Anda di halaman 1dari 72

TUGAS MAKALAH SAINTIFIKASI JAMU

TINJAUAN TENTANG SAINTIFIKASI JAMU DARI BERBAGAI SISI:

TEORI DAN PRAKTIK

(Jember, November 2020)

DISUSUN OLEH:

Reka Melda Tamara (192211101101)

Laurensia Nina Irawati (192211101102)

Aura Kamilah Anwar (192211101103)

Abd. Rahman Akuba (192211101104)

Nur Alfi Syahrin (192211101105)

Evianti Takimpo (192211101106)

M. Febrian Bachtiar (192211101107)

Aisyah Rulina Safitri (192211101108)

Devi Rusvita Khoirul Nisah (192211101109)

Desy Dwi Utami (192211101110)

PEMBIMBING:

apt. Bawon Triatmoko, S.Farm., M.Sc.

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS JEMBER

2020
TUGAS MAKALAH SAINTIFIKASI JAMU

TINJAUAN TENTANG SAINTIFIKASI JAMU DARI BERBAGAI SISI:

TEORI DAN PRAKTIK

(Jember, November 2020)

DISUSUN OLEH:

Reka Melda Tamara (192211101101)

Laurensia Nina Irawati (192211101102)

Aura Kamilah Anwar (192211101103)

Abd. Rahman Akuba (192211101104)

Nur Alfi Syahrin (192211101105)

Evianti Takimpo (192211101106)

M. Febrian Bachtiar (192211101107)

Aisyah Rulina Safitri (192211101108)

Devi Rusvita Khoirul Nisah (192211101109)

Desy Dwi Utami (192211101110)

PEMBIMBING:

apt. Bawon Triatmoko, S.Farm., M.Sc.

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS JEMBER

2020
LEMBAR PENGESAHAN

TUGAS SAINTIFIKASI JAMU

TINJAUAN TENTANG SAINTIFIKASI JAMU DARI BERBAGAI SISI:

TEORI DAN PRAKTIK

Makalah ini diselesaikan untuk memenuhi tugas PKPA Saintifikasi Jamu Daring di
B2P2TOOT Tawangmangu pada tangga 17 November 2020

Jember, … … ….

Disetujui Oleh:

Ketua Program Studi Profesi Apoteker Dosen Pembimbing

apt. Lidya Ameliana, S.Si., M.Farm. apt. Bawon Triatmoko, S.Farm.,


M.Sc.
NIP. 198004052005012005apt NIP. 198201292009121003

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Tugas Saintifikasi Jamu
“Tinjauan tentang Saintifikasi Jamu dari Berbagai Sisi: Teori dan Praktik” dengan baik dan
lancar. Penyusunan laporan ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu,
kami mengucapkan terima kasih kepada :

1. Tuhan Yang Maha Esa atas Limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan laporan ini;
2. Ibu apt. Lestyo Wulandari, S.Si., M.Farm. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Jember;
3. Ibu apt. Lidya Ameliana, S.Si., M.Farm. selaku Ketua Program Profesi Apoteker
Fakultas Farmasi Universitas Jember;
4. Bapak apt. Bawon Triatmoko, S.Farm., M.Sc. selaku Dosen Pembimbing PKPA
Saintifikasi Jamu yang telah bersedia meluangkan waktu memberikan bimbingan,
petunjuk dan nasehat;
5. Orang tua, saudara, keluarga kami tercinta, serta rean dan teman-teman yang telah
memberikan dorongan, nasehat, dan doa sehingga Penulis dapat menyelesaikan
tugas makalah ini;
6. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Pendidikan Apoteker Angkatan XII Fakultas
Farmasi Universitas Jember, untuk perjuangannya bersama dalam suka maupun
duka, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis mengharapkan semoga ilmu dalam makalah ini dapat memberikan


pandangan sebelum melaksanakan PKPA Saintifikasi Jamu di Tawangmangu dan dapat
berguna bagi calon Apoteker untuk terjun ke masyarakat dalam rangka pengabdian profesi.

Jember, Desember 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Error! Bookmark not defined.

iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Hortus Medicus................................................................................................................4
Gambar 2. Metodologi SaintifikasI Jamu........................................................................................20
Gambar 3. Alur Penelitian Saintifikasi Jamu....................................................................................25
Gambar 4. Sortasi Basah.................................................................................................................34
Gambar 5. Pencucian......................................................................................................................35
Gambar 6. Penirisan.......................................................................................................................35
Gambar 7. Perajangan atau Perubahan Bentuk..............................................................................36
Gambar 8. Pengeringan Menggunakan Sinar Matahari...................................................................37
Gambar 9. Pengeringan dengan Oven............................................................................................37
Gambar 10. Penyimpanan Simplisia...............................................................................................40
Gambar 11. Titik Lokasi Klinik dan Apotek "Toga Farma:................................................................51
Gambar 12. Layout Apotek dan Klinik Tampak Depan....................................................................52
Gambar 13. Layout Apotek dan Klinik Tampak Atas.......................................................................52
Gambar 14. Struktur Organisasi......................................................................................................53

iv
DAFTAR TABEL
Table 1 Formula Jamu B2P2TOOT...................................................................................................10
Table 2. Perbedaan Klinik Jamu Tipe A dan B..................................................................................12
Table 3. Parameter kontrol kualitas................................................................................................41
Table 4. Investasi Apotek................................................................................................................48
Table 5. Rencana Pengadaan Modal Tetap.....................................................................................48
Table 6. Rencana Anggaran Tetap Tahun ke-1................................................................................49

v
RINGKASAN

Perkembangan obat tradisional dan pengobatan tradisional saat ini berkembang


pesat sekali khususnya obat tradisional yang berasal dari tumbuh tumbuhan. Hal ini bisa
kita lihat semakin banyaknya bentuk-bentuk sediaan obat tradisional dalam bentuk
kemasan yang sangat menarik konsumen. Perkembangan ini menjadi dasar perlunya
dilakukan penelitian terkait obat tradisional, oleh Karena itu pada tahun 2010 Departemen
Kesehatan Indonesia mengeluarkan Permenkes no 3 tahun 2010 tentang saintifikasi jamu.

Aturan aturan yang terkait dengan pengobatan tradisional dan sanitifikasi jamu
telah banyak dikeluarkan oleh pemerintah seperti Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1076/MENKES/SK/VII/2003 Tentang Penyelenggaraan Pengobatan
Tradisional, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 121/MENKES/SK/II/2008. Tentang
Standar Pelayanan Medik Herbal, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 003/Menkes/Per/I/2010 Tentang
Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan, Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2014 Tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional, dan
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/9848/2020
Tentang Komisi Nasional Saintifikasi Jamu.

Sejarah Perkembangan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat


dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) berawal dari Kebun Koleksi Tanaman Obat yang dibentuk
oleh R.M Santoso Soerjokoesoemo hingga berkembang menjadi badan resmi dibawah
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Hingga pada bulan Januari tahun 2010, program
Saintifikasi Jamu diresmikan dengan adanya PMK No. 3 tahun 2010. Saintifikasi jamu terus
dilakukan hingga telah menghasilkan sejumlah 7 macam ramuan jamu yang tersaintifikasi.

Klinik pada B2P2TOOT ditetapkan sebagai klinik penelitian berbasis pelayanan


kesehatan yang mengikuti ketentuan persyaratan klinik jamu tipe A. Perbedaan antara

vi
klinik saintifikasi jamu dengan klinik konvensional dapat dilihat dari aspek persyaratan
sarana dan prasarana, ketenagaan, perbedaan model klinik dan apotek saintifikasi jamu,
alur pengadaan bahan baku, dan alur pelayanan jamu di B2P2TOOT. Pengolahan saintifikasi
jamu dilakukan dari penangan panen, pasca panen, compounding dan dispensing, dan
pelayanan KIE.

Tren perkembangan pelayanan kesehatan tradisional menggunakan obat


tradisional seperti jamu, obat herbal terstandart (OHT), dan Fitofarmaka semakin pesat dari
masa ke masa. Pelayanan Kesehatan tradisional ini tidak lepas dari penelitian dan
pelayanan jamu saintifik. Penelitian dan pelayanan jamu saintifik ini dilaksanakan dengan
menggunakan berbagai Pustaka seperti Vadamakum Tanaman Obat, Materia Medika
Indonesia dan Farmakope Herbal Indonesia. Pelayanan Kesehatan tradisional ini
dilkasanakn di Klinik dan Griya jamu. Klinik jamu dikelompokkan menjadi Klinik jamu tipe A
dan Klinik Jamu Tipe B dimana perbedaannya terletak pada ketenagaan dan sarana yang
dipersyaratkan. Penerapan klinik jamu tipe A ada pada Klinik Saintifikasi Jamu “Hortus
Medicus”. Jamu tradisional yang baik didapatkan dari hasil tanaman obat saintifikasi jamu
dengan pengolahan yang baik pula. Pengolahan tanaman obat yang baik ini berlangsung
pada saat panen tanaman obat dan pasca panen tanaman obat. Hal berikutnya adalah
pelayanan kefarmasian saintifikasi jamu dimana apoteker saintifikasi jamu bertugas
menentukan formula dan bentuk sediaan yang diinginkan sesuai diagnosis dokter
saintifikasi jamu

Saintikasi jamu berbasis penelitian ini dilakukan di B2P2TOOT dengan


menggunakan metode penelitian deskriptif (baseline data). Metode ini tersusun dari
beberapa penelitian, seperti penelitian etnologi dan etnofarmakologi, penelitian
epidemiologi (survey cross-sectional) serta penelitian pelayanan kesehatan (penelitian
pelayanan kesehatan). Studi epidemologi dan studi pelayanan kesehatan. Setelah itu
dilakukan uji keamanan dan kemanfaatan jamu meliputi uji praklinis, uji klinik 1, uji klinik 2
dan uji klinik 3. Untuk formula jamu baru (tidak turun temurun) tahapan pengujian
keamanan dan kegunaan yang dilakukan sama dengan uji keamanan pada pengobatan
modern yaitu uji praklinis, uji klinis fase 1, uji klinis fase 2, dan uji klinis fase 3. Profil
farmakokinetik jamu tidak perlu dilakukan, baik uji praklinis maupun uji klinis fase 1. Untuk
formula jamu turun temurun hanya dilakukan uj klinis fase 2 dan 3 saja.

vii
Klinik dan Apotek Saintifikasi jamu di Indonesia masih sangat terbatas, hal ini
dikarenakan pola pikir masyarakat yang menganggap obat sintetis atau obat modern lebih
manjur serta kurangnya minat masyarakat untuk mengonsumsi jamu. Hal tersebut menjadi
dasar untuk pendirian klinik dan apotek “Toga Farma” yang dibangun di Desa Kolor,
Kabupaten Sumenep Jawa Timur. Pendirian di lokasi tersebut, dikarenakan di Madura
Kabupaten Sumenep tidak ada klinik dan apotek saintifikasi jamu dan kebanyakan
masyarakat di Kabupaten Sumenep masih percaya khasiat dari jamu dan efek samping yang
minim. Tenaga kesehatan yang dibutuhkan ketika pembangunan apotek dan klinik adaah
dokter, apoteker, tenaga teknis kefarmasian, perawat dan administrasi. Biaya yang perlu
dikeluarkan sebesar Rp. 300.000.000 dengan perhitungan payback periode selama 2,6
tahun.

viii
ix
1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia kaya akan kekayaan tradisi baik yang tradisi yang tertulis maupun tradisi
turun-temurun yang disampaikan secara lisan. Hal ini menandakan bahwa masyarakat
Indonesia sejak zaman dahulu telah mengenal ilmu pengetahuan berdasarkan pengalaman
sehari-hari mereka. Pengetahuan tersebut antara lain perbintangan, arsitektur, pengobatan
tradisional, kesusasteraan, dan lain sebagainya (Parwata, 2017)

Menurut Djojosugito (1985), dalam masyarakat tradisional obat tradisional dibagi


menjadi 2 yaitu obat atau ramuan tradisional dan cara pengobatan tradisional. Obat
tradisional adalah obat yang turun-temurun digunakan oleh masyarakat untuk mengobati
beberapa penyakit tertentu dan dapat diperoleh secara bebas di alam (Parwata, 2017)

Prinsip penggunaan obat tradisional pada umumnya bersifat promotif, yaitu untuk
menyegarkan badan, preventif untuk mencegah penyakit, kuratif untuk menyembuhkan
penyakit dan paliatif untuk mengurangi keluhan pada pasien setelah penyakitnya tidak
mungkin disembuhkan. WHO juga merekomendasikan penggunaan obat tradisional atau
obat herbal untuk memelihara kesehatan masyarakat, mencegah, serta mengobati penyakit
terutama untuk penyakit kronis dan generative (Katno, 2008)

Seiring dengan banyaknya penggunaan jamu oleh masyarakat di Indonesia, rupanya


belum seutuhnya dapat diterima oleh para dokter maupun dokter spesialis. Hal ini
dikarenakan belum adanya bukti ilmiah / evidence based pada jamu (Purwaningsih,
2013)Faktor inilah yang mendorong terbentuknya program Saintifikasi Jamu oleh
kementerian kesehatan melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
(Balitbangkes). Saintifikasi Jamu akan memberikan landasan ilmiah (evidence based)
penggunaan jamu secara empiris melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan, serta
dapat meningkatkan penyediaan jamu yang lebih aman serta memiliki khasiat yang telah
teruji secara ilmiah (PERMENKES, 2010)

Program yang dikenal dengan “saintifikasi jamu” yang merupakan terobosan untuk
mengangkat jamu menjadi produk berbukti ilmiah dan diharapkan dapat digunakan dalam
fasilitas pelayanan kesehatan, sedangkan produk dari kumpulan ramuan jamu yang
diperoleh dari studi klinik yang telah dilakukan oleh rumah riset jamu dinamakan jamu
saintifik, artinya jamu empirik yang telah tersaintifikasi, setelah menjadi jamu saintifik maka
2

dapat dimanfaatkan oleh dokter atau tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan
primer. Program saintifikasi jamu hanya dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan
yang telah mendapatkan izin atau memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Salah
satunya dilakukan di Klinik Saintifikasi Jamu Hortus Medicus di Balai Besar Penelitian
Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Tawangmangu. Badan
Litbang Kesehatan yang merupakan klinik jamu yang telah terakreditasi kedalam tipe A
yang dapat menyelenggarakan program saintifikasi jamu (Hartono & Kusumastuti, 2019)

Penyusunan makalah tentang saintifikasi jamu ini, diharapkan akan memberikan


pengetahuan bagi mahasiswa profesi apoteker sebagai calon pelaku pelayanan kesehatan
jamu dan penelitian jamu, sehingga kedepannya akan dapat menghasilkan jamu serta
meningkatkan kualitas jamu yang berkhasiat dan aman bagi masyarakat di Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah dan perkembangan jamu dan B2P2TOOT?
2. Apa saja produk saintifikasi jamu di B2P2TOOT?
3. Apa saja ketentuan umum dan peraturan perundang-undangan terkait
saintifikasi jamu?
4. Bagaimana peran apoteker dalam saintifikasi jamu?
5. Bagaimana metode penelitian saintifikasi jamu?
6. Apa saja pustaka rujukan pada saintifikasi jamu?
7. Bagaimana model standar klinik dan apotek saintifikasi jamu?
8. Bagaimana strategi pendirian klinik dan apotek saintifiaksi jamu?

