DISUSUN OLEH:
PROFESI APOTEKER
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
MENSTRUASI
A. Pendahuluan
Gangguan menstruasi menjadi masalah umum selama masa remaja, dapat mempengaruhi aktifitas sehari-
hari dan menyebabkan kecemasan. Gangguan terkait menstruasi yang paling umum termasuk dismenorea,
amenore, perdarahan anovulasi, dan menoragia. Gangguan ini berdampak negatif pada kualitas hidup, kesehatan
reproduksi, produktivitas kerja, dan dapat menyebabkan konsekuensi kesehatan jangka panjang yang
merugikan, seperti osteoporosis atau sindrom ovarium polikistik. Dismenorea adalah yang paling sering terjadi
(Dipiro dkk., 2016).
Dismenorea adalah gangguan aliran darah haid atau nyeri haid yang menjadi masalah umum pada hampir
seluruh wanita usia reproduksi di dunia, termasuk di Indonesia (Silaen dkk., 2019). Data dari WHO didapatkan
kejadian sebesar 1.769.425 jiwa (90%) wanita yang mengalami dismenorea, 10-15% diantaranya mengalami
dismenorea berat. Hal ini didukung dengan penelitian yang telah dilakukan diberbagai negara dengan hasil yang
mencengangkan, dimana kejadian dismenore primer disetiap negara dilaporkan lebih dari 50%. Prevalensi
dismenorea primer di Amerika Serikat tahun 2012 pada wanita umur 12-17 tahun adalah 59,7%, dengan derajat
kesakitan 49% dismenorea ringan, 37% dismenore sedang, dan 12% dismenore berat yang mengakibatkan
23,6% dari penderitanya tidak masuk sekolah. Pada tahun 2012 sebanyak 75% remaja wanita di Mesir
mengalami dismenorea, 55,3% dismenore ringan, 30% dismenorea sedang, dan 14,8% dismenorea berat. Pada
tahun yang sama di Jepang angka kejadian dismenorea primer 46 %, dan 27,3 % dari penderita absen dari
sekolah dan pekerjaannya pada hari pertama menstruasi (Nurwana dkk., 2017).
Di Indonesia angka kejadian dismenorea tipe primer adalah sekitar 54,89% sedangkan sisanya penderita
dengan dismenorea sekunder. Dismenorea terjadi pada remaja dengan prevalensi berkisar antara 43% hingga
93%, dimana sekitar 74-80% remaja mengalami dismenorea ringan, sementara angka kejadian endometriosis
pada remaja dengan nyeri panggul diperkirakan 25-38%, sedangkan pada remaja yang tidak memberikan respon
positif terhadap penanganan untuk nyeri haid, endometriosis ditemukan pada 67% kasus. Kelainan terjadi pada
60-70% wanita di Indonesia dengan 15% diantaranya mengeluh bahwa aktivitas mereka menjadi terbatas akibat
dismenorea ((Nurwana dkk., 2017).
Berdasarkan uraian diatas, makalah ini ditujukan untuk mengetahui parameter penilaian pada pasien
dengan kasus dismenorea, tatalaksana terapi non farmakologi dan terapi farmakologi, serta parameter
monitoring efektivitas terapi pada pasien dismenorea tersebut.
B. Definisi Menstruasi
Gangguan terkait menstruasi yang paling umum ialah termasuk dismenore, amenore, perdarahan
anovulasi, dan menoragia. Gangguan ini berdampak negatif pada kualitas kehidupan, kesehatan reproduksi,
produktivitas kerja, dan dapat menyebabkan konsekuensi kesehatan jangka panjang yang merugikan, seperti
osteoporosis atau sindrom ovarium polikistik.
Dismenore adalah nyeri panggul, umumnya digambarkan sebagai kram, yang terjadi selama atau sesaat
sebelum menstruasi. Dismenore primer adalah nyeri dalam pengaturan anatomi dan fisiologia panggul yang
normal, sedangkan dismenore sekunder dikaitkan dengan patologi panggul yang mendasari.
D. Patofisiologi
Patofisiologi yang mendasari, ada dua tipe dismenore, yaitu dismenore primer (dismenore tanpa kelainan
organik pada daerah pelvis) yang sering ditemui pada remaja dan dismenore sekunder (dismenore dengan
kelainan organik pada daerah pelvis seperti endometriosis dan mioma) (Handayani dkk., 2013. Dismenore
primer terjadi karena peningkatan prostaglandin (PG) F2-alfa yang merupakan suatu siklooksigenase (COX-2)
yang mengakibatkan hipertonus dan vasokonstriksi pada miometrium sehingga terjadi iskemia dan nyeri pada
bagian bawah perut. Adanya kontraksi yang kuat dan lama pada dinding rahim, hormon prostaglandin yang
tinggi dan pelebaran dinding rahim saat mengeluarkan darah haid sehingga terjadilah nyeri saat haid (Larasati
dan Alatas 2016).
Monitoring
- Monitoring efek terapi obat
- Monitoring nyeri yang dirasa setelah pemakaian obat
- Monitoring efek samping obat yang timbul
G. Kasus Menstruasi
Seorang perempuan 22 tahun ke dokter karena merasa nyeri bagian pelvic dan kram perut selama
menstruasi dan tidak masuk kerja 1-2 hari selama menstruasi. Dia telah aktif secara seksual. Siklus menstruasi
terakhir 9 hari lalu dan menstruasi pertama umur 11 tahun. Siklus 26 – 28 hari setiap menstruasi. Setiap nyeri
dia menggunakan asetaminofen dan ibuprofen. Pernah mengalami clamidiasis.
Riwayat penyakit adalah asma dan menggunakan fluticasone 110 mcg 2 semprotan 2x/hari dan albuterol
90 mcg 2 semprotan prn jika sesak.
