Anda di halaman 1dari 4

Terapi Antiplatelet Perioperatif: Kasus untuk Terapi Berkelanjutan pada Pasien yang

Memiliki Risiko Infark Miokardium


P.G. Chassot, A. Delabays, D.R. Spahn
Data klinis terbaru menunjukan bahwa risiko trombosis koroner setelah menghentikan
pemberian obat antiplatelet lebih tinggi dalam perdarahan yang terjadi saat pembedahan
dibandingkan bila pemberian obat tersebut dilanjutkan. Pada pencegahan sekunder, aspirin
adalah terapi seumur hidup dan tidak boleh dihentikan. Clopidogrel dianggap wajib diberikan
hingga stent koroner sudah terendotelisasi sepenuhnya, butuh waktu sekitar 3 bulan untuk
stent yang terbuat dari logam dan mencapai 1 tahun untuk stent yang dilapisi obat tertentu.
Jadi, penghentian terapi antiplatelet 10 hari sebelum pembedahan harus ditinjau kembali.
Setelah melihat kembali data penggunaan obat antiplatelet dalam bidang kardiologi dan
bedah, kami mengajukan sebuah algoritma manajemen pasien, berdasarkan risiko iskemik
miokardium dan kematian dibandingkan dengan perdarahan, untuk jenis pembedahan yang
berbeda-beda. Walaupun penelitian prospektif skala besar dengan bukti yang sangat kuat
terkait regimen antiplatelet untuk pembedahan non-kardiak masih sangat terbatas jumlahnya,
kami mengajukan, dengan mengesampingkan situasi koroner risiko rendah, pasien yang
sedang mengkonsumsi obat antiplatelet harus melanjutkan terapi antiplatelet hingga saat
pembedahan, kecuali ketika perdarahan mungkin terjadi di ruang tertutup. Regimen
terapeutik dengan obat antiplatelet kerja singkat dapat dipertimbangkan.
Br J Anaesth 2007; 99: 316-28
Kata kunci: komplikasi, perdarahan; komplikasi, infark miokardium; stenosis koroner, terapi
obat; inhibitor agregasi platelet, penggunaan terapeutik; pembedahan, non-kardiak

Obat antiplatelet banyak dijumpai untuk pencegahan primer dan sekunder dari penyakit
kardiovaskular di negara Barat untuk menurunkan insidensi cerebral dan kardiovaskular akut.
Kejadian ini berkaitan erat dengan instabilitas plak pembuluh darah dan trombogenisitas
darah. Sebagai contoh, lebih dari 2/3 serangan jantung mendadak (sindrom koroner akut atau
kematian jantung mendadak) dan dari infark miokardium post-operatif disebabkan oleh
gangguan dan trombosis dari plak yang tidak stabil. Plak ini memiliki inti lipid yang besar
yang dilapisi oleh lapisan tipis; plak ini diinfiltrasi oleh makrofag, dengan tanda-tanda aktif
inflamasi; dan muncul sebagai stenosis moderat (60%) pada angiogram koroner. Pemicu
sistem imun selular, humoral, dan neuro-vegetatif mungkin menyebabkan plak tersebut
menjadi tidak stabil dan pada akhirnya berkembang menjadi thrombus. Sindrom koroner akut
berhubungan dengan kondisi pro-inflamasi dan pro-thrombosis yang melibatkan peningkatan
fibrinogen, C-reactive protein, dan inhibitor aktivator plasminogen. Pada kondisi postoperatif, risiko sindrom koroner akut semakin diperburuk dengan penambahan pelepasan
katekolamin endogen, peningkatan adhesi platelet, dan penurunan fibrinolisis, yang

