Oleh:
MAKALAH
diajukan guna melengkapi tugas PKPA Saintifikasi Jamu di B2P2TOOT
Tawangmangu pada tanggal 24-25Juni 2019
Oleh:
i
LEMBAR PENGESAHAN
Lidya Ameliana, S. Si., M. Farm., Apt Bawon Triatmoko, S. Farm., M. Sc., Apt.
NIP198004052005012005 NIP 198201292009121003
ii
PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta'ala atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat meyelesaikan Makalah Saintifikasi Jamu yang
berjudul “Tinjauan Tentang Saintifikasi Jamu dari Berbagai Sisi Teori dan Praktik”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Saintifikasi Jamu di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan
Obat Tradisional (B2P2TOOT) Tawangmangu.
Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena
itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Ibu Lestyo Wulandari, S.Si., M. Farm., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Jember
2. Ibu Lidya Ameliana, S. Si., Apt., M. Farm., selaku Ketua Program Profesi
Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Jember;
3. Bapak Bawon Triatmoko, S.Farm., M.Farm., Apt selaku Dosen Pembimbing
Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Saintifikasi Jamu yang telah bersedia
meluangkan waktu memberikan bimbingan, petunjuk dan nasehat.
4. Dosen Pembimbing Akademik kami yang tidak dapat kami sebutkan satu per
satu yang telah bersedia meluangkan waktu memberikan bimbingan, petunjuk
dan nasehat kedapa Kami selama menempuh kuliah di Program Studi Profesi
Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Jember
5. Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Apoteker Angkatan X
Fakultas Farmasi Universitas Jember, untuk kerjasama, kebersamaan, serta
pengalaman yang luar biasa.
Tim Penulis
iii
DAFTAR ISI
v
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
RINGKASAN
viii
formulasi jamu yang aman dan memenuhi persyaratan mutu diperlukan pustaka
rujukan sebagai acuan seperti Materia Medika Indonesia, Farmakope Herbal
Indonesia, vandemikum Tanaman Obat dan lain-lain. Penelitian berbasis pelayanan
kesehatan hanya dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang telah
memperoleh izin, sesuai dengan peraturan yang berlaku
ix
1
BAB 1. PENDAHULUAN
Kata “djamoe” muncul pada abad 15-16 M yang tertulis dalam sebuah
primbon Kartasuro. Penjelasan lengkap tentang jamu ditulis oleh Kanjeng Gusti
Adipati Anom Mangkunegoro III tahun 1810-1823 yang tercatat di serat centini.
Sekitar tahun 1850 R. Atmasupana II menulis kurang lebih 1734 ramuan jamu.
Sedangkan pengertian Djamoe sendiri berasal dari kata djampi. Djampi adalah doa
atau obat dan oesodo (husada) yang berarti kesehatan. Sehingga djamoe dapat
diartikan obat yang dapat meningkatkan kesehatan (Sutarjadi dkk, 2012).
Jamu saat ini menjadi salah satu aset budaya dan kekayaan alam yang
dimiliki Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010 menunjukkan
bahwa penggunaan jamu di masyarakat Indonesia dengan rata – rata umur 15
tahun keatas lebih dari 50%. Sehingga pada tahun 2008 berdasarkan arahan
Presiden RI : DPP GP Jamu bekerjasama dengan Menko Perekonomian,
budayawan dan tokoh – tokoh yang peduli jamu, mendeklarasikan “Jamu, Brand
Indonesia” (GP Jamu Indonesia, 2018).
Jamu di masyarakat Indonesia telah diterima baik secara sosial maupun
budaya sebagai pengobatan tradisional. Akan tetapi, tidak semua dokter di
Indonesia terutama dokter spesialis menerima jamu sebagai pengobatan karena
mereka memiliki alasan tidak ada bukti ilmiah (evidence based medicine/EBM).
Karena Pekerjaan Kedokteran harus disesuaikan dengan Standar Pelayanan
Kedokteran hal ini tercantum di Undang - undang No. 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran pasal 51 yang menyebutkan bahwa “Dokter atau dokter gigi
dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban memberikan
pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional
serta kebutuhan medis pasien”.
Oleh karena itu, Jamu perlu mendapatkan pengakuan dari profesi
kedokteran sebagai alternatif metoda pelayanan kesehatan (promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif). Sehingga pertama untuk menjamin keamanan jamu
dicantumkan pada Undang - undang nomor 36 Tahun 2009 tentang pelayanan
kesehatan tradisional pada pasal 100 ayat 2 berbunyi pemerintah menjamin
pengembangan dan pemeliharaan bahan baku obat tradisional.
