Anda di halaman 1dari 21

Penatalaksanaan STEMI

Tujuan terapi pasien ST elevation myocardial infraction (STEMI) :


1.

untuk meminimumkan total ischemic time sehingga mengurangi


morbidity dan mortality yang disebabkan oleh ST elevation
myocardial infraction (STEMI). 1

2.

untuk pencegahan reocclusion arteri koroner, pencegahan komplikasi,


dan kematian. 1
Skema penatalaksanaan ST elevation myocardial infraction (STEMI)

secara umum dapat dilihat pada gambar 6 : 1


Penatalaksanaan pada saat ONSET terjadinya
STEMI

Penatalaksanaan Pada Saat Prehospital

Penatalaksanaan Pada Saat di UGD

HOSPITAL
Farmakologi
Secondary Prevention
Non-farmakologi

Gambar 6 Skema Penatalaksanan STEMI


1. Prehospital
Apabila pasien merasakan rasa nyeri pada dada (chest
discomfort), maka kita melihat dulu apakah pasien memang memiliki
riwayat sakit jantung dan apakah pasien telah menerima peresepan
nitrogliserin

(NTG).

Apabila

pasien

telah

menerima

peresepan

nitrogligerin sebelumnya dan pada saat kejadian pasien masih memiliki


nitrogliserin, maka tindakan pertama yang dapat dilakukan pasien untuk
mengatasi nyerinya adalah dengan memberikan nitrogliserin tersebut satu

kali dosis dengan rute sublingual (sisi kanan gambar 7). Jika 5 menit
setelah pemberian nitrogliserin, pasien masih mengeluhkan rasa nyeri
(chest discomfort), maka pasien harus dibawa ke Rumah Sakit untuk
mendapatkan pertolongan medis lebih lanjut. Jika 5 menit setelah
pemberian nitrogliserin, pasien sudah tidak mengeluhkan nyeri (chest
discomfort) maka dilakukan managemen angina pektoris stabil. 1
Jika sejak awal pasien tidak pernah diresepkan nitrogliserin (sisi
kiri gambar 7), dilihat dulu apakah rasa nyeri (chest discomfort) dalam
waktu 5 menit membaik atau memburuk. Jika 5 menit nyeri hilang, maka
pasien direkomendasikan untuk berkonsultasi dengan dokter. Jika 5 menit
nyeri dada atau rasa tidak enak pada dada (chest discomfort) tidak
membaik, maka pasien harus dibawa ke Rumah Sakit untuk mendapatkan
penangan medis. Pada saat di EMS (Emergency system), pasien dapat
diberikan terapi nitrogliserin sublingual (maksimal 3X dosis sejak awal
terjadinya

nyeri)

dan

aspirin

dosis

162

mg-325mg.

penatalaksanaan prehospital STEMI dapat dilihat pada gambar 7. 1

Skema

Pasien merasakan nyeri pada daerah dada (chest discomfort)


Apakah sebelumnya pasien pernah mendapat
resep nitrogliserin?

Tidak

Ya

Apakah nyeri atau rasa tidak enak


dada (chest discomfort) membaik
atau tidak setelah 5 menit?

Tidak

Berikan nitrogliserin 1x
dosis sublingual
Apakah nyeri/ rasa tidak enak dada
tetap terjadi setelah 5 menit
pemberian nitrogliserin 1x dosis

Ya

Konsultasi ke
dokter

secara sublingual?

Telpon Rumah Sakit

Pasien diberi aspirin dosis 162-325


mg jika tidak dikontraindikasikan
atau segera dibawa ke rumah sakit

Ya

Tidak

Penatalaksanaan guidline
ACC/AHA 2002 mengenai
pasien kronis angina stabil.

