Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Limbah Cair Laundry

Setiap aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh manusia, tidak dapat

terlepas dari dihasilkannya limbah, baik itu berupa cairan, padatan, maupun gas.

Dalam skala kecil, limbah tidak akan menimbulkan masalah terhadap lingkungan

karena secara alamiah komponen-komponen limbah dapat diuraikan kembali

menjadi bahan yang tidak berbahaya bagi lingkungan. Namun, bila terakumulasi

dalam skala besar, akan timbul permasalahan yang dapat mengganggu

keseimbangan lingkungan hidup.

Salah satu limbah yang memberikan dampak yang besar terhadap kualitas

lingkungan perairan adalah limbah cair. Menurut Helmer dan Hespanhol (1997),

komponen limbah cair terdiri atas limbah cair domestik (domestic waste water) dan

limbah cair industrial (industrial waste water). Limbah cair domestik merupakan

gabungan atau campuran dari air dan bahan-bahan pencemar yang terbawa oleh air,

baik dalam keadaan terlarut maupun tersuspensi yang terbuang dari sumber

domestik yaitu perkantoran, perumahan, dan perdagangan yang pada saat tertentu

tercampur dengan air tanah, air permukaan, atau air hujan (Soeparman &

Soeparmin, 2002). Limbah cair domestik dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu grey

water dan black water. Grey water adalah limbah cair domestik yang berasal dari

bekas kegiatan pencucian dan mandi sedangkan black water adalah limbah cair

domestik yang berasal dari saluran toilet (Cahyadi, 2008). Salah satu limbah cair

yang saat ini keberadaannya mengancam lingkungan perairan karena jumlahnya

6
7

yang semakin hari kian meningkat adalah limbah cair laundry. Limbah cair laundry

berasal dari sisa kegiatan proses mencuci pakaian, oleh karena itu limbah cair

laundry digolongkan dalam kategori grey water.

Kegiatan mencuci pada laundry melewati proses yang kompleks yang

melibatkan interaksi antara faktor fisik dan kimiawi. Proses ini diawali dengan

tahap pelepasan kotoran oleh larutan detergen yang mengandung surfaktan

kemudian dilanjutkan dengan tahap stabilisasi untuk mencegah kotoran menempel

kembali pada pakaian. Kapasitas proses laundry dalam membersihkan pakaian

tidak selalu sama, tergantung pada jenis pakaian, kesadahan air, jenis bahan

pakaian, jenis dan banyaknya kotoran yang menempel pada pakaian, peralatan

mencuci, serta komposisi detergen. (Hudori, 2009).

Proses pencucian pakaian pada kegiatan usaha laundry selain menggunakan

deterjen, juga digunakan produk tambahan lain untuk meningkatkan kualitas hasil

pencucian pakaian seperti pelembut dan pewangi pakaian. Seiring perkembangan

jaman, formulasi penggunaan bahan-bahan tambahan dalam proses pencucian

pakaian mengalam perubahan. Berubahnya formulasi bahan pembuatan produk

laundry seperti detergen, pelembut, pemutih, dan jenis produk laundry lainnya

mengakibatkan perubahan kualitas grey water selama beberapa tahun terakhir ini.

(Tjandraatmaja dan Diaper, 2006).

2.2. Tanaman Kana (Canna indica)

Tanaman Kana dikenal juga dengan tanaman tasbih, lili kana, ganyong hutan,

ganyong wono, panah india, dan ganyong alas. Organ utama tanaman kana terdiri

atas rimpang, batang semu, daun bunga, buah, dan biji. Batangnya merupakan jenis
8

batang lunak (herbaceous) yang tersusun dari pelepah-pelepah daun yang yang

saling menutupi satu sama lain sehingga disebut memiliki batang semu (Sunaryanti,

2012). Taksonomi tanaman kana menurut Simpson (2006) :