1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan jamu dan B2P2TOOT.
2. Untuk mengetahui produk saintifikasi jamu di B2P2TOOT.
3. Untuk mengetahui ketentuan umum dan peraturan perundang-undangan
terkait saintifikasi jamu.
4. Untuk mengetahui peran apoteker dalam saintifikasi jamu.
5. Untuk mengetahui metode penelitian saintifikasi jamu.
6. Untuk mengetahui pustaka rujukan pada saintifikasi jamu.
7. Untuk mengetahui model standar klinik dan apotek saintifikasi jamu.
3

8. Untuk mengetahui strategi pendirian klinik dan apotek saintifiaksi jamu


BAB 2. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN

2 Sejarah dan Perkembangan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan
Obat Tradisional (B2P2TOOT)
B2P2TOOT merupakan salah satu badan yang dibawahi oleh Kementerian
Kesehatan yang perkembangannya bisa terlihat jelas pada saat ini. Kiprah badan tersebut
sudah banyak memberikan manfaat khususnya dalam pemanfaatan obat tradisional di
Indonesia. Dari B2P2TOOT ini, diharapkan dapat mencapai tujuan untuk terus
membudayakan dan mengembangkan tanaman obat dan obat tradisional dalam
mendukung pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang optimal (KEMENKES RI, 2016)

Sejarah awal bermulanya pembentukan badan resmi tersebut adalah berawal dari
Kebun Koleksi Tanaman Obat yang dibentuk oleh R.M Santoso Soerjokoesoemo sebagai
bentuk kecintaannya terhadap warisan nenek moyang tentang pengobatan tradisional. Dari
kegigihan dan usaha kerasnya, kebun rintisannya tersebut mulai dilirik oleh pemerintah.
Sehingga pada bulan April tahun 1948, Kebun Koleksi Tanaman Obat mulai dikelola
pemerintah di bawah Lembaga Eijkman dan diberi nama “Hortus Medicus Tawangmangu”
(KEMENKES RI, 2016)
5

Gambar 1 Hortus Medicus (KEMENKES RI, 2016)

Setelah pengelolaan oleh pemerintah, Kebun Koleksi Tanaman Obat terus


berkembang hingga bertransformasi menjadi Balai Penelitian Tanaman Obat (BPTO).
Transformasi tersebut diusulkan oleh Kepmenkes No.149 tahun 1978 pada tanggal 28 April
1987. BPTO ini dibentuk sebagai Unit Pelaksana Teknis di Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan. dari bentukan tersebut, diharapkan
dapat menjadi pemberi semangat bagi para peneliti lain untuk terus mengembangkan
potensi-potensi dari tanaman obat yang ada di Indonesia (KEMENKES RI, 2016)

Balai Penelitian Tanaman Obat (BPTO) bertransformasi kembali menjadi Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) pada tahun
2006. Perubahan tersebut dibentuk dengan dibentuknya Permenkes No. 491 tahun 2006
tanggal 17 Juli 2006. Dari perubahan tersebut semakin meningkatkan peran dan
tanggungjawab B2P2TOOT dalam pengembangan obat tradisional sehingga membantu
dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat (KEMENKES RI, 2016)
6

Perkembangan B2P2TOOT terus dilakukan hingga pada transformasi selanjutnya


dilandaskan pada Permenkes No. 003 tahun 2010 pada tanggal 4 Januari 2010 Tentang
Saintifikasi Jamu. Pada Peraturan tersebut, tugas dan fungsi B2P2TOOT lebih difokuskan
pada Saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan. Saintifikasi jamu
dilakukan mulai dari hulu ke hilir pembuatan jamu hingga sampai ke tangan masyarakat,
yaitu mulai dari riset etnofarmakologi tumbuhan obat dan Jamu, pelestarian, budidaya,
pascapanen, riset praklinik, riset klinik, teknologi, manajemen bahan Jamu, pelatihan iptek,
pelayanan iptek, dan diseminasi sampai dengan peningkatan kemandirian masyarakat
(Kemenkes RI, 2016).

3 Sejarah dan Perkembangan Program Saintifikasi Jamu


Jamu adalah obat tradisional berbahan alami warisan budaya yang telah diwariskan
secara turun temurun dari generasi ke generasi untuk kesehatan. Pengertian jamu dalam
Permenkes No.003/Menkes/Per/I/2010 adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari
bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat
diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Beberapa penelitan
menyebutkan bahwa, hampir 50% penduduk Indonesia mengkonsumsi jamu untuk
pengobatan secara mandiri. Sebagian besar masyarakat mengkonsumsi jamu karena
dipercaya memberikan andil yang cukup besar terhadap kesehatan baik untuk pencegahan
dan pengobatan terhadap suatu penyakit maupun dalam hal menjaga kebugaran,
kecantikan dan meningkatkan stamina tubuh. Namun pemanfaatan obat tradisional oleh
para profesional kesehatan dalam terapi pasien dinilai masih sangat minim. Kendala utama
minimnya pemanfaatan obat tradisional oleh profesional kesehatan disebabka karena
masih minimnya bukti ilmiah yang terkumpul tentang obat-obatan tersebut. Bukti empiris
atau pengalaman masyarakat dirasa kurang cukup kuat untuk menjadikan dokter dan
apoteker memberikan rekomendasi pemakaian jamu dalam pelayanan kesehatan yang
dilakukan (IAI, 2016)

Pada permasalahan minimnya bukti ilmiah tentang khasiat jamu, maka pada tahun
2010 Departemen Kesehatan Indonesia mengeluarkan Permenkes No. 3 Tahun 2010
mengenai Saintifikasi jamu. Saintifikasi jamu adalah pembuktian secara ilmiah jamu melalui
penelitian berbasis pelayanan kesehatan, tdak hanya berdasarkan pengalaman turun
menurun, namun khasiat jamu dibuktikan secara keilmuan melalui penelitian. Saintifikasi
7

jamu merupakan perkembangan tugas dan fungsi dari B2P2TOOT untuk lebih mengangkat
derajat obat-obatan tradisional terutama jamu pada pandangan seluruh kalangan
masyarakat. Dengan penelitian tersebut, diharapkan jamu yang merupakan warisan budaya
di Indonesia dapat terus dilestarikan dan dikembangkan sehingga aman dikonsumsi untuk
masyarakat Indonesia khususnya, dan secara umum pada kancah dunia (IAI, 2016)

Dari pengesahan PMK No. 3 Tahun 2010, banyak kegiatan dan program yang
dilaksanakan untuk mencapai tujuan dalam Saintifikasi jamu. Beberapa kegiatan yang
dilakukan adalah dengan memberikan pelatihan khusus pada dokter yang selanjutnya akan
dilatih menjadi dokter jamu. Hingga pada tahun 2012, telah terdididk 60 dokter yang
melakukan praktek pelayanan kesehatan dengan menggunakan jamu. Dokter-dokter
tersebut telah mendapatkan sertifikat dan juga ditempatkan di Faskes di berbagai daerah di
Indonesia (IAI, 2016)

Selain dukungan dari pemerintah, program Saintifikasi jamu ini juga didukung
penuh oleh organisasi-organisasi kesehatan lainnya salahsatunya oleh organisasi Apoteker.
Pada Kongres Ilmiah Internasional Apoteker Asia Pasific di Bali pada tahun 2012, program
menjadi satu topik yang dibahas dengan kongres yang bertema “Culture and Medicine”.
Dalam kongres tersebut dibahas mengenai bagaiman praktik farmasi dan posisi budaya
kesehatan tradisional tersebut memberikan kontribusi pada dunia kesehatan (IAI, 2016).

Peran para pelaksana saintifikasi jamu yang ada di B2P2TOOT dan diseluruh daerah
di Indoneisa, hingga saat ini sudah diperoleh 7 macam ramuan obat tradisional yang telah
tersaintifikasi. Ramuan-ramuan tersebut adalah antihipertensi, antihiperurisemia,
antidyspepsia, antihemorhoid, antiosteoarthritis, hepatoprotektor dan antihiperkolesterol
(B2PP2TOOT KEMENKES RI, 2016)
8
BAB 3. HASIL TERKINI SAINTIFIKASI JAMU

Produk saintifikasi jamu merupakan produk jamu yang sudah terbukti manfaat dan
khasiatnya melalui uji klinik. Jamu dan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian
berbasis pelayanan kesehatan harus sudah terdaftar dalam vademikum, atau merupakan
bahan yang ditetapkan oleh Komisi Nasional Saintifikasi Jamu (PERMENKES, SAINTIFIKASI
JAMU DALAM PENELITIAN BERBASIS, 2010).Bahan jamu yang digunakan dalam saintifikasi
jamu harus memenuhi beberapa persyaratan diantanranya aman berdasarkan uji
keamanan atau toksisitas, berkhasiat berdasarkan data empiris yang dibuktikan dengan uji
praklinis, serta berkualitas sesuai dengan pedoman yang berlaku secara nasional.
Persyaratan tersebut dapat dipenuhi dengan mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No.1109/Menkes/Per/IX/2007 mengenai penyelenggaraan pengobatan
komplementer alternatif di fasilitas kesehatan (PERMENKES RI, 2007)

Produk saintifikasi jamu yang dihasilkan oleh Penelitian dan Pengembangan


Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Tawangmangu, Jawa Tengah diolah sesuai
dengan cara pembuatan obat tradisional yang baik (CPOTB) sehingga menghasilkan
simplisia yang berkualitas dan terstandar. B2P2TOOT hanya menerima tanaman obat
sebagai bahan baku yang ditanam oleh para petani binaan dengan lokasi penaman di
sekitar wilayah B2P2TOOT. Tanaman obat tersebut akan diolah segera setelah bahan baku
ini datang. Setelah bahan baku mengalami serangkaian proses produksi akan menghasilkan
simplisia yang sudah kering. Simplisia-simplisia tersebut akan disimpan dan didistribusikan
ke klinik Hortus Medicus yang kemudian akan diracik dan diserahkan pada pasien
(B2PP2TOOT KEMENKES RI, 2016)

Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT)


Tawangmangu, Jawa Tengah berhasil menemukan beberapa ramuan tanaman obat yang
terbukti secara ilmiah. Terdapat 7 (tujuh) macam obat tradisional yang tersaintifkasi yaitu
obat tradisional untuk hipertensi, hiperurisemia, dyspepsia, hemorhoid, osteoarthritis,
hepatoprotektor dan hiperkolesterol (B2PP2TOOT KEMENKES RI, 2016). Pada tahun 2013,
formula jamu yang dihasilkan yaitu formula jamu untuk hipertensi ringan, dan formula jamu
asam urat. Pada tahun 2014 dilakukan uji klinis formula jamu untuk penyakit hemoroid,
dispepsia, serta osteoartritis yang terselesaikan pada tahun 2015 dan diluncurkan oleh
Menteri Kesehatan sebagai produk saintifikasi jamu. Formula jamu yang telah dihasilkan
oleh B2P2TOOT dapat dilihat pada tabel 1.
9

Formulasi Jamu
Nama Tanaman Nama Latin Dosis
Saintifikasi
Hipertensi Ringan Herba seledri Apium graveolens
5 gram
Daun Kumis Kucing Orthosiphon stamineus
3 gram
Daun Pegagagn Centella asiatica
3 gram
Rimpang Temulawak Curcuma Xanthorrhiza
3 gram
Rimpang Kunyit Curcuma domestica
3 gram
Herba Meniran Phyllantus niruri
3 gram
Asam Urat Daun Tempuyung Sonchus arvensis
2 gram
Kayu Secang Caesalpinia sappan
5 gram
Daun kepel Stelechocarpus buraho
3 gram
Rimpang Temulawak Curcuma xanthorrhiza
3 gram
Rimpang Kunyit Curcuma domestica
3 gram
Herba Meniran Phyllantus niruri
3 gram
Dispepsia Rimpang Kunyit Cucurma domestica 7 gram
Rimpang Jahe Zingiber officinale 7 gram
Biji Jinten Hitam Nigella sativa 2 gram
Daun Sembung Blumea balsamifera 7 gram
Osteoatritis Rimpang Temulawak Curcuma xanthorrhiza 15 gram
Herba Meniran Phyllantus niruri 7 gram
Rimpang Kunyit Cucurma domestica 15 gram
Biji Adas Foeniculum vulgarae 3 gram
Daun Kumis Kucing Orthosipon aristatus 5 gram
Herba Rumput Bolong Equisetum debile 5 gram
Gangguan Fungsi Hati Daun Jombang Taraxacum officinale 12 gram
Rimpang Temulawak Curcuma xanthorrhiza 28 gram
Rimpang Kunyit Cucurma domestica 6 gram
Hypercholesterol Daun Jati Cina Alexandrina senna 1 gram
Daun Jati Belanda Guazuma ulmifolia 6 gram
Herba Tempuyung Sonchus arvensis 6 gram
Herba Teh Hijau Camellia sinensis 5 gram
Rimpang Temulawak Curcuma xanthorrhiza 5 gram
Rimpang Kunyit Cucurma domestica 4 gram
Herba Meniran Phyllantus niruri 3 gram
Hiperurisemia Daun Tempuyung Sonchus arvensis 6 gram
Kayu secang Caesalpinia sappan 15 gram
Daun kepel Stelechocarpus buraho 9 gram
Rimpang Temulawak Curcuma xanthorrhiza 9 gram
Rimpang kunyit Cucurma domestica 9 gram
Herba Meniran Phyllantus niruri 9 gram
Hepatoprotector Rimpang temulawak Curcuma xanthorrhiza 28 gram
Rimpang kunyit Cucurma domestica 12 gram
Daun jombang Taraxacum officinale 6 gram
Hemoroid Daun ungu Graptophyllum pictum 15 gram
Daun duduk Desmodium triquetrum 12 gram
10

Daun iler Plectranthus scutellarioides 9 gram


Rimpang temulawak Curcuma xanthorrhiza 3 gram
Rimpang kunyit Cucurma domestica 3 gram
Herba meniran Phyllantus niruri 3 gram
Table 1 Formula Jamu B2P2TOOT (B2PP2TOOT KEMENKES RI, 2016)
BAB 4. PERATURAN TERKAIT SANITIFIKASI JAMU

