PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini terdapat perhatian yang semakin besar terhadap dunia islam khususnya studi hadis.
Perkembangan cepat yang dialami oleh banyak ilmu serta pengaruhnya yang semakin besar terhadap
kehidupan masyarakat, memaksa kita untuk mempelajari segala hal yang berkaitan dengan bidang ini.
Dengan mengetahui tentang studi hadis maka kita akan lebih memahami dan mempunyai wawasan
yang luas tentang seluk beluk yang berkaitan dengan studi hadis tersebut, sehingga kita sebagai generasi
penerus bangsa mampu meningkatkan dunia pendidikan terutama yang berlandaskan hadis nabi.
Penulis memilih tema klasifikasi hadis ditinjau dari segi kwantitas dan kualitas sanad serta status
wurudnya pada makalah ini, karena disamping mengandung arti dan masalah komplek yang perlu
dicermati dan membutuhkan kreatifitas dalam memecahkannya, tetapi juga dengan adanya pengkajian
ini diharapkan akan memunculkan pemikiran-pemikiran baru yang bermanfaat bagi eksistensi
pendidikan dalam bidang agama, khususnya pada studi hadis. Tentunya hal itu akan memperkaya
pengetahuan kita tentang segala hal yang menyangkut studi hadis, baik dimasa lampau maupun dimasa
yang akan datang.
Pembagian hadis diperlukan dalam upaya untuk mengklasifikasikan hadis, dari sisi kuantitas pembagian
hadis bertujuan untuk mengetahui jumlah rawi pada tiap tingkatan sehingga muncul klasifikasi hadis
mutawattir dan hadis ahad. Sedangkan dari sisi kualitas bertujuan untuk mengetahui keontetikan hadis
dilihat dari shahih, hasan, dhaif dan sebagainya.
Rumusan Masalah
Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
Maksud tinjauan hadis dari segi kuantitasnya, adalah kuantitas hadist disini yaitu dari segi jumlah orang
yang meriwayatkan suatu hadist atau dari segi jumlah sanadnya.. Ditinjau dari segi sedikit atau
banyaknya rawi yang menjadi sumber berita, hadis terbagi menjadi dua macam, yaitu hadis mutawatir
dan hadis ahad.
1. Hadis mutawatir
Setiap hadis pasti mempunyai rawi yang banyak dari berbagai tingkatan. Jika sejumlah sahabat yang
menjadi rawi pertama suatu hadis itu banyak sekali, rawi yang kedua (tabi’in), ketiga (tabi’it – tabi’in)
dan seterusnya sampai pada rawi yang mendewankan (membukukan) dalam keadaan yang sama,
seimbang atau bahkan lebih banyak jumlahnya, maka termasuk Hadis mutawatir.[1]
Pada dasarnya mutawatir berarti berurutan, berkesinambungan, kontinyu (tatabu’ = )تتابع. Secara
terminologis, hadis mutawatir ( )الحديث المتواترdapat diartikan sebagai hadis yang diriwayatkan oleh
banyak perawi dalam setiap generasi sanad, mulai awal (sahabat nabi) sebagai perawi tertua (common
link) hingga akhir (perawi, penulis hadis).
Dari definisi yang dikemukakan oleh beberapa muhadditsin mengenai hadis mutawatir, maka dapat
disimpulkan bahwa Hadis mutawatir adalah hadis yang bisa dipertanggungjawabkan keadaannya dari
system periwayatannya karena pada setiap generasi (thabaqat) sanadnya terdapat sejumlah perawi
yang tidak mungkin diantara mereka berbuat dusta atau penyelewengan terhadap hadis yang
diriwayatkan.
Para ahli berbeda pendapat mengenai jumlah minimal para perawi yang meriwayatkan hadis mutawatir.
Sebagian ulama menetapkan jumlah 20 perawi, dan sebagian lagi menetapkan 40 perawi pada setiap
generasi. Namun demikian para ulama telah sepakat bahwa hadis yang diriwayatkan secara mutawatir
dapat meyakinkan penerimanya bahwa hadisnya adalah benar-benar datang dari sumbernya, rasulullah
SAW. Inilah yang disebut sebagai Qathiyyah al-Wurud ( )قطعية الورود.
