Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

FAKTOR RISIKO TERJADINYA CORPUS ALIENUM AKIBAT KERJA PADA


TUKANG LAS DI BENGKEL LAS PUTRA SALUYU

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat

Disusun Oleh:
Mentari Puspitasari Ardiani
1913020047

Pembimbing:
dr. Dyah Retnani Basuki, M.Kes

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2020
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan referat dengan judul


FAKTOR RISIKO TERJADINYA CURPUS ALIENUM AKIBAT KERJA PADA
TUKANG LAS DI BENGKEL LAS PUTRA SALUYU

Disusun Oleh:
Mentari Puspitasari Ardiani
1913020047

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal: Kamis/04 Juni 2020

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,

dr. Dyah Retnani Basuki, M.Kes

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena telah melimpahkan
rahmatNya sehingga referat tentang “Faktor Risiko Terjadinya Curpus Alienum Akibat Kerja
Pada Tukang Las Di Bengkel Las Putra Saluyu ” ini dapat terselesaikan tepat pada
waktunya. Referat ini dibuat untuk memenuhi syarat kelulusan dalam Kepaniteraan Klinik
Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Komunitas. Tak lupa kami ucapkan terimakasih pula kepada:

1. dr. . Dyah Retnani Basuki, M.Kes, selaku pembimbing dalam menyusun referat ini.
2. Pengelola Bengkl Las Putra Saluyu yang telah memberikan informasi, menyempatkan
waktu dalam wawancara untuk menyusun referat ini.
3. Teman-teman yang membantu dalam penyelesaian referat ini.

Semoga referat ini bermanfaat untuk memberikan bahasan masalah, potensi penyakit dan
saran mengenai kesehatan dan keselamatan kerja. Tentunya rferat ini masih sangat jauh dari
kata sempurna. Untuk itu kepada pembimbing kami mohon masukannya demi perbaikan
penyusunan referat kami di masa yang akan datang.

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul. ........................................................................................ i

Lembar Pengesahan ................................................................................. ii

Kata Pengantar ......................................................................................... iii

Daftar Isi .................................................................................................. iv

BAB 1 PENDAHULUAN\

A. Latar Belakang .................................................................................... 5

B. Tujuan ................................................................................................. 5

C. Manfaat ............................................................................................... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

A. Bengkel Las ........................................................................................ 7

B. Kesehatan dan Keselamatan Kerja ..................................................... 8

C. Curpus Alienum Akibat Kerja ............................................................ 12

BAB 3 PEMBAHASAN ......................................................................... 15

BAB 4 PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................................... 16

B. Saran ................................................................................................... 16

Dokumentasi ............................................................................................ 18

Daftar Pustaka.......................................................................................... 19

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Keselamatan kesehatan kerja bagi seorang tenaga kerja sangat diperlukan, karena
hal tersebut sangat mempengaruhi dalam melakukan proses produksi suatu pekerjaan,
keselamatan kesehatan kerja itu harus diperhatikan oleh setiap tenaga kerja agar proses
produksi dalam pekerjaan dapat berjalan dengan aman dan baik. Bagi seorang welder
(tukang las) pada pengelasan las listrik, keselamatan kesehatan kerja sangat diperlukan,
oleh karena itu setiap welder harus memperhatikan tata cara yang benar dalam
melakukan proses pengelasan, agar keselamatan kesehatan kerja dapat terwujud
dilingkungan pekerjaan. Oleh karena itu keselamatan kesehatan kerja didalam proses
pengelasan las listrik sangat diperlukan (Direktorat Bina Kesehatan Kerja, 2010).
Ketidak rutinan pekerja gerinda besi dalam memakai kacamata pelindung
mengakibatkan mata pekerja terpapar secara langsung oleh serpihan-serpihan logam besi
pada proses menggerinda. Keluhan bisa ringan sampai berat. Walaupun mata mempunyai
sistem pelindung yang cukup baik seperti rongga orbita, kelopak, dan jaringan lemak
retrobulbar selain terdapatnya refleks memejam atau mengedip, mata masih sering
mendapat trauma dari dunia luar (Wiyosumarto, 2008).
Berdasarkan National fot the prevention of blindness (WHO) memperkirakan
bahwa 55 juta trauma mata terjadi di dunia setiap tahunnya, 750.000 di rawat di rumah
sakit dan lebih kurang 200.000 adalah trauma terbuka bola mata (Azwar, 2009).
Prevalensi trauma mata akibat pekerjaan menggerinda secara Nasional belum
diketahui secara pasti, industri baja merupakan bagian dari pekerjaan menggerinda yang
menempati urutan terbanyak jumlah respondenya, dan mengalami cedera teringgi ketiga
yaitu cedera mata sebesar 14,8% (Riyadina, 2008).

