Anda di halaman 1dari 21

TUGAS KOMPRE

FARMAKOLOGI OBAT-OBAT ANTI TROMBOSIT DAN


ANTI KOAGULAN

Oleh

ANDIKA ADIKARA
No. BP.1201132

Dosen:
DR. SUHATRI, MS, APT

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI


STIFARM
PADANG
2014

I. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendahuluan.
A.1. Antitrombosit adalah obat yang dapat menghambat agregasi trombosit
sehingga menyebakan terhambatnya pembentukan trombus yang terutama sering
ditemukan pada sistem arteri.
1. Aspirin.
Aspirin menghambat tromboxan A2 didalam trombosit dan prostasiklin di
pembuluh darah dengan menghambat secara ireversibel enzim siklooksigenase.
Penghambatan enzim siklooksigenase terjadi karena aspirin mengasetilasi enzim
tersebut. Aspirin dosis kecil hanya dapat menekan pembentukan TXA 2, sebagai
akibatnya terjadi pengurangan agregasi trombosit. Sebagai antitrombosit dosis
efektif aspirin 80-320 mg perhari. Dosis lebih tinggi selain meningkatkan
toksisitas (terutama pendarahan), juga menjadi kurang efektif karena selain
menghambat TXA2 juga menghambat pembentukan prostasiklin.
Pada infark miokard akut nampaknya aspirin bermanfaat untuk mencegah
kambuhnya miokard infark yang fatal maupun nonfatal pada pasien TIA
(transient ischemic attack) penggunaan aspirin jangka panjang juga bermanfaat
untuk mengurangi kekambuhan TIA (transient ischemic attack), stroke karena
penyumbatan dan kematian akibat gangguan pembuluh darah.
Efek samping aspirin misalnya rasa tidak enak diperut, mual, dan
pendarahan saluran cerna biasanya dapat dihindarkan bila dosis per hari tidak
lebih dari 325 mg. Penggunaan bersama antasid atau antagonis H 2 dapat
mengurangi efek tersebut. Obat ini dapat mengganggu hemostasis pada tindakan

operasi dan bila diberikan

bersama heparin atau antikoagulan oral dapat

meningkatkan resiko pendarahan.


Sekarang tesedia aspirin tablet salut enterik 100 mg untuk pencegahan
trombosis pada pasien dengan resiko trombosis yang tinggi.
2. Dipiridamol.
Dipiridamol menghambat ambilan dan metabolisme adenosin oleh eritrosit
dan sel endotel pembuluh darah, dengan demikian meningkatkan kadarnya dalam
plasma. Adenosin menghambat fungsi trombosit dengan merangsang adenilat
siklase dan merupakan vasodilator. Dipiridamol juga memperbesar efek
antiagregasi

prostasiklin.

Karena dengan

dosis

yang

diperlukan

untuk

menghambat agregasi trombosit kira-kira 10% pasien mengalami flushing dan


sakit kepala, maka sering diberikan dosis dipiridamol yang lebih kecil bersama
aspirin atau antikoagulan oral. Dipiridamol sering digunakan bersama aspirin pada
pasien infark miokard akut untuk prevensi sekunder dan pada pasien TIA
(transient ischemic attack) untuk mencegah stroke.
Efek samping yang paling sering yaitu sakit kepala biasanya jarang
menimbulkan masalah dengan dosis yang digunakan sebagai antitrombotik. Bila
digunakan untuk pasien angina pektoris, dipiridamol kadang-kadang memperberat
gejala karena

terjadinya fenomena coronary steal. Efek samping lain ialah

pusing, sinkop, dan gangguan saluran cerna.


