Anda di halaman 1dari 3

Perjalanan

Oleh : Laurika L.S.

“Mas, bagaimana kalau kita putar sekali lagi di tempat tadi?”


“Di tempat yang mana sayang?”
“Putaran yang tadi, enggak jauh dari tempat kita makan.”
Di depan, Satrio memutar matanya.
“Lagi sayang?”
“Iya, kita harus cek dulu.” Dewi kekeh dengan pendiriannya.
“Okay. Tunggu sampai belokan di depan.”
“Pelan-pelan ya, Mas.”
“Kecepatan kita sekarang masih tiga puluh kilometer perjam, sayang.”
“Pokoknya hati-hati.”
Rambu tanda belokan tertangkap di sinar lampu depan mereka. Pelan-pelan, Satrio
berkendara ke tenggah dan memasang tanda belok. Dilihatnya kaca spion, “Jalanan di
belakang kosong.”
“Kita nggak tahu kalau misalnya ada orang nyebrang tiba-tiba.”
“Iya….” Satrio menghela nafas, Panjang.
Rute yang seharusnya mereka tempuh lima belas menit, bisa menjadi molor hingga dua
kalinya, bahkan lebih.
Selalu begitu. Melelahkan.
***
Tiba-tiba masa lalu terkenang begitu saja di benak Satrio. Mungkin panasnya siang
yang membara yang begitu terasa di stasiun bis ini memang bisa membuat pikiran
berkelana kemana-mana.
Sambil menyeruput es kopi yang dibelinya setengah jam lalu, Satrio melihat kembali
jam tangannya. Jika sesuai jadwal, maka sebentar lagi bus yang ditunggunya akan tiba.
Satrio akan kembali bertemu istrinya yang sudah tiga bulan ini tak ditemuinya.
Bagaimana kabar Dewi sekarang?
Aku semakin membaik sayang, begitu kata istrinya di setiap sambungan telepon yang
mereka lakukan. Dokter bilang kondisiku semakin membaik.
Benarkah?
Pernikahan mereka menginjak tahun ketiga. Sampai sekarang, mereka masih berdua.
Jika dikatakan pernikahan mereka tidak ada perkembangan, banyak hal yang sudah
terjadi dalam tiga tahun ini. Apalagi penyakit OCD istrinya beberapa kali malah
memburuk karena situasi yang tidak diinginkan. Apalagi setahun belakangan, Satrio
bertugas di daerah yang cukup jauh dari kota dan tidak bisa mendampingi selama
pengobatan istrinya.
***
“Mas, berhenti mas. Berhenti!” sahut Dewi memaksa, menepuk-nepuk bahu suaminya
keras. Satrio kaget, diliriknya kaca spion kiri cepat. Tidak ada kendaraan dibelakang,
aman untuk mengerem mendadak.
“Ada apa, sayang?” Satrio langsung memutar badannya ketika motor berhasil berhenti
di pinggir jalan, menuntut kejelasan.
“Mas dengar tidak tadi suara decit rem?”
Satrio mengernyitkan matanya, “Ini di jalan, wajar ada bunyi decitan rem.”
“Putar lagi ke jalan tadi yuk. Kita lihat lagi.” Suara Dewi pekat dengan kecemasan.
“Apa sih? Kita sering kali begini. Capek tahu.” Kekesalan menguasai Satrio. Dia tahu
hal ini sering terjadi. Istrinya selalu memaksa untuk memutar balik.
“Tolonglah.” Tiba-tiba saja, Dewi menangis. Badannya mengejang, ketakutan.
Satrio terdiam, kekesalannya hilang tiba-tiba.
“Baiklah. Kita kesana sekali lagi.”
***
“Pak, mau jalan kemana? Mau ojek pak?”
Seorang bapak menghampirinya. Tersenyum.
“Tidak, Pak. Jemput istri.”
“Oh, dari mana, Pak?”
“Pontianak.”
“Oh..”
Mereka pun sama-sama tersenyum. Bapak itu mengambil tempat dudul di sebelahnya.
Mereka sama-sama menikmati siang itu dalam diam.
***
Ada apa dengan istrinya? Pertanyaan tersebut semakin berdengung di pikiran Satrio.
Setiap hari kecemasan istrinya makin parah.
Mungkin kita tadi menyenggol seseorang. Tadi aku mendengar suara teriakan orang
kesakitan. Suara rem membuatku khawatir, bagaimana kalau kita putar jalan kembali?
Istrinya begitu takut diajak berpergian. Setiap meter mereka berkendara, Dewi selalu
menyangka mereka telah menabrak seseorang yang mungkin tidak mereka sadari.
Bagaimana mungkin, memang manusia itu seperti semut apa? Kelindes tidak terasa.
Berkali-kali di rasa kesabarannya habis. Mereka bertengkar, lagi dan lagi.
Istrinya menjadi semakin aneh.
***
Mas, bus sudah masuk ke batas kabupaten Sintang. Tiga puluh menit lagi kami