Gambar 7 Skema Penatalaksanan Prehospital STEMI 1


2. Hospital
a. Oksigen
Tambahan oksigen harus diberikan pada penderita STEMI selama
6 jam pertama bila penderita dengan desaturasi oksigen arteri (SaO2 <
90%) 2-4 liter/menit. 1
Evidence studi RCT kejadian hipoksemia (SpO2 <90%) pada
pasien infark miokard akut adalah 70% dan hipoksemia berat 35% pada
mereka yang tidak diberikan oksigen. Kejadian hipoksemia berkurang
3

menjadi 43% pada pasien infark miokard akut dan 31% pada pasien
hipoksemia berat berkurang setelah diberikan terapi oksigen 10
b. Nitrogliserin
Nitrogliserin digunakan untuk menghilangkan nyeri karena gejala
iskemik. Pasien yang sedang mengalami gejala iskemik harus menerima
nitroglyserin 0,4 mg SL tiap 5 menit dengan total 3x dosis. Jika
nitrogliserin yang diberikan tidak memberikan perbaikan terapi sebaiknya
pasien mendapatkan nitrogliserin intravena. Nitrogliserin intravena
diberikan 48 jam pertama setelah STEMI untuk pengobatan persisten
iskemia, congestive heart failure (CHF), atau hipertensi (Level of
Evidence: B). 1, 2, 3
Nitrogliserin dapat mengurangi preload dan afterload pada arteri
peripheral dan dilatasi vena, relaksasi pada arteri koroner epicardial dan
pelebaran pembuluh darah collateral. Nitrat tidak boleh diberikan kepada
pasien yang telah menerima inhibitor fosfodiesterase untuk disfungsi
ereksi dalam 24 jam terakhir (48 jam untuk tadalafil). 1, 2, 3
Tabel 1 Rekomendasi dosis nitrat : 2

Tabel 2 Keterangan Evidence dan rekomendasi


Kategori Evidence :
(I) Dirancang berdasarkan randomised controlled trials,
meta analisis, atau systematic review
4

(II) Dirancang berdasarkan desain cohort atau case control


studies
(III) Dirancang berdasarkan uncontrolled studies atau
consensus
Kategori kekuatan rekomendasi :
(A) Langsung berdasarkan evidence kategori I
(B) Langsung berdasarkan evidence kategori II atau
ekstrapolasi dari evidence kategori I
(C) Langsung berdasarkan evidence kategori III atau
ekstrapolasi dari evidence kategori I atau II
Evidence studi RCT dengan jumlah sampel 38 pasien yang
menganalisis efek nitrogliserin pada arteri koroner menggunakan
angiografi arteri koroner, 15 menit setelah pemberian nitrogliserin
transdermal 10 mg (8 pasien) atau 25 mg (30 pasien) dan setelah injeksi
intrakoronari

2,5 mg

ISDN. Menyimpulkan

bahwa nitrogliserin

transdermal 25 mg melebarkan arteri koroner dan berguna untuk sindrom


koroner akut dengan beberapa komplikasi.11
c. Beta Bloker
Mekanisme kerja beta bloker adalah dengan cara inhibisi
kompetitif terhadap efek katekolamin pada reseptor adrenergik-1
sehingga menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh darah, penurunan
aliran simpatetik pada otak, menurunkan rilis renin, menurunkan laju
jantung dan menurunkan curah jantung.12, 13
Selama beberapa jam pertama setelah terjadinya STEMI beta
bloker dapat mengurangi kebutuhan terhadap oksigen dengan cara
menurunkan heart rate, tekanan arterial sistemik, dan kontraktilitas
myocardial. Jadi, terapi beta-blocker dapat : 1
1) mengurangi besarnya infark dan insiden yang terjadi karena komplikasi
akibat pasien tidak menerima terapi fibrinolitik

2) mengurangi kecepatan reinfarction pada pasien yang menerima terapi


fibrinolitik
3) mengurangi frekuensi terjadinya ventricular tachyarryhmias.
Tabel 3 Rekomendasi dosis Beta bloker: 2

Oral beta blocker harus diberikan segera untuk pasien tanpa


kontraindikasi. Beta bloker IV diberikan kepada pasien STEMI dengan
hipertensi, takiaritmia dan tidak memiliki kontraindikasi. 1
Evidence studi RCT dengan jumlah sampel 45.852 pasien infark
miokard akut, didapatkan bahwa penggunaan beta bloker pada terapi awal
dapat mengurangi infark miokard akut dari infark kembali dan fibrilasi
ventricular, tetapi dapat meningkatkan shok kardiogenik terutama pada
hari pertama diberikan. 14
d. Analgesik
Morfin sulfat direkomendasikan pada pasien dengan keluhan nyeri
menetap atau berulang karena STEMI setelah pemberian anti iskemik.
Dosis morfin sulfat yang direkomendasikan yaitu dosis awal 4-8 mg IV
yang kemudian dapat ditambahkan 2 mg IV setiap 5-15 menit.15
Morfin memiliki mekanisme kerja dengan cara berikatan dengan
reseptor opioid di CNS, yang kemudian mengubah reaksi yang timbul di
korteks serebral pada saat rasa nyeri diterima sehingga dapat menghambat
timbulnya rasa nyeri. 15
Efek samping yang mungkin terjadi dari pemberian morfin adalah
hipotensi, efek ini dapat diminimalisasikan dengan menjaga pasien agar
6