Hasil pemeriksaan fisik terdapat jerawat pada bagian wajah dan dada, nyeri panggul sedang – berat saat
haid. VS: TD 116/64, HR 74, Pernapasan 14, BB 58.2 kg, TB 163 cm, BMI: 22 kg/m2.
Penyelesaian
1. Bagaimana penilaian pasien?
Identifikasi Kasus:
Berdasarkan kasus tersebut, pasien dapat diidentifikasi sebagai berikut, diketahui:
a) Umur pasien : 22 tahun
b) Jenis kelamin : Wanita
c) Riwayat penyakit
Asma
Clamidiasis (infeksi menular seksual)
d) Pengobatan yang sedang dijalani
asetaminofen dan ibuprofen (sebagai analgetik/pendahuluan)
e) Riwayat penggunaan obat asma
fluticasone 110 mcg 2 semprotan 2x/hari
Albuterol 90 mcg 2 semprotan prn jika sesak.
Dari data tersebut pasien dapat diklasifikasikan menderita penyakit menstruasi dismenore. Hal ini sesuai
dengan tanda dan gejala dari pasien, diantaranya mengalami nyeri bagian pelvic dan kram perut selama
menstruasi dan tidak masuk kerja 1-2 hari selama menstruasi, Wanita yang aktif secara seksual dan
memiliki riwayat clamidiasis. Tanda dan gejala dapat dilihat pada gambar dibawah.
2. Apa tujuan terapi? Bagiaman tatalaksana terapi non farmakologi dan terapi farmakologi?
Jawab:
Tujuan terapi adalah agar dapat menghilangkan nyeri dipanggul saat menstruasi
Tatalaksana terapi non faramakologi
Olahraga teratur dan gaya hidup yang lebih aktif dapat disarankan kepada pasien. Olahraga rutin
berhubungan dengan berkurangnya nyeri saat menstruasi karena dismenore primer.
Ranscutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) menggunakan elektroda untuk menstimulasi
kulit yang bertujuan untuk mengurangi persepsi nyeri. Mekanisme aksi TENS dalam mengurangi nyeri
adalah dengan meningkatkan penghambatan endogen dan penekanan rangsangan pusat. TENS dapat
menjadi alternatif pada pasien yang tidak menginginkan terapi farmakologi atau jika pasien tidak respon
dengan terapi farmakologi setelah 3-6 siklus haid
Akupuntur,
Selain itu dapat dilakukan diet vegetarin rendah lemak, terapi diet ini telah terbukti mengurangi
intensitas dan durasi dismenore.
Terapi farmakologi
Berdasarkan kasus tersebut pasien tidak mendapatkan perbaikan terapi pada nyerinya dengan menggunakan
obat golongan NSAIDs sehingga direkomendasikan Kontrasepsi Hormonal Kombinasi (CHCs). CHCs untuk
memperbaiki dismenore ringan sampai berat dengan menghambat proliferasi jaringan endometrium dan
ovulasi, sehingga mengurangi sekresi prostaglandin dan volume darah menstruasi. Diperlukan dua hingga
tiga bulan terapi untuk mencapai hasil penuh efek. Baik siklus standar (28 hari) dan diperpanjang (91 hari)
terapi efektif untuk dismenore primer.
Rekomendasi obat
Nama Obat Microgynon (Etinilestradiol 30 mcg + Levonorgestrel 150 mg)
Golongan CHC
Indikasi kontrasepsi; gangguan haid.
Dosis 1 tablet tiap hari pada jam yang sama; dilanjutkan sesuai dengan petunjuk pada pak
obat; bila terlambat 12 jam makan pil, daya kontrasepsinya berkurang. Pak
pertama dimulai pada hari pertama daur haid; bila terlambat memulai, sebaiknya
gunakan kontrasepsi pelindung selama 7 hari pertama.
Sediaan monofasik 21 tablet: setelah selesai 1 pak, berikan tenggang waktu 7 hari
sebelum mulai dengan pak yang baru.
Efek samping Pendarahan irreguler saat menstruasi, peningkatan barat badan, mood swing dan
libido.
Mekanisme kerja Bekerja dengan cara mencegah ovulasi dan pertumbuhan jaringan endometrium
sehingga mengurangi jumlah darah haid dan sekresi prostaglanin serta peran uterus
KI kehamilan, risiko tinggi untuk penyakit arterial; riwayat penyakit tromboemboli;
keadaan yang meningkatkan risiko tromboemboli
Acne vulgaris merupakan penyakit kulit yang umum terjadi hampir pada semua orang di seluruh dunia.
Dapat diperkirakan 75% dari remaja di dunia mengalami akne pada beberapa waktu dan hamper 80% dari semua
orang pernah mengalami akne vulgaris. Berdasarkan Global Burden of Disease Study 2010, jerawat menempati
urutan ke-8 penyakit kulit terbanyak, dengan prevalensi global untuk semua usia sekitar 9,38%. Prevalensi jerawat
bervariasi di tiap negara. Jerawat paling sering terjadi pada usia pubertas. Sekitar 35–100% remaja diperkirakan
pernah memiliki jerawat.
Di Indonesia akne vulgaris ditemukan pada sekitar 80% remaja. Insiden akne pada remaja bervariasi antara
30-60% dengan insiden terbanyak pada usia 14-17 tahun pada perempuan dan 16-19 tahun pada laki-laki. Insidens
Akne Vulgaris umumnya dimulai pada masa pubertas/prapubertas (12-15 tahun), mengenai hampir semua remaja
usia 13-19 tahun dengan puncak tingkat keparahan pada usia 17-21 tahun (Maryanto, 2020).
