Anda di halaman 1dari 15

PENATALAKSANAAN STROKE

Terapi Non Farmakologi

a. Terapi akut
Intervensi pada pasien stroke iskemik akut yaitu dilakukan bedah. Dalam
beberapa kasus edema iskemik serebral karena infark yang besar, dilakukan kraniektomi
untuk mengurangi beberapa tekanan yang meningkat telah dicoba. Dalam kasus
pembengkakan signifikan yang terkait dengan infark serebral, dekompresi bedah bisa
menyelamatkan nyawa pasien. Namun penggunaan pendekatan terorganisir multidisiplin
untuk perawatan strok yang mencakup rehabilitasi awal telah terbukti sangat efektif
dalam mengurangi cacat utama karena stroke iskemik (Fagan dan Hess, 2005).

b. Terapi pemeliharaan stroke


Terapi non farmakologi juga diperlukan pada pasien paska stroke. Pendekatan
interdisipliner untuk penanganan stroke yang mencakup rehabilitasi awal sangat efektif
dalam pengurangan kejadian stroke berulang pada pasien tertentu. Pembesaran karotid
dapat efektif dalam pengurangan risiko stroke berulang pada pasien komplikasi berisiko
tinggi selama endarterektomi (Fagan dan Hess, 2005).
Selain itu modifikasi gaya hidup berisiko terjadinya stroke dan faktor risiko juga
penting untuk menghindari adanya kekambuhan stroke. Misalnya pada pasien yang
merokok harus dihentikan, karena rokok dapat menyebabkan terjadinya kekambuhan
(Eusistroke, 2003).

Terapi Farmakologi

a. Terapi akut
American Stroke Association telah membuat dan menerbitkan panduan yang
membahas pengelolaan stroke iskemik akut. Secara umum, hanya dua agen farmokologis
yang direkomendasikan dengan rekomendasi kelas A adalah jaringan intravena
plasminogen activator (tPA) dalam waktu 3 jam sejak onset dan aspirin dalam 48 jam
sejak onset. Reperfusi awal (>3 jam dari onset) dengan tPA intravena telah terbukti
mengurangi kecacatan utama karena stroke iskemik.
Perhatian harus dilakukan saat menggunakan terapi ini, dan kepatuhan terhadap
protokol yang ketat adalah penting untuk mencapai hasil yang positif. Yang penting dari
protokol perawatan dapat diringkas yaitu:
(1) Aktivasi tim stroke
(2) Timbulnya gejala dalam waktu 3 jam
(3) CT scan untuk mengetahui perdarahan
(4) Sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklus
(5) Mengelola tpa 0,9 mg/kg lebih dari 1 jam, dengan 10% diberikan sebagai bolus awal
lebih dari 1 menit
(6) Menghindari terapi antitrombotik (antikoagulan atau antiplatelet) untuk 24 jam,
(7) Monitor pasien ketat untuk respon hemoragik dan kecacatan.
Pemberian tPA tidak boleh diberikan dalam waktu 24 jam karena dapat
meningkatkan risiko perdarahan pada pasien tersebut (Fagan dan Hess, 2005).

b. Terapi pemeliharaan stroke


Terapi farmakologi mengacu kepada strategi untuk mencegah kekambuhan
stroke.Pendekatan utama adalah mengendalikan hipertensi, CEA (Endarterektomi
karotis), dan memakai obat antiagregat antitrombosit. Berbagai study of antiplatelet
antiagregat drugs dan banyak meta analisis terhadap obat inhibitor glikoprotein IIb/IIIa
jelas memperlihatkan efektivitas obat antiagregasi trombosit dalam mencegah
kekambuhan (Price dan Wilson, 2006).
PENATALAKSANAAN UNTUK STROKE ISKEMIK