tidak berbaring jika tekanan sistolik menurun dibawah 100 mmHg, agar
tidak terjadi udem paru. Penggunaan atropin pada dosis 0,5-1,5 mg secara
IV dapat membantu untuk mengurangi terjadinya efek vagomimetik
(hipotensi atau bradikardia). Pemberiaan fenotiazin ditujukan pada pasien
yang mengalami efek samping yang potensial terjadi pada pemberian
morfin dosis tinggi. Sedangkan penggunaan Naloxone 0,1-0,2 mg IV,
dapat diberikan jika terjadi efek samping depresi pernapasan pada
penggunaan morfin. 1
Evidence studi RCT dengan jumlah 265 pasien menggambarkan
perbandingan metoprolol (N=130) dan analgesik morfin (N=135) pada
pasien yang diduga infark miokard akut setelah diberikan metoprolol.
Kelompok morfin atau metoprolol dapat mengurangi intesitas nyeri,
namun pada penggunaan morfin, penurunan intesitas nyeri lebih cepat
terjadi dalam waktu 80 menit pertama setelah pemberiaan morfin. 16
e. Antiplatelet
Mekanisme kerja aspirin sebagai antiplatelet adalah untuk
menekan produksi prostaglandin dan tromboksan karena inaktivasi
ireversibel dari enzim siklooksigenase (COX). Inhibisi terhadap
tromboksan akan menghambat agregasi platelet, jadi aspirin dapat
digunakan untuk profilksis trombosis koroner dan serebral. 12, 13
Dosis aspirin 162-325 mg diberikan pada hari pertama STEMI
pada penderita yang tidak memiliki kontraindikasi, dilanjutkan dosis
harian 72-162 mg. Thienopyridine (Clopidogrel) diberikan pada pasien
yang tidak dapat menerima aspirin karena hipersensitivitas terhadap
aspirin atau intoleransi gastrointestinal.1
Evidence studi meta analisis menggambarkan penggunaan aspirin
berpotensi mencegah meningkatnya risiko kejadian oklusi vaskuler yang
meliputi infark miokard akut atau stroke iskemik, unstable atau stable
angina, miokardia infark, stroke atau serebral iskemik, penyakit arteri
perifer, atau atrial fibrilasi. Dosis aspirin yang digunakan adalah 75-

150mg per hari merupakan dosis yang digunakan untuk jangka panjang,
tetapi dalam kondisi akut, dosis yang digunakan minimal 150mg.17
f. Antikoagulan
Unfractionated heparin (UFH) merupakan glikosaminoglikan
yang terbentuk dari rantai polisakarida dengan berat molekul antara 300030000. Rantai polisakarida ini akan mengikat antritrombin III dan
mempercepat proses hambatan antitrombin III terhadap trombin dan
faktor Xa. UFH intravena data diberikan dengan dosis 60 U/kg secara
bolus, maksimum 4000 U IV bolus; diikuti dengan infus 12 U/kg/jam,
dengan dosis maksimum 1000 U/jam. 1
Low Molecular Weight Heparin (LMWH) harus digunakan pada
pasien setelah STEMI yang berisiko tinggi terjadi emboli sistemik
(miokard infark anterior, atrial fibrilasi, pernah terjadi emboli sebelumnya,
terbentuknya trombus pada ventrikel kanan, atau syok kardiogenik). 1
Pada pasien STEMI yang tidak menjalani terapi reperfusi dan yang
tidak memiliki kontraindikasi terhadap antikoagulan dapat diobati dengan
UFH secara intravena/subkutan atau dengan LMWH secara subkutan
selama 48 jam. 1
Evidence studi meta analisis pada kelompok yang mendapatkan
intervensi PCI, LMWH menurunkan kematian [RR (95% Cl) = 0,51
(0,41-0,64), P <0,001, ARR = 3%] dan pendarahan besar [RR (95% CI) =
0,68 (0,49-0,94), P = 0,02, ARR = 2,0%] dibandingkan dengan UFH. 18
g. Penghambat Renin Angiotensin Aldosteron Sistem
ACEI diberikan secara oral selama masa pemulihan STEMI
dilanjutkan dalam waktu jangka panjang. ARB diberikan pada pasien
STEMI yang intoleran ACEI dan memiliki tanda klinis atau radiologi
gagal jantung atau LVEF <0,40, valsartan dan candesartan merupakan
golongan ARB yang direkomendasikan 1
Evidence studi meta analisis dengan 147020 pasien dengan
intervensi placebo dan angiotensin reseptor bloker, jika dibandingkan
dengan placebo, ARB dapat menurunkan resiko stroke dan gagal jantung19
h. Reperfusion
8