Setelah anda mengkaji pengertian hadis mutawatir di atas, maka akan menemukan ciri-cirinya, yaitu :
Menurut Abu Thayyib, minimal 4 orang, mengkiaskan saksi dalam persidangan. Kelompok Asy-Syafi’i
berpendapat, minimal 5 orang mengkiyaskan Nabi-nabi Ulul Azmi. Sebagian ulama lain menentukan
minimal 20 orang berdasar QS. Al-Anfal 65, yang menjelaskan tentang 20 orang yang tahan uji sehingga
dapat mengalahkan 200 orang kafir. Ada pula yang menentukan minimal rawinya berjumlah 40 orang,
berdasar QS. Al-Anfal 64, yaitu jumlah orang mukmin ketika itu.
Dengan demikian jika misalnya suatu hadis diriwayatkan oleh 10 sahabat, kemudian diterima oleh 5
orang tabi’in dan seterusnya hanya diriwayatkan oleh 2 orang tabi’it tabi’in, maka tidak termasuk hadis
mutawatir.
Maksudnya warta yang disampaikan itu benar-benar hasil pendengaran atau penglihatannya sendiri
bukan hasil pemikiran atau teori yang mereka temukan.[2]
c. Kedudukan Hadis mutawatir
Keadilan dan kedhabitan (kuat ingatan) dari para perawi hadis mutawatir itu sudah tidak diragukan lagi,
sehingga mereka tidak mungkin untuk berbohong dalam membawa berita dari Nabi SAW. Karena itu
para ulama sepakat bahwa hadis mutawatir memberi dampak pada faedah ilmu dharury, yakni
keharusan untuk menerima bulat-bulat berita dalam hadis tersebut secara pasti (qath’y wurud). Dengan
demikian hadis mutawatir menduduki tingkatan teratas dibandingkan dengan hadis-hadis yang lainnya.
Ulama ushul membagi hadis mutawatir menjadi dua bagian, yaitu mutawatir lafdy dan mutawatir
ma’nawy. Adapun yang dimaksud dengan hadis mutawatir lafdy ( )الحديث المتواتر اللفظيadalah hadis yang
diriwayatkan secara redaksional adalah mutawatir berdasarkan sanadnya. Sejak generasi awal sanad
hingga akhir matan hadis yang diriwayatkan adalah sama, konsisten secara redaksional.
Sedang Mutawatir Maknawy, ialah hadis yang rawinya banyak, tetapi redaksi pemberitaannya berbeda-
beda, hanya prinsip dan maknanya saja yang ada kesamaan.
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadis tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, dan sebagian ulama
mengatakan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan susunan redaksi dan
makna yang sama.
2. Hadis Ahad
Kata ahad ( )احادmerupakan bentuk jamak dari kata ahad ( )أحدyang berarti tunggal (mufrad) yang
menunjukkan makna sedikit.
Hadis ahad ( )حديث اﻵحادadalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang, dua atau tiga orang atau bahkan
oleh sejumlah orang tetapi tidak mencapai jumlah bilangan kemutawatiran (‘adad at-tawatur),
selanjutnya masing-masing perawi menyampaikan hadisnya kepada seorang atau dua orang saja atau
sejumlah perawi tetapi dalam setiap tahapnya jumlah perawi tersebut tidak menjadikan hadisnya
terkenal sebagaimana jenis lainnya.
Hadis ahad pada dasarnya dapat diterima (maqbul) dan bisa ditolak (mardud), tergantung pada kualitas
perawinya dan atau ketersambungan sanadnya (ittishal as-sanad), bukan karena jumlah sanad pada
setiap generasi itu sendiri. Hadis ahad juga bisa dijadikan sebagai pedoman dalam pelaksanaan ajaran
islam, namun tidak bisa dijadikan hujjah dalam hal i’tiqad, keyakinan.[3]
Berdasarkan sedikit dan banyaknya para perawi yang terdapat pada tiap-tiap tingkatan (thabaqat), maka
hadis Ahad dapat dibagi menjadi tiga, yaitu hadis masyhur, hadis aziz dan hadis gharib.