1. Fibrinolitik/trombolitik (rtPA/ recombinant tissue plasminogen activator) intravena


Golongan obat ini digunakan sebagai terapi reperfusi untuk mengembalikan perfusi
darah yang terhambat pada serangan stroke akut. Jenis obat golongan ini adalah alteplase,
tenecteplase dan reteplase, namun yang tersedia di Indonesia hingga saat ini hanya
alteplase. Obat ini bekerja memecah trombus dengan mengaktivasi plasminogen yang
terikat pada fibrin. Efek samping yang sering terjadi adalah risiko pendarahan seperti
pada intrakranial atau saluran cerna; serta angioedema. Kriteria pasien yang dapat
menggunakan obat ini berdasarkan rentang waktu dari onset gejala stroke dapat dilihat
pada tabel 1 (onset gejala < 3 jam).

Tabel 1 Kriteria Indikasi dan Kontraindikasi Pasien Stroke Iskemik Akut yang Dapat
Menggunakan rtPA dalam 3 jam Setelah Onset Gejala
Indikasi Kontraindikasi Kontraindikasi relatif
Diagnosis stroke Riwayat stroke atau trauma kepala Perbaikan gejala
iskemik dengan dalam 3 bulan terakhir stroke yang cepat
gangguan Adanya gejala pendarahan subaraknoid Kehamilan
neurologis yang Riwayat pengambilan sampel darah Kejang
terukur pada arteri yang tidak terkompresi Operasi besar atau
Usia ³ 18 tahun dalam 7 hari terakhir trauma dalam 14
Riwayat pendarahan intrakranial hari terakhir
Neoplasma intrakranial, malformasi Riwayat pendarahan
arteriovena, atau aneurisma pada saluran cerna
Riwayat operasi intrakranial atau atau saluran kencing
intraspinal dalam jangka waktu dalam 21 hari terakhir
dekat Riwayat infark miokard
Tekanan darah sistolik >185 dalam 3 bulan terakhir
mmHg atau diastolik >110 mmHg
Pendarahan internal aktif
Trombosit < 100.000/mm3
Riwayat penggunaan heparin dalam
48 jam, dengan adanya peningkatan
aPTT lebih dari angka normal
Menggunakan antikoagulan dengan
INR >1,7 atau PT >15 detik
Menggunakan direct thrombin inhibitor
atau direct factor Xa inhibitor
dengan peningkatan parameter
laboratorium seperti (aPTT, INR,
trombosit, ECT, TT)
Gula darah < 50mg/dL
CT menunjukkan infark multilobar

Tabel 2 Kriteria Tambahan Indikasi Dan Kontraindikasi Pasien Stroke Iskemik Akut yang
Dapat Menggunakan rtPA dalam Rentang 3 – 4,5 Jam Setelah Onset Gejala
Indikasi Kontraindikasi relatif
 Diagnosis stroke iskemik dengan Usia > 80 tahun
gangguan neurologis yang terukur Stroke berat (NHSS>25)
Menggunakan antikoagulan oral tanpa
memperhatikan nilai INR nya
Riwayat stroke iskemik dan diabetes

Waktu memegang peranan penting dalam penatalaksanaan stroke iskemik akut


dengan fibrinolitik. Beberapa penelitian yang ada menunjukkan bahwa rentang waktu terbaik
untuk dapat diberikan terapi fibrinolitik yang dapat memberikan manfaat perbaikan
fungsional otak dan juga terhadap angka kematian adalah <3 jam dan rentang 3-4,5 jam
setelah onset gejala. Pada pasien yang menggunakan terapi ini usahakan untuk menghindari
penggunaan bersama obat antikoagulan dan antiplatelet dalam 24 jam pertama setelah terapi
untuk menghindari risiko perdarahan. Aturan penggunaan alteplase dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3 Aturan Penggunaan rtPA (alteplase)

Infus 0.9 mg/kg IV (maksimal dosis 90 mg) selama 60 menit, dengan 10% dosis
diberikan bolus selama 1 menit.

