Anda di halaman 1dari 31

USULAN PENELITIAN HUKUM

PENGAKAN HUKUM PENELANTARAN ORANG LAIN DALAM


LINGKUP RUMAH TANGGA OLEH SUAMI DIHUBUNGKAN
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG
PENGHaPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

SKRIPSI

MUHAMAD ILHAM MAULANA YUSUF


NIM : 017330035

DOSEN PEMBINGBING
LUKMAN PRABOWO S.H., M.H.

SEKOLAH TINGGI HUKUM PASUNDAN


SUKABUMI
2021
PEMBIMBING I PEMBINGBING II

( ) ( )

Disetujui Untuk Diajukan Sebagai


Usulan Penelitian Hukum
Sukabumi, 2021

Daftar isi

A. Judul.....................................................................................................................1
Mengetahui :

B. Dosen Wali, ......Pelaksana


1

C. Bidang Ilmu...............1
Lukman Prabowo S.H., M.H.
D. Bentuk Penulisan
Hukum.......................................................................................................................1

E. Latar Belakang Masalah................................................................................1

F. Identifikasi Masalah........................................................................................6

G. Kerangka Pemikiran.......................................................................................6

'''''H..................................................................Maksud dan Tujuan Penelitian


19

I. Kegunaan Penelitian.....................................................................................20

J. Metode Penelitian..........................................................................................21
K. Waktu Dan Lokasi Penelitian....................................................................24

L. Sistematika Penulisan.................................................................................24

- Bagian awal..................................................................................................24

- Bagian Isi :....................................................................................................24

- Bagian akhir:...............................................................................................26

A. Judul

“Penegakan Hukum Penelantaran orang dalam lingkup rumah


tangga oleh suami dihubungkan dengan Undang-Undang No. 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga”

B. Pelaksana
NAMA : Muhamad Ilham Maulana Yusuf
NIM : 017330035

C. Bidang Ilmu
Hukum Pidana

D. Bentuk Penulisan Hukum


Skripsi

E. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya, perkawinan merupakan tulang punggung


terbentuknya keluarga dan keluarga merupakan komponen
pertama dalam pembangunan masyarakat. Dengan demikian,
tujuan perkawinan bukan sebagai sarana pelampiasan nafsu
syahwat, melainkan memiliki tujuan yang lebih mulia.
Perkawinan merupakan hubungan cinta, kasih sayang dan
kesenangan, sarana bagi terciptanya kerukunan hati, serta
sebagai perisai bagi suami istri dari bahaya kekejian. Dengan
perkawinan lahirlah generasi yang akan memperbanyak umat,
memperkokoh kekuatannya, serta meningkatkan
perekonomiannya. Dengan demikian akan terjadi sikap saling
menolong antara laki-laki dan wanita dalam kepentingan dan
tuntutan kehidupan. Suami bertugas mencari nafkah untuk
memenuhi kebutuhan keluarga dan istri bertugas mengurusi
rumah tangga dan mendidik anak-anak.1
Rumah tangga merupakan bentuk masyarakat yang
paling kecil yang biasanya terdiri atas ayah, ibu, dan anak.
Sebuah rumah tangga diharapkan memancarkan kebahagiaan
dan kehangatan penuh cinta kasih. Namun, seringkali terjadi
kegoncangan dalam rumah tangga tersebut berupa tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh suami pada istri ataupun
penelantaran oleh suami terhadap istri dan anak-anaknya.
Perbuatan tersebut oleh masyarakat dan bahkan oleh korban
(istri) dianggap merupakan masalah intern atau masalah
pribadi antara suami dan istri.2
Namun dengan tujuan yang sempurna terkadang terdapat
masalah dimana orang tua baik itu suami istri tidak
melaksanakan kewajibannya dalam memberikan pemenuhan
nafkah lahir batin. Hal ini tidak menutup kemungkinan
dilakukan oleh seorang istri, namun dalam kenyataannya yang
lebih sering meninggalkan kewajibannya adalah seorang suami.
Biasa dikenal dengan istilah penelantaran dalam lingkup rumah
1
Imam Jauhari, 2003, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam
Keluarga Poligami, Pustaka Bangsa, Jakarta, hlm.19-20
2
Moerti Hardiati Soeroso, 2010, Kekerasan dalam Rumah Tangga
Dalam Perspektif YuridisVictimologis, Sinar Grafika Offset, Jakarta, hlm. 24
tangga. Kekerasan dalam rumah tangga baik itu penelantaran
dalam lingkup rumah tangga terkadang juga menjadi pemicu
putusnya suatu hubungan perkawinan.
Menurut Abdul Ghofur Anshori, dalam kehidupan rumah
tangga sering dijumpai orang (suami istri) mengeluh dan
mengadu kepada orang lain ataupun kepada keluarganya,
akibat tidak terpenuhinya hak yang harus diperoleh atau tidak
dilaksanakannya kewajiban dari salah satu pihak, atau karena
alasan lain, yang dapat berakibat timbulnya suatu perselisihan
diantara keduanya (suami istri) tersebut. Tidak mustahil dari
perselisihan itu akan berbuntut pada putusnya ikatan
perkawinan (perceraian).3
Seperti halnya yang terjadi pada beberapa masyarakat
Desa Wilayah Hukum Polres Sukabumi, dimana adanya
beberapa suami yang masih terikat perkawinan dengan istrinya
meninggalkan istrinya begitu saja. Bahkan suami tersebut ada
yang sudah memiliki anak dan secara sengaja pergi
meninggalkan anak-anaknya dan istrinya dan tidak
memberikan baik kebutuhan nafkah lahir batin kepada
keluarganya yang seharusnya menjadi tangungjawab penuh
dirinya layaknya sebagai kepala keluarga. Pada masyarakat
Desa Wilayah Hukum Polres Sukabumi yang mayoritas
beragama Islam, kasus penelantaran dalam rumah tangga ini
amat sering terjadi. Namun sedikit korban yang mengadukan
laporan penelantaran tersebut baik kepada Aparatur Desa,
Lembaga, maupun Kepolisian. Hal ini didasarkan oleh beberapa
hal yang menyebabkan kasus penelantaran dalam lingkup
rumah tangga ini terjadi pada masyarakat Desa Wilayah Hukum