Kingdom : Plantae

Superdivision : Spermatophyta

Division : Magnoliophyta

Class : Liliopsida

Orde : Zingiberals

Family : Cannceae

Genus : Canna

Spesies : Canna indica

Tanaman kana dapat tumbuh dengan baik di berbagai iklim baik di daerah

kering maupun daerah basah, namun pertumbuhan maksimal terjadi dengan tingkat

curah hujan tahunan 1000-2000 mm. Tanaman ini lebih menyukai tanah ringan

(berpasir) dan memerlukan tanah yang baik pengairannya. Tanaman kana adalah

tanaman herba parenial dengan ketinggian antara 0,9-1,8 meter (Mishra &

Ashutosh, 2013). Daun tanaman kana tersusun dalam tangkai pendek dan tumbuh

berselang-seling pada batang. Daunnya berbentuk oval dengan ujung runcing. Daun

kana memiliki panjang sebesar 15-60 cm, sedangkan lebarnya 7-20 cm. Bagian

tengahnya terdapat tulang daun yang tebal (Sunaryati, 2012).


9

Gambar 2.1 Tanaman kana

Warna bunga kana ini adalah merah oranye dan pangkal bunganya berwarna

kuning dengan benang sari yang tidak sempurna. Tanaman kana memiliki bunga

majemuk, tersusun dalam rangkaian berbentuk tandan. Kuntum bunga berbentuk

mirip corong, terdiri dari tiga sampai lima helai mahkota bunga yang berkukuran

beragam tergantung jenisnya (Sunaryanti, 2012). Bunga kana memiliki variasi

warna yaitu ungu, merah, oranye, putih, atau kuning (Tjia & Black, 2003). Buah

tanaman kana mempunyai bentuk berupa kapsul dengan kulit buah berwarna hijau,

pada permukaannya terdapat bagian runcing seperti duri lunak dengan panjang

sebesar 2,0-2,5 mm (Mishra & Ashutosh, 2013).

Tanaman kana termasuk tanaman yang perawatannya tidak terlalu sulit

karena tanaman ini dapat tumbuh di berbagai jenis tanah dan tahan menghadapi

berbagai jenis cuaca, selain itu tanaman ini juga tidak membutuhkan perlakuan

khusus, memiliki rimpang tebal menyerupai umbi, dan sangat suka sinar matahari.

Tanaman kana berpotensi untuk menyerap limbah karena tanaman ini memiliki

akar serabut, batang mengandung air yang mampu menyerap limbah secara alami

(Hutubessy dkk, 2012).


10

Tanaman kana merupakan tanaman yang populer sebagai tanaman kebun,

yang kemudian tumbuh menyebar secara luas di Jerman, Prancis, India, Inggris,

Italia, Amerika Serikat, dan termasuk Indonesia. Beberapa daerah di Indonesia telah

membudidayakan tanaman ini seperti Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Lampung,

Jambi, Jawa Barat, dan Jawa Timur (Ashary, 2016).

2.3. Suspensi Aktif (Lumpur Aktif)

Adanya mikroorganisme merupakan dasar fungsional dalam sejumlah proses

penanganan limbah secara biologis. Proses pengolahan limbah secara biologi dapat

dilakukan dengan menggunakan mikroorganisme baik berupa mikroorganisme

sejenis maupun mikroorganisme konsorsium. Salah satu bentuk penggunaan

mikroorganisme dalam mengolah limbah adalah suspensidi aktif (lumpur aktif).

Lumpur aktif merupakan larutan aktif yang diperoleh dari proses pengolahan secara

biologis secara aerobik dengan menggunakan sistem suspended growth. Berbagai

jenis mikroorganisme dapat ditemukan dalam lumpur aktif seperti protozoa, fungi,

dan zooglea (Reanida, 2012). Mikroorganisme dalam suspensi aktif

memetabolisme limbah organik dengan cara mengikat substrat-substrat organik

kemudian menguraikannya dengan enzim eksoseluler sehingga menjadi senyawa

terlarut serta sumber karbon dan energi bagi mikroorganisme itu sendiri melalui

reaksi oksidasi biologis. Adapun reaksi tersebut adalah sebagai berikut :