Hadis Masyhur ialah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, tetapi belum mencapai derajat
mutawatir.
Menurut ulama Fiqh, hadis Masyhur itu Murodif (disebut juga) Hadis Mustafid. Namun sebagian yang
lain berpendapat bahwa hadis Masyhur itu lebih umum daripada hadis Mustafid. Dalam hadis Mustafid
jumlah rawi harus sama dalam setiap tingkatannya, sementara pada hadis Masyhur tidak harus sama.
Dilihat dari segi makna Masyhur berarti terkenal atau populer. Maka ulama hadis membagi hadis
Masyhur dari segi maknanya menjadi tiga kelompok, yaitu :
a) Masyhur di kalangan Muhadditsin dan lainnya.
b) Masyhur di kalangan para ahli disiplin keilmuan tertentu. Misalnya hanya terkenal di kalangan
Muhadditsin, Fuqaha’, ahli nahwu, tasawuf dan lain
Aziz secara bahasa berarti mulia atau kuat dan juga berarti jarang, menurut istilah hadis aziz adalah
hadis yang diriwayatkan dua orang perawi walaupun dua orang perawi tersebut berada dalam satu
tingkatan saja., kemudian setelah itu orang-orang meriwayatkannya.
ال يؤمن احدكم حتى أكون أحبّ اليه من والده وولده: أخبرنا عبد الرزاق معمر عمن سمع الحسن قال قال رسول هللا ص ّل هللا عليه وسلم
والناس أخمعين
Rosulallah SAW bersabda: “Iman kalian belumlah sempurna sehingga (sebelum) mencintai lebih
kepadaku daripada orang tuanya, anaknya, dan manusia seluruhnya)
Hadis Gharib yaitu hadis yang dalam sanadnya terdapat seseorang yang menyendiri dalam
meriwayatkan, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi. Maksudnya penyendirian itu bisa
jumlah personalianya atau sendiri dalam sifat atau keadaannya perawi-perawi lainnya yang
meriwayatkan hadis tersebut.
Penyendirian dalam personalianya disebut Gharib Mutlak, sedang penyendirian mengenai sifat-sifat
atau keadaan tertentu seorang rawi. Misalnya ketsiqahan, tempat tinggal, rawi tertentu, maka disebut
Gharib Nisby.
Mayoritas ulama sependapat bahwa hadis ahad yang maqbul (bisa diterima) dalam arti shahih, bisa
digunakan sebagai dasar hukum Islam, dan wajib diamalkan. Adapun yang berkaitan dengan akidah ada
beberapa pendapat yang netral, hadis ahad yang telah memenuhi syarat (shahih) dapat dijadikan
hujjah / dalil untuk masalah akidah asal hadis tersebut tidak bertentangan dengan Alquran, dan hadis-
hadis lain yang lebih kuat, dan tidak bertentangan dengan akal sehat.
Pembagian hadis dari segi kuantitas ini sekedar untuk mengetahui sedikit atau banyaknya sanad, bukan
untuk menentukan diterima atau tidaknya hadis. Karena itu kita perlu pula mengetahui materi
berikutnya yang akan membahas tentang kualitas hadis.
Hadist mutawatir diriwayatkan oleh para rawi yang jumlahnya begitu banyak pada setiap tingkatan,
sehingga menurut adat kebiasaan, mustahil (tidak mungkin) mereka sepakat untuk berdusta. Sedangkan
hadist ahad diriwayatkan oleh rawi atau dalam jumlah yang menurut adat kebiasaan masih
memungkinkan dia atau mereka sepakat untuk berdusta.
Hadist mutawatir menghasilkan ilmu qath’i (pengetahuan yang pasti) atau ilmu dharuri (pengetahuan
yang mendesak untuk diyakini) bahwa hadist itu sungguh-sungguh dari Rasulullah, sehingga dapat
dipastikan kebenarannya. Sedangkan hadist ahad menghasilkan ilmu zhanni (pengetahuan yang bersifat
dugaan) bahwa hadist itu berasal dari Rasulullah SAW, sehingga kebenarannya masih berupa dugaan
pula.
c. Dari segi kedudukan
Hadist mutawatir sebagai sumber ajaran Islam memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari hadist ahad.