3
Muhammad Syaifuddin dkk, 2014, Hukum Perceraian, Sinar
Grafika, Jakarta, hlm. 5
Polres Sukabumi dan tidak memberikan perlindungan kepada
korbannya sama sekali.
Dalam kenyataannya kasus KDRT banyak terjadi, tetapi
sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan
terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, oleh karena
itu diperlukan pengaturan tentang tindak pidana kekerasan
dalam rumah tangga secara tersendiri karena mempunyai
kekhasan, walaupun secara umum di dalam KUHP telah diatur
mengenai penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran
orang yang perlu diberi nafkah dan kehidupan. Pembaharuan
hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau
tersubordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat
diperlukan sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan,
terutama kekerasan dalam rumah tangga. Pembaharuan
hukum tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada
belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan
hukum masyarakat. Mendasarkan pada hal tersebut maka
dibentuklah Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. yang tercantum
dalam Pasal 9 ayat (1) yakni: “setiap orang dilarang
menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan
atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan
atau pemeliharaan kepada orang tersebut”. Dimana pelaku
penelantaran dalam lingkup rumah tangga ini berdasarkan
Pasal 49 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 dapat dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda
paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
Dimana Undang-Undang ini terkait erat dengan beberapa
peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku
sebelumnya antara lain KUHP, Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1984 tentang Pengesahan konvensi mengenai Penghapusan
segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on
the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women),
dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (Guse Prayudi, 2007:17). UU PKDRT selain mengatur
ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap
korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur spesifik
kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-
unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana
penganiayaan yang diatur dalam KUHP. Selain itu, UU PKDRT
juga mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum,
tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, atau
pembimbing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih
sensitive dan reponsif terhadap kepentingan rumah tanngga
yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan
rumah tangga. Tindak pidana penelantaran orang dalam rumah
tangga yaitu isteri dan anak, dan orang yang menjadi tanggung
jawab (ikut dalam rumah tangga tersebut) diatur di dalam UU
No.23 tahun 2004 yang mana ancaman hukumannya lebih
ringan dibandingkan dengan kekerasan atau penganiayaan
dalam rumah tangga. Hal ini mengakibatkan banyaknya suami
yang tidak mengindahkan ancaman hukuman yang tertera
dalam pasal 49 UU No 23 tahun 2004, sehingga mereka dapat
memperlakukan penelantaran terhadap isterinya dengan
sewenang-wenang atas kekuasaannya sebagai kepala keluarga.
Penelantaran dalam lingkup rumah tangga ini
memberikan dampak yang cukup serius, baik terhadap istri
maupun anak yang masih membutuhkan kasih sayang dan
kebutuhan ekonomi yang cukup besar untuk memenuhi
perawatan kesehatan dan pendidikannya sebagai generasi
penerus bangsa, perlu mendapatkan perhatian serius dari pihak
terkait untuk memberikan peningkatan dalam penegakan
hukum.
Maka dari latar belakang tersebut, nantinya akan
digunakan untuk menyusun penulisan hukum yang berjudul
“Penelantaran Dalam Lingkup Rumah Tangga Oleh Suami
dihubungkan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga”

F. Identifikasi Masalah
Adapun yang menjadi masalah hukumnya adalah :
1. Bagaimanakah Tinjauan Undang-Undang No. 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Terhadap Penegakan Penelantaran orang Oleh Suami
Dalam Lingkup Rumah Tangga?
2. Bagaimana Kasus-Kasus Penelantaran Oleh Suami Dalam
Lingkup Rumah Tangga Yang Terjadi Pada Desa di Wilayah
hukum Polres Sukabumi ?
3. Faktor-Faktor Apakah Yang Menghambat Penegakan Hukum
Terhadap Suami Yang Melakukan Penelantaran Dalam
Lingkup Rumah Tangga?