(Tchobanoglous dkk, 2003):

3C6H12O6 + 8O2 + 2NH3 8CO2 + 14H2O + 2C5H7NO2


Bakteri
materi organik biomassa baru
11

Mikroorganisme yang digunakan untuk mengolah limbah secara biologis

dapat dikembangkan melalui proses seeding secara aerob. Mikroorganisme yang

akan dikembangkan, diperoleh dari sedimen perairan yang terdapat pada ekosistem

alam yang terkontaminasi pencemar tertentu maupun ekosistem alam yang

memiliki sifat-sifat khas ataupun ekstrim. Suplai nutrisi berupa substrat dan nutrien

dari luar seperti nitrogen, fosfat, kalium, dan karbon sangat diperlukan untuk

memperoleh mikroorganisme dalam kondisi pertumbuhan yang cepat dan optimum

(Oktafiani dan Hermana, 2013). Pertumbuhan mikroorganisme selama proses

seeding dapat ditunjukan dengan kurva pertumbuhan bakteri yang dapat dibagi

menjadi 4 fase yaitu

1. Fase Adaptasi atau fase Lag

Pada fase ini, mikroorganisme menyesuaikan diri dengan lingkungan baru

dimana tempat mikroorganisme itu ditumbuhkan sehingga pada fase ini belum

terjadi proses pertumbuhan.

2. Fase Eksponensial

Pada fase ini terjadi proses pembelahan sel yang awalnya berlangsung lambat

menjadi semakin cepat karena semakin banyaknya sel yang membelah sehingga

terjadi pertumbuhan mikroorganisme yang luar biasa.

3. Fase Stasioner

Fase ini merupakan batas berakhirnya fase eksponensial karena pada fase ini

tidak terjadi peningkatan pertumbuhan jumlah sel mikroorganisme bersih.

Pertumbuhan sel mikroorganisme semakin melambat karena nutrien yang

diperlukan untuk berkembang telah berkurang.


12

4. Fase Kematian

Pada fase ini sel mikroorganisme akan mengalami kematian karena nutrien

dalam media sudah habis dan cadangan makanan dalam sel juga sudah habis.

Adapun kurva pertumbuhan mikroorganisme ditunjukan pada Gambar 2.1

Fase Stasioner
Jumlah Sel

Waktu

Gambar 2.2 Kurva Pertumbuhan Mikroorganisme Suyasa, 2015)

2.4. Mixed Liquor Volatile Suspended Solid (MLVSS)

Mixed Liquor Volatile Suspended Solid (MLVSS) adalah konsentrasi padatan

yang tersuspensi (baik berupa senyawa organik dan anorganik maupun

mikroorganisme) yang hilang pada pemanasan suhu 5500- 6000 C. Bagian yang

hilang selama pemanasan disebut residu volatile (zat padat organik) sedangkan

bagian yang tersisa disebut residu terikat (zat padat anorganik). Pengukuran nilai

MLVSS merupakan suatu pendekatan untuk menyatakan jumlah populasi bakteri

(Astuti dan Sinaga, 2015). Umumnya digunakan untuk memperkirakan konsentrasi

mikroorganisme dalam unit penanganan biologi.

Terjadinya peningkatan nilai MLVSS menunjukkan jumlah biomassa

semakin meningkat, semakin banyak jumlah biomassa yang tumbuh, maka semakin

besar aktivitas mikroorganisme dalam mengolah bahan organik maupun anorganik.

Terjadinya penurunan nilai MLVSS disebabkan karena adanya kompetisi


13

mendapatkan nutrien antar mikroorganisme untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

(Atlas and Bartha, 1987).

Adapun rumus yang digunakan dalam menentukan nila MLVSS yaitu :

(𝑋−𝑌)
MLVSS = 𝑥 1.000.000
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

Keterangan :
X = Berat yang terukur setelah pemanasan 1050C (gr)
Y = Selisih berat antara setelah pemanasan 1050C dan setelah pemanasan 5500-
6000C

2.5. Chemical Oxygen Demand (COD)

Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan jumlah oksigen yang

diperlukan untuk mengoksidasi senyawa-senyawa organik dalam 1 liter sampel.