4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 003/Menkes/Per/I/2010 Tentang Saintifikasi Jamu


dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan
4.1.1 Bab I Ketentuan Umum
Pada bab ini dijelaskan mengenai istilah-istilah yang sering muncul dalam peraturan
menteri tersebut, meliputi pengertian saintifikasi jamu, jamu, obat tradisional, tenaga
kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, pengobatan komplementer-alternatif, imu
pengetahuan biomedik, sertifikat kompetensi, surat bukti tenaga pengobatan
komplementer-alternatif (SBR-TPKA), surat tugas tenaga pengobatan komplementer-
alternatif (ST-TPKA), dan surat izin tkerja tenaga pengobatan komplementer-alternatif (SIK-
TPKA) (PERMENKES, 2010)
4.1.2 Bab II Tujuan dan Ruang Lingkup
Tujuan dari pengaturan SJ antara lain untuk memberikan data evidence based
penggunaan jamu, membentuk jejaring antara tenaga kesehatan sebagai peneliti
penggunaan jamu, meningkatkan penelitian kualitatif terhadap pasien dengan penggunaan
jamu, dan meningkatkan penggunaan jamu yang aman, memiliki khasiat yang terbukti
secara ilmiah sehingga dapat digunakan untuk pengobatan mandiri maupun dalam fasilitas
pelayanan kesehatan. Ruang lingkup SJ meliputi upaya preventif, promotif, rehabilitatif, dan
paliatif (PERMENKES, 2010)
4.1.3 Bab III Penyelenggaraan
Jamu harus memenuhi beberapa kriteria antara lain aman, klaim khasiat
berdasarkan data empiris, dan memenuhi persyaratan mutu. Jamu dan/atau bahan yang
digunakan dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan sudah terdaftar dalam
vandemicum atau telah ditetapkan oleh Komisi Nasional SJ. SJ dalam penelitian berbasis
pelayanan kesehatan hanya dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang telah
mendapatkan izin atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Fasilitas pelayanan kesehatan tersebut dapat berupa klinik pada B2P2TOOT, Klinik
Jamu, Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (SP3T), Balai
Kesehatan Tradisional Masyarakat (BKTM)/ Loka Kesehatan Tradisional Masyarakat (LKTM),
aau rumah sakit yang ditetapkan. Fasilitas pelayanan kesehatan untuk SJ dibedakan
menjadi klinik jamu tipe A dan B (PERMENKES, 2010)
12

Table 2. Perbedaan Klinik Jamu Tipe A dan B

Aspek Klinik Jamu Tipe A Klinik Jamu Tipe B


Ketenagaan 1. Dokter sebagai penanggung 1. Dokter sebagai penanggung
jawab jawab
2. Asisten apoteker 2. Tenaga kesehatan
3. Tenaga kesehatan komplementer alternatif lainnya
komplementer alternatif lainnya sesuai kebutuhan
sesuai kebutuhan 3. Diploma (D3) pengobat
4. Diploma (D3) pengobat tradisional dan/atau pengobat
tradisional dan/atau pengobat tradisional ramuan yang
tradisional ramuan yang tergabung dalam Asosiasi
tergabung dalam Asosiasi Pengobat Tradisional yang diakui
Pengobat Tradisional yang diakui Departemen Kesehatan
Departemen Kesehatan 4. Tenaga administrasi
5. Tenaga administrasi
Sarana 1. Peralatan medis 1. Peralatan medis
2. Peralatan jamu 2. Peralatan jamu
3. Ruangan: 3. Ruangan:
✢ Ruang tunggu ✢ Ruang tunggu dan
✢ Ruang pendaftaran dan pendaftaran
rekam medis ✢ Ruang konsultasi,
✢ Ruang pemeriksaan/tindakan/
konsultasi/pelaksanaan penelitian dan rekam medis
penelitian ✢ Ruang peracikan jamu
✢ Ruang
pemeriksaan/tindakan
✢ Ruang peracikan jamu
✢ Ruang penyimpanan jamu
✢ Ruang diskusi
✢ Ruang laboratorium
sederhana
✢ Ruang apotek jamu

Klinik jamu harus memiliki izin dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kota setempat
yang berlaku selama 5 tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.
Dalam operasionalnya, klinik jamu harus memiliki kerja sama rujukan pasien dengan rumah
sakit yang memberikan pelayanan penelitian kompelementer-alternatif utnuk rujukan
pelayanan jamu, atau rumah sakit umum untuk rujukan pengobatan pasien. Dalam
menangani pasien SJ, dokter atau dokter gigi rumah sakit rujukan berdiskusi dengan dokter
13

atau dokter gigi klinik jamu yang merujuknya dan bila perlu dapat berkonsultasi pada
Komisi Daerah dan/atau Komisi Nasional SJ (PERMENKES, 2010)
Dokter, dokter gigi, dan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan jamu pada
fasilitas pelayanan kesehatan tersebut harus memiliki dokumen-dokumen berikut.
a. Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia untuk dokter atau dokter
gigi, Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) untuk apoteker dan surat izin/registrasi
dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi untuk tenaga kesehatan lainnya.
b. Surat izin praktik bagi dokter atau dokter gigi dan surat izin kerja/surat izin praktik dari
Dinas Kesehatan kabupaten/Kota setempat.
c. Surat bukti registrasi sebagai tenaga pengobat komplementer alternatif (SBR-TPKA) dari
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
d. Surat tugas sebagai tenaga pengobat komplementer alternatif (ST-TPKA/SIK-TPKA) dari
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
e. Khusus untuk tenaga pengobat tradisional harus memiliki surat terdaftar/surat izin
sebagai tenaga pengobat tradisional di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat
(PERMENKES, 2010)
Pasien yang mendapatkan terapi jamu sbegai bagian penelitian berbasis pelayanan
sebelumnya telah mendapatkan penjelasan lisan maupun tertulis dan menyetujui informed
consent. Tenaga kesehatan dan tenaga lainnya kemudian harus membuat rekam medis
sesuai pedoman pelayanan jamu di fasilitas kesehatan. Adapun tarif pelayanan saitifikasi
jamu ini harus murah dan terjangkau oleh masyarakat, yang hasilnya merupakan penadapat
negara bukan pajak (PERMENKES, 2010)
4.1.4 Bab IV Pembinaan dan Pengawasan
Pembinaan dan pengawasan SJ dilakukan oleh Menteri, Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan Komisi Nasional SJ. Adapun tugas
Komisi Nasional SJ antara lain sebagai berikut.
a. Membina pelaksanaan SJ.
b. Meningkatkan pelaksanaan penegakan etik penelitian jamu.
c. Menyusun pedoman nasional tentang pelaksanaan SJ.
d. Mengusulkan kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan bahan
jamu, khususnya segi budidaya, formulasi, distribusi dan mutu serta keamanan yang
layak digunakan untuk penelitian.
14

e. Melakukan koordinasi dengan peneliti, lembaga penelitian dan universitas serta


organisasi profesi dalam dan luar negeri, pemerintah maupun swasta di bidang
produksi jamu.
f. Membentuk jejaring dan membantu peneliti dokter atau dokter gigi dan tenaga
kesehatan lainnya yang melakukan praktik jamu dalam seluruh aspek kepenelitiannya.
g. Membentuk forum antar tenaga kesehatan dalam SJ.
h. Memberikan pertimbangan atas proses dan hasil penelitian yang aspek etik, hukum dan
metodologinya perlu ditinjau secara khusus kepada pihak yang memerlukannya.
i. Melakukan pendidikan berkelanjutan.
j. Mengevaluasi hasil penelitian berbasis pelayanan.
k. Mengusulkan kelayakan hasil penelitian menjadi program sinergi, integrasi dan rujukan
pelayanan jamu.
l. Membina Komisi Daerah SJ di provinsi atau kabupaten/kota.
m. Memberikan rekomendasi perbaikan dan berkelanjutan program SJ kepada Menteri.
n. Melaksanakan tugas-tugas lain dari Menteri (PERMENKES, 2010)
Untuk melakukan pembinaan dan peningkatkan SJ di daerah, dapat dibentuk Komisi
Daerah SJ yang memiliki peran sebagai berikut.
a. Melakukan pembinaan dalam pelaksanaa SJ di daerah.
b. Berkoordinasi dengan Komisi Nasional SJ.
c. Melakukan pendidikan berkelanjutan di Provinsi (PERMENKES, 2010)
Pelanggaran dalam ruang lingkup SJ dapat dikenakan tindakan administratif berupa
teguran lisan atau tertulis dan pencabutan izin/registrasi tenaga atau fasilitas (PERMENKES,
2010)
4.1.5 Ketentuan Peralihan
4.1.6 Ketentuan Penutup
5 Peraturan-peraturan Mengenai Pelayanan Kesehatan Tradisional
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan terdapat
beberapa pasal yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan secara tredisional. Pada
pasal 47 dan 48 menyatakan bahwa upaya kesehatan dapat dilakukan melalui beberapa
pendekatan antara lain promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan
melalui beberapa bentuk kegiatan, salah satunya adalah pelayanan kesehatan tradisional.
Pada pasal 108 menyatakan bahwa apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian dapat
meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
15

pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
Dapat terlihat bahwa obat tradisional juga merupakan tanggung jawab apoteker (UNDANG
UNDANG RI, 2009)

Pemerintah juga mendukung adanya pengobatan tradisional dengan mengeluarkan


beberapa peraturan. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1076/MENKES/SK/VII/2003 Tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional. Pengobatan
tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara, obat dan pengobatnya
yakni pengobat tradisional mengacu pada pengalaman, keterampilan turun temurun, atau
dapat juga berdasarkan pendidikan/pelatihan, yang diterapkan sesuai dengan norma yang
berlaku di masyarakat. Adapun pengobat tradisional dapat dibedakan menjadi beberapa
jenis antara lain pengobat tradisional ketrampilan, ramuan, pendekatan agam, dan
supranatural (KEPMENKES RI, Tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional, 2003) .
Selain itu, pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 121/MENKES/SK/II/2008 Tentang
Standar Pelayanan Medik Herbal menerangkan bahwa Pelayanan Medik Herbal sebagai
bagian dari pengobatan komplementer-alternatif merupakan salah satu upaya peningkatan
pelayanan kesehatan (MENKES, 2008)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2014 Tentang


Pelayanan Kesehatan Tradisional turut andil dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan
kesehatan tradisional di Indonesia. Pelayanan kesehatan tradisional dapat berupa
pelayanan kesehatan tradisional empiris, komplementer, dan integrasi yang ketiganya
dilaksanakan dalam satu sistem kesehatan tradisional. Adapun tujuan dari dikeluarkannya
peraturan pemerintah ini antara lain membangun sistem pelayanan kesehatan tradisional
yang bersinergi dengan pelayanan kesehatan konvensional; membangun sistem pelayanan
kesehatan tradisional komplementer yang bersinergi dan dapat berintegrasi dengan
pelayanan kesehatan konvensional di fasilitas pelayanan kesehatan; memberikan
pelindungan kepada masyarakat; meningkatkan mutu pelayanan kesehatan tradisional;
dan memberikan kepastian hukum bagi pengguna dan pemberi pelayanan kesehatan
tradisional (PP RI, 2014)

Pada tanggal 30 November 2020, Menteri Kesehatan Republik Indonesia baru saja
mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/MENKES/9848/2020 Tentang Komisi Nasional Saintifikasi Jamu. Keputusan
16

tersebut berisi susunan keanggotaan Komisi Nasional SJ yang diketuai oleh Dr. (C) Drs.
Budiman Gunawan, Apt., MARS (KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN RI, 2020)
BAB 5. PERAN APOTEKER DALAM SAINTIFIKASI JAMU

5 Peran Apoteker dalam Saintifikasi Jamu


Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal 1 Peraturan Pemerintah no
51 Tahun 2009 Syang menyatakan bahwa pekerjaan kefarmasian salah satunya meliputi
pengembangan obat tradisional maka apoteker memiliki peran penting dalam program
pengembangan jamu nusantara ini menjadi jamu saintifik. Dalam kegiatan saintifikasi jamu
seorang apoteker berperan memastikan kualitas bahan baku jamu mulai dari hulu hingga
hilir yaitu mulai dari budidaya tanaman obat hingga itu simplisia bahan baku jamu itu siap
diberikan kepada pasien. Selanjutnya apoteker juga berperan dalam memberikan
pelayanan farmasi klinis berupa pengajian resep dan dispensing sediaan jamu kepada
pasien. Berikut adalah rincian peran apoteker dalam kegiatan saintifikasi jamu (Suharmiati,
Handayani, Bahfen, & Kristiana, 2012)
1. Budidaya tanaman obat
Apoteker berperan menentukan tempat dan kondisi budidaya tanaman obat yang
paling tepat sehingga dapat dihasilkan senyawa identitas maupun senyawa aktif yang
paling optimal. Hal ini mengingat perbedaan tempat mapun kondisi tumbuh tanaman
obat akan memengaruhi profil senyawa fitokimia yang terkandung di dalamnya.
Apoteker berperan memastikan tanaman obat dipanen pada waktu yang tepat untuk
mendapatkan kandungan senyawa fitokimia yang optimal pada bahan simplisia.
Apoteker juga berperan memastikan simplisia bahan baku jamu tersebut dipanen
dengan cara yang tepat sehingga tidak merusak mutu fisik maupun kandungan fitokimia
di dalam simplisia tersebut (Suharmiati, Handayani, Bahfen, & Kristiana, 2012)
2. Penanganan Paska Panen
Apoteker berperan memastikan prosedur penanganan simplisia paska panen mulai dari
sortasi basah hingga pengeringan tidak merusak mutu fisik maupun kandungan
fitokimia yang terdapat dalam simplisia bahan baku jamu tersebut. Selanjutnya
apoteker juga berperan melakukan pengecekan kualitas bahan baku jamu tersebut
berdasarkan parameter yang ditetapkan dalam FHI (Farmakope Herbal Indonesia), MMI
(Materia Medika Indonesia), peraturan BPOM hingga pustaka lain maupun jurnal
penelitian yang terkait dengan tanaman tersebut. Parameter kualitas simplisa yang diuji
antara lain mikroskopis, makroskopis, uji angka lempeng total dan uji angka kapang
kamir, susut pengeringan dan kadar air, uji kadar abu total dan kadar abu tidak larut
asam, uji penetapan kadar senyawa identitas, uji kadar sari larut air dan alkohol.
18