G. Kerangka Pemikiran
1. Tanggungjawab Suami Terhadap Istri

Tuhan memberikan kepemimpinan kepada laki-laki


(suami), karena mereka mengemban suatu kewajiban yang
lebih banyak dibandingkan wanita (istri), yakni memberikan
nafkah, mahar dan memberikan perlindungan. Dengan
diberikannya kewajiban yang lebih banyak dari pada wanita
(istri), laki-laki (suami) haruslah bertanggungjawab dalam
memenuhi suatu kewajibannya dan memberikan hak-hak
istrinya dengan semestinya. Hak dan kewajiban antara suami
istri adalah hak dan kewajiban yang timbul karena adanya
perkawinan antara mereka. Hak dan kewajiban antara suami
istri adalah sebagai berikut:
a. Menegakkan rumah tangga;
b. Keseimbangan dalam rumah tangga dan dalam
pergaulan di masyarakat;
c. Suami istri berhak melakukan perbuatan hukum;
d. Suami istri wajib mempunyai tempat kediaman yang
tetap;
e. Suami istri wajib saling mencintai, menghormati, setia,
dan memberikan bantuan lahir dan batin yang satu
kepada yang lain;
f. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala
keperluan rumah tangga sesuai dengan
kemampuannya;

g. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-


baiknya.

Apabila kewajiban-kewajiban itu dilalaikan si suami,


istri dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan. 4

Berikut beberapa hak wanita (istri) yang harus dipenuhi


oleh laki-laki (suami) sebagai kepala keluarga yang
bertanggungjawab:
1. Hak Istri Menerima Mahar
Hak dan Kewajiban suami istri adalah hak-hak istri

Mustofa Hasan, 2011, Pengantar Hukum Keluarga, CV Pustaka Setia,


4

Bandung,
yang merupakan kewajiban suami dan kewajiban suami yang
menjadi hak istri. Menurut Sayyid Sabiq, hak dan kewajiban
suami istri ada tiga macam, yaitu :
a. Hak istri atas suami
b. Hak suami atas istri
c. Hak bersama
Hak-hak yang harus diterima oleh istri, pada
hakikatnya merupakan upaya untuk mengangkat harkat dan
martabat kaum perempuan pada umumnya. Zaman dahulu,
hak-hak perempuan hampir tidak ada dan yang tampak
hanyalah kewajiban. Hal ini karena status perempuan
dianggap sangat rendah dan hampir dianggap sebagai sesuatu
yang tidak berguna, seperti yang terjadi pada masa Yunani
kuno dan hampir di semua negeri. Pandangan itu boleh jadi
disebabkan oleh situasi dan kondisi ketika itu, yang
memerlukan kekuatan fisik untuk mempertahankan hidup.
Salah satu upaya mengangkat harkat dan martabat
perempuan adalah pengakuan terhadap segala sesuatu yang
menjadi hak-haknya. Sebagaimana dalam islam hak
pernikahan yang pertama ditetapkan adalah hak perempuan
menerima mahar.
Hak dan kewajiban suami istri dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 terdapat dalam Bab VI Pasal 30-34.
Dalam Pasal 30 disebutkan: “suami istri memikul kewajiban
yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi
sendiri dasar dari susunan masyarakat”.

Pasal 31 menyatakan bahwa:


1. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak
dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga
dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat;
2. Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan
hukum;
3. Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah
tangga.

Pasal 32 menyatakan bahwa :


1. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang
tetap;
2. Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1)
Pasal ini ditentukan oleh suami istri bersama.

Pasal 33 menyatakan bahwa :


“Suami istri wajib saling mencintai, hormat menghormati,
setia dan memberi bantuan lahir dan batin yang satu
kepada yang lain.”

Pasal 34 menyatakan bahwa :


1. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan
segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai
dengan kemampunnya;

2. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-


baiknya;
3. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-
masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

Hak dan kewajiban suami-istri menurut Undang-


Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 sudah lengkap. Hak istri adalah
kewajiban suami, sebaliknya hak suami merupakan kewajiban
istri. Dalam hukum Islam pun kewajiban suami adalah
pemimpin dalam keluarga maka istri harus mengabdi kepada
suami, yang membimbingnya ke jalan kebajikan dan takwa. 5

Adapun hak belanja, yaitu kewajiban suami untuk


memenuhi segala kebutuhan rumah tangga yang menyangkut
kebutuhan pangan. Suami berkewajiban menafkahi istri
untuk seluruh kebutuhan dapur, yakni memenuhi belanja
kebutuhan pokok atau sembako, membiayai pendidikan anak,
kesehatan, dan sebagainya. Istri tidak wajib mencari nafkah,
kalaupun istri bekerja, hal itu harus dilakukan atas izin
suami yang sifatnya membantu perekonomian rumah tangga.
Jika suami tidak mengizinkan istri bekerja, istri harus
mentaatinya sebab jika tidak taat istri dikatakan
ketidaktaatan atas kewajiban terhadap istri kepada suami.
Akan tetapi, pelarangan istri bekerja bukan merupakan
indikator bahwa suaminya memiliki kemampuan untuk
menanggulangi semua kebutuhan nafkah keluarga.