Pada wanita, acne vulgaris dapat menjadi tanda pertama pubertas dan dapat terjadi 1 tahun sebelum
menarche. Prevalensi puncak jerawat umumnya terjadi pada usia 14–19 tahun lalu dapat menurun atau menetap
seiring bertambahnya usia. Studi oleh Collier et al. menemukan bahwa jerawat pada 42,5% pria dan 50,9% wanita
menetap hingga usia 20-an. Pada usia 40-an, sekitar 1% pria dan 5% wanita masih memiliki jerawat (Afriyanti,
2015).
Berdasarkan uraian diatas, makalah ini ditunjukan untuk mengetahui parameter penyelesaian pada pasien
dengan kasus acne vulgaris, tata laksana terapi non farmakologi terapi farmakologi, serta parameter monitoring
efektivitas terapi pada pasien tersebut.
1. Pengertian
Akne vulgaris adalah kelainan kulit inflamasi dari pilosebaceous unit kulit. Meskipun paling sering
terlihat di wajah, jerawat juga bisa muncul di dada, punggung, leher, dan bahu (Angka 65–1). Jerawat bukan
hanya gangguan yang membatasi diri remaja. Perjalanan klinis jerawat dapat diperpanjang atau berulang,
mengakibatkan komplikasi fisik jangka panjang seperti jaringan parut dan tekanan psikologis (Dipiro ddk.,
2016).
Sementara hubungan antara diet dan jerawat terus berlanjut controversial, ada bukti yang menunjukkan
bahwa glikemik tinggi diet beban dapat memperburuk jerawat. Iritasi lokal dari oklusif pakaian atau peralatan
atletik, kosmetik atau kecantikan berbahan dasar minyak produk, keringat berkepanjangan atau lingkungan
dengan kelembaban tinggi, dan berbagai obat juga dapat memperburuk jerawat (Dipiro dkk., 2016).
3. Patofisiologi
a. Jerawat biasanya dimulai pada periode prapubertas dan berkembang sebagai produksi androgention dan
aktivitas kelenjar sebaceous meningkat dengan perkembangan gonad.
b. Jerawat berkembang melalui empat tahap: (1) peningkatan keratinisasi folikel, (2) peningkatan produksi
sebum, (3) lipolisis bakteri dari trigliserida sebum menjadi lemak bebas asam, dan (4) peradangan.
c. Androgen yang bersirkulasi menyebabkan kelenjar sebaceous meningkatkan ukuran dan aktivitasnyaitas.
Ada peningkatan keratinisasi sel epidermis dan perkembangan folikel sebaceous tersumbat, yang disebut
microcomedone. Sel-sel saling menempel, membentuk sumbat keratin yang padat. Sebum, diproduksi
dalam jumlah yang meningkat, menjadi terperangkap di belakang sumbat keratin dan mengeras,
berkontribusi pada komunikasi terbuka atau tertutup. pembentukan edon.
d. Penumpukan sebum dalam folikel memfasilitasi proliferasi bakteri anaerobic Propionibacterium acnes,
yang menghasilkan respon sel T yang mengakibatkan inflamasi. P. acnes menghasilkan lipase yang
menghidrolisis trigliserida sebum menjadi lemak bebas asam yang dapat meningkatkan keratinisasi dan
menyebabkan pembentukan microcomedone.
e. Komedo tertutup (whitehead) adalah lesi jerawat pertama yang terlihat. Hal ini hampir com-benar-benar
terhalang untuk drainase dan memiliki kecenderungan untuk pecah.
f. Komedo terbuka (komedo hitam) terbentuk saat sumbat meluas ke saluran atas dan melebarkan
pembukaannya. Jerawat yang ditandai dengan komedo terbuka dan tertutup disebut jerawat non-inflamasi.
Pembentukan nanah terjadi karena perekrutan neutrofil ke dalam folikel selama proses inflamasi dan
pelepasan kemokin yang dihasilkan P. acnes. P. acnes juga menghasilkan enzim yang meningkatkan
permeabilitas dinding folikel, menyebabkan sehingga melepaskan keratin, lipid, dan asam lemak bebas
yang mengiritasi ke dalam dermis. Lesi inflamasi yang dapat membentuk dan menyebabkan jaringan parut
termasuk pustula, nodul, dan kista (Dipiro dkk., 2008).
5. Terapi Farmakologi
a. Agen Topikal Digunakan Dalam Pengobatan Jerawat
1) Retinoid
Sangat efektif dalam pengobatan jerawat, retinoid merangsang pergantian sel epitel dan membantu
membuka sumbatan yang tersumbat pori-pori. Retinoid juga menunjukkan sifat anti-inflamasi melalui:
penghambatan kemotaksis neutrofil dan monosit. Karena kemampuan untuk menargetkan beberapa fitur
patogen jerawat, topical retinoid direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk induksi dan rejimen
pemeliharaan dalam semua bentuk jerawat. Meskipun sukses terlihat dengan monoterapi, menggunakan
retinoid topikal dalam kombinasi dengan benzoil peroksida atau antibakteri topikal lebih disukai untuk lesi
inflamasi jerawat.
b. Agen Topikal Lainnya
1) Benzoil Peroksida
Benzoil peroksida mudah digunakan dan direkomendasikan sebagai alternatif atau dalam kombinasi
dengan retinoid topikal atau antibiotik topikal dalam pengobatan jerawat dari semua tingkat keparahan.