Bioavailabilitas obat ini sangat bervariasi. Lebih dari 90% dipiridamol
terikat protein dan mengalami sirkulasi enterohepatik. masa paruh eliminasi
bervariasi 1 12 jam. Dosis untuk profilaksis jangka panjang pada pasien katup

jantung buatan 400 mg/hari bersama dengan warfarin. Untuk mencegah aktivasi
trombosit selama operasi by-pass dosisinya 400 mg dimulai 2 hari sebelum
operasi.
3. Tiklopidin.
Tiklpidin menghambat agregasi trombosit yang diinduksi oleh ADP.
Inhibisi maksimal agregasi trombosit yang baru terlihat setelah 8 11 hari terapi.
Berbeda dari aspirin, tiklopidin tidak mempengaruhi metabolisme prostaglandin.
Dari uji klinik secara acak dilaporkan adanya manfaat tiklodipin untuk
pencegahan kejadian vaskular pada pasien TIA (transient ischemic attack), stroke,
dan angina pektoris tidak stabil.
Efek sampig yang paling sering mual, muntah, dan diare. Yang dapat
terjadi sampai pada 20% pasien. Selain itu antara lain dapat terjadi pendarahan
(5%), dan yang paling berbahaya leukopenia (1%). Leukopenia dideteksi dengan
pemantauan hitung jenis leukosit selama tiga bulan pertama pengobatan.
Trombositopenia juga dilaporkan sehingga dipantau hitung trombosit. Dosis
tiklopidin umunya 250 mg 2 kali sehari. Agar mula kerja lebih cepat ada yang
mengguakan dosis muat 500 mg. Tiklopidin terutama bermanfaat untuk pasien
yang tidak dapat mentoleransi aspirin. Karena tiklopidin mempunyai mekanisme
kerja yang berbeda dari aspirin, maka kombinasi kedua obat diharapkan dapat
memberikan efek aditif atau sinergistik.

4. Klopidogrel.
Obat ini sangat mirip dengan tiklopidin dan nampaknya lebih jarang
menyebabkan

trombositopenia

dan

leukopenia

dibandingkan

tiklopidin.

Klopidogrel merupakan prodrug dengan mula kerja lambat. Dosis umunya 75


mg/hari dengan atau tanpa dosis muat 300 mg. Untuk pencegahan berulangnya
stroke kombinasi klopidogrel dengan aspirin nampaknya sama efektif dengan
kombinasi tiklopidin dengan aspirin.
5. Penghambat Glikoprotein IIb/IIa.
Glikoprotein IIb/IIa merupakan integrin permukaan trombosit, yang
merupakan reseptor untuk fibrinogen dan faktor von Willebrand, yang
menyababkan melekatnya trombosit pada permukaan asing dan antar trombosit,
sehingga terjadi agregasi trombosit.
Absiksimab.

Merupakan antibodi monoklonal chimeric mencit/manusia. Absiksimab


bekerja memblokade reseptor glikoprotein IIb/IIa sehingga menghambat agregasi
trombosit. Amuksikab digunakan bersama aspirin dan heparin untuk pasien yang
sedang menjalani angioplasti dan atrektomi. Dosis 0,25 mg/kgBB diberikan
secara IV 10 menit sebelum tindakan, diikuti dengan infus 10 g/menit selama 12
jam. Suatu studi pendahuluan (PROLOG) memberikan hasil kurangnya
pendarahan bila heparin dikombinasi dengan absiksimab dibandingkan dengan
heparin saja. Penelitian lebih besar saat ini sedang dilakukan. Efek samping antara
lain perdarahan dan trombositopenia.

Integrillin.

Merupakan suatu peptida sintetik yang mempunyai afinitas tinggi


terhadap reseptor glikoprotein IIb/IIa. Integrillin digunakan untuk pengobaan
angina tidak stabil dan untuk angioplasti koroner. Dosis diberikan sebagai bolus
135-180 g/kgBB diikuti dengan 05-3,0 g/kgBB/menit untuk sampai 72 jam.
Untuk angioplasti koroner integrilin dapat mengurangi infark miokard atau
kematian sekitar 20%. Efek amping antara lain perdarahan dan trombositopenia.
A.2. Antikoagulan.
Antikoagulan digunakan untuk mencegah pembekuan darah dengan jalan
menghambat pembentukan atau menghambat fungsi beberapa faktor pembekuan
darah. Atas dasar ini antikoagulan diperlukan untuk mencegah terbentuk dan
meluasnya trombus dan emboli, maupun untuk mencegah bekunya darah in vitro
pada pemeriksaan laboratorium atau tranfusi. Antikoagulan oral dan heparin
menghambat pembentukan fibrin digunakan secara profilaktik untuk mengurangi
insidens tromboemboli terutama pada vena. Kedua macam antikoagulan ini juga
bermanfaat

untuk

pengobatan

trombosis

arteri

karena

mempengaruhi

pembentukan fibrin yang diperlukan untuk mempertahan gumpalan trombosit.