Untuk memudahkan proses monitoring pasien dirawat di ICU atau stroke unit

Hentikan infus rtPA apabila pasien mengeluhkan nyeri kepala yang berat,
hipertensi akut, mual, muntah atau terjadi perburukan pada pemeriksaan neurologis

Monitor tekanan darah dan penilaian neurologis disarankan tiap 15 menit selama dan setelah
terapi IV rtPA selama 2 jam, kemudian tiap 30 menit selama 6 jam, kemudian tiap
jam selama 24 jam setelah terapi rtPA

Follow up CT scan dan MRI scan 24 jam setelah terapi rtPA, tetapi sebelum memulai
terapi antikoagulan atau antiplatelet

Alteplase adalah enzim serine-protease dari sel endotel pembuluh yang dibentuk
dengan teknik recombinant-DNA.T ½ nya hanya 5 menit. Bekerja sebagai fibrinolitikum
dengan jalan mengikat pada fibrin dan mengaktivasi plasminogen jaringan. Plasmin yang
terbentuk kemudian mendegradasi fibrin dan dengan demikian melarutkan thrombus
(Tjay dan Rahardja, 2007).
Efek samping dari Trombolitik terutama mual dan muntah dan perdarahan. Ketika
trombolitik digunakan dalam infark miokard, aritmia reperfusi dapat terjadi. Hipotensi
juga bisa terjadi dan biasanya dapat dikendalikan dengan mengangkat kaki pasien, atau
dengan mengurangi tingkat infus atau menghentikannya sementara. Sakit punggung,
demam, dan kejang telah dilaporkan. Pendarahan biasanya terbatas pada tempat injeksi,
tetapi perdarahan intraserebral atau perdarahan dari situs lain dapat terjadi. Panggilan
pendarahan serius untuk penghentian dari trombolitik dan mungkin memerlukan
administrasi faktor pengentalan dan obat antifibrinolitik (aprotinin atau asam
traneksamat). Jarang emboli lebih lanjut dapat terjadi (baik karena gumpalan yang
melepaskan diri dari trombus asli atau untuk emboli kristal kolesterol). Trombolitik dapat
menyebabkan reaksi alergi (termasuk ruam, pembilasan dan uveitis) dan anafilaksis telah
dilaporkan. Guillain-Barre syndrome telah dilaporkan secara jarang setelah perawatan
streptokinase (BNF, 2007).
tPA dapat berinteraksi dengan beberapa obat diantaranya adalah warfarin, heparin,
dikumarol, absikimab, dan anisindion (Drugs, 2011).

Dosis pada infark otot jantung akut i.v.(infus) permulaan 10 mg dalam 12


menit, lalu 50 mg selama jam pertama, dan 10 mg dalam 30 menit, sampai
maksimum 100 mg dalam 3 jam (Tjay dan Rahardja, 2007).

2. Antikoagulan
Unfractionated heparin (UFH) dan lower molecular weight heparin (LMWH) termasuk
dalam golongan obat ini. Obat golongan ini seringkali juga diresepkan untuk pasien stroke
dengan harapan dapat mencegah terjadinya kembali stroke emboli, namun hingga saat ini
literatur yang mendukung pemberian antikoagulan untuk pasien stroke iskemik masih
terbatas dan belum kuat. Salah satu meta-analisis yang membandingkan LMWH dan
aspirin menunjukkan LMWH dapat menurunkan risiko terjadinya tromboembolisme vena
dan peningkatan risiko perdarahan, namun memiliki efek yang tidak signifikan terhadap
angka kematian, kejadian ulang stroke dan juga perbaikan fungsi saraf. Oleh karena itu
antikoagulan tidak dapat menggantikan posisi dari aspirin untuk penggunaan rutin pada