Pengujian ini ditujukan untuk memastikan keamanan dan khasiat simplisia bahan baku
jamu. Jika simplisia bahan baku jamu yang datang bukan berasal dari budidaya maka
kontrol kualitas ini sangat penting untuk menghindari terjadinya adulterasi/pemalsuan
simplisia bahan baku jamu. Hal ini mengingat tanaman dalam satu spesies memiliki
beragam varietas dengan bentuk morfologi maupun kandungan fitokimia yang mirip
(Suharmiati, Handayani, Bahfen, & Kristiana, 2012)
3. Pengelolaaan bahan baku simplisia
Apoteker berperan melakukan pengendalian dan penyimpanan stok bahan baku jamu.
Apoteker berperan memastikan bahwa simplisia bahan baku jamu disimpan dalam
wadah yang tepat dan kondisi penyimpanan yang tepat agar tidak mudah rusak
maupun ditumbuhi jamur atau mikroba lainnya. Pengendalian persediaan simplisia
bahan baku jamu ini memanfaatkan prinsip FIFO (first in first out) yaitu simplisia yang
pertama kali datang akan digunakan terlebih dahulu (Suharmiati, Handayani, Bahfen, &
Kristiana, 2012)
4. Dispensing simplisia jamu kepada pasien
Dalam kegiatan dispensing ini, apoteker berperan melakukan pelayang farmasi klinis
mulai dari pengkajian resep hingga KIE (komunikasi dan edukasi) kepada pasien. Selain
itu, apoteker juga bisa berperan dalam penyusunan ramuan jamu saintifik baik melalui
pengumpulan data bukti empiris dari etnis tradisional seluruh wilayah di Indonesia
maupun berdasarkan hasil pengembangan dalam skala laboratorium. Selanjutnya,
apoteker juga berperan dalam proses uji klinis ramuan jamu saintifik tersebut melalui
penelitian berbasis pelayanan. Apoteker berperan memantau efektivitas hingga efek
samping yang mungkin muncul selama pelaksanaan uji klinis ramuan jamu saintifik pada
pasien (Suharmiati, Handayani, Bahfen, & Kristiana, 2012)
BAB 6. METODE PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SAINTIFIKASI JAMU

6 Metodologi Penelitian dan Pengembangan Saintifikasi Jamu


Berdasarkan Peraturan yang tertuang dalam PermenKes 003 tahun 2010 tentang
saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan, saintifikasi jamu merupakan
pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan. Dalam peraturan ini
dijelaskan bahwa pelayanan penelitian ilmiah ini dilakukan di instansi pelayanan
kesehatan berizin. Beberapa instansi pelayanan kesehatan tersebut diantaranya adalah
Klinik B2P2TOOT, Klinik Herbal, SP3T, BKTM dan Rumah Sakit Rujukan (PERMENKES, 2010)

Metode penelitian jamu adalah metode deskriptif (baseline data). Metode yang
digunakan terdiri dari beberapa penelitian, seperti penelitian etnologi dan
etnofarmakologi, penelitian epidemiologi (survey cross-sectional) dan penelitian
pelayanan kesehatan (penelitian pelayanan kesehatan). Cara ini dilakukan untuk
mendapatkan jenis tanaman, ramuan tradisional, dan manfaat ramuan tersebut yang
digunakan masyarakat secara turun temurun (Siswanto, 2012)

Tujuan Proyek Saintifikasi Jamu yaitu untuk memberikan bukti ilmiah tentang
manfaat dan keamanan obat herbal khususnya terkait dengan penggunaan obat herbal di
masyarakat. Telah diakui banyak orang secara turun-temurun menjaga kesehatan dan
mengobati penyakit, namun terkait khasiatnya dan keamanan yang diperoleh belum
didukung oleh bukti ilmiah yang terstruktur. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa
pengobatan tradisional, termasuk pengobatan herbal, menggunakan paradigma
naturalistik, yaitu memperlakukan pasien secara utuh (body-mind-spirit) dan berupaya
untuk sekaligus memperbaiki ketidakseimbangan tubuh, jiwa, jiwa, dan lingkungan.
Perkembangan jamu tentunya berbeda dengan penelitian dan pengembangan pengobatan
modern. Pada formula ramuan tradisional yang belum diketahui profil kemananannya
(bukan turun-temurun)maka tahapan uji klinik sebagaimana obat modern tetap harus
diberlakukan. Oleh karena itu, uji pre-klinik, uji klinik fase 1, uji klinik fase 2, dan uji klinik
fase 3. Pada uji pre klinik dan uji klinik fase 1, uji untuk melihat profil farmakokinetik
(ADME) tidak perlu dilakukan. Hal ini dikarenakan ramuan jamu berisi banyak zat kimia
(bisa ratusan) sehingga tidak mungkin untuk melacak absorbsi, distribusi, metabolisme,
dan ekskresi semua komponen zat kimia tersebut dalam tubuh hewan coba maupun
tubuh manusia. Pada formula turun temurun hanya menggunakan uji klinis fase 2 dan uji
klinis fase 3,Karena Telah banyaknya bukti empiris (RISKESDAS, 2018).
20

7 Tahapan Metodologi Penelitian dan Pengembangan Saintifikasi Jamu


8 Metode Deskriptif (baseline data)
a. Studi etnomedisinal dan etnofarmakologi

Tahap permulaan penelitian dalam saintifikasi jamu adalah melakukan studi


etnomedisinal dan etnofarmakologi pada kelompok etnis masyarakat tertentu.

Gambar 2. Metodologi SaintifikasI Jamu

Sumber: (Siswanto, 2012)


Menurut (Bhasin, 2017) dan (Daval, 2009), Etnomedisinal secara ilmiah merupakan ilmu
yang mempelajari presepsi dan konsepsi masyarakat lokal dalam memahami kesehatan
atau studi yang mempelajari sistem medis etnis tradisional. Sementara, Menurut (Rizki,
2017) etnofarmakologi adalah studi yang menggunakan tumbuhan sebagai obat oleh orang-
orang yang masih mediami wilayah tertentu. Penelitian dalam tahap ini berupa (Marina,
2016):
1) inventarisasi pengobatan tradisional menggunakan jamu yang digunakan oleh etnis
tertentu di Indonesia.
21

2) eksplorasi dan inventarisasi manfaat pengobatan dengan jamu yang digunakan oleh
pengobat tradisional di Indonesia.
b. Studi epidemiologi

Epidemiologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang distribusi dan determinasi


penyakit, serta upaya pengendalian penyakit tersebut. Contohnya, pada tahun 2018,
Riskesdas telah melakukan survei secara nasional tentang proporsi pemanfaatan upaya
kesehatan tradisional di Indonesia. Hal ini penting untuk memperoleh data dasar (baseline
data) tentang penggunaan jamu pada tiap provinsi di Indonesia (RISKESDAS, 2018).

c. Studi pelayanan kesehatan

Studi pelayanan kesehatan merupakan kajian tentang sistem pelayanan kesehatan


yang berkaitan dengan efisiensi dan efektivitas sistem kesehatan dan merupakan bagian
dari proses pembangunan sosial ekonomi untuk meningkatkan kualitas kesehatan
masyarakat. Penelitian pelayanan medis hanya dapat dilakukan di institusi medis yang telah
memiliki izin atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(PERMENKES, SAINTIFIKASI JAMU DALAM PENELITIAN BERBASIS, 2010). Menurut
(B2PP2TOOT KEMENKES RI, 2016), penyelenggaraan penelitian ilmiah herbal berbasis
pelayanan kesehatan terbagi menjadi empat aspek yaitu:
1) Fasilitas pelayanan kesehatan kegiatan saintifikasi jamu
Kegiatan saintifikasi jamu menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dan
swasta. Fungsi fasilitas pelayanan kesehatan dalam mengembangkan kegiatan tersebut,
antara lain:
a) Penelitian berbasis pelayanan dengan menggunakan jamu yang telah memiliki bukti
empiris dan/atau jamu ayng terdaftar/teregistrasi.
b) Fungsi rujukan mendukung program pemerintah di bidang kesehatan melalui penelitian
berbasis pelayanan menggunakan jamu baik secara regional maupun nasional.
c) Pelaksanaan dan pengembangan jaringan informasi dan dokumentasi pelayanan jamu.
d) Pelaporan hasil kegiatan secara berkala kepada Komisi Saintifikasi Jamu Nasional.
2) Sarana/prasarana/peralatan fasilitas pelayanan kesehatan
Dalam melaksanakan penelitian berbasis pelayanan dalam rangka Saintifikasi jamu,
sarana pelayanan kesehatan harus memiliki sarana, prasarana dan peralatan yang aman
dan akurat, serta memiliki standar operasional prosedur sesuai dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 2 Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
22

tentang Pengudusan Jamu Dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan tanggal 3 Maret
2010. Nomor 121 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Kesehatan Herbal, yang antara
lain:
a) Ruang untuk penerimaan calon subjek, melaksanakan proses tanya jawab untuk
mendapatkan persetujuan calon subjek dan konsultasi setiap kali kunjungan.
b) Tempat penyimpanan dokumen penelitian, dokumen subjek, dokumen monitoring, hasil
uji laboratorium, kode bahan uji dan laporan.
c) Ruang untuk penyimpanan bahan uji dan pembanding dan Peralatan penunjang
kegiatan penelitian pelayanan jamu serta peralatan medik untuk mengatasi konsisi
darurat.
d) Memiliki fasilitas pelayanan kesehatan rujukan jika terjadi kejadian yang tidak diinginkan
(KTD) serta sarana pendukung fisik.
3) Pelaksana penelitian jamu berbasis pelayanan
Pelaksana utama saintifikasi jamu di fasilitas pelayanan kesehatan adalah Dokter
Saintifikasi Jamu (DSJ) yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi (STR), Surat Ijin Praktik
(SIP), dan Sertifikat Saintifikasi Jamu sesuai persyaratan. Dalam menjalankan tugas, DSJ
dapat melakukan:
a) Penelitian jamu berbasis pelayanan kesehatan secara mandiri.
b) Pelaporan rekan medis ke Pusat Registrasi Jamu melalui situs web Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan atau Sistem Jamu Elektronik
Penelitian berbasis Pelayanan (SIJAE LILA).
4) Rujukan
Rujukan pelayanan kesehatan pada saintifikasi jamu mempunyai sistem
penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pengalihan tugas dan tanggung
jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik, baik secara vertikal maupun horizontal,
yang harus dilaksanakan atas dasar kompetensi, kewenangan dan kemampuan yang ada
sesuai dengan peraturan yang berlaku
8.1.1 Uji Keamanan dan Kemanfaatan
a. Praklinis

Meliputi uji toksisitas yang dilakukan baik secara in vitro dan in vivo pada hewan
coba untuk melihat toksisitas dan efek farmakodinamik dari formula jamu. Hal ini
dikarenakan ramuan jamu berisi banyak zat kimia (bisa ratusan) sehingga tidak mungkin
untuk melacak absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi semua komponen zat kimia
23

tersebut dalam tubuh hewan coba maupun tubuh manusia (Siswanto, Saintifikasi Jamu
sebagai Upaya Terobosan untuk Mendapatkan Bukti Ilmiah tentang Manfaat dan
Keamanan Jamu, 2012)

b. Uji klinis fase 1

Meliputi uji keamanan dan kemampuan toleransi ramuan jamu. Dilakukan pada
orang sehat, untuk farmakodinamik dan keamanan. Pada fase ini tidak dilakukan uji profil
farmakokinetik (absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi). Hal ini dikarenakan
ramuan jamu berisi banyak zat kimia (bisa ratusan) sehingga tidak mungkin untuk melacak
absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi semua komponen zat kimia tersebut dalam
tubuh hewan coba maupun tubuh manusia (Siswanto, 2012)

c. Uji klinis fase 2

Komisi Nasional saintifkasi jamu sepakat bahwa pada uji klinis fase 2 untuk melihat
khasiat dan keamanan awal cukup menggunakan desain pre post test (tanpa pembanding).
Uji klinis fase 2 berfokus pada hubungan efek-dosis, frekuensi pemberian jamu, dan
karakteristik manfaat dan keamanan. Berdasarkan data hasil kajian etnomedisinal dan
etnofarmakologi pada awal penelitian saintifikasi jamu perlu dikaji oleh ahli farmakologi
herbal untuk skrining guna mengetahui jenis tanaman dan jenis ramuan yang berpotensi
untuk uji manfaat dan keamanan. Untuk formula yang sudah turun temurun dan terbukti
aman dapat langsung ke uji klinis fase 2. Pada uji ini harus mendapatkan dosis yang tepat,
khasiat awal, dan keamanan dalam suatu populasi terbatas pada kondisi tertentu, penyakit
yang akan disembuhkan. , tidak ada komorbiditas atau kondisi lain yang harus dicegah
(Siswanto, 2012)

d. Uji klinis fase 3

Uji klinik fase 3 dilakukan untuk melihat efektivitas dan keamanannya pada sampel
yang lebih besar, pada target populasi yang sebenarnya. Desain uji klinik fase 3 Jamu ini
sebaiknya menggunakan randomized trial meski tanpa ketersamaran (open label
randomized trial). Sebagai pembanding (kontrol) bisa menggunakan obat standar bila
Jamu dipakai sebagai terapi alternatif, atau Jamu on-top (sebagai terapi tambahan) pada
obat standar, bila Jamu dipakai sebagai terapi komplementer. Hasil akhir uji klinik
24

Saintifikasi Jamu adalah Jamu Saintifik, yang menunjukkan bahwa Jamu uji mempunyai
nilai manfaat dan terbukti aman. Apabila perusahaan farmasi akan mengembangkan Jamu
Saintifik menjadi produk fitofarmaka, maka perusahaan farmasi berkewajiban untuk
mengikuti tahapan pengembangan fitofarmaka sesuai dengan peraturan yang berlaku
(Siswanto, 2012)

Untuk formula jamu baru (tidak turun temurun) tahapan pengujian keamanan dan
kegunaan yang dilakukan sama dengan uji keamanan pada pengobatan modern yaitu uji
praklinis, uji klinis fase 1, uji klinis fase 2, dan uji klinis fase 3. Profil farmakokinetik jamu
tidak perlu dilakukan, baik uji praklinis maupun uji klinis fase 1. tubuh hewan dan tubuh
manusia. Jika uji klinis fase 3 menunjukkan efektivitas yang memadai dan aman, formula
tersebut dapat digunakan di layanan kesehatan formal (Siswanto, 2012)

9 Tatalaksana Penelitian dan Pengembangan Saintifikasi Jamu


Pengelolaan penelitian saintifikasi jamu dimulai dari pendaftaran pasien dengan
mengisi formulir pendaftaran dan melampirkan fotokopi KTP. Setelah itu, pasien mendapat
kartu pasien dan rekaman medis. Pasien menjadi subjek penelitian setelah mereka
menandatangani informed consent dan request consent. Lembar informed consent berisi
tentang persetujuan pasien untuk menjalani pengobatan dengan obat tradisional atau
herbal atas kemauannya sendiri tanpa paksaan setelah memperoleh informasi yang jelas
secara lisan maupun tertulis mengenai risiko yang mungkin terjadi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sedangkan formulir persetujuan (request consent)
berisi persetujuan pasien sesuka hati dirinya tanpa paksaan dari siapapun yang meminta
pengobatan dengan jamu (PERMENKES, 2010)