Pada trombus yang sudah terbentuk, antikoagulan hanya mencegah membesarnya
trombus dan mengurangi kemungkinan terjadinya emboli, tetapi tidak
memperkecil tombus.

Antikoagulan dapat dibagi menjadi 3 kelompok :


1. Heparin.
2. Antikoagulan oral.

Contoh : dikumarol, warfarin, anisindion.


3. Antikoagulan yang bekerja dengan mengikat ion kalsium, salah

satu faktor pembekuan darah.


1. Heparin.
Sejarah : Pada tahun 1916, seorang mahasiswa kedokteran bernama
McLean, saat sedang meneliti sifat prokoagulan yang larut dalam eter, secara
tidak sengaja menemukan antikoagulan fosfolipid. Tak lama setelah itu, suatu
mukopoisakarida yang larut dalam air, yang dinamakan heparin karena
jumlahnya yang berlimpah di hati, ditemukan oleh Howell, di laboratorium
tempat McLean bekerja (lihat Jaques, 1978). Pengggunan heparin secara in
vitro

untuk mencegah pembekuan darah akhirnya mengarah pada

penggunaanya secara in vivo untuk mengobati trombosis vena.


Heparin endogen merupakan suatu mukopolisakarida yang mengandung
sulfat. Zat ini disintesis di dalam sel mast dan terutama banyak terdapat di
paru. Heparin nampaknya dibutuhkan untuk penyimpanan histamin dan
protease tertentu di dalam granul sel mast. Bila dilepaskan dari sel mast
heparin dengan cepat dihancurkan oleh makrofag. Dalam keadaan normal
heparin tidak dapat di deteksi dalam darah, tetapi pada pasien mastositosis
sistemik yang mengalami degranulasi masif sel mast dapat terjadi

perpanjangan aPTT (activated partial thromboplastin time) nampaknya


sebagai akibat penglepasan heparin kedalam sirkulasi.
1.1 Farmakodinamik.
1. Mekanisme Kerja.
Efek antikoagulan heparin timbul karena ikatannya dengan AT-III. AT-III
berfungsi menghambat protease faktor pembekuan termasuk faktor IIa(trombin),
Xa dan IXa, dengan cara membentuk kompleks yang stabil dengan protease faktor
pembekuan. Heparin yang terikat dengan AT-III mempercepat pembentukan
kompleks tersebut sampai 1000 kali. Bila kompleks AT-III-protease sudah
terbentuk heparin dilepaskan untuk selanjutnya membentuk ikatan baru dengan
antitrombin.
Hanya sekitar 1/3 molekul heparin yang dapat terikat kuat dengan AT-III.
Heparin berat molekul tinggi (5000 30000) memiliki afinitas kuat dengan
antitrombin dan menghambat dengan nyata pembekuan darah. Heparin berat
molekul rendah efek antikoagulannya terutama melalui terutama melalui
penghambatan faktor Xa oleh antitrombin, karena umumnya molekul molekulnya
tidak cukup panjang untuk mengkatalis penghambatan trombin.
Terhadap lemak darah, heparin bersifat lipotropik yaitu memperlancar
transfer lemak darah kedalam depot lemak. Aksi penjernih ini terjadi karena
heparin membebaskan enzim-enzim yang menghidrolisis lemak, salah satu
diantaranya ialah lipase lipoprotein kedalam sirkulasi serta menstabilkan
aktivitasnya. Efek lipotrofik ini dihambat oleh protamin.