Dalam COD senyawa yang berperan sebagai pengoksidasi adalah K2Cr2O7 atau

KMnO4. Senyawa-senyawa organik dapat dioksidasi dalam keadaan asam yang

mendidih secara optimum oleh K2Cr2O7 (Alaerts dan Santika 1984).

ΔE
8𝑎+16𝑏+4𝑐 64𝑎+16𝑏−32𝑐
4CaHbOc + ( )Cr2𝑂72− + ( )H+ 4aCO2 +
3 3
AgSo4
Bahan Organik (Warna Kuning)

32𝑎+14𝑏−16𝑐 16𝑎+4𝑏−8𝑐
( )H2O + ( )Cr3+
3 3

(Warna Hijau)

Larutan direfluks selama 2 jam dengan penambahan perak sulfat untuk

mempercepat reaksi. Larutan K2CrO7 yang ditambahkan pada proses refluks

berperan sebagai zat pengoksidasi harus tetap bersisa. Larutan K2CrO7 yang bersisa

digunakan untuk menentukan berapa oksigen yang terpakai dengan cara dititrasi
14

yaitu titrasi redoks dengan larutan Ferro Ammonium Sulfat (FAS). Reaksi yang

terjadi pada titrasi ini adalah

6Fe2+ + Cr2O72- + 14H+ 6Fe3+ + 2Cr3+ + 7H2O

Titrasi redoks menggunakan feroin sebagai indikator dengan titik akhir titrasi

ditunjukkan dengan perubahan warna larutan dari hijau biru menjadi merah bata.

Semakin banyak larutan FAS yang terpakai menunjukan semakin banyak oksigen

yang diperlukan untuk mengoksidasi K2CrO7. Hal ini menunjukkan semakin

tercemarnya perairan tersebut(Wardhana, 2001).

2.6. Surfaktan

Surfaktan atau surface active agent suatu molekul yang memiliki sifat

ampifilik yaitu mengandung gugus hidrofilik yang bersifat polar dan gugus

hidrofobik yang bersifat non polar (Foster, 1996). Satu molekul surfaktan terdiri

atas dua bagian yaitu kepala dan ekor. Bagian kepala merupakan gugus hidrofilik

sedangkan bagian ekor merupakan gugus hidrofobik. Interaksi gugus hidrofilik dan

hidrofobik dengan fluida, menyebabkan surfaktan dapat menurunkan tegangan

permukaan antar fase. Jika surfaktan dengan jumlah yang sedikit ditambahkan ke

dalam suatu campuran yang mengandung dua fase yang tidak saling bercampur

seperti air dan minyak dapat mengemulsikan kedua fase tersebut menjadi emulsi

yang stabil (Reningtyas dan Mahreni, 2015).


15

Gugus polar : Hidrofilik CH3

HO
OH

O OH

O O

Gugus non polar : Hidrofobik

Gambar 2.3 Struktur Molekul Surfaktan

Berdasarkan muatan yang berikatan pada gugus alkilnya surfaktan dibagi

menjadi empat golongan yaitu :

1. Surfaktan anionik yaitu molekul surfaktan yang bagian alkilnya berikatan

dengan anion. Surfaktan jenis ini memiliki karakteristik yang cenderung

hidrofilik karena disebabkan adanya gugus sulfonate atau sulfat. Contoh

sulfaktan anionic diantaranya Linier Alkilbenzen Sulfonat (LAS), Alkohol

Sulfat (AS), Alfa Olein Sulfonat (AOS), Parafin (Secondary Alkane Sulfonat,

SAS), Alkohol Ester Sulfat (AES), dan Metil Ester (MES).