Petugas kesehatan atau tenaga kesehatan lain yang melakukan penelitian


berdasarkan pelayanan jamu kepada pasien harus mencatat di rekam medis tersendiri
sesuai dengan pedoman pelayanan jamu di fasilitas kesehatan. Pasien dapat dikeluarkan
dari subjek penelitian (eksklusi) jika selama perawatan pasien mengalami efek samping
yang serius atau pasien mengalami komplikasi di luar penyakit yang diteliti. Kegiatan
penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data rekam medis. Kegiatan penelitian dan
pemberian izin etik penelitian jamu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (PERMENKES, 2010)
25

Gambar 3. Alur Penelitian Saintifikasi Jamu (Marina, 2016)

.
BAB 7. PUSTAKA RUJUKAN DALAM PENELITIAN DAN PELAYANAN JAMU SAINTIFIK

Penggunaan obat bersumber dari alam di Indonesia merupakan bagian dari budaya
pemeliharaan kesehatan dan sudah dimanfaatkan masyarakat berabad – abad lalu. Hal
ini terbukti dengan ditemukannya beberapa gambar penggunaan obat tradisional dari
masyarakat pada relief di Candi Borobudur. Obat tradisional ini di Indonesia berdasarkan
ijin edarnya digolongkan menjadi Fitofarmaka, Obat Herbal Terbatas (OHT) dan Jamu.
Fitofarmaka merupakan sediaan yang dapat digunakan untuk pelayanan kesehatan di
fasilitas Kesehatan karena telah memiliki bukti ilmiah yaitu uji klinik (Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, 2017).
Perkembangan pelayanan kesehatan tradisional dengan menggunakan fitofarmaka
ataupun menggunakan obat tradisional kini semakin pesat, terbukti dari hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 bahwa persentasi penduduk Indonesia yang pernah
mengonsumsi jamu sebanyak 59,12 % yang terdapat pada kelompok umur di atas 15
tahun, baik laki-laki maupun perempuan, di pedesaan maupun di perkotaan, dan 95,60 %
merasakan manfaatnya. Untuk berupaya agar penggunaan jamu yang rasional semakin
meningkat maka dilakukan berbagai riset penelitian studi klinik (Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia, 2017).
Studi klinik ini ditujukan untuk memberikan bukti ilmiah manfaat jamu empiric.
Beberapa studi klinik tekait pelayanan Jamu saintifik ini memerlukan beberapa pustaka
yang digunakan. Penggunaan pustaka ini digunakan untuk sebagai dasar keamanan,
mutu dan manfaat jamu tidak terlepas dari bahan baku yang digunakan dalam
pembuatan jamu. Beberapa pustaka tersebut adalah Vademekum Tanaman Obat,
Materia Medika Indonesia dan Farmakope Herbal Indonesia (Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia, 2008).
7 Vademakum Tanaman Obat
Buku Vademekum tanaman obat ini disusun sebagai pelaksanaan amanat
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 003/2010 tentang saintifikasi jamu
melalui penelitian berbasis pelayanan (buku vademekum jilid 3). Vademekum tanaman
obat terdiri dari beberapa jilid, yaitu:

Jilid I: diterbitkan pada tahun 2010

Jilid II: diterbitkan pada tahun 2011

Jilid III: diterbitkan pada tahun 2012


27

Jilid IV: diterbitkan pada tahun 2013

Jilid V: diterbitkan pada tahun 2014

Buku Vademekum berisi pedoman teknis pemanfaatan obat yang memuat


informasi tentang identitas botani, perseberan, budidaya dan pasca panen, serta aspek
keamanan dan kemanfaatan bahan jamu. Dalam buku ini, Setiap tanaman dijelaskan
terkait nama daerah, nama asing, pertelaan, keanekaragaman, ekologi dan penyebaran,
budidaya, bagian tanaman yang digunakan, kandungan kimia, penggunaan, efek
farmakologi, indikasi, kontraindikasi, peringatan, efek yang tidak diinginkan, interaksi,
toksisitas, peringatan, contoh formula terkait penyakitnya, dan bahan tambahan
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
8 Materia Medika Indonesia

Materia Medika Indonesia merupakan buku yang diterbitkan oleh Departemen


Kesehatan Republik Indonesia yang berisikan monografi dan berbagai persyaratan dalam
pembuatan obat tradisional. Pada buku ini mencakup nama simplisia, pemerian, syarat
baku, uraian mikroskopik, dan beberapa proses penelitian, seperti reaksi warna, kadar
abu, kadar sari, dan lain sebagainya pada reaksi identifikasi tanaman. Materia Medika
Indonesia (MMI) merupakan buku yang memuat persyaratan resmi dan foto berwarna
simplisia yang banyak dipakai oleh perusahaan obat tradisional. Buku MMI memiliki 6
jilid yang telah diterbitkan di Indonesia yaitu:

Jilid I: diterbitkan pada tahun 1977

Jilid II: diterbitkan pada tahun 1978

Jilid III: diterbitkan pada tahun 1979

Jilid IV: diterbitkan pada tahun 1980

MMI berisi monografi yang mencakup nama simplisia, pemerian, makroskopis,


mikroskopis, identifikasi (gambar penampang melintang simplisia dan gambar serbuk),
kadar abu, kadar abu yang tidak larut dalam asam, kadar sari yang larut dalam air, kadar
sari yang larut dalam etanol, penyimpanan, isi, penggunaan dan nama daerah
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 1995).
9 Farmakope Herbal Indonesia
28

Farmakope Herbal Indonesia adalah buku standar di bidang Farmasi terkait


simplisia dan ekstrak dari tumbuhan atau bahan alam lainnya. Buku ini terdiri informasi
terkait simplisia dan ekstrak tumbuhan atau bahan alam lain, metode analisis, prosedur dan
instrument, bahan buku pembanding, sediaan umum, ketentuan umum, lampiran –
lampiran dan penetapan standar yang berkaitan standarisasi herbal di bidang farmasi
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2008).

Buku Farmakope Indonesia Herbal yang diterbitkan di Indonesia yaitu : Farmakope


Herbal Indonesia (FHI) edisi I tahun 2008, Suplemen 1 FHI edisi 1 tahun 2010, Suplemen 2
FHI edisi 1 tahun 2011 dan Suplemen 3 FHI edisi 1 tahun 2013

Setiap monografi dari FHI berisikan informasi terkait identitas simplisia yang terdiri
dari pemerian, gambar simplisia, mikroskopis, gambar fragmen serbuk, senyawa identitas,
pola kromatografi, persyaratan (susut pengeringan, abu total, abu tidak larut asam, sisa
larut air, sisa larut etanol), kandugan kimia simplisia. FHI juga berisikian informasi terkait
bentuk ekstraknya, pembuatan ekstrak, persyaratan rendemen, identitas ekstrak, dan
beberapa persyaratan ekstrak (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2008).
BAB 8. MODEL STANDAR KLINIK DAN GRIYA JAMU

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun


2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan menjelaskan
bahwa fasilitas kesehatan seperti klinik jamu merupakan tempat praktik bagi perorangan
maupun kelompok dari dokter atau dokter gigi.

8 Klinik Saintifikasi Jamu


Klinik jamu memiliki dua tipe yaitu A dan B sesuai dengan Peraturan Menteri
Kesehatan RI nomor 3 tahun 2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis
Pelayanan Kesehatan. Kedua tipe klinik tersebut wajib memenuhi kriteria dan persyaratan
Ketenagaan dan Sarana yang diatur dalam PMK tersebut. Berikut merupakan persyaratan
dari Klinik Jamu tipe A :

a. Ketenagaan
1) Penanggung jawab klinik yaitu dokter
2) Asisten Apoteker.
3) Tenaga kesehatan yang bersifat komplementer alternatif lainnya berdasarkan
kebutuhan klinik
4) Tenaga dengan pendidikan Diploma (D3) pengobat tradisional dan/atau
pengobat tradisional ramuan yang tergabung dalam Asosiasi Pengobat
Tradisional yang diakui Departemen Kesehatan.
5) Tenaga administrasi.

b. Sarana
1) Alat-alat medis
2) Alat-alat jamu
3) Memiliki ruangan :
1. Ruang tunggu.
2. Ruang pendaftaran dan rekam medis (medical record).
3. Ruang konsultasi/pelaksanaan penelitian.
4. Ruang pemeriksaan/tindakan.
5. Ruang peracikan jamu.
6. Ruang penyimpanan jamu.
7. Ruang diskusi.
8. Ruang laboratorium sederhana.
30

9. Ruang apotek jamu

Berikut persyaratan yang harus dipenuhi oleh klinik jamu tipe B:

a. Ketenagaan:
1) Penanggung jawab klinik yaitu dokter
2) Tenaga kesehatan yang bersifat komplementer alternatif lainnya berdasarkan
kebutuhan klinik
3) Tenaga dengan pendidikan Diploma (D3) pengobat tradisional dan/atau
pengobat tradisional ramuan yang tergabung dalam Asosiasi Pengobat
Tradisional yang diakui Departemen Kesehatan.
4) Tenaga administrasi.

b. Sarana yang meliputi:


1) Alat-alat medis.
2) Alat-alat jamu.
3) Memiliki ruangan :
1. Ruang tunggu administrasi.
2. Ruang pendukung lain seperti konsultasi, pemeriksaan, penelitian dan rekam
medis (medical record).
3. Ruang peracikan jamu.
Klinik Saintifikasi Jamu di Indonesia yaitu “Hortus Medicus” merupakan klinik jamu
yang berhasil meraih golonganTipe A. Terbentuknya klinik ini merupakan bentuk
perwujudan dari Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 003/Menkes/Per/I/2010
tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan untuk
menjamin jamu aman, bermutu dan berkhasiat. Klinik “Hortus Medicus” dibangun pada
tahun 2007, dan menempati gedung baru sebagai rintisan Rumah Riset Jamu “Hortus
Medicus” sebagai tempat uji klinik dilengkapi dengan rawat inap pada tanggal 30 April
2012. Pelayanan kesehatan berbasis herbal dilakukan oleh klinik jamu ini sejumlah rata-
rata 2.600 pasien yang melakukan kunjungan selama tahun 2015. Pada sektor
ketenagakerjaanya, SDM pendukung RRJ “Hortus Medicus” terdiri dari 8 dokter, 3 orang
apoteker, 9 orang dari D3 Farmasi, 5 orang perawat, 2 orang Analis Kesehatan (Laboran),
3 orang petugas medical record dan 1 orang Ahli Gizi. RRJ “ Hortus Medicus” telah
menerapkan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 (Kementerian Kesehatan Republik
31

Indonesia, 2016).
9 Griya Jamu

Pelayanan klinik terdiri dari pemeriksaan, tindakan, hingga penyedia jamu. Griya
jamu merupakan bentuk pelayanan klinik yang bertindak sebagai penyedia jamu baik
berupa kapsul maupun rebusan. Jamu yang digunakan berupa racikan simplisia, serbuk
dan juga ekstrak tanaman obat yang telah diteliti keamanan, mutu dan khasiat melalui
riset praklinik dan riset klinik. Pada griya jamu juga dilakukan kontrol kualitas yang
merujuk pada acuan yaitu Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008. Pelayanan klinik yang
diberikan tidak hanya pemeriksaan pasien saja namun, juga melayani permintaan dari
dokter jejaring Saintifikasi Jamu (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016).

10 Pengolahan Tanaman Obat Saintifikasi Jamu

A. Penanganan Panen Tanaman Obat

Bahan baku jamu bersumber dari hasil budidaya dan sebagian besar masih berasal
dari tanaman non budidaya (liar) merupakan bentuk dari produk tanaman obat.
Tanaman obat yang berasal dari alam dapat dikembangkan sehingga dapat dipanen
secara berkelanjutan. Berkelanjutan sendiri merupakan prinsip manajemen pemanfaatan
sumber daya alam secara optimal dengan mempertimbangkan kebutuhan sekarang dan
yang akan datang. Sistem ini harus mempertimbangkan kondisi populasi tanaman di alam
,umur tanaman, bahan yang akan dipanen, interval waktu panen, teknik panen, alat
panen dan pengumpulan bahan(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015).

1) Waktu Panen

Waktu yang tepat tergantung dari tiap tanaman obat yang dapat dipanen jika
terdapat kadar kandungan senyawa aktif, kondisi iklim untuk menghindari
fermentasi, bagian tanaman yang akan dipanen, pembusukan bahan, dan
pertumbuhan jamur.

2) Bahan yang Dipanen

Pemberian identitas tanaman pada bahan yang dipanen harus jelas agar tidak
tercampur dengan tanaman lain yang tidak diinginkan. Pemilihan tanaman yang
sudah layak di panen yaitu dipilih yang utuh dan sehat. Sedangkan kondisi
dimana tanaman yang terinfeksi jamur atau serangga tidak dipanen karena
produk organisme tersebut dapat mengubah profil kandungan kimia bahan
32

bahkan menghasilkan racun.

3) Teknik Panen

Teknik panen bahan simplisia nabati tergantung dari bag ian tanaman yang
dipanen, dirinci sebagai berikut:

a. Kulit batang (cortex) pada batang utama atau cabang, mengkelupas kulit
batang dengan ukuran panjang dan lebar tertentu. Alat pengkelupas kulit
batang sebaiknya menggunakan bahan non logam jika batang mengandung
minyak atsiri atau fenol. Contoh: Burmani cortex (k lit kayu manis).

b. Batang (caulis), memotong batang dari cabang tanaman sepanjang ± 50 cm.


Contoh: Tinospora eaulis (Batang brotowali).

c. Kayu (lignum): mengkelupas kulit kemudian memotongnya sepanjang ± 50


cm. Contoh: Sappan lignum (kayu secang).

d. Daun (folium): memilih daun yang memiliki kriteria tua namun belum
menguning, memetiknya secara manual (satu per satu menggunakan
tangan), Contoh: Blumea folium (daun sembung),

e. Bunga (flos): bagian yang di panen mulai dari kuneup bunga atau bunga yang
telah mekar atau mahkota bunga, kemudia memetiknya secara manual.
Contoh: Jasminum flos (bunga melati),

f. Pucuk

g. (shoot): bagian yang di panen mulai dari pucuk daun yang masih muda
beserta bunganya (tanaman yang berbunga) memetiknya dengan tangan,
Contoh: Timus folium (pucuk daun timi),

h. Akar (radix): bagian yang di panen mulai dari bagian batang di bawah tanah,
kemudian memotongnya sepanjang 5-10 cm dari pangkal batang agar
tanaman tidak mati. Contoh: Rouvolfia serpentina radix (akarpule pandak)

i. Rimpang (rhizoma): menggali atau mencabut dan membuang akarnya.