B. TUJUAN
Mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian curpus alienum akibat kerja
pada tukang las di bengkel las putra saluyu sehingga dapat meningkatkan kewaspadaan
diri untuk meningkatkan derajat kesehatan pekerja.

5
C. MANFAAT
1. Memberikan informasi mengenai kondisi lingkungan kerja pada bengkel las putra
saluyu
2. Memberikan informasi mengenai risiko curpus alienum akibat kerja pada tukang las di
bengkel las putra saluyu
3. Memberikan informasi mengenai penerapan keselamatan dan kesehatan kerja pada
karyawan bengkel las putra saluyu

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. BENGKEL LAS
Bengkel las merupakan bengkel yang melayani konstruksi besi dan sejenisnya,
biasanya berupa pagar/pintu besi, teralis pengaman/teralis jendela, tangga, kanopi, rangka
atap dan lain-lain. Proses kegiatan yang dilakukan di bengkel las berdasarkan hasil
observasi adalah pemotongan besi dan penyambungan besi sesuai bentuk yang diinginkan
menggunakan mesin las.
Kebutuhan beberapa bangunan rumah layaknya sebuah perumahan
pastinyamengandalkan jasa las untuk pembuatan pagar besi ataupun pintu rolling door
yang digunakan untuk garasi rumah bahkan juga pembuatan terali jendela dan pintu ,
belum lagi jasa pembuatan awing baik untuk besar maupun ukuran kecil. Oleh karena itu
peluang usaha bengkel las memang berpotensi.
Usaha bengkel las yang diteliti yaitu milik Bapak Sugeng yang berada di Jatiasih,
Bekasi. Usaha ini sudah berdiri kurang lebih 15 tahun. Bengkel ini terletak di pinggir
jalan raya, dan tempatnya lumayan luas, namum banyak juga barang barang yang tidak
beraturan.
Saya mengobservasi bengkel las tersebut, dan melihat bahwa para pekerja hanya
menggunakan masker muka saja tanpa kaca mata untuk melindungi dirinya dan
menggunakan sendal tidak menggunakan sepatu. Saya juga mewawancarai seorang
narasumber. Narasumber tersebut pada observasi dibengkel las adalah seorang bapak
pemilik bengkel yang bernama Pak Sugeng. Beliau mengatakan ada 8 orang pekerja. Para
pekerja diperkerjakan selama sembilan jam, yaitu mulai dari pukul delapan pagi sampai
dengan jam lima sore. Beliau juga memberikan waktu istirahat kepada pekerja yaitu
pada pukul dua belas siang sampai dengan jam satu siang. Beliau mengatakan bahwa para
pekerja sudah diberikan alat-alat keselamatan kerja seperti kaca mata, sepatu, dan efek
peredam suara oleh pihak pemilik bengkel las.
Beliau juga mengatakan banyak sekali pekerja yang tidak menggunakan alat
pelindung diri. Menurutnya, para pekerja juga sangat minim akan pengetahuan tentang
alat pelindungan diri. Dan para pekerja sangat tidak mempedulikan keselamatan kerjanya,
dikarenakan alasan malas dan gerah. Menurutnya para pekerja sangat tidak mempedulikan
keselamatan kerjanya. Beliau juga menceritakan banyak sekali kejadiaan yang menimpa

7
para pekerja terutama pada matanya. Menurutnya dia sudah sering kali mengingatkan
untuk memakai alat pelindung diri. Banyak juga kejadian yang tidak menimpa para
pekerja yang disebabkan karena tidak menggunakan alat pelindungan diri.

B. KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3)


Undang-undang Pokok Kesehatan RI No. 9 Tahun 1960, Bab I Pasal 2, menyebutkan
bahwa keadaan sehat diartikan sebagai kesempurnaan yang meliputi keadaan jasmani, rohani
dan kemasyarakatan, dan bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan
kelemahan-kelemahan lainnya. Penyakit kerja merupakan suatu kondisi abnormal atau suatu
penyakit yang disebabkan oleh kerentanan terhadap faktor lingkungan yang terkait dengan
pekerjaan (Kemenakertrans, 2010).
Kesehatan kerja adalah kondisi yang bebas dari gangguan fisik, mental emosi, atau
rasa sakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja. Sedangkan keselamatan kerja adalah
pengawasan terhadap orang, mesin, material, dan metode yang mencakup lingkungan kerja
agar supaya pekerja tidak mengalami cedera. Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) menurut
Ramli (2013:62) adalah kondisi atau faktor yang mempengaruhi atau dapat mempengaruhi
kesehatan dan keselamatan pekerja atau pekerja lain (termasuk pekerja sementara dan
kontraktor), pengunjung, atau setiap orang di tempat kerja. Tujuan dari keselamatan kerja
antara lain:
a. Para pegawai mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan kerja.
b. Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja dapat digunakan sebaikbaiknya.
c. Agar semua hasil produksi terpelihara keamanannya.
d. Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan gizi pegawai.
e. Agar dapat meningkatkan kegairahan, keserasian dan partisipasi kerja.
f. Terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan kerja.
g. Agar pegawai merasa aman dan terlindungi dalam bekerja.

1. Undang-Undang tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja


Peraturan Undang-Undang tentang Keselamatan dan kesehatan Kerja perlu
disosialisasikan baik itu kepada tenaga kerja maupun pengusaha agar semua memahami
aturan terutama mengenai hak dan kewajiban. Adapun sumber hukum peraturan
perundang-undangan tentang keselamatan dan Kesehatan Kerja antara lain:

8
a. UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) menjelaskan bahwa “Tiap warga Negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
b. UU RI No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. UU tersebut mempertegas
perlindungan tenaga kerja terhadap aspek keselamatan dan kesehatan kerja yang
terdapat dalam pasal 86 dan 87.
1) Pasal 86 ayat (1), menjelaskan bahwa “Setiap pekerja/buruh mempunyai hak
untuk memperoleh atas perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja; moral
dan kesusilaan; dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia
serta nilai-nilai agama.
2) Pasal 87 ayat (1) menjelaskan “Setiap perusahaan wajib menerapkan Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yag terintegrasi dengan system
manajemen perusahaan.
c. UU No 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja mempunyai tujuan untuk memberikan
perlindungan atas keselamatan pekerja, orang lain yang memasuki area kerja , dan
sumber-sumber produksi yang dapat digunakan dengan aman, efektif dan efisien.

2. Penyakit Akibat Kerja (PAK)


Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja,
bahan, proses maupun lingkungan kerja. Dengan demikian, penyakit akibat kerja
merupakan penyakit yang artifisual atau man made disease. Sejalan dengan hal tersebut
terdapat pendapat lain yang menyatakan bahwa Penyakit Akibat Kerja (PAK) ialah
gangguan kesehatan baik jasmani maupun rohani yang ditimbulkan ataupun diperparah
karena aktivitas kerja atau kondisi yang berhubungan dengan pekerjaan. Penyebab
penyakit akibat hubungan kerja dapat dibagi atas 5 golongan, yaitu (Kedokteran Okupasi,
2010):
a. Golongan fisik
Yang termasuk golongan fisik diantaranya yaitu bising, radiasi, suhu ekstrim,
tekanan udara, vibrasi, penerangan.
b. Golongan kimiawi
Merupakan semua bahan kimia dalam bentuk debu, uap, gas, larutan,kabut. Ada
kurang lebih 100.000 bahan kimia yang sudah digunakan dalam proses industri,
namun dalam daftar penyakit ILO, baru dapat diidentifikasi 31 bahan kimia sebagai
penyebab, sehingga dalam daftar ditambah 1 penyakit, untuk bahan kimia lainnya.

9
c. Golongan biologik
Merupakan golongan bakteri, virus, jamur, parasit dan lain-lain
d. Golongan ergonomik
Yang termasuk golongan ergonomik yaitu desain tempat kerja yang kurang
ergonomis, tidak sesuai dengan fisiologi dan anatomi manusia, alat kerja yang tidak
sesuai dan cara kerja yang banyak menggunakan posisi janggal dalam waktu lama
dan atau gerakan-gerakan berulang.
e. Golongan psikososial
Diantaranya adalah beban kerja terlalu berat, monotoni pekerjaan dan lain
sebagainya.
Sedangkan penggolongan penyakit akibat kerja menurut International Labor
Organization (ILO) dan menurut ICD-10 OH yaitu:
a. Diseases caused by agents
 Diseases caused by chemical agents
 Diseases caused by physical agents
 Diseases caused by biological agents
b. Diseases by target organ
 Occupational respiratory diseases
 Occupational skin diseases
 Occupational musculoskeletal diseases
c. Occupational cancer
d. Others

3. Alat Pelindung Diri (APD)


Alat Pelindung Diri adalah seperangkat alat keselamatan yang digunakan oleh
pekerja untuk melindungi seluruh atau seabagian tubuhnya dari kemungkinan adanya
pemaparan potensi bahaya lingkungan kerja terhadap kecelakaan dan penyakit akibat
kerja (Tarwaka, 2008).
Pada proses pengelasan las listrik terdapat hal-hal yang perlu di perhatikan
seorang welder dan semua pihak yang terkait didalamnya terutama dalam keselamatan
kesehatan kerjanya, hal-hal tersebut diantaranya:

10
a. Memakai apron yang berbahan dasar kulit hewan/kain yang tebal yang berlapis
atau baju dan celana panjang yang berbahan dasar kain levis untuk melindingi
tubuhnya dari percikan bunga api dan efek radiasi sinar ultra violet dan ultra
merah yang dapat membahayakan keselamatan kesehatan kerjanya.
b. Menggunakan sarung tangan dan sarung lengan tangan, kedua alat ini
berfungsi hampir sama dengan apron yaitu melindungi dari percikan bunga api
dan efek radiasi sinar ultra violet dan ultra merah yang ditimbulkan oleh las
listrik dan untuk memudahkan pemegangan elektroda.
c. Helm las listrik, helm ini dilingkapi dengan dua kaca hitam dan putih atau satu
kaca hitam yang berfungsi untuk melindungi kulit muka dan mata dari efek
radiasi sinar ultra violet dan ultra merah yang dapat merusak kulit maupun
mata, dimana sinar yang ditimbulkan oleh las listrik tidak boleh dilihat
langsung dengan mata telanjang sampai dengan jarak minimal 16 meter.
d. Memakai sepatu las, untuk melindungi kaki dari percikan bunga api, hal ini
tidak terlalu penting apabila welder telah menggunakan celana panjang yang
berbahan dasar kain tebal seperti kain levis serta memakai sepatu safety yang
standart untuk pengelasan, tetapi tidak ada salahnya jika digunakan.
e. Respirator (alat bantu pernafasan), untuk menjaga pernafasan agar tetap stabil
pada saat melakukan proses pengelasan las listrik dari asap las, dan untuk
melindungi asap dan debu yang beracun masuk ke paru-paru, hal ini boleh
tidak dilakukan apabila kamar las telah mempunyai sister pembuangan asap
dan debu-debu beracun (blower) yang baik, tetapi tidak ada salahnya jika
digunakan, karena pernafasan sangat penting dalam proses metabolisme
manusia.
f. Hal yang perlu lainnya seperti “kamar las”, agar welder dapat bekerja tanpa
gangguan apapun yang mengelilinginya dan dapat berkonsentreasi dengan
maksimal, kamar las juga berfungsi agar orang-orang disekelilingnya tidak
terganggu oleh yang diakibatkan oleh las listrik.