Menjembatani amanah yang terdapat pada undang – undang nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan dan juga amanah undang – undang nomor 29
6
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Maka pada tahun 2010 dibuatlah
PerMenkes No. 003 Tahun 2010: sebagai “upaya terobosan” untuk “memasukkan
jamu” dalam pelayanan kesehatan agar tidak menyalahi UU Praktik Kedokteran
dengan menyaintifikasi jamu yang memberikan landasan penggunaan jamu secara
empiris bisa dibuktikan secara ilmiah.
Berdasarkan Surat keputusan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, nomor 003/menkes/per/I/2010 tentang saintifikasi jamu. Yang dimaksud
Saintifikasi Jamu adalah pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis
pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan tersebut dapat dilakukan di fasilitas
pelayanan kesehatan yang telah mendapatkan izin atau sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu contoh fasilitas pelayanan
jamu yang sudah tersaintifikasi yaitu B2P2TOOT sebagai Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan yang terletak di
Tawangmangu, Jawa Tengah.
Program saintifikasi jamu yang merupakan pendekatan penelitian berbasis
pelayanan suatu pengembangan untuk mempercepat pengembangan jamu di sisi
hilir (sisi pelayanan). Sebab penelitian jamu berupa tanaman obat tradisional
banyak dilakukan pada sisi hulu berupa penelitian berupa budidaya dan studi pra-
klinik, in-vitro maupun in-vivo (pengujian pada hewan), untuk uji klinis yang
dilakukan pada manusia langsung berupa khasiat dan kemanannya terbatas (Badan
Litbang Kesehatan, 2011).
Program yang terdapat pada saintifikasi jamu pelaksanaannya, dikelola oleh
Badan Litbang Kesehatan di Kementrian Kesehatan yang ditangani oleh
B2P2TOOT Tawangmangu. Pelaksanaan program tersebut mengajak kerjasama
dokter dan apoteker yang secara bertahap diberikan pelatihan dan jumlahnya
mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Program saintifikasi ini dapat
memberikan suatu landasan ilmiah (evidence based) penggunaan jamu secara
empiris. Selain itu, adanya penelitian akan meningkatkan terbentuknya kerjasama
tenaga kesehatan sebagai praktisi “pelayanan kesehatan jamu” dan “penelitian
jamu”, untuk upaya promotif, preventif, kuratif, dan paliatif (Aditama, 2015).
7
2.2 Sejarah Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan
Obat Tradisional (B2P2TOOT) Tawangmangu
B2P2TOOT berasal dari kebun pribadi yang terdapat koleksi Tanaman Obat
dan dimiliki oleh R.M Santoso Soerjokoesoemo. Kebun Tanaman Obat ini dirintis
sejak awal di tahun kemerdekaan Indonesia. Kebun ini mencerminkan suatu
semangat dari anak bangsa Indonesia yang tekun dan mencintai budaya berupa
pengobatan tradisional nenek moyang. Namun, April 1948 R.M Santoso
Soerjokoesoemo mewariskan kebun tersebut pada negara sehingga secara resmi
Kebun Koleksi Tanaman Obat tersebut resmi dikelola oleh pemerintah di bawah
Lembaga Eijkman dan diberi nama “Hortus Medicus Tawangmangu” (B2P2TOOT,
2016).
Pada tanggal 28 April 1978, berdasarkan Kepmenkes No. 149 tahun 1978
Hortus Medicus Tawangmangu bertransformasi menjadi suatu organisasi. Dimana
kebun tersebut berganti menjadi suatu Balai Penelitian Tanaman Obat (BPTO)
sebagai Pelaksana Teknis di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Perubahan sebagai bidang Iptek memberikan inovasi dalam pengelolaan tanaman
obat (TO) dan potensi baru TO sebagai bahan jamu yang dapat dimanfaatkan untuk
pencegahan, pemeliharaan dan peningkatan kesehatan rakyat (B2P2TOOT, 2016).
Pada tanggal 17 Juli 2006, yang didasarkan pada Permenkes No.491 tahun
2006 BPTO mengalami perubahan kembali yaitu Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Obat Tradisional (B2P2TOOT). Perubahan ini bertujuan
untuk melestarikan, membudayakan, dan mengembangkan TOOT untuk mencapai
tingkat kesehatan masyarakat secara optimal (B2P2TOOT, 2016).
