Anda di halaman 1dari 8

FARMAKOTERAPI TERAPAN

“SINDROM KORONER AKUT STEMI”

OLEH
KELOMPOK VIII

WA ODE ASTRYA NUR FADILLAH TIWORO O1B1 21 122


WA ODE HERMIYANTI O1B1 21 123
WA ODE INDRI HARTATI O1B1 21 124
WA ODE MUTIARA O1B1 21 125
WA ODE NUR AINUN O1B1 21 126
WA ODE SUL VENNY O1B1 21 127
WINDY EGIDIA SAFITRI O1B1 21 128
YATIL HIDAYANTI O1B1 21 129
YUNI SARI DIMA O1BI 21 130
ZULFAHRI AHMAD SLAMET O1BI 21 131

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2022
KASUS SINDROM KORONER AKUT STEMI

Pria berusia 68 tahun ke UGD mengeluh nyeri dada seperti tertekan tekanan dimana nyeri yang berlangsung 20-
30 menit yang terjadi saat istirahat. Sakit menjalar ke leher dan rahangnya dan terasa tertekan disertai mual dan
diaphoresis/keringat dingin. Nyeri pertama dimulai kira-kira 6 jam yang lalu setelah dia sarapan pagi dan tidak
hilang dengan antasida atau SL NTG × 3 (sub lingual nitrogliserin).
Dia juga menyatakan bahwa dia telah mengalami nyeri dada selang seling di masa lalu
3–4 minggu dengan aktivitas minimal. Saat ini nyeri dada saat istrahat.

Riwayat penyakit hipertensi, DM tipe 2, dislipidemia, cardio artery disease/CAD dengan PCI /percutaneous
coronary intervention dengan drug eluting stent (DES) 3 tahun lalu.
Bapaknya meninggal umur 75 tahun karena HF, dan ibunya masih hidup 88 tahun dengan HT dan DM tipe 2.
Merokok 20 tahun berhenti saat terima DES 3 tahun lalu,kadang minum bir akhir pekan.
Menggunakan obat: aspirin 81 mg po daily, metoprolol tartrate 25 mg po bid, simvastatin 40 mg po qhs,
metformin 500 mg po bid sl ntg prn cp (chest pain).
Pemeriksaan fisik: TD 145/92, Nadi 89, Pernapasan18, suhu 37.1°C;
BB 95 kg, TB 178 cm

Data Lab dan ECG:

ECG: 2-3 mm ST-segment elevation inleads II, III, dan aVF


PERTANYAAN:
1. Apa riwayat pasien yang menunjukan STEMI akut?
2. Apa faktor risiko yang menyebabkan CAD pada pasien?
3. Apa tujuan dan strategi terapi pada pasien?
4. Apa terapi non farmakologi pasien?
5. Apa peran terapi antikoagulan tambahan selama PCI, dan bagaimana monitoringnya?
6. Apa peran terapi antiplatelet tambahan sebelum, selama, dan sesudah PCI, dan bagaimana
monitoringnya?
7. Apa terapi obat inisial pada pasien?
8. Apa yang harus dimonitoring untuk ES dan efektivitas obatnya?

Jawaban:

5. Apa peran terapi antikoagulan tambahan selama PCI, dan bagaimana monitoringnya?
Jawab:
Terapi antikoagulan diberikan dengan tujuan untuk menghambat terjadinya sumbatan pada sistem
koagulasi darah saat sudah aktif sehingga mencegah terbentuknya trombus pada pembuluh darah. Trombus
pada penyakit jantung koroner disebabkan oleh pecahnya aterosklerosis. Antikoagulan mencegah terjadinya
gumpalan dengan cara fase inisiasi TF-VIIa (Tissue Factor-VIIa) pada mekanisme pembekuan darah dengan
disertai pelemahan terhadap jalur intrinsik sekunder yang merupakan fase pembentukan bekuan darah.
Antikoagulan menghambat terjadinya koagulasi dengan berbagai cara, diantaranya adalah berikatan dengan
antitrombin III sehingga menghambat faktor-faktor pembekuan membentuk kompleks dengan antitrombin
yang aktif. Faktor pembekuan tersebut antara lain trombin, faktor Xa, faktor XIa, faktor IXa (Gobel, 2018).
Pada penggunaan antikoagulan dapat mengurangi terjadinya iskemik miokard namun antikoagulan juga
dapat menimbulkan perdarahan pada pasien sehingga perlu dimonitoring (Anderson, 2013). Perdarahan
mampu meningkatkan resiko terjadinya kematian. Terapi antikoagulan seharusnya dipilih yang paling
minimal menyebabkan terjadinya perdarahan (Trailokya, 2015).
Semua pasien harus menerima antikoagulan selain DAPT (terapi antiplatelet ganda) terlepas dari jenis
ACS (Acut coroner syndrome) atau strategi pengobatan awal. pasien dengan STEMI yang menjalani PCI
primer, baik UFH atau bivalirudin lebih disukai karena dapat mengurangi CV dan kematian secara
keseluruhan sambil meminimalkan perdarahan dibandingkan dengan UFH plus GPI (dipiro dkk.,2016).