Reperfusi dapat dilakukan dengan cara 1


1)

Fibrinolitik

2)

Percutaneous coronary interventions (PCI)

3)

Coronary artery bypass graft (CABG)


Tujuan medis reperfusi adalah untuk memfasilitasi pemulihan
pada arteri yang mengalami infark dengan cepat dengan tindakan seperti
door-to-needle yang dimulai dengan fibrinolitik dalam waktu 30 menit
pertama atau door-to-balloon untuk PCI, diberikan pada 90 menit
pertama.1
Terapi reperfusi diindikasikan pada semua pasien dengan riwayat
nyeri dada < 12 jam dan dengan keadaan persistent ST elevasi atau diduga
terdapat left bundle-branch block. Terapi reperfusi harus dipertimbangkan
jika ada bukti klinis dan atau bukti ECG selama iskemia berlangsung, atau
jika pasien merasakan gejala klinis lebih dari 12 jam. 15
Terapi farmakologi yang mendukung reperfusi juga harus
diberikan seperti penggunaan antiplatelet dan antikoagulan. Kombinasi
terapi ini diberikan dengan tujuan untuk membatasi terjadinya iskemia
otot jantung, meningkatkan pemulihan otot jantung dan mengurangi
terjadinya risiko serangan ulang.20 Berikut adalah pemakaian antiplatelet
dan antikoagulan dalam reperfusi :
Tabel 4 Pemberiaan antiplatelet selama reperfusi dengan PCI
Antiplatelet
Aspirin

Terapi
150325 mg oral atau dosis

Clopidogrel

250500 mg IV. 15
Dosis awal 300-600 mg dan
dosis

GPIIb/IIIa

inhibitors-

Abciximab

pemeliharaan

75

mg

perhari oral selama 12 bulan. 15


Dosis awal 0.25 mg/kg IV bolus
dan dosis pemeliharaan 0.125
mcg/kg per menit (maksimal 10
mcg/menit selama 12 jam).15

Tabel 5 Pemberiaan antikoagulan selama reperfusi dengan PCI


Antikoagulan
Heparin

Terapi
Pasien direncanakan mendapat
IV GPIIb/IIIa antagonis target
activated clotting time (ACT)
200-250 detik mendapat heparin
dengan dosis 50-70 U/kg bolus.
20

Pasien

tidak

mendapatkan

direncanakan
IV

GPIIb/IIIa

antagonis target ACT 250-300


detik untuk Hemotec dan 300350 detik untuk Hemochron dan
mendapat heparin dengan dosis
70-100U/kg bolus.20
Tabel 6 Pemberiaan antiplatelet selama reperfusi dengan Fibrinolitik
Antiplatelet
Aspirin

Terapi
150325 mg oral atau dosis

Clopidogrel

250 500mg IV. 15


Dosis awal 300 mg jika umur
75 tahun dan 75 mg jika umur

GPIIb/IIIa

inhibitors-

Abciximab

75 tahun. 15
Dosis awal 0.25 mg/kg IV bolus
dan dosis pemeliharaan 0.125
mcg/kg per menit. (maksimal 10

mcg/menit selama 12 jam).15


Tabel 7 Pemberiaan antikoagulan selama reperfusi dengan Fibrinolitik
Antikoagulan
Enoxaparin

Terapi
Pasien umur 75 tahun dengan
serum kreatinin < 2.5 mg/dL
pada laki-laki dan < 2 mg/dL
pada perempuan: dosis awal 30
10

mg secara IV bolus diikuti 15


menit kemudian 1 mg/kg setiap
12 jam subkutan.15
Pasien umur 75 tahun : dosis
awal

0.75

maksimal

mg/kg
75

mg

dengan
pada

pemberiaan kedua (subkutan).