Namun, sesuai dengan perkembangan zaman banyak


terjadi perubahan. Saat ini terdapat pengakuan terhadap
fungsi ekstern perempuan, tanpa mengurangi fungsi
internalnya seperti yang terlihat di bidang pekerjaan. Semua
jenis lapangan pekerjaan dapat menerima perempuan sebagai
tenaga kerja, sedangkan perempuan sendiri mempunyai
berbagai alasan untuk melakukan pekerjaan di luar rumah.
Alasan tersebut antara lain karena desakan kebutuhan
ekonomi, sehingga perempuan bekerja untuk ikut berperan
serta dalam mencukupi kebutuhan keluarga. Perempuan pada
mulanya hanya bersedia menerima pekerjaan dalam lapangan
tertentu saja, tetapi lama kelamaan makin bersedia bekerja di
lapangan yang sebelumnya belum pernah mereka masuki.
Semuanya itu terdorong oleh keadaan terpaksa. Akibatnya

5
Ibid, hlm. 170-172
perempuan terpaksa bekerja sebagai buruh kasar di jalan-
jalan raya, di pabrik-pabrik, dan sebagainya. Bahkan pada
malam hari pun buruh wanita itu dipekerjakan, sehingga
situasi seperti ini dapat mengundang timbulnya kejahatan
kesusilaan. Laki-laki yang menjadi pemimpin dan selalu
berdekatan dengan buruh wanita, sehubungan dengan
pekerjaan buruh tersebut, akan menyalahgunakan
kesempatan dan melakukan kejahatan kesusilaan yang
biasanya berakibat menyedihkan terhadap buruh wanita.
Dapat pula ditambahkan di sini bahwa perempuan
memutuskan bekerja di luar rumah dengan berbagai alasan
dan tujuan, antara lain untuk mendapatkan pengakuan akan
keberadaanya (eksistensinya) di dalam masyarakat.
Perempuan golongan tersebut berpendapat bahwa perempuan
pun mempunyai kesempatan dan potensi yang tidak kalah
dengan laki-laki. Namun, di sisi lain terdapat sekelompok
perempuan yang menginginkan hidup berkecukupan dalam
segi materi, tanpa melakukan pekerjaan yang berat, meskipun
harus mengabaikan harga dirinya. Misalnya terjun kedunia
prostitusi atau dunia malam yang hanya mengandalkan atau
bermodal kecantikan fisik saja. Kelompok ini seringkali
merupakan penghambat perjuangan kaum perempuan untuk
maju, untuk diakui eksistensinya, sehingga sering kali
perjuangan perempuan untuk meraih kedudukannya dan
perannya di dalam masyarakat, mendapat pandangan sinis
dari sebagian orang.6

Terlepas dari fungsi ekstern para perempuan, di sisi lain


masih ada perempuan yang tetap bertahan dalam fungsi
internnya. Meskipun hanya berperan sebagai ibu rumah

6
Moerti Hadiati Soeroso,Op cit, hlm.55
tangga mereka bertindak sebagai “pendamping” suami,
sebagai mitra sejajar dan bukan lagi sekedar menjadi “konco
wingking” (teman belakang). Padahal tidak dapat dipungkiri
justru peran dalam sektor domestik tersebut mampu menjadi
motivator bagi suami dan anak-anak untuk lebih maju merai
keberhasilan di segala bidang dan mewujudkan cita-cita.7

Mengapa suami wajib membelanjakan istrinya atau


mengapa berhak menerima uang nafkah, Sayyid Sabiq
mengatakan bahwa wajibnya suami memberi nafkah kepada
istri karena alasan-alasan sebagai berikut:8
1. Adanya ikatan pernikahan yang sah;
2. Suami telah menikmati tubuh istri;
3. Istri telah menyerahkan dirinya kepada suami;
4. Menaati kehendak suaminya;
5. Keduanya telah menikmati hubungan seksualitasnya.

Jika salah satu alasan di atas tidak dipenuhi oleh istri,


suami tidak wajib memberi nafkah. Misalnya, istri tidak taat
kepada suami, tidak mau pindah rumah sesuai ajakan suami,
suami belum menikmati tubuh istrinya disebabkan istri tidak
menyerahkan dirinya kepada suaminya.9
Istri salehah merupakan kekayaan paling berharga bagi
suaminya setelah beriman kepada Allah dan bertakwa kepada-
Nya. Islam memandang istri yang salehah itu sebagai salah
satu sebab kebahagiaan.10
Hidup berumah tangga harus diperkuat dengan lima
pesan penting, yaitu:11

7
Ibid, hlm.56
8
Mustofa Hasan, Op cit, hlm. 173
9
Ibid, hlm. 174
10
Ibid, hlm. 175
11
Ibid, hlm. 176
1. Menempatkan kaum perempun sebagai istri yang
salehah dan mampu mengangkat harkat dan
martabatnya sendiri;
2. Mengangkat kepemimpinan istri di dalam mengurusi
rumah tangga;
3. Menjadikan istri sebagai pendidikan anak-anaknya;
4. Menggauli istri dengan baik dan benar menurut
syariat islam;
5. Menjadikan istri sebagai teladan anak-anaknya.