mungkin akan sampai. Baru dapat sinyal.
Notifikasi Whatsapp Satrio berkedip di layer android. Pesan dari Dewi.
Di perjalanan baik-baik saja?
Tak lama pesan pun kembali masuk. Baik-baik saja, Mas. Aku minum obat anti mabuk
dan tidur sepanjang jalan.
Syukurlah.
***
“Berdasarkan pengkajian yang kami lakukan, ibu terkena OCD.”
Satrio dan Dewi terdiam. Dokter terdiam sebentar sebelum melanjutkan.”
“Lebih tepatnya Hit and Run OCD.”
Akhirnya, Satrio dan Dewi memutuskan untuk berobat ke psikiater. Masalah kecemasan
yang dialami Dewi sudah sangat menganggu kehidupan mereka. Anjuran serta nasihat
sudah tidak lagi manjur. Mereka perlu tenaga professional untuk menolong mereka.
Sore itu di sebuah klinik psikiater, jawaban itulah yang akhirnya mereka dapatkan.
“Mas, maafkan aku ya..” sahut Dewi ketika mereka sampai di rumah, hampir menangis.
“Kamu sakit. Apa yang harus kumaafkan?”
Dewi hanya terdiam, raut wajahnya nampak kelabu.
“Penyakitmu itu ada obatnya kok. Bukan karena mentalmu yang bermasalah.”
“Mas…”
“Ingat, masalahnya ada pada syarafmu yang melemah, sehingga kamu mengalami
delusi-delusi serta kecemasan yang berlebih. Dokter juga kan sudah meresepkan obat
serta jadwal untuk pengobatan minggu depan.”
Dewi mengangguk. Satrio hanya bisa memeluknya, erat.
***
Satrio ingat. Sejak sore dimana akhirnya mereka akhirnya menemukan jawaban atas
perilaku Dewi selama ini, dirinya mulai berusaha mencari tahu tentang penyakit yang
diderita oleh istrinya.
Tidak mudah pada awalnya dan tetap tidak berjalan semulus yang dia harapkan untuk
selanjutnya. Butuh usaha ekstra bagi mereka berdua untuk meredam kecemasan yang
terus timbul di benak Dewi. Obat-obatan tersebut perlu waktu untuk menunjukkan
reaksinya. Segala pengobatan yang dihadapi istrinya terasa lambat.
Tidak mudah, namun pasti ada jalan keluarnya.
Perlahan, Satrio mulai jarang membawa Dewi berkendara. Hanya untuk saat yang
penting saja. Seperti ketika mereka konsultasi ke dokter, atau membawa istrinya keluar
berakhir pekan. Paling tidak agak istrinya bisa menyegarkan pikirannya di tempat lain.
Ketika setahun yang lalu atasannya menugaskannya proyek keluar kota, berat baginya
meninggalkan Dewi. Apalagi Dewi sudah terlihat menikmati berkendara di atas motor.
“Tenanglah, Mas. Aku sudah mulai baikan kok,” ujar Dewi meyakinkan Satrio. “Aku
malah minta maaf karena tidak bisa menemanimu ke luar kota.”
Hanya di dalam kota, Dewi bisa tetap berada di bawah pengawasan dokter.
“Tenanglah, nanti pasti aku bisa menyusulmu kesana.”
***
Akhirnya, di gerbang stasiun, sebuah bus besar berwarna merah muncul. Namun Satrio
tidak bergegas. Dia menikmati posisinya yang aman dari sinar matahari. Biarlah dia
menunggu dulu sampai semua penumpang keluar. Satu pesan Whatsapp cukup untuk
memberitahunya.
Sayang, aku tunggu di bangku dekat kios minum. Kau bisa melihatku dari lokasi busmu
berhenti.
Satrio kenal istrinya. Menghabiskan waktu untuk mengecek dulu apakah ada barang
yang tertinggal. Di kursi. Di bagasi atas. Di kolong kursi. Begitu beberapa kali.
Mungkin empat kali pun tidak cukup
Biarlah Dewi memuaskan rasa cemasnya dulu. Toh, dia tidak akan apa-apa. Dia cuma
berada di dalam bus.
Satu persatu penumpang mulai bergegas turun dari bus. Mulai dari mereka yang
bergerombol di depan pintu, mengantri di depan bus. Hingga hanya satu dua orang
terakhir turun.
Mungkin sebentar lagi.
Satrio langsung berdiri begitu Dewi melangkah keluar dari dalam bus, nampak menjejak
turun tangga bus dengan berhati-hati. Ransel di tangannya terlihat bergitu besar,
bersaing dengan tubuhnya yang berisi.
Satrio dalam perjalanan menuju ke bus hingga akhirnya Dewi bisa melihatnya lalu
mengayunkan tangannya riang. Senyum mengembang di wajahnya.
Senyum yang mengingatkannya akan wanita yang ingin dicintainya.

Anda mungkin juga menyukai