Seiring berjalannya waktu mendorong negara meningkatkan dalam
memanfaatkan dan mengembangkan budaya kesehatan yang berasal dari sumber
daya lokal untuk mencapai pembangunan kesehatan. Sehingga B2P2TOOT
melakukan perubahan yang ketiga. Pada tanggal 4 januari 2010 terbentuklah
Permenkes No. 003 tahun 2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis
Pelayanan Kesehatan. Maka dari itu, pada 2010 B2P2TOOT mengutamakan
saintifikasi jamu, dikelola dari hulu ke hilir yaitu mulai dari penelitian etnofarmakologi
yang berbasis tumbuhan obat dan jamu. Penelitian tersebut terdiri dari pelestarian,
budidaya, pasca panen, uji praklinik, uji klinik, teknologi dan manajemen
pengolahan bahan jamu, pelatihan dan pelayanan iptek, serta sampai dengan
peningkatan kemandirian masyarakat dalam penggunaan jamu (B2P2TOOT, 2016).
8
No. Judul
1. Uji Pra Klinik Aktivitas dan Toksisitas Ramuan Jamu Hiperglikemik Hasil
RISTOJA
2. Standarisasi Tanaman Obat Daun Iler, Daun Duduk, Daun Ungu, Kelembek,
Sembung, dan Jombang
3. Pengembangan Johar sebagai Obat Antimalaria Tahap III.
4. Formulasi Sediaan Hiperurisemia dan Urolithiasis
5. Perkiraan Umur Simpan Simplisia Jenis Curcuma, Zingiber, Kaempferia dan
Alpinia dengan Metode Accelerate Shelf Life Test (ASLT) model Arrhenius
6. Dan lain-lain
*e-Riset,2019
Saat ini, B2P2TOOT telah memiliki struktur organisasi yang berfungsi
sebagai implementasi di Lingkungan Litbangkes berdasarkan Kemenkes RI tahun
2015. B2P2TOOT dipimpin oleh Indah Yuning Prapti, SKM., M. Kes (tahun 2010-
2015), dra. Lucie Widowati, M. Si., Apt (Tahun 2015-2017) dan Akhmad saikhu, M.
Sc. PH (tahun 2017-sekarang). Adapun strutur organisasi B2P2TOOT sebagai
berikut :
9
Gambar 2.2 Implementasi fungsi B2P2TOOT dalam unit kerja (Kemenkes RI, 2015)
10
Tabel 3.1 Formula yang dihasilkan oleh B2P2TOOT (Kemenkes RI, 2017)
Jamu Saintifik Komposisi Kegunaan Takaran
Penelitian ramuan jamu saintifik hiperurisemia diawali dengan studi pra klinis
dihasilkan nilai LD50 sebesar >10944 mg/200 gBB atau >54720 mg/kgBB. Uji
toksisitas subkronis dosis terbesar yaitu 3078 mg/200 gBB yang diberikan selama
90 hari, hasil yang didapat bahwa ramuan tersebut tidak menimbulkan kelainan
fungsi darah, hati dan ginjal. Setelah dilakukan studi pra klinis maka selanjutnya
dilakukan studi klinis. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa efektivitas formula
antihiperurisemia terbukti menurunkan asam urat dalam darah. Formula jamu
mampu mengurangi nyeri sendi, bengkak sendi, gangguan gerakan dan kesemutan.
Observasi mengenai keamanan formula jamu menunjukkan bahwa formula asam
urat terbukti tidak mempengaruhi fungsi hati dan ginjal pada 3 bulan berturut-turut
(Kemenkes RI, 2017).
Untuk aturan pakainya yaitu ramuan diminum 3x1 gelas setelah makan
setiap hari. Sebaiknya dihindari pada ibu hamil dan menyusui karena belum ada
data keamanan. Dikontraindikasikan pada penderita menorrhagia. Ekstrak kayu
secang memiliki aktivitas antikoagulasi, sehingga penggunaannya bersama obat
antikoagulasi sebaiknya dihindari.
b. Jamu Hipertensi
Hipertensi merupakan gangguan yang disebabkan tekanan darah >140/90
mmHg ataupun keduanya. Penyebab terjadinya hipertensi antara lain peningkatan
resistensi vaskular perifer, peningkatan curah jantung, peningkatan volume darah,
17
Untuk aturan pakainya yaitu ramuan diminum 3x1 gelas setelah makan
setiap hari. Konsumsi Apium graveolens L. bersama dengan ACEI atau konsumsi
alkohol menyebabkan terjadinya syok anafilaksis dan sensitivitas alergi. Konsumsi
Apium graveolens L. bersamaan dengan obat sedatif meningkatkan efek sedatif dan
dengan antikoagulan menyebabkan peningkatan efek samping antikoagulan
tersebut.