Suami berkewajiban memberi nafkah tempat tinggal,


meskipun hanya mampu mengontrak rumah, hal yang
terpenting adalah anak dan istri tidak kepanasan, tidak
kehujanan, terhindar dari ancaman para penjahat dan
binatang buas. Rumah juga dapat menjaga harta kekayaan,
karena segala bentuk harta kekayaan lebih terjaga dan aman.
Pada hakikatnya, hak-hak istri yang berkaitan dengan
kewajiban suami dalam membayar nafkah, tempat tinggal,
kebutuhan pakaian, dan sebagainya, tidak ditetapkan jumlah
besarannya. Akan tetapi, demi keharmonisan rumah tangga,
nafkah tersebut harus layak dan cukup untuk memenuhi
kebutuhan pokok. Makanan dan pakaian merupakan
kebutuhan pokok. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi
suami untuk menghindar dari kewajiban memberi tempat
tinggal dan pakaian. Jika anggota keluarganya tidak
bertempat tinggal dengan layak, kesehatan dan
keselamatannya kurang terjamin. Demikian pula, dengan
pakaian sebagai penutup aurat. Jika hak berpakaian
dilanggar, tentu harga diri keluarganya akan musnah. 12
12
Ibid, hlm. 178-179
2. Penelantaran Bagian dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam rumah tangga adalah bentuk
kejahatan yang terjadi di dalam rumah tangga yang dilakukan
oleh suami kepada istrinya atau sebaliknya oleh istri kepada
suaminya. Untuk menanggulangi kekerasan dalam rumah
tangga dibuatlah Undang-Undang KDRT yang menjamin
keamanan dan keadilan orang- orang yang berumah tangga.
Mayoritas KDRT dialami oleh istri yang dilakukan oleh
suaminya karena istri merupakan objek yang lemah dan tidak
berdaya, meskipun memang ada pula kekerasan yang
dilakukan oleh istri kepada suaminya, seperti istri yang
membunuh dan memutilasi suaminya sendiri. Kekerasan
terhadap istri adalah bentuk kriminalitas. Pengertian
kriminalitas menurut Kartini Kartono (2005) “Kriminalitas
merupakan tindak kejahatan yang dilakukan secara sadar dan
tidak sadar baik oleh wanita ataupun pria yang merugikan
orang lain. Kriminalitas bukanlah warisan atau bawaan sejak
lahir’’.
Banyak bentuk kekerasan dalam rumah tangga,
sebagaimana yang nyata- nyata dirasakan oleh kaum
perempuan dan atau laki-laki yang menerima perlakuan
kekerasan dalam rumah tangga.
Apabila dilihat dari bentuknya, dapat dibagi menjadi
dua bentuk, yaitu:
1. Kekerasan terhadap Psikis, yaitu dapat berupa
kekerasan yang mengakibatkan perasaan tertekan,
stres, dan munculnya penyakit di dalam hati;
2. Kekerasan terhadap fisik, yaitu bentuk kekerasan yang
secara langsung dirasakan oleh fisik, misalnya memukul
dan membunuh.13

Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun


2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
disebutkan :
“Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.”

Dalam kaitannya dengan pembahasan bentuk-bentuk


kekerasan, awalnya diusulkan memasukkan bentuk
kekerasan ekonomi, selain kekerasan fisik, kekerasan
psikologis dan kekerasan seksual ke dalam jenis kekerasan
dalam rumah tangga. Termasuk perdebatan apakah bab
kategori bentuk kekerasan ini akan dimasukkan ke dalam
batang tubuh atau penjelasan umum. Perkembangan
pembahasan yang terjadi justru dalam menentukan indikasi
bentuk-bentuk kekerasan. Mulai dari bentuk kekerasan fisik,
psikis, dan kekerasan seksual dari anggota fraksi maupun
pemerintah. Kontroversial terjadi pada pembahasan kekerasan
ekonomi. Sempat terjadi perbedaan pendapat apakah
kekerasan ekonomi perlu dimasukkan atau tidak dalam RUU.
Di satu pihak, pemerintah belum menyepakati formulasi
rumusan kekerasan ekonomi. Di Pihak DPR sendiri masih
ragu apakah kekerasan ekonomi dimasukkan atau tidak.

13
Ibid, hlm. 364
Konsep kekerasan ekonomi justru dipertanyakan,
apakah kekerasan ekonomi itu dalam arti mencari nafkah
atau pemaksaan harus membiayai rumah tangga dan
sebagainya, atau apakah ketentuan yang berkenaan dengan
adat dan agama. Termasuk pertanyaan jika suami melarang
istrinya bekerja apakah masuk dalam kategori kekerasan
ekonomi, jadi harus ada penjelasannya. Berbagai kriteria ini
menjadi perdebatan yang cukup panjang lebar. Ada juga
alasan lain, bila menggunakan istilah kekerasan ekonomi
nanti akan banyak penyalahgunaan istilah ekonomi. Alasan
pertimbangan beragam. Kalimat penelantaran akhirnya
menjadi jalan tengah, sehingga akhirnya diusulkan,
redaksional kekerasan ekonomi diganti dengan penelantaran.
Namun pertanyaan selanjutnya ialah, apakah pelaku
penelantaran selalu diasumsikan pada posisi pasangan
suami sebagai pelaku, dan apakah mungkin istri dapat
dipidana jika melakukan penelantaran dalam rumah tangga. 14
Mengenai larangan KDRT menurut Undang-Undang No.
23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga terdapat dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal
9. Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah
tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya
dengan cara:
1. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan
rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
2. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya

Aroma Elmina Martha, 2015, Hukum KDRT, Aswaja Pressindo,


14

Yogyakarta, hlm. 59-62


kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,
dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
3. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa
pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan
seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai,
pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk
tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan
seksual meliputi:
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan
terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah
tangga tersebut;

b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah


seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan
orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan
tertentu.
4. Penelantaran rumah tangga
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam
lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum
yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan
atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran
juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam
atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah
kendali orang tersebut.15
Pengertian menelantarkan adalah kelalaian dalam
memberikan kebutuhan hidup pada seseorang yang
Badriyah Khaleed, 2015, Penyelesaian Hukum KDRT, PUSTAKA
15

YUSTISIA, Yogyakarta, hlm. 18-19


memiliki ketergantungan kepada pihak lain, khususnya
dalam lingkungan rumah tangga. Kurang menyediakan
sarana perawatan kesehatan, pemberian makanan,
pakaian dan perumahan yang sesuai merupakan faktor
utama dalam menentukan adanya penelantaran.
Namun, harus hati-hati untuk membedakan antara
“ketidak mampuan ekonomis” dengan “penelantaran
yang disengaja”. Bentuk kekerasan ini menonjol
khususnya terhadap anak karena anak belum mampu
mengurus dirinya.16

3. Lingkup Rumah Tangga


Lingkup rumah tangga menurut Undang-Undang No. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga meliputi:
a. Suami, istri, dan anak. Termasuk juga anak angkat dan
anak tiri.
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga
dengan orang karena hubungan darah, perkawinan,
persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap
dalam rumah tangga. Hubungan perkawinan misalnya
mertua, menantu, ipar dan besan,
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan
menetap dalam rumah tangga tersebut. Orang yang
bekerja dipandang sebagai anggota keluarga dalam
jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang
bersangkutan.
Sehingga apabila melihat aturan tersebut di atas, maka
KDRT bukan hanya dilakukan terhadap pasangan suami atau

16
Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 104
istri saja. Tetapi KDRT dapat terjadi antara majikan dengan
assistant rumah tangga (ART), orang tua terhadap anaknya
dan lain-lain.17
Pengertian “rumah tangga” tidak tercantum dalam
ketentuan khusus, tetapi yang dapat kita jumpai dan pahami
adalah pengertian “keluarga” yang tercantum dalam Pasal 1
angka 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bunyi Pasal 1
angka 30 sebagai berikut: “keluarga adalah mereka yang
mempunyai hubungan darah sampai derajad tertentu atau
hubungan perkawinan”.
Kualifikasi “suami istri” adalah seorang pria dan wanita
yang terikat dalam perkawinan yang sah baik yang dicatatkan
maupun yang tidak dicatakan yang membentuk keluarga
(rumah tangga). Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga yang dimaksud sebagai anak yaitu meliputi anak
angkat dan juga anak tiri.
Rumah tangga seharusnya adalah tempat berlindung
bagi seluruh anggota keluarga. Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan merumuskan bahwa dasar perkawinan
adalah adanya ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan untuk
membentuk (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti
rumah tangga yang seharusnya menjadi tempat aman dan
bagi anggotanya karena keluarga dibangun oleh suami-istri
atas dasar ikatan lahir dan batin diantara keduanya. Selain
itu, menurut pasal 33 Undang-Undang Perkawinan

17
Badriyah Khaleed, Op cit, hlm. 17
merumuskan bahwa: “suami-istri wajib saling cinta mencintai,
hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan
batin yang satu kepada yang lain.”

H. Maksud dan Tujuan Penelitian


Maksud dari penulisan hukum dalam bentuk Skripsi ini
ialah sebai berikut :
1. Untuk memahami bagaimanakah tinjauan Undang-Undang
No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan Dalam
Rumah Tangga mengenai penelantaran oleh suami dalam
lingkup rumah tangga.
2. Untuk memahami bagaimana kasus-kasus penelantaran
dalam lingkup rumah tangga oleh suami yang dialami
beberapa masyarakat Desa diwilayah hukum Polres
Sukabumi, sehingga dapat mengetahui dan memahami
faktor-faktor penyebab terjadinya kasus-kasus penelantaran
oleh suami tersebut.
3. Untuk memahami faktor-faktor yang menyebabkan
penegakan hukum terhadap kasus penelantaran dalam
lingkup rumah tangga oleh suami terhambat.

Sedangkan tujuan dari penulisan hukum ini ialah untuk


memenuhi tugas akhir dan syarat untuk ditempuh agar
mahasiswa memiliki bukti untuk mendapatkan gelar sarjana
hukum pada Sekolah Tinggi Hukum Pasundan Sukabumi dan
dapat mengimplikasikan teori yang telah dipelajari dan
dipraktekan dalam sebuah penulisan hukum.

I. Kegunaan Penelitian

Dengan adanya penelitian ini, terdapat hasil yang dapat


diperoleh penulis, diantaranya yaitu :
1. Secara Teoritis :
a. Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menambah
wawasan, memberikan informasi dan ilmu pengetahuan
dalam bidang hukum pidana, khususnya yang berkaitan
dengan penelantaran dalam lingkup rumah tangga
terhadap tinjauan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan


informasi kepada masyarakat, lembaga hukum,
pemerintah dan aparat penegak hukum tentang
eksistensi pasal-pasal yang berkaitan dengan
penelantaran dalam lingkup rumah tangga.

2. Secara Praktis :
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
masukkan bagi pemerintah, aparat penegak hukum, dan
masyarakat tentang hal-hal yang harus dilakukan dalam
upaya menanggulangi penelantaran dalam lingkup rumah
tangga, dan memberikan perlindungan bagi terjaminnya hak-
hak istri dan anak.

J. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan
metode penelitian hukum normative yuridis yang didukung
oleh penelitian empiris yuridis. Penelitian hukum normative
yuridis, penulis melakukan penelitian terhadap perundang-
undangan dan bahan hukum yang berhubungan dengan
permasalahan dalam skripsi ini. Penelitian hukum normatif
disebut juga dengan penelitian hukum doktrinal. Penelitian
hukum doktrinal hukum dikonsepkan sebagai apa yang
tertulis didalam peraturan perundang-undangan (law in the
books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma
yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap
pantas.18
Dalam hal penelitian hukum empiris yuridis, penelitian
dilakukan dengan cara bertemu langsung dengan informan
dan melakukan wawancara untuk memperoleh data atau
informasi yang berhubungan dengan permasalahan yang
dibahas.

2. Jenis Data dan Sumber Data


Sumber data adalah subjek dari mana data diperoleh.
Sumber data dapat diperoleh dari data primer dan data
sekunder. Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah
data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui
wawancara dengan informan, yaitu dengan 2 (dua) orang
Pejabat Polres Sukabumi, 3 (tiga) orang Aparatur Desa
Wilayah Hukum Polres Sukabumi, dan 4 (empat) orang
masyarakat Desa Wilayah hukum Polres Sukabumi yang
menjadi korban penelantaran dalam lingkup rumah tangga.
Data sekunder meliputi bahan hukum primer, dan bahan
hukum tertier. Bahan hukum primer yaitu segala peraturan
yang dibuat oleh lembaga hukum yang mengikat, misalnya
Undang-Undang. Dikatakan bahwa bahan hukum primer
adalah pernyataan yang memiliki otoritas hukum yang
ditetapkan oleh suatu cabang kekuasaan pemerintahan yang
meliputi: undang-undang yang dibuat parlemen, putusan-

18
Muslan Abdurrahman, 2009, Sosiologi dan Metode Penelitian
Hukum, UMM Press, Malang, hlm. 127
putusan pengadilan dan peraturan eksekutif/administrative.19
Bahan hukum tertier misalnya buku-buku, kamus, dan situs
internet.

3. Metode Pengumpulan Data


Metode yang digunakan dalam pengumpulan data pada
penulisan skripsi ini adalah:
a. Studi Kepustakaan
Studi pustaka adalah suatu cara memperoleh data dengan
cara mengkaji berbagai peraturan perundang-undanfann,
buku-buku, literatur, situs internet yang berkaitan dengan
permasalahan dalam skripsi ini.
b. Wawancara
Wawancara merupakan suatu proses interaksi dan
komunikasi, dalam proses ini hasil wawancara ditentukan
beberapa faktor yang berinteraksi dan mempengaruhi arus
informasi.20 Wawancara dilakukan kepada: 2 (dua) orang
Pejabat Polres Sukabumi, 3 (tiga) orang Aparatur Desa
Wilayah Hukum Polres Sukabumi, dan 4 (empat) orang
masyarakat Desa Wilayah hukum Polres Sukabumi yang
menjadi korban penelantaran dalam lingkup rumah tangga.

4. Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan
menggunakan analisis kualitatif, yang mana data sekunder
dan data primer yang diperoleh kemudian dianalisis secara
kualitatif untuk dapat menjawab permasalahan dalam
skripsi ini. Dan untuk penjabaran permasalahannya akan
digunakan studi deskriptif dimana pemecahan masalah

19
I Made Pasek Diantha, 2016, Metodologi Penelitian Hukum Normatif
dalam Justifikasi Teori Hukum, PRENADA MEDIA GROUP, Jakarta, hlm. 143
20
Ibid, hlm. 114
dilakukan dengan menggambarkan keadaan objek
penelitian berdasarkan fakta yang ada. Setelah diuraikan
baru kemudian diambil kesimpulan yang dianggap dapat
menjawab permasalahan dalam studi kasus. Penelitian
deskriptif pada umumnya dengan tujuan utama, yaitu
menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik
objek dan subjek yang diteliti secara tepat. Menurut Zuriah
“Penelitian deksriptif adalah penelitian yang diarahkan
untuk memberikan gejala-gejala dan fakta-fakta atau
kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat, dalam
penelitian deksriptif cenderung tidak perlu mencari atau
menerangkan saling hubungan dan menguji hipotesis.”
Penelitian bersifat deskriptif adalah suatu analisis data yang
tidak keluar dari ruang lingkup sampel, yang berdasarkan
teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk
menjelaskan tentang seperangkat data atau menunjukkan
komparasi data yang ada hubungan dengan seperangkat
data lain. Dengan teknik deskriptif dimaksudkan peneliti
memaparkan apa adanya tentang suatu peristiwa hukum
atau kondisi hukum. Peristiwa hukum adalah peristiwa
yang beraspek hukum, terjadi disuatu tempat tertentu pada
saat tertentu.21

K. Waktu Dan Lokasi Penelitian


Waktu Penlitian dilakukan selama 2 (dua) bulan 10
(sepuluh) hari. Adapun lokasi Penelitian ini dilakukan di Kantor
Polres Sukabumi, Desa-desa Wilayah Hukum Polres Sukabumi,
dan Perpustakaan STH Pasundan Sukabumi.

