Anda di halaman 1dari 4

Penatalaksanaan infark miokard akut (acute myocardial infarct) harus dilakukan secepat

mungkin dengan prinsip kegawatdaruratan. Penatalaksanaan infark miokard akut (IMA)


terdiri dari terapi awal dan terapi reperfusi.
Terapi Awal
Tata laksana awal IMA mengikuti alur tata laksana acute coronary syndrome atau sindrom
koroner akut. Penanganan didahului pemeriksaan awal dan anamnesis yang mengarah kepada
angina pektoralis tipikal.
Aspirin

Bila kecurigaan adanya infark kuat, maka pasien perlu segera mendapatkan tablet
kunyah aspirin 160−325 mg peroral, sebagai agen antitrombotik.[1,3,7,10]
Oksigen

Suplementasi oksigen juga perlu diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen <94%, yaitu


sebanyak 4 liter/menit.[1,3,7,10]
Nitrogliserin

Penanganan angina dapat dilakukan dengan pemberian nitrogliserin bila keadaan pasien


memungkinkan, yaitu hemodinamik stabil, tidak ada kecurigaan infark ventrikel kanan, dan
tidak ada riwayat mengonsumsi obat disfungsi ereksi seperti sildenafil.
Nitrogliserin dapat diberikan secara sublingual maupun spray buccal, dengan dosis 0,3−0,5
mg setiap pemberian. Bila gejala tidak berkurang setelah 3 kali pemberian dengan jarak 5
menit, nitrogliserin dapat diberikan melalui intravena dengan dosis awal 5−10 µg/menit dan
dosis titrasi naik sebanyak 10 µg/menit setiap 3−5 menit.
Nitrogliserin diberikan sampai gejala angina berkurang, tekanan darah sistolik turun hingga
<90 mmHg, atau dosis mencapai 200 µg/menit.[1,3,7,10]

Morfin

Bila nyeri tidak berkurang dengan nitrogliserin atau pada pasien yang tidak memungkinkan
dengan pemberian nitrogliserin, maka nyeri dapat diatasi dengan pemberian analgesik opioid
berupa morfin. Morfin diberikan dengan dosis 2–4 mg, dan dapat diulangi 5–15 menit
kemudian bila nyeri tidak berkurang. Dosis maksimal adalah pemberian total 20 mg.
Pemberian morfin perlu dilakukan dengan pemantauan hemodinamik, karena morfin dapat
menyebabkan konstriksi vena, bradikardi, hingga blok jantung.[1,3,7,10]

Terapi Reperfusi
Tujuan penanganan IMA adalah untuk mengembalikan perfusi arteria coroner sesegera
mungkin. Pada kasus NSTEMI, terapi reperfusi dapat ditunda sesuai dengan stratifikasi
risiko. Sedangkan pada kasus STEMI dengan onset ≤12 jam, terapi reperfusi secara mekanik
atau farmakologis harus dilakukan secepatnya.
Berdasarkan onset gejala, terapi reperfusi dilakukan pada keadaan IMA sebagai berikut:

 <12 jam setelah onset: terapi reperfusi farmakologis maupun mekanik dilakukan pada
seluruh pasien dengan gejala disertai gambaran elevasi segmen ST dan left bundle branch
block(LBBB) baru yang persisten
 >12 jam setelah onset dan masih berlangsung proses iskemik: diutamakan untuk
dilakukan primarypercutaneous coronary intervention (pPCI)
 12–24 jam setelah onset: PCI dapat dipertimbangkan untuk pasien yang kondisinya
stabil

 >24 jam: tidak dianjurkan dilakukan PCI walaupun sebelumnya telah dilakukan terapi
fibrinolisis[3,7,10,11]

Primary Percutaneous Coronary Intervention (pPCI)

pPCI merupakan pilihan utama dalam terapi reperfusi daripada menggunakan agen


fibrinolisis, karena risiko perdarahan akibat fibrinolisis dapat dihindari. pPCI diutamakan
dilakukan <90 menit setelah pasien kontak dengan petugas kesehatan. Indikasi Tindakan
pPCI lainnya adalah pada pasien dengan gagal jantung akut berat atau syok kardiogenik,
kecuali pada kondisi yang diakibatkan oleh keterlambatan prosedur PCI. [3,7,9,10]
Diutamakan pemasangan stent pada semua kasus daripada hanya angioplasti dengan balon.
Penggunaan rutin intra aortic balloon pump (IABP) selain pada syok kardiogenik tidak
direkomendasikan. Tindakan pPCI hanya terbatas pada pembuluh darah yang memiliki lesi,
kecuali bila dibarengi syok kardiogenik atau iskemik yang menetap setelah PCI.[3,7,9,10]
Akses melalui radial diutamakan dibandingkan melalui femoral, dan harus dilakukan oleh
dokter yang berpengalaman. Aspirasi trombus diutamakan secara rutin dilakukan, sedangkan
penggunaan rutin alat proteksi distal tidak direkomendasikan.[3,7,9,10]

Fibrinolisis

Terapi reperfusi dengan fibrinolisis adalah memberikan agen farmakologis yang bertujuan
melisiskan trombus. Fibrinolisis sangat penting terutama bila tidak terdapat fasilitas untuk
PCI. Dalam beberapa panduan disebutkan untuk memberikan terapi fibrinolisis saat pra
rumah sakit, tetapi hal ini tidak umum dilakukan.[3,7,9,10]

Fibrinolisis dianjurkan dilakukan dalam <12 jam setelah onset gejala, dan jika pPCI tidak
dapat dilakukan dalam 90 menit sejak pasien tiba di IGD. Fibrinolisis dilakukan dengan
target 30 menit sejak pasien tiba di IGD. [3,7,9,10]