Benzoil peroksida memiliki efek komedolitik yang meningkatkan laju pergantian sel epitel dan membantu
membuka sumbatan pori-pori tersumbat. Ia juga memiliki aktivitas antibakteri terhadap P. acnes, yang
tampaknya menjadi alasan utama keefektifannya.
c. Antibakteri
Antibakteri topikal secara langsung menekan P. acnes dan merupakan agen lini pertama yang
digunakan dalam kombinasi dengan benzoil peroksida, retinoid topikal atau asam azelaic untuk pengobatan
ringan ke jerawat inflamasi sedang. Untuk mengurangi kemungkinan bakteri resistensi, antibiotik topikal
tidak boleh digunakan sebagai monoterapi atau sebagai terapi pemeliharaan jangka panjang.
Sediaan klindamisin dan eritromisin, dioleskan sekali atau dua kali sehari selama 3 bulan, memiliki
efek yang sama dan yang paling umum agen antibakteri topikal yang diresepkan. Agen-agen ini adalah
tersedia dalam berbagai formulasi dan kombinasi dengan benzoil peroksida dan retinoid. Tabel 65-1
menjelaskan kekuatan, formulasi, dan efek samping dari agen antimikroba yang tersedia.
1) Asam Azelaic
Dengan sifat antibakteri dan anti-inflamasi, dan kemampuan untuk menstabilkan keratinisasi, asam
azelaic adalah alternatif yang efektif dalam pengobatan ringan sampai sedang jerawat pada pasien yang
tidak dapat mentoleransi benzoil peroksida atau retinoid topikal. Ini juga dapat meratakan warna kulit dan
terbukti efektif pada pasien yang rentan terhadap hiperpigmentasi pasca inflamasi akibat jerawat. Krim
asam azelaic 20% harus dioleskan dua kali sehari, dengan perbaikan gejala terlihat dalam 4 minggu.
2) Dapson
Gel dapson, obat sulfon, memiliki antimikroba dan sifat anti-inflamasi. Meskipun disetujui untuk
perawatan dari jerawat ringan sampai sedang, karena kurangnya dari komparatif kemanjuran uji coba,
pedoman saat ini tidak mengomentari tempat dapson dalam pengobatan jerawat. Dapson 5% (Aczone)
adalah gel berpasir yang harus dioleskan di lapisan tipis ke daerah yang terkena dua kali sehari. Jika tidak
ada perbaikan adalah terlihat setelah 12 minggu, pengobatan harus dievaluasi kembali.
3) Keratolitik
Sulfur, resorsinol, dan asam salisilat tidak efektif sebagai agen topikal lainnya, tetapi dapat
digunakan sebagai lini kedua terapi dalam pengobatan jerawat ringan sampai sedang. Meskipun agen ini
dapat menyebabkan iritasi kulit lebih sedikit daripada benzoil peroksida atau retinoid topikal, ada beberapa
kelemahan. Sulfur sediaan menghasilkan bau yang tidak menyenangkan ketika dioleskan ke kulit,
sedangkan resorsinol dapat menyebabkan scaling coklat. Dan meskipun jarang, kemungkinan salisilisme
ada dengan penggunaan asam salisilat terus-menerus.
d. Oral Agents
1) Antibakteri Jerawat sedang hingga parah bisa efektif diobati dengan antibiotik oral, terutama ketika
pengobatan dengan terapi topikal telah gagal. Karena kemampuannya berkurang P. acnes kolonisasi,
antibiotik oral dapat mencegah lesi jerawat dari berkembang. Penggunaan antibiotik oral harus dibatasi
pada waktu yang singkat, idealnya 3 bulan atau kurang. penilaian dari respon terhadap antibiotik oral
setelah 6 sampai 8 minggu terapi dianjurkan. Seperti halnya antibiotik topikal, antibiotik oral harus tidak
pernah digunakan sebagai monoterapi atau sebagai perawatan jangka panjang terapi. Selain itu, penggunaan
antibiotik topikal dalam kombinasi dengan antibiotik oral harus dihindari.
2) Isotretinoin
Isotretinoin bekerja pada empat faktor patogen: itu berkontribusi pada perkembangan jerawat dan
dapat menghasilkan jerawat pengampunan tariff dari ke atas ke beberapa bertahun-tahun. Lisan isotretinoin
adalah Makanan dan Drug Administration (FDA) disetujui untuk pasien dengan parah jerawat nodular
bandel tidak responsif terhadap topikal lainnya dan lisan perlakuan rejimen. Meskipun studi adalah
kekurangan, pakar dokter menyarankan bahwa isotretinoin oral mungkin berguna dalam perlakuan jerawat
resisten dengan tingkat keparahan yang lebih rendah. Bertentangan dengan beberapa dokter ahli, Pedoman
Eropa 2012 menyarankan bahwa oral.
e. Agen Hormonal
Kontrasepsi oral dan antiandrogen (spironolactone dan cyproterone acetate) adalah lini kedua yang
berharga pilihan pengobatan untuk jerawat sedang sampai parah pada pasien wanita. Agen hormonal
terutama bekerja dengan menurunkan produksi androgen sehingga pembentukan sebum berkurang. Karena
sebeluum produksi terjadi pada awal patogenesis jerawat, mungkin memakan waktu hingga 3 sampai 6
bulan untuk melihat efek penuh dari agen hormonal.
f. Agen Lain
Meskipun jarang digunakan, beberapa agen lain tersedia sebagai pilihan pengobatan lini kedua atau
ketiga untuk jerawat ketika terapi lini pertama gagal :
Kortikosteroid
Pengelupasan kimia
Ekstraksi bedah
Fototerapi/terapi fotodinamik
Perawatan laser (Dipiro dkk., 2016).
B. PENYELESAIAN KASUS
Kasus yang didapatkan adalah sebagai berikut:
Seorang perempuan 22 tahun ke dokter karena merasa nyeri bagian pelvic dan kram perut selama
menstruasi dan tidak masuk kerja 1-2 hari selama menstruasi. Dia telah aktif secara seksual. Siklus menstruasi
terakhir 9 hari lalu dan menstruasi pertama umur 11 tahun. Siklus 26 – 28 hari setiap menstruasi. Setiap nyeri dia
menggunakan asetaminofen dan ibuprofen. Pernah mengalami clamidiasis.