2. Indikasi
Heparin diindikasikan untuk pencegahan dan pengobatan trombosis vena
dan emboli paru. Heparin digunakan untuk pengobatan trombosis vena dan
emboli paru karena mula kerjanya cepat. Pada saat permulaan pengobatan
biasanya juga diberikan suatu antikoagulan oral, dan heparin dilanjutkan
sekurang-kurangya 4-5 hari untuk memungkinkan antikoagulan oral mencapai
efek terapeutik. Penggunaan heparin jangka panjang juga bermanfaat bagi pasien
yang mengalami tromboemboi berulang meskipun telah mendapat antikoagulan
oral. Haparin digunakan untuk pengelolaaan awal pasien angina tidak stabil atau
infark miokard akut, selama dan sesudah angioplasti koroner atau pemasangan
stent, dan selama operasi yang membutuhkan bypass kardiopulmonar. Heparin
juga digunakan untuk pasien disseminated intravascular coagulation (DIC)
tertentu.
Heparin dosis rendah efektif untuk pencegahan tromboemboli vena pada
pasien berisiko tinggi, misalnya operasi tulang.
Heparin

berat

molekul

rrendah

seperti

enoksaparin,

dalteparin

diindikasikan untuk pencegahan tomboemboi vena. Selain itu akhir-akhir ini


dibuktikan juga efektif untuk pengobatan trombosis vena, emboli paru, dan angina
tidak stabil. Heparin merupakan obat terpilih untuk wanita hamil yang
memerlukan antikoagulan, karena berbada dengan warfarin, heparin tidak melalui
plasenta dan tidak menimbulkan cacat bawaan. Selain itu heparin nampaknya
tidak meningkatkan insiden kematian janin.

3. Kontraindikasi
Heparin dikontraindikasikan pada pasien yang sedang mengalami
perdarahan atau cenderung mengalami perdarahan misalnya : pasien hemofilia,
permeabilitas kapiler yang meningkat, endokarditis bakterial subakut, perdarahan
intrakranial, lesi ulseratif terutama pada saluraan cerna, anestesia lumbal atau
regional, hipertensi berat, syok. Heparin tidak boleh diberikan selama atau setelah
operasi mata, otak atau medula spinal dan pasien yang mengalami fungsi lumbal
atau anastesi blok. Heparin juga dikontraindikasikan pada pasien yang mendapat
dosis besar etanol, peminu alkohol dan pasien hipersensitif terhadap heparin.
Meskipun heparin tidak melalui plasenta, obat ini hanya digunakan untuk wanita
hamil bila memang benar-benar diperlukan.
4. Efek samping
Bahaya utama pemberian heparin ialah perdarahan. Meskipun dahulu
dilaporkan perdarahan terjadi 1%-33% pasien yang mendapat heparin, penelitian
akhir-akhir ini pada pasien tomboemboli vena yang mendapat heparin IV terjadi
pada kurang dari 3% pasien. Insidens perdarahan tidak meningkat pada pasien
yang mendapat heparin berat molekul rendah. Jumlah episode perdarahan
nampaknya meningkat dengan meningkatnya dosis total per hari dan dengan
derajat perpanjangan aPTT, meskipun pasien dapat mengalami perdarahan dengan
nilai aPTT dalam kisaran terapeutik. Dalam hal ini perdarahan kadang-kadang
disebabkan oleh operasi baru, adanya trauma, penyakit tukak peptik atau
gangguan fungsi trombosit. Terjadinya perdarahan dapat dikurangi dengan :

1. Mengawai/mengatur dosis obat.


2. Menghindari penggunaan bersamaan dengan obat yang mengandung
aspirin.
3. Seleksi pasien dan
4. Memperhatikan kontraindikasi pemberian heparin.
Selama masa tromboemboli akut, resistensi atau toleransi terhadap heparin
dapat terjadi, dan karena itu efek antikoagulan harus dimonitor dengan tes
pembekuan darah misalnya activated partial thromboplastin time (aPTT).
Perdarahan antara lain dapat berupa perdarahan saluran cerna atau hematuria.
Wanita usia lanjut dan pasien dengan gagal ginjal umumnya lebih mudah
mengalami komplikasi perdarahan. Ekimosis dan hematom pada tempat suntikan
dapat terjadi baik setelah pemberian heparin secara SK maupun IM.
Perdarahan ringan akibat heparin biasanya cukup diatasi dengan
menghentikan pemberian heparin. Tetapi perdarahan yang cukup berat perlu
dihentikan secara cepat, dengan pemberian protamin sulfat, suatu antagonis
heparin, yang diberi kan melalui infus IV secara lambat.
5. Dosis
Untuk pengobatan tromboemboli vena dimulai dengan satu suntikan bolus
5000 U, diikuti dengan 1200-1600 U/jam yang diberikan melalui infus IV. Terapi
dipantau secara rutin dengan pemeriksaan aPTT. Kisaran terapeutik heparin
standar umumnya dicapai bila kadar heparin plasma 0,3-0,7 U/mL. Dosis heparin
yang sangat tinggi dibutuhkan untuk mencegah pembekuan selama bypass