pasien stroke iskemik. Terapi antikoagulan dapat diberikan dalam 48 jam setelah onset
gejala apabila digunakan untuk pencegahan kejadian tromboemboli pada pasien stroke
yang memiliki keterbatasan mobilitas dan hindari penggunaannya dalam 24 jam
setelah terapi fibrinolitik. Bukti yang ada terkait penggunaan antikoagulan sebagai
pencegahan kejadian tromboembolik atau DVT (deep vein thrombosis) pada pasien stroke
yang mengalami paralisis pada tubuh bagian bawah, dimana UFH dan LMWH memiliki
efektifitas yang sama tapi juga perlu diperhatikan terkait risiko terjadinya pendarahan.
Berdasarkan analisis efektivitas biaya LMWH lebih efektif dan risiko
trombositopenia lebih kecil dibandingkan dengan UFH.

3. Antiplatelet
Golongan obat ini sering digunakan pada pasien stroke untuk pencegahan
stroke ulangan dengan mencegah terjadinya agregasi platelet. Aspirin
merupakan salah satu antiplatelet yang direkomendasikan penggunaannya untuk
pasien stroke. Penggunaan aspirin dengan loading dose 325 mg dan dilanjutkan
dengan dosis 75- 100 mg/hari dalam rentang 24-48 jam setelah gejala stroke.
Penggunaannya tidak disarankan dalam 24 jam setelah terapi fibrinolitik.
Disamping khasiat analgetik dan antiradangnya (pada dosis tinggi), obat anti nyeri
tertua ini pada dosis amat rendah berkhasiat merintangi penggumpalan trombosit.
Dewasa ini, asetosal adalah obat yang paling banyak digunakan dengan efek
terbukti pada prevensi trombus ateriil. Sejak akhir tahun 1980-an, asam ini mulai
banyak digunakan untuk prevensi sekunder dari infark otak dan jantung. Risikonya
diturunkan dan jumlah kematian karena infark kedua dikurangi dengan 25%.
Keuntungan dibandingkan dengan anti koagulan untuk indikasi ini adalah banyak,
antara lain kerjanya cepat sekali dan dosisnya lebih mudah diregulasi.
Mekanisme kerjanya dengan hambatan agregasi trombositnya berdasarkan
inhibisi pembentukan tromboksan –A2 (TxA2) dari asam arachidonat yang
dibebaskan dari senyawa-esternya dengan fosfolipida (dalam membran sel) oleh
enzim fosfolipida. Asetosal mengasetilasi secara irreversible dan dengan demikian
menginaktivasi enzim siklooksigenase, yang umumnya mengubah arakidonat
menjadi endoperoksida. TxA2 memiliki khasiat kuat menggumpalkan trombosit
dan vasokonstriksi. Dosis 30-100 mg sehari sudah cukup efektif untuk inaktivasi
siklo-oksigenase tanpa menghalangi produksi prostasiklin. Prostasiklin berkhasiat
menghalangi agregasi, vasodilatasi dan melindungi mukosa lambung.
Efek samping yang terkenal adalah sifat merangsangnya terhadap mukosa
lambung dengan risiko perdarahan, yang berkaitan dengan penghambatan pula
prostasiklin (PgI2), yang dibentuk oleh dinding pembuluh. PgI2 ini mencegah
sintese TxA2 dan bersifat menghambat kuat agregrasi trombosit. Akan tetapi, pada
dosis rendah yang diperlukan untuk daya kerja antiagregasi, efek samping ini
ternyata jarang sekali menimbulkan keluhan lambung, sedangkan produksi PgI2
sistemis tidak dihalangi (Tjay dan Rahardja, 2007).