2. Surfaktan Kationik adalah jenis surfaktan yang berikatan dengan kationik pada

bagian alkilnya. Pembawa sifat aktif permukaan pada surfaktan kationik adalah

bagian kepalanya. Contoh surfaktan kationik yaitu garam alkil dimetil benzyl

ammonium, garam alkil trimetil ammonium, garam dialkil dimetil ammonium.


16

3. Surfaktan Nonionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya tidak bermuatan.

Contohnya adalah ester gliserol asam lemak, ester sukrosa lemak, mono alkanol

amina, dan alkil amina oksida.

4. Surfaktan amfoter adalah surfaktan yang bermuatan positif dan negatif pada

bagian alkilnya. Contohnya yaitu surfaktan yang mengandung asam amino,

betain, dan fosfobetain.

Gugus alkil pada surfaktan yang bersifat hidrofobik dapat berupa rantai alkil

lurus, bercabang, maupun rantai tertutup atau gabungan dari rantai alkil lurus dan

bercabang seperti :

1. Gugus alkil (R= CnH2n+1) baik alkil rantai lurus, bercabang, sikllik maupun

alifatik atau campuran silik-alifatik.

2. Rantai perfluorohidrokarbon contohnya perfluoropolyethers (PFPE) dengan

struktur kimia (-CF2-O-CF2-).

3. Siloksan contohnya aminopropiltrimetoksisislan (APTS)

4. Polyoxypropylen, polyoxybutilen, 4,4- Dimethoxybutan-2-ol, 3-Methylpentene-

1,2,5-triol, Hexane-1,3,5-triol, Trimethyl orthopropionate (C6H14O3).

Surfaktan yang digunakan sebagai bahan pembuata detergen saat ini banyak

menggunakan surfaktan anionik. Surfaktan anioik sendiri terdiri dari 2 jenis yaitu

Alkyl Benzene Sulfonate (ABS) dan Liner Alkyl Sulfonate (LAS).

O H H H H H H H H H
+ - O S C C C C C C C C C CH3
Na
O CH3 H CH3 H CH3 H CH3 H CH3

Gambar 2.4 Struktur molekul Alkyl Benzene Sulfonate (ABS)


17

H H H H H H H H H H H H

H C C C C C C C C C C C H

H H H H H H H H H H H

O S O
-
O

Gambar 2.5 Struktur molekul Linier Alkyl Sulfonate (LAS)

Alkyl Benzene Sulfonate (ABS) memiliki sifat yang sangat sukar di

biodegradasi dan dapat menghasilkan busa yang sangat banyak di perairan. Oleh

karena itu, penggunaan ABS sebagai bahan pembuatan detergen kini mulai diganti

dengan Liner Alkyl Sulfonate (LAS). LAS tidak menghasilkan banyak busa

diperairan, namun hasil degradasinya tetap menghasilkan senyawa aromatis yang

mengandung cincin benzene yang bersifat toksik dan sukar didegradasi (Winarno,

2006). Selain itu penelitian Naeemi, dkk (2013) tentang perubahan histopatologi

insang, hati, dan ginjal pada Caspian Kutum, Rutilus frisii kutum yang terpapar

LAS menunjukkan hasil bahwa konsentrasi subletal LAS dapat menyebabkan

perubahan histopatologi dan malfungsi organ-organ tersebut sehingga terjadi

gangguan kesehatan pada ikan.

2.7. Fosfat

Fosfat merupakan salah satu komponen yang digunakan dalam pembuatan

detergen. Keberadaan fosfat tidak hanya pada air limbah tetapi terdapat juga pada

air alam namun dalam jumlah yang kecil yaitu sekitar 0,005-0,02 ppm (Effendi

2003). Fosfat yang terdapat dalam air alam maupun air limbah dapat berupa

senyawa ortofosfat, polifosfat, dan fosfat-organis. Senyawa-senyawa fosfat ini


18

terdapat pada perairan dalam bentuk tersuspensi, terlarut, atau terikat dalam sel

organisme. Semua senyawa fosfat organik dan polifosfat dalam perairan akan

dihidrolisis secara bertahap menjadi senyawa ortofosfat melalui proses

dekomposisi secara biologis (Hammer,2004). Senyawa fosfat dalam detergen

berfungsi sebagai builders dimana fungsinya adalah untuk menurunkan kesadahan

air dengan cara mengikat ion kalsium dan magnesium. Fosfat pada detergen

biasanya dijumpai pada bentuk umumnya yaitu Sodium Tri Poly Phospate (STPP).