merupakan karakteristik dari reaksi fase akut. Jadi, dapat diketahui bahwa regimen
antiplatelet sangat bermanfaat saat risiko trombogenik sangat besar.
Sekitar 2 juta pasien yang menjalani dilatasi koroner tiap tahunnya di negara Barat dan lebih
dari 90% dari jumlah intervensi koroner perkutaneus (percutaneous coronary intervention,
PCI) tersebut melibatkan penempatan stent intrakoroner. Prosedur ini membutuhkan terapi
antiplatelet jangka panjang agar terapi stent koroner dapat berhasil. Sekitar 5% dari pasien
yang menjalani PCI akan menjalani pembedahan non-kardiak dalam tahun pertama setelah
pemasangan stent dan ahli anestesi mungkin berhadapan dengan pasien seperti ini.
Jadi, masalah baru yang sering dihadapi anestesi klinis adalah bagaimana menatalaksana
pasien yang sedang dalam terapi aspirin dan clopidogrel setelah menjalani PCI yang akan
menjalani prosedur dengan risiko perdarahan. Dilema yang terjadi adalah risiko peningkatan
jumlah kehilangan darah saat melanjutkan terapi antiplatelet pada masa perioperatif dan
risiko thrombosis koroner apaila terapi tersebut dihentikan mendadak. Data terbaru
menyatakan bahwa tradisi untuk menghentikan medikasi 10 hari sebelum pembedahan
dapat mengakibatkan bahaya dan perlu ditinjau kembali. Review ini berfokus pada
penggunaan perioperatif regimen antiplatelet pada pasien penyakit jantung koroner (coronary
artery disease, CAD), walaupun antiplatelet banyak digunakan pada kondisi lain, seperti
penyakit vaskular perifer, stent arteri karotis, pencegahan stroke berulang, dan infark
miokardium, atau pencegahan primer untuk pasien dengan banyak faktor risiko
kardiovaskular, terutama diabetes. Review ini juga diharapkan dapat menjadi kontribusi
tambahan terhadap review terbaru dari British Journal of Anaesthesia terkait stent arteri
koroner, namun lebih berfokus pada penggunaan obat antiplatelet perioperatif.
Obat antiplatelet: farmakologi
Obat antiplatelet dibagi menjadi tiga kategori: asam asetilsalisilat, thienopiridin, dan
antagonis reseptor glikoprotein platelet (GP) IIb/IIIa. Statin akan ditambahkan dalam daftar
ini karena salah satu efek pleumorfik dari statin adalah penurunan kemampuan agregasi
platelet.
Asam asetilsalisilat
Asam asetilsalisilat (aspirin) mampu memblokade platelet COX-1 secara penuh dan
ireversibel pada dosis harian 50-150 mg/hari. Untuk dewasa normal, dosis harian di atas 150
mg meningkatkan risiko perdarahan tanpa peningkatan proteksi. Dosis dapat dinaikkan
hingga 325 mg pada pasien dengan berat badan berlebih. Kemampuan platelet untuk
beragregasi kembali seperti semula dalam waktu 4-5 hari setelah penggunaan aspirin
dihentikan. Pada pencegahan primer, aspirin diindikasikan saat risiko kejadian vaskular
dalam 10 tahun berikutnya lebih dari 10%. Pada pencegahan sekunder, aspirin menurunkan
kejadian re-infark miokardium hingga 30% dan stroke di kemudian hari hingga 25%. Aspirin
merupakan terapi seumur hidup yang tidak boleh dihentikan setelah serangan koroner atau
cerebrovakular. Dengan ketiadaan (molekul ringan) heparin, dosis 300 mg.hari tidak menjadi
kontraindikasi blokade regional atau neuraxial.