Sedangkan klopidogrel hingga saat ini masih belum terbukti yang cukup kuat
untuk penggunaan stroke iskemik jika dibandingkan dengan aspirin. Pada salah
satu kajian sistematis yang membandingkan terapi jangka panjang antiplatelet
monoterapi (aspirin atau klopidogrel) dan kombinasi antiplatelet (aspirin atau
klopidogrel) pada pasien stroke iskemik menunjukan perbedaan yang tidak
signifikan dalam keterulangan stroke antara kombinasi dan aspirin tunggal,
klopidogrel tunggal, demikian juga dengan resiko pendarahan intrakranial yang tak
bermakna namun lebih tinggi pada kombinasi aspirin dan klopidogrel dengan
demikian penggunaan antiplatelet tunggal efektif dengan resiko pendarahan yang
lebih rendah dibandingkan dengan kombinasi pada pasien dengan stroke
iskemik. Oleh karena itu pada pedoman terapi stroke iskemik oleh American Heart
Association/American Stroke Association tahun 2013 tidak direkomendasikan
kombinasi antiplatelet karena masih belum kuatnya bukti dan masih
merekomendasikan penggunaan antiplatelet tunggal dengan aspirin.
Klopidogrel memiliki efek trombosit anagregatori unik dalam hal ini adalah
inhibitor dari adenosine difosfat (ADP) jalur agregasi trombosit dan dikenal
menghambat rangsangan untuk agregrasi platelet. Efek ini menyebabkan perubahan
membran platelet dan interferensi dengan interaksi membran fibrinogenik
mengarah ke pemblokiran platelet reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Efek samping
klopidogrel adalah risiko diare dan ruam. Klopidogrel adalah prodrug thienopiridin
dan dibiotrasformasi oleh hati ke metabolit aktif. Bukti menunjukkan bahwa enzim
yang bertanggungjawab untuk konversi adalah sitokrom P450 3A4 (CYP3A4)
sehingga efek platelet dari klopidogrel mungkin berkurang pada pasien yang
menerima agen yang menghambat enzim ini (Fagan dan Hess, 2005).
Efek samping dispepsia, nyeri perut, diare, gangguan perdarahan (termasuk
gastro-intestinal dan intrakranial); jarang mual, muntah, asam lambung, perut
kembung, ulkus sembelit, lambung dan duodenum, sakit kepala, pusing,
paraesthesia, leukopenia, trombosit menurun (trombositopenia sangat jarang parah),
eosinofilia, ruam, dan pruritus, jarang vertigo, sangat jarang radang usus,
pankreatitis, hepatitis, gagal hati akut, vaskulitis, kebingungan, halusinasi,
gangguan rasa, stomatitis, bronkospasme, pneumonitis intestisial, kelainan darah
(termasuk trombositopenia, agranulositosis purpura dan pansitopenia), dan reaksi
hipersensitivitas seperti (termasuk demam, glomerulonefritis, arthralgia, sindrom
Stevens-Johnson, nekrolisis epidermal toksik, lichen planus). Klopidrogel dapat
berinteraksi dengan beberapa obat diantaranya yaitu ibuprofen, atorvastatin,
rifampin, reteplase. Dosis untuk Infark miokard akut (dengan elevasi ST segmen),
awalnya 300 mg kemudian 75 mg sehari, dosis awal dihilangkan jika pasien diatas
75 tahun (BNF, 2007).

Dipiridamol merupakan senyawa dipirimidin berkhasiat menghindarkan


agregasi trombosit dan adhesinya pada dinding pembuluh.Juga menstimulasi efek
dan sintesa epoprostenol. Kerjanya berdasarkan inhibisi fosfodiester, sehingga
cAMP (dengan daya menghambat agregat) tidak diubah dan kadarnya dalam
trombosit meningkat. Efek sampingnya seperti sakit kepala, gangguan lambung-
usus, debar jantung, dan pusing, akan jauh berkurang pada dosis yang rendah.
Pada dosis di atas 200 mg, tensi dapat menurun, dan kolaps pada orang dengan
sirkulasi buruk (Tjay dan Raharja, 2007).
Interaksi obat pada dipiridamol diantaranya dengan acetaminophen, belladon,
diklofenak, dan paroksetin. Produk yang beredar dipasaran misalnya adalah
Persantin dari Boehringer Ingelheim. Dosis oral, 300-600 mg sehari dalam 3-4
dosis terbagi sebelum makan (BNF, 2007).