Sedangkan kedudukan hadist ahad sebagai sumber ajaran Islam berada dibawah kedudukan hadist
mutawatir.
Dapat ditegaskan bahwa keterangan matan hadist mutawatir mustahil bertentangan dengan keterangan
ayat dalam Alquran. Sedangkan keterangan matan hadist ahad mungkin saja (tidak mustahil)
bertentangan dengan keterangan ayat Alquran.
Ditinjau dari segi kualitas, para ulama membagi tiga bagian, yaitu hadis Shahih, hadis Hasan dan hadis
Dha’if :
1. Hadis Shahih
Menurut bahasa, sahih berarti sehat, bersih dari cacat, sah, atau benar, sehingga hadist sahih menurut
bahasa berarti hadist yang bersih dari cacat, atau hadist yang benar berasal dari Rasulullah SAW.
Sedangkan batasan tentang hadist sahih yang diberikan oleh ulama yaitu: hadist sahih adalah hadist
yang susunan lafazhnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Qur’an), hadist mutawatir,
atau ijmak dan sanadnya bersambung serta para rawinya adil dan dhabith.
Menurut Ulama Muhadditsin, hadis shahih yaitu hadis yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil,
sempurna ingatannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat dan tidak janggal.
Hadis shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung proses periwayatan oleh orang yang adil, dan
kuat daya ingatnya dari orang yang serupa sifatnya serta terbebas dari keganjilan dan cacat)
Dengan pengertian tersebut, maka ada lima syarat untuk disebut hadis shahih, yaitu :
c) Meninggalkan perbuatan mubah yang dapat menggugurkan iman kepada Qadar dan menjadikan
penyesalan
d) Tidak mengikuti salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’.
a) Islam
b) Mukallaf
c) Selamat dari sebab-sebab yang menjadikan seseorang fasik dan mencacatkan kepribadiannya.
Maksudnya daya ingatannya kuat, dari awal menerima hadis hingga disampaikan kepada orang lain tidak
ada yang lupa. Sanggup dikeluarkan dimana dan kapan saja dikehendaki. Jika demikian, maka disebut
Dhabit Shadran. Sedang bila keutuhan hadis yang disampaikan itu berdasar pada buku catatan (teks
book), maka disebut Dhabit Kitabah. Adapun rawi yang memiliki sifat adil dan Dhabit disebut “Rawi
Tsiqah” (dapat dipertanggung jawabkan).
Maksudnya sanadnya bersambung, tidak ada yang terputus, karena tiap-tiap rawi dapat saling bertemu
dan menerima langsung dari guru yang memberinya.
Selamat dari illat (penyakit) hadis, yaitu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai kesahihan
suatu hadis. Misalnya, meriwayatkan hadis secara Muttasil (bersambung) terhadap hadis Mursal (gugur
seorang sahabat yang meriwayatkannya) atau terhadap hadis Munqathi’ (gugur salah seorang rawinya).
Demikian juga dapat dianggap illat hadis, jika ada sisipan dalam matan hadisnya.
Maksudnya hadis yang rawinya maqbul (dapat diterima periwayatannya) tersebut tidak bertentangan
dengan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajih (kuat), disebabkan dengan adanya kelebihan
jumlah sanad atau kelebihan dalam kedhabitan rawinya atau adanya segi-segi tarjih yang lainnya.[4]
Tingkat keshahihan hadist juga berbeda berdasarkan kota dimana hadist tersebut diriwayatkan. Jumhur
Ulama sepakat bahwa hadist yang paling shahih adalah yang diriwayatkan oleh penduduk Madinah,
kemudian penduduk Basrah dan kemudian penduduk Syam .
Selain perincian tersebut, ada pula penentuan urutan tingkatan hadist sahih, adalah hadist yang
diriwayatkan oleh:
2) Bukhari sendiri
3) Muslim sendiri
4) Ulama yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim.
1) Shahih li-Dzatihi ()صحيح لذاته, yaitu hadis shahih yang secara sempurna terpenui kriteria persyaratan
tersebut di atas. Hadis shahih li dzatihi tingkatannya bisa turun menjadi Hasan li zatihi ketika kedhabitan
seorang rawi kurang sempurna.