 Bivalirudin
Antikoagulan menjadi baku terapi standar pada SKA bersama dengan antiplatelet sebagai
pencegahan sekunder. Jenis antikoagulan yang umum digunakan selama ini adalah unfractionated
heparin (UFH) dan low molecular weight heparin (LMWH). Namun demikian, UFH dan LMWH
memiliki banyak kelemahan, antara lain angka perdarahan yang cukup signifikan dibandingkan dengan
antikoagulan yang baru seperti bivalirudin. Oleh karena itu, sorotan terapi antikoagulan pada pasien
SKA dengan diabetes yang ditujukan kepada golongan antikoagulan yang baru. Bivalirudin, yang
merupakan sebuah trombin inhibitor, menjadi pilihan monoterapi antikoagulan. Pada studi Acute
Catheterizatin and Urgent Invtervention Triage Strategy (ACUITY), ditemukan bahwa bivalirudin
menunjukkan proteksi yang sama terhadap kejadian iskemia dibandingkan dengan kombinasi heparin
dan GPIIb/Illa pada pasien dengan risiko sedang- terhadap ACS. Pada analisis subgrup terhadap 3852
pasien diabetes, monoterapi bivalirudin menunjukkan angka kejadian perdarahan yang lebih sedikit
dibandingkan dengan terapi kombinasi (Anndrianto, 2021). Dosis untuk Untuk PCl pada STEMI,
berikan bolus IM 0,75 mg/kg diikuti dengan infus 1,75 mg/kg/jam (dipiro dkk.,2016).

Monitoring Antikoagulan:
 Jika UFH sebelumnya diberikan, hentikan UFH dan tunggu 30 menit sebelum memulai bivalirudin.
 Memonitoring fungsi ginjal penyesuaian dosis bivalirudin untuk gagal ginjal berat dan hemosialisis.
 Tinjau gejala klinis perdarahan (aPTT awal, INR, Hgb, HCT, dan jumlah trombosit) aPTT setiap 6 jam
sampai target kemudian setiap 24 jam untuk membuat penyesuaian dosis yang tepat dalam terapi
antikoagulan yang diberikan selama awal ACS.
 Hentikan penggunaan bivalirudin pada akhir PCI atau lanjutkan pada 0,25 mg/kg/jam jika diperlukan
antikoagulan yang berkepanjangan.