Pasien yang klirens kreatinin
30mL/min,

tanpa

memperhatikan

usia,

dosis

(subkutan) dapat diulang tiap 24


jam. 15
Dosis awal 60 U/kg secara IV

Heparin

bolus dengan dosis maksimal


4000 U, diikuti infus IV 12 U/kg
setiap jam (dengan maksimal
dosis 1000 U/jam) untuk 24- 48
jam.15
Monitoring

activated

partial

thromboplastin time (aPTT) :


50-70 detik ( setiap 3,6,12 dan
24 jam). 15
Jika serum kreatinin <3 mg/dL:

Fondaparinux

dosis awal 2.5 mg secara IV


diikuti s.c. dosis 2.5 mg/hari
(sampai 8 hari). 15
1. Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik dapat diberikan ketika tidak tersedia fasilitas
reperfusi dengan PCI dan pasien tidak kontraindikasi mendapatkan terapi
tersebut. Keadaan pasien yang kontraindikasi dengan terapi fibrinolitik : 15

11

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Stroke hemoragik
Iskemik stroke (6 bulan sebelumnya)
Trauma CNS (Central Nervous System) atau neoplasma
Melakukan pembedahan (3 minggu sebelumnya)
Pendarahan Gastrointestinal (satu bulan sebelumnya)
Gangguan pendarahan
Pembedahan aorta
Tabel 8 cara pemakaian dan perbandingan agen fibrinolitik :15
Fibrinolitik

Dosis

Fibrinogen

Reaksi

Potensi

terapi

depletion

Alergi

rata-rata
(90
menit

Streptokinase

1,5

juta

(SK)

unit

IV

Marked

Ya

pertama)
50%

Mild

Tidak

75%

selama
30-60
Alteplase

menit
15 mg IV

(t-PA)

0,75
mg/kg BB
selama 30
menit
kemudian
0,5 mg/kg
BB
selama 60
m3nit IV
(total
dosis
tidak
lebih dari
12

Reteplase

100 mg)
10 U + 10

(r-PA)

Moderate

Tidak

7%

Minimal

Tidak

75%

IV

bolus
diberikan
secara
Tenecteplase

terpisah
dosis

(TNK-tPA)

tunggal
IV bolus
sebagai
berikut:
30

mg

jika

<60

kg
35

mg

jika

60

sampai
<70 kg
40

mg

jika

70

sampai <
80 kg
45

mg

jika

80

sampai <
90 kg
50

mg

jika > 90
kg.

13

Data dari The Global Use of Strategies to Open Occluded


Coronary Arteries menunjukkan bahwa penggunaan alteplase dan
reteplase (diberikan secara bolus) dengan heparin IV merupakan terapi
yang efektif pada pasien yang pertama kali mendapat reperfusi koroner
dibandingkan dengan fibrinolitik streptokinase. Penggunaan alteplase
reteplase bermanfaat pada pasien yang baru pertama kali merasakan nyeri
dada atau gejala STEMI dengan daerah infark yang cukup besar dan
memiliki resiko ICH (intracerebral hemorrhage) rendah.21,22
Evidence studi meta analisis pada 6000 pasien yang diacak
menggunakan terapi fibrinolitik pada saat sebelum di rumah sakit atau di
rumah sakit, menunjukkan hasil yang signifikan yaitu mengurangi
kematian sebanyak 17 %. 23
2. Percutaneous coronary interventions (PCI)
PCI merupakan tindakan reperfusi invasif dengan balon angioplasti
dengan atau tanpa pemasangan stent yang mendukung terapi farmakologis
untuk mencegah trombosis1. Pasien yang direkomendasikan mendapatkan
PCI