2) Shahih Lighairih ( )صحيح لغيره, yaitu hadis yang rawinya kurang hafizd dan dhabit (hasan Lizzatih),
namun ada sanad lain yang serupa atau lebih kuat, sehingga dapat menutupi kekurangan-
kekurangannya.
Di dalam hadis shahih sendiri terdapat tingakatan-tingkatan berdasarkan kedhabitan dan keadilan para
perawinya, yaitu :
1) ( اصح االساندsanadnya paling shahih, misalnya bagi Imam Bukhari adalah Malik, Nafi’ dan Ibnu
Umar, bagi Imam An-Nasa’I adalah Ubaidillah Ibnu ‘Abbas dan Umar bin Khattab).
8). Hadis yang ditakhrij dengan tidak menggunakan syarat Bukhari dan Muslim.
2. Hadis Hasan
Menurut bahasa berarti hadist yang baik. Para ulama menjelaskan bahwa hadist hasan tidak
mengandung illat dan tidak mengandung kejanggalan. Kekurangan hadist hasan dari hadist sahih adalah
pada keadaan rawi yang kurang dhabith, yakni kurang kuat hafalannya. Semua syarat hadist sahih dapat
dipenuhi dhabithnya rawi (cermatnya rawi).
Menurut istilah hadis hasan adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sanadnya
bersambung, tidak mengandung ilat, dan tidak janggal, namun rawinya kurang dhabit (kurang baik
tingkat hapalannya).
Hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang kurang
sempurna kredilitasnya. Hadis hasan adalah hadis yang memenuhi semua syarat-syarat hadis shahih,
hanya saja seluruh atau sebagian perawinya kurang dhabit. Dengan demikian perbedaan hadis shahih
dan hadis hasan terletak pada tinggi atau rendahnya kedhabitan seorang rawi. Hadis hasan terbagi
menjadi dua, yaitu :
Hasan Lizzatihi. Maksudnya hadis itu telah memenuhi syarat-syarat hadis hasan.
Hasan Lighairihi, Maksudnya hadis itu sanadnya ada yang dirahasiakan (Mastur), tidak jelas keahliannya,
namuan mereka bukan pelupa, tidak banyak salah dan tidak dituduh dusta dalam periwayatannya. Pada
mulanya hadis hasan ligahirih itu adalah hadis dha’if, namun karena ada dukungan sanad lain yang
memperkuat, maka naik tingkatannya menjadi hadis Hasan.
Hadis hasan ini bisa dijadikan sebagai dasar sumber hukum Islam, namun tingkatannya di bawah hadis
shahih.
3. Hadis Dha’if
Dha’if artinya “lemah”. Adapun yang disebut hadis dha’if adalah hadis yang kehilangan satu atau lebih
syarat-syarat hadis shahih atau hadis hasan. Adapun yang dimaksud dengan hadis dha’if adalah
sebagaimana rumusan sebagai berikut :
Hadis dla’if adalah hadis yang tidak memiliki syarat sebagai hadis hasan karena hilangnya sebagian
syarat). Pada dasarnya hadis dha’if itu disebabkan dua alasan, yaitu :
Nama hadis dhaif karena alasan / sebab tidak muttasilnya sanad antara lain ; hadis mursal, hadis
munqati’, hadis mu’adhdhal, hadis mudallas, dan hadis muallal.
Nama hadis dhaif karena alasan / sebab ini antara lain hadis mudha’af, hadis mudhtharib, hadis maqlub,
hadis mungkar, hadis matruk, dan hadis mathrub.
Menurut para Muhadditsin, sebab-sebab tertolaknya hadis sebagai sumber hukum bisa ditinjau dari dua
faktor, yaitu Sanad dan matannya.
Faktor Sanad
Dari faktor sanad ini bisa karena rawinya cacat dan bisa pula tertolak karena sanadnya tidak
bersambung.