6. Peran terapi antiplatelet sebelum, selama dan sesudah PCI:

 Aspirin
Aspirin (ASA) adalah agen antiplatelet pilihan dalam pengobatan dari Acute Coronary Syndrom
(ACS). Efek antiplatelet ASA dimediasi oleh penghambatan sintesis TXA2 melalui penghambatan
ireversibel siklooksigenase-1 trombosit. Pada pasien yang mengalami ACS, dosis awal sama dengan
atau lebih besar dari 160 mg ASA nonenteric-coated dianjurkan untuk mencapai penghambatan
trombosit yang cepat. Data saat ini menunjukkan bahwa meskipun dosis awal 162 sampai 325 mg
diperlukan, terapi jangka panjang dengan dosis 75 hingga 150 mg setiap hari sama efektifnya dengan
dosis yang lebih tinggi. Oleh karena itu, dosis pemeliharaan harian 81 hingga 162 mg umumnya lebih
disukai pada kebanyakan pasien dengan ACS, termasuk pasien yang juga menerima Inhibitor P2Y12,
untuk menghambat 10% dari total kumpulan trombosit yang diregenerasi setiap hari. Pada pasien yang
menerima ticagrelor, direkomendasikan dosis pemeliharaan ASA adalah 81 mg. ASA harus berlanjut
tanpa batas mengikuti STEMI atau NSTE-ACS.
- Peran terapi tambahan sebelum PCI:
ASA mengurangi risiko kematian atau MI sekitar 50% dibandingkan dengan tanpa terapi
antiplatelet pada pasien dengan NSTE-ACS. Oleh karena itu, ASA tetap menjadi landasan awal
pengobatan untuk semua terapi ACS.
- Peran terapi tambahan selama PCI:
Pada pasien yang menjalani PCI, ASA mencegah oklusi trombotik akut selama pengobatan. Selain
itu, pada pasien yang menjalani PCI, Aspirin, selain inhibitor P2Y12, mengurangi risiko trombosis
stent.
- Peran terapi tambahan sesudah PCI:
semua pasien harus menerima pengobatan jangka panjang dengan Aspirin -blocker, ACE inhibitor,
dan statin untuk pencegahan sekunder kematian, stroke, atau infark berulang.

 Inhibitor Platelet P2Y12


Pemberian inhibitor reseptor P2Y12, selain ASA, direkomendasikan untuk semua pasien dengan
ACS. Clopidogrel, prasugrel, dan ticagrelor memblokir reseptor P2Y12, subtipe reseptor ADP, pada
trombosit yang mencegah pengikatan ADP ke reseptor dan ekspresi selanjutnya dari reseptor platelet
GP IIb/IIIa, dan mengurangi aktivasi platelet.
Ticagrelor, yang bukan merupakan thienopyridine bersifat reversibel, nonkompetitif sebagai
penghambat reseptor P2Y12. Senyawa induk Ticagrelor memiliki efek antiplatelet dan juga
dimetabolisme terutama oleh CYP3A untuk metabolit aktif yang menghasilkan efek antiplateletnya.
Baik prasugrel dan ticagrelor adalah inhibitor ADP yang lebih kuat dibandingkan clopidogrel. Dalam uji
klinis acak besar, ticagrelor secara signifikan mengurangi tingkat kematian CV, MI, stroke, dan
trombosis stent dibandingkan dengan clopidogrel. Penderita diabetes melitus (DM) atau mereka dengan
STEMI tampaknya memiliki manfaat lebih besar dengan prasugrel dan ticagrelor tanpa peningkatan
perdarahan besar dibandingkan dengan clopidogrel. Risiko GIB (Gastrointestinal Bleeds) yang terkait
dengan tiga inhibitor P2Y12 dalam kohort nasional pasien ACS yang mengikuti terapi reperfusi koroner
dalam praktik rutin, ticagrelor dikaitkan dengan penurunan GIB hingga 37% dalam tahun pertama
setelah resep indeks bila dibandingkan dengan clopidogrel pada semua pasien yang menjalani PCI untuk
ACS.

- Peran terapi tambahan sebelum PCI:


Untuk pasien dengan STEMI menjalani PCI primer, clopidogrel, prasugrel, atau ticagrelor, selain
ASA, harus diberikan untuk mencegah trombosis stent subakut dan kejadian CV jangka panjang
- Peran terapi tambahan selama PCI:
Pada pasien yang menjalani PCI, inhibitor P2Y12, mengurangi risiko trombosis stent.
- Peran terapi tambahan sesudah PCI:
Setelah PCI, pada pasien belum diobati dengan inhibitor P2Y12, baik clopidogrel, prasugrel, atau
ticagrelor dapat digunakan (ticagrelor dan prasugrel pada pasien yang tidak berisiko tinggi
perdarahan mungkin lebih disukai) dan harus dimulai dalam waktu 1 jam setelah PCI. Untuk
pasien yang dirawat menggunakan pendekatan yang dipandu iskemia, inhibitor P2Y12 harus
diberikan untuk hingga 12 bulan.