Cilostazol merupakan obat antiplatelet yang menaikkan kadar cAMP (cyclic


adenosine monophosphate) dalam platelet melalui penghambatan cAMP
fosfodiesterase, obat ini digunakan pada penyakit oklusif aterial kronik. Terapi
dengan silostazol menunjukkan reduksi yang relatif dalam kambuhnya infark
serebrum. Dosisnya adalah 100 mg dalam 2 kali sehari (Wibowo dan Gofir, 2001).
Efek samping gangguan gastro-intestinal, takikardi, palpitasi, angina, aritmia,
nyeri dada, edema, rhinitis, pusing, sakit kepala, astenia, ruam, pruritus,
ecchymosis; kurang umum maag, gagal jantung kongestif, hipotensi postural,
dispnea, pneumonia, reaksi hipersensitivitas batuk, insomnia, mimpi abnormal,
kecemasan, hiperglikemia, diabetes mellitus, anemia, perdarahan, mialgia,
(termasuk sindrom Stevens-Johnson dan nekrolisis epidermal toksik dalam kasus
jarang); jarang anoreksia, hipertensi, paresis, peningkatan frekuensi kencing,
gangguan perdarahan, ginjal penurunan nilai, konjungtivitis, tinitus, dan penyakit
kuning (BNF, 2007).

Sedangkan interaksi obatnya yaitu dengan enoxaparin, alteplase, aspirin, dan


dalteparin (Drugs, 2011)

4. Antihipertensi
Peningkatan nilai tekanan darah pada pasien dengan stroke iskemik akut
merupakan suatu hal yang wajar dan umumnya tekanan darah akan kembali turun setelah
serangan stroke iskemik akut. Peningkatan tekanan darah tidak sepenuhnya merugikan
karena peningkatan justru dapat menguntungkan pasien. Karena dapat mempebaiki
perfusi darah ke jaringan yang mengalami iskemik, namun perlu diingat peningkatan
tekanan darah tersebut juga dapat menimbulkan resiko perburukan edema dan resiko
perdarahan pada stroke iskemik. Oleh karena itu seringkali pada pasien yang mengalami
stroke iskemik akut, penurunan tekanan darah tidak menjadi prioritas awal terapi dalam
24 jam pertama setelah onset gejala stroke, kecuali tekanan darah pasien >220/120
mmHg atau apabila ada kondisi penyakit penyerta tertentu yang menunjukkan
keuntungan dengan menurunkan tekanan darah, hal ini dikarenakan peningkatan
tekanan darah yang ekstrim juga dapat berisiko terjadinya ensefalopati, komplikasi jantung
dan juga insufisiensi ginjal.
Salah satu penelitian menunjukkan bahwa setiap penurunan tekanan darah 10

mmHg pada pasien stroke yang masuk rumah sakit dengan tekanan darah sistolik 180
mmHg dan juga peningkatan tekanan darah 10 mmHg pada pasien stroke yang masuk
dengan tekanan darah sistolik > 180 mmHg dalam 24 jam pertama setelah gejala stroke
iskemik akut dapat berakibat pada perburukan fungsi neurologis (penurunan ³ 1 poin
pada Canadian stroke scale yang mengukur beberapa aspek seperti kesadaran dan fungsi
motorik) dan outcome yang lebih buruk pada pasien stroke iskemik akut. Target penurunan
tekanan darah pada pasien yang tidak menerima terapi rtPA adalah penurunan tekanan
darah 15% selama 24 jam pertama setelah onset gejala stroke dengan disertai monitoring

kondisi neurologis.
Tabel 4. Pilihan obat Antihipertensi dan Tekanan Darah pada Stroke Iskemik Akut