adalah

pasien

yang

kontraindikasi

mendapat

fibrinolitik,

ketidakstabilan hemodinamik atau elektris, dan gejala iskemik yang


persisten. 20
Pasien yang datang dengan gejala klinis STEMI dan bukti ECG
terdapat ST elevasi atau diduga terdapat left bundle-branch block, segera
direkomendasikan untuk mendapatkan reperfusi dengan PCI (jika terdapat
fasilitas PCI di rumah sakit). PCI diberikan kurang dari 90 menit pertama
(sejak pasien datang ke rumah sakit) atau kurang dari 2 jam (sejak pasien
merasakan gejala klinis STEMI). Namun jika tindakan PCI tidak dapat
dilakukan < 2 jam (sejak pasien merasakan gejala klinis STEMI),
reperfusi fibrinolitik harus segera mungkin diberikan dengan waktu < 30
menit pertama (sejak pasien dating ke rumah sakit). Pemeriksaan ulang
hasil ECG juga harus dilakukan setelah 90 menit Terapi fibrinolitik, untuk
memastikan apakah reperfusi yang diberikan cukut adekuat atau tidak.
14

Reperfusi fibrinolitik juga harus segera diberikan pada pasien yang


diindikasikan mendapatkan tindakan PCI tetapi tidak tersedia fasilitasnya.
Jika dengan terapi fibrinolitik tidak berhasil maka pasien harus segera
mendapatkan Rescue PCI segera mungkin, dalam waktu kurang dari 12
jam pertama sejak pasien merasakan gejala klinis STEMI.15
Rescue PCI adalah tindakan PCI yang dilakukan pada arteri koroner
yang masih atau tetap tersumbat meskipun sudah mendapatkan terapi
fibrinolitik. Identifikasi gagalnya terapi fibrinolitik masih menjadi
masalah yang sulit ditegakkan, namun jika 50% perubahan ST-segmen
elevasi dari keadaan awal (keadaan ST-elevasi tertinggi) setelah 60-90
menit fibrinolitik dapat dijadikan tanda gagalnya terapi fibrinolitik. 15
Evidence studi meta analisis dari RCT dengan jumlah 1177 pasien
yang mendapatkan fibrinolitik yang dievaluasi selama 6 bulan,
menggambarkan bahwa Rescue PCI tidak signifikan dapat mengurangi
mortalitas (RR 0,69), tetapi signifikan dapat mengurangi gagal jantung
(RR 0,73) dan kejadian infark kembali (RR 0,58) jika dibandingkan
dengan terapi konservatif (pengulangan terapi fibrinolitk). Pemberian
terapi fibrinolitik yang kedua tidak signifikan mengurangi mortalitas (RR
0,68) atau kejadian infark kembali (RR 1,79). Rescue PCI (RR 4,58) dan
terapi konservatif (pengulangan terapi fibrinolitk) (RR 1,84) dapat
meningkatkan resiko pendarahan minor. 24

15

Gambar 6. Skema Strategi Reperfusi


Keterangan :
* door-to-balloon time untuk PCI, diberikan kurang dari 90 menit
pertama (sejak pasien datang ke rumah sakit) atau kurang dari 2 jam
(sejak pasien merasakan gejala klinis STEMI). 15
**Rescue PCI : Dilakukan saat gagal fibrinolitik. 15
*** Angiography : Dilakukan jika ada kemungkinan bahwa terapi
fibrinolisis berhasil (terjadi perubahan gelombang ST sebesar 50% pada
60-90 menit pertama, hilangnya nyeri dada). 15
Evidence meta analisis dari sembilan RCT dengan jumlah pasien 4433
pasien, menggambarkan bahwa PCI dengan pemasangan stent jika
dibandingkan dengan balon angioplasti (PCI tanpa stent) tidak dapat