Contoh : Curcuma rhizoma (rimpang temulawak)

j. Buah (fructus): bagian yang di panen mulai dari buah yang tua namun hampir
masak atau telah masak, memetik dengan tangan atau gunting. Contoh:
Morinda fructus (mengkudu)

k. Biji (semen): bagian yang di panen mulai dari buah yang masak, mengupas
33

kulit buahnya, mengeluarkan bijinya. Contoh: Colae semen (biji kola)

l. Herba: memotong tanaman pada pangkal batang sepanjang 2-10 cm dan


dibersihkan dan kotoran yang menempel. Contoh: Stevia herba (stevia)

m. Umbi dan umbi lapis (bulbus): mencabut tanaman d, memisahkan umbi dari
daun dan akar kemudian membersihkannya. Contoh : Alium cepa bulbus
(bawang merah)

n. Kulit buah (pericarpium): memetik buah yang sudah masak dan mengupas
kulit buahnya kemudia membuang biji dan isi buah. Contoh: Graniti
pericarpium (kulit buah delima)

4) Alat-Alat Panen

Alat dan wadah untuk panen tanaman obat memiliki syarat bersih dan bebas dari
sisa tanaman yang dipanen sebelumnya agar tidak membuang cross
contaminant. Apabila wadah berbahana plastik harus memiliki sirkulasi udara
yang baik bertujuan untuk menjaga keelembaban di dalam wadah. Wadah yang
tidak digunakan harus dijaga agar tetap kering dan diletakkan dalam ruang yang
bersih, terhindar dari serangga, burung dan binatang lain.

B. Penanganan Pasca Panen Tanaman Obat

Pengelolaan pascapanen tanaman obat bertujuan untuk memproduksi simplisia


nabati, bahan baku jamu, dan jamu yang aman dan siap dikonsumsi oleh masyarakat
serta di distribusikan baik ke pelayanan kesehatan maupun ekspor. Kegiatan pasca panen
terdiri dari pengumpulan bahan, sortasi basah, pencucian, penirisan, pengubahan
bentuk, pengeringan, sortasi kering, pengemasan dan penyimpanan.

Bahan baku merupakan bahan utama atau mentah yang akan diproses menjadi
produk jadi atau setengah jadi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
Adapun proses pengadaan bahan baku sampai pada penyimpanan meliputi:

a. Pengumpulan bahan baku


Pengumpulan bahan baku dilakukan di etalase B2P2TOOT dimulai dari pengumpulan
hasil budidaya tanaman obat. Kegiatan ini di lakukan oleh petani binaan dan petani mitra
yang telah menjalin kontrak kerja sama dengan B2P2TOOT. Petani tersebut menanan
tanaman tertentu dan dipanen pada waktu yang ditentukan sesuai dengan prosedur yang
telah di lakukan oleh B2P2TOOT. Pengumpulan hasil panen dikumpulkan dengan cara
34

memisahkan bagian-bagian tanaman yang dipanen sesuai dengan kebutuhan. Setelah


pemanenan, memberikan identitas hasil panen seperti label agar tidak terjadi
pencampuram hasil panen antara satu tanaman dengan yang lain. Bahan baku dapat
diletakkan pada tempat transit room. Selanjutnya, melakukan pengecekan terkait standar
kualitas dan kuantitas terkait simplisia. Apabila simplisia yang diperoleh telah memenuhi
standar ditetapkan maka proses dapat dilanjutkan ke sortasi basah (Kementerian Pertanian
Republik Indonesia, 2011).

b. Sortasi basah
Sortasi merupakan kegiatan memisahkan hasil panen yang memenuhi standar atau
tidak serta dari bahan asing baik organik ataupun anorganik lainnya. Pada melakukan
proses secara hati-hati dan rinci untuk memghindari rusaknya bahan simplisia. Sortasi dapat
secara manual maupun menggunakan instrumen yang sesuai dengan sifat dan karakteristik
tanaman. Target proses sortasi basah yaitu memastikan bahan simplisia bersih dari kotoran
dan bahan asing kemudian jika di pastikan bersih dapat melanjutkan proses pascapanen
(Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2011).

Gambar 4. Sortasi Basah Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2011)

c. Pencucian
Pembersihan merupakan proses menghilangkan kotoran fisik, kimiawi dan biologis
dengan menggunakan metode dan instrumen yang sesuai dengan sifat dan karakteristik
hasil. Pembersihan bahan simplisa menggunakan teknik pencucian yang dapat langsung
dialiri air mengalir serta melakkan pencucian bertingkat dengan cara mencucinya dengan
air yang dilakukan secara berulang dengan air bersih. Setelah dilakukan pencucian sampai
35

bersih dapat dilanjut ke proses penirisan (Kementerian Pertanian Republik Indonesia,


2011).

Gambar 5. Pencucian (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

d. Penirisan
Setelah mencuci simplisia, dilanjutkan dengan proses penirisan. Penirisan merupakan
kegiatan untuk menghilangkan air yang menempel dipermukaan simplisia yang berasal dari
perendaman, pencelupan atau pencucian dengan menggunakan metode dan instrumen
yang sesuai dengan jenis dan spesifikasi simplisia. Penirisan dapat dilakukan dengan cara
membolak balikkan dari kedua sisi simplisia agar mempercepat proses penguapan. Kegiatan
ini dapat dilakukan ditempat teduh dengan aliran udara. Setelah air di permukaan simplisia
telah hilang maka simplisia telah siap untuk dilakukan perajangan (Kementerian Pertanian
Republik Indonesia, 2011).
36

Gambar 6. Penirisan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

e. Perajangan
Kegiatan paska panen selanjutnya yaitu emperkecil ukuran produk atau pengubahan
bentuk dengan menggunakan metode dan instrumen yang sesuai sifat dan
karakteristik simplisia atau sering disebut perajangan. Hasil perajangan tidak boleh
terlalu tebal karna kadar air di simplisia akan lama menguap sehingga dapat
mempercepat busuknya bahan. Apabila terlalu tipis, kandungan minyak atsiri dalam
simplisia dapat ikut menguap sehingga menurunkan standar kadar yang telah di

tentukan (Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2011).

Gambar 7. Perajangan atau Perubahan Bentuk (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,


2011).

f. Pengeringan
Kegiatan setelah penirisan yaitu pengeringan yang bertujuan untuk mengurangi atau
menghilangkan kadar air pada bahan simplisia. Pengeringan bertujuan untuk meminimalisir
kerusakan, meningkatkan mutu simplisia, menghentikan reaksi enzimatis, serta mencegah
pertumbuhan kapang, jamur, dan mikroba. Kriteria keterimaan pengeringan yaitu kadar air
simplisia tidak boleh lebih dari 10%. B2P2TOOT melakukan proses pengeringan dengan dua
metode yaitu sinar matahari langsung dan menggunakan oven. Pengeringan secara manual
dengan cara meangin-anginkan bahan simplisia menggunakan sinar matahari secara tidak
langsung. Penyinaran tidak langsung dapat dilakukan dengan menutupi memggunakan kain
hitam berpori besar kemudian melakukan pengadukan agar mendapatkan kering yang
37

biasanya juga ditempatkan pada bed dryer yang dibawahnya akan dialiri udara panas
sehingga lebih mempercepat pengeringan. Metode kedua yaitu melakukan pengeringan
menggunakan oven room yang biasanya digunakan untuk pengeringan daun-daun dan
cabinet room yang biasanya untuk pengeringan rimpang, kulit dan batang selama 2-3 hari

pada suhu 40- 50oC agar zat aktif tidak rusak (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2011).
Salah satu faktor penyebab kerusakan bahan baku simplisia yaitu tinggi nya
kandungan kadar air pada bahan simplisia. Tingginya kadar air dapat mengakibatkan
pertumbuhan mikroba pada bahan simplisia sehingga menurunkan standar mutu yang telah
ditentukann (Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2011).

Gambar 8. Pengeringan Menggunakan Sinar Matahari (Kementerian Kesehatan


Republik Indonesia, 2011).
38

Gambar 9. Pengeringan dengan Oven (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

g. Sortasi kering
Sortasi kering memiliki prinsip kerja yang sama dengan sortasi basah, namun
melakukannya setelah proses pengeringan dan sebelum pengemasan. Proses ini bertujuan
untuk memisahkan kotoran, bahan organik asing, pengotor fisik dan simplisia yang rusak
akibat proses penanganan sebelumnya serta melakukannya secara manual (Peraturan
Menteri Pertanian RI, 2013).

h. Pengemasan
Proses pengemasan dilakukan setelah bahan simplisia sudah bersih dan tidak ada bahan
lain yang menempel. Proses ini merupakan kegiatan membungkus produk dengan
menggunakan bahan pengemas tertentu untuk melindungi produk dari gangguan faktor
risiko yang mengakibatkan terganggunya proses penyimpanan. Pengemasan harus
dilakukan secara hati-hati agar tidak rusak. Bahan kemasan dapat berasal dari daun, kertas,
plastik, kayu, karton, kaleng, foil aluminium dan bambu. Pengemasan dapat menggunakan
instrumen dengan jenis dan spesifikasi sesuai sifat dan karakteristik produk. Bahan
kemasan tidak boleh menimbulkan kerusakan, pencemaran hasil panen yang dikemas dan
tidak membawa organisme pengganggu tumbuhan (OPT) . Setelah mengemas simplisia
dalam wadah tertutup baik. Hal tersebut bertujuan untuk melindungi simplisia dari
masuknya bahan padat dan mencegah kehilangan bahan selama penanganan,
39

pengangkutan, penyimpanan dan distribusi. Wadah diberi label sebagai identitas simplisia
yang meliputi nama, bagian tanaman yang digunakan, tanggal simpan, berat bahan, asal
bahan, dan kadar air (Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2011).
40

i. Penyimpanan
Proses penyimpanan bertujuan untuk menjaga dan melindungi mutu simplisia baik
kualitas fisik dan kestabilan kandungan senyawa aktif sehingga tetap memenuhi standar
mutu yang telah ditetapkan. Pada proses penyimpanan, terdapat beberapa risiko yang
dapat berpotensi kerusakan dan penurunan mutu pada simplisia seperti cahaya, oksidasi,
kelembapan, kontaminasi, serangga, dan tumbuhnya kapang. Penyimpanan simplisia di
B2P2TOOT menggunakan metode first in first out (FIFO). Metode ini menggunakan prinsip
yaitu simplisia yang digunakan merupakan simplisia yang lebih dulu di simpan. Selain itu,
penyimpanan di dalam gudang juga dipisahkan berdasarkan tanggal pengemasan yang
dapat dilihat melalui perbedaan warna pada masing- masing kemasan. Dalam
pelaksanaannya, penanganan hasil panen dari pengumpulan bahan baku hingga
penyimpanan di instalasi pascapanen telah sesuai cara pembuatan obat tradisional yang
baik (CPOTB) pascapanen dan MMI.
Pada proses penyimpanan, terdapat beberapa faktor dapat rusak dan turun kualitas
simplisia sebagai berikut.

1) Mutu simplisia dapat dipengaruhi oleh cahaya dan sinar dengan panjang
gelombang tertentu (misal terjadi proses isomerasi dan polimerasi).
2) Perubahan kimia simplisia dapat berubah karena proses reaksi kimiawi seperti
proses fermentasi, polimerisasi atau autooksidasi.
3) Penurunan kandungan zat aktif pada simplisia karna reaksi oksidasi dapat
disebakan oleh ada nya oksigen di udara
4) Simplisia dapat mengalami dehidrasi atau terjadi proses kehilangan air yang
disebut "shrinkage". Hal tersebut disebabkan oleh kelembaban di luar lebih
rendah dari pada di dalam simplisia
5) Simplisia yang bersifat higroskopis dapat menyerap air dari lingkungan sekitarnya
6) Kontaminasi, sumber kontaminan utama debu, pasir, kotoran bahan asing
(minyak tumpah, organ binatang/ manusia, fragmen wadah).
7) Serangga, dapat menimbulkan kerusakan dan pengotoran simplisia dalam bentuk
larva, imago dan sisa-sisa metamorfosisnya (kulit telur, kerangka yang telah usang
dll).
8) Kapang, jika kadar air simplisia masih tingg i akan mudah ditumbuhi kapang
(Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2011)
41

Gambar 10. Penyimpanan Simplisia (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

j. Distribusi
Distribusi merupakan upaya memindahkan produk dari tempat pengumpulan
sementara ke bangsal pascapanen dan selama proses di dalam bangsal pascapanen, serta
dari bangsal pascapanen ke konsumen (Peraturan Menteri Pertanian RI, 2013). Ketika ada
permintaan dari klinik dan apotek saintifikasi jamu maka simplisia yang ada di gudang
penyimpanan didistribusikan ke tempat tersebut, di klinik dan apotek itulah nantinya akan
dilakukan peracikan oleh apoteker sesuai dengan kebutuhan pasien (sesuai dengan
penyakit hasil pemeriksaan pasien pada dokter). Setelah resep diracik maka diserahkan
kepada pasien atau keluarga pasien.

k. Kontrol Kualitas
Parameter kontrol kualitas setiap tahapan pengelolaan pasca panen tanaman obat
sebagai berikut.

TAHAPAN TUJUAN PARAMETER


Sortasi Kebenaran bahan dan Mikroskopis /
eliminasi bahan oragnik makroskopis serta
asing presentasi bahan
organik asing
42

Pencucian Eliminasi cemaran fisik, Angka cemaran mikroba


mikroba dan pestisida dan residu pestisida
Perajangan Aspek keprakrisan dan Keseragaman bentuk
grading . dan ukuran
Pengeringan Pencapaian kadar air < Tingkat kekeringan
10% bahan dan kestabilan
kandungan kimia
Pengemasan Mencegah kontaminan Angka cemaran mikroba
Menjaga kestabilan % kadar air / susut
tingkat kekeringan pengeringan

Table 3. Parameter kontrol kualitas

11 Pelayanan Kefarmasian Saintifikasi Jamu


Berikut ini alur pelayanan pengobatan pada apotek dan klinik saintifikasi jamu
secara umum. Pasien datang dan mengambil nomor urut antrian lalu pasien akan
dibedakan menjadi pasien baru dan pasien lama. Pada pasien baru akan dibuatkan kartu
pasien dan berkas rekam medis, sedangkan pada pasien lama mengumpulkan kartu pasien.
Alur selanjutnya, pasien baru akan diminta untuk menandatangani informed consent dan
request consent. Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan
responden dengan memberikan lembar persetujuan. Tujuan informed consent adalah agar
pasien sebagai subjek penelitian mengerti maksud dan tujuan penelitian, serta mengetahui
dampaknya. Pada request consent merupakan permintaan aktif dari pasien untuk
memperoleh pengobatan dengan jamu di klinik saintifikasi jamu. Pasien baru dan pasien
lama akan membayar Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Alur selanjutnya pasien akan
dipanggil dan diberikan catatan medis untuk diserahkan ke dokter. Pasien masuk ke ruang
periksa, apabila dibutuhkan pasien dapat melakukan pemeriksaan penunjang lalu pasien
mendapatkan resep untuk ditukarkan dengan jamu sesuai dengan anamnesa dokter.