Riwayat penyakit adalah asma dan menggunakan fluticasone 110 mcg 2 semprotan 2x/hari dan albuterol 90
mcg 2 semprotan prn jika sesak.
Hasil pemeriksaan fisik terdapat jerawat pada bagian wajah dan dada, nyeri panggul sedang – berat saat haid.
VS: TD 116/64, HR 74, Pernapasan 14, BB 58.2 kg, TB 163 cm, BMI: 22 kg/m2
Penyelesaian :
1. Penilaian Pasien :
Berdasarkan kasus dapat teridentifikasi bahwa:
Nama : Ny. x
Usia : 22 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Gejala : Nyeri bagian pelvic dan kram perut selama menstruasi
Riwayat sosial : Tidak masuk kerja 1-2 hari selama menstruasi, dan telah aktif secara seksual.
Riwayat pengobatan : Setiap nyeri dia menggunakan asetaminofen dan ibuprofen, menggunakan fluticasone 110
mcg 2 semprotan 2x/hari dan albuterol 90 mcg 2 semprotan prn jika sesak.
Hasil pemeriksaan Fisik:
Hasil pemeriksaan fisik terdapat jerawat pada bagian wajah dan dada, nyeri panggul sedang-berat saat haid.
Berdasarkan identifikasi pasien, jerawat yang terdapat pada pasien termasuk dalam gambaran skala
klasifikasi acne papulopustul ringan (grade 1), dimana dapat ditandai dengan terdapatnya lesi dan papula yaitu
berdasarkan hasil pemeriksaan fisik pasien terdapat jerawat pada bagian wajah (adanya 2 – 4 lesi di bagian pipi dan
hidung (3 papula)).
(Afrianti, 2015).
Akne derajat ringan: Lesi inflamasi <15, atau komedo <20, atau total lesi <30;
Akne derajat sedang: Lesi inflamasi 15-50, atau komedo 20-100, atau total lesi 30-125;
Akne derajat berat: Lesi inflamasi > 50, atau komedo > 100, atau kista > 5, atau total lesi > 125 (Maryanto,
2020).
Berdasarkan Algoritma untuk terapi acne vulgaris dapat dilihat pada terapi tingkat mild papular pustular
(pustular papular ringan) dimana untuk terapinya direkomendasikan dengan menggunakan terapi retinoid topikal,
dengan penambahan antimikroba topikal (benzolyl peroxide) (TR + TA).
Penggunaan tiroid topikal direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk induksi dan rejimen
pemeliharaan dalam semua bentuk jerawat. Meskipun sukses terlihat dengan monoterapi, menggunakan
retinoid topikal dalam kombinasi dengan benzoil peroksida atau agen antibakteri topikal lebih disukai untuk
lesi jerawat inflamasi. Retinoid topikal yang tersedia termasuk tretinoin, adapalene, dan tazaroten (Dipiro
dkk., 2016)..
Adapalene dianggap sebagai obat pilihan pertama karena memiliki kemanjuran yang sama dan
insiden efek samping yang lebih rendah. Retinoid topikal harus diterapkan sekali sehari sebelum tidur,
dimulai dengan formulasi potensi rendah. Peningkatan pemakaian kemudian dimulai sesuai dengan hasil
pengobatan (Dipiro dkk., 2016). Adapalene adalah retinoid topical pilihan pertama untuk pengobatan dan
terapi pemeliharaan karena sama efektifnya tetapi kurang mengiritasi dibandingkan retinoid topical lainnya.
Adapalene tersedia sebagai gel 0,1%, krim dan larutan alkohol. Formulasi gel 0,3% juga tersedia (Wells
dkk., 2015).
Benzoil peroksida sebagai antimikroba topikal mudah digunakan dan direkomendasikan sebagai alternatif
atau dalam kombinasi dengan retinoid topikal dalam pengobatan jerawat dari semua tingkat keparahan.
Benzoil peroksida memiliki efek komedolitik yang meningkatkan laju pergantian sel epitel dan membantu
membuka sumbatan pori-pori tersumbat. Ia juga memiliki aktivitas antibakteri terhadap P. acnes, yang
tampaknya menjadi alasan utama keefektifannya (Dipiro dkk., 2016).
A. Pendahuluan
Polycyctic Ovarian Syndrome (PCOS) adalah penyebab paling sering terjadinya anovulasi dan infertilitas
anovulasi. PCOS dapat dikatakan endokrinopati yang sering terjadi pada wanita dengan usia subur dan berkaitan
dengan kelainan metabolik dan disfungsi reproduksi. Disfungsi ovarium yang terus berlanjut mengakibatkan
sindroma ini menjadi penyebab utama anovulasi yang berdampak pada infertilitas Sindroma ini meningkatkan
risiko morbiditas multiple meliputi obesitas, resistensi insulin, diabetes mellitus tipe 2, penyakit kardiovaskular,
infertilitas, kanker, dan gangguan psikologi. Pada beberapa kasus, tidak ditemui tanda-tanda tersebut tetapi dari
hasil laboratorium dan Menurut Wahyuni (2015) obesitas berkaitan erat dengan resistensi insulin yang akan
menyebabkan terjadinya hiperandrogenemia seperti pada pasien PCOS, serta terdapat hubungan bermakna antara
resistensi insulin dan PCOS. Pola hidup yang tidak sehat sangat berperan dalam terjadinya obesitas. Lebih dari 1,4
milyar orang dewasa mengalami kelebihan berat badan. Pada tahun 2012, hampir 300 juta wanita mengalami
obesitas. Di Indonesia, prevalensi obesitas perempuan dewasa pada tahun 2013 sebesar 32,9%. Pada orang yang
obesitas, sering terjadi gangguan ovulasi sehingga tingginya angka kejadian obesitas dapat menyebabkan juga
tingginya angka kejadian PCOS, yang berakhir dengan infertilitas karena terjadi gangguan ovulasi. Dari seluruh
perempuan usia reproduksi yang tersebar diseluruh dunia, 4-18% diantaranya mengalami PCOS. PCOS
menyebabkan 5-10% wanita usia reproduktif menjadi infertil. Berdasarkan European Society for Human
Reproduction and Embryology/American Society for Reproductive Medicine didapatkan prevalensi SOPK sebesar
15-20%. Diagnosis sindrom ini ditegakkan berdasarkan dua dari tiga kriteria Rotterdam 2003 yaitu oligo-anovulasi
atau anovulasi kronik, tanda klinis dan atau biokimiawi hiperandrogenemia dan gambaran ovarium polikistik.
