NIM : 20170110011
1) Ringkasan Cerita
Matinya Toekang Kritik menceritakan kisah tentang Raden Mas Suhikayatno si
tukang kritik dan pembantunya, Bambang yang terus dikritik dan dimarahi namun tetap
setia melayani tuannya. Raden Mas Suhikayatno merupakan sosok tukang kritik yang
berpegang teguh pada prinsipnya sebagai oposisi. Ia bahkan menyatakan bahwa ia bisa
mati jika tidak mengkritik. Sosoknya pun dikisahkan selalu hadir di tiap zaman dan
tidak pernah mati. Ini memperjelas sosoknya sebagai simbol yang mewakili sosok-
sosok lain yang selalu bertentangan dengan penguasa sepanjang sejarah.
Cerita diawali dengan gambaran kegelisahan dan kejiwaan dari Raden Mas
Suhikayatno yang kacau melalui beragam bunyi-bunyian. Raden Mas Suhikayatno
seakan melintasi waktu dengan beragam suara, rupa dan warna. Kemudian diperjelas
bahwa salah satu yang membuat ia gelisah adalah surat yang tak kunjung datang.
Gambaran dari sosok Raden Mas Suhikayatno semakin diperjelas oleh kilas balik yang
ia ungkapkan dan ungkapan-ungkapan lain yang seakan menegaskan posisinya sebagai
tukang kritik yang idealis dan memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia dan
dunia. Juga diperjelas oleh penjelasan Bambang tentang sosoknya yang tidak pernah
tua bahkan tidak pernah mati dan selalu ada di tiap zaman dengan identitas yang
berbeda-beda.
Bambang, nama si pembantu diambil dari nama Presiden Republik Indonesia
yang menjabat ketika naskah ditulis. Ia digambarkan sebagai sosok yang lemah lembut
dan penyabar namun ceroboh dan kerap dimarahi oleh Raden Mas Suhikayatno.
Bambang sempat mengungkapkan bahwa ia pun sebenarnya kagum pada tuannya
tersebut karena teguh pada prinsip, tidak seperti pengkritik lain yang hanya mengejar
kursi kekuasaan. Tokoh Bambang seakan menegaskan bahwa penguasa sejatinya
adalah pelayan bagi rakyatnya.
Cerita berakhir ketika Raden Mas Suhikayatno tiba di masa depan. Pada masa
itu segalanya telah canggih, bahkan pembantunya telah berubah menjadi robot. Raden
Mas Suhikayatno pun seperti kehilangan peran, sebab tidak ada lagi yang bisa dikritik.
Tiada lagi pembunuhan, tiada lagi kekejaman, sebab semuanya telah terpenuhi dengan
kecanggihan teknologi. Demikianlah digambarkan bagaimana si tukang kritik yang
tidak pernah mati sepanjang sejarah justru mati ketika tiada lagi yang bisa dikritik.
Secara struktural, lakon ini hanya berkisah tentang Suhikayatno yang menunggu
datangnya surat dengan gelisah hingga surat pun datang bersamaan dengan kematian
dari jati dirinya.
Secara keseluruhan. Kisah ini mengangkat situasi di dunia nyata yang
diungkapkan secara tidak langsung dan surealistik. Peran Suhikayatno, sebagai tokoh
utama dalam cerita memberikan gambaran bahwa pentingnya sosok seperti ia sebagai
penyeimbang dan penekan kekuasaan yang berpotensi mengeksploitasi, dan sebagai
agen dari perubahan sosial demi kebaikan suatu golongan.
2) Konflik
Konflik batin yang dipicu oleh surat yang tak kunjung datang. Akibatnya, timbul
kecemasan yang berlebih hingga memuncak pada prasangka buruk Suhikayatno bahwa
dia dianggap sepele. Konflik berakhir ketika surat itu datang bersamaan dengan
kematian dari jati dirinya, sang pengkritik.
4) Sketsa Setting
5) Catatan Adegan
Adegan I
1 Peristiwa: Introduksi,
- Konflik batin (Psikologis) Denmas dengan dirinya sendiri. Kemudian
sinisme terhadap pembantunya, pemerintah, presiden dan jabatan, serta
seniman.
- Proses yang membawa Suhikayatno menjadi tokoh utama yakni:
Suhikayatno
mencari surat pengakuan; Suhikayatno memiliki kedekatan dengang raja-
raja atau penguasa terdahulu serta adanya gambaran kedekatan hubungan
dengan para Pandawa dan Semar.
2 Suasana:
bergerak dari hening – bising dan tegang (suara detak jam, lonceng, kendaraan,
dan kemerosak radio).
3 Properti:
Setting 1; Kursi, meja, cangkir besi dan teko, serta selimut.
Setting 2; meja kerja, buku-buku, dokumen-dokumen.
4 Kostum:
Denmas; Priyai Jawa
Kacamata rantai, sweater dan celana panjang lusuh.