Pasien menyerahkan resep ke Griya jamu lalu apoteker di Griya Jamu


menginterpretasikan resep dokter sekaligus menentukan jenis simplisia yang sesuai.
Apoteker menyiapkan formula jamu yang sudah terstandarisasi sesuai dengan bentuk
sediaan yang diinginkan (racikan/rebusan/kapsul). Kemudian peracikan jamu akan
dilakukan oleh asisten apoteker. Jamu dikemas dan diberi etiket yang jelas agar dapat
dibaca. Pasien akan menerima jamu dan edukasi dari apoteker mengenai cara penggunaan
(merebus/aturan minum dan informasi lain terkait jamu). Pada klinik dan apotek saintifikasi
43

jamu pasien diberikan ramuan minimal untuk dua minggu sampai dengan satu bulan dan
pasien tidak diberikan copy resep. Pasien harus datang kembali untuk kontrol dan
mendapatkan kembali ramuan serta dimonitoring perkembangan terapinya (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2016).
BAB 9. STRATEGI PENDIRIAN KLINIK DAN GRIYA JAMU

9 Latar Belakang
Jamu telah menjadi bagian budaya dan kekayaan alam Indonesia dan hasil Riset
Kesehatan Dasar menunjukkan bahwa penggunaan jamu oleh masyarakat Indonesia lebih
dari 50%. Jamu merupakan bagian dari pengobatan tradisional. Pengobatan tradisional
telah berkembang secara luas di banyak negara dan semakin populer. Indonesia memiliki
kekayaan tanaman obat dan ramuan jamu dari berbagai suku yang tersebar di berbagai
wilayah indonesia mulai Sabang sampai Merauke. Jamu adalah warisan leluhur bangsa yang
telah dimanfaatkan secara turun temurun untuk pengobatan dan pemeliharaan kesehatan.
Riset menunjukkan bahwa 49,53% penduduk Indonesia menggunakan jamu baik untuk
menjaga kesehatan maupun untuk pengobatan karena sakit. Penduduk yang
mengkonsumsi jamu sebanyak 95,6% menyatakan merasakan manfaat minum jamu. Hasil
Riskesdas tahun 2010 juga menunjukkan bahwa dari masyarakat yang mengkonsumsi jamu,
55,3% mengkomsumsi jamu dalam bentuk cairan (infusum/decoct), sementara sisanya
(44,7%) mengkonsumsi jamu dalam bentuk serbuk, rajangan, dan pil/kapsul/tablet (Badan
Litbang Kesehatan, 2010).
Dalam UU No 36 tahun (2009) tentang Kesehatan, Pasal 48 dinyatakan bahwa
“pelayanan kesehatan tradisional merupakan bagian dari penyelenggaraan upaya
kesehatan”. Artinya, pengobatan tradisional (indigenous health system) diakui sebagai
bahagian dari sistem pelayanan kesehatan (health care system). Untuk itu, perlu
“sinkronisasi / harmonisasi” antara sistem pelayanan kesehatan formal dan sistem
pelayanan kesehatan tradisional. Pasal 101, disebutkan bahwa sumber obat tradisional
yang terbukti berkhasiat dan aman, harus dijaga kelestariannya. Dengan demikian, maka
pembuktian empiris terkait khasiat dan keamanan obat tradisional (jamu) menjadi hal
penting dalam menjadikan jamu sebagai komponen penting dalam sistem pelayanan
kesehatan di Indonesia. Dengan kata lain, litbang di bidang jamu merupakan salah
satu “upaya penting” dalam mengangkat jamu menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Sejalan dengan apa yang tertuang dalam Undang-Undang Kesehatan dan Peraturan
Pemerintah Tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional, Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional yang selanjutnya disebut B2P2TOOT,
yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
2346/Menkes/Per/XI/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
491/Menkes/Per/VII/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Besar Penelitian dan
44

Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional telah melaksanakan penelitian dan
pengembangan dibidang tanaman obat dan obat tradisional. Kegiatan penelitian dan
pengembangan dilakukan dari sisi hulu sampai hilir, pembibitan tanaman obat, budidaya
tanaman obat, pasca panen, formulasi hingga penelitian pelayanan (PERMENKES, 2011)
Klinik dan Apotek Saintifikasi jamu di Indonesia sayangnya masih sangat terbatas, hal
ini dikarenakan pola pikir masyarakat yang menganggap obat sintetis atau obat modern
lebih manjur serta kurangnya minat masyarakat untuk mengonsumsi jamu. Pemerintah
sendiri telah menyiapkan program pelatihan saintifikasi jamu untuk dokter maupun
apoteker. Dokter dan apoteker yang telah lulus pelatihan dapat mengimplementasikan atau
membuka saintifikasi jamu di wilayah kerja masing-masing. Adanya para dokter dan
apoteker yang telah lulus pelatihan saintifikasi jamu diharapkan dapat bekerjasama agar
menambah kepercayaan masyarakat terhadap pengobatan tradisional (B2P2TOOT, 2016)
Dari hal tersebut maka perlu dilakukan pendirian klinik dan apotek saintifikasi jamu di
Desa Kolor, Kabupaten Sumenep Jawa Timur. Lokasi tersebut dipilih karena khususnya di
Madura Kabupaten Sumenep tidak ada klinik dan apotek saintifikasi jamu dan kebanyakan
masyarakat di Kabupaten Sumenep masih percaya khasiat dari jamu dan efek samping yang
minim. Pendirian klinik dan apotek saintifikasi jamu ini akan memberikan potensi bisnis
yang baik dan menjanjikan, karena belum ada pesaing di daerah tersebut.
10 Motto Klinik dan Apotek Saintifikasi Jamu
Motto kami adalah “Meningkatkan Kesehatan Masyarakat dengan Produk Obat
Herbal ”.

11 Visi Pendirian Klinik dan Apotek Saintifikasi Jamu


Menjadi pusat pelayanan kesehatan tradisional terpercaya dengan kualitas prima
dan penggerak usaha kesehatan menuju peningkatan kualitas hidup masyarakat
Kabupaten/Kota Sumenep.

12 Misi Pendirian Klinik dan Apotek Saintifikasi Jamu


a. Menerapkan praktek pelayanan kesehatan tradisional yang bertanggung jawab,
terjangkau, dan bersahabat.
b. Menjamin kualitas jamu yang aman dan berkhasiat.
c. Menjadi pusat informasi obat tradisonal/jamu dan swamedikasi masyarakat.
45

d. Melakukan usaha-usaha promosi kesehatan masyarakat sekitar dan


meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

13 Tujuan Pendirian Klinik dan Apotek Saintifikasi Jamu


a. Mempermudah masyarakat mendapatkan jamu yang berkhualitas di daerah
Kabupaten/Kota Sumenep.
b. Sarana pelayanan kesehatan tradisional yang melakukan peracikan jamu dan
penyerahan jamu.
c. Meningkatkan kesehatan masyarakat setempat khususnya dan masyarakat pada
umumnya.

14 Profil Klinik
15 Nama dan Lokasi Klinik
Klinik saintifikasi jamu yang akan didirikan kami beri nama “Toga Farma”. Toga
singkatan dari Tanaman Obat Keluarga, yang mempunyai arti tanaman hasil budidaya
rumahan yang berkhasiat sebagai obat. Klinik Toga Farma berlokasi di Jalan Adi Poday, Desa
Kolor, Kec. Kota Sumenep, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, Indonesia (69417). Klinik Toga
Farma juga memiliki apotek sendiri sebagai bagian akhir pelayanan klinik, yaitu bagian
penyedia jamu baik berupa kapsul maupun rebusan. Jamu yang digunakan berupa racikan
simplisia, serbuk dan juga ekstrak tanaman obat yang telah diteliti keamanan, mutu dan
khasiat melalui riset praklinik dan riset klinik.
Lokasi Klinik ini strategis karena berada di pemukiman warga padat penduduk, sarana
kesehatan, hotel, dan pertokoan. Lokasi klinik yang sangat mudah dijangkau karena terletak
di pinggir jalan, dan memiliki area parkir yang cukup luas serta aman. Pendirian klinik di
lokasi tersebut menjadi salah satu peluang menjadi klinik jamu atau herbal pertama bagi
masyarakat, dengan menerapkan pelayanan kefarmasian yang bermutu, aman, terjamin,
dan berkualitas serta menguntungkan dan meningkatkan kesehatan bagi konsumen.
a) Nama Klinik dan Apotek
Name Klinik : Klinik Toga Farma
Alamat : Jalan Adi Poday, Desa Kolor, Kec. Kota Sumenep, Kabupaten Sumenep,
Jawa Timur, Indonesia (69417)
b) Pemilik Klinik
Nama : dr. Evianti, M.Kes.
46

Alamat : Jl. Sultan Abdurahman No.28a, Kolor, Kota Sumenep, Kabupaten


Sumenep, Jawa Timur (69417)
c) Apoteker Penanggug jawab Klinik
Nama : Apt. Reka Melda, S.Farm.
Alamat : Jl. Trunojoyo No.5c, Kolor, Kota Sumenep, Kabupaten Sumenep, Jawa
Timur (69417)
d) Waktu Pelayanan
Klinik Toga Farma beroperasi pada :
Waktu : Setiap hari pukul 07.00-16.00 WIB.
Tempat : Jalan Adi Poday, Desa Kolor, Kec. Kota Sumenep, Kabupaten Sumenep,
Jawa Timur, Indonesia (69417)

16 Tenaga Kerja
Klinik Toga Farma ini dibuka tiap hari senin sampai minggu selama 30/31 hari dalam
tiap bulan dari mulai pukul 07.00-16.00 WIB. Pengelolaan sebuah klinik memerlukan tenaga
kerja yang memiliki komunikasi efektif dan efisien dalam menangani setiap kegiatan, baik
yang berhubungan dengan administratif maupun pelayanan di klinik sehingga visi dan misi
klinik dapat terlaksana. Klinik Toga Farma merekrut karyawan dengan susunan sebagai
berikut :
1) Dokter : 2 orang
2) Apoteker Pengelola Apotek (APA) : 1 orang
3) Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) : 1 orang
4) Perawat: 1 orang
5) Administrasi: 1 orang
Pada pembukaan klinik saintifikasi jamu “Toga Farma” di 6 bulan yang pertama,
hanya diperlukan 6 karyawan, karena diperkirakan di 6 bulan pertama pengunjung klinik
Toga Farma masih tidak terlalu banyak. Penambahan tenaga kerja akan dilakukan seiring
dengan pertumbuhan klinik. Dasar pertimbangan perekrutan karyawan tersebut adalah
pelayanan klinik yang diberikan meliputi pengobatan dan pemeriksaan oleh seorang dokter
yang secara khusus sudah memiliki sertifikat pelatihan, seorang apoteker yang juga
memiliki sertifikat pelatihan dan kemampuan dalam hal manajemen perapotekan yang
mencakup manajemen personal, administrasi, keuangan, produk dan penguasaan informasi
obat tradisonal / jamu. TTK yang memiliki kemampuan teknis dalam penyiapan dan
47

peracikan obat tradisional / jamu serta bagian administrasi yang memiliki kemampuan
dalam bidang administrasi dan keuangan seperti menjadi kasir.

17 Analisis SWOT
Analisis SWOT Klinik Toga Farma adalah :
A. Kekuatan/Strength
Yang menjadi kekuatan kompetitif klinik Toga Farma yang akan didirikan adalah
sebagai berikut:
1) Klinik Toga Farma menjadi satu-satunya klinik saintifikasi jamu yang ada di
Madura khususnya Kabupaten/Kota Sumenep
2) Klinik Toga Farma dilengkapi dengan praktek dokter untuk melakukan
pemeriksaan kesehatan sekaligus apotek sebagai sarana penyiapan jamu yang
telah diresepkan
3) Harga ekonomis dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat
4) Klinik dengan pelayanan berbasis Pharmaceutical Care  dengan tepat, cermat
dan cepat.
5) Letak/lokasi apotek mudah dijangkau.
6) Memiliki   Apoteker yang mempunyai pengetahuan tentang obat-obatan
tradisional dan memberikan pelayanan yang ramah dan sopan.
7) Dokter dan apoteker adalah seorang tenaga kesehatan yang sudah melakukan
pelatihan saintifkasi jamu dan bersertifikat.
B. Kelemahan/Weakness
1) Membutuhkan waktu untuk sosialisasi kepada masyarakat untuk
memperoleh costumer yang loyal dan tingkat ekonomi dan konsumsi yang
cukup rendah (menengah kebawah).
2) Klinik saintifikasi jamu baru / pertama yang ada di Kabupaten/Kota Sumenep
3) Kurangnya Sumber daya manusia
4) Jamu yang tersedia masih terbatas jenis dan jumlahnya
C. Peluang/Oppurtunity
1) Lokasi yang strategis terletak di tepi jalan raya yang mudah diakses oleh
kendaraan
2) Gencarnya promosi obat tradisional di media elektronik
48

3) Lokasi klinik berada di daerah padat penduduk dan kelompok ekonomi


menengah, sehingga daya beli obat tradisional cukup tinggi.
4) Apoteker memberikan pelayanan informasi obat
D. Ancaman / Threats
1) Ancaman listrik padam pada musim penghujan yang mempengaruhi
pelayanan kesehatan tradisional.
2) Masyarakat masih banyak yang menggunakan obat sintesis atau modern
karena efek terpai yang cepat.
3) Masyarakat masih belum tahu sepenuhnya mengenai pengobatan tradisional
(jamu/herbal).