Monitoring Antiplatelet:

 Efek samping ASA yang paling sering adalah dispepsia dan mual. Pasien harus dipantau perdarahan,
terutama perdarahan gastrointestinal (GI), dengan ASA
 Pendarahan harus dipantau dengan cermat saat menggunakan P2Y12 inhibitor
 Jika pasien telah menerima fondaparinux dan pergi ke kateterisasi atau cath laboratorium, pastikan
bahwa antikoagulan tambahan dengan UFH diberikan pada saat intervensi
 Tinjau fungsi ginjal dan tes koagulasi dasar (aPTT, trombosit) untuk membuat penyesuaian dosis yang
tepat dalam terapi antiplatelet dan antikoagulan yang diberikan selama awal ACS.
 Sesuaikan semua obat berdasarkan fungsi ginjal
 Pastikan semua pasien menerima aspirin dan statin saat pulang dan lanjutkan tanpa batas selama tidak
ada kontraindikasi
 Tinjau resep pemulangan untuk DAPT (dengan aspirin 81 mg ditambah inhibitor P2Y12), yang harus
diberikan untuk 12 bulan setelah ACS terlepas dari pemasangan stenting. Juga, diskusikan dengan
pasien pentingnya DAPT (terutama di pasien menerima stent).
 Evaluasi resep terapi PPI bagi mereka yang membutuhkan terapi tiga kali lipat dengan aspirin,
penghambat reseptor P2Y12, dan antagonis vitamin K.
(Dipiro, 2016).

7. Apa terapi obat inisial pada pasien?


a. Nitrogliserin
Pasien dengan nyeri iskemik di dada harus diberikan nitrogliserin sublingual 0,4 mg setiap 5 menit
dengan dosis maksimal 3 dosis. Setelah melakukan penialaian seharusnya dievaluasi akan kebutuhan
nitrogliserin intravena. Intravena nitrogliserin ini diindikasikan untuk bila nyeri iskemik masih
berlangsung, untuk mengontrol hipertensi, dan edema paru.
b. Analgesik
Morfin sulfat (2-4 mg intravena dan dapat diulang dengan kenaikan dosis 2 – 8 mg IV dengan
interval waktu 5 sampai 15 menit) merupakan pilihan utama untuk manajemen nyeri yang disebabkan
STEMI.
c. Aspirin
Aspirin kunyah harus diberikan pada pasien yang belum pernah mendapatkan aspirin pada kasus
STEMI. Dosis awal yang diberikan 162 mg sampai 325 mg. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan
dosis 75-162 mg.
d. Beta Bloker
Terapi beta bloker oral dianjurkan pada pasien yang tidak memiliki kontraindikasi terutama bila
ditemukan adanya hipertensi dan takiaritmia. Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada,
pemberian penyekat beta IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa digunakan adalah
metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 menit,
tekanan darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari
diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50
mg tiap 6 jam selama 48 jam dan dilanjutkan 100mg tiap 12 jam.
e. Clopidogrel
Pemberian clopidogrel 600 mg sedini mungkin. Dan dilanjutkan dengan dosis rumatan sebesar 75
mg per hari (Safitri, 2013).
f. Bivalirudin
Dosis untuk Untuk PCl pada STEMI, berikan bolus IM 0,75 mg/kg diikuti dengan infus 1,75
mg/kg/jam (dipiro dkk.,2016).
g. Reperfusi
Semua pasien STEMI seharusnya menjalani evaluasi untuk terapi reperfusi. Reperfusi dini akan
memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan
mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventricular
yang maligna. Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah door to needle atau medical contact to
balloon time untuk Percutaneous Coronary Intervention (PCI) dapat dicapai dalam 90 menit (Patrick,
2013). Terdapat beberapa metode reperfusi dengan keuntungan dan kerugian masingmasing. PCI primer
merupakan terapi pilihan jika pasien dapat segera dibawa ke pusat kesehatan yang menyediakan prosedur
PCI (Zafari, 2013).
DAFTAR PUSTAKA

Dipiro J.T., Marie A.C., Terry L.S., Barbara G.W., Patrick M.M., dan Jill M.K., 2016, Pharmacotherapy
Principles and Practice 4th Edition, MC Graw Hill Education: New York.

Zafari A.M., 2013, Myocardial Infarction, Medscape: United States.

Patrick T O’Gara, et all., 2013, ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With ST-Elevation
Myocardial Infarction, ACC/AHA Practice Guidelines: American.

Safitri E.S., 2013, ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) Anteroseptal pada Pasien dengan Faktor Resiko
Kebiasaan Merokok Menahun dan Tingginya Kadar Kolestrol dalam Darah, Medula, Vol. 1 (4).

Anda mungkin juga menyukai