Anda di halaman 1dari 10

Tugas Kelompok

CLINICAL CASE REPORT AND LITERATURE REVIEW

“ASTHMA AND COPD”

OLEH :

KELOMPOK III (TIGA)

1. RISKI AMALIA (O1A1 17 058)


2. WA ODE NURHAIRANI (O1A1 17 073)
3. YUNI SARI DIMA (O1A1 17 076)
4. ZULFIKAR (O1A1 17 078)
5. ASNITA HAFSANI (O1A1 17 085)

KELAS :B

DOSEN : ASNIAR PASCAYANTRI, S.Si., M.Si., Apt.

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
Clinical case report and literature review: Pasien Asma

Riski Amalia, Wa Ode Nur Hairani, Yuni Sari Dima, Zulfikar, Asnita
Hafsani
Mahasiswa Fakultas Farmasi Program Studi S1 Farmasi Universitas Halu Oleo
Kendari

Case Report
Ny. Putu Aniati, 33 tahun dengan keadaan sadar ke IRD RSUP Sanglah
dengan keluhan sesak napas yang dirasakan sejak 8 jam SMRS (27/2/2013) dan
memberat sejak 2 jam SMRS. Sesak napas yang dirasakan disertai bunyi napas
“ngik-ngik” dan pasien kesulitan menghirup udara hingga pasien kesulitan tidur.
Sesak napas dikatakan lebih baik bila dalam keadaan duduk dan pasien merasakan
sesak napas lebih berat dalam keadaan berbaring. Sesak napas awalnya disertai
dengan batuk-batuk.
Batuk dirasakan sejak 1 hari sebelum gejala sesak napas, yang semakin
memberat sesaat sebelum sesak napas. Batuk yang dirasakan berdahak, namun
dahak dirasakan susah untuk dikeluarkan. Setelah diberikan obat oleh dokter di
RSUP Sanglah, pasien mengatakan dahak mulai keluar sedikit-sedikit dengan
warna dahak dikatakan berwarna putih kekuningan dan sedikit lengket. Awalnya
pasien sempat memeriksakan diri ke klinik dan diberi obat (pasien tidak
mengingat nama obat) tapi keluhan tidak membaik dan semakin memburuk
hingga menganggu tidur pasien.
Pasien sebelumnya sudah beberapa kali mengalami hal yang sama. Sesak
napas seperti saat ini pertama kali dirasakan umur 15 tahun, dan sempat di rawat
di rumah sakit. Pasien pernah mengkonsumsi obat yang didapatkan di puskesmas
(pasien tidak mengingat nama obatnya) dan sesak napas berkurang dengan
mengkonsumsi obat tersebut. Awalnya keluhan ini dirasakan sering oleh pasien,
tapi beberapa tahun terakhir serangan berkurang yaitu sekitar 1 kali sebulan,
Pasien mengatakan sesak napas sering kali kambuh apabila bekerja di tempat
dingin/berdebu. Pasien menyangkal memiliki riwayat merokok , tetapi pasien
mengatakan suaminya merupakan seorang perokok sejak masih muda hingga
sekarang, sedangkan riwayat minum-minuman beralkohol disangkal pasien.
1. Pemeriksaan Fisik
Tanda-Tanda Vital:
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis (GCS E4V5M6)
VAS : 0/10
Tekanan darah : 110/60 mmHg
Nadi : 100 kali/menit
Respirasi : 22 kali/menit
Suhu aksila : 36,3 ºC
Tinggi badan : 160 cm
Berat badan : 50 kg
BMI : 22,02 kg/m2 19
2. Pemeriksaan Umum
3. Pemeriksaan Penunjang (27/02/2013)
Pemeriksaan darah lengkap : Leukositosis
Analisis Gas Darah dan Elektrolit : Asidosis metabolik terkompensasi
4. Pemeriksaan Radiologi
 Thoraks AP (21/02/2013): Corakan dan pulmo tidak tampak kelainan
 EKG (27/02/2013) : Irama sinus normal, Axis normal, SV2 + RV5 ≤ 35 mm