kardiopulmonal. Heparin secara subkutan dapat diberikan bagi pasien yang


memerlukan pengobatan antikoagulan jangka panjang tetapi warfarin tidak boleh
diberikan (misalnya selama kehamilan). Dosis total sekitar 35000 U/hari diberikan
sebagai dosis terbagi tiap 8 atau 12 jam biasanya cukup untuk mencapai nilai
aPTT 1,5 kali nilai kontrol. Pemantauan umumnya tidak perlu dilakukan bila dosis
mantap sudah ditentukan.
Untuk mencegah tombosis vena dalam dan tromboemboli pada pasien
yang peka, digunakan heparin dosis rendah, disarankan 5000 U heparin diberikan
secara subkutan tiap 8-12 jam. Pemantauan laboratorim tidak dibutuhkan karena
rangkaian pengobatan tersebut tidak memperpanjang aPTT.
Preparat heparin berat molekul rendah (misalnya enoksaparin, dalteparin,
ardeparin, nadroparin) diberikan dengan regimen dosis tiap atau disesuaikan
dengan berat badan secara suntikan subkutan, 1 atau 2 kali sehari. Dosis
enoksaparin untuk mencegah trombosis vena dalam setelah operasi pinggul adalah
30 mg dua kali sehari, sedngkan dosis dalteparin yang dianjurkan 2500 unit
subkutan 1 kali sehari.
1.2 Farmakokinetik
Heparin tidak diabsorpsi secara oral, karena itu dierikan secara SK atau IV.
Pemberian secara SK bioavailabilitasnya bervariasi, mula kerjanya lambat 1-2 jam
tetapi masa kerjanya lebih lama. Heparin berat molekul rendah diabsorpsi lebih
teratur. Suntikan IM dapat menyebabkan terjadinya hematom yang besar pada
tempat suntikan dan absorpsinya tidak tidak teratur serta tidak dapat diramalkan.

Efek antikoagulan segera timbul pada pemberian suntikan bolus IV dengan dosis
terapi, dan terjadi kira-kira 20-30 menit setelah suntikan SK. Heparin cepat
dimetabolisme terutama dihati. Masa paruhnya tergantung dari dosis yang
digunakan, suntikan IV 100, 400, atau 800 unit/kgBB memperlihatkan masa paruh
masing-masing kira-kira 1,2 1/2 dan 5 jam. Masa paruh mungkin memendek pada
pasien emboli paru dan memanjang pada pasien sirosis hepatis atau penyakit
ginjal berat. Heparin berat moekul rendah mempunyai masa paruh yang lebih
panjang daripada heparin standar. Metabolit inaktif diekskresi melalui urin.
Heparin diekskresi dalam bentuk utuh melalui urin hanya bila digunakan dosis
besar IV. Pasien emboli paru memerlukan dosis heparin yang lebih tinggi karena
klirens yang lebih cepat. Terdapat variasi individual dalam efek antikoagulan yang
ditimbulkan maupun dalam kecepatan klirens obat. Heparin tidak melalui plasenta
dan tidak terdapat dalam air susu ibu.
2. Antikoagulan oral
Sejarah : Tanaman sweet clover banyak ditanam didaratan Dacota dan
Canada pada saat pergantian abad karena tanaman ini tumbuh dengan subur
ditanah gersang dan dapat mengantikan jagung sebagai makanan ternak. Pada
tahun 1924, schofield melaporkan suatu gangguan hemoragia yang sebelumnya
yang tak terjelaskan pada hewan ternak akibat mencerna makanan ternak sweet
colover basi. Setelah Roderick melacak penyebab terjadinya reduksi toksik
protrombin plasma, pada tahun 1939 Campbell dan Link mengidentifikasi
senyawa hemoragik tersebut adalah bishidroksikuarin (dikumarol). Tahun 1948,