c. Jamu Osteoartritis
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit degeneratif pada sendi, yang
disebabkan oleh beberapa faktor bisa berupa faktor genetik, hormonal, usia,
mekanik dan budaya. Penyakit ini menjadi penyebab utama gangguan otot rangka
di seluruh dunia dan menjadi penyebab kedua ketidakmampuan fisik untuk usia
diatas 50 tahun.
18
d. Jamu Hiperkolesterolemia
Hiperkolesterolemia merupakan kondisi yang ditandai dengan peningkatan
kolesterol di dalam darah melebihi batas normal. Patofisiologi dislipidemia yaitu
kadar lipoprotein meningkat, kecuali HDL. Lipid dalam darah meningkat akan
mempengaruhi kolesterol, trigliserida dan keduanya.
Penelitian ramuan jamu saintifik hiperkolesterolemia diawali dengan studi
pra klinis, pemberian sari rebusan ramuan jamu hiperkolesterolemia pada dosis 270
mg/200 gBB mengalami penurunan sebesar 57 mg/dL, 540 mg/200 gBB sebesar
120 mg/dL, 1080 mg/200 gBB sebesar 121 mg/ dL, kontrol mengalami kenaikan
sebesar 5 mg/dL, kontrol negatif mengalami kenaikan sebesar 36 mg/dL sedangkan
kontrol positif mengalami penurunan sebesar 99 mg/dL. Setelah dilakukan studi pra
klinis maka selanjutnya dilakukan studi klinis. Hasilnya formula jamu
hiperkolesterolemia terbukti secara klinis aman untuk dikonsumsi (Kemenkes RI,
2017).
19
e. Jamu Hemoroid
Hemoroid merupakan gangguan yang disebabkan dilatasi varikosus vena
dari plexus hemorrhoidal inferior dan superior. Jaringan plexus hemoroid rusak
mengakibatkan plexus menonjol dan keluar karena dorongan gerak usus sehingga
menimbulkan gejala.
Penelitian ramuan jamu saintifik hemoroid diawali dengan studi pra klinis,
ramuan jamu anti hemoroid dapat memperbaiki hemoroid pada dosis 0,340 g, 0,510
g, dan 0,680 g/ 200 gBB. Uji toksisitas akut infusa ramuan jamu anti hemoroid
dihasilkan pemberian dosis tunggal secara oral tidak adanya efek toksik dengan
nilai LD50 lebih besar dari 5 g/kgBB. Uji toksisitas sub kronik ramuan jamu anti
hemoroid selama 3 bulan terlihat tidak terjadi tanda-tanda toksisitas, sehingga
ramuan ini diperkirakan aman digunakan secara berulang dalam jangka waktu
tertentu. Setelah dilakukan studi pra klinis maka selanjutnya dilakukan studi klinis.
Hasilnya Pemberian ramuan jamu anti hemoroid tidak adanya efek samping yang
serius. Jamu anti hemoroid tidak mengganggu fungsi hati dan ginjal (Kemenkes RI,
2017).
f. Jamu Hepatoprotektor
Gangguan fungsi hati biasanya terjadi kelainan enzim. Jika terjadi kerusakan
sel atau peningkatan permeabilitas membran sel, enzim akan banyak keluar ke
ruang ekstraseluler.
Penelitian ramuan jamu saintifik hepatoprotektor diawali dengan studi pra
klinis, hasil uji toksisitas akut menunjukkan bahwa ramuan jamu tidak toksik. 100
g/kgBB merupakan dosis tertinggi yang masih dapat diberikan. Setelah dilakukan
studi pra klinis maka selanjutnya dilakukan studi klinis. Hasil yang didapat rerata
SGPT subjek minum jamu turun dari 131,64 U/L menjadi 49,28 U/L. Rerata SGOT
subjek minum jamu juga turun dari 108,14 U/L menjadi 38,21 U/L (Kemenkes RI,
2017).
g. Jamu Dispepsia
Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman pada daerah perut bagian atas.
Gejalanya yaitu nyeri dan rasa terbakar pada epigastrium, rasa penuh setelah
makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual, muntah, dan
sendawa.