5 Suara latar:
Menyesuaikan dengan suasana dan laku dramatik pemain. (efek suara, dan
instrumen)
6 Laku dramatik:
Aksi kegelisahan dan keresahan; terperanjat dari kursi goyang, mondar-mandir,
bergaya dan meniru gaya semar, sampai kemudian Suara Raden Mas Suhikayatno
makin lama makin pelan, makin terdengar sebagai rerancauan, menggelap, ketika
Raden Mas Suhikayatno sudah menutupi seluruh tubuhnya. Layar gelap. Hanya
terdengar suara Raden Mas Suhikayatno yang terus memanggili pembantunya.
7 Motive lead:
Konflik batin mencari surat pengakuan.
Adegan II
Pengenalan Masalah
2 Suasana: tegang mencair lalu tenang, ramai sindiran dan suasana takut ketahuan.
Pembantu Denmas: sama dengan kostum Denmas tetapi selain dibedakan secara
psikis, pun sedikit dibedakan pula dengan unsur fisik yakni dengan penggunaan
blangko di kepala.
5 Suara latar: lanjutan adegan I namun diperlemah, lebih dominan efek suara.
6 Laku dramatik:
Ketika layar perlahan terang, pemeran beralih menjadi memerankan Bambang,
seolah baru muncul, tergopoh-gopoh lalu berlutut dan menyelimuti kursi. Kemudian
bergerak ke sisi kanan, kepada penonton (kamera) menggunjing majikannya,
membereskan meja kerja Denmas (Setting 2) yang berantakan oleh dokumen-
dokumen sembari terus menggunjing, melirik majikannya karena takut ketahuan,
cengegesan, kemudian ke sisi kanan kembali menceritakan tentang dirinya, pepatah
simbahnya dengan bergaya orang tua (simbahnya), terdengar sautan dari Denmas.
Ia beranjak mendekati kursi Denmas dan kemudian (seolah teringat sesuatu) ia
langsung mengambilkan jas Denmas dan menaruhnya, lalu ia memijit kaki
majikannya. Sampai kemudian pemeran beralih tokoh menjadi Denmas lagi.
7 Motive Lead:
Selaku abdi, Bambang senantiasa berusaha membuat kerukunan dan menjaga
kepatuhan terhadap majikannya itu. Akan tetapi, terkadang hal itu dilakukannya
karena tidak ingin membuat Denmas marah atau tersinggung. Oleh karena itu,
bentuk sikap Bambang mengakibatkan adanya prilaku menyindir atau
menggunjing. Tidak hanya itu, di sini Bambang pun turut bermaksud menjelaskan
tentang posisinya dalam cerita dan segala sangkut paut tentang dirinya.
Adegan III
(Klimaks)
1 Peristiwa: Klimaks
Tokoh Denmas mencapai puncak kemarahannya karena surat tak kunjung datang.
Ia menjadi simbol orang-orang yang kritis, namun meminta pengakuan atas upaya-
upaya kritisnya tersebut. Mengungkit-ungkit perannya terhadap sejarah dan
kebebasan “bersuara” bangsa Indonesia.
2 Suasana: Tegang
6 Laku Dramatik:
Denmas bersandar di kursinya, kelelahan dan nampak kesakitan karena dadanya.
Memanggil-manggil pembantunya meminta tolong untuk mengambilkan obatnya,
suara Denmas perlahan memudar dan tenggelam, tak jelas.
Pada saat itulah, efek visual, dan suara (nuansa surealis) masuk seolah mengitari
pikiran Denmas. Sampai kemudian terdengar suara jeritan Denmas yang panjang
memanggil pembantunya.
7 Motive Lead
Denmas mencapai puncak kemarahannya karena surat tak kunjung datang.
Ia menjadi simbol orang-orang yang kritis, namun meminta pengakuan atas upaya-
upaya kritisnya tersebut. Mengungkit-ungkit perannya terhadap sejarah dan
kebebasan “bersuara” bangsa Indonesia.
Adegan IV
Resolusi
6 Laku Dramatik:
ketegangan-ketegangan pada bagian klimaks memudar. Transisi (gelap-terang).
Denmas kesepian, bergumam, dan melamun.
Pemeran beralih peran menjadi robot, kemudian kembali lagi memerankan Denmas.
Resah dan gelisah pada keadaan, ditengah keadaan tersebut tiba-tiba Denmas
kegirangan, seperti mengalami gangguan mental saat mendengar suara (mirip
tembakan).
Namun, pada akhirnya ia kecewa karena suara tersebut tidak sesuai dengan yang ia
harapkan. Ia kembali duduk, bergumam sampai layar menggelap dan hanya
terdengar suara detak waktu, tak lama kemudian layar kembali terang dengan
pemeran yang beralih peran kembali menjadi robot, layar menggelap seiring dengan
suara monoton dari robot pelayan “ada surat! Ada surat!” dan dengan perlahan mati.
Cerita lakon pun berakhir.
7 Motive Lead:
Kesepian karena kehilangan peran.
Catatan Khusus
Lakon ini dilakukan secara dari rumah atau menyampaikan cerita lakon ini
secara virtual, maka akan dilakukan tahap editing untuk penambahan efek
suara atau pun suara latar, transisi, dan sebagainya dengan harapan dapat
membantu terciptanya suasana cerita di imajinasi penonton.
Suara latar atau musik pada lakon ini sangat membantu dalam membangun
suasana cerita (nuansa surealistik) dan kondisi psikologis tokoh.