Prevalensi SOPK sangat beragam bergantung pada populasi dan kriteria diagnosis (Mareta dkk., 2018).
C. Patofisiologi
PCOS berkembang ketika ovarium distimulasi untuk memproduksi jumlah hormon androgen yang berlebih,
terutama testosteron dengan cara melepaskan hormon LH yang berlebih pada kelenjar pituitari anterior (Kabel,
2016). Hal tersebut mengganggu perkembangan folikel. Nilai LH yang berlebih inilah yang dianggap menjadi
penyebab utama dari hipergonadisme ovarium PCOS dalam efek stimulan dari LH pada sel theca (Balen, 2004).
Kenaikan level insulin berkontribusi secara langsung menyebabkan abnormalitas yang terlihat pada hipotalamus-
pituitari-ovarium yang berdampak secara langsung pada terjadinya PCOS dengan mekanisme hiperinsulinemia
yang meningkatkan frekuensi sekresi GnRH (Gonadotropin Releasing Hormone), produksi LH melebihi FSH,
meningkatnya produksi androgen ovarium, menurunnya pematangan folikel, dan menurunnya ikatan sex-hormone
binding globulin (SHBG). Faktor-faktor ini berkontribusi dalam perkembangan PCOS (Maggyvin dan Melisa,
2019).
D. Gejala Klinis
Gejala yang sering dialami oleh pasien-pasien PCOS usia remaja yaitu adanya gangguan dari siklus
menstruasi dan gejala akibat kenaikan kadar hormon androgen (hormon pria). Siklus menstruasi yang tidak teratur
atau bahkan periode menstruasi yang tidak datang sama sekali (amenore) sering dijumpai pada pasien remaja
dengan PCOS. Siklus yang tidak teratur ini merupakan tanda bahwa tidak terjadi ovulasi pada setiap siklusnya. Jika
ovulasi tidak terjadi, lapisan rahim (disebut endometrium) menjadi lebih tebal dan dapat luruh secara tidak teratur,
yang dapat menyebabkan perdarahan yang banyak dan memanjang. Periode menstruasi yang tidak teratur atau
tidak ada menstruasi sama sekali dapat meningkatkan risiko wanita mengalami pertumbuhan berlebih endometrium
(disebut hiperplasia endometrium) atau bahkan kanker endometrium.
Karena perubahan hormon bervariasi dari satu wanita ke wanita lain, pasien dengan PCOS mungkin memiliki
jerawat ringan hingga parah, pertumbuhan rambut wajah, atau rambut rontok pada kulit kepala. Jerawat adalah
kondisi kulit yang disebabkan oleh kulit berminyak dan penyumbatan pada folikel rambut. Jerawat yang berlebihan
adalah salah satu bentuk gejala pada kulit akibat kadar hormon androgen yang tinggi pada wanita remaja. Tingkat
keparahan jerawat dapat dinilai berdasarkan jumlah lesi, adanya lesi sedang (> 10 lesi wajah) atau jerawat radang
parah selama bertahun-tahun pada usia sekitar menarche. Terdapat konsensus yang mengatakan bahwa jerawat
meradang dengan derajat sedang hingga berat yang kurang responsif terhadap pengobatan merupakan indikasi
untuk menguji kadar hormon androgen. Pertumbuhan rambut pola pria (hirsutisme) dapat dilihat pada bibir atas,
dagu, leher, daerah cambang, dada, perut bagian atas atau bawah, lengan atas, dan paha bagian dalam. Tingkat
keparahan hirsutisme ini dinilai berdasarkan sistem Ferriman-Gallwey yang mengukur tingkat pertumbuhan
rambut di area yang paling peka terhadap hormone androgen. Hirsutisme didefinisikan sebagai skor 8 atau lebih
pada populasi wanita dewasa di Amerika Serikat dan bergantung etnis pada populasi lainnya.
Klomifen sitrat adalah terapi lini pertama induksi ovulasi pada siklus anovulasi yang memiliki angka
keberhasilan sebesar 70-80%. Angka kehamilan pada pasien SOPK yang respon terhadap klomifen sitrat yaitu
rata-rata sebesar 15% per siklus. Syarat pemberian klomifen sitrat yaitu adanya aksis hipotalamus-hipofisis
yang normal agar induksi ovulasi dapat terjadi. Klomifen sitrat bekerja dengan cara mengikat reseptor estrogen
di hipotalamus sehingga terjadi umpan balik positif estrogen terhadap hipotalamus. Blokade reseptor estrogen
ini akan meningkatkan produksi GnRH dari hipotalamus yang kemudian akan menstimulasi perkembangan
folikel.