Penelitian ramuan jamu saintifik dispepsia diawali dengan studi pra klinis, uji
aktivitas rebusan tidak toksik pada uji toksisitas akut (LD50=5 g/kgBB). Setelah
dilakukan studi pra klinis maka selanjutnya dilakukan studi klinis. Hasilnya
pemberian ramuan jamu tidak mempengaruhi fungsi hati, fungsi ginjal dan
gambaran pemeriksaan hematologi sehingga aman digunakan (Kemenkes RI,
2017).
21
.
28
Informasi terkait peran dari apoteker dalam saintifikasi jamu belum secara
jelas ditemukan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 tahun
2010. Apoteker sebagai tenaga kesehatan melakukan perannya (pekerjaan
kefarmasian) yang dijelaskan pada PP RI Nomor 51 Tahun 2009. Kewenangan
apoteker dalam permenkes tersebut dapat digunakan oleh seorang apoteker dalam
saintifikasi jamu (obat tradisional Indonesia). Sebagai contoh, peran apoteker
menjadi penting dalam Rumah Riset Jamu Hortus Medicus dan Klinik SJ
B2P2TOOT Tawangmangu dari sisi hulu ke hilir. Peran dari sisi hulu yaitu peranan
apoteker dalam bekerja sama dengan pakar-pakar pertanian mulai dari budidaya
tanaman obat hingga pengelolaan pasca panen. Peran dari sisi hilir meliputi
peranan apoteker dalam menjalankan pelayanan jamu mulai dari pasien datang
hingga mendapatkan KIE dan monitoring dari petugas. Petugas hilir terdiri dari
tenaga kesehatan seperti dokter, apoteker, asisten apoteker, dan perawat (Sartika,
2014).
cahaya), menggunakan sistem FIFO, dan dilakukan sampling secara berkala (Utami
dkk., 2017).
a. Pengkajian Resep
Resep yang dituliskan oleh dokter SJ ditetapkan berdasarkan penyakit atau
gejala yang akan diterapi, selanjutnya resep diteruskan kepada bagian apoteker.
Apoteker akan menyiapkan formula jamu berdasarkan formularium (semacam
ensiklopedia tanaman obat Indonesia yang berkhasiat dan sudah diteliti kandungan
aktifnya) (Sartika, 2014).
31
d. Penyerahan Jamu
Pastikan sediaan yang diterima pasien (rebusan atau kapsul atau rebusan
dan kapsul) dan dilakukan double check terlebih dahulu. Setelah semuanya sesuai
dengan resep maka petugas akan memanggil nama sekaligus alamat pasien.
Penyerahan jamu kepada pasien dilakukan bersamaan dengan kegiatan pelayanan
pasien dalam hal ini KIE (Utami dkk., 2017). Berdasarkan PermenKes RI No
003/Menkes/Per/I/2010, tarif yang ditetapkan di fasilitas pelayanan kesehatan
saintifikasi jamu harus murah dan terjangkau oleh masyarakat.
penggunaan terapi obat, informasi yang dapat diberikan kepada pasien terkait
penyakit dan jamu (dosis, interaksi, kemungkinan efek samping yang ditimbulkan).
Sementara itu, edukasi bertujuan untuk memberikan arahan kepada pasien tentang
jamu yang akan dikonsumsi, edukasi ini dapat diberikan meliputi penggunaan jamu,
penyimpanan jamu, pantangan dan anjuran pada pasien (Utami dkk.,2017).
f. Konseling
Konseling dapat dilakukan khusus untuk pasien lansia, pasien dengan
penyakit kronis dan pasien dengan penggunaan polifarmasi, dengan tujuan untuk
meningkatkan kepatuhan pasien serta mengoptimalkan hasil terapi. Konseling pada
pasien terkait prekembangan kondisi pasien sejak minum jamu, kepatuhan
meminum jamu untuk tercapainya efek terapi yang diinginkan dengan cara
memberikan motivasi, kebenaran cara pasien merebus jamunya atau meminum
kapsul yang diberikan, dan usaha pasien memodifikasi gaya hidupnya serta
pentingnya memodifikasi gaya hidup guna mendukung efektivitas pengobatan
pasien (Utami dkk., 2017).