Rawi Cacat
Rawi hadis yang cacat dari keadilan dan kedhabitan hadisnya disebut
6) Maqlub (memutarbalikkan)
Faktor Matan
Hadis yang tertolak dari faktor matan hadis, maka hadisnya bisa karena berupa hadis
Para ulama berbeda pendapat tentang penggunaan hadis dha’if sebagai hujjah (dasar hukum) atau
sebagai amalan kebaikan. Pendapat pertama, menolak sama sekali menggunakan hadis dha’if. Baik
untuk mendorong berbuat kebajikan maupun dalam penetapan hukum. Kedua, menerima secara utuh
hadis dha’if. Ketiga, menolak sebagai hujjah (dasar hukum) dan menerima sekedar untuk memotifasi
berbuat kebajikan dan nasehat asalkan hadisnya tidak terlalu janggal dan ada penguat dari hadis yang
lainnya.
Dari ketiga pendapat tersebut, yang paling selamat adalah pendapat pertama, karena penuh dengan
ihtiyat dan kehati-hatian agar tidak terjebak dalam perbuatan bid’ah.[5]
( )مردودberarti “ditolak”.
1. Hadis Maqbul
Merupakan tingkatan hadis maqbul yang paling tinggi karena dapat dipertanggungjawabkan validitasnya
dari berbagi seginya.
Merupakan hadis yang tidak memiliki syarat sebagai hadis shahih tetapi tidak terlalu rendah derajatnya.
Hadis ini seperti laiknya hadis hasan tetapi oleh karena sebab lainnya maka hadis tersebut dapat
diangkat derajatnya hingga fungsinya seperti hadis shahih sebagai sumber hukum karena tidak
ditemukannya hadis shahih ketika itu.
Merupakan hadis yang semula berstatus sebagai hadis dha’if kemudian naik derajatnya menjadi hadis
hasan karena factor-faktor tertentu yang dating, kemudian hingga menjadikannya mampu menempati
posisi hadis hasan.
b. Sifat Hadis Maqbul
Ditinjau dari segi sifatnya, hadis maqbul mempunyai sifat-sifat yang sekaligus merupakan karakteristik
sebagai hadis yang diterima, yakni tiga sifat berupa :
1) Hadis mutawatir
Dari ciri-ciri tersebut, dapat diketahui bahwa hadis maqbul bisa bersifat muhkam ( )محكمjika tidak
diketahui adanya perselisihan (mukhtalif) dengan hadis lainnya, yakni pesannya wajib diamalkan
(dikerjakan, yu’malu bihi).
Tingkatan hadis maqbul ditinjau dari derajat dan fungsionalnya adalah sebagai berikut :
yaitu hadis yang isinya tidak harus diamalkan, tetapi cukup diambil sebagai sumber informasi.
2. Hadis Mardud
Hadis mardud pada dasarnya adalah hadis dha’if yang ditolak karena memiliki ciri-ciri antara lain adalah
sanadnya tidak bersambung, terputus (inqitha’) dan karena alasan lain seperti terdapat perawi yang
cacat dalam sanadnya.
Hadis mardud ditinjau dari segi fungsinya tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum
(istinbath al-hukm).
Hadis dha’if yang merupakan hadis mardud dibedakan menjadi dua karena alasan yang berbeda, yaitu
hadis dha’if karena sanadnya tidak bersambung atau terputus (munqathi’) dan hadis dha’if Karena
alasan lain seperti adanya cacat dalam sanad atau matan.
1) Hadis Mursal
Secara harfiah, kata mursal ( )مرسلberarti dilepaskan atau dikirim. Hadis mursal ( )الحديث المرسلadalah
hadis yang disandarkan oleh tabi’in kepada Rasulullah SAW tanpa menyebutkan nama sahabat yang
membawa hadis. Contoh :
2) Hadis Munqathi’
Kata munqathi’ ( )منقطعberarti terputus, tidak tersambung, lawan dari kata muttashil ()متّصل. Hadis
munqathi’ ( )الحديث المنقطعadalah hadis yang dalam sanadnya gugur seorang atau dua orang secara tidak
berurutan.
Hadis munqathi’ adalah hadis yang dalam sanadnya terjadi hubungan yang terputus (inqitha’) atau tidak
bersambung (infishal), baik seorang atau dua orang. Adapun cara mengetahui inqitha’ adalah dengan
meneliti pertemuan atau hubungan antara perawi-perawi (murid dan guru atau sami’ dan mudi’) yang
ada didalam sanad dengan melihat riwayat hidup (tarjamah) masing-masing.
3) Hadis Mu’dal
Adalah hadis yang gugur atau terputus dua perawi atau lebih di pertengahan sanad secara berurutan
(mutawaliyan). Sikap perawi dalam menggugurkan perawi dalam riwayat dinamakan I’dhal ()إعضال.
4) Hadis Mudallas
Mudallas merupakan kata dalam bentuk maf’ul yang berasal dari mashdar tadlis. Secara harfiah kata
mudallas berarti sesuatu yang dibuat menjadi gelap atau dijadikan samar-samar, atau tidak jelas.
Hadis mudallas adalah hadis yang terdapat perawi yang digugurkan oleh seorang perawi secara sengaja
dengan maksud untuk menutupi aibnya. Adapun perawi yang menutupi aib diatasnya (gurunya)
dinamakan mudallis, sedangkan perbuatannya dinamakan tadlis.
1) Hadis Mudltharib
Kata mudltharib merupakan bentuk kata pelaku (isim fa’il) dari masdar idlthirab yang berarti perubahan
atau kerusakan. Hadis mudltharib adalah hadis yang riwayatnya atau matannya berlawan-lawanan, baik
dilakukan oleh seseorang atau banyak perawi, dengan cara menambah, mengurangi ataupun
mengganti.
Hadis-hadis mudltharib jumlahnya tidak sedikit. Syaikh al-Islam al-Hafidh telah mengumpulkannya dalam
kitab al-Muqtarib fi Bayan al-Mudltharib.
2) Hadis Maqlub
Maqlub berarti yang digantikan atau dibalikkan. Dia adalah kata benda dalam bentuk isim maf’ul dari
kata qalb yang berarti berubah-ubah atau berganti-ganti.
Hadis maqlub adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya terjadi keterbalikan,
baik dalam sanad maupun dalam matan misalnya dengan mendahulukan bagian belakang, atau
mengakhirkan yang terdahulu.
3) Hadis Syadz
Secara harfiah kata syadz berarti seorang yang menyendiri (munfarid) dari kelompok umum (jumhur).
Hadis syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqoh tetapi berlainan dengan riwayat
dari kebanyakan perawi yang tsiqah pula. Kebalikan dari hadis syadz adalah hadis mahfudh.
Kata munkar berarti yang diinkari secara harfiah. Hadis munkar adalah hadis yang diriwayatkan oleh
seorang perawi yang lemah (dla’if), yang menyalahi/berbeda riwayat perawi yang tsiqah, atau riwayat
yang lebih lemah lagi.
5) Hadis Matruk
Secara harfiah, kata matruk berarti ditinggalkan. Hadis matruk adalah hadis yang diriwayatkan oleh
seorang perawi yang tertuduh sebagai pendusta, baik terkait dengan masalah hadis maupun masalah
lainnya, atau tertuduh sebagai seorang fasiq, atau Karena sering lalai dan salah, ataupun banyak sangka.
6) Hadis Mu’allaq
Adalah hadis yang gugur perawinya, baik seorang, dua orang maupun semuanya pada awal sanad. Sikap
perawi dalam menggugurkan perawi sebelumnya disebut dengan terma ta’liq
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ditinjau dari segi sedikit atau banyaknya rawi yang menjadi sumber berita, hadis terbagi menjadi dua
macam, yaitu hadis mutawatir dan hadis Ahad.
Ditinjau dari segi kualitas, para ulama membagi tiga bagian, yaitu hadis Shahih, hadis Hasan dan hadis
Dha’if.
Pada penyusunan makalah ini kami sangat menyadari masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan
yang terdapat di dalamnya baik berupa bahasa maupun cara penyusunannya. Untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran guna menciptakan penyusunan makalah yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Amru, Abdul Mun’im Salim. 1997. Tafsir Ulumul Hadis. Kairo: Maktabah Ibnu Taymiyah
[4] Zuhri, Muh.Hadis Nabi Telaah dan Metodologis.(Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya). Hal : 89
Iklan
Report this ad
Share this:
TwitterFacebook48