Obat pilihan Tekanan darah


Pasien dapat menerima rtPA namun Apabila tekanan darah tidak tercapai
tekanan darah > 185/110 mmHg, maka ≤185/110 mmHg, maka jangan berikan
pilihan terapi: rtPA
Labetalol 10-20 mg IV selama 1-2
menit, dapat diulang 1 kali, atau
Nikardipin 5 mg/jam IV, titrasi sampai 2,5

mg/jam tiap 5-15 menit, maksimum 15


mg/jam; setelah tercapai target maka dapat
disesuaikan sesuai nilai tekanan darah.
Pasien sudah mendapat rtPA, namun Tekanan darah selama dan setelah rtPA
tekanan darah sistolik >180-230 mmHg ≤ 180/105 mmHg, monitor tiap 15 menit
atau diastolik selama 2 jam dari dimulainya rtPA, lalu
>105-120 mmHg, maka pilihan terapi: tiap 30 menit selama 6 jam dan kemudian
Labetalol 10 mg IV, kemudian tiap jam selama 16 jam
infus IV kontinu 2-8 mg/menit, atau
Nikardipin 5 mg/jam IV, titrasi sampai 2,5

mg/jam tiap 5-15 menit, maksimum 15


mg/jam

5. Obat neuroprotektif
Golongan obat ini seringkali digunakan dengan alasan untuk menunda terjadinya
infark pada bagian otak yang mengalami iskemik khususnya penumbra dan bukan untuk
tujuan perbaikan reperfusi ke jaringan. Beberapa jenis obat yang sering digunakan seperti
citicoline, flunarizine, statin, atau pentoxifylline. Citicoline merupakan salah satu obat
yang menjadi kontroversi penggunaannya hingga saat ini untuk pasien dengan stroke
iskemik, dimana penggunaan obat ini diharapkan dapat melindungi sel membran serta
stabilisasi membran sehingga dapat mengurangi luas daerah infark. Namun menurut
beberapa penelitian terbaru termasuk ICTUS trial menunjukkan bahwa penambahan
citicoline tidak memberikan manfaat dibandingkan dengan plasebo. Penggunaan
flunarizine juga tidak menunjukkan adanya manfaat pada pasien stroke berdasarkan penelitian
terdahulu dan belum ada data penelitian terbaru terkait efektifitasnya pada stroke iskemik.
Demikian juga halnya dengan penggunaan golongan statin berdasarkan salah satu kajian
sistematis menunjukkan belum adanya bukti yang cukup kuat terkait efektifitasnya pada stroke

iskemik. Namun pada pasien yang sudah menggunakan statin sebelumnya, statin sebaiknya
tetap dilanjutkan dan tidak ditunda penggunaannya. Salah satu penelitian pada pasien
stroke iskemik yang sudah menggunakan statin sebelumnya dan statin dihentikan saat terjadi
stroke iskemik akut selama 3 hari meningkatkan risiko kematian 4,7 kali lebih tinggi
dalam 3 bulan ke depan. Oleh sebab itu pedoman terapi yang ada menyatakan bahwa statin
dapat dilanjutkan penggunaannya pada pasien stroke iskemik akut yang sudah

menggunakan statin sebelumnya. Penggunaan pentoxifylline yang tergolong methylxanthine


berdasarkan salah satu kajian sistematis belum menunjukkan bukti yang kuat terkait
efektifitas maupun keamanannya pada pasien stroke iskemik. Prinsip penatalaksanaan
farmakologi stroke iskemik akut adalah untuk segera memperbaiki perfusi darah ke bagian
otak yang mengalami iskemik serta mengurangi risiko terjadinya serangan ulang stroke pada
masa mendatang hingga dapat mengurangi terjadinya risiko kecacatan dan kematian akibat
serangan stroke iskemik. Oleh sebab itu sangat penting untuk memilih terapi obat secara
tepat dan cepat dengan mempertimbangkan efektifitas dan keamanan bagi
penggunanya.
PENATALAKSANAAN Transient Ischemic Attact
 Obat antiplatelet (aspirin 75 mg per hari)
o Kontraindikasi pada pasien ulkus peptikum aktif.
o Clopidogrel merupakan obat antiplatelet pilihan untuk pasien yang tidak
dapat mentoleransi aspirin.
 Antikoagulan (warfarin)
o Jika diketahui sumber emboli dari jantung (kardiogenik), meliputi
fibrilasi atrium nonreumatik.