Gambar 6.1 Tahapan saintikasi jamu dalam metodologi dan keterkaitannya dengan
metodologi (Siswanto,2012)
38
Pustaka rujukan diperlukan untuk menjamin mutu bahan baku simplisia, hal
ini perlu dilakukan untuk menghasilkan formulasi jamu yang aman dan memenuhi
persyaratan mutu yang telah ditetapkan. Proses penjaminan mutu bahan baku
simplisia dimulai dari pemilihan bibit simplisia, pemilihan lokasi tanam, cara tanam,
cara panen, pengelolahan pascapanen sampai simplisia tersebut berada ditangan
pasien. Pustaka rujukan yang dapat dijadikan acuan diantaranya adalah sebagai
berikut :
Gambar 7.1 Sampul buku Materia Medika Indonesia (Universitas Trisakti Library, 2016)
Monografi yang tercantum pada Buku Materia Medika Indonesia, antara lain :
Definisi simplisia, tata nama, syarat baku dan berlakunya syarat baku,
kemurnian simplisia, pengawetan, simplisia untuk isolasi zat berkhasiat, uraian
mikroskopik, reaksi identifikasi: lignin, suberin, minyak lemak dan minyak atsiri,
pati dan aleuron, lender, zat zamak, turunan katekol, 1,8-dioksiantrakinon
bebas, fenol yang mudah menguap, asam silikat, lempeng KLT, air, penafsiran
angka, logaritma, suhu, persen, bagian, pemeriksaan dan penetapan kadar,
cara lain untuk menunjukan zat asing, penimbangan dan pengukuran, bobot
tetap, pengeringan simplisia nabati, hampa udara, indikator, wadah dan
pembungkus, penyimpanan, isi, penggunaan, etiket, pembuatan serbuk
simplisia untuk percobaan laboratorium.
FHI berisikan ketentuan umum monografi simplisia dan sediaan ekstrak. FHI
juga memuat uraian informasi mengenai metode analisa dan cara pengujian secara
umum, mikrobiologi, biologi, kimia ataupun fisika. Parameter standart yang
tercantum didalam FHI terdiri atas :
1. Monografi simplisia :
a. Identitas simplisia
b. Hasil Mikroskopis
c. Senyawa penanda atau identitas
d. Pola atau noda kromatografi
e. Nilai susut pengeringan simplisia
f. Kadar abu total
g. Kadar abu tidak larut asam
h. Jumlah sari larut air
i. Jumlah sari larut etanol
j. Kandungan kimia simplisia
2. Sediaan Ekstrak
a. Pengolahan ekstrak
b. Presentase Rendemen
43
Gambar 7.1 Sampul buku Vademikum Tanaman Obat (Traditional Medicine, 2015)
Dilanjutkan pada tahun 2013 diterbitkan Buku Vademekum Jilid 3 ini memuat
tentang teknis dalam memanfaatkan tanaman obat antara lain identitas botani,
persebaran, teknik budidaya maupun pasca panen serta aspek keamanan dan
kemanfaatannya sebagai bahan jamu, materinya antara lain : bawang merah,
bawang putih, teh, pepaya, jeruk nipis, ketumbar, mentimun, temu ireng, gandarusa,
kunci pepet, kunir putih, krangean dll. Dilanjutkan pada tahun 2013 diterbitkan
Vademekum Tanaman Obat Jilid 4 ini memuat tentang identitas botani, persebaran,
teknik budidaya dan pasca panen, aspek keamanan dan manfaat dalam kegiatan
saintifikasi jamu, tanaman yang dikaji antara lain : daun seribu, sangketan, bayam
merah, prasman, jungrahab, temu kunci dll.
45
a. Ketenagaan
Dokter √ √
b. Sarana
Alat-alat Medis √ √
Ruangan Tunggu √ √
Ruangan Penyimpanan √ -
Secara umum model klinik dan apotek di saintifikasi jamu tidak jauh berbeda
dengan klinik dan apotek pada umumnya, memiliki sarana berupa ruang tunggu,
penerimaan resep, tempat penyerahan obat serta pemberian KIE kepada pasien,
ruang konseling, ruang pemeriksaan dokter dan tempat pendaftaran/administrasi.
Menurut Purwadianto dkk, (2017), Adapun sarana dan prasarana dalam Standar
Pelayanan Medik Herbal yang harus dipenuhi antara lain :
1. Ruangan penerimaan pasien (calon subyek), mendapatkan persetujuan
pasien dan konsultasi setiap kali kunjungan dengan melaksanakan proses
tanya jawab.
2. Ruangan penyimpanan dokumen penelitian, dokumen subyek dan
monitoring, kode bahan uji, hasil uji laboraturium dan laporan.
