Anda di halaman 1dari 3

HUKUM KESEHATAN :

N0 3
(Peraturan Menteri Kesehatan RI No.585.Menkes/Per/IX/1989)
Dalam dunia kedokteran, biasanya untuk menghindari resiko malpraktik,
tenaga medis membuat exconeratic clausule yaitu :
• Syarat-syarat pengecualian tanggung jawab berupa pembatasan atau
pun pembebasan dari suatu tanggung jawab
• Dalam hal ini, bentuk dari exconeratic clausule adalah informed
consent/persetujuan tindakan medis (pertindik).
• Pertindik merupakan suatu izin atau pernyataan setuju dari pasien yang
diberikan secara bebas, sadar dan rasional setelah memperoleh informasi
yang lengkap, valid dan akurat dipahami dari dokter tentang keadaan
penyakitnya serta tindakan medis yang akan diperolehnya.
NO 1.
Konsep dari perjanjian dan perjanjian terapeutik.
 
R. Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian (hal. 1), mengatakan bahwa
perjanjian adalah suatu peristiwa di mana ada seorang berjanji kepada
seorang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang
tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu
perikatan antara dua orang yang membuatnya.
 
Selanjutnya, Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(“KUHPerdata”) menyebutkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian,
diperlukan empat syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.
 
Sedangkan Perjanjian Terapeutik, menurut Cecep Triwibowo dalam
bukunya Etika dan Hukum Kesehatan (hal. 64) adalah perikatan yang
dilakukan antara dokter dan tenaga kesehatan dengan pasien, berupa
hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah
pihak.
 
Mengacu kepada syarat sahnya penjanjian yang telah dipaparkan
sebelumnya, lebih lanjut Cecep menjelaskan dalam buku yang sama (hal.
65) bahwa Perjanjian Terapeutik harus dilakukan oleh orang-orang yang
cakap. Pihak penerima pelayanan medis adalah pasien, sedangkan pihak
pemberi pelayanan medis adalah dokter dan tenaga kesehtan.
 
Masih dalam buku yang sama (hal. 65), Cecep menjelaskan bahwa
Perjanjian Terapeutik memiliki objek yakni pelayanan medis atau upaya
penyembuhan. Sebab yang halal yang terdapat dalam Perjanjian
Terapeutik adalah dimana tujuan daripada upaya penyembuhan adalah
pemeliharaan dan peningkatan kesehaatan yang berorientasi atas asas
kekeluargaan, mencakup kegiatan peningkatan kualitas kesehatan
(promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit
(kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif).

No 4
Dokter akan mampertanggungjawabkan tindakan medis yang
dilakukan, sementara rumah sakit bertanggung jawab atas layanan
kesehatan yang diselenggarakannya.
Secara pidana, dokter juga bisa digugat atas kelalaian yang dilakukan
selama menjalankan profesi sehingga menyebabkan kerugian bagi
pasien. Hal ini diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) pasal 361.
 
Ini berarti dokter akan mempertanggungjawabkan sendiri tindakan
medis yang menyebabkan malpraktik.
Jika secara pidana dokter akan menanggung sendiri akibat dari
tindakannya, maka secara perdata tidak selalu demikian.
Sebab Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) mengenal
perbuatan hukum tidak langsung, seperti tercantum dalam pasal 1367.
 
Pasal tersebut mengatakan, seseorang bertanggung jawab atas
kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan orang yang menjadi
tanggungannya atau pengawasannya. Jika dokter bekerja untuk rumah
sakit, maka seharusnya dokter tersebut berada di bawah pengawasan
rumah sakit.

Ini berarti rumah sakit juga punya tanggung jawab atas tindakan dokter
yang menyebabkan kerugian bagi pasien. Karena itu, tidak salah jika
tuntutan ganti rugi juga ditujukan kepada rumah sakit

Anda mungkin juga menyukai