18 Analisis Keuangan
19 Sumber Dana dan Biaya
a) Sumber dana
Sumber dana untuk pendirian apotek dan klinik saintifikasi jamu berasal dari dana
penelitian, dana pemerintah Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kementerian Kesehatan.
b) Table 4. Investasi Apotek
Modal Tetap Rp. 121.175.000
Modal operasional 1 tahun Rp. 190.800.000
Modal Cadangan Rp. 11.975.000
Total (modal pribadi) Rp. 300.000.000

c) Table 5. Rencana Pengadaan Modal Tetap

No. Kebutuhan Jumlah Harga Satuan Total Harga


1. Sewa ruko Ruko 1 80.000.000
2. Etalase 4 750.000 3000.000
3. Meja 6 250.000 1.500.000
4. Kursi 10 50.000 500.000
5. Kursi tunggu 2 1.500.000 3000.000
6. Rak penyimpanan 2 800.000 1.600.000
7. Komputer 1 3000.000 3000.000
8. Printer 1 600.000 600.000
9. Peralatan racik 1 1.500.000 1.500.000
10. Lemari es 1 1.500.000 1.500.000
11. Handpone 1 800.000 800.000
12. Kipas angin 4 180.000 720.000
13. Kalkulator 2 35.000 70.000
14. Mesin kasir 1 150.000 150.000
49

15. Galon + peralatan makan 1 100.000 100.000


16. Jam dinding 1 35.000 35.000
17. Tabung pemadam 1 150.000 150.000
kebakaran
18. Papan nama klinik dan 2 200.000 400.000
apotek
19. Papan nama apoteker 1 150.000 150.000
20. Peralatan kebersihan 1 100.000 100.000
21. Bak cuci tangan 2 150.000 300.000
22. Perijinan klinik dan apoteker 1 3.000.000 3.000.000
23. Peralatan medis 1 7.000.000 7.000.000
24. Pelaksanaan penelitian 1 6.000.000 6.000.000
25. Marketing dan promosi 1 1.000.000 1.000.000
26. Biaya tak terdga 1 5.000.000 5.000.000
Total Investasi Rp. 121.175.000

d) Table 6. Rencana Anggaran Tetap Tahun ke-1

No. Kebutuhan Jumlah Harga satuan Total harga/bulan


1. Dokter 2 3.500.000 7.000.000
2. Apoteker penanggungjawab 1 3.500.000 3.500.000
apotek
3. TTK 1 1.500.000 1.500.000
4. Perawat 1 2.000.000 2.000.000
5. Administrasi 1 800.000 800.000
6. Listrik, air, dan telepon 500.000 500.000
7. Biaya pemeliharaan klinik dan 350.000 350.000
apotek
8. Biaya reklame klinik dan apotek 250.000 250.000
Total per bulan Rp. 15.900.000
Total operasional setahun Rp. 190.800.000

20 Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Tahun ke-1


a. Proyeksi pendapatan tahun ke-1
Pada tahun ke-1 diproyeksikan pasien yang datang ke klinik jamu sekitar 30
pasien/hari dengan harga simplisia / jamu per paket Rp 30.000 untuk semua jenis penyakit
tarif sama.
1) Jumlah pasien yang datang ke klinik jamu tahun ke-1
30 pasien x 30 hari x 12 bulan x 30.000 = Rp. 324.000.000
2) Pasien yang mendapat lebih dari 1 paket
15 pasien x 30 hari x 12 bulan x 30.000 = Rp. 162.000.000 +
JUMLAH Rp. 486.000.000
50

b. Pengeluaran rutin tahun ke-1


1) Pembelian simplisia
50% x 486.000.000 = Rp. 243.000.000
2) Pengeluaran rutin tahun ke-1 Rp. 190.800.000 +
JUMLAH Rp. 433.800.000

c. Perkiraan laba-rugi tahun ke-1


1) Pemasukan tahun ke-1 Rp. 486.000.000
2) Pengeluaran tahun ke-1 Rp. 433.800,000
Perkiraan laba kotor Rp. 52.200.000
Pajak final
(1% x proyeksi pendapatan 1 tahun) = 1% x 486.000.000 = Rp. 4.860.000
Perkiraan laba bersih = 52.200.000-4.860.000 = Rp. 47.340.000
d. Pehitungan tahun ke-1
1) Payback periode

Pay back periode =

= = 2,6 tahun (30 bulan)


2) Return On Investment (ROI)

ROI =

= = 39.07%
3) Break Even Point (BEP)
Biaya variabel = total pengeluaran 1 tahun-biaya tetap 1 tahun
= Rp. 433.800.000- Rp. 190.800.000
= Rp. 243.000.000

BEP = x Rp. 190.800.000


BEP = 381.600.000 / tahun
BEP = 31.800.000/bulan

Presentasi BEP = x 100%


51

= x 100%
= 78,5%
4) Kapasitas BEP
Kapasitas BEP = 78,5% x (30 resep x 30 hari x 12 bulan)
= 8478 resep/tahun
= 707 resep/blan

21 Denah dan Layout


22 Denah Lokasi
Klinik dan apotek “Toga Farma” berlokasi di Jalan Adi Poday,Desa Kolor, Kota
Sumenep, Sumenep, Jawa Timur, Indonesia, 69417 yang terletak di pinggir jalan raya dan
mudak diakses oleh penduduk.

Gambar 11. Titik Lokasi Klinik dan Apotek "Toga Farma:

23 Layout klinik dan apotek


52

Gambar 12. Layout Apotek dan Klinik Tampak Depan

3 2
1

6
8

Gambar 13. Layout Apotek dan Klinik Tampak Atas

Keterangan Gambar :
1. Apotek 5. Kamar mandi 2
2. Ruang periksa dokter 1 6. Ruang tunggu
3. Ruang periksa dokter 2 7. Pendaftaran
4. Kamar mandi 1 8. Ruang tunggu penebusan jamu

24 Struktur Organisasi
53

Gambar 14. Struktur Organisasi

Berikut merupakan rincian tugas dari masing-masing tenaga kerja, yaitu :


a. Pemilik sarana
1) Bertanggung jawab terhadap penyediaan modal yang digunakan untuk pengelolaan
apotek dan klinik
2) Bekerja bersama penanggungjawab klinik dan apotek untuk menjalankan visi dan
misi.
3) Memimpin dan menetapkan tugas serta wewenang dari setiap pejabat struktural
klinik atau apotek.
b. Penanggung jawab sarana
1) Penanggung jawab apotek merupakan seorang apoteker yang memiliki Surat Tanda
Registrasi Apoteker.
2) Memimpin seluruh kegiatan kefarmasian di apotek
3) Memberikan pelayanan kefarmasian, edukasi, konseling dan KIE kepada pasien
terkait resep jamu yang di terima.
54

c. Tenaga Teknis Kefarmasian


1) Melakukan pelayananan kefarmasian bersama apoteker
2) Mengerjakan pekerjaan lain sesuai dengan tanggungjawab profesinya
3) Bertanggung jawab kepada apoteker terkait tugas yang dilakukan.
d. Perawat
1) Membantu pasien dalam melakukan pengobatan
2) Melaksanakan pelayanan keperawatan dan tugas sesuai dengan profesinya.
e. Administrasi
1) Melakukan pekerjaan terkait administrasi yang meliputi administrasi keuangan,
penjualan, pendaftaran pasien, investaris dan lain-lain.
2) Mengupayakan klinik dan apotek memberikan hasil yang sesuai dengan target yang
direncanakan.

25 Analisis Pesaing
26 Hasil Survei Denah Lokasi
Berdasarkan hasil survei tempat pendirian klinik dan apotek “Toga Farma”,
didapatkan data-data sebagai berikut :
a) Jumlah Pesaing
Di sekitar klinik dan apotek “Toga Farma” terdapat apotek lain yaitu Apotek
Purnama dan Apotek Sumekar Baru. Apotek Purnama berjarak sekitar 350 meter
dari Apotek Meita Farma. Sedangkan Apotek Sumekar Baru berjarak sekitar 550
meter dari Apotek Meita Farma, akan tetapi belumterdapat klinik atau apotek yang
bergerak di bidang jamu, sehingga menjadikan apotek dan klinik toga farma
memiliki peluang yang besar.

b) Kepadatan Penduduk
Apotek dan klinik toga farma berlokasi di daerah pemukiman warga dengan
kepadatan penduduk yang tinggi. Lokasi di Desa Kolor memiliki keramaian yang cukup
tinggi karena berdekatan dengan Pasar Anom Sumenep, sehingga berpengaruh
terhadap jumlah orang yang melintasi lokasi apotek. Keadaan wilayah desa kolor
terdiri dari :
1) Dusun Gudang terdiri dari 7 RT dengan jumlah penduduk sebanyak 2.416 jiwa;
55

2) Dusun Labang Seng terdiri dari 12 RT dengan jumlah penduduk sebanyak


2.244 jiwa;
3) Dusun Kotthe terdiri dari 11 RT dengan jumlah penduduk sebanyak 2.575 jiwa;
4) Dusun Kebun terdiri dari 11 RT dengan jumlah penduduk sebanyak 2.671 jiwa;
5) Dusun Manggaling terdiri dari 6 RT dengan jumlah penduduk sebanyak 2.680
jiwa.
c) Tingkat sosial dan ekonomi
Sebagian besar penduduk di sekitar Apotek dan klinik toga farma merupakan PNS,
pedagang atau wiraswasta dengan tingkat kesadaran kesehatan yang kurang.

27 Potensi Pasar
Letak apotek dan klinik toga farma yang sangat strategis dan dekat dengan pusat
keramaian menjadikan potensi klinik dan apotek cukup menjanjikan. Analisis perkiraan
jumlah pasien yang diperkirakan datang berobat dalah 30 pasien/hari dengan klinik dan
apotek menerapkan beberapa usaha untuk mencegah resep keluar.
56

DAFTAR PUSTAKA

Bahan Ajar Obat Tradisional. 2017. Bali: Fakultas MIPA Uiversitas Udayana.

B2P2TOOT. 2016. Pelatihan Saintifikasi Jamu. Retrieved Desember 8, 2020, from Pelatihan
Saintifikasi Jamu: http://www.b2p2toot.litbang.kemkes.go.id/?
page=postcont&postid=51&content=Pelatihan+Saintifikasi+Jamu

B2PP2TOOT KEMENKES RI, B. 2016. Tujuh Ramuan Jamu Saintifik Pemanfaatan Mandiri
Oleh Masyarakat. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI.

Badan Litbang Kesehatan. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010. Jakarta:
Badan Litbang Kesehatan.

Bhasin, V. 2017. Medical Anthropology: A Review. Ethno Med, 1(1), 1-20, 1-20.

Daval, N. 2009. Conservation and Cultivation of Ethnomedical Plants in Jharkhand. In:


Trivedi, P.C Medicinal Plants Utilisation and Conservation. Aavishkar Publishers
Distributor,Jaipur, India, 130-136.

Hartono, & Kusumastuti, L. A. 2019. Tingkat Kepatuhan Penggunaan Ramuan Jamu Saintifik.
Journal of Pharmacy, Vol. 8 No.1: 29 - 37, 29-37.

IAI. 2016. Saintifikasi Jamu, Jadikan Jamu Tuan Rumah di Indonesia. Retrieved Desember
13, 2020, from IAI: http://www.iai.id/news/artikel/saintifikasi-jamu-jadikan-jamu-
tuan-rumah-di-indonesia

Katno. 2008. Tingkat Manfaat dan Keamanan Tanaman Obat dan Obat Tradisional.
Karanganyar, Jawa Tengah: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Obat dan Obat Tradisional.

KEMENKES RI, B. 2016, Oktober 19. Sejarah B2P2TOOT Tawangmangu. Retrieved Desember
13, 2020, from Sejarah: http://www.b2p2toot.litbang.kemkes.go.id/index.php?
page=postcont&postid=2&content=Sejarah

KEPMENKES RI. 2003. Tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional. KEPMENKES


Nomor 1076/MENKES/SK/VII/2003, 1-30.

KEPMENKES RI. 2008. Tentang Standar Pelayanan Medik Herbal. Kesehatan Nomor
121/MENKES/SK/II/2008 , 1-18.

KEPMENKES RI. 2020. Tentang Komisi Nasional Saintifikasi Jamu. KEPMENKES RI Nomor
HK.01.07/MENKES/9848/2020, 1-12.
57

KEPMENKES RI, M. 2008. Tentang Standar Pelayanan Medik Herbal . Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 121/MENKES/SK/II/2008 , 1-10.

Kesehatan, K. 2016. Sejarah B2P2TOOT Tawangmangu. Retrieved Desember 13, 2020, from
Sejarah: http://www.b2p2toot.litbang.kemkes.go.id/index.php?
page=postcont&postid=2&content=Sejarah

Marina, S. 2016. Studi Etnomedisin di Indonesia dan Pendekatan Penelitiannnya. JDP, 9(3):
117-124, 117-124.

Parwata, I. M. 2017. Bahan Ajar Obat Tradisional. Bali: Fakultas MIPA Universitas Udayana.

PERMENKES. 2010. SAINTIFIKASI JAMU DALAM PENELITIAN BERBASIS. PERMENKES RI


NOMOR : 003/MENKES/PER/I/2010 , 1-15.

PERMENKES. 2011. tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


491/Menkes/Per/VII/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional. PERMENKES RI Nomor
2346/Menkes/Per/XI/2011 , 1-12.

PERMENKES RI. 2007. Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer Alternatif Di Fasilitas


Kesehatan. PERMENEKES NOMOR 1109/MENKES/PER/IX/2007, 1-29.

PP RI. 2014. Tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional. PP RI NOMOR 103 tahun 2014, 1-
125.

Purwaningsih, E. H. 2013. Jamu, Obat Tradisional Asli Indonesia Pasang Surut


Pemanfaatannya. Jamu, Obat Tradisional, Calvin K. M, Fransisca,Karina, 85-89.

RI, K. 2016. Tujuh Ramuan Jamu Saintifik, Pemanfaatan Mandiri Oleh Masyarakat". Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

RISKESDAS. 2018. Proporsi Pemanfaatan Upaya Kesehatan Tradisional di Indonesia. Jakarta:


Badan Peneilitian dan Pengembangan Kesehatan RI.

Rizki, I. L. 2017. Etnofarmakologi Tumbuhan Rhizpharaceae Oleh Masyarakat di Indonesia.


BioCONCETA, Vol III No 1 2017, 2017.

Siswanto. 2012. Saintifikasi Jamu sebagai Upaya Terobosan untuk Mendapatkan Bukti
Ilmiah tentang Manfaat dan Keamanan Jamu. Bulletin of Health System Research,
203-211.

Siswanto. 2012. Saintifikasi Jamu sebagai Upaya Terobosan untuk Mendapatkan Bukti
Ilmiah tentang Manfaat dan Keamanan Jamu. Bulletin of H ealth System Research,
15(2): 203-211, 203-211.
58

Suharmiati, Handayani, L., Bahfen, F., & Kristiana, L. 2012. KAJIAN HUKUM PERAN
“APOTEKER” DALAM SAINTIFIKASI JAMU. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, Vol.
15 No. 1 Januari 2012: 20–25, 20-25.

UNDANG UNDANG RI. 2009. Tentang Kesehatan. UU RI NOMOR 36 Tahun 2009, 1-29.

ADDIN Mendeley Bibliography CSL_BIBLIOGRAPHY Kementerian Kesehatan Republik


Indonesia. 1995. Materia Medika Indonesia. Edisi VI. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman umum panen dan pasca panen
tanaman obat. 1–62.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Vademakum Tanaman Obat. Edisi IV.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Pedoman Budidaya, Panen Dan


Pascapanen Tanaman Obat. Edisi 1. Tawangmangu: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Rumah Sakit Jamu Hortus Medicus.
http://www.b2p2toot.litbang.kemkes.go.id/?
page=postcont&postid=9&content=Rumah+Riset+Jamu+Hortus+Medicus#:~:text=Griy
a jamu merupakan bagian akhir,baik berupa kapsul maupun rebusan [Diakses pada
December 14, 2020].

Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2011. Pedoman Teknologi Penanganan


Pascapanen Tanaman Obat

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Farmakope Herbal Indonesia. Edisi 1.


Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Jamu Saintifik. Jakarta: Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2010 tentang Saintifikasi
Jamu Dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan
59

Anda mungkin juga menyukai