3. Ruangan penyimpanan pembanding dan bahan uji
4. Tersedia peralatan penunjang yang digunakan untuk kegiatan penelitian
pelayanan jamu dan peralatan medik (kondisi darurat).
5. Fasilitas layanan kesehatan rujukan jika terjadi kejadian yang tidak
diinginkan (KTD).
6. Sarana untuk pendukung fisik
KEPALA KLINIK
Bagian Tata
Usaha
INSTALASI
Sub Bagian Sub Bagian
Umum Keuangan
Unit Pelayanan
Klinis
Pelayanan Saintifikasi
Pemeriksaan Jamu dan Tradisional
Komplementer
Dokter
Apoteker
Asisten
Apoteker
Diploma Pengobatan
Tradisional
8.3 Alur Pelayanan Pengobatan pada Klinik dan Apotek Saintifikasi Jamu
Alur pelayanan Rumah Riset Jamu atau di klinik saintifikasi jamu memiliki
prinsip yang sama dengan alur pengobatan pada umumnya di rumah sakit atau
klinik. Hal yang membedakan di klinik saintifikasi jamu adalah perlu adanya
persetujuan tindakan (informed consent) di awal oleh pasien sebelum memperoleh
tindakan atau jamu. Pasien menandatangani dan request consent; serta data
tentang pasien secara lebihvlengkap terdata oleh sistem (medical record) untuk
memudahkan pada saat monitoring efek samping jamu. Se itu pasien akan
mendapatkan pejelasan yang diberikan secara lisan maupun tulisan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Peraturan Menteri
Kesehatan RI, 2010). Berikut prosedur pelayanan yang dilakukan di Rumah Riset
Jamu Hortus Medicus dapat dilihat pada Gambar 8.3
Pasien
Pendaftara
Sudah pernah :
Petugas mengambil Riwayat Pasien Belum pernah :
rekam medis pasien Sudah pernah Mengisi
persetujuan
Pemeriksaan Informed Consent
penunjang Pemeriksaa
EKG, USG, Kimia
Penyerahan
Griya Jamu
- Peracikan
- Penyerahan jamu
- Pemberian
Pasien Pulang
\
Monitoring &
Gambar 8.3 Alur Pelayanan Pengobatan pada Klinik dan Apotek Saintifikasi Jamu
(B2P2TOOT, 2016)
a. Pasien Baru
1. Pasien mengisi formulir pendaftaran sebagai pasien baru dan
mengumpulkan kartu identitas, sesuai nomor antrian pendaftaran.
53
b. Pasien Lama
1. Pasien datang kemudian mengumpulkan kartu pasien
2. Pasien membayar biaya Pendapatan Negara Bukan Pajak sebesar Rp.
3.000,-.
3. Pasien menerima nomor urut pelayanan, kartu pasien dan bukti pembayaran
PNBP
4. Berkas rekam medis dimasukkan ke dalam map sesuai nomor urut antrian.
5. pasien diminta untuk menunggu panggilan pemeriksaan dokter di ruang
tunggu sesuai nomor antrian.
6. Pasien diperiksa oleh dokter.
7. Resep diberikan pada pasien untuk menebus jamu sesuai dengan
anamnesa dokter.
8. Pasien menyerahkan resep ke Griya Jamu. Apoteker kemudian
menginterpretasi resep dan menyiapkan jamu sesuai diagnosa dokter.
9. Pasien menerima jamu serta diberi informasi mengenai cara penggunaan
oleh apoteker (B2P2TOOT, 2016).
54
9.1 Pendahuluan
Strategi dalam pendirian klinik dan apotek saintifikasi jamu harus
menggambarkan secara sistematis dan terpikir secara baik untuk mencapai tujuan
yang diinginkan. Dimana langkah awal dimulai dengan perencanaan tipe klinik apa
pada pendirian klinik dan apotek saintifikasi jamu. Menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No.003/MENKES/PER/I/2010 klinik jamu terbagi
menjadi 2 yaitu klinik jamu tipe A dan klinik jamu tipe B. Sebuah klinik jamu dapat
dikatakan klinik jamu tipe A atau tipe B ketika telah memenuhi beberapa
persyaratan dalam ketenagakerjaan, sarana dan fasilitas yang harus tersedia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman Klinik Jamu ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Kesehatan.