Fibrinolisis hanya dapat dilakukan bila tidak ada kontraindikasi absolut, yaitu
riwayat perdarahan intrakranial, stroke iskemik dalam 6 bulan terakhir, aneurisma
serebrovaskular, tumor intrakranial, trauma kepala dalam 3 bulan terakhir, diseksi aorta,
perdarahan gastrointestinal dalam 1 bulan terakhir, pungsi lumbal dalam 24 jam sebelumnya.
[3,7,10,11]
Sedangkan kontraindikasi yang bersifat relatif adalah serangan iskemik transien dalam 6
bulan terakhir, telah mendapat terapi antikoagulan, hamil atau postpartum 1 minggu,
hipertensi yang refrakter, penderita penyakit hati tahap lanjut, endokarditis infektif, ulkus
peptikum aktif, dan trauma akibat resusitasi.[3,7,10,11]
Fibrinolisis dapat dilakukan dengan pemberian:

 Streptokinase: 1,5 juta unit yang dilarutkan dengan 100 ml larutan dekstrosa 5% atau
normal salin, diberikan per infus intravena selama 30−60 menit
 Tissue plasminogen activator atau alteplase: 15 mg bolus intravena, kemudian
dilanjutkan 0,75 mg/kgBB untuk 30 menit berikutnya dan 0,6 mg/kgBB untuk 60 menit
berikutnya.
 Reteplase: dosis 10 unit bolus intravena, sebanyak 2 kali dengan jarak 30
menit[3,7,10,11]

Terapi Antitrombotik
Terapi antitrombotik, selain aspirin, merupakan tata laksana adjunctive untuk pasien IMA.
Terapi antitrombotik terdiri dari antiplatelet oral atau intravena, juga dapat diberikan
antikoagulan intravena.
Antiplatelet

Terapi antiplatelet adjunctive, selain aspirin, dapat diberikan secara oral maupun intravena.
Sebagai terapi rumatan pada pasien IMA, antiplatelet oral biasa digunakan dalam dual
antiplatelet therapy (DAPT) atau kombinasi dua antiplatelet, yaitu aspirin dalam dosis 81 mg
(rentang 75 sampai 100 mg) dan P2Y12 receptor inhibitor (clopidogrel, ticagrelor, atau
prasugrel).[3,7,10-12]
Terapi antiplatelet oral dapat dipilih antara obat berikut:

 Clopidogrel loading dose  300–600 mg, diikuti dosis rumatan 75 mg per 24 jam


 Ticagrelor loading dose 180 mg, diikuti dosis rumatan 90 mg per 12 jam
 Prasugrel loading dose  sebelum PCI 60 mg, diikuti dosis rumatan 10 mg per 24 jam
Terapi antiplatelet intravena dapat antara obat berikut:

 Abciximab dosis 0,25 mg/kgBB bolus, diikuti rumatan infus 0,125 µg/kgBB/menit
dalam 12–24 jam, dosis maksimal 10 µg/menit

 Eptifibatide dosis 180 µg/kgBB bolus, diberikan 2 kali dengan jarak 10 menit, diikuti
rumatan 2 µg/kgBB/menit selama 72–96 jam

 Cangrelor dosis 30 µg/kgBB bolus, diikuti rumatan 4 µg/kgBB/menit[3,7,10-12]

Antikoagulan
Pilihan terapi antikoagulan adjunctive adalah salah satu dari obat di bawah ini:
 Unfractionatedheparin, diberikan dalam dosis 60 unit/kgBB (maksimal 4000 U) bolus
intravena dan dilanjutkan infus 12 unit/kgBB/jam (maksimal 1000 U/jam)
 Low molecular weightheparin seperti enoxaparin, diberikan dalam dosis inisial 30 mg
bolus intravena, dan rumatan 1 mg/kgBB secara subkutan
 Fondaparinux diberikan dalam dosis 2,5 mg per 24 jam secara subkutan[3,7,10-12]

Coronary Artery Bypass Grafting (CABG)


Tidak banyak pasien IMA yang membutuhkan tindakan coronary artery bypass
grafting (CABG). Indikasi CABG adalah pasien dengan kelainan anatomis arteri koroner
sehingga tidak dapat dilakukan PCI, atau pasien dengan komplikasi gangguan mekanik
jantung.[7,10,11]
Rujukan
Rujukan harus dipertimbangkan demi target tata laksana reperfusi yang terbaik. Terapi
reperfusi pada umumnya tidak dapat dilakukan oleh dokter di fasilitas pelayanan kesehatan
primer, sehingga harus secepatnya dirujuk kurang dari 120 menit.

Selain itu, pasien yang datang ke rumah sakit yang tidak memiliki fasilitas terapi reperfusi
juga harus segera dirujuk ke fasilitas yang memadai, dengan ketentuan sebagai berikut:

 Bila pasien didiagnosa IMA di rumah sakit yang memiliki fasilitas pPCI, maka
dilakukan pPCI dalam kurang dari 90 menit

 Bila pasien datang ke rumah sakit tanpa pPCI, maka harus segera dirujuk ke ke rumah
sakit dengan fasilitas pPCI dalam waktu tempuh kurang dari 120 menit.

 Bila rumah sakit dengan fasilitas pPCI membutuhkan waktu tempuh lebih dari 120
menit, maka lakukan terapi reperfusi segera dengan fibrinolisis dalam waktu kurang dari 30
menit, lalu rujuk segera ke rumah sakit dengan fasilitas pPCI

 Setelah pemberian fibrinolisis dan rujukan ke fasilitas pPCI, bila terapi fibrinolisis
sebelumnya tidak berhasil, segera lanjutkan dengan tindakan pPCI. Bila berhasil maka
dilakukan angiografi[3,7,10,11]

Anda mungkin juga menyukai