Discussion and review literature


Antiinflamasi
Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan obat yang paling banyak digunakan untuk
mengatasi inflamasi termasuk asma. Kortikosteroid mengurangi jumlah sel
inflamasi saluran napas pada tingkat seluler. Hal ini terjadi dengan menghambat
perekrutan sel inflamasi kedalam saluran napas. Kortikosteroid sistemik
merupakan langkah awal dalam pengobatan eksaserbi asma akut. Eksaserbi asma
dapat ditimbulkan akibat paparan alergen (debu). Kortikosteroid sistemik
diberikan ketika obat-obat lain sudah tidak memberikan perbaikan atau pada
kondisi berat. Kortikosteroid yang diberikan yaitu metil prednisolon, karena obat
ini bersifat kerja pendek sehingga efek sampingnya lebih sedikit dengan dosis 24-
40 mg/hari dosis tunggal atau terbagi selama 3-10 hari. Efek samping penggunaan
metilprednisolon adalah gangguan kardiovaskuler (aritmia, edema, hipertensi),
gangguan system saraf pusat (delirium, euphoria, halusinasi, sakit kepala,
insomnia, vertigo), gangguan endokrin dan metabolik (adrenal suppresion ,
alkalosis, amenorrhea, cushing syndrome, diabetes mellitus, intoleransi glukosa,
hiperglikemia, hipelipidemia, hipokalemia, retensi Natrium dan cairan), gangguan
pencernaan (peningkatan berat badan, mual, pancreatitis, peptic ulcer, mual),
ketika pasien menggunakan obat secara tidak teratur maka kemungkinan efek
samping hampir tidak dirasakan dan meskipun durasi menderita asmanya sudah
lama efek samping juga tidak dirasakan karena pasien hanya menggunakan obat
jika terjadi serangan.
Antihistamin tidak disarankan untuk pasien asma akibat alergi karena
mekanisme antihistamin yaitu bekerja dengan cara memblokir zat histamin yang
diproduksi oleh tubuh. Ketika histamin melakukan perlawanan maka tubuh akan
mengalami peradangan yang terjadi pada pasien asma yaitu terjadi kontriksi
saluran pernapasan dan menyebabkan terjadinya pembengkakkan. Sehingga
diberikan antiiflamasi untuk menghilangkan pembengkakkan dan sesak napas
berkurang.

Bronkodilator
Agonis ß2 adrenergik
Agonis β2-adrenergik yang diberikan secara inhalasi merupakan
bronkodilator yang paling efektif dan terapi lini pertama untuk mengatasi
serangan asma akut. Agonis ß2 adrenergik (short acting) yang paling banyak
digunakan adalah salbutamol. Agonis ß2 adrenergik (short acting) diprediksi
mampu meningkatkan kekambuhan pada pasien asma anak dan dewasa. Agonis
ß2 adrenergik (short acting) yang digunakan yaitu salbutamol secara inhalasi
dengan dosis : 200 mg 3-4 kali/hari; oral: 1-2 mg 3-4 kali/hari. Efek samping
salbutamol adalah rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan
hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit menimbulkan efek
samping daripada oral. Dianjurkan pemberian inhalasi, kecuali pada penderita
yang tidak dapat/ mungkin menggunakan terapi inhalasi.

Reference
Kemenkes, 2008, Pedoman Pengendalian Penyakit Asma, Menteri Kesehatan
Republik Indonesia.
Lutfiyati, H., Zullies, I. dan Chairun, W., 2015, Efek Samping Penggunaan Terapi
Oral Pada Pasien Asma, FEK Jurnal Farmasi Sains dan Praktis, Vol. 1(1).

Setiawan,K., 2018, Asma Bronkial, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Yusriana,C.S., Tri, M.A. dan A.M. Wara, K., 2014, Pengaruh Jenis Terapi dan
Karakteristik Penyakit Asma Terhadap Kualitas Hidup Pasien Asma Rawat
Jalan di RSUD, Jurnal Manajemen Pelayanan Farmasi, Vol. 4(1).
Clinical case report and literature review: Pasien PPOK

Riski Amalia, Wa Ode Nurhairani, Yuni Sari Dima, Zulfikar, Asnita


Hafsani.
Mahasiswa Fakultas Farmasi Program Studi S1 Farmasi Universitas Halu Oleo
Kendari

Case Report
Tuan A jenis kelamin laki-laki berusia 72 tahun sudah menikah bekerja
sebagai wiraswata. Pasien mengatakan mengalami sesak nafas sejak 3 hari yang
lalu, sebelum MRS.Pasien mengatakan mengalami sesak nafas, serta mengalami
batuk berdahak, mengeluarkan dahak warna putih kekuningan 2x, nyeri pada dada
sebelah kanan, nyeri bertambah bila batuk. Pasien tampak memegang dadanya,
pasien terbaring lemah, terdengar suara nafas whezeng Dengan TD: 140/80
mmHg, Nadi: 86x/mnt, Suhu: 36,7oC, RR: 28x/mnt. Diagnosis oleh dokter pasien
menderita PPOK.

Discussion and review literature


MDI
Pressurized metered dose inhaler (pMDI) adalah tipe inhaler yang paling dikenal
untuk terapi penyakit respirasi lokal seperti PPOK. Komponen struktural dari
pMDI konvensional adalah tabung, metering valve, penggerak (actuator), dan
corong mulut (mouth piece). Tabung tersebut terbuat dari bahan inert yang
mampu menahan tekanan tinggi yang diperlukan untuk menjaga agar propelan
(bahan yang mudah menguap menjadi gas) dalam keadaan cair. Penggunaan MDI
untuk pasien dengan PPOK ekstraserbasi berat lebih sesuai dibandingkan degan
penggunaan nebulizer.