Berdasarkan rencana pendirian klinik dan apotek saintifikasi jamu khususnya
untuk klinik dipilih klinik jamu tipe A. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No.003/MENKES/PER/I/2010 Klinik dan apotek saintifikasi jamu tipe A
harus memenuhi beberapa aspek antara lain :
a. Ketenagaan yang meliputi :
1) Dokter sebagai penanggung jawab
2) Asisten Apoteker.
3) Tenaga kesehatan komplementer alternatif lainnya sesuai kebutuhan.
4) Diploma (D3) pengobat tradisional dan/atau pengobat tradisional ramuan
yang tergabung dalam Asosiasi Pengobat Tradisional yang diakui
Departemen Kesehatan.
5) Tenaga administrasi.
b. Sarana yang meliputi:
1) Peralatan medis
2) Peralatan jamu.
3) Memiliki ruangan :
a) Ruang tunggu.
b) Ruang pendaftaran dan rekam medis (medical record).
c) Ruang konsultasi/pelaksanaan penelitian.
d) Ruang pemeriksaan/tindakan.
e) Ruang peracikan jamu.
55
didapatkan pasien. Namun untuk keuangan dan harga tersebut juga menjadi
masalah bagi pasien.
Pembelian bahan baku merupakan kegiatan utama dikarenakan tidak
memproduksi secara mandiri bahan baku yang akan digunakan. Perencanaan yag
tepat terkait pengadaan bahan baku perlu dipertimbangkan demi keberlangsungan
klinik jamu yang masuh memerlukan proses pengembangan. Pengambilan bahan
baku klinik jamu ini berasal dari B2P2T2TOOT yang memiliki tujuan untuk
mendapatkan hasil dengan kualitas terbaik dan mampu menjalin kerjasama denga
baik agar dapat mengembangkan bahan baku sendiri dengan kualitas yang baik
pula.
Masalah yang sering dikeluhan pasien adalah hingga saat ini pengobatan
tradisional belum bisa ditanggung oleh BPJS. Diakui oleh dokter di B2P2TOOT
bahwa hal ini menjadi salah satu kendala menjadi tidak optimalnya pelayanan ini
karena pasien diharuskan membayar biaya jamu. Sesuai dengan PP Nomor 21
Tahun 2013 Pasal 3 menyebutkan bahwa jasa pelayanan poliklinik dan jasa
pelayanan saintifikasi jamu merupakan jenis penerimaan negara bukan pajak
sehingga harus dikenakan tarif dengan besaran yang telah ditentukan. Bila
dibandingkan dengan biaya berobat di puskesmas yang gratis karena BPJS, maka
biaya jamu di Hortus Medika menjadi mahal, yang notabenya banyak pasien yang
menggunakan obat tradisional merupakan pasien dengan taraf ekonomi menengah
kebawah.
Kendala lain yang merupakan masalah klasik pelayanan kesehatan
tradisional adalah regulasi tentang pelayanan kesehatan tradisional. Sekalipun telah
diterbitkan PP Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional,
namun petunjuk teknis pelaksanaannya sampai sekarang belum ada, meliputi
payung hukum untuk SDM, penyediaan jamu, anggaran, tarif, kelembagaan, dsb.
Maka dari itu belum banyak adanya referensi yang jelas tentang anggran dan tarif
jamu. Karena tiap fasilitas pelayanan kesehatan bisa berbeda.
Tipe A
Toilet
Ruang
Ruang Ruang Laboratorium
Pemerikasaan/ sederhana
Konsultasi Diskusi
Meja Pendaftaran
Ruang Peracikan Jamu
Ruang Penyimpanan
Jamu
Pintu Masuk
= Hanya Petugas
60
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, Tjandra Yoga. 2015. Jamu dan Kesehatan Edisi II. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Aditama, Tjandra Yoga. 2014. Jamu dan Kesehatan. Jakarta : Badan Penelitian dan
Pengembangan - Cetakan Pertama
Aditama, Tjandra Yoga. 2015. Jamu dan Kesehatan. Edisi II. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional
(B2P2TOOT). 2016. Profil Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Obat dan Obat Tradisional. Karangayar: Badan Litbang
Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional
(B2P2TOOT). 2016. Profil Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Obat dan Obat Tradisional. Karanganyar: Badan Litbang
Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
BPOM RI. 2011. Nomor HK.03.1.23.06.11.5629 Tahun 2011. Persyaratan Teknis
Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011. Jakarta
Siswanto. 2017. Jamu Saintifik Suatu Batu Lompatan Ilmiah Pengembangan Jamu.
Tawangmangu. Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Tanaman Obat
Dan Obat Tradisional