16

menurunkan mortalitas namun dapat mengurangi kerusakan kembali


pembuluh darah dan revaskularisasi pembuluh darah.25
3. Coronary Artery Bypass Graft (CABG)
CABG adalah salah satu tindakan invasif dari penyakit sindrom koroner
akut dengan cara membuat saluran baru menggunakan pembuluh arteri
atau vena yang melewati bagian arteri koroner yang mengalami
penyumbatan. CABG diindikasikan saat pasien tidak berhasil dengan
tindakan PCI, kontraindikasi dengan tindakan PCI, syok kardiogenik,
atau

komplikasi

mekanik

seperti

ruptur

ventrikel,

akut

mitral

regurgitation, atau defek septum ventrikel. Tindakan CABG mempunyai


resiko kegagalan, hal ini ditandai dengan terjadinya miokard iskemik. 26,27
Evidence studi meta analisis yang membandingakan tindakan PCI dengan
multi stent (N= 1518) dengan CABG (N= 1533), setelah satu tahun di
evaluasi, sebanyak 8,7% kelompok PCI dan 9,1% kelompok CABG dapat
mengurangi kejadian kematian, infark mikord dan stroke. Pengulangan
prosedur revakularisasi lebih sering dialokasikan pada kelompok PCI
(18%) dibandingkan dengan kelompok intervensi CABG (4,4%). 28
3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder baik dengan terapi farmakologi maupun non
farmakologi dilakukan pada pasien yang sudah melewati masa akut
STEMI dengan tujuan untuk mengatasi faktor resiko dan mencegah
terjadinya serangan ulang. 1
a. Terapi non farmakologi
1)

Manajemen Berhenti Merokok


Pasien STEMI yang memiliki riwayat merokok dan dalam masa
pemulihan harus berhenti merokok dan menghindari paparan asap rokok
(Level of Evidence: B). 1

2)

Manajemen Berat Badan

17

Indeks masa tubuh yang dijadikan target berkisar 18,5-24,9 kg/m2. Target
lingkar pinggang kurang dari 40 inci pada pria dan 35 inci pada
perempuan (Level of Evidence: B).1
3)

Aktifitas Fisik
Pasien pasca STEMI harus dimotivasi untuk melakukan aktifitas fisik
minimal 30 sehari atau setidaknya 3-4 kali per minggu (berjalan,
bersepeda dan lainnya) (Level of Evidence: B). 1

b. Terapi farmakologi
1)

Antiplatelet
Antiplatelet diberikan untuk mencegah serangan ulang. Aspirin diberikan
saat pasien dalam masa pemulihan STEMI dengan dosis 75-162 mg atau
klopidogrel (jika pasien intoleransi dengan aspirin) dengan dosis 75 mg

2)
a)

(Level of Evidence: A). 20


Kontrol Tekanan Darah
Target tekanan darah kurang dari 140/90 mmHg dan kurang dari 130/80
mmHg untuk pasien dengan diabetes atau gagal ginjal kronis (Level of

b)

Evidence: B). 1
Modifikasi gaya hidup (pengendalian berat badan, diet, aktivitas fisik, dan
pembatasan natrium) dimulai pada semua pasien dengan tekanan kurang

3)

dari 120/80 mm Hg (Level of Evidence: B).1


Manajemen Kadar Lemak

a)

Diet yang rendah lemak jenuh dan kolestero (Level of Evidence: A). 1

b)

Konsumsi

makanan yang mengandung

asam lemak omega-3, buah-

buahan, sayuran, serat, dan biji-bijian harus ditingkatkan (Level of


Evidence: A). 1
c)

Asupan kalori harus seimbang dengan kebutuhan energi (Level of


Evidence: A). 1

d)

Target kadar LDL kurang dari 100 mg/dL (Level of Evidence: A). 1

e)

Pasien dengan kadar LDL-100 mg/dL atau lebih dapat direkomendasikan


menggunakan obat golongan statin atau golongan fibrat (Level of
Evidence: B). 1

f)

Latihan fisik atau olahraga, menurunkan berat badan dan berhenti


merokok (Level of Evidence: B).

18

g)

Evidence studi cohort prospektif dengan pasien 5528 yang menerima


statin dan 14071 tidak menggunakan statin saat keluar dari rumah sakit,
menggambarkan bahwa pada tahun pertama angka kejadian kematian
sebanyak 9,3% (kelompok tidak menggunakan statin) dan 4,0 %
(kelompok statin).29

4)

Manajemen Diabetes
Perubahan pola hidup dan penggunaan obat antidiabetes ditujukan untuk
mencapai kadar < 7% (Level of Evidence: B).

Evidence penelitian RCT yang dilakukan selama 10 tahun dengan


intervensi perubahan pola hidup menunjukkan cost-effectiveness dalam
manajemen diabetes30

19

DAFTAR PUSTAKA
Antman. (2004). Guidelines for the Management of Patients With STElevation Myocardial Infarction.
Antman, Et al. (2013). ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients
With ST-Elevation Myocardial InfarctionExecutive Summary.
Diakses dari http://circ.ahajournals.org/content/110/5/588.full.pdf.
Daga, Et al. (2011). Approach to STEMI and NSTEMI. Vol 59. (19-25).
Diakses
dari
http://www.japi.org/december_special_issue_2011/04_approach_to_st
emi.pdf.
Ditjen Farmasi, Depkes, (2006). pharmaceutical care untuk pasien penyakit
jantung koroner fokus sindrom koroner akut.
Farissa, (2006). Komplikasi pada Pasien IMA STEMI. eprints.undip.ac.id.
Farissa, I.P. (2012). Komplikasi Pada Pasien Infark Miokard Akut ST- Elevasi
(STEMI) yang Mendapat Maupun Tidak Mendapat Terapi Reperfusi.
Studi di RSUP Dr.Kariadi Semarang.
Firdaus, (2011). Pharmacoinvasive Strategy in Acute STEMI Jurnal
Kardiologi Indonesi. 2011;32:266-71 ISSN 0126/3773.
Firman, (2010). Intervensi Koroner Perkutan Primer.Jurnal Kardiologi
Indonesia. Jurnal Kardiologi Indonesia. 2010; 31:112-117ISSN
0126/3773
Gabriel,James(2012).AMI-STEMI. Guidelines for the management of acute
myocardial infarction in patients presenting with persistent st-segment
elevation. Diakses dari www.escardio.org/guidelines
Green, (2012). Systems of Care for ST-Segment-Elevation Myocardial
Infarction: A Report From the American Heart Association's Mission.
Heng Li, Et al. (2012). 2012 Guidelines of the Taiwan Society of Cardiology
(TSOC) for the Management of ST-Segment Elevation Myocardial
Infarction. Vol. 28. (63-89). Diakses dari http://www.tsoc.org/
Hoekstra, (2010). Optimal Anti Platelet and anti thrombosic therapi in the
Emergency Department. Advancing Standard of Care : Cardiovascular
and Neurovascular Emergencies. Diakses dari http://www.emcreg.org.
Murphy, Et al. (2007). Efcacy and safety of the low-molecular weight
heparin enoxaparin compared with unfractionated heparin across the
acute coronary syndrome spectrum: a meta-analysis. European Heart

20

Journal.
Vol
28.
(20772086).
http://eurheartj.oxfordjournals.org/.pdf.

Diakses

dari

Navarese, Et al. (2011). Low-molecular-weight heparins vs. unfractionated


heparin in the setting of percutaneous coronary intervention for STelevation myocardial infarction: a meta-analysis. Journal of
Thrombosis and Haemostasis. Vol 9, (19021915). Diakses dari
http://web.ebscohost.com/ehost/pdfviewer.
Pinto, Et al. (2010). Intervention: Results From an Observational Database in
ST-Elevation
Myocardial
Infarction
Patients
Undergoing
Percutaneous Coronary Bivalirudin Therapy Is Associated With
Improved Clinical and Economic Outcomes. Journal Of American
Hearth
Association.
Vol
5.
(52-61).
Diakses
dari
http://circoutcomes.ahajournals.org/.
Sani, M. (2010). Use of bivalirudin for Acute Coronary Syndromes. The
British Journal of Clinical Pharmacy. Vol 2. (8-10). Diakses dari
http://www.clinicalpharmacy.org.uk/volume1_2/2010/January/clinical
update.pdf.
Scherer. (2009). Guideline Update for the Management of ST-Segment
Elevation Myocardial Infarction. Volume 79, Number 12 June
15.University of Alberta Faculty of Medicine and Dentistry.
Steg, Et al. (2012). ESC Guidelines for the management of acute myocardial
infarction in patients presenting with ST-segment elevation. European
Heart Journal. Vol 33. (25692619). Diakses http://www.escardio.org/
Guidelines_AMI_STEMI.pdf.

21

Anda mungkin juga menyukai