 Endarterektomi karotis

o Setelah terjadi TIA atau stroke minor, mungkin diperlukan intervensi


bedah untuk membersihkan ateroma pada arteri karotis berat yang simtomatik
(stenosis lebih dari 70%).

Aspirin menurunkan risiko stroke atau infark miokard atau kematian


vaskular pada pasien TIA sebesar 25%. Aspirin dengan dosis 75-300 mg/hari
(dengan atau tanpa dipiridamol) sama efektifnya atau lebih efektif daripada obat
lain atau kombinasi obat lain. Klopidogrel bisa digunakan bagi mereka yang
intoleran terhadap aspirin. Tanpa adanya faktor risiko kardioemboli (fibrilasi
atrium, penyakit katup jantung, katup jantung, katup buatan, infark miokard
dalam 3 bulan terakhir) tidak terdapat data konklusif yang mendukung
penggunaan antikoagulan oral. Akan tetapi, pada mereka yang memenuhi kriteria
tersebut, Migren disertai aura Epilepsi parsial Tumor intracranial, malformasi
vaskuler, atau hematoma subdural kronik. Skelarosis multiple Gangguan
vestibuler Lesi saraf perifer atau radiks saraf (misalnya palsi nervus kranialis)
Hipoglikemia Hiperventilasi dan proses psikogenik lainnya 12 dan bila
perdarahan telah disingkirkan dengan melakukan pencitraan, terdapat indikasi
pemberian antikoagulan penuh selama 2 bulan pascastroke (Royal College of
Physicians, Royal Clinical Guidelines for Stroke, 2000).

Indikasi endarterektomi karotis pada pasien TIA tergantung pada banyak


faktor, di antaranya tingkat berat stenosis dan morbiditas serta mortalitas
pembedaan di tempat pusat pelayanan tersebut. Pada tempat dengan tingkat
morbiditas serta mortalitas pembedahan terbukti bermanfaat bagi pasien dengan
stenosis sebesar >70% dan riwayat TIA.

DAFTAR PUSTAKA

BNF,2007, British National Formulary 54, BMJ Publishing Ltd and RPS Publishing, London

Drugs, 2011, Drug Interaction, (online), (http://www.drugs.com/ International.html, diakses pada tanggal 18
Oktober 2020)

Eusistroke, 2003, Europian Stroke Initiative Recommendations for StrokeManagement_abdate2003, 318,


(http://www.eusistroke.com/pdf/Eusi-recommendation-flyer-english.pdf, diakses tanggal 18 Oktober 2020)

Fagan, C.S., and Hess, C.D., 2005, Stroke, dalam Joseph T, Dipiro., Pharmacotherapy A Pathophysiologic
Approach, 417, 419, 423, McGRAW-HILL Medical Publishing Division.

Price, S. A., dan Wilson, L. M., 2006, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit,Volume 2, Edisi 6,
1106, 1113, 1119-1120, 1129, Alih bahasa: Brahm U, Pendit., Hartanto,Huriawati., Wulansari, Pita.,
Mahanani, Dei Asih., 1297, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Royal College of Physicians., 2004,National Clinical Guidelines for Stroke, second edition, 4, Royal College
of Physicians: London.

Tjay, T.H., dan Rahardja, K., 2007, Obat-Obat Penting (Kasiat, Penggunaan, dan Efek-efek sampingnya),
579-580, PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai