SKRIPSI
DOSEN PEMBINGBING
LUKMAN PRABOWO S.H., M.H.
( ) ( )
Daftar isi
A. Judul.....................................................................................................................1
Mengetahui :
C. Bidang Ilmu...............1
Lukman Prabowo S.H., M.H.
D. Bentuk Penulisan
Hukum.......................................................................................................................1
F. Identifikasi Masalah........................................................................................6
G. Kerangka Pemikiran.......................................................................................6
I. Kegunaan Penelitian.....................................................................................20
J. Metode Penelitian..........................................................................................21
K. Waktu Dan Lokasi Penelitian....................................................................24
L. Sistematika Penulisan.................................................................................24
- Bagian awal..................................................................................................24
- Bagian akhir:...............................................................................................26
A. Judul
B. Pelaksana
NAMA : Muhamad Ilham Maulana Yusuf
NIM : 017330035
C. Bidang Ilmu
Hukum Pidana
3
Muhammad Syaifuddin dkk, 2014, Hukum Perceraian, Sinar
Grafika, Jakarta, hlm. 5
Polres Sukabumi dan tidak memberikan perlindungan kepada
korbannya sama sekali.
Dalam kenyataannya kasus KDRT banyak terjadi, tetapi
sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan
terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, oleh karena
itu diperlukan pengaturan tentang tindak pidana kekerasan
dalam rumah tangga secara tersendiri karena mempunyai
kekhasan, walaupun secara umum di dalam KUHP telah diatur
mengenai penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran
orang yang perlu diberi nafkah dan kehidupan. Pembaharuan
hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau
tersubordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat
diperlukan sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan,
terutama kekerasan dalam rumah tangga. Pembaharuan
hukum tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada
belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan
hukum masyarakat. Mendasarkan pada hal tersebut maka
dibentuklah Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. yang tercantum
dalam Pasal 9 ayat (1) yakni: “setiap orang dilarang
menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan
atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan
atau pemeliharaan kepada orang tersebut”. Dimana pelaku
penelantaran dalam lingkup rumah tangga ini berdasarkan
Pasal 49 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 dapat dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda
paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
Dimana Undang-Undang ini terkait erat dengan beberapa
peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku
sebelumnya antara lain KUHP, Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1984 tentang Pengesahan konvensi mengenai Penghapusan
segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on
the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women),
dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (Guse Prayudi, 2007:17). UU PKDRT selain mengatur
ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap
korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur spesifik
kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-
unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana
penganiayaan yang diatur dalam KUHP. Selain itu, UU PKDRT
juga mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum,
tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, atau
pembimbing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih
sensitive dan reponsif terhadap kepentingan rumah tanngga
yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan
rumah tangga. Tindak pidana penelantaran orang dalam rumah
tangga yaitu isteri dan anak, dan orang yang menjadi tanggung
jawab (ikut dalam rumah tangga tersebut) diatur di dalam UU
No.23 tahun 2004 yang mana ancaman hukumannya lebih
ringan dibandingkan dengan kekerasan atau penganiayaan
dalam rumah tangga. Hal ini mengakibatkan banyaknya suami
yang tidak mengindahkan ancaman hukuman yang tertera
dalam pasal 49 UU No 23 tahun 2004, sehingga mereka dapat
memperlakukan penelantaran terhadap isterinya dengan
sewenang-wenang atas kekuasaannya sebagai kepala keluarga.
Penelantaran dalam lingkup rumah tangga ini
memberikan dampak yang cukup serius, baik terhadap istri
maupun anak yang masih membutuhkan kasih sayang dan
kebutuhan ekonomi yang cukup besar untuk memenuhi
perawatan kesehatan dan pendidikannya sebagai generasi
penerus bangsa, perlu mendapatkan perhatian serius dari pihak
terkait untuk memberikan peningkatan dalam penegakan
hukum.
Maka dari latar belakang tersebut, nantinya akan
digunakan untuk menyusun penulisan hukum yang berjudul
“Penelantaran Dalam Lingkup Rumah Tangga Oleh Suami
dihubungkan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga”
F. Identifikasi Masalah
Adapun yang menjadi masalah hukumnya adalah :
1. Bagaimanakah Tinjauan Undang-Undang No. 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Terhadap Penegakan Penelantaran orang Oleh Suami
Dalam Lingkup Rumah Tangga?
2. Bagaimana Kasus-Kasus Penelantaran Oleh Suami Dalam
Lingkup Rumah Tangga Yang Terjadi Pada Desa di Wilayah
hukum Polres Sukabumi ?
3. Faktor-Faktor Apakah Yang Menghambat Penegakan Hukum
Terhadap Suami Yang Melakukan Penelantaran Dalam
Lingkup Rumah Tangga?
G. Kerangka Pemikiran
1. Tanggungjawab Suami Terhadap Istri
Bandung,
yang merupakan kewajiban suami dan kewajiban suami yang
menjadi hak istri. Menurut Sayyid Sabiq, hak dan kewajiban
suami istri ada tiga macam, yaitu :
a. Hak istri atas suami
b. Hak suami atas istri
c. Hak bersama
Hak-hak yang harus diterima oleh istri, pada
hakikatnya merupakan upaya untuk mengangkat harkat dan
martabat kaum perempuan pada umumnya. Zaman dahulu,
hak-hak perempuan hampir tidak ada dan yang tampak
hanyalah kewajiban. Hal ini karena status perempuan
dianggap sangat rendah dan hampir dianggap sebagai sesuatu
yang tidak berguna, seperti yang terjadi pada masa Yunani
kuno dan hampir di semua negeri. Pandangan itu boleh jadi
disebabkan oleh situasi dan kondisi ketika itu, yang
memerlukan kekuatan fisik untuk mempertahankan hidup.
Salah satu upaya mengangkat harkat dan martabat
perempuan adalah pengakuan terhadap segala sesuatu yang
menjadi hak-haknya. Sebagaimana dalam islam hak
pernikahan yang pertama ditetapkan adalah hak perempuan
menerima mahar.
Hak dan kewajiban suami istri dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 terdapat dalam Bab VI Pasal 30-34.
Dalam Pasal 30 disebutkan: “suami istri memikul kewajiban
yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi
sendiri dasar dari susunan masyarakat”.
5
Ibid, hlm. 170-172
perempuan terpaksa bekerja sebagai buruh kasar di jalan-
jalan raya, di pabrik-pabrik, dan sebagainya. Bahkan pada
malam hari pun buruh wanita itu dipekerjakan, sehingga
situasi seperti ini dapat mengundang timbulnya kejahatan
kesusilaan. Laki-laki yang menjadi pemimpin dan selalu
berdekatan dengan buruh wanita, sehubungan dengan
pekerjaan buruh tersebut, akan menyalahgunakan
kesempatan dan melakukan kejahatan kesusilaan yang
biasanya berakibat menyedihkan terhadap buruh wanita.
Dapat pula ditambahkan di sini bahwa perempuan
memutuskan bekerja di luar rumah dengan berbagai alasan
dan tujuan, antara lain untuk mendapatkan pengakuan akan
keberadaanya (eksistensinya) di dalam masyarakat.
Perempuan golongan tersebut berpendapat bahwa perempuan
pun mempunyai kesempatan dan potensi yang tidak kalah
dengan laki-laki. Namun, di sisi lain terdapat sekelompok
perempuan yang menginginkan hidup berkecukupan dalam
segi materi, tanpa melakukan pekerjaan yang berat, meskipun
harus mengabaikan harga dirinya. Misalnya terjun kedunia
prostitusi atau dunia malam yang hanya mengandalkan atau
bermodal kecantikan fisik saja. Kelompok ini seringkali
merupakan penghambat perjuangan kaum perempuan untuk
maju, untuk diakui eksistensinya, sehingga sering kali
perjuangan perempuan untuk meraih kedudukannya dan
perannya di dalam masyarakat, mendapat pandangan sinis
dari sebagian orang.6
6
Moerti Hadiati Soeroso,Op cit, hlm.55
tangga mereka bertindak sebagai “pendamping” suami,
sebagai mitra sejajar dan bukan lagi sekedar menjadi “konco
wingking” (teman belakang). Padahal tidak dapat dipungkiri
justru peran dalam sektor domestik tersebut mampu menjadi
motivator bagi suami dan anak-anak untuk lebih maju merai
keberhasilan di segala bidang dan mewujudkan cita-cita.7
7
Ibid, hlm.56
8
Mustofa Hasan, Op cit, hlm. 173
9
Ibid, hlm. 174
10
Ibid, hlm. 175
11
Ibid, hlm. 176
1. Menempatkan kaum perempun sebagai istri yang
salehah dan mampu mengangkat harkat dan
martabatnya sendiri;
2. Mengangkat kepemimpinan istri di dalam mengurusi
rumah tangga;
3. Menjadikan istri sebagai pendidikan anak-anaknya;
4. Menggauli istri dengan baik dan benar menurut
syariat islam;
5. Menjadikan istri sebagai teladan anak-anaknya.
13
Ibid, hlm. 364
Konsep kekerasan ekonomi justru dipertanyakan,
apakah kekerasan ekonomi itu dalam arti mencari nafkah
atau pemaksaan harus membiayai rumah tangga dan
sebagainya, atau apakah ketentuan yang berkenaan dengan
adat dan agama. Termasuk pertanyaan jika suami melarang
istrinya bekerja apakah masuk dalam kategori kekerasan
ekonomi, jadi harus ada penjelasannya. Berbagai kriteria ini
menjadi perdebatan yang cukup panjang lebar. Ada juga
alasan lain, bila menggunakan istilah kekerasan ekonomi
nanti akan banyak penyalahgunaan istilah ekonomi. Alasan
pertimbangan beragam. Kalimat penelantaran akhirnya
menjadi jalan tengah, sehingga akhirnya diusulkan,
redaksional kekerasan ekonomi diganti dengan penelantaran.
Namun pertanyaan selanjutnya ialah, apakah pelaku
penelantaran selalu diasumsikan pada posisi pasangan
suami sebagai pelaku, dan apakah mungkin istri dapat
dipidana jika melakukan penelantaran dalam rumah tangga. 14
Mengenai larangan KDRT menurut Undang-Undang No.
23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga terdapat dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal
9. Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah
tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya
dengan cara:
1. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan
rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
2. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
16
Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 104
istri saja. Tetapi KDRT dapat terjadi antara majikan dengan
assistant rumah tangga (ART), orang tua terhadap anaknya
dan lain-lain.17
Pengertian “rumah tangga” tidak tercantum dalam
ketentuan khusus, tetapi yang dapat kita jumpai dan pahami
adalah pengertian “keluarga” yang tercantum dalam Pasal 1
angka 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bunyi Pasal 1
angka 30 sebagai berikut: “keluarga adalah mereka yang
mempunyai hubungan darah sampai derajad tertentu atau
hubungan perkawinan”.
Kualifikasi “suami istri” adalah seorang pria dan wanita
yang terikat dalam perkawinan yang sah baik yang dicatatkan
maupun yang tidak dicatakan yang membentuk keluarga
(rumah tangga). Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga yang dimaksud sebagai anak yaitu meliputi anak
angkat dan juga anak tiri.
Rumah tangga seharusnya adalah tempat berlindung
bagi seluruh anggota keluarga. Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan merumuskan bahwa dasar perkawinan
adalah adanya ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan untuk
membentuk (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti
rumah tangga yang seharusnya menjadi tempat aman dan
bagi anggotanya karena keluarga dibangun oleh suami-istri
atas dasar ikatan lahir dan batin diantara keduanya. Selain
itu, menurut pasal 33 Undang-Undang Perkawinan
17
Badriyah Khaleed, Op cit, hlm. 17
merumuskan bahwa: “suami-istri wajib saling cinta mencintai,
hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan
batin yang satu kepada yang lain.”
I. Kegunaan Penelitian
2. Secara Praktis :
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
masukkan bagi pemerintah, aparat penegak hukum, dan
masyarakat tentang hal-hal yang harus dilakukan dalam
upaya menanggulangi penelantaran dalam lingkup rumah
tangga, dan memberikan perlindungan bagi terjaminnya hak-
hak istri dan anak.
J. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan
metode penelitian hukum normative yuridis yang didukung
oleh penelitian empiris yuridis. Penelitian hukum normative
yuridis, penulis melakukan penelitian terhadap perundang-
undangan dan bahan hukum yang berhubungan dengan
permasalahan dalam skripsi ini. Penelitian hukum normatif
disebut juga dengan penelitian hukum doktrinal. Penelitian
hukum doktrinal hukum dikonsepkan sebagai apa yang
tertulis didalam peraturan perundang-undangan (law in the
books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma
yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap
pantas.18
Dalam hal penelitian hukum empiris yuridis, penelitian
dilakukan dengan cara bertemu langsung dengan informan
dan melakukan wawancara untuk memperoleh data atau
informasi yang berhubungan dengan permasalahan yang
dibahas.