suatu senyawa sintetik yang mirip tetapi lebih kuat diperkenalkan sebagai
rodentisida yang sangat efektif : senyawa tersebut dinamakan warfarin sebagai
singkatan dari nama pangguna patennya, yakni Wisconsin Alumni Reseach
Fouaandation, ditambah akhiran dari kumarin. Kegunaan potensial warfarin
sebagai senyawa terapeutik untuk penyakit tromboembolik telah diketahui, namun
tid diteria secara luas, sebagian akibat adanya kekhawatiran terhadap toksisitas
yang berbahaya. Namun, tahun 1951, seorang tentara selamat dari upaya bunuh
diri menggunakan sediaan warfarin dosis besar yang sebenarnya ditujukan untuk
mengendalikan hewan pengerat. Sejak saat itu, antikoagulan ini telah menjadi
obat utama untuk pencegahan penyakit tromboemboli, dan obat ini telah diberikan
kepada ratusan ribu pasien tiap tahunnya. Warfarin merupakan prototipe
antikoagulan oral dan sejauh ini merupakan antikoagulan yang paling sering
diresepkan. Namun, kerja antikoagulan semua obat dikelas ini sama, hanya berbea
terutama dalam hal potensi dan durasinya.
2.1 Farmakodinamik
1. Mekanisme Kerja
Antikoagulan oral merupakan antagonis vitamin K. Vitamin K ialah
kofaktor yang berperan dalam aktivasi faktor pembekuan darah II, VII, IX, X
yaitu dalam mengubah residu asam glutamat menjadi residu asam gamakarboksiglutamat. Untuk berfungsi vitamin K mengalami siklus oksidasi dan
reduksi di hati. Antikoagulan oral mencegah reduksi vitamin K teroksidasi
sehingga aktivasi faktor-faktor pembekuan darah terganggu atau tidak terjadi.

Karena efek antikoagulan oral berdasarkan penghambatan produksi faktor


pembekuan, jelaslah bahwa efeknya baru nyata setelah sedikitnya 12-24 jam,
yaitu setelah kadar faktor-faktor tersebt menurun sampai suatu nilai tertentu.
Demikian juga pendarahan akibat takar lajak antikoagulan oral, tidak dapat diatasi
dengan segera oleh vitamin K. Untuk ini diperlukan tranfusi darah segar atau
plasma. Respon terhadap antikoagulan oral dapat dipengaruhi oleh banyak faktor,
misalnya asupan vitamin K, banyaknya lemak yang terdapat dalam makanan atau
interaksi dengan obat lain. Bayi baru lahir, pasien kahektik dan pasien dengan
gangguan fungsi hati lebih sensitif terhadap antikoagulan oral.
2. Indikasi
Seperti halnya heparin, antikoagulan oral berguna untuk pencegahan dan
pengobatan tomboemboli. Antikoagulan oral digunakan untuk mencegah
progresivitas atau kambuhnya trombosis vena dalam atau emboli paru setelah
terapi awal dengan heparin. Antikoagulan oral juga efektif untuk mencegah
tromboemboli vena pada pasien yang mengalami operasi tulang atau ginekologik,
dan mencegah terjadinya emboli pada pasien infark miokard akut, katup jantung
buatan, atau firilasi atrium kronik. Untuk pengobatan trombosis vena, heparin
umumnya dilanjutkan untuk sekurang-kurangnya 4-5 hari setelah terapi
antikoagulan oral diulai dan smpai INR (international normalized ratio) ada pada
kisaran terapeutik selama 2 hari nerturut-turut.
Uji klinik terkontrol memperlihatkan bahwaobat golongan ini mengurangi
insiden tromboemboli pada pasien dengan katup jantung buatan; efek terhadap