Gambar 4. Mekanisme kerja Klomifen Sitrat
Resistensi insulin, yang nantinya menimbulkan hiperinsulinemia, umum terdapat pada pasien SOPK.
Resistensi insulin didefinisikan sebagai berkurangnya respon ambilan (uptake) glukosa terhadap insulin pada
jumlah tertentu. Penurunan sensitivitas insulin ini terjadi karena abnormalitas transduksi sinyal yang dimediasi
reseptor insulin. Sensitivitas insulin menurun hingga 35-40% pada pasien SOPK. Prevalensi resistensi insulin
pada pasien SOPK dengan obesitas mencapai 50-75%. Jenis Insulin Sensitizing Agent (Metformin,
Tiazolidindion, inositol) bekerja dengan cara meningkatkan sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin
1) Metformin
Metformin menghambat glukoneogenesis dan meningkatkan pengambilan glukosa oleh jaringan perifer serta
menurunkan oksidasi lemak. Dengan demikian, hiperinsulinemia dapat ditekan sehingga terjadi penurunan
kadar androgen. Pemberian metformin dapat menggeser keseimbangan endokrin terhadap ovulasi dan
kehamilan. Metformin dapat menurunkan kadar insulin puasa tetapi tidak mempengaruhi indeks massa tubuh
receptor g (PPARg) yang diekspresikan terutama pada jaringan adiposa, namun juga dapat ditemukan di sel
beta pankreas, endotel vaskular dan makrofag. Obat golongan tiazolidindion yang pertama kali diizinkan
penggunaannya yaitu troglitazon namun telah ditarik kembali dari pasar karena sifat hepatotoksik yang
ditimbulkannya. Obat golongan tiazolidindion lainnya yang masih beredar yaitu rosiglitazon dan
pioglitazon.94 Tiazolodindion bekerja sebagai insulin sensitizing agent melalui dua mekanisme: (1)
Mekanisme langsung atau disebut juga hipotesis 'fatty acid steal' yaitu dengan meningkatkan ambilan asam
lemak pada jaringan adiposa sehingga massa jaringan adiposa akan meningkat dan menyelamatkan jaringan
lain yang sensitif terhadap insulin seperti sel beta pankreas, hepar dan otot rangka dari efek buruk asam lemak.
(2) Mekanisme tidak langsung yaitu dengan meningkatkan ekspresi adiponektin dan menurunkan ekpresi 11b-
hidroksisteroid dehidrogenase tipe 1 (enzim yang mengkatalisasi perubahan kortison inaktif menjadi kortisol
aktif.
3) Inositol
Peran inositol dalam mengembalikan proses ovulasi pada pasien dengan penurunan sensitivitas insulin telah
banyak dikemukakan, di mana inositol memiliki aksi sensitisasi insulin. Baru-baru ini dihipotesiskan bahwa
inositol dapat memiliki mekanisme kerja yang berbeda pada jenis sel yang berbeda, di luar mekanismenya
mengurangi resistensi insulin.96 Inositol, meski tidak bisa disebut sebagai vitamin, dianggap sebagai faktor
vitamin yang termasuk dalam B kompleks. Inositol dan derivatnya (garam, fosfat, lipid) ditemukan pada
berbagai jenis makanan terutama buah-buahan dan kacang-kacangan. Pada manusia, inositol terdapat pada
fosfolipid, dan dapat menstimulasi produksi lesitin endogen. Inositol berperan dalam aktivitas biologis yang
mengendalikan metabolisme lemak dan gula, serta pada fungsi selular sistem saraf. Studi ilmiah menunjukkan
bahwa pasien yang diabetik mengeliminasi inositol lebih besar secara signifikan dibandingkan dengan subjek
Bukti ilmiah menunjukkan bahwa suplementasi inositol berkontribusi terhadap penurunan kadar FSH yang
diperlukan untuk ovulasi, meningkatkan kualitas oosit (menurunkan jumlah total germinal vesicle dan oosit
yang berdegenerasi) dan meningkatkan jumlah oosit yang terkumpul setelah stimulasi ovarium pada pasien
yang menjalani Assisted Reproductive Technology (ART), baik IVF atau ICSI. Terapi-terapi ini sepertinya
mempengaruhi steroidogenesis, dengan menurunkan produksi androgen di sel teka. Pemberian D-Chiro-
Inositol meningkatkan aktivitas insulin pada pasien SOPK, meningkatkan fungsi ovulasi, dan menurunkan
Monitoring
Monitoring keberhasilan pengobatan (a) mengurangi atau membalikkan gejala, (b) mencegah atau
membalikkan komplikasi (misalnya, osteoporosis, anemia, dan infertilitas), dan (c) monitorin efek samping
untuk mendapatkan efek samping yang minimal.
Monitoring peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup (misalnya, fisik, psikologis, dan sosial) berfungsi).
Evaluasi pasien untuk reaksi obat yang merugikan, alergi obat, dan interaksi obat.
G. Kasus PCOS
Seorang perempuan 22 tahun ke dokter karena merasa nyeri bagian pelvic dan kram perut selama menstruasi
dan tidak masuk kerja 1-2 hari selama menstruasi. Dia telah aktif secara seksual. Siklus menstruasi terakhir 9
hari lalu dan menstruasi pertama umur 11 tahun. Siklus 26 – 28 hari setiap menstruasi. Setiap nyeri dia
menggunakan asetaminofen dan ibuprofen. Pernah mengalami clamidiasis.
Riwayat penyakit adalah asma dan menggunakan fluticasone 110 mcg 2 semprotan 2x/hari dan albuterol 90 mcg
2 semprotan prn jika sesak. Hasil pemeriksaan fisik terdapat jerawat pada bagian wajah dan dada, nyeri panggul
sedang – berat saat haid. VS: TD 116/64, HR 74, Pernapasan 14, BB 58.2 kg, TB 163 cm, BMI: 22 kg/m2.
Penyelesaian Kasus:
Penilaian Kasus
Data hasil pemeriksaan fisik terdapat jerawat pada bagian wajah dan dada, nyeri panggul sedang – berat
saat haid.
Data Lab:
VS: TD 116/64 (normal)
HR 74 (normal)
Pernapasan 14 (normal)
BB 58.2 kg, TB 163 cm, BMI: 22 kg/m2 (BB Ideal)
Berdasarkan data pasien diketahui bahwa pasien belum dapat didiagnosis Polycyctic Ovarian Syndrome (PCOS)
sebab menurut kriteria Rotterdam mengidentifikasi PCOS sebagai sindrom disfungsi ovarium dapat didiagnosis
dua dari karakteristik berikut: ada:
(a) oligoanovulasi atau anovulasi;
(b) gejala klinis (hirsutisme, jerawat) atau bukti laboratorium hiperandrogenisme (total dan globulin pengikat
seks); dan
© morfologi ovarium polikistik pada ultrasound. Androgen Excess and PCOS Society (AE-PCOS)
mendefinisikan PCOS sebagai hiperandrogenisme (klinis atau biokimia), disfungsi ovarium; (oligoanovulasi
atau ovarium polikistik) dan penyebab lain kelebihan androgen. Resistensi Insulin, hiperandrogenisme, dan
perubahan gonadotropin juga mempengaruhi perkembangan PCOS (Dipiro, 2016).
Sedangkan pada pasien ciri yang hanya menggambarkan PCOS yaitu adanya gejala klinis berupa jerawat.
Tujuan Terapi
Tujuan medikametosa pada PCOS bertujuan untuk mengobati gangguan metabolic, anovulasi, hirtutisme, dan
ketidakteraturan menstruasi.
Tata Laksana Terapi Farmakologi dan Non Farmakologi
Terapi Non Farmakologi:
- Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan modifikasi gaya hidup. Olahraga selama150 menit
dengan terjadinya peningkatan denyut jantung setiap minggu membantu menurunkan kejadian resistensi
insulin pada pasien dengan PCOS.
- Diet sehat tanpa konsumsi minuman manis seperti soda dan konsumsi karbohidrat serta makanan cepat
saji juga membantu untuk menurunkan resistensi insulin dan berat badan dimana akan sangat membantu
menguragi gejala-gejala pada pasien PCOS remaja.
- Memastikan diet yang memadai atau dengan tambahan asupan kalsium dan vitamin D
Terapi Farmakologi
Pada kasus terebut ciri yang menandakan adanya PCOS adalah timbulnya jerawat sehingga pilihan
pengobatan untuk keluhan jerawat dapat diobati dengan pengobatan yang diberikan melalui kulit seperti
antibiotik, pemberian sediaan hormon kombinasi estrogen dan progesteron melalui oral (dapat juga
meregulasi siklus haid), atau pil spironolakton yang dapat memblok hormon androgen penyebab jerawat
(Obat dapat dilihat pada terapi acne dan menstruasi)
3. Bagaimana parameter monitoring efektivitas terapi?
Parameter monitoring efektivitas terapi pada PCOS yaitu :
-monitoring efek terapi pengobatan
-monitoring efek samping obat
-monitoring hasil usg entuk sel telur seperti gambaran kista-kista kecil
DAFTAR PUSTAKA
Afriyanti R., N., 2015, Akne Vulgaris Pada Remaja., Jurnal Majority, Vol.4 (6).
Astutiningsih, S., P. (2014). Hubungan antara indeks massa tubuh (IMT) dengan timbulnya akne vulgaris,
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta
Chisholm-Burns, M.A., Terry L.S., Barbara G.W., Dipiro J.T., 2016, Pharmacotherapy Principles & Practice,
McGraw-Hill Education, New York.
Dipiro J.T., Marie A.C., Terry L.S., Barbara G.W., Patrick M.M., dan Jill M.K., 2016, Pharmacotherapy
Principles and Practice 4th Edition, MC Graw Hill Education: New York.
Larasati, T., Alatas,F., 2016, Dismenore Primer Dan Faktor Risiko Dismenore Primer Pada Remaja, Jurnal
Majoriti Vol.5 (3).
MAGGYVIN, E., & Barliana, M. I. (2019). Literature Review: Inovasi Terapi Polycystic Ovary Syndrome (PCOS)
Menggunakan Targeted Drug Therapy Gen CYP19 rs2414096. Farmaka, 17(1), 111-122.
Mareta, R., Amran, R., & Larasati, V. (2018). Hubungan Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) dengan Infertilitas
di Praktik Swasta Dokter Obstetri Ginekologi Palembang (Doctoral dissertation, Sriwijaya University).
Maryanto Erlicha Paramitha., 2020, Hubungan Penggunaan Kosmetik Terhadap Kejadian Akne Vulgaris, Jurnal
Medika Utama, Vol.2 (1).
Nurwana, Yusuf S. dan Andi F.F., 2017, Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Disminorea pada
Remaja Putri di SMA Negeri 8 Kendari Tahun 2016, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, Vol.
2 (6).
Silaen R.M., L. Seri A. dan Wayan C.WS., 2019, Prevalensi Dysmenorrhea dan Karakteristiknya pada Remaja
Putri di Denpasar, Jurnal Medika Udayana, Vol. 8 (11).
Wells, B.G., DiPiro, J.T., Schwinghanmmer, T.L., dan DiPiro, C.V., 2015, Pharmacotherapy Handbook 9th
Edition, MC-Graw Hill Education: New York.