18
Muslan Abdurrahman, 2009, Sosiologi dan Metode Penelitian
Hukum, UMM Press, Malang, hlm. 127
putusan pengadilan dan peraturan eksekutif/administrative.19
Bahan hukum tertier misalnya buku-buku, kamus, dan situs
internet.
4. Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan
menggunakan analisis kualitatif, yang mana data sekunder
dan data primer yang diperoleh kemudian dianalisis secara
kualitatif untuk dapat menjawab permasalahan dalam
skripsi ini. Dan untuk penjabaran permasalahannya akan
digunakan studi deskriptif dimana pemecahan masalah
19
I Made Pasek Diantha, 2016, Metodologi Penelitian Hukum Normatif
dalam Justifikasi Teori Hukum, PRENADA MEDIA GROUP, Jakarta, hlm. 143
20
Ibid, hlm. 114
dilakukan dengan menggambarkan keadaan objek
penelitian berdasarkan fakta yang ada. Setelah diuraikan
baru kemudian diambil kesimpulan yang dianggap dapat
menjawab permasalahan dalam studi kasus. Penelitian
deskriptif pada umumnya dengan tujuan utama, yaitu
menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik
objek dan subjek yang diteliti secara tepat. Menurut Zuriah
“Penelitian deksriptif adalah penelitian yang diarahkan
untuk memberikan gejala-gejala dan fakta-fakta atau
kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat, dalam
penelitian deksriptif cenderung tidak perlu mencari atau
menerangkan saling hubungan dan menguji hipotesis.”
Penelitian bersifat deskriptif adalah suatu analisis data yang
tidak keluar dari ruang lingkup sampel, yang berdasarkan
teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk
menjelaskan tentang seperangkat data atau menunjukkan
komparasi data yang ada hubungan dengan seperangkat
data lain. Dengan teknik deskriptif dimaksudkan peneliti
memaparkan apa adanya tentang suatu peristiwa hukum
atau kondisi hukum. Peristiwa hukum adalah peristiwa
yang beraspek hukum, terjadi disuatu tempat tertentu pada
saat tertentu.21
21
Ibid, hlm. 152
L. Sistematika Penulisan
- Bagian awal
1. Halaman judul
2. Halaman persetujuan tim pembimbing
3. Halaman Pengesahan Ketua
4. Abstrak
5. Kata Pengantar
6. Daftar Isi
- Bagian Isi :
BAB I Pendahuluan
Dalam bab ini akan diuraikan tentang Latar
Belakang, identifikasi Masalah, Tujuan Penelitian,
Kegunaan Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode
Penelitian dan Sistemanika Penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam Bab ini menguraikan teori-teori tinjauan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
terhadap penelantaran oleh suami dalam rumah
tangga dan bagaimana pertanggungjawaban terhadap
pelaku penelantaran dalam lingkup rumah tangga
berdasarkan Undang- Undang No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
Bab III KASUS-KASUS PENELANTARAN DALAM LINGKUP
RUMAH TANGGA OLEH SUAMI PADA
MASYARAKAT DESA WILAYAH HUKUM POLRES
SUKABUMI
Dalam bab ini memuat kasus-kasus penelantaran
dalam rumah tangga oleh suami pada masyarakat
Desa Wilayah Hukum Polres Sukabumi dan faktor-
faktor yang menyebabkan terjadinya penelantaran
oleh suami pada masyarakat Desa Wilayah Hukum
Polres Sukabumi
BAB IV FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT PENEGAKAN
HUKUM TERHADAP SUAMI YANG MELAKUKAN
PENELANTARAN DALAM LINGKUP RUMAH
TANGGA
Dalam bab ini memuat mengenai faktor-faktor
penghambat penegakan hukum terhadap suami
yang melakukan penelantaran dalam rumah
tangganya baik dari faktor internal dan eksternal.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini memuat kesimpulan dan saran.
Kesimpulan merupakan jabaran atas identifikasi
masalah dan saran memuat usulan yang
menyangkut aspek operasional konkrit dan praktis.
- Bagian akhir:
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
B. Perundang-Undangan
C. Jurnal
D. Internet