Anda di halaman 1dari 4

Terapi Farmakologi ACS

Intranasal O2 (jika Saturasi


O2 <90%)

Nitrogliserin (sublingual)

Aspirin
Terapi reperfusi <12 jam
(ACCS/AHD)

Inhibitor Platelet P2Y12 NSTEMI


STEMI

antikoagulan + (bivalirudin,
unfractionated
heparin (UFH) atau
enoxaparin)

β-blocker, ACEI/ARB,
eplerenon/spironolakton

Fibrinolisis

Morfin

A. Nitrogliserin (Nitrat)
Nitrogliserin menyebabkan vasodilatasi, sehingga akan menurunkan preload
dan kebutuhan oksigen miokardial dan menurunkan tekanan darah (vasodilatasi
tekanan darah). Dilatasi arteri juga dapat meredakan vasopasma arteri koroner dan
meningkatkan aliran darah serta oksigenase. Nitrogliserin sublingual tablet diberikan
setiap 5 menit dengan dosis 0,4 mg sampai tiga kali pemberian untuk meredakan nyeri
pada dada dan iskemik. Nitrogliserin iv diindikasikan untuk pasien ACS yang tidak
memiliki kontraindikasi dan yang memiliki iskemia persisten, gagal jantung dan
hipertensi tidak terkontrol (Dipiro, 2015).
B. Aspirin
Aspirin bekerja dengan cara menekan pembentukan tromboksan A2 dengan
cara menghambat siklooksigenase di dalam platelet (trombosit) melalui asetilasi
yang ireversibel. Kejadian ini menghambat agregasi trombosit melalui jalur
tersebut dan bukan yang lainnya. Aspirin tidak menyebabkan hambatan total agregasi
trombosit karena aspirin tidak sempurna menghambat aktivitas trombosit yang
dirangsang oleh ADP, kolagen, serta trombin dalam konsentrasi rendah dan aspirin
tidak menghambat adhesi trombosit (Depkes, 2006).
Aspirin sebagai antiplatelet diberikan kepada semua pasien tanpa
kontraindikasi dengan dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg
setiap harinya untuk jangka panjang, tanpa memandang strategi pengobatan yang
diberikan. Tidak disarankan pemberian aspirin bersama OAINS (penghambat COX-2
selektif dan NSAID non-selektif). Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan
omeprazole) diberikan bersama DAPT (dual antiplatelet therapy : aspirin dan
penghambat reseptor ADP) direkomendasikan pada pasien dengan riwayat
pendarahan saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu diberikan kepada pasien
dengan beragam faktor risiko seperti infeksi H.pylori, usia 65 tahun, serta konsumsi
bersama dengan antikoagulan atau steroid (Perki, 2018).
C. Inhibitor platelet P2Y12
Clopidogrel, prasugrel, dan ticagrelor menghambat subtipe reseptor ADP (reseptor
P2Y12) pada platelet, mencegah ADP berikatan dengan reseptor sehingga
menurunkan agregasi platelet. Inhibitor platelet P2Y12 direkomendasikan untuk
seluruh pasien STEMI ditambah dengan pemberian aspirin.
 Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang menerima fibrinolitik atau
yang tidak menerima terapi reperfusi dengan dosis loading 300 mg,
dilanjutkan 75 mg setiap hari.
 Prasugrel diberikan dengan dosis loading 60 mg oral, dilanjutkan 10 mg sekali
per hari untuk pasien dengan berat badan 60 kg atau lebih.
 Ticagrelor diberikaan pada pasien intervensi koroner perkutan (IKP) dengan
dosis loading 180 mg oral, dilanjutkan 90 mg oral dua kali setiap hari.
Ticagrelor juga dapat digunakan sebagai pilihan terapi pasien ACS.
Efek samping yang banyak terjadi pada penggunaan clopidogrel dan prasugrel
adalah mual, muntah, dan diare. Thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP)
dilaporkan terjadi pada clopidogrel. Sedangkan efek samping yang dapat terjadi pada
ticagrelor yaitu mual (4%), diare (3%), dispnea (14%), bradiaritmia dan ventricular
pauses. Pada pasien STEMI yang menerima fibrinolisis, terapi dengan clopidogrel 75
mg perhari (300 mg untuk usia <75 tahun) selama di rumahsakit dan sampai 28 hari
menurunkan mortalitas dan reinfraksi tanpa meningkatkan risiko pendarahan.
D. Inhibitor reseptor Glikoprotein IIb/IIIa
Inhibitor reseptor GP IIb/IIIa menghambat jalur akhir dari agregasi platelet oleh
fibrinogen antara reseptor GP IIb dan IIIa pada permukaan platelet. Abciximab iv atau
intrakoroner, eptifibatid, tirofiban dapat diberikan pada pasien STEMI selama IKP
yang diterapi dengan UFH. Hindari pemberian inhibitor GP IIb/IIIa pada pasien
STEMI yang tidak menerima IKP.
 Abciximab: 0.25 mg/kg iv bolus diberikan 10 sampai 60 menit sebelum memulai
IKP, dilanjutkan dengan 0,125 mcg/kg/min (maksimum 10 mcg/menit) selama 12
jam.
 Eptifibatide: 180 mcg/kg iv bolus, diulang setiap 10 menit, dilanjutkan dengan
infus 2 mcg/kg/menit selama 18 sampai 24 jam setelah IKP.
 Tirofiban: 25 mcg/kg iv bolus, kemuadian 0.15 mcg/kg/menit selama 18 sampai
24 jam setelah IKP.
 Penggunaan reseptor GP IIb/IIIa tidak direkomendasikan pada pasien yang
menerima fibrinolitik atau bivalirudin karena meningkatkan risiko pendarahan.
E. Antikoagulan
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat
mungkin, disarankan untuk semua pasien yang mendapat terapi antiplatelet.
Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko pendarahan dan iskemia, dan
berdasarrkan profil efikasi-keamanan agen tersebut. Fondaparinux secara keseluruhan
memiliki profil keamanan yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg
setiap hari subkutan. Bila antikoagulan yang diberikan adalah fondaparinux,
penambahan bolus UFH perlu diberikan saat IKP (Perki, 2018).
Enoxaparin (1 mg/kg, 2x/hari) disarankan untuk pasien dengan risiko
pendarahan rendah apabila fondaparinux tidak tersedia. UFH dengan target aPTT 50-
70 detik atau low molecular weight heparin (LMWH) lainnya dengan dosis yang
direkomendasikan sindikasi apabila fondaparinux atau enoxaparin tidak tersedia.
Pemberian antikoagulan perlu dilanjutkan hingga pasien dipulangkan dari rumah sakit
(Perki, 2018).