Dalam detergen, STPP berfungsi sebagai builder yang merupakan unsur terpenting

kedua setelah surfaktan karena memiliki kemampuan untuk menonaktifkan

mineral-mineral yang menyebabkan kesadahan pada air sehingga detergen dapat

secara optimal dalam membersihkan pakaian. STTP dibuat dari asam fosfat murni

yang dinetralisasi dengan natrium hidroksida membentuk natrium hidrogen fosfat,

kemudian dipanaskan pada suhu 500-5500C (Hera, 2003). Reaksi yang terjadi yaitu

NaH2PO4 + 2Na2HPO4 Na5P3O10 + 2H2O

Fosfat dalam air limbah dapat berupa fosfat organik, orthophosphate

anorganik atau sebagai fosfat kompleks/polyphosphate. Fosfat organik terdapat

dalam air buangan penduduk dan sisa makanan. Fosfat organik juga dapat berasal

dari bakteri atau tumbuhan penyerap fosfat. Orthophosphate berasal dari bahan

pupuk. Fosfat kompleks mewakili kurang lebih separuh dari fosfat limbah

perkotaan dan berasal dari penggunaan detergent sintetis (Khusnuryani, 2008).

Ditinjau dari toksisitasnya, fosfat tidak bersifat toksik dalam dekomposisinya di

lingkungan, sebab ion P3O10 secara perlahan akan mengalami hidrolisis untuk
19

sehingga menghasilkan ortofosfat yang tidak beracun, dengan reaksi sebagai

berikut (Dewi, 2007) :

Na5P3O10 5Na+ + P3O105-

P3O10 + H2O 2HPO4 + H2PO4

Fosfat bermanfaat bagi mikroorganisme dalam menyeimbangkan bahan

organi dalam air serta menjadi nutrisi bagi pertumbuhan tanaman air. Namun, jika

kandungannya dalam perariran terlalu tinggi maka dapat menyebabkan terjadinya

eutrofikasi (pengkayaan unsur hara). Pada keadaan eutrofikasi, terjadi peristiwa

blooming yaitu peningkatan jumlah alga di perairan. Hal ini terjadi karena pada

keadaan ini tanaman air dapat mengabiskan oksigen dalam air pada malam hari dan

pada siang hari pancaran sinar matahari ke dalam air akan berkurang akibat

terhalangnya sinar matahari oleh tanaman untuk masuk ke dalam air, sehingga

proses fotosintesis berkurang dan oksigen yang terlarut dalam air juga berkurang

(Carty, 2002). Jika kadar fosfat pada air alami sangat rendah (< 0,01 mg P/1),

pertumbuhan tanaman ganggang akan terhalang, keadaan ini dinamankan oligotrop

(Allaerts and Santika, 1984).

2.8. Biosistem

Biosistem merupakan suatu bentuk ekosistem buatan yang terdiri dari

beberapa komponen biologi pada sebuah jaringan kerja yang saling berhubungan

yang di dalamnya terdapat interaksi baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pada biositem terdapat proses pengolahan limbah yang terintegrasi antara proses

filtrasi, sedimentasi, serta degradasi secara biologi untuk memisahkan berbagai

polutan yang ada pada limbah cair (Gauss dkk, 2008). Biosistem dibuat dengan dua
20

bagian fungsi utama yaitu pertama berupa saringan pasir yang bertujuan untuk

mengurangi kandungan-kandungan bahan-bahan padat yang ada di air dan

kandungan lumpur. Kedua yaitu penguraian senyawa-senyawa kontaminan oleh

aktivitas mikroba yang menempel pada media dan sekitar akar tumbuhan (Suyasa,

2015).