Thienopiridin
Clopidogrel (dosis loading 300 mg, dosis harian 75 mg) merupakan satu-satunya antagonis
reseptor ADP platelet yang digunakan secara klinis. Obat ini dapat menurunkan risiko infark
miokardium pada angina tidak stabil hingga 18% dan risiko thrombosis stent koroner dan
stroke berulang hingga 30%, namun meningkatkan risiko perdarahan spontan hingga 38%
(insidensi 1-2%). BT (bleeding time) meningkat hingga maksimal 1,5-3 kali lipat dari nilai
normal setelah 3-7 hari terapi. Waktu paruh dari clopidogrel singkat (4 jam), namun recovery
dari obat ini panjang (7 hari) karena inhibisi platelet ireversibel. Seperti aspirin, normalisasi
dari koagulasi bergantung pada pelepasan trombosit baru dalam sirkulasi, bukan pada
hilangnya konsentrasi obat dalam plasma. Clopidogrel mutlak dikontraindikasikan pada
blokade regional/neuraxial. Jika perlu, clopidogrel harus dihentikan 5-7 hari sebelum operasi.
Clopidogrel dapat menggantikan aspirin pada pasien yang tidak respons terhadap aspirin atau
pada kasus reaksi alergi. Senyawa baru, prasugrel (AZD6140) dilepaskan secara singkat;
diharapkan menjadi lebih poten dan lebih sedikit kasus yang tidak respons terhadap obat ini
dibandingkan dengan clopidogrel. Thienopiridin sering dikombinasikan dengan aspirin
(terapi dual antiplatelet) untuk plak koroner tidak stabil atau selama fase re-endotelisasi dari
stent koroner. Namun, 12-20% pasien tidak respons terhadap aspirin, terutama wanita dan
pasien dengan diabetes, dan 6-24% tidak respons terhadap clopidogrel. Variasi yang luas ini
terjadi akibat banyaknya tes yang dilakukan untuk mengetahui efek aspirin dan ketiadaan tes
yang efisien dan spesifik untuk mengevaluasi aktivitas clopidogrel. Resistensi terhadap obat
antiplatelet dapat menjelaskan tingginya insidensi infark miokardium berulang atau
thrombosis stent pada beberapa pasien. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien
dengan thrombosis stent berulang mengalami gangguan respons terhadap aspirin, yang tidak
dapat diatasi dengan penambahan terapi clopidogrel. Varian gen spesifik yang berhubungan
dengan thrombosis mungkin memiliki dampak terhadap efisiensi stategi terapi antiplatelet.
Sebagai contoh, efek aspirin pada fungsi platelet dimodifikasi oleh nukleotida GP-IIIa P1
polimorfik. Pasien yang memiliki varian gen tadi dapat menjaga adhesi platelet yang kuat
walaupun dalam terapi aspirin, sebaliknya adhesi platelet menurun secara signifikan pada
pasien yang tidak memiliki varian gen tersebut jika diberikan dosis aspirin yang sama. Di
kemudian hari, farmakogenomik diharapkan dapat mengajukan tes untuk membedakan pasien
yang responsif dan tidak responsif terhadap terapi antiplatelet.
Antagonis GP IIb/IIIa
Antagonis reseptor platelet GP IIb/IIIa digunakan untuk pencegahan thrombosis segera dari
stent koroner dan diberikan selama 24-48 jam setelah PCI. Abciximab (ReoProw)
merangsang pengikatan reseptor afinitas tinggi, dibandingkan dengan tirofiban (Aggrastatw)
dan eptifibatide (Integrilinw) memiliki afinitas rendah, kompetitif, dan dose-dependent.
Setelah penghentian infus abciximab, pendudukan reseptor menurun hingga kira-kira 70%
dalam 12 jam, BT (bleeding time), yang memanjang hingga 30 menit saat infus abciximab,
menurun menjadi 10-15 menit dan kemampuan agregasi platelet yang efektif pulih kembali
dalam 48 jam, tetapi residu blokade reseptor dapat diobservasi hingga 7 hari. Tirofiban
memiliki waktu paruh plasma seama 2 jam; menjadi 4 jam setelah penghentian infus
tirofiban, 50% fungsi agregasi platelet kembali normal dan BT kembali normal. Waktu paruh

eptifibatide adalah 2,5 jam; menjadi 6 jam setelah penghentian infus eptifibatide, fungsi
platelet kembali menjadi normal lebih dari 50%.
Statin
Statin digunakan secara luas karena kemampuannya untuk menurunkan jumlah lipoprotein
densitas rendah dan efek anti inflamasi dari obat tersebut.

Anda mungkin juga menyukai