21
Ibid, hlm. 152
L. Sistematika Penulisan
- Bagian awal
1. Halaman judul
2. Halaman persetujuan tim pembimbing
3. Halaman Pengesahan Ketua
4. Abstrak
5. Kata Pengantar
6. Daftar Isi
- Bagian Isi :
BAB I Pendahuluan
Dalam bab ini akan diuraikan tentang Latar
Belakang, identifikasi Masalah, Tujuan Penelitian,
Kegunaan Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode
Penelitian dan Sistemanika Penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam Bab ini menguraikan teori-teori tinjauan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
terhadap penelantaran oleh suami dalam rumah
tangga dan bagaimana pertanggungjawaban terhadap
pelaku penelantaran dalam lingkup rumah tangga
berdasarkan Undang- Undang No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
Bab III KASUS-KASUS PENELANTARAN DALAM LINGKUP
RUMAH TANGGA OLEH SUAMI PADA
MASYARAKAT DESA WILAYAH HUKUM POLRES
SUKABUMI
Dalam bab ini memuat kasus-kasus penelantaran
dalam rumah tangga oleh suami pada masyarakat
Desa Wilayah Hukum Polres Sukabumi dan faktor-
faktor yang menyebabkan terjadinya penelantaran
oleh suami pada masyarakat Desa Wilayah Hukum
Polres Sukabumi
BAB IV FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT PENEGAKAN
HUKUM TERHADAP SUAMI YANG MELAKUKAN
PENELANTARAN DALAM LINGKUP RUMAH
TANGGA
Dalam bab ini memuat mengenai faktor-faktor
penghambat penegakan hukum terhadap suami
yang melakukan penelantaran dalam rumah
tangganya baik dari faktor internal dan eksternal.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini memuat kesimpulan dan saran.
Kesimpulan merupakan jabaran atas identifikasi
masalah dan saran memuat usulan yang
menyangkut aspek operasional konkrit dan praktis.
- Bagian akhir:
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdurrahman, Muslan. 2009. Sosiologi dan Metode Penelitian


Hukum. Malang: UMM Press.

Dellyana, Shanty. 1988. Wanita dan Anak-Anak di Mata Hukum.


Yogyakarta: Liberty.

Ediwarman. 2014. Penegakan Hukum Dalam Presfektif


Kriminologi. Yogyakarta: Genta Publishing.

Elmina, Aroma Martha. 2015. Hukum KDRT. Yogyakarta: Aswaja


Pressindo.

Hardiati, Moerti Soeroso. 2010. Kekerasan dalam Rumah


Tangga Dalam Prespektif Yuridis Victimologis.
Jakarta:Sinar Grafika Offset.

Hasan, Mustofa. 2011. Pengantar Hukum Keluarga. Bandung:


CV PUSTAKA SETIA.

Khaleed, Badriyah. 2015. Penyelesaian Hukum KDRT.


Yogyakarta:PUSTAKA YUSTISIA.

Made, I Pasek Diantha. 2016. Metodologi Penelitian Hukum


Normatif dalam Justifikasi Teori Hukum. Jakarta:PRENADA
MEDIA GROUP.

Rahardjo, Satjipto. 2009. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan


Sosiologis. Yogyakarta: Genta Publishing.

Saepudin, Asep Jahar dkk. 2013. Hukum Keluarga, Pidana


dan Bisnis. Jakarta: Kencana.
Samadani, Adil. 2013. Kompetensi Pengadilan Agama Terhadap
Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Yogyakarta:
Graha Ilmu.

S. Praja, Juhaya dkk. 1982. Delik Agama Dalam Hukum Pidana


Di Indonesia. Bandung: Angkasa Bandung.

Sianturi, S.R. 1986. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan


Penerapannya. Jakarta: Alumni- AHAEM-PETEHAEM.

Syaifuddin, Muhammad dkk. 2014. Hukum Perceraian. Jakarta


Sinar:Grafika. Syamsuddin, Aziz. 2011. Tindak Pidana
Khusus. Jakarta:Sinar Grafika.

Taufik, Mohammad Makaro dkk. 2013. Hukum Perlindungan


Anak, dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Jakarta:PT RINEKA CIPTA.

B. Perundang-Undangan

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945
2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana
3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
4. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana

5. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan


Kekerasan Dalam rumah tangga.

C. Jurnal

1. Abdul Aziz, Islam dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,


Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Nurul Iman, Bogor,
diakses melalui.
http://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:KZj5Y8DuIacJ:journal.uinjkt.ac.id/index.php/kordi
nat/article/download/6460/3956+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl
=id&client=firefox-b-ab pada 12 november 2018 pukul 21.00
WIB.

2. Khairullah dkk, 2017, Tindak Pidana Penelantaran Dalam


Rumah Tangga di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri
Kualasimpang,vol 12 no 1, diakses melalui
https://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:9drChd6P1V0J:https://media.neliti.commedia/publicat
ions/240389-tindak-pidana-penelantaran-dalam-
rumahb3608043.pdf+&cd=3&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-
b-ab pada 12 November 2018 pukul 21.26 WIB

D. Internet

Anda mungkin juga menyukai