Fungsi utama pertama dari sebuah biosistem adalah saringan pasir sebagai

media filtrasi. Penyaringan atau filtrasi merupakan proses pemisahan komponen

padatan yang terkandung dalam air dengan melewatkannya pada suatu media

berpori atau bahan berpori lainnya untuk memisahkan padatan yang dapat berupa

suspensi maupun koloid (Quddus, 2014). Ukuran pasir untuk menyaring

bermacam-macam, tergantung jenis bahan pencemar yang akan disaring. Semakin

besar bahan padat yang perlu disaring maka semakin besar ukuran pasir yang

digunakan. Proses penyaringan berlangsung secara gravitasi, sangat lambat, dan

simultan pada seluruh permukaan media. Proses penyaringan merupakan kombinasi

antara proses fisis (filtrasi, sedimentasi, dan adsorbsi), proses kimia dan proses

biologis. Sejalan dengan proses penyaringan, bahan pencemar dalam limbah cair

akan bertumpuk dan menebal di atas permukaan media pasir. Setelah beberapa

lama, tumpukan tersebut akan menebal dan menyebabkan media pasir tidak

berfungsi dengan baik dalam menyaring dan mengeluarkan effluent dalam waktu

yang lambat. Kondisi seperti ini menunjukan bahwa media pasir mengalami

clogging atau pemampatan yang dapat diatasi dengan mengangkat dan mencuci

media pasir dengan alat pencuci pasir.


21

Penggunaan media pasir sebagai alat filter hanya terbatas pada penyaringan

beban padat terapung dan tidak mampu menyaring virus dan bakteri pada limbah

cair. Oleh karena itu, dalam pengolahan limbah dengan tujuan tertentu dianjurkan

agar menggunakan media pendukung lain (Untung, 1995).

Fungsi utama kedua adalah adanya aktivitas mikroorganisme dalam mengurai

polutan-polutan pada limbah cair yang dapat dijalankan dengan menggunakan

prinsip biofiltrasi. Biofiltrasi merupakan pemurnian limbah dengan melibatkan

tanaman maupun mikroorganisme sebagai media penghancur bahan-bahan

pencemar terutama senyawa organik (Muhammad, 2010). Pada biofiltrasi,

pengolahan limbah dilakukan dengan mengkombinasikan fungsi kerja tanaman

sebagai penyedia nutrisi serta saringan pasir sebagai filter dalam menyaring air

limbah. Selain fungsi-fungsi tersebut, tanaman dan media filter juga dapat dijadikan

sebagai tempat menempelnya mikroorganisme dalam fungsinya mendegradasi

polutan-polutan pada limbah cair.

Komponen tanaman yang paling berfungsi dalam proses ini adalah bagian

akar (rhizo). Dalam proses pengolahan limbah menggunakan biosistem tanaman,

terjadi aktivitas rizhodegradasi yang dilakukan oleh tanaman khususnya oleh

bagian akarnya. Rhizodegradasi merupakan kerjasama antara akar tumbuhan

dengan mikroorganisme dalam menurunkan kadar bahan pencemar pada suatu

reaktor pengolahan limbah (Mangkoedihardjo dan Samudro, 2010). Terjadinya

interaksi antara akar tanaman dan mikroorganisme menyebabkan tercukupinya

kebutuhan unsur hara bagi mikroorganisme maupun tanaman tersebut

(Sumastri,2009).
22

Tumbuhan pada reaktor biosistem berfungsi sebagai penyerap bahan

pencemar serta menyediakan lingkungan yang disukai oleh mikoorganisme,

dikarenakan tumbuhan menyediakan nutrien kepada mikroorganisme melalui

eksudat akar (Prijambada, 2014). Mikroorganisme yang mendegradasi bahan

organik tumbuh pada permukaan media dan menempel pada akar tumbuhan.