tromboemboli ini meningkat secara bermakna bila digunakan bersama dipiridamol


400 mg / hari atau aspirin 325 mg/hari. Tetapi kombinasi antikoagulan oral
dengan aspirin meningkatkan kemungkinan perdarahan. Pada TIA (transient
ischemic attack) antikoagulan oral bermanfaat selama beberapa bulan pertama
pengobatan tetapi tidak mempengaruhi mortalitas. Pada suatu percobaan
didapatkan bahwa penggunaan lebih dari satu tahun disertai peningkatan
perdarahan intrakranial. Pada pasien emboi serebral berulang, morbiditas dan
mortalitas menurun bila antikoagulan diberikan setelah diagnosi ditegakkan.
Untuk mencegah kekambuhan, terapi hendaknya diulai dalam 24-48 jam setelah
terjadinya emboli serebral yang didiagnosis dengan teknik CAT scanning.
3. Kontraindikasi
Antikoagulan oral dikontraindikasikan pada penyakit-penyakit dengan
kecenderungan perdarahan, diskrasia darah, tukak saluran cerna, divertikulitis,
kolitis, endokarditis bakterial subakut, keguguran yang mengancam, operasi otak
dan medula spinalis, anestesi lumbal, devisiensi vitamin K serta penyakit hati dan
ginjal yang berat. Selain itu obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian jangka
panjang pada alkoholisme, pasien dengan pengobatan intensif salisilat, hipertensi
berat, dan tuberkolosis aktif. Pemberian antikoagulan oral pada wanita hamil
dapat menyebabkan perdarahan pada neonatus; juga dilaporkan terjadinya
embriopati misalnya kondroplasia pungtata pada janin. Pasien payah jantung
seringkali lebih sensitif terhadap antikoagulan oral, sehingga mungkin diperlukan
pengurangan dosis.

4. Efek Samping
Efek toksik yang paling sering akibat pemakaian antikoagulan oral ialah
perdarhan dengan frekuensi kejadian 2-4%. Namun, perdarahan juga dapat terjadi
pada dosis terapi karena itu pemberian antikoagulan oral harus disertai
pemeriksaan waktu protrombin dan pengawasan terhadap terjadinya perdarahan.
Perdarahan paling sering terjadi diselaput lendir, kulit, saluran cerna dan
saluran kemih. Hematuria sering terjadi tanpa gangguan fingsi ginjal, dapat
disertai kolik dan hematom intrarenal. Gejala perdarahan yang mungkin timbul
ialah ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hemoptisis, perdarahan serebral,
perdarahan paru, uterus dan hati. Kurang lebih 25% dari kematian akibat
penggunaan antikoagulan kumarin disebabkan oleh perdarahan berat di saluran
cerna, biasanya berasal dari tukak peptik atau neoplasma.
Pada perdarahan, tindakan pertama ialah menghentikan pemberian
antikoagulan. Perdarahan hebat memerlukan suntikan vitamin K1 (filokuinon) IV,
dan biasanya perdarahan dapat diatasi dalam beberapa jam setelah penyuntikan.
Perdarahan yang tidak terlampau berat cukup dengan dosis tunggal 1-5 mg, tetapi
untuk perdarahan berat dapat diberikan dosis 20-40 mg, jika perlu dosis dapat
ditambah setelah 4 jam. Pemakaina vitamin K 1 harus dibatasi untuk kasus-kasus
perdarahan yang berat saja, karena pasien mungkin menjadi refrakter berhari-hari
terhadap terapi ulang dengan antikoagulan oral
Dikumarol atau warfarin dapat menyebabkan anoreksia, mual, muntah lesi
kulit berupa purpura dan urtikaria, alopesia, nekrosis kelenjar mama dan kulit,

kadang-kadang jari kaki menjadi ungu. Pada penggunaan fenprokumon dapat


timbul diare dan dermatitis, sedangkan asenokumarol dapat menyebabkan
leukopenia, agranulositosis, demam, ruam kulit, ikterus, hepatitis, diare, paralisis
akomodasi, tukak pada mulut, neuropati dan urin berwarna merah jingga,
sedangkan difenadion menyebabkan mual, dan anisindion menyebabkan urin
berwarna jingga.
5. Dosis
Natrium Warfarin

Oral, IV. Masa protrombin harus ditentuka sebelum mulai terapi dan
selanjutnya tiap hari sampai respon stabil. Setelah taraf mantap tercapai
masa protrombin harus tetap diperiksa dengan interval tertentu secara
teratur. Untuk pengobatan umumnya dimulai dengan dosis kecil 5-10
mg/hari, selanjutnya didasarkan pada masa protrombin. Dosis
pemeliharaan umumnya 5-7 mg/hari.
Dikumarol
Oral, dosis dewasa 200-300 mg pada hari pertama, selanjutnya 25-100
mg/hari tergantung hasil pemeriksaan waktu protrombin. Penyesuaian
dosis mungkin perlu sering dilakukan selama 7-14 hari pertama dan
masa protrombin harus ditentukan tiap hari selama masa tersebut. Dosis
pemeliharaan 25-150 mg/hari.