11
C. CORPUS ALIENUM
1. Definisi
Corpus alienum adalah benda asing, merupakan salah satu penyebab terjadinya cedera
mata, sering mengenai sclera, kornea, dan konjungtiva. Meskipun kebanyakan bersifat ringan,
beberapa cedera bisa berakibat serius. Apabila suatu corpus alienum masuk ke dalam bola
mata maka akan terjadi reaksi infeksi yang hebat serta timbul kerusakan dari isi bola mata.
Oleh karena itu, perlu cepat mengenali benda tersebut dan menentukan lokasinya di dalam
bola mata untuk kemudian mengeluarkannya (ilyas,2008).
Benda yang masuk ke dalam bola mata dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu :
1) Benda logam, seperti emas, perak, platina, timah, besi tembaga
2) Benda bukan logam, seperti batu, kaca, bahan pakaian
3) Benda inert, adalah benda yang terbuat dari bahan-bahan yang tidak menimbulkan
reaksi jaringan mata, jika terjadi reaksinya hanya ringan dan tidak mengganggu fungsi
mata. Contoh : emas, platina, batu, kaca, dan porselin
4) Benda reaktif, terdiri dari benda-benda yang dapat menimbulkan reaksi jaringan mata
sehingga mengganggu fungsi mata. Contoh : timah hitam, seng, nikel, alumunium,
tembaga

Beratnya kerusakan pada organ-organ di dalam bola mata tergantung dari :

a. Besarnya corpus alienum,


b. Kecepatan masuknya,
c. Ada atau tidaknya proses infeksi,
d. Jenis bendanya.

2. Patofisiologi
Benda asing di kornea secara umum masuk ke kategori trauma mata ringan. Benda asing
dapat bersarang (menetap) di epitel kornea atau stroma bila benda asing tersebut
diproyeksikan ke arah mata dengan kekuatan yang besar (Ilyas,2008).
Benda asing dapat merangsang timbulnya reaksi inflamasi, mengakibatkan dilatasi
pembuluh darah dan kemudian menyebabkan udem pada kelopak mata, konjungtiva dan
kornea. Sel darah putih juga dilepaskan, mengakibatkan reaksi pada kamera okuli anterior dan
terdapat infiltrate kornea. Jika tidak dihilangkan, benda asing dapat menyebabkan infeksi dan
nekrosis jaringan.

12
3. Penyebab
Penyebab cedera mata pada pemukaan mata adalah:
a. Percikan kaca, besi, keramik
b. Partikel yang terbawa angin
c. Ranting pohon
d. Dan sebagainya

4. Gambaran Klinik
Gejala yang ditimbulkan berupa nyeri, sensasi benda asing, fotofobia, mata merah dan
mata berair banyak. Dalam pemeriksaan oftalmologi, ditemukan visus normal atau menurun,
adanya injeksi konjungtiva atau injeksi silar, terdapat benda asing pada bola mata, fluorescein
(+) ( Vaughan, 2010).

5. Diagnosis
Diagnosis corpus alienum dapat ditegakkan dengan :
1) Anamnesis kejadian trauma
2) Pemeriksaan tajamm penglihatan kedua mata
3) Pemeriksaan dengan oftalmoskop
4) Pemeriksaan keadaan mata yang terkena trauma
5) Bila ada perforasi, maka dilakukan pemeriksaan x-ray orbita

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaannya adalah dengan mengeluarkan benda asing tersebut dari bola mata. Bila
lokasi corpus alienum berada di palpebra dan konjungtiva, kornea maka dengan mudah dapat
dilepaskan setelah pemberian anatesi lokal. Untuk mengeluarkannya, diperlukan kapas lidi
atau jarum suntik tumpul atau tajam. Arah pengambilan, dari tengah ke tepi. Bila benda
bersifat magnetik, maka dapat dikeluarkan dengan magnet portable. Kemudian diberi
antibiotik lokal, siklopegik, dan mata dibebat dengan kassa steril dan diperban (Vaughan,
2010).
Pecahan besi yang terletak di iris, dapat dikeluarkan dengan dibuat insisi di limbus, melalui
insisi tersebut ujung dari magnit dimasukkan untuk menarik benda asing, bila tidak berhasil
dapat dilakukan iridektomi dari iris yang mengandung benda asing tersebut.

13
Pecahan besi yang terletak di dalam bilik mata depan dapat dikeluarkan dengan magnit
sama seperti pada iris. Bila letaknya di lensa juga dapat ditarik dengan magnit, sesudah insisi
pada limbus kornea, jika tidak berhasil dapat dilakukan pengeluaran lensa dengan ekstraksi
linier untuk usia muda dan ekstraksi ekstrakapsuler atau intrakapsuler untuk usia yang tua.
Bila letak corpus alienum berada di dalam badan kaca dapat dikeluarkan dengan giant
magnit setelah insisi dari sklera. Bila tidak berhasil, dapat dilakukan dengan operasi
vitrektomi.

7. Pencegahan
Pencegahan agar tidak masuknya benda asing ke dalam mata, baik dalam bekerja atau
berkendara, maka perlu menggunakan kaca mata pelindung (ilyas,2008).

8. Komplikasi
Komplikasi terjadi tergantung dari jumlah, ukuran, posisi, kedalaman, dan efek dari corpus
alienum tersebut. Jika ukurannya besar, terletak di bagian sentral dimana fokus cahaya pada
kornea dijatuhkan, maka akan dapat mempengaruhi visus. Reaksi inflamasi juga bisa terjadi
jika corpus alienum yang mengenai kornea merupakan benda inert dan reaktif. Sikatrik
maupun perdarahan juga bisa timbul jika menembus cukup dalam.
Bila ukuran corpus alienum tidak besar, dapat diambil dan reaksi sekunder seperti
inflamasi ditangani secepatnya, serta tidak menimbulkan sikatrik pada media refraksi yang
berarti, prognosis bagi pasien adalah baik (Vaughan, 2010).

14
BAB III
PEMBAHASAN

Tempat yang saya observasi adalah sebuah bengkel las di kawasan Jatiasih, Bekasi.
Bengkel las yang saya kunjungi bernama Bengkel Las Putra Saluyu. Bengkel ini terletak di
pinggir jalan Raya dan tempatnya cukup luas. Selain dipenuhi oleh berbagai alat-alat
penunjang dalam bekerja seperti mesin las, mesin pemotong (cutting), alat penghalus, mesin
cor, dan kabel-kabel listrik yang berserakan, bengkel ini juga sangat kotor dan banyak benda
yang dibiarkan begitu saja hingga berdebu dan berkarat.
Narasumber saya pada observasi di bengkel las adalah seorang bapak beusia 35 tahun
yang bernama Pak Sugeng. Pak Sugeng menyakatan pekerjanya bekerja selama sembilan jam
dalam sehari, yaitu mulai pukul delapan pagi sampai dengan jam lima sore. Menurutnya,
untuk bekerja menjadi tukang las tidak memerlukan sekolah khusus, hanya perlu keahlian
yang dapat dipelajari dengan hanya melihat orang lain bekerja. Pak Sugeng menuturkan
bahwa pekerjanya sangat minim sekali pengetahuannya mengenai K3. Dalam bekerjapun
menurutnya yang paling penting hanya kehati-hatian, tanpa berupaya mencegah bahaya yang
mungkin dapat ditimbulkan dari pekerjaannya. Saat saya melakukanobservasi, para pekerja
hanya menggunakan sandal dan masker, tanpa menggunakan kacamata dan sepatu. Ketika
saya menanyakan alasan tidak menggunakan alat pelindung diri yang lengkap, jawaban yang
diberikan yaitu dikarnakan alas an panas dan gerah, pemilik bengkel juga tidak mewajibkan
kepada pekerja yang ada di Bengkel Las Putra Saluyu untuk memakai alat-alat pelindung diri.
Bila ditinjau dari sisi pemilik bengkel las, selama ini tidak memberikan pelatihan
ataupun penyampaian informasi penting terkait bahaya yang ada di tempat kerja tersebut dan
alat pelindung yang diperlukan. Alat-alat yang digunakan juga sebenarnya sudah cukup tua,
namun mereka hanya menggantinya ketika sudah rusak dan tidak dapat diservice lagi atau
bila ada alat produksi terbaru. Dalam kegiatan operasional setiap harinya, pemilik bengkel
tidak melakukan pengawasan ataupun teguran kepada pekerja yang tidak menggunakan alat
pelindung diri. Selama limabelas tahun bengkel las tersebut beroperasi, tidak ada accident
atau kecelakaan yang terjadi. Namun, keluhan yang biasa terjadi yaitu seperti mata merah atau
perih akibat percikan api dari las, penanganan yang dilakukan yaitu dengan menggunakan
obat yang dibeli di warung terdekat, seperti obat tetes mata, atau menngeluarkan secara
manual dengan cottonbud . Jika terjadi hal-hal tersebut, tidak ada upaya penanganan khusus
yang diberikan oleh pemilik bengkel.