Mekanisme rhizodegradasi adalah oksigen yang dikeluarkan oleh tumbuhan

ditransformasikan bersama ke dalam akar. Mikroorganisme yang dibantu oleh zat-

zat eksudat akar seperti gula, alkohol, dan asam dapat meningkatkan perannya

dalam penguraian polutan. Spesies tanaman yang biasanya digunakan adalah

berbagai jenis tanaman yang memiliki sifat hidup tergenang dan tahan akan kondisi

lingkungan yang relative ekstrem. Mikroorganisme secara alami dapat tumbuh dan

berkembang pada lingkungan biosistem, mikroorganisme yang sudah diinokulasi

juga dapat ditambahkan dari luar biosistem. Mikroorganisme ini dikembangkan

dalam suatu media dan diberikan nutrien sebagai bahan makanan untuk

mikroorganisme tersebut tumbuh dan berkembang.

2.9 Spektrofotometri UV-Visible

Spektrofotometri UV-Vis merupakan salah satu metode analisis dalam

menentukan komposisi sampel secara kualitatif dan kuantitatif. Spektrofotometri

ini menggunakan sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat (panjang

gelombang 190 nm - 380 nm) dan sinar tampak (panjang gelombang 380 nm - 780

nm). Prinsip kerja Spektrofotometer UV-Vis yaitu apabila cahaya monokromatik

melalui suatu media (larutan), maka sebagian cahaya tersebut diserap, sebagian

dipantulkan, dan sebagian lagi dipancarkan (Yanlinastuti dan Fatimah, 2016).


23

Apabila suatu radiasi elektromagnetik dilewatkan pada suatu molekul maka

menimbulkan terjadinya penyerapan oleh molekul. Adanya penyerapan tersebut

terjadi karena adanya transisi elektron dari tingkat energi rendah ke tingkat energi

tinggi oleh suatu elektron valensi (Khopkar, 2008).

Pengukuran dengan metode spektrofotometri UV-Vis ini didasarkan pada dua

hukum yaitu Hukum Lambert dan Hukum Beer. Hukum Lambert menyatakan

hubungan antara absorpsi radiasi dan panjang lintasan melewati medium yang

menyerap mula-mula sedangkan hukum Beer menyatakan hubungan antara tangkat

absorbsi dan konsentrasi spesies pengabsorbsi (Day dan Underwood, 2002).

Gabungan dari kedua hukum ini menghasilkan hukum Lambert-Beer yang menjadi

dasar dalam penggunaan metode spektrofotometri UV-Vis. Hukum Lambert-Beer

menyatakan jumlah radiasi cahaya tampak yang diserap atau diteruskan oleh suatu

larutan merupakan suatu fungsi eksponen dari konsentrasi zat dan tebal larutan.

Rumus

𝐼
A=log 𝐼0 = 𝜀. 𝑏. 𝑐 = 𝑎. 𝑏. 𝑐
𝑡

Dimana :
A = Serapan
I0 = Intensitas sinar yang dating
It = Intensitas sinar yang diteruskan
ε = Absorbtivitas molekuler (L.mol-1.cm-1)
a = Daya serap (L.g-1.cm-1)
b = Tebal larutan/kuvet (cm)
c = Konsenstrasi zat (g/l)
Analisis kuantitatif menggunakan spektrofotometri UV-Vis terbagi menjadi

3 teknik yaitu analisis standar tunggal, kurva kalibrasi (kurva standar), dan analisis
24

adisi standar. Umumnya analisis kuantitatif menggunakan teknik kurva kalibrasi.

Kurva kalibrasi adalah plot antara konsentrasi standar dengan absorbansi dengan

persamaan regresi linier :

y = bx + a

Dimana nilai y adalah absorbansi, nilai x merupakan konsentrasi standar, nilai

b adalah slope/kemiringan, serta nilai a adalah intersep. Nilai absorbansi sampel

selanjutnya diekstrapolasi sehingga memotong sumbu x (konsentrasi), sehingga

konsentrasi sampel dapat ditentukan (Khopkar, 2008).

Anda mungkin juga menyukai