UFH (50 – 70 U/kg ih bolus jika digunakan bersama dengan inhibitor GP


IIb/IIIa atau 70 – 100 U/kg jika tanpa GP IIb/IIIa) atau bivalirudin disarankan untuk
pasien yang menjalani IKP, sedangkan untuk fibrinolisis dapat digunakan UFH,
enoxaparin atau fondaparinux.
Dosis bivalirudin untuk IKP pada STEMI adalah 0,75 mg/kg ih bolus,
dilanjutkan dengan 1,75 mg/kg/ jam infus. Pada akhir IKP dilakukan penghentian
bivalirudin, atau jika dibutuhkan untuk memperpanjang efek antikoagulan dapat
digunakan dosis 0,25 mg/kg/jam. Pasien yang menjalani IKP, penghentian
antikoagulan langsung dilakukan setelah prosedur. Pada pasien yang menerima
antikoagulan dan fibrinolitik, lanjutkan UFH 48 jam, enoxaparin dan fondaparinux
selama waktu MRS hingga 8 hari.
F. ACEI

G. β-blocker
β-blocker secara kompetitif menghambat efek katekolamin pada reseptor
beta. β-blocker mengurangi konsumsi oksigen miokard melalui
pengurangan kontraktilitas miokard, denyut jantung (laju sinus), konduksi AV
dan tekanan darah sistolik. Bila tidak ada kontraindikasi, pemberian β-blocker harus
dimulai segera. β-blocker tanpa aktivitas simpatomimetik lebih
disukai, seperti metoprolol, atenolol, esmolol atau bisoprolol. Kontraindikasi
β-blocker adalah blok AV kelas 2 atau 3, asma, gagal jantung yang dalam
keadaan dekompensasi dan penyakit arteri perifer yang berat (Depkes, 2006).
H. CCB
I. Fibrinolisis
Agen fibrinolitik diindikasikan untuk pasien STEMI yang muncul dalam waktu 12
jam. Pembatasan fibrinolisis dilakukan antara 12 dan 24 jam setelah gejala timbul
pada pasien dengan iskemia. Fibrinolitik spesifik fibrin (alteplase, reteplase, atau
tenecteplase) lebih disarankan penggunaanya dari pada non-spesifik fibrin
(streptokinase). Hal ini dikarenakan efek Intracranial hemorrhage (ICH) dan
pendarahan lebih berisiko tinggi pada streptokinase dibandingkan fibrinolitik spesifik
fibrin. Berikan terapi pada pasien yang datang ke UGD secepat mungkin (disarankan
sebelum 30 menit).
 Alteplase : 15 mg ih bolus, dilanjutkan dengan 0,75 mg/kg infus (maksimum
50 mg) selama 30 menit, lalu 0,5 mg/kg infus (maksimum 35 mg) selama 30
menit.
 Reteplase : 10 U ih selama 2 menit, dilanjutkan 30 menit dengan 10 unit ih
selama 2 menit.
 Tenecteplase : dosis tunggal ih diberikan berdasarkan berat badan pasien. 30
mg jika <60 kg, 35 mg jika 60 – 69,9 kg, 40 mg jika 70 – 79,9 kg, 45 mg jika
80, 89 kg, dan 50 mg jika ≥90 kg.
 Streptokinase : 1,5 ppm dalam 50 mL normal salin atau 5% dekstrosa dalam
air selama 60 menit.
J. Morfin
K.

Anda mungkin juga menyukai