15
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis saya terhadap penerapan prinsip manajamen K3 di
Bengkel Las Putra Saluyu, maka dapat dikatakan bahwa manajemen K3 disana belum
sepenuhnya diterapkan. Hal ini dapat dilihat dari belum digunakannya APD yang
sesuai oleh para pekerja, rendahnya pengawasan dari pemilik usaha, dan belum
terciptanya lingkungan kerja yang nyaman serta kondusif bekerja. Hambatan-
hambatan penerapan prinsip K3 di bengkel las tersebut dapat terjadi karena pemilik
usaha dan pekerja menganggap remeh terhadap bahaya yang mungkin terjadi dan juga
faktor pemberi kerja atau pemilik bengkel yang tidak memberikan pelatihan dan
menyediakan alat pelindungan yang memadai. Tingkat pendidikan pekerja pun bisa
mempengaruhi perilaku pekerja, karena dengan tingkat pendidikan atau pengetahuan
yang rendah, pekerja pada umumnya tidak begitu memahami mengenai prinsip K3 dan
kurang mawas diri dalam melakukan pencegahan untuk dirinya sendiri dari setiap
bahaya yang mungkin terjadi. Dalam usaha penerapan manajemen risiko di bengkel
las tersebut, maka perlu adanya kerjasama antara kedua belah pihak yaitu pekerja dan
pemilik usaha.

B. SARAN
Berikut ini hal-hal yang dapat dilakukan untuk upaya perbaikan diantaranya:
a. Bagi Pengusaha
1. Melakukan identifikasi dan penilaian risiko bahaya di tempat kerja.
2. Memberikan promosi dan edukasi tentang prinsip-prinsip K3 di tempat kerja.
3. Menyediakan Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai dengan kebutuhan
pekerja.
4. Meningkatkan pengawasan dan ketanggapan terhadap manajemen kesehatan
dan keselamatan kerja untuk seluruh pekerja.
5. Menyediakan lingkungan kerja yang ergonomis untuk seluruh pekerja.
b. Bagi Pekerja
1. Menggunakan APD yang sudah disediakan oleh pengusaha pada setiap
kegiatan operasional.

16
2. Meningkatkan kesadaran akan pentingnya upaya pencegahan risiko bahaya.
Menaati sistem manajamen K3 yang dibentuk oleh pemilik usaha.

17
DOKUMENTASI

Gambar 1. Kondisi di luar bengkel

Gambar 2. Kondisi didalam bengkel

Gambar 3. Kondisi pada saat bekerja

18
DAFTAR PUSTAKA

Azwar, A. 2009. Keselamatan Kesehatan Kerja pada Proses Penggerindaan. Jakarta : Paduan
Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan Kerja.

ILO. 1998. Encyclopedia Of Occupational Health And Safety, 4th edition.

ILO. 2013. Keselamatan dan Kesehatan Kerja : Sarana untuk Produktivitas. Jakarta : ILO

Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata, Edisi 3. 2008. Balai Penerbit FKUI Jakarta.

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. 2010. Laporan Survey Pusat Keselamatan
dan Kesehatan Kerja Kemeterian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI tahun 2007-2009.
Jakarta: Kemenakertrans

Kolegium Kedokteran Okupasi Indonesia dan Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi


Indonesia. 2010. Konsensus Diagnosis Okupasi sebagai penentuan Penyakit akibat
Kerja. Jakarta: Kedokteran Okupasi

Riyadina. 2008. Cedera Akibat Kerja pada Pekerja Industri di Kawasan Industri Pulo Gadung
Jakarta. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Vol 58. No 5.

Tarwaka. 2008. Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Surakarta : Harapan Press

Vaughan, Daniel. Oftalmologi Umum, Edisi 17. 2010. Widya Medika Jakarta.

Wiryosumarto, H. 2008. Teknologi Penggerindaan. Jakarta : Pustaka Binama Presindo. Pp.


267-277.

19

Anda mungkin juga menyukai