Anisindion

Oral, dosis dewasa 300 mg pada hari pertama, 200 mg pada hari kedua
dan 100 mg pada hari ketiga. Dosis pemeliharaan biasanya 25-250
mg/hari.
2.2 Farmakokinetik
Semua derivat 4-hidroksikumarin dan derivat indian-1,3 dion dapat
diberikan per oral warfarin dapat juga diberikan IM dan IV. Absorpsi dikumarol
dari saluran cerna lambat dan tidak sempurna. Kecepatan absorpsi berbeda untuk
tiap individu. Dalam darah dikumarol dan warfarin hampir seluruhnya terikat
pada albumin plasma, ikatan ini tidak kuat dan mudah digeser oleh obat lain
misalnya fenilbutazon dan asam mefenamat. Hanya sebagian kecil dikumarol dan
wararin yang terdapat dalam bentuk bebas dalam darah, sehingga deegradasi dan
ekskresi menjadi lambat. Masa paruh warfarin 48 jam, sedangkan masa paruh
dikumarol 10-30 jam. Masa paruh dikumarol sangat bergantung dosis dan
berdasarkan faktor genetik berbeda pada masing-masing individu. Dikumarol dan
warfarin ditimbun terutama dalam paru-paru, hati, limpa dan ginjal. Efek
hipoprotombinemiknya berkolerasi dengan lamamnya obat dihati.
Efek terapi baru tercapai 12-24 jam setelah kadar puncak obat dalam
plasma, karena diperlukann waktu untuk mengosongkan faktor-faktor pembekuan
darah dalam sirkulasi. Makin besar dosis awal, makin cepat timbulnya efek terapi,
tetapi dosis harus tetap dibatasi agar tidak sampai menimbulkan efek toksik. Lama
kerja sebanding dengan masa paruh obat dalam plasma.

Dikumarol dan warfarin mengalami hidroksilasi oleh enzim retikulum


endoplasma hati menjadi bentuk tidak aktif. Ekskresi dalam urin terutama dalam
bentuk metabolit, anisindion dapat menyebabkan urin berwarna merah jingga.
Bagian yang tidak diabsorpsi dieksresi melalui tinja. Antikoagulan kumarin dapat
melewati

sawar

uri.

Pemebrian

antepartum

memungkinkan

terjadinya

hipoprotrombinemia berat pada neonatus. Obat-obat ini juga disekresi kedalam


ASI, tetapi waktu protrombin pada bayi tidak dipengaruhi secara bermakna.
3. Antikoagulan pengikat ion kalsium
Natrium sitrat dalam darah akan mengikat kalsium menjadi kompleks

kalsium sitrat. Bahan ini banyak digunakan dalam darah untuk tranfusi
karena tidak toksik. Tetapi dosis yang terlalu tinggi, umpamanya pada
tranfusi darah sampai 1400 mL dapat menyebabkan depresi jantung.
Asam oksalat dan senyawa oksalat lainnya digunakan untuk antikoagulan in

vitro, sebab terlalu toksik untuk penggunaan in vivo.


Natrium edetat mengikat kalsium menjadi suatu kompleks dan bersifat
sebagai antikoagulan, uraian lebih lanjut terdapat dalam pembahasan
antagonis logam berat.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia Edisi


IV, Jakarta.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. (2007). Farmakologi dan Terapi, Gaya Baru, Jakarta.
Ganiswara, G. S. (1995). Farmakologi Dan

Terapi (edisi IV), Jakarta.

Katzung, G, B. (1997). Farmakologi dasar dan klinik (Edisi VI). Penerjemah: Staf
dosen farmakologi fakultas kedokteran Universitas Sriwijaya. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran ECG.
Tjay, T. H., and Rahardja, K. (2007). Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan,
dan Efek sampingnya (edisi VI). Jakarta : PT. Elex Media Komputindo
Kelompok Kompas-Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai