Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kecemasan adalah suatu penyerta yang normal dari pertumbuhan, dari

perubahan, dari pengalaman sesuatu yang baru dan belum dicoba dan dari

penemuaan identitasnya sendiri dan arti hidup (Kaplan, Sadock, dan Greb,

2010). Kecemasan disebut patologis bila gejalanya menetap dalam jangka

waktu tertentu dan mengganggu ketentraman individu (Maramis, 2005).

Gangguan kecemasan adalah gangguan kejiwaan yang paling umum

dengan prevalensi 7,3% di seluruh dunia saat ini (Stein, 2017). Di Indonesia,

berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013,

menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional seperti gangguan

kecemasan sebesar 6,0% dari populasi orang dewasa. Wanita lebih banyak

mengalami gangguan cemas dibandingkan pria, dengan rentang usia 16-40

tahun (Luana dkk., 2012).

Menurut penelitian yang pernah dilakukan pada sebanyak 222

mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo didapatkan yang

mengalami cemas sebesar 69 (31%) mahasiswa dan yang tidak mengalami

cemas 153 (69%) mahasiswa (Marwah, 2017).

Menurut Siswoyo (2007) dalam Papilaya dan Huliselan (2016)

mahasiswa dapat didefinisikan sebagai individu yang sedang menuntut ilmu

ditingkat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta atau lembaga lain yang

1
2

setingkat dengan perguruan tinggi. Mahasiswa dinilai memiliki tingkat

intelektualitas yang tinggi, kecerdasan dalam berpikir dan kerencanaan dalam

bertindak. Berpikir kritis dan bertindak dengan cepat dan tepat merupakan

sifat yang cenderung melekat pada diri setiap mahasiswa, yang merupakan

prinsip saling melengkapi.

Kecemasan mempengaruhi hasil belajar mahasiswa, karena

kecemasan cenderung menghasilkan kebingungan dan distorsi persepsi.

Distorsi tersebut dapat mengganggu belajar dengan menurunkan kemampuan

memusatkan perhatian, menurunkan daya ingat, mengganggu kemampuan

menghubungkan satu hal dengan yang lain (Sadock, Sadock, dan Ruiz, 2015).

Mahasiswa kedokteran dilaporkan memiliki stresor yang tinggi atau

penuh dengan stres, dan ketika dibandingkan dengan populasi umum,

mahasiswa kedokteran lebih banyak mengalami tekanan, depresi, dan

kecemasan. Berdasarkan masa pendidikannya, mahasiswa kedokteran tahun

pertama beresiko untuk lebih mengalami stres dan berdasarkan beberapa

penelitian dilaporkan bahwa masa ini memiliki angka kejadian kecemasan

yang tinggi (Lallo, Kandou, dan Munayang, 2012). Selain itu pada mahasiswa

tingkat pertama khususnya angkatan 2017 akan memasuki tahapan evaluasi

pada semester tiga sehingga cenderung menimbulkan kecemasan. Masa

evaluasi ini diberlakukan pada mahasiswa yang memiliki IPK (Indeks Prestasi

Kumulatif) yang tidak memenuhi standar. Mahasiswa tersebut diberikan masa

percobaan selama 1 bulan, apabila IPK belum memenuhi standar maka

mahasiswa tersebut akan di DO (Drop Out) dari fakultas.


3

Istilah 'dispepsia' berasal dari bahasa Yunani yaitu dys dan pepse, yang

dikenal sebagai gangguan pencernaan. Ini pertama kali tercatat dalam

pertengahan abad 18 dan sejak saat itu telah banyak digunakan (Baron dkk.,

2006). Dispepsia merupakan sindrom atau kumpulan gejala yang terdiri dari

rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat

kenyang, perut rasa penuh atau begah. Semua keluhan tersebut tidak harus

selalu ada pada tiap pasien. Ditemukan bahwa pada satu pasien pun keluhan

dapat berganti-ganti tergantung pada jenis keluhan maupun kualitasnya

(Djojoningrat, 2009).

Gejala–gejala yang timbul disebabkan berbagai faktor seperti gaya

hidup merokok, alkohol, berat badan berlebih, stres, kecemasan, dan depresi

yang relevan dengan terjadinya dispepsia (Abdullah & Gunawan, 2012).

Berdasarkan ada tidaknya penyebab maka dispepsia dibagi atas

dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dikatakan dispepsia organik

apabila penyebab dispepsia sudah jelas, misalnya adanya ulkus peptikum,

karsinoma lambung, kolelitiasis, yang bisa ditemukan secara mudah. Dan

dikatakan dispepsia fungsional apabila penyebabnya tidak diketahui atau tidak

didapati kelainan pada pemeriksaan gastroenterologi konvensional (Tarigan,

2003).

Dispepsia merupakan suatu masalah penting apabila dispepsia tersebut

mengakibatkan penurunan kualitas hidup individu tersebut. Meskipun

demikian, sebagian besar kasus merupakan dispepsia fungsional, dan


4

dispepsia tersebut jarang berakibat fatal. Dispepsia memberikan dampak yang

kuat terhadap health related quality of life karena perjalanan alamiah penyakit

dispepsia berjalan secara kronis dan sering kambuh, dan pemberian terapi

kurang efektif untuk mengontrol gejala (Mahadeva dkk., 2012).

Menurut WHO (2010) prevalensi dispepsia secara global bervariasi

antara 7-45% tergantung pada definisi yang digunakan dan lokasi geografis.

Prevalensi di Amerika Serikat sebesar 23-25,8%, di India 30,4%, New

Zealand 34,25%, Hongkong 18,4%, dan Inggris 38-41%. Angka kejadian

dispepsia diperkirakan antara 1-8% di Negara Barat. Di Inggris dan

Skandinavia dilaporkan angka prevalensinya berkisar 7-41% tetapi hanya 10-

20% yang mencari pertolongan medis. Di Negara barat prevalensi yang

dilaporkan 23% dan 41%. Sekitar 4% penderita berkunjung ke dokter,

umumnya mempunyai keluhan dispepsia. Di daerah Asia Pasifik, dispepsia

juga merupakan keluhan yang banyak dijumpai prevalensinya sekitar 10-20%

(Murti, Bintanah, dan Handarsari, 2013).

Menurut profil data kesehatan Indonesia, berdasarkan data Depkes

tahun 2004 menempatkan dispepsia pada urutan ke 15 dari daftar 50 penyakit

dengan pasien rawat inap terbanyak di Indonesia dengan proporsi 1,3%

(Harahap Y, 2009). Sedangkan berdasarkan data Kemenkes, dispepsia sendiri

termasuk dalam 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit tahun 2010, pada

urutan ke-5 dengan angka kejadian kasus sebesar 9.594 kasus pada pria dan

15.122 kasus pada wanita. Sedangkan untuk 10 besar penyakit rawat jalan di

rumah sakit tahun 2010, dispepsia berada pada urutan ke-6 dengan angka
5

kejadian kasus sebesar 34.981 kasus pada pria dan 53.618 kasus pada wanita,

jumlah kasus baru sebesar 88.599 kasus. Untuk wilayah Sulawesi Tenggara

dan sekitarnya tidak didapatkan data statistik spesifik mengenai angka

kejadian kasus dispepsia. (KEMENKES RI, 2011).

Menurut penelitian yang pernah dilakukan pada sebanyak 140

mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo, yang berjenis kelamin

laki-laki sebanyak 42 responden. Dari 42 responden tersebut, 12 responden

(28,6%) tidak mengalami dispepsia dan 30 responden (71,4%) mengalami

dispepsia. Sedangkan untuk responden yang berjenis kelamin perempuan

sebanyak 98 responden. Dari 98 responden tersebut, 22 responden (22,4%)

tidak mengalami dispepsia dan 76 responden (77,6%) mengalami dispepsia

(Suyanto, 2017).

Sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi, para ahli Socrates dan

Hypocrates mengakui bahwa faktor psikis berperan penting pada kejadian dan

perjalanan penyakit seseorang. Faktor psikis dan emosi seperti pada ansietas

dan depresi dapat mempengaruhi fungsi saluran cerna dan mengakibatkan

perubahan sekresi asam lambung, mempengaruhi motilitas dan vaskularisasi

mukosa lambung serta menurunkan ambang rasa nyeri. Pasien dispepsia

umumnya menderita ansietas, depresi dan neurotik lebih jelas dibandingkan

orang normal (Mudjaddid, 2009).

Banyak penelitian yang menghubungkan kejadian dispepsia dengan

gangguan kejiwaan seperti penelitian yang dilakukan pada bagian


6

Gastroenterohepatologi RS.Wahidin Sudirohusodo yang menunjukkan bahwa

pada pasien dispepsia ada hubungannya dengan ansietas dimana dispepsia

fungsional lebih tinggi tingkat ansietasnya dibandingkan pasien dispepsia

organik (Uleng dkk., 2011).

Hal tersebut diatas mendorong peneliti untuk mengadakan penelitian

tentang “Hubungan Antara Tingkat Kecemasan Dengan Kejadian Dispepsia

Pada Mahasiswa FK UHO Angakatan 2017”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam

penelitian ini yaitu : “Apakah terdapat hubungan antara tingkat kecemasan

dengan kejadian dispepsia pada mahasiswa FK UHO angkatan 2017”?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan tingkat kecemasan dengan kejadian

dispepsia pada mahasiswa FK UHO angkatan 2017.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui tingkat kecemasan pada mahasiswa FK UHO angkatan

2017.

b. Mengetahui kejadian dispepsia pada mahasiswa FK UHO angkatan

2017.
7

3. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Ilmiah

Sebagai bahan bacaan yang bermanfaat bagi peneliti lain

maupun bagi pembaca lainnya, khususnya mengenai hubungan tingkat

kecemasan dengan kejadian dispepsia.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi

instansi terkait (Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo) dalam

membuat program intervensi baik jangka panjang maupun jangka

pendek untuk mencegah tingkat kecemasan pada mahasiswa Fakultas

Kedokteran Universitas Halu Oleo.

3. Bagi peneliti berikutnya

Hasil penelitian diharapkan dapat dipakai sebagai data dasar

untuk penelitian lebih lanjut tentang hubungan tingkat kecemasan

dengan kejadian dispepsia.

4. Bagi peneliti

Penelitian ini diharapkan sebagai sarana untuk melatih berfikir

secara logis dan sistematis serta mampu menyelenggarakan suatu

penelitian berdasarkan metode yang baik dan benar. Hasil penelitian

ini diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan peneliti mengenai

hubungan tingkat kecemasan dengan kejadian dispepsia.

Anda mungkin juga menyukai