
Badan Litbang Kesehatan.
Bhasin, V. 2017. Medical Anthropology: A Review. Ethno Med, 1(1), 1-20, 1-20.
Hartono, & Kusumastuti, L. A. 2019. Tingkat Kepatuhan Penggunaan Ramuan Jamu Saintifik.
Journal of Pharmacy, Vol. 8 No.1: 29 - 37, 29-37.
IAI. 2016. Saintifikasi Jamu, Jadikan Jamu Tuan Rumah di Indonesia. Retrieved Desember
13, 2020, from IAI: http://www.iai.id/news/artikel/saintifikasi-jamu-jadikan-jamu-
tuan-rumah-di-indonesia
Katno. 2008. Tingkat Manfaat dan Keamanan Tanaman Obat dan Obat Tradisional.
Karanganyar, Jawa Tengah: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Obat dan Obat Tradisional.
KEMENKES RI, B. 2016, Oktober 19. Sejarah B2P2TOOT Tawangmangu. Retrieved Desember
13, 2020, from Sejarah: http://www.b2p2toot.litbang.kemkes.go.id/index.php?
page=postcont&postid=2&content=Sejarah
KEPMENKES RI. 2008. Tentang Standar Pelayanan Medik Herbal. Kesehatan Nomor
121/MENKES/SK/II/2008 , 1-18.
KEPMENKES RI. 2020. Tentang Komisi Nasional Saintifikasi Jamu. KEPMENKES RI Nomor
HK.01.07/MENKES/9848/2020, 1-12.
57
KEPMENKES RI, M. 2008. Tentang Standar Pelayanan Medik Herbal . Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 121/MENKES/SK/II/2008 , 1-10.
Kesehatan, K. 2016. Sejarah B2P2TOOT Tawangmangu. Retrieved Desember 13, 2020, from
Sejarah: http://www.b2p2toot.litbang.kemkes.go.id/index.php?
page=postcont&postid=2&content=Sejarah
Marina, S. 2016. Studi Etnomedisin di Indonesia dan Pendekatan Penelitiannnya. JDP, 9(3):
117-124, 117-124.
Parwata, I. M. 2017. Bahan Ajar Obat Tradisional. Bali: Fakultas MIPA Universitas Udayana.
PP RI. 2014. Tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional. PP RI NOMOR 103 tahun 2014, 1-
125.
RI, K. 2016. Tujuh Ramuan Jamu Saintifik, Pemanfaatan Mandiri Oleh Masyarakat". Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Siswanto. 2012. Saintifikasi Jamu sebagai Upaya Terobosan untuk Mendapatkan Bukti
Ilmiah tentang Manfaat dan Keamanan Jamu. Bulletin of Health System Research,
203-211.
Siswanto. 2012. Saintifikasi Jamu sebagai Upaya Terobosan untuk Mendapatkan Bukti
Ilmiah tentang Manfaat dan Keamanan Jamu. Bulletin of H ealth System Research,
15(2): 203-211, 203-211.
58
Suharmiati, Handayani, L., Bahfen, F., & Kristiana, L. 2012. KAJIAN HUKUM PERAN
“APOTEKER” DALAM SAINTIFIKASI JAMU. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, Vol.
15 No. 1 Januari 2012: 20–25, 20-25.
UNDANG UNDANG RI. 2009. Tentang Kesehatan. UU RI NOMOR 36 Tahun 2009, 1-29.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman umum panen dan pasca panen
tanaman obat. 1–62.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Vademakum Tanaman Obat. Edisi IV.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Rumah Sakit Jamu Hortus Medicus.
http://www.b2p2toot.litbang.kemkes.go.id/?
page=postcont&postid=9&content=Rumah+Riset+Jamu+Hortus+Medicus#:~:text=Griy
a jamu merupakan bagian akhir,baik berupa kapsul maupun rebusan [Diakses pada
December 14, 2020].
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2010 tentang Saintifikasi
Jamu Dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan
59