Kortikostteroid inhalasi
Terapi farmakologis untuk PPOK ditujukan untuk mengurangi gejala,
menurunkan frekuensi dan beratnya serangan, dan memperbaiki toleransi
aktivitas/olahraga dan status kesehatan.Pada terapi PPOK kortikosteroid inhalasi
berfungsi untuk mengurangi reaksi inflamasi yang terjadi, sehingga dapat
memperbaiki fungsi paru, dan mengurangi serangan akut.Reseptor glukokortikoid
alfa (GRα) berada pada sitoplasma dari sel epitel saluran nafas yang merupakan
target kerja primer dari kortikosteroid inflamasi. Adanya difusi pasif dari steroid
ke dalam sel akan memberikan kesempatan pada GRα untuk berikatan dengan
ligand steroid, sehingga nantinya dapat menurunkan ekspresi dari produk gen
inflamasi. Obat ini memiliki aksi penting dalam menghambat limfositik dan
eosinofilik dari mukosa saluran nafas. Penggunaannya sebagai terapi PPOK
dibatasi untuk PPOK berat sampai sangat berat, dan dikombinasi dengan
LABA.kombinasi dari kedua obat tersebut akan bekerja secara sinergis dan sangat
bermanfaat untuk mengurangi inflamasi.

Bronkodilator
Beta 2 agonis
Bronkodilator adalah obat yang memiliki mekanisme kerja dengan
merelaksasi otot pernafasan dan melebarkan jalan nafas (bronkus). Umum
digunakan pada penyakit- penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Agonis β2
kerja pendek berikatan dengan reseptor adrenergik β2 yang berada pada membran
plasma sel otot polos, epitel, endotel, dan jenis sel saluran nafas lainnya. Ikatan ini
menyebabkan stimulasi protein G untuk mengaktivasi adenylate cyclase
converting adenosine triphosphate (ATP) menjadi cyclic adenosine
monophosphate (cAMP), sehingga terjadi penurunan pelepasan kalsium dan
perubahan membran potensial yang menyebabkan relaksasi otot polos. Efek
samping sistemik, hipokalemia, hiperglikemia, takikardia, dan disritmia jantung
lebih jelas pada pasien yang menerima terapi sistemik. Sehngga pemberian beta 2
agonis MDI lebih sesuai untuk pasien dengan ektraserbasi berat.

Antikolinergik
Mekanisme kerja dari antikolinergik sehingga dapat meghsilkann efek
bronkodilator yaitu reseptor muskarinik 1 (M1) dan muskarinik 3 (M3)
bertanggung jawab untuk terjadinya bronkokonstriksi dan produksi mukus dan
merupakan target kerja dari obat antikolinergik inhalasi. Asetilkolin berikatan
dengan M1 dan M3 dan menyebabkan kontraksi otot polos melalui peningkatan
cyclic guanosine monophosphate (cGMP) atau oleh aktivasi dari protein G.
Protein tersebut kemudian mengaktivasi fosfolipase C untuk memproduksi
inositol trifosfat (IP3), yang akan menyebabkan pelepasan kalsium dari
penyimpanan intraseluler dan aktivasi dari myosin light chain kinase yang
kemudian menyebabkan otot polos berkontraksi. Antikolinergik menghambat
kaskade tersebut dan mengurangi tonus otot polos, dengan mengurangi pelepasan
kalsium intraseluler.Ipratropium diklasifikasikan sebagai antikolinergik kerja
pendek yang biasanya sering digunakan untuk terapi PPOK (sebagai terapi
serangan akut dan pemeliharaan). Pasien yang diterapi dengan ipratropium
mengalami peningkatan toleransi olahraga, penurunan sesak, dan memperbaiki
ventilasi.
Bronkodilator dianjurkan dalam penggunaan inhalasi. Bronkodilator pada
pasien eksaserbasi disarankan meggunakan dua kombinasi obat yaitu golongan
beta 2 agonis dan antikolinergikk yaitu fenoterol dan ipratropium dengan inhaler
50/20 SMI dengan dosisnya 1.25, 0.5 mg dalam 4 Ml dengan durasi kerja 6-8 jam.
Kombinasi 3 obat korticosteroid inflamasi, golongan beta 2 agonis dan anti
kolinergik dapat memperbaiki fungsi paru dan kualitas hidup serta dapat
menurunkan resiko eksaserbasi.

Reference
Ndun, N.D., 2015, Studi Kasus Pada Tn. A 72 Tahun Yang Mengalami Masalah
Keperawatan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas Dengan Diagnosa
Medis Penyakit Paru Obstruksi Kronik (Ppok) Di Ruang Sedap Malam
Rsud Gambiran Kota Kediri, Universitas Nusantara Pgri Kediri.

Kristinigrum, E., 2019, Farmakoterapi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK),


CDK, Vol 46(4).

Katzung B., 2004, Basic And Clinical Pharmacology. 9th ed, McGraw-Hill :
Boston.
Shafer S, Rathmell J, Flood P., 2015, Stoelting's Pharmacology And Physiology
In Anesthetic Practice. 5th Ed, Wolters Kluwer : Philadelphia

Anda mungkin juga menyukai